Jika kita TIDAK menyadari kesalahan yang dilakukan, dan melanjutkan bahkan mengulang kesalahan tersebut maka mungkin dua cerita dibawah ini cocok untuk perenungan. Yang artinya pembelajaran Dhamma HANYA digunakan untuk menunjukkan SUPERIOR secara intelektual dan spiritual ( merasa paling benar dan sombong ), dan Dhamma digunakan sebagai “alat” atau “memperalat” Dhamma sebagai dasar untuk menunjukkan “AKU”, maka mentalitas ini akan mengatakan Dhamma adalah TONTONAN. Artinya tidak ada MANFAAT DHAMMA yang dapat diperoleh dari mentalitas ini karena memper-TONTON-kan ke-AKU-an dibalik KEAGUNGAN BUDDHA DHAMMA yang dipelajari.
Dan sebenarnya hakikat pembelajaran Dhamma adalah melihat dan memahami Dhamma sebagai TUNTUNAN, memberi arahan ke arah yang baik. Jika prinsip ini diterapkan maka sikap dan perilaku kita tidak menodai Dhamma, bahkan otomatis mendapat PENILAIAN POSITIF dari lingkungan dan masyarakat. Inilah PENGHARGAAN MURNI dari contoh keteladanan yang diberikan berdasarkan sikap dan perilaku yang memahami Dhamma sebagai tuntunan bukan tontonan. Bahkan sesungguhnya penghargaan hanya merupakan “label” yang kadang-kadang membuat kita lengah dan terjatuh jika tidak waspada, karena menganggap telah “mendapat dan memberi sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain”, sehingga kesombongan intelektual dan spiritual muncul.
Untuk menjawab pertanyaan Secangkir Coklat Panas adalah Tontonan ATAU Tuntunan
, maka pertanyaan dimunculkan berdasarkan pemahaman terhadap 2 cerita yang dibaca dan dipahami.
Pertanyaan dari cerita yang pertama.
Puisi Bau KentutSeorang cendekiawan, Zhou Zi, yang telah mempelajari KONSEP Buddhisme dari gurunya, seorang Mahabhikshu Zen, pada suatu hari membuat suatu puisi yang menurutnya merupakan pencerminan keadaan batinnya yang tenang, tentram dan bahagia. Dalam puisinya tersebut, dilukiskan bagaimana dia telah mencapai keadaan batin yang damai, kokoh, tidak terpengaruh oleh bahkan delapan mata angin sekalipun.
Sungguh bangga sekali Zhou Zi akan puisi barunya tersebut, sehingga dia berniat untuk mengirimkan kepada gurunya yang tinggal di seberang sungai, dengan harapan akan memperoleh pujian. Zhou Zi segera mengirimkan kurir untuk menyampaikan puisinya tersebut, yang diberi judul ‘Hati yang Tiada Tergoyahkan’. Setelah gurunya menerima kiriman puisi tersebut dan membacanya, dimana oleh kurir cendekiawan dimintakan agar gurunya dapat menuliskan kesannya, maka beliau menuliskan sesuatu di balik kertas puisi tersebut dan diserahkannya kembali melalui kurir.
Zhou Zi menunggu kedatangan kurirnya untuk membaca pujian yang disampaikan oleh gurunya, dan segera dibuka sampul berisi kertas puisinya. Betapa marahnya Zhou Zi menemukan tulisan gurunya berupa tinta merah dengan tiga huruf besar, ‘PUISI BAU KENTUT’. Sungguh geram Zhou Zi, dia menilai gurunya benar-benar tidak mengerti ungkapan yang mendalam dari dia akan konsep Buddhisme tentang keseimbangan batinnya. Zhou Zi memutuskan untuk segera ke seberang sungai menemui gurunya.
Sesampainya di tempat gurunya, Zhou Zi menanyakan dengan emosi yang ditahan, “Kenapa suhu mencela puisi saya, apakah suhu tidak bisa menangkap arti kiasan yang begitu mendalam dari puisi ini?” Mahabhikshu Zen tersebut tertawa dan berkata, “Ha…ha..ha…, lihatlah dirimu sendiri muridku, baru terkena satu angin kentut saja, Anda sudah lari terbirit-birit ke sini…., apalagi kalau diterpa delapan mata angin sekaligus!”
(satu angin yang dimaksud oleh Mahabhikshu Zen tersebut adalah keadaan batin yang dicela karena ke AKU an yang menonjol dari Zhou Zi). Karena Zhou Zi melihat Dhamma sebagai tontonan.
Artinya jika kita mendapat nilai negatif ( misalnya BRP ) yang beruntun seharusnya menjadi intropeksi diri dan pertimbangan positif untuk merubah diri sendiri , baik dari segi bertutur kata, etika, kesopanan, moralitas dll. Jika melalui cerita di atas, kemudian dibuat menjadi pertanyaan dalam pilihan berganda, maka pertanyaannya adalah :
1. Tujuan “AKU” belajar Buddha Dhamma, karena Dhamma adalah :
a. TONTONAN.
b. TUNTUNAN.
Silahkan kita memilih. Kita bebas menentukan PILIHAN. Apa yang menjadi PILIHANMU ?