Silsilah Penahbisan dalam Tiga Tradisi: Sumbangsih Terhadap PemahamanJudul Asli: Ordination Lineages in the Three Traditions: A Contribution Towards Understanding
Oleh Bhikkhu Sujato
Dari buku “Melihat Tradisi dengan Semangat Sejati”. 2012. Penerbit Dian Dharma. Diterjemahkan Dharma Kesuma.
Bahasa dan penterjemahan dikoreksi dan diselaraskan ulang.
Sumber asli:
https://sites.google.com/site/santipada/paramparaSaat kita melihat para biksu dan biksuni, mereka masing-masing mengenakan jubah-jubah elegan yang berbeda-beda. Adalah alami, jika ingin tahu darimana asalnya beraneka tradisi yang berbeda-beda ini. Dalam tulisan pendek ini, kita akan menelusuri sejarah tradisi monastik Buddhis utama, dimulai dari pangkal mulanya di India
Agama Buddha Pra-SektarianBuddha mengajar selama empat puluh lima tahun, dan dalam waktu tersebut telah mengumpulkan banyak pengikut. Dikembangkanlah tata perilaku yang mengatur gaya hidup para pengikut, dan menjadi terformalisasi. Inilah yang kita sebut sebagai ‘Vinaya’.
Bagian inti dari Vinaya adalah:
-00 Aturan-aturan perilaku, ‘Patimokkha’ atau ‘Pratimoksa’ yang terkenal; dan
-00 Prosedur-prosedur berkenaan tindakan-tindakan kebiaraan, khususnya penahbisan, yang disebut ‘kammavaca’ atau ‘karmavacana’.
Sekarang ini, banyak Vinaya dalam beraneka bahasa: Pali, Sansekerta, China, dan Tibet. Tentu saja, kita dapat menemukan beberapa perbedaan di antara mereka. Tetapi terdapat kesamaan besar antar Vinaya tersebut, khususnya Patimokkha dan kammavaca. Para sarjana telah menyimpulkan bahwa semua Vinaya yang ada, berasal dari Vinaya kuno, yang telah dimulai oleh Buddha, dan disusun tidak lama sesudahnya. Beraneka tradisi telah mengembangkannya secara mendetail, tetapi esensinya tetaplah sama. Kita beranggapan bahwa tradisi Buddha paling dini telah memiliki Vinaya. Dipelajari dan dipraktikkan oleh semua biksu dan biksuni sejak zaman Buddha selama sekitar 100 tahun.
Konsili Kedua dan KetigaTak terhindarkan, secara bertahap mulai terjadi perbedaan-perbedaan di dalam praktik. Pada akhirnya, hal itu menyebabkan krisis di dalam Sangha, yang dibahas dalam ‘Konsili Kedua’, dilaksanakan di Republik Vajjian, di kota Vesali, pada masa Raja Kalasoka dari Magadha.
Tema utamanya adalah kelayakan bagi para biksu untuk menggunakan uang. Tema-tema lainnya juga mendapat perhatian, tetapi dianggap sekunder kepentingannya. Para biksu Vesali, dikenal sebagai ‘Vajjiputaka’ (Para Putra Vajji) secara reguler pergi ke kota-kota sambil membawa mangkuk mereka, untuk mengumpulkan uang. Mereka ditentang oleh para biksu dari distrik barat yang disebut Pava; yang dalam penjelasan tentang Vinaya disebut ‘Paveyyaka’ (Mereka yang berasal dari Pava). Terjadi debat besar, yang dihadiri 700 biksu. Konsili tersebut menunjuk satu grup terdiri dari delapan biksu, masing-masing pihak sebanyak empat orang, untuk membandingkan praktik-praktik Vajjiputaka dengan kata-kata Buddha di dalam Sutta maupun Vinaya. Mereka akhirnya mendukung opini-opini Paveyyaka’. Menjadi jelas bahwa, meskipun para biksu dan biksuni di saat itu mungkin berbeda dalam praktiknya, namun mereka semua mendukung ajaran-ajaran serta tata perilaku yang sama, dan ini adalah standar yang diterima umum. Perhatikan bahwa perbedaan muncul dikarenakan pemisahan geografis, dan didamaikan dengan kembali ke sumber bersama.
