//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Status Wanita di Tengah Masyarakat Buddhis  (Read 13060 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline F.T

  • Sebelumnya: Felix Thioris, MarFel, Ocean Heart
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.134
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • • Save the Children & Join with - Kasih Dharma Peduli • We Care About Their Future • There Are Our Next Generation.
Status Wanita di Tengah Masyarakat Buddhis
« on: 01 July 2010, 06:34:49 PM »



SUKHA MATTEYATA LOKE

MEMPUNYAI IBU MERUPAKAN SUATU KEBAHAGIAAN DIDUNIA INI

(DHAMMAPADA.332)

Ada sepasang suami istri yang dalam kesehariannya hidup rukun dan harmoni. Sang suami bernama Kana dan istrinya bernama Kani.  Pada suatu hari suaminya membuka pembicaraan dan berkata, “Bu, kelak kalau punya anak, harus laki-laki lho!”. “Kenapa, pak?  Anak perempuan kan sama saja,” sanggah istrinya. “Kamu diberi tahu kok berkata seperti itu.  Kita kan punya usaha dan hanya anak lelaki yang bisa meneruskan usaha kita. Anak perempuan bisa apa, “ kata si Kana. ”Anak perempuan hanya bisa bikin repot. Perempuan itu hanya bisa di dapur” (konco wingking : istilah jawa).

Hari demi hari, bulan demi bulan dan waktu terus bergulir hingga suatu ketika istrinya pun melahirkan anak perempuan. Kana terkejut mendengar anak yang dilahirkan istrinya adalah perempuan. Ia tidak bisa menerima kenyataan. Harapannya menjadi pupus. Hatinya menjadi gundah, jengkel dan larut dalam kekecewaan. Kemarahannya meledak-ledak dan menjadi tidak terkendali. Sempat terlintas dalam pikirannya untuk membuang anak perempuannya.

Sebagian orang menyesal memiliki anak perempuan.  Sebagian lagi menyesal terlahir menjadi perempuan.  Mereka yang menyesal berharap kelak dilahirkan lagi ingin dilahirkan menjadi laki-laki. Mengapa opini ini ada ditengah-tengah masyarakat kita?  Sejak lama manusia terbentuk dengan pola pikir yang menonjolkan dominasi pria dibandingkan dengan wanita.  Pandangan seperti ini turun-temurun hingga sampai sekarang masih ada yang mempertahankannya. Bagaimana dengan Buddha Dhamma?  Buddha Dhamma tidak memandang wanita sebagai makhluk yang rendah.  Wanita punya hak untuk memperbaiki kualitas hidupnya.  Pada saat-saat tertentu Sang Buddha sangat berterima kasih dan memberikan penghargaan kepada wanita yang mempunyai peranan dimasyarakat.

Hal ini dapat kita lihat pada syair Dhammapada yang berbunyi, “Sukha Matteyata Loke”.  Arti dari kalimat tersebut adalah: “Mempunyai ibu merupakan suatu kebahagiaan di dunia ini”.  Sang Buddha sendiri telah memberikan contoh agar semua orang mau menghargai dan menghormati orang tua.  Rasa bakti kepada orang tua harus diwujudkan dalam kehidupan ini.  Walaupun Sang Buddha meninggalkan keluarganya tetapi rasa bakti kepada orang tuanya tidak hilang begitu saja. Beliau justru mempersembahkan persembahan yang luar biasa yakni kebenaran. Di Tavatimsa Loka Beliau memberikan persembahan Dhamma kepada ibu yang telah melahirkan-Nya. Dari peristiwa ini sangat jelas bahwa seorang wanita bukanlah seorang yang harus diperlakukan secara rendah.  Sang Buddha telah memberi contoh dengan mempersembahkan kebenaran sebagai wujud terima kasih dan rasa hormat kepada ibunda-Nya.

Apa yang dilakukan oleh Sang Buddha juga diikuti para siswanya.  Salah satunya adalah Bhante Sariputta yang merupakan siswa utama Sang Buddha.  Beliau setiap hari sebelum tidur, melakukan penghormatan dengan cara bernamakhara pada arah tertentu.  Beliau menjelaskan bahwa arah tersebut adalah tempat dimana ibunya tinggal.  Apa yang dilakukan Bhante Sariputta sangat dipuji oleh Sang Buddha.

Pada suatu ketika Permaisuri Raja Pasenadi melahirkan bayi perempuan, padahal Raja sangat mengharapkan anak laki-laki.  Mendengar berita kelahiran itu Raja menjadi sedih.  Hal ini wajar karena pada waktu itu, kelahiran anak perempuan dianggap mendatangkan bencana. Wanita dianggap sebagai manusia rendah.  Akhirnya Raja Pasenadi pergi menghadap Sang Buddha dan memberitahukan apa yang membuat dirinya sedih.

Sang Buddha dengan bijaksana berkata kepada Raja Pasenadi, “Anak wanita kadang-kadang dapat berperilaku lebih baik daripada anak laki-laki, bimbinglah mereka O Raja. Jika mereka dapat menjadi gadis yang suci, bijaksana, baik hati dan bersikap hormat kepada mertua maka dari istri-istri yang berhati mulia seperti mereka akan lahir anak laki-laki yang gagah berani, yang kemudian hari dapat menjadi Raja yang adil dan bijaksana”.

