Saya kurang paham dengan yang anda maksud dengan “zap” atau “ting”. Persoalannya, adalah apakah memang Jhana 1-4 adalah satu-satunya jalan yang wajib dilalui atau tidak.
Dari jhana 4 ke 5 itu ada hubungannya dari nimittanya difokuskan ruang tanpa batas dibaliknya. Caranya bisa Anda baca di visuddhi magga, atu kalau pernah ikut ceramah Prof. Mehm Ti mon maka akan jelas sekali. Oleh karena itu dikatakan arupa jhana 5 dilandasi rupa jhana 4, dan 6 dilandasi 5....Jadi 1-8 memang ada keterkaitannya. Jadi seseorang langsung tanpa landasan apapun langsung masuk jhana 8.ini yg dimaksud "zap" atau "ting"
Saya sudah pernah membaca buku ini. Pada dasarnya, saya memandang apa yang ditawarkan oleh Ajahn Brahm adalah baik dan bermanfaat. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan adanya “jalan lain” menuju nibbana.
Jalan menuju nibbana yaitu lewat samatha-vipasanna dan direct vipasana. Ajahn Brahm--> samatha-vipasana. Khusus vipasanna objek semua guru sama yaitu 4 landasan yg di investigasi kayanupasana, vedananupasana, cittanupasana dan dhammanupasana(sesuai Tipitaka).
Yang jelas, dalam sutta tersebut sama sekali tidak dikatakan tentang Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta mencapai jhana atau tidak.
Saya tidak tau secara sutta, mungkin teman2 ada referensinya. Tetapi secara visuddhi magga yg berdasarkan sutta apa yg dicapai alara kalama dan uddaka adalah jhana. Dan secara praktek juga demikian. Dan hal ini bisa dilihat dari karakteristik jhana.
Bahkan ketika merenungkan siapa orang yang pertama kali akan diajarkan Buddhadharma, Sang Buddha teringat pada Alara Kalama terlebih dahulu ketimbang Uddaka Ramaputta. Asumsinya, jika Alara Kalama yang diingat terlebih dahulu, seharusnya Landasan Kekosongan-nya Alara Kalama dianggap lebih mendekati Nirvana sempurna dibandingkan Landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi-nya Uddaka Ramaputta. Dengan demikian jika berusaha mengurutkan tingkat pencapaiannya (dengan asumsi konsep jhana 5-8 itu diterima), seharusnya yang disebut sebagai jhana 7 adalah Landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi, sedangkan jhana 8 adalah Landasan kekosongan. Namun Sang Buddha dalam khotbah-Nya yang lain selalu menyebutkan Landasan kekosongan terlebih dahulu, baru menyebutkan Landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi. Hal ini menyebabkan saya menyimpulkan bahwa cara Sang Buddha mengurutan pencapaian-pencapaian sebagaimana dalam Sammana Phala Sutta (Jhana 1-4 kemudian 4 landasan) didasarkan semata-mata oleh perjalanan pengalaman pribadinya, bukan didasarkan pada suatu keharusan baku.
Dari jhana berapa aja mau vipasanna-->nibbana bisa, yg penting keluar jhana dulu. Panduan dari sutta dan visudhi magga sudah jelas. Makanya dasar pencapaiannya harus dipahami dulu ,jadi ngak bingung terhadap perkataan sutta. Apalagi kalo hanya sepotong-sepotong.
Lagipula apa jaminannya, dari perilaku tampak, kilesa seseorang bisa langsung terlihat? Apakah dengan demikian orang yang anda amati dalam jangka waktu tertentu dan di tempat tertentu ketika belum ada sifat kilesa yang tampak anda bisa menyimpulkan orang tersebut bebas dari kilesa? Apa jaminannya ia hanya pandai berakting di depan umum hingga tidak terlihat adanya kilesa sesuai dengan kriteria perilaku yang ada? Mungkin hanya pengamatan 24 jam dalam 7 hari tanpa henti sepanjang masa hidup orang tersebut yang akhirnya bisa membuat orang yakin bahwa seseorang tidak lagi memiliki kilesa laugh Dan itupun tidak menunjukkan apa-apa, karena perilaku tampak bukanlah jaminan bahwa seseorang memang bebas dari kilesa.
Saya rasa Anda belum bisa membedakan, smoga salah
. Ada salah satu contoh dalam sutta (saya lupa) orang itu mengatakan Ajaran Sang Buddha mengajarkan ini dan itu(yg bertentangan) lalu dijawab kalau tidak salah muridnya (arahat) Sang Buddha mengatakan bahwa Sang Buddha tidak mengajarkan demikian tetapi yg diajarkan adalah begini dan begitu..(sesuai praktek yg dialami arahat itu). Mungkin disini yg ahli sutta bisa menampilkan yg saya maksud
Sama halnya apa yg tertulis diatas, tidak tahu apakah khotbah asli atau tidak, yg pasti yg ngomong khotbah itu masih ada kilesa, sama dengan perumpamaan diatas. Kenapa? apa yg disampaikan tidak sesuai yg dipraktekan . Dan saya rasa 2 esensi yg bertolak belakang inilah sebagai dasar. Contoh saya : memukul kenyataanya berjabat tangan. Jika demikian apa artinya orang yg mengatakan memukul. artinya bisa bohong atau asal ngomong atau karna ketidak tahuannya. semuanya adalah avija, nah avija kategori kilesa atau bukan?. Smoga ini penjelasan terakhir saya mengenai khotbah bodhidharma. Seperti saya katakan sebelumnya lebih baik Anda renungkan dengan seksama, lalu praktekanlah lebih intens, kalau perlu tanya kepada bhikkhu2 theravada, benar ngak sih praktek jalan kearahatan itu membayangkan nirvana? dan ingat jangan tanya teorinya. Baiklah daripada nanti Anda bingung , selamat merenungkan masuk ke barak batin kembali. Karena apa yg saya lihat adalah fakta2 lapangan yg nyata dan juga pengalaman saya sendiri saat bervipasanna. Memang hal ini sulit dijelaskan mungkin karena ada tulisan " Khotbah Bodhidharma"
Tulisan adalah tulisan, dan tulisan itu kita tidak tahu siapa yg nulis, hal yg paling bisa dibuktikan adalah ketika di praktekan, nah secara praktek tulisan khotbah itu ngawur khusus tulisan "membayangkan. Maaf kalau ada salah kata. Saya tidak menyerang ya....tapi itu fakta. Saya rasa agar suasana kondusif dan tidak semakin bingung, saya rasa cukup membahas mengenai tulisan bodhidharma.
Kasus Ajahn Mahaboowa justru menunjukkan bahwa jangan menunjuk seseorang masih memiliki kilesa atau tidak hanya berdasarkan kata-kata atau perbuatan tampak belaka Smiley Perbuatan bisa sama, tapi kondisi batinnya bisa berbeda. Yang tercerahkan tidak melekat, yang awam masih melekat. Itulah inti perbedaannya, bukan penampilan luar belaka.
Kalau gitu sama2 membunuh, kualitas batin yg satu adalah arahat dan satunya ada kilesa ya.
Metta