//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma  (Read 97560 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline sukuhong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 279
  • Reputasi: 8
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #225 on: 02 March 2010, 05:41:40 AM »
Saya harap jawaban saya ini tidak dinilai OOT, jikalau dinilai OOT, maka saya juga minta maaf  karena berbuat kesalahan.

Kita semua ( saya ) pernah melakukan kesalahan, saling memaafkan adalah kewajiban. Sepengetahuan saya, kita semakin DEWASA karena BELAJAR dari kesalahan diri sendiri atau orang lain. Sebelum menjawab pertanyaan Bro Riky, pertanyaannya adalah inti dari tujuan kita belajar Dhamma sebenarnya apa ?

Jika kita “MENCARI” “KELUAR” ( outside-in), maka yang selalu menjadi  PERHATIAN KITA adalah Yang Lain harus berubah untuk kita, dan inilah Penderitaan, karena kita tidak  pernah puas dengan konsep dari pengetahuan yang kita pelajari, dan tidak pernah mendapat MANFAAT dari Dhamma yang kita pelajari. Kita semua selalu mencari celah negative untuk semua masalah dalam memuaskan dan menutupi keegoan kita.

Jika kita “MENCARI” “KEDALAM” ( inside-out ), maka yang selalu menjadi  PERHATIAN KITA adalah DIRI SENDIRI YANG HARUS BERUBAH sebelum mengubah orang lain. Maka MANFAAT DHAMMA yang kita pelajari dapat kita petik.

 :jempol:
bold biru : ini yang aku suka
kamsia ya

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #226 on: 02 March 2010, 07:37:41 AM »
Saya harap jawaban saya ini tidak dinilai OOT, jikalau dinilai OOT, maka saya juga minta maaf  karena berbuat kesalahan.

Kita semua ( saya ) pernah melakukan kesalahan, saling memaafkan adalah kewajiban. Sepengetahuan saya, kita semakin DEWASA karena BELAJAR dari kesalahan diri sendiri atau orang lain. Sebelum menjawab pertanyaan Bro Riky, pertanyaannya adalah inti dari tujuan kita belajar Dhamma sebenarnya apa ?

Jika kita “MENCARI” “KELUAR” ( outside-in), maka yang selalu menjadi  PERHATIAN KITA adalah Yang Lain harus berubah untuk kita, dan inilah Penderitaan, karena kita tidak  pernah puas dengan konsep dari pengetahuan yang kita pelajari, dan tidak pernah mendapat MANFAAT dari Dhamma yang kita pelajari. Kita semua selalu mencari celah negative untuk semua masalah dalam memuaskan dan menutupi keegoan kita.

Jika kita “MENCARI” “KEDALAM” ( inside-out ), maka yang selalu menjadi  PERHATIAN KITA adalah DIRI SENDIRI YANG HARUS BERUBAH sebelum mengubah orang lain. Maka MANFAAT DHAMMA yang kita pelajari dapat kita petik.

“MENCARI” berarti mendapatkan “GURU pembimbing yang baik ”
Guru yang terbaik adalah orang yang paling kita benci. Karena dia membantu kita mengikis KEBENCIAN dan KESERAKAHAN ( ekstrim tidak suka  dan ekstrim suka ) dan ini dapat kita temukan dilingkungan kita.

Guru paling terbaik ( Best of the Best ) adalah JALAN TENGAH, yang mengajarkan kita untuk tidak menjadi ekstrim suka ( serakah ) dan ekstrim tidak suka ( benci ) atas semua situasi dan kondisi yang kita terima SAAT INI.

maaf saya tidak setuju hal yang di bold. masa harus Buddha orang yang harus paling dibenci.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #227 on: 02 March 2010, 10:08:22 AM »
Saya harap jawaban saya ini tidak dinilai OOT, jikalau dinilai OOT, maka saya juga minta maaf  karena berbuat kesalahan.

Kita semua ( saya ) pernah melakukan kesalahan, saling memaafkan adalah kewajiban. Sepengetahuan saya, kita semakin DEWASA karena BELAJAR dari kesalahan diri sendiri atau orang lain. Sebelum menjawab pertanyaan Bro Riky, pertanyaannya adalah inti dari tujuan kita belajar Dhamma sebenarnya apa ?

Jika kita “MENCARI” “KELUAR” ( outside-in), maka yang selalu menjadi  PERHATIAN KITA adalah Yang Lain harus berubah untuk kita, dan inilah Penderitaan, karena kita tidak  pernah puas dengan konsep dari pengetahuan yang kita pelajari, dan tidak pernah mendapat MANFAAT dari Dhamma yang kita pelajari. Kita semua selalu mencari celah negative untuk semua masalah dalam memuaskan dan menutupi keegoan kita.

Jika kita “MENCARI” “KEDALAM” ( inside-out ), maka yang selalu menjadi  PERHATIAN KITA adalah DIRI SENDIRI YANG HARUS BERUBAH sebelum mengubah orang lain. Maka MANFAAT DHAMMA yang kita pelajari dapat kita petik.

“MENCARI” berarti mendapatkan “GURU pembimbing yang baik ”
Guru yang terbaik adalah orang yang paling kita benci. Karena dia membantu kita mengikis KEBENCIAN dan KESERAKAHAN ( ekstrim tidak suka  dan ekstrim suka ) dan ini dapat kita temukan dilingkungan kita.