Pernyataan tersebut dapat dikatakan suatu revolusi terhadap status kaum wanita pada masa itu. Setelah Buddhisme berkembang pesat di India, pandangan terhadap status wanita perlahan-lahan mulai berubah.  Bahkan dalam literature bahasa Pali, menurut Drs Adi Suhardi, dalam bukunya yang berjudul “Status wanita dalam agama Buddha - suatu uraian singkat” dapat dijumpai bahwa kaum wanita mendapat tempat yang terhormat di dalam agama Buddha.

Sang Buddha berkata, “Seseorang menjadi mulia bukan karena kelahiran, seseorang menjadi hina bukan karena kelahiran.  Seseorang menjadi mulia karena perbuatan, seseorang menjadi hina karena perbuatan”. Ajaran Sang Buddha tersebut juga diterapkan para siswa Beliau.  Bhante Ananda juga seorang siswa yang patut dijadikan sebagai teladan.  Pada suatu hari Bhante Ananda melewati sebuah desa.  Ditengah perjalanan berpapasan dengan seorang gadis yang bernama Pakati yang berasal dari kasta rendah. Pada saat itu Bhante Ananda terasa haus dan memohon kepada Pakati untuk menyediakan air minum.  Pakati merasa keliru mendengar, karena itu dengan ragu-ragu dia bertanya kepada Bhante Ananda, “Yang Mulia, saya begitu hina untuk memberikan air, sebab hamba berasal dari kasta rendah”.  Bhante Ananda dengan bijaksana menjawab “Saudari, saya memerlukan air bukan kasta saudari”.  Mendengar jawaban itu, Pakati sangat bahagia dan sangat bergembira.  Biasanya orang memperlakukan dirinya secara hina tetapi sekarang ada orang suci dan mulia mau menghargai dirinya walaupun ia berasal dari kasta rendah.

Di samping itu, Sang Buddha juga merestui didirikannya Sangha Bhikkhuni yang secara langsung mengangkat derajat kaum wanita.   Dengan terbentuknya Sangha Bhikkhuni pada tahun ke lima setelah Sang Buddha mencapai penerangan sempurna maka terbukalah jalan kebebasan bagi kaum wanita untuk menjalankan kegiatan keagamaan yang sebelumnya dibatasi. Dalam sangha Bhikkhuni dapat dijumpai siswa-siswa yang berasal dari latar belakang yang tidak sama. Banyak dijumpai siswa-siswa Sang Buddha yang berasal dari kaum wanita seperti Maha Pajapati, Sukha, Patacara, Khema, Dhammadina, Upplavana, Sanghamitta Theri, Punna, Punnika dan masih banyak lagi yang lainnya.

Dengan adanya sangha Bhikkhuni pada waktu itu, Sang Buddha telah memberikan kesempatan kepada kaum wanita untuk berpikir dan menentukan jalan hidup mereka sendiri.  Bahkan Dhamma yang dibabarkan dengan sangat jelas dan sempurna oleh Sang Buddha banyak membebaskan wanita dari belenggu-belenggu pandangan keliru pada waktu itu.  Wanita tidak lagi ditindas sebagai objek pemuas jasmaniah belaka, tetapi perlu disadari bahwa kaum wanita dapat mencapai kesempurnaan tertinggi sebagai wanita terhormat.  Menurut para peneliti, kebanyakan Negara Buddhis memperlakukan kaum wanita setara dengan pria.  Negara-negara tersebut adalah Thailand, Myanmar, Tibet, Laos, Kamboja dan Negara Buddhis lainnya.  Ini membuktikan bahwa Buddha Dhamma sangat menghargai hak-hak kaum wanita, dan yang lebih jelas lagi wanita dapat mencapai tingkat batin tertinggi.  Ditengah-tengah masyarakat Buddhis kaum wanita sangat dihargai dan dihormati bukan sebagai manusia yang rendah dan hina.

Ringkasan materi oleh Bhikkhu Abhayanando  


Save the Children & Join With :
Kasih Dharma Peduli ~ Anak Asuh
May all Beings Be Happy


Contact Info : Kasihdharmapeduli [at] yahoo.com

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: Status Wanita di Tengah Masyarakat Buddhis
« Reply #1 on: 01 July 2010, 06:37:21 PM »
nice post bro... (sayang ga bisa double krm GRP)

mettacittena,

Offline Shining Moon

  • Sebelumnya: Yuri-chan, Yuliani Kurniawan
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.148
  • Reputasi: 131
Re: Status Wanita di Tengah Masyarakat Buddhis
« Reply #2 on: 01 July 2010, 08:50:48 PM »
kok, ada yang pernah bilang kalau dalam agama Buddha malah menjadi cewek sebenernya kamma baiknya kurang ya (kurang beruntung)...
ada yang bisa jelasin atau konfirmasi nggak sih?
Life is beautiful, let's rock and roll..

