bagian 2 (end)
Dewa Mara pun amat terkejut mendengarnya. Kesombongan dan keangkuhan kembali mengendalikan batinnya. Dengan marahnya ia terbang mencari pertolongan pada dewa Catumaharajika. Namun, dewa-dewa Catumaharajika hanya bisa menjawab :
'Tuanku, Tuan saja yang lebih sakti dari kami tak mampu melepasnya. Apalagi kami.'
Begitupun ketika minta pertolongan pada dewa-dewa yang lebih tinggi dari dewa-dewa Catumaharajika, seperti Yamadhiraja dan lain-lain.
Mereka menjawab :
'Tuanku, Tuan saja yang lebih sakti dari kami tak mampu melepasnya. Apalagi kami.'
Mendengar jawaban itu, ia tak segera putus asa. Ia terbang menemui dewa Brahma bahkan Maha Brahma untuk minta pertolongan melepas bangkai anjing yang menjijikkan itu dari lehernya.
'Wahai Maha Brahma yang sakti dan baik hati, tolong lepaskan bangkai anjing ini dari leher saya. Bangkai anjing ini semakin lama semakin busuk saja.'
'Sayang sekali, dewa Mara. Bukannya kami tak mau menolong Anda. Tapi, sebenarnyalah, tak seorang pun dewa atau Brahma di tiga alam ini yang mampu melepas bangkai yang menghiasi leher Anda itu. Hanya ada satu orang yang mampu melakukannya.'
'Katakanlah Tuan, siapa yang mampu melakukannya?' tanya dewa Mara penuh harap. Tapi, jawaban Maha Brahma membuatnya berkecil hati kembali.
'Dia adalah Upagupta Thera, Buddhasavaka yang telah mencapai Kearahatan dan mempunyai Chalabhinna.'
'Murid Gotama itu telah menyiksaku. Tolong nasehatkan padaku, apakah aku harus merengek-rengek padanya? Maha Brahma, saya merasa keberatan berhadapan muka dengannya. Hendak ditaruh dimanakah muka saya ini?'
'Wahai dewa Mara. Kami nasehatkan, kembalilah padanya. Sang Thera adalah seorang yang penuh metta seperti Buddha Gotama gurunya. Atau Anda menunggu hingga Sang Thera Parinibbana? Lalu, siapa pula yang mampu melepas bangkai itu dari leher Anda? Apakah Anda menghendaki perhiasan itu selama hidup Anda?'
Maka, dewa Mara pun berpikir : 'Baiklah! Kalau memang hanya bhikkhu itu yang mampu melepaskannya, aku akan pergi padanya. Bila telah terbebas dari bangkai menjijikkan ini, aku akan pergi dan tak ingin melihat mukanya lagi.'
Setelah berpamitan, maka ia kembali ke dunia menemui bhikkhu Upagupta.
Bhikkhu Upagupta duduk samadhi di kaki gunung Himalaya, seolah sedang menunggu kedatangan dewa Mara. Dewa Mara duduk di hadapan Sang Thera, menunggu dengan tertibnya.
'Dewa yang baik, kau telah kembali rupanya. Kemana saja selama ini?' tegur Sang Thera. Mendengar pertanyaan ini, makin guguplah ia, seperti seorang anak nakal yang ditegur ayahnya.
'Bhante, lepaskanlah bangkai ini dari leher saya.' Hanya itu yang diucapkannya. Sang Thera pun tahu bahwa dewa sakti itu masih tetap dikuasai kesombongan dan keangkuhan.
Bhikkhu Upagupta berdiri. Melolos ikat pinggangnya serta melemparkannya pada dewa Mara. Ikat pinggang itu memanjang di udara, jatuh tepat di tubuh dewa Màra, membelit, mengikat tubuh dewa Mara.
Tubuh yang telah terikat erat dan tak bisa berkutik itu dijinjing oleh
Sang Thera, dibawa terbang menuju puncak gunung Himalaya.
'Lebih baik kau beristirahat di sini selama perhelatan yang diadakan Asoka Maharaja berlangsung. Dengan begini, kau tak bisa mengganggunya,' kata bhikkhu Upagupta sambil mengikat tubuh dewa Mara pada puncak Himalaya. Dan Sang Thera pun beradhitthana :
'Tak seorang pun, dewa bahkan Brahma yang akan mampu melepaskanmu.' Dan ditinggalnya Mara terikat sendirian di atas sana selama tujuh tahun, tujuh bulan dan tujuh hari. Alangkah menderitanya dewa malang itu. Ia hanya bisa mengerang, mengeluh dan meronta tanpa bisa melepaskan diri.
*******
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan pun berganti tahun. Akhirnya, tiba pula saatnya perayaan meriah itu paripurna. Bhikkhu Upagupta pergi ke tempat dewa Mara terikat sedang merenungi dan meratapi nasibnya tanpa bisa dilihat oleh dewa Mara. Sang Thera sengaja tak menampakkan diri agar bisa tahu apakah dewa Mara telah jera atau belum.