Guru paling terbaik ( Best of the Best ) adalah JALAN TENGAH, yang mengajarkan kita untuk tidak menjadi ekstrim suka ( serakah ) dan ekstrim tidak suka ( benci ) atas semua situasi dan kondisi yang kita terima SAAT INI.

maaf saya tidak setuju hal yang di bold. masa harus Buddha orang yang harus paling dibenci.

Buddha adalah bold biru

Yang saya maksud dari pont ini tentu Bukan Buddha Sang Guru Agung, melainkan LINGKUNGAN KITA ( bold hijau ) yakni diri sendiri, sesama manusia dan makhluk lainnya.

Salah satu contoh sederhananya adalah, didalam Forum DC, sering kita membaca dan menemukan postingan yang membuat kita marah dan benci tanpa kita minta, hadir tanpa minta izin dari kita, dan otomatis muncul ( INILAH GURU TERBAIK KITA ), lulus atau gagal tergantung kepada kemampuan kita mengendalikan bathin kita ( sadar munculnya produk pikiran yakni BENCI tersebut telah timbul dan dan menyadari akan tenggelam dengan sendirinya ). Jika LULUS, maka biasanya postingan kita lebih adem dan bijaksana, dan biasanya berbentuk nasehat. Tetapi jika GAGAL, maka postingan kita menjadi penyebar kebencian dengan caci maki, mencela dan merendahkan bahkan menghina, sehingga menambah karma buruk dalam pikiran, ucapan dan perbuatan ( Seperti nasehat Bro Kainyn, dalam diskusi dan debat jangan didasari kemarahan dan kebencian ).

Tanpa kita sadari, SETIAP SAAT kita selalu menemukan atau bertemu dengan  berbagai jenis “GURU TERBAIK” seperti model diatas misalnya keluarga, masyarakat, pergaulan, dll. Guru Terbaik inilah yang membuat kita semakin DEWASA, jika kita meningkatkan LATIHAN dengan KESADARAN, hasilnya adalah TERKIKISNYA KEBENCIAN. Dan ini dikatakan sebagai pikiran, ucapan dan perbuatan yang MEDITATIF dalam menjalani kehidupan. Dan jika tidak salah ingat ada perumpamaan “Lakukan Meditasi ditengah hiruk pikuk keramaian pasar”.


"Tujuan tertinggi bukanlah menghindari kebencian dan mencapai kebahagiaan.Tujuan tertinggi adalah mencapai kebebasan. Bebas dari perangkap kebencian dan kebahagiaan." ~Y.M. Sri Pannavaro Mahathera


Ini adalah salah satu contoh artikel sangat sederhana untuk membandingkan Pikiran Manusia Polos ( Murni ) dengan Pikiran Manusia Yang Terkontanimasi oleh Kebencian dan Keserakahan Yang Pekat.

KEPOLOSAN ANAK BAGAIKAN AIR

Di dalam proses pertumbuhan manusia, seiring dengan umur yang bertambah  setiap tahun, suasana hati (pikiran ) juga kian rumit. Kesadaran setelah lahir dan KONSEP yang telah berubah berangsur-angsur terbentuk di dalam masyarakat serta terkontaminasi oleh berbagai macam kebiasaan yang kurang baik, hal tersebut sedikit demi sedikit tanpa terasa telah merongrong kemurnian dan kebaikan pembawaan kita sejak lahir. Masa kanak-kanak yang bagaikan emas itu telah berlalu menjadi kenangan, sifat kepolosan bagaikan air dari kanak-kanak itu juga sirna bersama.

Hari demi hari, tahun demi tahun, waktu berlalu bagaikan air yang sedang mengalir, jika tidak ada jodoh ( kamma ) Buddha Dhamma yakni dengan LATIHAN PENGEMBANGAN BATHIN  , orang tidak akan mengenal arti sesungguhnya dari kehidupan, maka seiring dengan waktu, kemurnian dan ketulusan dari manusia itu akan hilang untuk selama-lamanya.

Masyarakat orang awam kebanyakan terganggu oleh nama dan keuntungan, merasa cemas akan untung rugi pribadi, sibuk setiap hari, kian hari kian apatis, berangsur-angsur mengikis habis ketulusan dan kemurnian yang pada awalnya eksis itu.

Kebanyakan orang sibuk dengan membabi buta di dalam ketidak-mengertian, tak henti-hentinya mencari kebahagiaan kian kemari, tetapi justru telah memandang hambar dan melupakan ketulusan dan kemurnian hati ( pikiran )yang pernah dimiliki, melupakan bahwa memiliki hati tulus dan murni yang sederhana merupakan suatu hal yang paling menggembirakan.

Teringat semasa kecil dulu, ada seorang anak gadis cilik yang merupakan anak tunggal tetangga saya. Setiap hari ia berjalan kaki pergi ke sekolah. Pada suatu pagi hari cuaca kurang baik, awan berangsur-angsur menjadi tebal, hingga sore hari ketika pulang sekolah angin mulai bertiup kencang, tak lama kemudian muncul petir dan suara halilintar di atas angkasa, kelihatannya segera akan turun hujan lebat.

Ibu gadis itu sangat khawatir anak gadisnya menjadi ketakutan karena gelegar petir, bahkan khawatir anaknya akan tersambar petir, maka dia bergegas membawa payung dan jas hujan menelusuri jalanan yang setiap hari dilalui oleh anak gadisnya ke sekolah untuk mencari anaknya.