Offline sukuhong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 279
  • Reputasi: 8
Re: Status Wanita di Tengah Masyarakat Buddhis
« Reply #3 on: 02 July 2010, 06:20:35 AM »
kok, ada yang pernah bilang kalau dalam agama Buddha malah menjadi cewek sebenernya kamma baiknya kurang ya (kurang beruntung)...
ada yang bisa jelasin atau konfirmasi nggak sih?

itu hanya pendapat2 pribadi, boleh2 saja.
kamsia
« Last Edit: 02 July 2010, 06:45:13 AM by sukuhong »

Offline sukuhong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 279
  • Reputasi: 8
Re: Status Wanita di Tengah Masyarakat Buddhis
« Reply #4 on: 02 July 2010, 06:36:09 AM »
kok, ada yang pernah bilang kalau dalam agama Buddha malah menjadi cewek sebenernya kamma baiknya kurang ya (kurang beruntung)...
ada yang bisa jelasin atau konfirmasi nggak sih?
kamma kurang beruntung/kamma buruk tidak sama dengan status
disini yang dibahas adalah status, terhomat atau terhina.
terlahir jadi pria, jadi dewa atau mahkluk2 lainnya juga bisa dapat 'kamma kurang beruntung'/kamma buruk.
kalau ada yang bilang lahir jadi wanita kamma kurang beruntung, ya udah ! nikmati aja kehidupan ini, perbanyaklah berbuat kebajikan serta bertekadlah utk kelahiran berikutnya jangan jadi wanita lagi, kalau memang jadi terlahir jadi wanita 'tidak nyaman'. ^-^
Jaman Buddha banyak wanita bisa mencapai Nibbana, seperti cerita diatas dan sutta lainnya.
jadi sudah terbukti bahwa status lahir jadi wanita atau pria tidaklah masalah, dan tidak perlu disesalkan.
Berbahagialah kita yang bisa mengenal Buddha Dhamma ! karena kita dapat mengenal 'kita ini makhluk apa dan siapa ? dan harus berbuat apa dalam kehidupan ini supaya kehidupan berikutnya bisa lebih baik !

Jadi terlahir jadi wanita akibat kamma kurang beruntung !
IMO bisa Ya dan bisa Tidak !

kamsia
« Last Edit: 02 July 2010, 06:43:25 AM by sukuhong »

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Status Wanita di Tengah Masyarakat Buddhis
« Reply #5 on: 02 July 2010, 09:06:05 AM »
kok, ada yang pernah bilang kalau dalam agama Buddha malah menjadi cewek sebenernya kamma baiknya kurang ya (kurang beruntung)...
ada yang bisa jelasin atau konfirmasi nggak sih?
Dikatakan menjadi wanita memiliki 3 kesulitan:
1. Menstruasi, 2. Hamil & melahirkan, 3. Perbedaan status sosial dalam masyarakat.

Terlepas dari 3 kesulitan yang umum dialami wanita itu, seseorang terlahir menjadi wanita adalah sesuai kammanya masing-masing, tetapi belum tentu karena kamma buruk. Contoh gampangnya, Agga-Savika (Khema & Uppalavana) dan 13 Maha-savika, termasuk Yasodhara istri Bodhisatta, semuanya dulu bertekad untuk pencapaiannya sebagai agga-savika & maha-savika. Dan mereka mencapai hal tersebut, tentunya bukan karena kamma buruk.


Offline wong cilik

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 48
  • Reputasi: 4
  • Gender: Female
  • Be Simple Be Humble
Re: Status Wanita di Tengah Masyarakat Buddhis
« Reply #6 on: 02 July 2010, 01:47:11 PM »
[kok, ada yang pernah bilang kalau dalam agama Buddha malah menjadi cewek sebenernya kamma baiknya kurang ya (kurang beruntung)...
ada yang bisa jelasin atau konfirmasi nggak sih?



TERLAHIR SEBAGAI WANITA KARENA KARMA BAIKKNYA KURANG?

Secara pribadi sih, saya gak beranggapan begitu yach. Ada banyak kebahagiaannya juga kok jadi wanita.

Memang ada anggapan bahwa hasil dari melakukan perzinahan (kāmesumicchācārā) dapat menyebabkan seseorang terlahir sebagai wanita.  Ada penjelasan dalam hal ini di dalam link berikut:

http://www.aimwell.org/Books/Pesala/Kamma/kamma.html

(Sexual Misconduct (kāmesumicchācārā) is the enjoyment of sexual intercourse with unsuitable persons. A good rule of thumb for modern people is, “If my parents or my partner’s parents know we are doing this, will they be unhappy?” The evil effects of sexual misconduct are: having many enemies, getting an unsuitable spouse, rebirth as a women, or rebirth as a transsexual.)

Namun kita tentunya juga harus mengacu kepada Tipiṭaka atau Aṭṭhakathā untuk melihat kebenaran hal ini. Sayangnya sejauh ini saya belum menemukannya. Bagi yang sudah menemukannya mohon diajarkan ke saya.


