Tradisi Hutan Thai dan Ajahn ChahDi Thailand, salah satu tradisi kontemplatif yang paling bersemangat telah keluar dari hutan-hutan, gunung-gunung dan gua-gua di Timur Laut. Dalam lingkaran praktik Dhamma: moralitas, samādhi dan kebijaksanaan adalah kelompok tiga yang tidak terpisahkan, dan samatha dan vipassanā diajarkan secara turun temurun.
Salah satu guru hutan yang paling terkenal adalah Yang Mulia Ajahn Chah. Gaya mengajarnya yang membumi dikarakteristikkan dengan pengungkapan banyak metafora yang ditarik dari dunia alami, termasuk banyak yang mengilustrasikan hubungan antara ketenangan dan pandangan terang.
“Meditasi bagaikan sebatang tongkat kayu. Vipassanā adalah salah satu ujungnya dan samatha adalah ujung lainnya. Jika kita memungutnya, apakah hanya salah satu ujungnya yang terambil atau keduanya? Pandangan terang harus berkembang dari kedamaian dan ketenangan. Keseluruhan prosesnya akan muncul secara alami. Kita tidak dapat memaksakannya.” [1]
Ajahn Chah juga membandingkan kedua sisi pengembangan batin dengan menggigit dan mengecap buah apel. Menggigit dan mengecap adalah berbeda, tetapi bagaimana kita dapat mengecap buah apel tanpa menggigitnya? Dengan merujuk pada samādhi dan kebijaksanaan ia memberikan pertanyaan, “Apakah sebutir mangga yang belum masak dan ketika sudah masak adalah sama atau berbeda?” Itu adalah mangga yang sama, demikianlah samādhi menjadi masak dan semakin masak dalam kebijaksanaan.
“Samādhi membentuk landasan bagi perenungan dan vipassanā. Segala sesuatu yang dialami dengan pikiran yang damai memberikan pemahaman yang lebih baik.” [1]
Ajahn Chah mengajarkan bahwa vipassanā adalah bagaikan menyalakan korek api. Korek api menghasilkan api, tetapi apinya hanya bertahan selama satu kilatan. Mengembangkan samatha adalah bagaikan mencelupkan sumbu ke dalam cairan lilin untuk membuat lilin. Semakin lama anda mencelupnya, semakin baik lilinnya. Secara berdiri sendiri sebatang lilin tidak menghasilkan cahaya, tetapi memiliki potensi besar. Jika kemudian anda menggunakan korek api untuk menyalakan lilin, maka anda memiliki sumber untuk mempertahankan cahaya yang dapat membantu anda melihat.
Mungkin adalah suatu pengamatan yang penting bahwa sebagian besar Bhikkhu Hutan Thai, Bhikkhunī, dan umat awam di abad lalu dan abad ini yang dipercaya telah mencapai pencerahan tampaknya memiliki kemampuan untuk memasuki jhāna [2]. Walaupun Ajahn Chah lebih dikenal akan ajarannya yang menekankan pengembangan kebijaksanaan, namun ia sendiri menguasai samādhi hingga pada tingkat mampu memasuki jhāna dalam satu tarikan nafas. Dengan landasan yang begitu kuat, kontak indria dapat menjadi sumber kebijaksanaan. Seperti yang ia nasihatkan,
“Masa kini banyak orang mengajarkan vipassanā. Aku akan mengatakan hal ini: melakukan vipassanā bukanlah hal yang mudah. Kita tida bisa begitu saja melompat ke dalamnya. Seperti yang kulihat, jika kita mencoba untuk melompat langsung ke dalam vipassanā, maka kita melihat bahwa adalah tidak mungkin berhasil menyelesaikan perjalanan ini.”
[1] Unshakeable Peace,
Yang Mulia Ajahn Chah[2] Dalam tradisi Hutan Thai tingkat samādhi terdalam biasanya disebut dengan istilah appanā
bukan jhāna.Batin HarmonisPertanyaan atas peran samatha yang begitu penting adalah karena samatha mulai mendefinisikan keseluruhan cara pendekatan pada kehidupan. Ratusan keputusan minor yang dibuat sepanjang hari bergantung pada tingkat sejauh apa kita menghargai ketenangan. Untuk tidak terhanyut ke dalam arus gangguan memerlukan usaha sadar. Walaupun menggabungkan kesadaran ke dalam gaya hidup materialistis yang penuh kesibukan tentu saja dapat menghasilkan hasil yang indah dalam hal pengurangan ketegangan, hubungan yang harmonis dan bahkan meningkatkan kenikmatan indria, namun adalah tidak realistis untuk berpikir bahwa pada suatu hari hal ini akan mengarah menuju pencerahan.