Mara yang tahu bahwa hari itu adalah hari berakhirnya perhelatan besar, yang berarti akan terbebaskannya dirinya dari derita setelah tujuh tahun lebih harus berkalungkan bangkai anjing busuk dan badan terikat erat tak bisa beranjak kemana pun.
Baru kali ini dia punya kesempatan merenungkan semua tindakan dan tingkah laku yang salah di masa lalu. Dalam keadaan tak berdaya, batinnya bisa berpikir dengan jernih. Bukan dia yang terhebat di dunia ini!
Dia teringat, karena pikiran usilnya, mengganggu Buddha Gotama yang tak pernah berbuat salah padanya, dengan segala macam cara. Sammasambuddha Gotama yang telah mencapai kesucian tertinggi, terbebas dari nafsu, dia umpan dengan anak-anak gadisnya yang cantik menggairahkan.
Sammasambuddha Gotama yang menguasai segala kesaktian, dia serang dengan kekuatan penuh, dengan pasukan dan senjata lengkap. Sang Buddha mengalahkannya tanpa menyakitinya, tanpa menyiksanya. Keusilannya belum cukup sampai di situ. Kemudian, ia meminta Buddha Gotama untuk segera memasuki Parinibbana.
Begitupun ketika Buddhasasana, karya Sang Buddha berjaya, iapun merasa tak senang. Sang Buddha tak pernah mempunyai urusan dengannya. Buddhasasana pun tak pernah menyusahkannya. Tapi, kenapa pula ia mencari perkara terhadap orang yang tak bersalah. Kenapa pula ia usil terhadap orang yang tak pernah mengusilinya.
Dan kini, karena ulahnya itu, ia terkena batunya. Ia harus tersiksa karenanya. Murid Buddha Gotama yang muncul dua ratus tahun setelah Sang Buddha Parinibbana itu telah memberinya pelajaran yang amat berharga, walau terasa amat pahit. Membuat mata hatinya terbuka lebar. Membuatnya sadar, betapa jahatnya dirinya, betapa usilnya dirinya, betapa bodohnya dirinya.
Mengingat itu semua, dia merasa amat malu pada dunia. Dia merasa amat malu pada Buddha Gotama. Dia merasa amat malu pada bhikkhu Upagupta. Dan lebih dari itu semua, ia merasa amat malu pada diri sendiri. Dia menyesali diri sendiri yang telah buta terhadap kebaikan. Mengabaikan kesempatan yang amat langka.
Akhirnya, ia merasa amat marah terhadap dirinya sendiri. Giginya mengatup, menggeretak. Dengan geram ia meronta. Dihentakkannya kakinya beberapa kali ke tanah. Bumi pun berguncang. Salju pun pecah bertebaran, berserakan menggelinding ke bawah mengikuti aliran sungai Gangga.
Setelah melampiaskan kemarahan yang mengganjal di dada, Dewa Mara merasa lilih, tenang. Pikirannya menjadi semakin jernih.
'Alangkah beruntungnya aku bertemu dengan bhikkhu Upagupta yang mampu menyadarkan diriku. Apa yang terjadi bila tak seorang pun mampu mengajarku. Tentu aku akan tetap tersesat pada kejahatan. Tapi, akan lebih baik lagi bila aku mampu mencapai pencerahan sebagai Sammasambuddha yang penuh welas asih, sebagai pelindung dan guru dari semua makhluk' pikirnya.
Maka, di kesunyian puncak Himalaya yang amat dingin dan penuh salju, dengan lantangnya dewa Mara, penguasa sorga Paranimmitavasavatti itu, beradhitthana : 'Wahai alam semesta dan seisinya, saksikanlah, aku, Maradhiraja penguasa sorga Paranimmittavasavatti, sejak saat ini, menyatakan diri berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha, bertekad akan berusaha menyempurnakan parami untuk mencapai penerangan sempurna sebagai Sammasambuddha, pelindung dan guru bagi semua makhluk.' Sesudah menguncarkan adhitthana itu, batinnya dipenuhi oleh ketenangan dan kebahagiaan. Ketenangan dan kebahagiaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Tiba-tiba, muncullah Upagupta Thera di hadapannya. Dengan malu-malu dewa Mara menegur Sang Thera : 'Bhante, berarti sejak tadi Bhante telah berada di sekitar tempat ini.'
'Benar, dewa yang baik. Saya tahu apa yang Anda perbuat dan mendengar apa yang Anda katakan. Maka dari itu, ijinkan saya menyampaikan hormat saya pada Anda, seorang Bodhisatta.'
'Tapi, Bhante dengan begitu kejamnya telah menyiksa saya. Saya tak ingin menjadi seorang Arahat seperti Bhante, karena saya tak ingin ada orang tersiksa seperti saya. Saya ingin menjadi Sammasambuddha yang penuh welas asih.'