LUKEWARM (Hangat-Hangat Kuku)
Menambahi bahasan saja sih. Saya mendengar dari guru saya istilah LUKE WARM (hangat-hangat kuku) untuk menggambarkan posisi wanita dalam Buddhisme (khususnya Theravāda, karena pada saat itu bahasan kami tentang Theravāda). Saya telah tidak begitu jelas memahami apa itu “lukewarm”. Saya menangkapnya bahwa ada semacam sikap “iya dan tidak” dalam mengakui “dignity” dari wanita dalam “present Buddhism” atau agama Buddha sebagaimana yang kita temui saat ini. Saya menyebut “agama Buddha saat ini” karena biar tidak mencampurkannya dengan pandangan asli dari Sang Buddha. Dari sisi mana pun, saya yakin bahwa Sang Buddha adalah seseorang yang sadar gender dan mengakui kedudukan wanita dan pria pada proporsi yang sebagai mana apa adanya. Kalau sampai “lukewarm” ini terjadi, mungkin karena adanya interpretasi-interpretasi dari para murid beliau saja.

Contoh tentang “lukewarm”. Lihat saja, di satu sisi ada pernyataan-pernyataan bahwa ada kemungkinan mencapai pembebasan bagi setiap manusia, pria dan wanita tanpa terkecuali seperti disebutkan di dalam atikel Dhamma oleh Bhante Abhayanando tersebut. Contoh lain terdapat di dalam Therīgātha 129 yang dengan jelas menyebutkan bahwa “tidak ada perbedaan antara pria dan wanita ketika pikiran telah terkonsentrasikan dan Dhamma bersinar dengan terangnya di dalam diri seseorang (“Itthibhāvo no kiṃ kayirā, cittamhi susamāhite; Ñāṇamhi vattamānamhi, sammā dhammaṃ vipassato).

 Namun ada juga anggapan yang menyebutkan bahwa terlahir sebagai wanita adalah hasil karma buruk. Selain itu, ada juga peraturan vinaya yang menyebutkan bahwa ordinasi wanita menjadi bhikkhuni membuat umur agama Buddha hanya bertahan 500 tahun. Selanjutnya, seperti penjelasan yang terdapat di dalam Cullavagga Vinaya Piṭaka (Cūḷavagga VI. 1290), ordinasi wanita adalah seperti hadirnya penyakit pada tanaman padi (setaṭthika) dan seperti penyakit pada tanaman tebu (mañjiṭṭhika). 

Benar atau tidaknya anggapan ‘lukewarm” ini, perlu penelitian lagi. Kalau memang tidak ada,,,,,itulah yang seharusnya.

Salam Metta
Wong Cilik.

« Last Edit: 02 July 2010, 01:54:18 PM by wong cilik »

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: Status Wanita di Tengah Masyarakat Buddhis
« Reply #7 on: 03 July 2010, 02:37:53 AM »
[kok, ada yang pernah bilang kalau dalam agama Buddha malah menjadi cewek sebenernya kamma baiknya kurang ya (kurang beruntung)...
ada yang bisa jelasin atau konfirmasi nggak sih?



TERLAHIR SEBAGAI WANITA KARENA KARMA BAIKKNYA KURANG?

Secara pribadi sih, saya gak beranggapan begitu yach. Ada banyak kebahagiaannya juga kok jadi wanita.

Memang ada anggapan bahwa hasil dari melakukan perzinahan (kāmesumicchācārā) dapat menyebabkan seseorang terlahir sebagai wanita.  Ada penjelasan dalam hal ini di dalam link berikut:

http://www.aimwell.org/Books/Pesala/Kamma/kamma.html

(Sexual Misconduct (kāmesumicchācārā) is the enjoyment of sexual intercourse with unsuitable persons. A good rule of thumb for modern people is, “If my parents or my partner’s parents know we are doing this, will they be unhappy?” The evil effects of sexual misconduct are: having many enemies, getting an unsuitable spouse, rebirth as a women, or rebirth as a transsexual.)

Namun kita tentunya juga harus mengacu kepada Tipiṭaka atau Aṭṭhakathā untuk melihat kebenaran hal ini. Sayangnya sejauh ini saya belum menemukannya. Bagi yang sudah menemukannya mohon diajarkan ke saya.

Bisa dibaca di Dighanikāya aṭṭhakathā 3, 869. Juga ada kaitannya dengan pernyataan di Vinaya aṭṭhakathā 1, 273.

Quote
Contoh lain terdapat di dalam Therīgātha 129 yang dengan jelas menyebutkan bahwa “tidak ada perbedaan antara pria dan wanita ketika pikiran telah terkonsentrasikan dan Dhamma bersinar dengan terangnya di dalam diri seseorang (“Itthibhāvo no kiṃ kayirā, cittamhi susamāhite; Ñāṇamhi vattamānamhi, sammā dhammaṃ vipassato).