Kebebasan, seperti yang didefinisikan oleh Sang Buddha, memerlukan perubahan mendasar dalam hal bagaimana kita berhubungan dengan aspek jasmani dan batin dari pengalaman kita. Praktik Dhamma yang mengarah menuju kebebasan ini memerlukan bukan hanya sekadar teknik melainkan keseluruhan gaya hidup yang mendukungnya, perlambatan signifikan dari langkah terburu-buru yang pada masa kini dianggap normal. Jika kita tertarik pada pencerahan, maka kita harus melambat dan menjadi lebih sederhana. Daripada mencoba mengubah ajaran Buddha agar sesuai dengan gaya hidup kita, seharusnya kita mencoba untuk mengubah gaya hidup kita agar sesuai dengan ajaran Buddha.
Telah sering kali diamati bahwa kita dari generasi sekarang ini, umumnya berpendidikan tinggi dan penuh informasi, yang hidup dalam tempo cepat dan masyarakat yang rumit, yang tumbuh dengan stimulasi media dan dipelihara dengan rangsangan indria yang berlebihan, kehilangan sentuhan dengan ketenangan. Banyak orang menjadi tidak seimbang pada sisi kekurangan-samatha. Sisi analitis dari pikiran kita biasanya terkembang dengan baik karena budaya lingkungan, tetapi tanpa energi terpusat dari samādhi terus-menerus maka ‘pandangan terang’ tidak memiliki cukup kekuatan untuk mengubah kehidupan kita.
Tradisi Buddhis apa pun yang kita ikuti, semua meditator pada akhirnya bertujuan pada hal yang sama: suatu kesempatan bagi bangkitnya pandangan terang yang membebaskan melalui kesadaran tanpa terputus dari arus fenomena yang selalu berubah, tanpa kehadiran kelima rintangan. Pertanyaannya adalah: apakah hal ini mungkin tanpa adanya jhāna? Untuk mempertahankan tingkatan kemurnian pikiran ini selama kurun waktu yang cukup lama sambil menyelidiki jasmani dan batin adalah pencapaian yang luhur. Bagi meditator pada umumnya, bantuk-bentuk halus dari kelima rintangan akan menyelinap ke dalam batin dan menetap di sana tanpa terdeteksi.
Apakah mengalami jhāna adalah kemungkinan yang realistis bagi para meditator masa kini? Satu hal yang pasti adalah: jika kita tidak mencoba, maka hal itu tidak akan pernah terjadi. Dan jika kita percaya bahwa hal itu adalah mustahil bagi kita, maka kita telah membunuh kesempatan kita bahkan sebelum kita memulai. Fungsi Dhamma bekerja menuruti hukum alam. Jika sebab dan kondisi yang mengarah menuju jhāna telah terkembang, maka hasilnya akan mulai muncul pada waktunya. Kemudian kita dapat mengetahuinya untuk diri kita sendiri, tidak bergantung pada apa yang dikatakan oleh orang lain, apakah samādhi mendalam itu dan apa hasil yang dimilikinya.
Pada masa penuh kesibukan sekarang ini masih ada umat-umat awam serta para bhikkhu dan bhikkhunī yang dapat mencapai jhāna. Hal ini bukanlah karena mereka dilahirkan dengan kemampuan seperti itu. Jhāna harus dikembangkan. Tentu saja, bahkan jika kita setuju bahwa melatih samatha memainkan peran penting dalam pengembangan batin yang sehat, namun tidak ada jaminan keberhasilan dalam menenangkan kesalahan-kesalahan batin. Tetapi tanpa pertama-tama memunculkan gagasan bahwa kedamaian batin adalah sungguh penting, maka tidak dapat diharapkan bahwa kita akan mengerahkan waktu dan tenaga yang diperlukan untuk melatihnya. Jika kondisi-kondisi yang mendukung tercapainya samādhi belum muncul dalam hidup kita, ada langkah-langkah yang dapat kita lakukan untuk memunculkannya.
