Terlalu jauh. Bermanfaat atau tidak bermanfaat amat relatif; narkoba bermanfaat tidak, sunat bermanfaat tidak, mengeksekusi tahanan bermanfaat tidak. Ini sudah masuk dalam ranah doktrin (jika dalam agama Buddha sudah mengacu pada sila dan doktrin ajaran). Nibbana juga (dalam setiap aliran bisa beda definisi sejatinya), terlalu absurd untuk dibahas dalam pendahuluan sebuah diskusi. Jika mau runut, kita urutkan dulu satu-satu tema yang Sdr. William sampaikan. Kalau sudah masuk ranah doktrin, pembahasan bisa melebar pada doktrin dan ayat (sutta), yang secara prinsip sudah masuk area keimanan (kepercayaan), sulit didiskusikan dan ditolerir lagi.
Jika sepakat untuk keluar doktrin dan berpikir bebas, diskusi bisa dilanjutkan. Kalau memang ada koherensinya dengan doktrin, silakan dibawa dan dikutip sesuai urgensinya.
Salam bijak dalam dharma. Semoga berbahagia.
Maaf, kemarin pakai HP jadi gak bisa ketik yang panjang2. Berikut penjelasannya yg pernah saya post di forum tetangga:
Menurut ajaran Buddha, suatu perbuatan dapat dikategorikan baik (kusala) atau buruk (akusala) bergantung pada 3 faktor:
1. Motivasi atau dorongan yang melandasi perbuatan tersebut, yang dikenal sebagai akar kejahatan atau kebaikan. Jika akar kejahatan (akusala-mula) yang terdiri dari keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha) yang melandasi perbuatan tersebut, maka perbuatan itu dikatakan perbuatan buruk (akusala kamma). Jika yang melandasi adalah akar kebajikan (kusala-mula) yang terdiri dari tanpa keserakahan (alobha), tanpa kebencian (adosa), dan tanpa kebodohan batin (amoha), maka dikatakan sebagai perbuatan baik (kusala kamma). Pedoman untuk menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk berdasarkan motivasi ini dapat kita temukan dalam Kalama Sutta:
4. "Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Kalau keserakahan (lobha) timbul dalam diri seorang manusia, apakah itu membawa keuntungan atau kerugian?"
"Akan membawa kerugian, Yang Mulia."
"Sekarang, warga suku Kalama, seseorang yang serakah dicengkeram oleh keserakahan dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi; apakah orang itu tidak mungkin akan membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang tidak diberikan, melakukan perzinahan, mengucapkan kata-kata yang tidak benar, dan juga menyebabkan orang lain berbuat demikian; bukankah hal itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?"
"Memang demikian, Yang Mulia."
5. "Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Kalau kebencian (dosa) timbul dalam diri seorang manusia, apakah itu akan membawa keuntungan atau kerugian?"
"Akan membawa kerugian, Yang Mulia."
"Sekarang, warga suku Kalama, seseorang yang membenci, dicengkeram oleh kebencian dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi; apakah orang itu tidak mungkin akan membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang tidak diberikan, melakukan perzinahan, mengucapkan kata-kata yang tidak benar, dan juga menyebabkan orang lain berbuat demikian; bukankah hal itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?"
"Memang demikian, Yang Mulia."
6. "Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Kalau kegelapan batin (moha) timbul dalam diri seorang manusia, apakah itu akan membawa keuntungan atau kerugian?"
"Akan membawa kerugian, Yang Mulia."
"Sekarang, warga suku Kalama, seseorang yang diliputi kegelapan batin (moha), dicengkeram oleh kegelapan batin dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi; apakah orang itu tidak mungkin akan membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang tidak diberikan, melakukan perzinahan, mengucapkan kata-kata yang tidak benar, dan juga menyebabkan orang lain berbuat demikian; bukankah hal itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?"
"Memang demikian, Yang Mulia."
7. "Kalau begitu, warga suku Kalama, bagaimana pendapatmu? Apakah hal-hal tersebut baik atau tidak baik?"
"Tidak baik, Yang Mulia."
"Apakah hal-hal tersebut tercela atau tidak tercela?"
"Tercela, Yang Mulia."
"Apakah hal-hal tersebut dibenarkan atau tidak dibenarkan oleh para Bijaksana?"
"Tidak dibenarkan, Yang Mulia."
"Kalau terus dilakukan, apakah itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan?"
"Akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan, Yang Mulia. Demikianlah pendapat kami."
8. "Karena itu, warga suku Kalama, itulah yang Kumaksud dengan mengatakan, 'Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu; atau oleh karena sesuatu yang merupakan tradisi; atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang dikatakan di dalam kitab-kitab suci; juga apa yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga apa yang katanya merupakan hasil dari suatu penelitian; juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga apa yang terlihat cocok dengan pandanganmu; atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu.'