Ketika ibu yang penuh kecemasan ini menjumpai anak gadisnya, ia melihat anak gadis itu berekspresi tenang-tenang, dengan sangat santai berjalan di jalanan. Dan setiap kali ketika muncul kilatan di atas langit, gadis kecil itu akan menghentikan langkah kaki, mengangkat kepala menengok ke atas langit serta menampilkan senyuman.

Ibu tersebut melihat pemandangan ini menjadi sangat heran sekali, tak tertahankan dia memanggil anak gadisnya dan bertanya, “Apa yang sedang kamu lakukan?”. Dengan bersungguh-sungguh gadis kecil itu menjawab, “Tadi langit hendak memotret diriku, maka saya harus menampilkan senyuman!”

Setelah pulang sampai di rumah, ibu tersebut dengan sangat serius berkata pada anak gadisnya itu, “Keadaan seperti tadi itu sangatlah berbahaya, lain kali kesempatan jika kamu menjumpai petir dan halilintar lagi, kamu harus segera berlari pulang ke rumah”.

Dengan nada tidak terima, anak gadis itu menjawab, “Nenek pernah bertutur kepada saya, petir dan halilintar hanya menyambar orang-orang jahat, bukan orang yang baik. Saya adalah orang baik, saya tidak takut. Orang jahatlah yang seharusnya takut! Mengapa saya harus seperti orang dewasa bergegas-gegas pulang ke rumah? Saya bisa berjalan ke rumah dengan santai”.

Dari sini terlihat nyata sekali, hati anak gadis kecil ini polos bagaikan air, oleh karena kesederhanaan dan keelokan ini, maka dia hidup jauh lebih gembira dan santai jika dibandingkan dengan ibunya.

Jika dipikir secara teliti, bagi orang yang benar-benar jahat walaupun berlari sangat kencang pun, dia tidak akan bisa menghindari hukuman tersambar oleh petir, karena orang baik berhati murni, mengapa dia tidak boleh berjalan santai pulang ke rumah?

Kata-kata yang diucapkan oleh gadis itu sungguh sangat beralasan sekali! Seseorang jika benar bisa mempertahankan kesederhanaan dan kemurnian alami, maka dapat dipastikan bahwa kehidupannya akan sangat gembira dan santai, jauh dari segala kerisauan!

Semoga Bermanfaat

 _/\_
« Last Edit: 02 March 2010, 10:10:13 AM by CHANGE »

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #228 on: 02 March 2010, 10:46:32 AM »
Bro change,saya minta maaf jika ada kata2 saya yang salah,seperti kata anda,kita semua tidak terlepas dari kesalahan.._/\_

Saya rasa Kainyn,saya dan beberapa member disini mempunyai alasan tersendiri dalam mengemukan pendapat kami[dan saya rasa anda setuju setiap orang berhak mengeluarkan pendapat,berhak mengkritik dan dikritik,menolak dan menerima,karena berasal dari sudut pandang masing2..]..Dan saya rasa kami tidak dalam otoritas untuk "menjatuhkan" yang seperti anda "kira" tersebut,dari semua postingan yang saya baca begitu lah analisis saya..

Ini untuk selingan mempertegas apa yang saya lakukan,mari kita renungkan dan baca sejenak,saya kutip dari Dhammapada Atthakantha

Bab VI-PANDITA VAGGA (Orang Bijaksana)

Syair 77 (VI:1. Kisah Bhikkhu Radha)

Radha adalah seorang brahmana miskin yang tinggal di vihara. Ia hanya melakukan sedikit pelayanan untuk para bhikkhu. Atas pelayanannya ia memperoleh makanan, pakaian dan kebutuhan lainnya. Tidak ada seorang pun yang mendorongnya menjadi seorang bhikkhu, meskipun ia mempunyai keinginan yang besar untuk menjadi bhikkhu.

Suatu hari, ketika hari menjelang pagi. Sang Buddha mengamati dunia dengan kemampuan batin luar biasa-Nya. Dilihat-Nya brahmana tua itu mempunyai kesempatan untuk mencapai tingkat kesucian arahat.

Paginya, Sang Buddha pergi menemui brahmin tua itu dan mengetahui bahwa para bhikkhu di vihara tersebut tidak menginginkan brahmin tua itu bergabung dalam pasamuan bhikkhu.

Sang Buddha mengundang para bhikkhu dan bertanya,"Apakah ada di antara para bhikkhu di sini yang mengingat hal baik yang pernah dilakukan oleh orang tua ini ?"

Atas pertanyaan ini Yang Ariya Sariputta menjawab "Bhante, saya mengingat satu peristiwa ketika orang tua itu memberikan sesendok nasi kepada saya."

"Jika demikian," Sang Buddha berkata, "Tidakkah seharusnya kamu menolong dermawan itu untuk membebaskannya dari penderitaan hidup?"

Yang Ariya Sariputta setuju untuk menjadikan orang tua itu sebagai seorang bhikkhu dan kemudian menerima sebagaimana mestinya. Yang Ariya Sariputta membimbing bhikkhu tua itu dan bhikkhu tua itu mengikutinya dengan sungguh-sungguh. Dalam waktu beberapa hari, bhikkhu tua itu telah mencapai tingkat kesucian Arahat.