Suatu dasar yang penting bagi meditasi adalah untuk mempertahankan tingkat moralitas yang tinggi, hidup dengan berbelas kasihan dan bertanggung jawab pada diri sendiri dan orang lain dengan menegakkan lima aturan Buddhis dasar. Yaitu, 1) hidup tanpa kekerasan dengan tidak dengan sengaja mencelakai makhluk hidup. 2) mengembangkan kejujuran dengan tidak mencuri atau menipu, 3) bertanggung jawab secara seksual dengan menghindari perselingkuhan atau perilaku seksual yang tidak benar. 4) berbicara jujur dan 5) melatih kewaspadaan dengan menghindari alkohol dan zat-zat memabukkan. Menilai kebajikan dan mewujudkan cinta kasih dalam hidup kita dapat mengurangi rintangan yang kita alami selama duduk di atas alas duduk meditasi atau melangkah di jalan setapak.
Untuk mempertahankan dan menggabungkan manfaat-manfaat meditasi, ketenangan pengendalian indria adalah sangat efektif. Sang Buddha berulang-ulang menekankan pentingnya menegakkan perhatian pada pintu-pintu indria untuk mengurangi keterlibatan pada kenikmatan-indria. Kebahagiaan yang muncul dalam jhāna sepenuhnya tidak bergantung pada kenikmatan indria. Gairah dan rangsangan sesungguhnya adalah halangan bagi meditasi mendalam. Ketika kita mencari perlindungan dalam stimulasi eksternal dan batin kita cenderung mencarinya, maka jhāna tidak dapat terjadi. Carilah ke dalam batin untuk kebahagiaan yang sesungguhnya dan dapat diandalkan.
Keberhasilan dalam meditasi juga menuntut praktik yang konsisten dan latihan yang tekun. Berapa seringkah kita bermeditasi? Berapa lama? Kita harus bersedia untuk menginvestasikan energi dan waktu tanpa mencari jalan pintas yang tidak ada. Jhāna sering dialami dalam situasi-situasi retreat, karena suasana yang tenang, persoalan eksternal yang minimum, orang-orang saling berdiam diri, guru mendorong mereka dan mereka bermeditasi berjam-jam setiap hari. Maka, sebagai tambahan dari praktik sehari-hari yang stabil, secara periodik memberikan persembahan dalam bentuk retreat meditasi kepada diri kita dapat memberikan perbedaan besar dalam menenangkan batin yang bergejolak.
Begitu kita telah mengambil langkah untuk hidup secara bermoral dan tenang dan bermditasi setiap hari, kita akan mulai mengalami kebahagiaan dari pikiran yang tenang. Suatu rintangan yang mungkin muncul pada titik ini adalah ketakutan akan kemelekatan pada kebahagiaan itu. Seperti yang telah kita bahas, kekhawatiran demikian adalah tidak berdasar. Ketakutan akan kemelekatan pada kebahagiaan samādhi sesungguhnya hanya akan mencegahnya memasuki jhāna, menyangkal kegembiraan murni yang dipuji oleh Sang Buddha dan para siswaNya. Adalah penting untuk dengan rela merangkul kenikmatan kedamaian itu dan menumbuhkannya. Sang Buddha menggambarkan jhāna sebagai
“Kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keheningan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan. Aku katakan jenis kenikmatan ini seharusnya dikejar, harus dikembangkan, harus dilatih, seharusnya tidak ditakuti.” (MN 66.21)
Dengan dorongan yang sangat positif demikian untuk melatih kenikmatan meditasi, adalah sulit untuk membenarkan pandangan bahwa jhāna-jhāna harus ditakuti atau dihindari. Adalah penting sekali bahwa kita memperobolehkan batin kita untuk beristirahat and mengizinkan diri kita untuk menikmati kesenangan spiritual tanpa merasa bersalah. Jika kita terbiasa menderita, atau jika pada tingkat tertentu kita merasa perlu untuk menghukum diri sendiri, maka kita akan berpikir bahwa kita tidak layak untuk merasa bahagia. Kita semua layak untuk berbahagia.