Tetapi, warga suku Kalama, kalau setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, 'Hal ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para Bijaksana; hal ini kalau terus dilakukan akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan,' maka sudah selayaknya kamu menolak hal-hal tersebut."
..... [omitted]
10. "Bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Apabila seseorang telah terbebas dari keserakahan (lobha), apakah hal ini merupakan keuntungan atau kerugian?"
"Keuntungan, Yang Mulia."
"Bukankah orang ini, yang telah terbebas dari keserakahan dan tidak lagi dicengkeram oleh keserakahan, dan oleh karena ia dapat mengendalikan dirinya dengan baik, akan berhenti membunuh makhluk hidup, berhenti mengambil sesuatu yang tidak diberikan (mencuri), berhenti melakukan perzinahan berhenti mengucapkan kata-kata yang tidak benar, berhenti menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain, tidak akan mendapatkan kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?"
"Memang demikian halnya, Yang Mulia."
11. "Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Apabila seseorang telah terbebas dari kebencian (dosa), apakah hal ini merupakan keuntungan atau kerugian?"
"Keuntungan, Yang Mulia."
"Bukankah orang ini, yang telah terbebas dari kebencian tidak lagi dicengkeram oleh kebencian….., berhenti menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain, tidak akan mendapatkan kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?"
"Memang demikian halnya, Yang Mulia."
12. "Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Apabila seseorang telah terbebas dari kegelapan batin (moha), apakah hal ini merupakan keuntungan atau kerugian?"
"Keuntungan, Yang Mulia."
"Bukankah orang ini, yang telah terbebas dari kegelapan batin dan tidak lagi dicengkeram oleh kegelapan batin ….., berhenti menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain, tidak akan mendapat kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?"
"Memang demikian halnya, Yang Mulia."
13. "Kalau begitu, warga suku Kalama, bagaimana pendapatmu? Apakah hal-hal tersebut menguntungkan atau tidak menguntungkan?"
"Menguntungkan, Yang Mulia."
"Apakah hal-hal tersebut tercela atau tidak tercela?"
"Tidak tercela, Yang Mulia."
"Apakah hal-hal tersebut dibenarkan atau tidak dibenarkan oleh para Bijaksana?"
"Dibenarkan, Yang Mulia."
"Kalau terus dilakukan, apakah akan membawa kebahagiaan atau tidak?"
"Tentu akan membawa kebahagiaan. Demikianlah pendapat kami."
14. "Demikianlah, warga suku Kalama, itulah yang Kumaksud dengan mengatakan, 'Janganlah percaya begitu saja….., Tetapi apabila setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui hal ini berguna; hal ini tidak tercela; hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana; hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan, maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut.' Itulah sebabnya, mengapa Aku mengucapkan kata-kata tersebut."
Sumber: Kalama Sutta (SAMAGGI-PHALA :: Buddhist Information Network)
2. Akibat langsung dari perbuatan tersebut terhadap diri sendiri dan orang lain apakah menyebabkan kebahagiaan atau penderitaan. Hal ini dijelaskan dalam Cula-rahulovada Sutta sebagai berikut:
“Kapan pun kamu ingin melakukan perbuatan melalui jasmani, kamu harus bercermin: ‘Perbuatan melalui jasmani yang ingin kulakukan ini – akankah ia membawa pada penderitaan bagi diri sendiri, orang lain, atau keduanya? Apakah ia suatu perbuatan jasmani yang tidak baik, dengan akibat yang menyedihkan, hasil yang menyakitkan?’ Jika, dalam bercermin, kamu mengetahui bahwa ia akan membawa pada penderitaan bagi diri sendiri, orang lain, atau keduanya; ia adalah perbuatan jasmani yang tidak baik dengan akibat yang menyedihkan, hasil yang menyakitkan, maka segala perbuatan jasmani yang semacam itu sesungguhnya tidak pantas kamu lakukan. Namun jika dalam bercermin kamu mengetahui bahwa ia tidak akan mengakibatkan penderitaan… ia adalah perbuatan jasmani yang baik dengan akibat yang membahagiakan, hasil yang menyenangkan, maka segala perbuatan jasmani yang semacam itu pantas kamu lakukan.”
“Saat kamu melakukan suatu perbuatan jasmani, kamu harus bercermin: ‘Perbuatan jasmani yang kulakukan ini – apakah membawa pada penderitaan bagi diri sendiri, orang lain, atau keduanya? Apakah ia suatu perbuatan jasmani yang tidak baik, dengan akibat yang menyedihkan, hasil yang menyakitkan?’ Jika, dalam bercermin, kamu mengetahui bahwa ia membawa pada penderitaan bagi diri sendiri, orang lain, atau keduanya… kamu harus menghentikannya. Namun jika dalam bercermin kamu mengetahui bahwa ia bukan… kamu dapat melanjutkannya.”