Ketika Sang Buddha datang untuk menemui para bhikkhu, mereka melaporkan bagaimana tekunnya bhikkhu tua itu mengikuti bimbingan Yang Ariya Sariputta. Kepada mereka, Sang Buddha menjawab bahwa para bhikkhu seharusnya mudah dibimbing seperti Radha dan tidak marah ketika mendapat celaan atas kesalahan atau kegagalannya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 76 berikut ini :

"Seandainya seseorang bertemu orang bijaksana yang mau menunjukkan dan memberitahukan kesalahan-kesalahannya seperti orang yang menunjukkan harta karun, hendaknya ia bergaul dengan orang bijaksana itu. Sungguh baik dan tidak tercela bergaul dengan orang yang bijaksana."

Anumodana _/\_
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #229 on: 02 March 2010, 11:00:33 AM »
Syair 77 (VI:2. Kisah Bhikkhu Asaji Dan Punabbasuka)

Bhikkhu Assaji dan Punabbasuka bersama dengan lima ratus orang muridnya tinggal di desa Kitagiri. Ketika bertempat tinggal di desa itu, mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara menanam bunga dan pohon buah-buahan untuk kepentingan mereka. Jadi mereka melanggar peraturan dasar bagi kehidupan para bhikkhu.

Setelah Sang Buddha mendengar hal itu, Beliau mengirimkan dua orang siswa utama-Nya, Sariputta dan Maha Moggallana, untuk menghentikan perbuatan mereka yang tidak patut. Kepada kedua siswa utama-Nya Sang Buddha berkata,"Katakan kepada para bhikkhu itu, jangan merusak keyakinan dan kemurahan hati umat awam dengan perbuatan yang tidak patut. Jika mereka tidak patuh, paksalah mereka untuk keluar dari vihara, jangan ragu-ragu untuk melakukan seperti apa yang telah saya katakan kepadamu. Hanya orang bodoh tidak menyukai orang yang memberikan nasehat baik dan melarang berbuat jahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 77 berikut :

"Biarlah ia memberi nasehat, petunjuk, dan melarang apa yang tidak baik, orang bijaksana akan dicintai oleh orang yang baik dan dijauhi oleh orang yang jahat."
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #230 on: 02 March 2010, 11:02:49 AM »
Syair 63 (V:4. Kisah Dua Orang Pencopet)

Suatu ketika dua orang pencopet bersama-sama dengan sekelompok umat awam pergi ke Vihara Jetavana. Di sana Sang Buddha sedang memberikan khotbah. Satu di antara mereka mendengarkan dengan penuh perhatian dan mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Tetapi pencopet satunya lagi tidak memperhatikan khotbah yang disampaikan karena ia hanya berpikir untuk mencuri sesuatu. Ia mengatur cara untuk mengambil sejumlah uang dari salah seorang umat.

Setelah khotbah berakhir mereka pulang dan memasak makan siangnya di rumah pencopet kedua, pencopet yang sudah mengatur cara untuk mengambil sejumlah uang tersebut. Istri dari pencopet kedua mencela pencopet pertama: "Kamu sangat tidak bijaksana, mengapa kamu tidak mempunyai sesuatu untuk dimasak di rumahmu."

Mendengar pernyataan tersebut, pencopet pertama berpikir,"Orang ini sangat bodoh, dia berpikir bahwa dia menjadi sangat bijaksana." Kemudian bersama-sama dengan keluarganya, ia menghadap Sang Buddha dan menceritakan apa yang telah terjadi pada dirinya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 63 berikut :

"Bila orang bodoh dapat menyadari kebodohannya, maka ia dapat dikatakan bijaksana; tetapi orang bodoh yang menganggap dirinya bijaksana, sesungguhnya dialah yang disebut orang bodoh."

Semua keluarga pencopet pertama tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #231 on: 02 March 2010, 11:03:03 AM »
Syair 64 (V:5. Kisah Udayi Thera)

Udayi Thera sering mengunjungi, dan duduk di atas tempat duduk, di mana para thera terpelajar duduk pada waktu menyampaikan khotbah. Pada suatu kesempatan, beberapa bhikkhu tamu menyangka bahwa ia adalah seorang thera yang terpelajar, dan mereka mengajukan beberapa pertanyaan tentang lima kelompok unsur khandha. Udayi Thera tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebab beliau tidak mengerti sama sekali tentang Dhamma.

Para bhikkhu tamu sangat terkejut menemukan seseorang yang tinggal dalam satu vihara dengan Sang Buddha hanya mengetahui sedikit saja tentang khandha dan ayatana (dasar indria dan objek indria).

Kepada para bhikkhu tamu itu Sang Buddha menerangkan keadaan Udayi Thera dalam syair 64 berikut ini :

"Orang bodoh, walaupun selama hidupnya bergaul dengan orang bijaksana, tetap tidak akan mengerti Dhamma, bagaikan sendok yang tidak dapat merasakan rasa sayur."
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #232 on: 02 March 2010, 11:03:48 AM »
Syair 73-74 (V:14. Kisah Citta, Seorang Perumah Tangga)

Citta, seorang perumah tangga, suatu hari berjumpa dengan Mahanama Thera, salah seorang dari lima bhikkhu pertama (Pancavaggiya), yang sedang berpindapatta, dan mengundang thera tersebut ke rumahnya.

Di sana, ia mendanakan makanan kepada thera tersebut dan setelah mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Mahanama Thera, Citta mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian, Citta membangun sebuah vihara di kebun mangganya. Di sana, ia memenuhi kebutuhan semua bhikkhu yang datang ke viharanya dan bhikkhu Suddhamma tinggal di tempat itu.