Khawatir akan kemelekatan pada jhāna-jhāna? Hal terburuk yang dapat terjadi adalah bahwa kita akan terlahir kembali di alam surga hingga selama 84 ribu kappa penuh kebahagiaan surgawi. Dengan mempertimbangkan kemungkinan kelahiran kembali dalam samsāra, hal itu bukanlah pilihan yang buruk. Hal terbaik yang dapat terjadi adalah bahwa kita mencapai pencerahan. Moralitas dan samādhi adalah bagaikan anak tangga dari sebuah tangga. Kita harus menggenggam anak-anak tangga yang lebih tinggi untuk dapat menarik diri kita naik. Jika kita telah mendengar ajaran kebijaksanaan dari Sang Buddha dan tulus ingin membebaskan batin, maka mencapai puncak tangga seharusnya masih dalam batas kemampuan kita. Sewaktu kita bergerak naik, anak tangga di bawah dilepaskan. Tetapi pertama-tama kita harus menggenggam erat pada anak-anak tangga itu. Jika kita terlalu cepat melepas maka kita akan jatuh.
Ketika batin menjadi semakin damai, merasa seolah-olah memasuki sebuah wilayah yang asing. Ketakutan akan sesuatu yang tidak dikenal kadang-kadang dapat menjadi rintangan. Memiliki keyakinan dan kepercayaan pada Sang Buddha dapat membantu memberikan kepada kita keyakinan yang diperlukan untuk maju. Kadang-kadang batin akan menciptakan gambaran batin, pertunjukan cahaya menakjubkan atau sensasi-sensasi yang tidak wajar. Tidak peduli seberapa menakjubkan, menakutkan, atau menyenangkannya hal itu, semua itu adalah gangguan dalam meditasi dan harus diabaikan. Jika seseatu yang sangat aneh muncul dan kita tidak yakin apakah kita melakukannya dengan benar, maka kita cukup berhenti sejenak atau kembali kepada tingkatan meditasi yang lebih kita kenal. Ketika kelak kita memiliki kesempatan kita dapat berkonsultasi kepada guru yang berkualitas. Kadang-kadang ketakutan akan kehilangan kendali dapat muncul. Pada tingkat yang halus, usaha untuk mengendalikan meditasi dapat menjadi rintangan dan harus dilepaskan. Keinginan untuk mengendalikan dengan menarik dan menolak adalah sumber utama dari identitas-diri, dan melepaskan pengendalian ini dapat berakibat pada munculnya ketakutan akan kehilangan siapa diri kita sesuai anggapan kita sebelumnya. Gagasan sedang dikendalikan adalah murni kebodohan. Mengurangi keinginan untuk mengendalikan dan meminggirkan ‘diri’ kita akan meringankan batin dan memperdalam proses meditasi.
Memiliki sikap yang benar juga sangat penting bagi keberhasilan dalam meditasi. Walaupun adalah perlu untuk memotivasi diri sendiri untuk bermeditasi, samādhi tidak akan muncul dari ketagihan yang berdasarkan pada ego pada kondisi-kondisi kesadaran yang berubah atau untuk mengulangi kondisi damai yang dialami sebelumnya. Ketagihan ini sesungguhnya akan meningkatkan tekanan. Ada terlalu banyak keinginan dan persepsi diri. Cara tercepat untuk maju dalam meditasi adalah merasa puas sepenuhnya, mengerahkan energi untuk senantiasa penuh perhatian pada saat ini, dan tidak mengharapkan apa pun.
Biarkan alam melakukan tugasnya. Terlalu memaksakan diri, tidak sabar akan hasil yang cepat atau berusaha untuk memaksakan pengalaman tertentu akan menjadi kontra-produktif. Kita seharusnya puas akan tingkatan ketenangan apa pun yang dialami. Kita tidak selalu memiliki kesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang damai, selalu dalam keadaan sehat atau memiliki kondisi lingkungan yang mendukung pengembangan samādhi. Kita dapat melihat saat-saat ini sebagai kesempatan berharga untuk berkembang dalam toleransi dan penerimaan. Dalam melatih sikap yang benar untuk bermeditasi, adalah baik sekali untuk mengingat bahwa semua Guru-guru besar Buddhis mendorong kita untuk mengembangkan samādhi bukan untuk mengejar status, pujian atau kemasyhuran, melainkan untuk menjadi rendah hati, baik dan bijaksana.
Ketika batin mulai tenang memasuki samādhi, adalah penting untuk membiarkannya diam selama mungkin. Tidaklah dianjurkan untuk dengan sengaja menarik batin keluar dari kondisi tenang untuk ‘melakukan’ vipassanā. Ketika momentum energi batin yang mempertahankan batin mulai memudar, perlahan-lahan pikiran akan mulai terbentuk. Pada titik ini kita harus dengan sadar mengalihkan perhatian kita pada penyelidikan.