Bagaimana seseorang membedakan dirinya sebagai wanita atau laki2, jika kecenderungan atau konsep wanita dan laki2 telah hilang di saat pikiran terkonsentrasi? Namun saya pikir, ketika pikiran kembali kepada kondisi normal pembedaan tersebut pasti ada lagi. :)

Quote
Namun ada juga anggapan yang menyebutkan bahwa terlahir sebagai wanita adalah hasil karma buruk.

Di pernyataan dalam aṭṭhakathā saya sebutkan di atas, ada indikasi demikian. Ada pendapat?

Quote
Selain itu, ada juga peraturan vinaya yang menyebutkan bahwa ordinasi wanita menjadi bhikkhuni membuat umur agama Buddha hanya bertahan 500 tahun.

Saya melihatnya bukan sebagai peraturan, namun hanya sekedar pernyataan.

Quote
Selanjutnya, seperti penjelasan yang terdapat di dalam Cullavagga Vinaya Piṭaka (Cūḷavagga VI. 1290), ordinasi wanita adalah seperti hadirnya penyakit pada tanaman padi (setaṭthika) dan seperti penyakit pada tanaman tebu (mañjiṭṭhika).

Namun juga  lihat lagi perumpamaan yang paling akhir. Dan btw, prediksi tentang bertahannya Sāsana selama 500 tahun dan perumpamaan2 di atas ada kaitannya. Lebih baik seluruh cerita diikutsertakan.


Offline wong cilik

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 48
  • Reputasi: 4
  • Gender: Female
  • Be Simple Be Humble
Re: Status Wanita di Tengah Masyarakat Buddhis
« Reply #8 on: 03 July 2010, 09:13:45 AM »


TERLAHIR SEBAGAI WANITA KARENA KARMA BAIKKNYA KURANG?

Secara pribadi sih, saya gak beranggapan begitu yach. Ada banyak kebahagiaannya juga kok jadi wanita.

Memang ada anggapan bahwa hasil dari melakukan perzinahan (kāmesumicchācārā) dapat menyebabkan seseorang terlahir sebagai wanita.  Ada penjelasan dalam hal ini di dalam link berikut:

http://www.aimwell.org/Books/Pesala/Kamma/kamma.html

(Sexual Misconduct (kāmesumicchācārā) is the enjoyment of sexual intercourse with unsuitable persons. A good rule of thumb for modern people is, “If my parents or my partner’s parents know we are doing this, will they be unhappy?” The evil effects of sexual misconduct are: having many enemies, getting an unsuitable spouse, rebirth as a women, or rebirth as a transsexual.)

Namun kita tentunya juga harus mengacu kepada Tipiṭaka atau Aṭṭhakathā untuk melihat kebenaran hal ini. Sayangnya sejauh ini saya belum menemukannya. Bagi yang sudah menemukannya mohon diajarkan ke saya.
[/quote]

Bisa dibaca di Dighanikāya aṭṭhakathā 3, 869. Juga ada kaitannya dengan pernyataan di Vinaya aṭṭhakathā 1, 273.

 Namun ada juga anggapan yang menyebutkan bahwa terlahir sebagai wanita adalah hasil karma buruk.
[/quote]

Di pernyataan dalam aṭṭhakathā saya sebutkan di atas, ada indikasi demikian. Ada pendapat?



Benar sekali samanera, di dalam Dīgha Nikāya Aṭṭhakathā III. 869 ada kutipan yang menyatakan bahwa terlahir sebagai wanita adalah hasil dari melakukan kāmesumicchācāra "Itthiyā cāti yā pubbe manussakāle itthī, tassa itthiliṅgaṃ pātubhavati, pubbe purisassa purisaliṅgaṃ. Mātugāmo nāma hi purisattabhāvaṃ labhanto anupubbena purisattapaccaye dhamme pūretvā labhati. Puriso itthattabhāvaṃ labhanto kāmesumicchācāraṃ nissāya labhati. Tadā pana pakatiyā mātugāmassa itthiliṅgaṃ, purisassa purisaliṅgaṃ pāturahosi. Upanijjhāyatanti upanijjhāyantānaṃ olokentānaṃ. Pariḷāhoti rāgapariḷāho. Seṭṭhinti chārikaṃ. Nibbuyhamānāyāti niyyamānāya."

Apa pendapat samanera tentang pernyataan ini? Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa "loh ini kan munculnya di Aṭṭhakathā saja bukan di kanon". Atau diterima saja bahwa terlahir sebagai wanita itu hasil dari karma buruk, jadi gak usah ngeyel.

Terima kasih

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: Status Wanita di Tengah Masyarakat Buddhis
« Reply #9 on: 03 July 2010, 09:35:42 AM »
Benar sekali samanera, di dalam Dīgha Nikāya Aṭṭhakathā III. 869 ada kutipan yang menyatakan bahwa terlahir sebagai wanita adalah hasil dari melakukan kāmesumicchācāra "Itthiyā cāti yā pubbe manussakāle itthī, tassa itthiliṅgaṃ pātubhavati, pubbe purisassa purisaliṅgaṃ. Mātugāmo nāma hi purisattabhāvaṃ labhanto anupubbena purisattapaccaye dhamme pūretvā labhati. Puriso itthattabhāvaṃ labhanto kāmesumicchācāraṃ nissāya labhati. Tadā pana pakatiyā mātugāmassa itthiliṅgaṃ, purisassa purisaliṅgaṃ pāturahosi. Upanijjhāyatanti upanijjhāyantānaṃ olokentānaṃ. Pariḷāhoti rāgapariḷāho. Seṭṭhinti chārikaṃ. Nibbuyhamānāyāti niyyamānāya."