Suatu hari, dua orang murid utama Sang Buddha, Y.A. Sariputta dan Y.A. Maha Moggallana, datang ke vihara tersebut. Setelah mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Y.A. Sariputta, Citta mencapai tingkat kesucian anagami.

Kemudian, ia mengundang dua murid utama Sang Buddha tersebut ke rumahnya untuk menerima dana makan esok hari. Ia juga mengundang bhikkhu Suddhamma, tetapi beliau menolak dengan marah dan berkata,"Kamu mengundangku setelah mengundang dua bhikkhu tersebut."

Citta mengundang kembali undangannya, tetapi undangan tersebut ditolak. Walaupun demikian, bhikkhu Sudhamma pergi ke rumah Citta pagi-pagi keesokan harinya. Ketika dipersilakan masuk, Sudhamma menolak dan berkata bahwa dia tidak akan duduk karena dia sedang berpindapatta.

Ketika dia melihat makanan yang didanakan kepada dua orang murid utama Sang Buddha, dia sangat iri dan tidak dapat menahan kemarahannya. Dia mencaci Citta dan berkata, "Aku tidak ingin tinggal lebih lama di viharamu!", dan meninggalkan rumah tersebut dengan penuh kemarahan.

Dari sana, dia mengunjungi Sang Buddha dan melaporkan segala yang telah terjadi. Kepadanya, Sang Buddha berkata,"Kamu telah menghina seorang umat awam yang berdana dengan penuh keyakinan dan kemurahan hati. Kamu lebih baik kembali ke sana dan mengakui kesalahanmu." Sudhamma melakukan apa yang telah dikatakan oleh Sang Buddha, tetapi Citta tidak menghiraukan; maka dia kembali menghadap Sang Buddha untuk kedua kalinya. Sang Buddha, mengetahui bahwa kesombongan Sudhamma telah berkurang pada waktu itu. Kemudian Beliau berkata, "Anakku, seorang bhikkhu yang baik seharusnya tidak mempunyai ikatan; seorang bhikkhu yang baik seharusnya tidak terikat dengan berkata, ‘ini adalah viharaku, ini tempatku, dan ini adalah muridku,?dan sebagainya, dengan berpikir demikian keterikatan dan kesombongan akan bertambah."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 73 dan 74 berikut ini :

"Seorang bhikkhu yang bodoh menginginkan ketenaran yang keliru, ingin menonjol di antara para bhikkhu, ingin berkuasa dalam vihara-vihara, dan ingin dihormati oleh semua keluarga."

"Biarlah umat awam dan para bhikkhu berpikir bahwa hal ini hanya dilakukan olehku; dalam semua pekerjaan besar atau kecil mereka menunjuk diriku," demikianlah ambisi bhikkhu yang bodoh itu; dan keinginan serta kesombongannya pun terus bertambah.


Setelah khotbah Dhamma itu berakhir, Sudhamma pergi ke rumah Citta, dan pada saat itu mereka dapat berdamai. Dalam waktu tidak beberapa lama, Sudhamma mencapai tingkat kesucian arahat.
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #233 on: 02 March 2010, 11:07:11 AM »
Syair 75 (V:15. Kisah Samanera Tissa Yang Berdiam Di Hutan)

Tissa adalah seorang putra hartawan dari Savatthi. Ayahnya biasa memberi dana makanan kepada Murid Utama Sang Buddha, Sariputta Thera di rumahnya.

Ketika masih kecil Tissa sering berjumpa dengan Murid Utama pada setiap kesempatan. Pada umur 7 tahun ia menjadi seorang samanera di bawah bimbingan Sariputta Thera. Ketika ia tinggal di Vihara Jetavana, banyak teman dan saudara-saudaranya yang mengunjunginya, membawa pemberian/hadiah dan dana. Samanera berpikir bahwa kunjungan ini sangat menjemukan.

Setelah mempelajari salah satu obyek meditasi, ia pergi ke sebuah vihara yang terletak di dalam hutan. Setiap kali penduduk mendanakan sesuatu, Tissa hanya berkata " Semoga kamu berbahagia, bebas dari penderitaan," (Sukhita hotha, dukkha muccatha), dan kemudian ia berlalu.

Ketika tinggal di vihara dalam hutan, ia tekun dan rajin berlatih meditasi, dan pada akhir bulan ketiga ia mencapai tingkat kesucian arahat.

Setelah selesai masa vassa, Y.A. Sariputta ditemani oleh Y.A. Maha Moggallana dan beberapa orang bhikkhu senior datang mengunjungi Samananera Tissa, dengan seizin Sang Buddha.

Seluruh penduduk desa hadir untuk menyambut Y.A. Sariputta bersama rombongan 4.000 bhikkhu. Mereka juga memohon agar Y.A. Sariputta berkenan menyampaikan khotbah, tetapi murid utama tersebut meminta muridnya, Samanera Tissa, untuk menyampaikan khotbah kepada penduduk desa.

Para penduduk desa, berkata bahwa guru mereka, Samanera Tissa, hanya dapat berkata, "Semoga anda berbahagia, bebas dari penderitaan," dan mohon kepada Y.A. Sariputta untuk menugaskan bhikkhu yang lain.

Tetapi Y.A. Sariputta tetap meminta Samanera Tissa untuk memberikan khotbah Dhamma, dan berkata kepada Tissa, "Tissa, berkatalah kepada mereka tentang Dhamma dan tunjukkan kepada mereka bagaimana mencapai kebahagiaan dan bagaimana bebas dari penderitaan."