Kemudian kita menganalisa tubuh kita, pikiran dan fenomena eksternal sebagai bergantung pada sebab dan kondisi, tidak kekal, tidak memuaskan dan tanpa-diri. Ini adalah bagaimana menggunakan kekuatan samādhi secara efisien. Perenungan pada saat ini memiliki potensi untuk memotong akar-akar dari kekotoran batin. Jika kita tidak melakukan hal ini setelah mengalami samādhi, kita akan terus merasakan kedamaian dan kebahagiaan untuk beberapa saat. Akan ada suatu kejernihan dan pemahaman karena ketiadaan rintangan, tetapi ketika kedamaian memudar, sekali lagi kekotoran akan muncul dengan kekuatan yang sama seperti sebelumnya. Ketika batin mendapatkan kesempatan untuk beristirahat sepenuhnya dalam samatha dan kemudian diaktifkan untuk menyelidiki kehidupan, maka vipassanā muncul secara alami.
Idealnya ketenangan dan pandangan terang saling membantu satu sama lain sejak awal praktik Dhamma hingga pada akhirnya. Pertama-tama kita perlu memiliki kebijaksanaan untuk duduk dan bermeditasi. Kemudian kita menemukan suatu tingkat ketenangan yang membantu kita melihat kehidupan dengan lebih jernih. Kejernihan ini mengarah menuju kehidupan yang lebih bijaksana, kehidupan yang lebih bermoral yang memberikan ketenangan yang lebih tinggi. Kemudian ketenangan itu menopang perenungan. Memusatkan perhatian pada cacat dan ketidak-dapat-diandalkannya dunia eksternal yang mengarah menuju pelepasan, dan ketika batin semakin mencari ke dalam untuk menemukan kebahagiaan, ketenangan semakin dalam dan lebih banyak pandangan terang terbangkitkan. Samatha dan vipassanā perlahan-lahan menjadi semakin kuat, maju bagaikan kaki dari seorang pendaki gunung, hingga suatu hari, suatu kehidupan, akan mencapai puncak kedamaian dan kebijaksanaan yang tidak tergoyahkan.
Mendaki ketinggian meditasi merupakan hal yang penuh makna yang dapat kita lakukan dalam hidup kita. Tetpi hal ini memerlukan kesabaran, sangat sabar. Si praktisi mengambil pengabdian, kesendirian dan keteguhan untuk menerima dan melepaskan rintangan-rintangan yang berasal-mula dari batinnya sendiri. Memerlukan pengerahan selama berjam-jam. Memerlukan kegigihan untuk tidak menyerah ketika permukaan gunung tampak begitu keras dan dingin, dan lembah di bawah tersenyum begitu manis. Suatu keadaan tanpa bangku di jalan setapak santai. Ini adalah perkemahan yang menjadi titik awal pendakian di kaki gunung setinggi 8,000 meter, suatu tempat untuk mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi serangan terakhir. Ini adalah perlindungan yang hangat dan tenang yang melindungi para pendaki gunung untuk sementara dari angin dingin yang menyengat kulit dan malam-malam yang membekukan air dalam botol. Tetapi bukanlah hal yang mudah untuk mendirikan perkemahan dalam jangkauan puncak gunung. Serangkaian perkemahan mungkin diperlukan untuk perlahan-lahan mencapai ketinggian. Sejak langkah pertama ekspedisi itu menuntut pandangan yang jelas pada jalan di depan dan memperoleh kepuasan dari nilai intrinsiknya. Sementara samādhi memberikan makanan lezat di sepanjang perjalanan, kebijaksanaan memastikan pemandangan-pemandangan indah. Jika itu adalah sungguh-sungguh puncak kebebasan yang berada dalam jarak pandang, yang dipuja dan berulang-ulang ditegaskan sebagai cita-cita kita jauh di masa depan, maka kita akan dengan sadar dan secara otomatis mulai memutuskan dalam kehidupan ini dan mengarah menuju arah itu. Kemudian samatha dan vipassanā bergabung dalam hubungan yang sejak awal sudah harmonis dalam perjalanan menuju Nibbāna.
“ … oleh karena itu, para bhikkhu, bergembiralah dalam jhāna, terkonsentrasi baik, dengan energi yang sungguh-sungguh untuk melihat akhir kelahiran, menaklukkan Mara dan bala tentaranya.” (It 46)***
diterjemahkan dari :
http://www.buddhanet.net/budsas/ebud/ebmed098.htm