Apa pendapat samanera tentang pernyataan ini? Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa "loh ini kan munculnya di Aṭṭhakathā saja bukan di kanon". Atau diterima saja bahwa terlahir sebagai wanita itu hasil dari karma buruk, jadi gak usah ngeyel.

Terima kasih


JIka kita menyimak pernyataan di kitab komentar di atas, pada dasarnya, secara alami, mereka yang terlahir sebagai wanita di kehidupan lampau akan terlahir sebagai wanita di kehidupan ini, dan mereka yang terlahir sebagai laki2 di kehidupan lampau akan terlahir sebagai laki2 di kehidupan ini. Namun, seorang laki-laki, karena akibat perzinahan, akan terlahir sebagai perempuan. Di sini ada dua hal. Pertama, wanita yang terlahir sebagai wanita muncul bukan karena karma buruk namun karena sifat alaminya demikian. Akan tetapi, laki2 yang terlahir sebagai perempuan terjadi karena akibat dari perzinahan. Masuk akal!

Dan saya setuju dengan saudara Kainyn_kutho bahwa tidak semua wanita terlahir sebagai wanita karena karma buruknya. Contoh, untuk menjadi salah satu dari aggasāvikā, seseorang harus memupuk karma baik yang tidak terhitung jumlahnya.

Kitab komentar di atas juga memberikan pernyataan bahwa seorang wanita pun juga bisa terlahir sbagai laki2. Jadi kalau anda mau terlahir sebagai laki2, ada kesempatan juga lho.  ;D
« Last Edit: 03 July 2010, 09:42:34 AM by Peacemind »

Offline wong cilik

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 48
  • Reputasi: 4
  • Gender: Female
  • Be Simple Be Humble
Re: Status Wanita di Tengah Masyarakat Buddhis
« Reply #10 on: 03 July 2010, 09:41:05 AM »
Selain itu, ada juga peraturan vinaya yang menyebutkan bahwa ordinasi wanita menjadi bhikkhuni membuat umur agama Buddha hanya bertahan 500 tahun.

Saya melihatnya bukan sebagai peraturan, namun hanya sekedar pernyataan.

Selanjutnya, seperti penjelasan yang terdapat di dalam Cullavagga Vinaya Piṭaka (Cūḷavagga VI. 1290), ordinasi wanita adalah seperti hadirnya penyakit pada tanaman padi (setaṭthika) dan seperti penyakit pada tanaman tebu (mañjiṭṭhika).

Namun juga  lihat lagi perumpamaan yang paling akhir. Dan btw, prediksi tentang bertahannya Sāsana selama 500 tahun dan perumpamaan2 di atas ada kaitannya. Lebih baik seluruh cerita diikutsertakan.


Iya dech...sebagai pernyataan, BUKAN peraturan. Maaf, suka kebawa pemikiran bahwa vinaya itu selalu peraturan

Soal anggapan bahwa umur agama Buddha hanya akan betahan 500 tahun mungkin sudah banyak dibicarakan orang dan juga sudah kebukti bahwa sampai saat ini pun masih ada agama Buddha yang berusia lebih dari  2500 tahun. Apa sih sebenarnya maksud dari pernyataan ini? 500 tahun yang mana?


Apa pendapat samanera menanggapi perumpamaan bahwa ordinasi wanita adalah seperti penyakit pada tanaman padi dan tebu?


Apa memang ada sikap LUKEWARM dalam agama Buddha Theravāda terhadap wanita?



Terima kasih _/\_
« Last Edit: 03 July 2010, 10:04:17 AM by wong cilik »

Offline wong cilik

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 48
  • Reputasi: 4
  • Gender: Female
  • Be Simple Be Humble
Re: Status Wanita di Tengah Masyarakat Buddhis
« Reply #11 on: 03 July 2010, 09:55:41 AM »
Benar sekali samanera, di dalam Dīgha Nikāya Aṭṭhakathā III. 869 ada kutipan yang menyatakan bahwa terlahir sebagai wanita adalah hasil dari melakukan kāmesumicchācāra "Itthiyā cāti yā pubbe manussakāle itthī, tassa itthiliṅgaṃ pātubhavati, pubbe purisassa purisaliṅgaṃ. Mātugāmo nāma hi purisattabhāvaṃ labhanto anupubbena purisattapaccaye dhamme pūretvā labhati. Puriso itthattabhāvaṃ labhanto kāmesumicchācāraṃ nissāya labhati. Tadā pana pakatiyā mātugāmassa itthiliṅgaṃ, purisassa purisaliṅgaṃ pāturahosi. Upanijjhāyatanti upanijjhāyantānaṃ olokentānaṃ. Pariḷāhoti rāgapariḷāho. Seṭṭhinti chārikaṃ. Nibbuyhamānāyāti niyyamānāya."