Untuk memenuhi permintaan gurunya, Samanera Tissa pergi ke tempat khusus untuk menyampaikan khotbah Dhamma. Ia menjelaskan kepada para penduduk desa, arti kelompok kehidupan (khandha), landasan indria dan obyek indria (ayatana), faktor-faktor menuju Penerangan/Pencerahan Sempurna (Bodhipakkhiya Dhamma), jalan menuju kesucian arahat dan nibbana, dan sebagainya. Akhirnya, ia menjelaskan,"Siapa saja yang mencapai tingkat kesucian arahat akan terbebas dari semua penderitaan dan mencapai ‘kedamaian sempurna? sementara yang lainnya masih berputar-putar pada lingkaran tumimbal lahir (samsara)."

Y.A. Sariputta memuji Tissa telah menyampaikan khotbah Dhamma dengan baik.

Fajar mulai menyingsing ketika ia menyelesaikan uraiannya, dan seluruh penduduk desa sangat terpesona. Beberapa dari mereka terkejut karena Samanera Tissa memahami Dhamma dengan baik, tetapi mereka juga merasa tidak puas karena pada awalnya ia hanya sedikit mengajarkan Dhamma kepada mereka; sedangkan yang lain merasa bahagia mengetahui samanera tersebut sangat terpelajar dan merasa bahwa mereka sangat beruntung Samanera Tissa berada di antara mereka.

Sang Buddha, dengan kemampuan batin luar biasa-Nya, melihat dari Vihara Jetavana bahwa timbul dua kelompok penduduk desa, kemudian Beliau menampakkan diri; untuk menjernihkan kesalahpahaman yang ada.

Sang Buddha hadir ketika para penduduk desa sedang menyiapkan makanan untuk para bhikkhu. Maka, mereka mempunyai kesempatan untuk berdana makanan kepada Sang Buddha. Setelah bersantap, Sang Buddha berkata kepada para penduduk desa,"O umat awam, kamu semua sangat beruntung memiliki Samanera Tissa di antara kalian. Karena dengan kehadirannya di sini, Aku, murid-murid utama-Ku, bhikkhu-bhikkhu senior dan banyak bhikkhu lainnya saat ini hadir mengunjungi kalian." Kata-kata ini menyadarkan para penduduk desa bagaimana beruntungnya mereka bersama Samanera Tissa dan mereka sangat puas.

Sang Buddha kemudian menyampaikan khotbah kepada para penduduk desa dan para bhikkhu, dan pada akhirnya, beberapa dari mereka mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Selesai menyampaikan khotbah, Sang Buddha pulang kembali ke Vihara Jetavana. Sore harinya, para bhikkhu memuji Samanera Tissa di hadapan Sang Buddha, "Bhante, Samanera Tissa telah melakukan sesuatu yang tidak mudah; meskipun ia telah memperoleh pemberian dan dana dari orang-orang Savatthi, tetapi meninggalkannya dan pergi hidup sederhana di dalam hutan."

Kepada mereka Sang Buddha menjelaskan, "Para bhikkhu, seorang bhikkhu, apakah ia tinggal di desa ataupun di kota, seharusnya hidup tidak mengharapkan pemberian dan dana. Jika seorang bhikkhu meninggalkan semua keuntungan keduniawian dan rajin melaksanakan Dhamma, maka ia pasti akan mencapai tingkat kesucian arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 75 berikut :

"Ada jalan lain menuju pada keuntungan duniawi, dan ada jalan lain yang menuju ke Nibbana. Setelah menyadari hal ini dengan jelas, hendaklah seseorang bhikkhu siswa Sang Buddha tidak bergembira dalam hal-hal duniawi, tetapi mengembangkan pembebasan diri."
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #234 on: 02 March 2010, 11:29:14 AM »
Dari kutipan2 tersebut, kesimpulan apa saja yang diambil, Bro Riky?

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #235 on: 02 March 2010, 11:39:25 AM »
 [at] Bro Kainyn

Menurut pendapat saya,saya mengutip beberapa syair didalam Dhammapada untuk menunjukan bahwa kritikan dan celaan merupakan hal yang wajar,tidak lah perlu ditanggapi dengan sangat "membombandir",membela habisan2[nanti kita mirip FPI],kita ini umat Buddhis yang disuruh bersikap kritis yang sudah tercantum didalam Kalama Sutta,saya rasa umat Buddhis harus ingat bahwa Bhikkhu,Samanera,Upasaka semuanya adalah manusia yang diliputi oleh kegelapan batin,walau harus diakui bahwa kegelapan batin masing2 individu berbeda,ada yang debunya sudah membutakan mata,ada yang debunya hanya membuat orang tersebut susah melihat,ada yang debunya sedikit...

Saya rasa kritikan2 yang dilontarkan disini bukan untuk menjatuhkan "siapapun" atau "vihara" manapun yang berkaitan,ini adalah forum diskusi,bertanya,menjawab,mengklarifikasikan,bukanlah ajang siapa yang paling benar dan siapa yang paling salah..Walau kebenaran ditunjukan tepat di hidung kita masing2 belum tentu kita mau mengakui itu sebagai kebenaran[seperti sutta tentang Cacing&Kotoran kesayangannya]..

Berkenanan dengan beberapa member yang menggangap saya sebagai orang yang terlalu mengkritik orang lain padahal TIDAK TAHU DIRI dalam melihat kesalahan diri sendiri,saya meminta maaf,tetapi saya mengkritik didasari oleh fakta,dan cinta kasih saya terhadap berlangsung Buddha Dhamma..