“Setelah melakukan suatu perbuatan jasmani, kamu harus bercermin padanya…. Jika, dalam bercermin, kamu mengetahui bahwa ia membawa pada penderitaan bagi diri sendiri, orang lain, atau keduanya; ia adalah perbuatan jasmani yang tidak baik dengan akibat yang menyakitkan, hasil yang menyedihkan, maka kamu harus mengakuinya, mengungkapkannya, mengatakannya secara terbuka kepada Sang Guru atau kepada seorang sahabat yang berpengetahuan dalam kehidupan suci. Setelah mengakuinya… kamu harus berlatih mengendalikan diri pada masa yang akan datang. Namun jika dalam bercermin kamu mengetahui bahwa ia tidak membawa pada penderitaan… ia adalah perbuatan jasmani yang baik dengan akibat yang menyenangkan, hasil yang membahagiakan, maka kamu harus tetap tersegarkan secara mental dan bergembira, dengan berlatih siang dan malam dalam kualitas mental yang baik.”
..... [dst berlaku juga untuk perbuatan melalui ucapan dan pikiran]
Sumber: Cula-rahulovada Sutta dalam Riwayat Hidup Raja Asoka
3. Kontribusi atau pengaruh perbuatan tersebut pada kemajuan batin, yaitu apakah perbuatan tsb bisa membawa pada pelenyapan dukkha, Pencerahan, dan Nibbana atau tidak. Perbuatan yang bermanfaat (kusala) adalah perbuatan yang dapat membawa pada kemajuan batin, yaitu sesuai dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan; perbuatan yang tidak bermanfaat adalah kebalikannya.
Berdasarkan ketiga faktor di atas, suatu perbuatan dikatakan benar-benar perbuatan baik jika dilandasi oleh alobha, adosa, dan amoha, menyebabkan kebahagiaan orang lain dan diri sendiri, serta membawa kemajuan batin hingga tercapainya Nibbana.
Jika mengacu pada sutra maka kita mungkin tidak akan menemukan arti dari Upaya Kausalya, tetapi hanya contoh ataupun perumpamaan dari Upaya Kausalya, dapat kita temukan di Saddharmapundarika Sutra. Jadi agak sulit menentukan istilah sebenarnya.
Satu-satunya cara adalah mengartikannya secara etimologi (asal kata). Upaya Kausalya dalam bahasa Sanskerta sama dengan Upaya Kusala dalam bahasa Pali.
Upaya, kata ini disadari atau tidak, terdapat dalam bahasa Indonesia, yaitu berarti usaha; ikhtiar (untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar, dsb). Usaha berarti kegiatan dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai suatu maksud.
Kausalya/Kusala/Kosala, bisa berarti baik, terampil, atau cerdas.
Jadi, Upaya Kausalya berarti usaha yang baik, terampil atau cerdas untuk memecahkan persoalan.
Dalam Saddharmapundarika Sutra, perumpamaan dari usaha yang baik, terampil, cerdas, adalah usaha seorang ayah yang dapat mengeluarkan 3 anaknya dari dalam rumah dengan cara membujuk mereka.
Kemudian Avalokitesvara yang dapat merubah dirinya menjadi berbagai rupa sebagai usaha menyelamatkan makhluk.
Kemudian di literatur Pali, kisah Kisa Gotami, ketika Sang Buddha menyuruhnya mencari biji lada dari rumah yang belum pernah ada yang meninggal di dalamnya.
Ketiga contoh Upaya Kausalya ini tidak mengindikasikan adanya pelegalan perbuatan jahat/buruk demi menyelamatkan makhluk lain.
Kemungkinan pengertian Upaya Kausalya kemudian menjadi bias dan dipahami secara tidak benar saat diterjemahkan ke bahasa lain khususnya di Tibet. Saya memperkirakan hanya ada dalam literatur Tibet yang melegalkan perbuatan buruk untuk melakukan perbuatan baik.
Bagaimana mungkin suatu usaha dikatakan baik jika melakukan hal yang tidak baik? Bagaimana mungkin dikatakan usaha yang terampil dan cerdas jika solusinya adalah harus merugikan salah satu pihak?
Demikian.
Ada satu sutra Mahayana yang disebut Upaya Kausalya Sutra, mengatakan Upaya Kausalya juga termasuk perbuatan buruk yang dilegalkan untuk menyelamatkan makhluk2 lain...