Apa pendapat samanera tentang pernyataan ini? Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa "loh ini kan munculnya di Aṭṭhakathā saja bukan di kanon". Atau diterima saja bahwa terlahir sebagai wanita itu hasil dari karma buruk, jadi gak usah ngeyel.

Terima kasih


JIka kita menyimak pernyataan di kitab komentar di atas, pada dasarnya, secara alami, mereka yang terlahir sebagai wanita di kehidupan lampau akan terlahir sebagai wanita di kehidupan ini, dan mereka yang terlahir sebagai laki2 di kehidupan lampau akan terlahir sebagai laki2 di kehidupan ini. Namun, seorang laki-laki, karena akibat perzinahan, akan terlahir sebagai perempuan. Di sini ada dua hal. Pertama, wanita yang terlahir sebagai wanita muncul bukan karena karma buruk namun karena sifat alaminya demikian. Akan tetapi, laki2 yang terlahir sebagai perempuan terjadi karena akibat dari perzinahan. Masuk akal!

Dan saya setuju dengan saudara Kainyn_kutho bahwa tidak semua wanita terlahir sebagai wanita karena karma buruknya. Contoh, untuk menjadi salah satu dari aggasāvikā, seseorang harus memupuk karma baik yang tidak terhitung jumlahnya.

Kitab komentar di atas juga memberikan pernyataan bahwa seorang wanita pun juga bisa terlahir sbagai laki2. Jadi kalau anda mau terlahir sebagai laki2, ada kesempatan juga lho.  ;D


Ada 2 kemungkinan: Wanita yang terlahir sebagai wanita karena sikap alami dan Pria yang terlahir sebagai wanita karena melakukan kamesumicchācāra. Dengan demikian,  karena jumlah wanita di dunia ini lebih banyak daripada pria, berarti ada BANYAK pria yang suka melakukan kāmesumicchācāra sebelumnya. Masuk akal juga!!!!!!! Hehehe...........


Terlahir jadi laki-laki????? Ah tidak ah, untuk apa? Kan sudah jelas-jelas disebutkan dan dinyatakan bahwa "semua manusia, pria dan wanita bisa mencapai kesucian pada kehidupan saat ini juga".  Jadi saya menerima kenyataan bahwa saya adalah wanita dengan bahagia samanera.

Terima kasih

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: Status Wanita di Tengah Masyarakat Buddhis
« Reply #12 on: 03 July 2010, 10:08:12 AM »
Selain itu, ada juga peraturan vinaya yang menyebutkan bahwa ordinasi wanita menjadi bhikkhuni membuat umur agama Buddha hanya bertahan 500 tahun.

Saya melihatnya bukan sebagai peraturan, namun hanya sekedar pernyataan.

Selanjutnya, seperti penjelasan yang terdapat di dalam Cullavagga Vinaya Piṭaka (Cūḷavagga VI. 1290), ordinasi wanita adalah seperti hadirnya penyakit pada tanaman padi (setaṭthika) dan seperti penyakit pada tanaman tebu (mañjiṭṭhika).

Namun juga  lihat lagi perumpamaan yang paling akhir. Dan btw, prediksi tentang bertahannya Sāsana selama 500 tahun dan perumpamaan2 di atas ada kaitannya. Lebih baik seluruh cerita diikutsertakan.


Iya dech...sebagai pernyataan, BUKAN peraturan. Maaf, suka kebawa pemikiran bahwa vinaya itu selalu peraturan

Soal anggapan bahwa umur agama Buddha hanya akan betahan 500 tahun mungkin sudah banyak dibicarakan orang dan juga sudah kebukti bahwa sampai saat ini pun masih ada agama Buddha yang berusia lebih dari  2500 tahun. Apa sih sebenarnya maksud dari pernyataan ini? 500 tahun yang mana?

Memang Sang Buddha mengatakan bahwa umur Sāsana seharusnya 1000 tahun namun karena masuknya para wanita ke dalam Sāsana, umurnya menjadi hanya 500 tahun. Sang Buddha memberikan perumpaan seperti rumah yang dihuni wanita saja, tebu yang berpenyakit, dll - ini adalah perumpamaan bagaimana dengan dimasukkannya wanita ke dalam Sangha, umur Sangha akan menjadi berkurang karena penyakit2 tersebut. Namun demikian, dalam perumpaman terakhir yakni perumpamaan bendungan yang akan mampu menampung air yang meluap menunjukkan bahwa bahaya2 demikian telah lenyap terutama dengan diterimanya aṭṭhagarudhammā. Dengan lenyapnya bahaya2 tersebut, maka umur sāsana masih mencapai 1000 tahun. Hal ini diterima oleh Theravāda dalam kitab komentarnya. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah jika umur Sāsana hanya mencapai 1000 tahun, mengapa sekarang masih ada sāsana? Kitab komentar dari Bhikkhunikkhandhaka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 1000 tahun di sini adalah masa di mana para arahat yang memiliki tevijja (tiga pengetahuan tinggi) masih ditemukan. Pada kenyataannya, Dhamma masih bisa direalisasi oleh manusia dalam jangka 5000 tahun. Kitab komentar mengatakan demikian:
1. 1000 tahun pertama sejak Sang Buddha mencapai penerangan sempurna, masih ditemukan arahat yang dibekali tevijja. Ini adalah1000 tahun yang dimaksud Sang Buddha sebagai umur Sāsana.
2. 1000 tahun kedua masih ditemukan arahat sukkavipassaka.
3. 1000 tahun ketiga masih ditemukan anagami. Ini adalah masa kita sekarang.
4. 1000 tahun keempat masih ditemukan sakadagami.
5. 1000 tahun kelima masih ditemukan sotapanna.