Semua [versi] Vinaya sepakat bahwa perselisihan di Vesali telah didamaikan tanpa perpecahan. Tetapi beberapa tahun kemudian, terjadi perselisihan lainnya, bukan tentang Vinaya, tetapi tentang doktrin. Bervariasi kisah tentangnya, karena Konsili tersebut tidak ditemukan di di Vinaya dasar, namun dalam sejarah-sejarah belakangan. Tetapi, sepertinya seorang guru (dipanggil Mahadeva oleh beberapa orang) mengajarkan lima ide yang tidak bisa diterima oleh banyak biksu dan biksuni. Tidak perlu diceritakan secara detil disini, tentang bagaimana kelima ide tersebut. Cukup dikatakan bahwa perselisihannya sebagian besar adalah tentang sifat seorang arahat (siswa tercerahkan). Apakah seorang arahat sungguh-sungguh sepenuhnya terbebas dari segala kemelekatan duniawi maupun ketidaktahuan; ataukah dia masih mengalami ketidaksempurnaan halus? Konsili dilangsungkan di Pataliputra, tidak lama SEBELUM masa Raja Asoka [Raja Dharmasoka, kekaisaran Maurya, memerintah kira-kira 269 SM- 232 SM], untuk mendiskusikan poin-poin ini. Kali ini, pihak-pihak yang bertikai tidak mencapai kesepakatan, dan perpecahan untuk pertama kalinya terjadi sebagai dampaknya.
Kelompok yang mempertanyakan kesempurnaan arahat menjadi mayoritas di pertemuan itu, sehingga disebut sebagai ‘Mahāsaṅghika’. Tidak ada nama yang sungguh-sungguh tepat untuk kelompok satunya, yang mendukung kemurnian mutlak dari arahat. Terkadang, mereka disebut para ‘Thera’ / [Sthavira] (Sesepuh), yang mensiratkan bahwa mereka identik dengan Theravadin dari Sri Lanka. Tetapi, Theravadin hanyalah salah satu cabang dari aliran kuno itu, dan banyak aliran lainnya memiliki pembenaran untuk mengklaim berpangkal dari aliran itu. Karena semua sepakat bahwa kelompok ini memiliki jumlah yang lebih sedikit di Konsili Ketiga [BUKAN Konsili Ketiga versi Mahavamsa, di masa Asoka yg diketuai Mogaliputtatissa] , maka saya menyarankan untuk menyebutnya ‘Culasanghika’ , ‘Sangha Minoritas’, sebagai kebalikan dari ‘Mahasanghika’ , ‘Sangha Mayoritas’.
Beberapa sarjana mencoba mengkoneksikan kejadian Konsili Kedua dengan Ketiga, dan menyatakan bahwa Mahāsaṅghika adalah sama dengan Vajjiputtaka, sementara Culasanghika adalah sama dengan Paveyyaka. Tetapi bukti yang ada tidak mendukung ide tersebut. Ide utama yang diajukan oleh Vajjiputtaka adalah kelayakan bagi biksu atau bikuni untuk menggunakan uang; tetapi Vinaya dari Mahāsaṅghika persis sama dengan aturan Theravada dan semua aliran lainnya berkenaan dengan penggunaan uang. Bahkan, dalam catatan mereka tentang Konsili Kedua, Mahasanghika secara terbuka mengkritik Vajjiputtaka. Selain itu, pada kedua Vinaya , baik Mahasanghika (lebih awal) maupun Lokuttaravada (lebih belakangan) dari aliran ini, mereka yang berlatih menjadi biksuni diharapkan mematuhi delapan belas aturan, dan bukan enam seperti di aliran-aliran lain; dan di antara ke delapan belas aturan itu, larangan untuk menggunakan uang disampaikan dua kali. Jadi, dalam hal ini, Mahasanghika memiliki larangan yang lebih keras terhadap penggunaan uang dibandingkan kedua aliran lainnya.