Saya tidak paham dengan pandangan beberapa orang ,karena ketika sebuah pernyataan di tuliskan maka muncul "penafsiran" by herself/himself..

Anumodana _/\_
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline CHANGE

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 598
  • Reputasi: 63
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #236 on: 02 March 2010, 04:45:39 PM »
Bro change,saya minta maaf jika ada kata2 saya yang salah,seperti kata anda,kita semua tidak terlepas dari kesalahan.._/\_

Saya rasa Kainyn,saya dan beberapa member disini mempunyai alasan tersendiri dalam mengemukan pendapat kami[dan saya rasa anda setuju setiap orang berhak mengeluarkan pendapat,berhak mengkritik dan dikritik,menolak dan menerima,karena berasal dari sudut pandang masing2..]..Dan saya rasa kami tidak dalam otoritas untuk "menjatuhkan" yang seperti anda "kira" tersebut,dari semua postingan yang saya baca begitu lah analisis saya..

Ini untuk selingan mempertegas apa yang saya lakukan,mari kita renungkan dan baca sejenak,saya kutip dari Dhammapada Atthakantha

Anumodana _/\_

Saling berbagi adalah sikap yang terpuji, karena anda memberikan kutipan yang sangat bagus dari Dhammapada Atthakatha, saya juga berbagi yang menurut saya pribadi cukup bagus dari artikel cerita. Artinya saling memberikan yang terbaik dan bermanfaat untuk sesama adalah perilaku yang dihargai .

 _/\_

Memang, ketika orang ( kita )  melakukan kesalahan itu adalah wajar, HANYA SAJA, bisakah kita senantiasa bisa belajar dari kesalahan itu, mengambil hikmah dari setiap langkah-langkah yang keliru atau salah dengan tidak mengulangi atau memperbaikinya.

Inilah proses yang semestinya dilalui orang yang berwatak pembelajar untuk menuju pribadi yang dikagumi dan bijaksana. Kesalahan, memang bukan untuk ditakutkan apalagi direncanakan, kesalahan adalah sebuah pembelajaran berharga dalam kehidupan kita.

Dalam perjalanan kehidupan ini, kita mungkin kerap melihat kesalahan orang lain dibanding dengan bercermin pada diri kita sendiri. “Kuman diseberang lautan tampak sementara gajak dipelupuk mata tak tampak.” Begitulah sifat yang barangkali masih kita miliki. Kita, begitu jelas melihat kesalahan orang lain. Tetapi menutup mata,telinga dan pikiran kita untuk melihat kesalahan sendiri. Dan, mungkin kesalahan terbesar kita adalah membiarkan kesalahan itu berlanjut. Ada satu cerita yang cukup menarik untuk disimak.

LIHATLAH KE DALAM DIRI KITA

Alkisah dicerita hujan sedang membasahi sebuah kota sunyi di pinggiran ibukota. Angin kencang serta gemuruh kilat yang menyambar, membuat suasana kian mencekam. Tidak lama setelah hujan turun dengan deras, terlihat butiran-butiran air hujan mulai mengenangi selokan dan tumpah sedikit demi sedikit ke jalanan. Kian lama kian banyak air hujan yang tumpah ke jalan tersebut sehingga genangan-genangan air pun mulai tampak di setiap sisi jalan di kota itu. Dan banjir pun telah menghampiri kota tersebut.

Setelah kejadian di kota sunyi tersebut, diatas sana terlihat awan dan angin sedang berdiskusi hebat. Mereka saling menyalahkan atas kejadian banjir yang terjadi pada kota sunyit tersebut kemarin.

"Wahai awan yang congkak, coba kau lihat hasil perbuatan mu, karena ke congkakan mu lah engkau menghasilkan air yang begitu banyak sehingga mengakibatkan banjir di kota sunyi tersebut, apakah kau tidak malu atas perbuatan mu?" kata angin kepada awan

"Bukan kah engkau, yang mendorong butiran - butiran air di badan ku, sehingga butiran-butiran air tersebut menyirami kota tersebut" kata awan dengan lantangnya

Mereka masih berdebat dan mempertahankan pendapatnya masing-masing. Tak jauh dari mereka terlihat burung elang yang melihat percakapan mereka dan menghampirinya.

"Wahai angin dan awan, ada masalah apakah sehingga begitu tegangnya wajah kalian jika ku lihat?" tanya sang elang

Mereka pun menjelaskan pokok masalah nya kepada elang, dan dengan tersenyum elang pun menjawab dengan bijaknya
"Masalah yang kalian hadapi hanya masalah kecil saja, namun ego kalian lah yang membuatnya menjadi besar" Kata elang menjelaskan

"Dengarkan lah wahai saudaraku, sebelum kalian saling menyalahkan, kenapa kalian tidak melihat kedalam diri anda terlebih dahulu, bukan saling menyalahkan? " Lanjut sang elang " Yang kalian lakukan hanya sebuah proses yang saling berkaitan, dan tidak ada salahnya atas perbuatan kalian berdua, angin mendorong awan untuk membuat hujan, dan awan menurunkan butiran-butiran air ke bumi, sehingga harusnya kalian saling mensyukuri atas karunia tersebut, bukan saling menyalahkan, apakah kalian mengerti maksud ku " jelas sang elang dengan lugasnya

Awan dan angin pun terdiam dan menyadari kesalahan mereka.