Quote
Apa pendapat samanera menanggapi perumpamaan bahwa ordinasi wanita adalah seperti penyakit pada tanaman padi dan tebu?

Menurut pendapat saya begini. Pada awalnya, Sangha hanya terdiri dari para laki2 saja. Seperti yang diketahui,  dalam kehidupan selibat untuk para laki2, kecenderungan nafsu terhadap wanita merupakan penghalang yang sangat sukar dihilangkan. Kita bisa melihat bagaimana Sang Buddha dalam khotbah2nya menasehati para bhikkhu untuk melihat bahaya yanng muncul karena kecenderungan terhadap wanita. ANguttaranikaya bagian pertama mengatakan bahwa tidak ada bentuk2, suara, bebauan, rasa, sentuhan dan pemikiran lain yang begitu membuat laki2 terobsesi kecuali bentuk2, suara, bebauan, rasa, sentuhan dan pemikiran yang muncul karena wanita. Catumasutta dari Majjhimanikāya juga mengatakan bahwa wanita diibaratkan seperti hiu bagi seorang bhikkhu. Oleh karena itu, Sang Buddha mengaatakan, 'itthimalaṃ brahmacariyaṃ' - 'wanita adalah noda bagi kehidupan selibat'. Melihat bahaya yang ditimbulkan dari nafsu seks atau semacamnya terhadap wanita, sangat maklum dikatakan bahwa masuknya wanita kedalam kehidupan Sangha bisa merupakan penyakit bagi Sanghabhikkhu yang telah muncul terlebih dahulu. Oleh karena itu, untuk menghindari bahaya2 tersebut, Sang Buddha menetapkan aṭṭhagarudhamma kepada Sangha bhikkhuni.

Quote
Apa memang ada sikap LUKEWARM dalam agama Buddha Therāvada terhadap wanita?[/b]

Kalau saya sih melihat positifnya aja, daripada negatifnya. Saya yakin bahwa yang dilakukan para maha thera ada maksud baiknya dan tentu ada alasan yang baik.

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: Status Wanita di Tengah Masyarakat Buddhis
« Reply #13 on: 03 July 2010, 10:13:30 AM »
Ada 2 kemungkinan: Wanita yang terlahir sebagai wanita karena sikap alami dan Pria yang terlahir sebagai wanita karena melakukan kamesumicchācāra. Dengan demikian,  karena jumlah wanita di dunia ini lebih banyak daripada pria, berarti ada BANYAK pria yang suka melakukan kāmesumicchācāra sebelumnya. Masuk akal juga!!!!!!! Hehehe...........

yap betul-betul... termasuk anda mungkin. Hehehe..... ;D Just joking. Btw, sifat alami lho... bukan sikap alami.

Quote
Terlahir jadi laki-laki????? Ah tidak ah, untuk apa? Kan sudah jelas-jelas disebutkan dan dinyatakan bahwa "semua manusia, pria dan wanita bisa mencapai kesucian pada kehidupan saat ini juga".  Jadi saya menerima kenyataan bahwa saya adalah wanita dengan bahagia samanera.

Well, up to you aja....

Offline dukun

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 148
  • Reputasi: 8
  • Long lasting love
Re: Status Wanita di Tengah Masyarakat Buddhis
« Reply #14 on: 03 July 2010, 10:45:13 AM »
-
Quote
wrote by Peacemind
Pada kenyataannya, Dhamma masih bisa direalisasi oleh manusia dalam jangka 5000 tahun. Kitab komentar mengatakan demikian:
1. 1000 tahun pertama sejak Sang Buddha mencapai penerangan sempurna, masih ditemukan arahat yang dibekali tevijja. Ini adalah1000 tahun yang dimaksud Sang Buddha sebagai umur Sāsana.
2. 1000 tahun kedua masih ditemukan arahat sukkavipassaka.
3. 1000 tahun ketiga masih ditemukan anagami. Ini adalah masa kita sekarang.
4. 1000 tahun keempat masih ditemukan sakadagami.
5. 1000 tahun kelima masih ditemukan sotapanna.

Khusus penyataan yang di bold saya ingin menanyakan bahwa apakah berarti di jaman sekarang ini tidak ada lagi  arahat?
mengingat itu kitab komentar adakah pendukungnya dari sutta ataupun abhidhamma? Terima kasih sebelumnya.
Everjoy