Pertama dari yang terutama adalah, setiap sutta dimulai dengan "Evam me suttam" atau "Demikianlah yang kudengar". Jadi itu adalah hasil dari 'denger2' oleh seseorang dan diteruskan ke orang lain. Jadi kalo orang itu tidak jelas mendengar atau tidak mengerti dengan baik, memang betul sekali bisa cacat jadinya.
Ke dua adalah dengan berprinsip 'ehipassiko', ga perlu kita kita fanatik bahwa isi Sutta pasti benar. Kalo ajaran lain menghina kita bahwa buku kita cacat, kita tidak perlu berpikir untuk membalasnya. Setidaknya kita bangga karena kita bisa menyadari bahwa itu ada cacat (karena diturunkan banyak generasi) dan tidak kita percaya secara 'buta' begitu saja. Tidak semua orang punya akal sehat untuk menyadari bahwa kitab suci pun dibuat oleh manusia, dan tidak semua orang memiliki kebesaran hati menerimanya jika ada salah. Biasanya hanya mengatakan 'ajaran saya adalah yang terbaik, yang lain menyimpang/sesat' ataupun 'iman/kebijaksanaan ada di atas pengetahuan'. Tidak ada gunanya.
Pada konsili pertama, memang hanya ada Vinaya (yang diulang oleh Upali) dan Sutta (yang diulang oleh Ananda). Itupun belum semuanya ada. Banyak bagian yang ditambahkan belakangan. Semua juga ada "demikian yang kudengar", padahal entah didengar dari mana, entah siapa yang mendengar, kita tidak tahu. Kita tidak bisa dan tidak perlu membuktikan secara persis bahwa itu memang 'asli'.
Ke tiga, pada masa itu, agama yang dianut adalah (banyak aliran) Brahmanisme yang berpegang pada Veda. Suriya dan Chanda adalah personifikasi dari sifat2 positif maskulin dan feminin, sedangkan Rahu adalah personifikasi dari ketakutan dan sifat2 jelek lainnya. Dikatakan ketika kita mengalami ketakutan dan keraguan, maka ketika teringat pada kualitas Buddha/Dhamma/Sangha, akan hilang.
Jadi, itu bisa disikapi sebagai 'dongeng sebelum tidur', 'bahan menjelekkan agama orang', atau hanya 'pernyataan dalam perumpamaan'. Itu semua tergantung manusianya, bukan pada kitabnya.