"It Starts From Me"
Minggu, 18 April 2010 | Kompas
SAMUEL MULIA
Sekitar dua bulan yang lalu seorang calon klien bercerita kalau perusahaan di mana ia bekerja baru saja melakukan pemutusan hubungan kerja. Saya tanya apa alasannya, ia menjawab hanya ada satu alasan, beberapa karyawan itu tidak produktif. Bahkan di antaranya tak bisa menggunakan komputer. Saya cuma bisa geleng kepala.
Beberapa minggu setelah kejadian di atas, saya makan siang dengan teman-teman lama. Ada pria ada wanita. Sambil menyantap makanan bermenu Eropa, kami mengobrol soal relationship. Teman pria saya mencoba untuk berselingkuh. Ia mengatakan ia mencintai istrinya dan seorang wanita di luar perkawinannya.
Geleng kepala
Sekali lagi saya geleng kepala. Seperti biasa saya bertanya, mengapa sampai hal yang enak-enak enggak enak itu terjadi. Ia mengatakan kalau cinta itu tak bisa diatur datangnya, dan ia mencintai keduanya. Kemudian saya tanya lagi, tidakkah itu egois sekali kalau ia mencintai wanita lain, tetapi melukai istrinya di saat yang sama? ”Yaa, saya tahu sih, tapi gimana dong?” itu jawaban atas pertanyaan saya.
Dalam hati saya tersenyum. Saya itu seperti itu. Sudah tahu, tetapi selalu pura-pura tidak tahu atau tak mau tahu. Ada sejuta alasan untuk melakukan pembenaran dari sebuah keadaan yang nyata-nyata salah.
Di suatu malam, di akhir pekan, bersama seorang teman yang mengajak temannya, saya pergi ke sebuah lounge. Sudah lama saya ini pengin nyeruput bir, salah satu minuman favorit. Kata teman saya, cowok flamboyan kayak saya kok minum bir. ”Terlalu gagah untuk pria kemayu,” komentarnya. Padahal menurut saya, yaa…enggak masalah, kalau sekali-kali gagah, beberapa kali flamboyan, bukan?
Kami bercerita soal hubungan asmara juga. Saya tak tahu kalau temannya teman saya itu pencinta sesama jenis. Fisik dan gerak tubuhnya jauh dari flamboyan. Diam tak banyak bicara. Yaa…sambil nyeruput bir, saya gelagapan dan geleng kepala lagi. Kaget, maksudnya. Dan semakin kaget lagi karena temannya teman saya itu mau menikah. Tentu dengan wanita.
Menyingkat cerita, saya mengajukan pertanyaan andalan. Tidakkah itu egois sekali mau menikah dengan seorang wanita, tetapi masih mau menjalankan kehidupan lain di luar pernikahan itu? Bukankah itu sebuah perselingkuhan namanya? Di malam itu ada suara seperti ini. ”Kita itu kan manusia, jadi sangat manusiawi sekali kalau itu terjadi. Yang normal juga gitu, bukan?”
Sepulang dari pertemuan di atas dan mencerna cerita-cerita itu, saya jadi teringat kepada seorang klien saya, seorang pengusaha makanan cepat saji. Belum lama ini ia mengajukan kampanye perusahaan berbunyi begini. ”It starts from me.” Kampanye yang tujuannya hanya satu, yaitu meningkatkan customer satisfaction. Kampanye ini saya sontek untuk diri saya sendiri, dan salah satu klien saya yang lain.
Robin Hood
Kepuasan pelanggan memang bukan sekadar memberi hadiah, tetapi soal masalah mau melayani atau tidak. Dan agar pelanggan puas, semuanya bermula dari manusia yang melayani. Jiwa yang sehat atau tidak, niat yang mau atau tidak. Melayani adalah pekerjaan seorang yang merendahkan hati. Jadi, itu sebuah pekerjaan mulia, jauh dari hina.
Melayani tak bisa menjadi koruptor, sama seperti para petugas di usaha cepat saji klien saya itu. Mereka tak bisa memanipulasi paket yang ditawarkan. Kalau ada yang memanipulasi, akhir ceritanya sudah dapat diduga.
Waktu teman-teman saya bilang kalau saya egois saat saya berselingkuh dahulu, saya malah membela dengan perkataan yang sebelas-dua belas dengan perkataan teman-teman saya di atas. Benarkah demikian? Cinta memang bisa datang kapan saja, tetapi otak manusia juga bisa digunakan kapan saja. Masalahnya, saya itu malas menggunakan otak dengan benar. Makanya karena tidak benar, saya bisa mengatakan kalau orang normal saja bisa berselingkuh, mengapa yang sesama jenis tidak mungkin?
Itu sebuah pernyataan yang picik. Keduanya tidak ada yang benar sama sekali. Mau buta kek, mau tulen kek, mau kaya kek, mau tolol kek, perselingkuhan itu tak ada benarnya. Itu sebuah pengkhianatan.
Mengapa saya melakukan perbandingan? Karena saya mencari celah untuk membenarkan sebuah kesalahan yang nyata-nyata saya tahu itu sebuah kekeliruan. Itu mengapa saya selalu berkutat dalam keadaan yang itu-itu saja, dan tak bisa naik kelas. Sukanya memanipulasi pemikiran.
Nah, seharusnya semua yang saya lakukan di dunia ini seyogianya dimulai dari diri sendiri, dengan sebuah pertanyaan, saya ini mau jadi orang benar atau manipulator? Percaya saya, kalau Anda memilih yang kedua, semuanya akan jadi bisa benar adanya. Pokoknya semua benar. Berselingkuh benar, maling benar, membunuh benar, korupsi benar, tak bisa menggunakan komputer benar, merekayasa benar. Saya menulis di status facebook saya begini. Do not twist the truth for the sake of our own satisfaction.