Pesan Moral :

Kadang kala kita terlalu sibuk untuk menyalahkan orang lain, tanpa pernah berintropeksi terhadap perbuatan kita sendiri. Sehingga kita lupa bahwa yang telah di kerjakan orang lain ke kita adalah berkat yang besar buat kita, karena kita terbiasa untuk memanjakan ego kita, dan memaksa orang lain untuk menuruti kemauan kita, walaupun tanpa kita sadari yang telah kita lakukan adalah kesalahan. Mari mulai saat ini, sebelum menyalahkan orang lain, ada baiknya kita mengintropeksi diri kita, apakah perbuatan kita telah benar dan tidak merugikan orang lain, karena seyogyanya insan bijak harus berani mengkritik diri sendiri sebelum mengkritik orang dan di kritik orang lain .

Kata yang bermanfaat :

Manusia baik adalah manusia yang tahu kesalahannya, yang kemudian memperbaikinya.
Manusia yang buruk adalah manusia yang tahu kesalahannya namun tidak mau memperbaikinya.
Manusia yang bodoh adalah yang tidak tahu kesalahannya sendiri dan tidak mau merubah dirinya sendiri.
Jadilah manusia yang terbaik yaitu yang dapat memberikan manfaat untuk diri sendiri dan orang lain.

Semoga Bermanfaat

 _/\_
« Last Edit: 02 March 2010, 04:51:06 PM by CHANGE »

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #237 on: 02 March 2010, 04:58:45 PM »
Dari beberapa halaman diskusi, saya ambil rangkuman sementara.

Penyebaran dhamma ada 2 jenis, tergantung niatnya.
1. Yang mementingkan banyaknya "umat Buddha"
2. Yang mementingkan tersampaikannya Buddha-dhamma.
Ini adalah pilihan masing-masing, tetapi di sini fokus saya adalah yang nomor 2 karena alasan sederhana: dhamma menyangkut pengertian, bukan status. Kelangsungan dhamma bergantung pada orang yang menjalankan dhamma dengan pengertian, bukan dari orang yang tidak tahu apa-apa dengan status "Buddhist", walaupun jumlahnya 1000x lipat.

Jika penyebaran dhamma dilakukan oleh bhikkhu, maka harus sesuai vinaya yang berlaku. Acara yang ditampilkan di hadapan bhikkhu pun harus sesuai dengan vinaya.

Jika penyebaran dhamma bukan oleh bhikkhu, maka ditinjau dari "daya tarik" ada 2 paham:
1. Yang menggunakan hal-hal menyenangkan indera
2. Yang tidak menggunakan hal-hal menyenangkan indera

Di sini saya menolak yang pertama dengan alasan:
i. Dhamma adalah berkenaan dengan pelepasan, bukan penambahan keinginan inderawi. Ini mutlak, kecuali ada yang bisa berikan referensi lain. Bukan berarti para perumahtangga tidak boleh menikmati kesenangan inderawi yang diperoleh dengan cara benar, tetapi intinya tetap pada pelepasan, baik sedikit demi sedikit, maupun langsung.

ii. Daya tarik demikian adalah menarik bagi penikmat dunia, namun tidak menarik sama sekali bagi orang bijaksana. Dengan acara-acara demikian, justru orang bijaksana akan menjauh dari dhamma.

iii. Hal-hal kontroversial di sutta yang dilakukan Buddha berlawanan dengan vinaya, adalah karena Buddha mengetahui dengan pasti hasilnya. Hasil tersebut tidak diketahui oleh seorang Agga-savaka sekalipun, apalagi puthujjana. Saya yakin sekarang ini dalam Tradisi Theravada, tidak muncul yang lebih baik dari Agga-savaka. Karena itu, sebaiknya mengambil yang "konvensional" saja, walaupun tentunya tidak konservatif berlebihan, misalnya terhadap penggunaan teknologi.

Bagi yang ingin menambahkan atau berpendapat lain, silahkan.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #238 on: 02 March 2010, 05:03:18 PM »
 [at]  Riky & CHANGE

Kembali saya katakan, di sini kita tidak menentukan ini "halal" atau "haram", tetapi kita bahas mengapa yang ini kita setujui, mengapa yang lain tidak. Saya menentukan hal-hal yang saya setujui juga sebetulnya tidak ada efeknya karena saya memang tidak berurusan dengan instansi agama Buddha mana pun. Namun prinsip-prinsip itulah yang secara pribadi saya pegang dalam mengenalkan dhamma, terlepas dari benar atau tidaknya.


Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Cara Yang Sesuai Untuk Penyebaran Dhamma
« Reply #239 on: 02 March 2010, 08:32:51 PM »
Salah satu kelemahan ajaran Buddha adalah tenggang rasa, dan dengan mengatasnamakan tenggang rasa itu maka apabila ada aliran yang menyimpang di biarkan, ada sutra yang dipalsukan di biarkan, sehingga itu menjadi kebiasaan dan menjangkiti kesemua elemen buddhism sehingga ya beginilah wajah Buddhism suka atau tidak suka harus diterima, penyebaran dhamma dengan cara2 yang "katanya" modern lah dengan berbagai macam alasan dan pembenaran dengan mudahnya diterima oleh mereka karena "katanya" harus begitu demi menjaring umat dan "mungkin" menarik dana demi kelangsungan hidup vihara atau bhikkhunya.
sepertinya memang buddhism hanya sebatas begini ya ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))