Dengan tersenyum geli, Upagupta Thera berkata :
'Dewa yang baik, janganlah Anda mendendam pada saya. Karena kamma kita di masa lampau, kita berdua harus sering bertemu dan saling menyakiti. Tapi, dalam kehidupan ini, sayalah yang menang dan berhasil mengingatkan Anda kembali ke jalan yang benar.
Itu tugas akhir saya terhadap Anda. Bukankah kita tak akan bertemu lagi pada kehidupan yang akan datang? Karenanya, harap Anda memaafkan saya bila Anda merasa tersiksa karenanya. Jadi, bukan karena saya tak mempunyai welas asih. Tapi, semata-mata karena kewajiban yang harus saya lakukan.'
'Bhante benar. Tak ada lagi hutang piutang diantara kita. Saya merasa amat berterima kasih pada Bhante yang telah menolong saya untuk kembali ke jalan yang benar. Dan Bhante ..., telah terlalu lama saya menderita begini. Tolong bebaskanlah saya sekarang. Saya telah rindu pada kebahagiaan sorgawi di istana saya' pintanya.
Bhikkhu Upagupta memejamkam mata sejenak, sambil mengatupkan kedua telapak tangan di dada. Maka, terurailah ikat pinggang yang membelit tubuh dewa Mara, melayang di udara, menjadi pendek seperti semula dan jatuh tepat di tangan Sang Thera. Bangkai anjing di leher Mara pun lenyap seketika.
Dewa Mara menarik napas dengan lega. Dia merasa amat kagum pada kesaktian Sang Thera, murid Sang Buddha. Kalau muridnya saja begitu sakti, bagaimana pula dengan Sang Buddha. 'Sebelum Anda kembali ke tempat Anda, bolehkah saya meminta sesuatu pada Anda?' tanya Upagupta Thera setelah membebaskan dewa Mara.
'Tentu, Bhante. Apakah yang harus saya perbuat untuk Bhante?'
'Wahai dewa Mara. Dalam satu hal, saya merasa kurang beruntung. Saya dilahirkan jauh sesudah Sang Tathagata parinibbana. Karenanya, saya tak pernah bertemu dan melihat langsung bagaimanakah rupa dari Guru saya tersebut. Dalam hal ini Anda lebih beruntung dari pada saya. Anda pernah bertemu dan melihat langsung Sang Buddha. Saya harap Anda mau mengubah diri Anda menjadi Sang Buddha agar saya dapat melihat bagaimanakah Guru saya itu. Itulah permintaan saya.'
'Baiklah, Bhante. Tapi, dengan satu syarat yang harus Bhante penuhi. Bila saya telah mengubah diri menjadi Sang Buddha, janganlah Bhante namakkara pada saya. Saya tak sanggup lagi menerima buah kamma buruk karenanya,' kata Mara penuh kekhawatiran.
'Baiklah,' jawab Sang Thera.
Maka, Mara mengubah diri menjadi Buddha Gotama, lengkap dengan Mahapurisalakkhana (tiga puluh dua ciri-ciri Kebuddhaan). Berjalan dengan anggunnya diiringi oleh Asitimahasavaka (delapan puluh murid-murid utama).
Setelah cukup lama memperhatikan dengan seksama, dengan penuh hormat, Upagupta Thera melakukan namakkara di hadapan Sang Buddha.
Dengan segera lenyaplah pemandangan Sang Buddha beserta murid-muridnya, berganti dengan dewa Mara yang sedang berdiri dengan muka cemberut memandang Sang Thera.
'Mengapa Bhante mengingkari janji? Mengapa Bhante namakkara pada saya? Lalu, buah kamma apa lagi yang akan saya terima karenanya? Dulu saya telah banyak berbuat jahat pada Sang Buddha. Dan saya harus tersiksa dengan badan terikat di puncak Himalaya ini,' kata Mara dengan penuh kecemasan.
'Janganlah anda cemas. Saya tak mengingkari janji. Bhikkhu Upagupta tidak melakukan namakkara pada dewa Mara. Saya melakukan namakkara pada Sang Buddha, guru saya. Hal itu sama sekali tak berpengaruh pada anda. Anda tidak akan menerima akibat buruk karenanya. Terima kasih atas kebaikan anda. Kini, silakan kembali ke tempat Anda di sorga Paranimmitavasavatti. Sayapun akan kembali ke senasana saya di laut selatan. Selamat tinggal, dewa Mara.' Maka lenyaplah Sang Thera dari pandangan dewa Mara.
Dewa Mara pun segera kembali ke sorga Paranimmitavasavatti, tingkatan sorga yang tertinggi di antara sorga para dewa.
Kini, Maradhiraja yang biasa dikenal sebagai dewa Mara, masih bertinggal di sorga Paranimmitavasavatti sebagai seorang Bodhisatta yang sedang menghimpun Dasaparami.