Maaf ini agak rancu, untuk mencapai jhana ini tidak bisa langsung lompat. Kelihatanya lompat karena kemahiranya padahal ia melewati pintu demi pintu dengan cepat. Jadi bila dikatakan langsung ini tidak sesuai dengan praktek/hal yg sebenarnya dan teori jhana. Perlu diingat kalau tidak salah Bodhidharma bertapa 13 tahun di goa menghadap dinding. Dan memiliki kesaktian (yg biasanya didasarkan jhana 4). Yg dimungkinkan bila ia melatih direct vipasana. Bukan jhana lompat.
Munkin terdengar rancu buat yang menganut paham pencerahan secara bertingkat. Paham bahwa seseorang harus melalui dahulu jhana 1, 2, 3 dst hingga mencapai Nirvana memang tidak keliru. Demikian yang dtulis dalam Sammanaphala Sutta dan pola demikian terus diulang-ulang dalam sutta pali lainnya. Namun, urutan demikian dibabarkan semata-mata berdasarkan pengalaman pribadi Sang Buddha Gotama. Buddha Gotama sendiri pernah bercerita tentang Buddha Vipassi yang tidak melalui urutan demikian dalam mencapai pencerahan sempurna (kalau nggak salah dalam Mahapadana Sutta). Lagipula kedua guru Bodhisatta Gotama, Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta yang mengajarkan Landasan Kekosongan dan Landasan tanpa-persepsi dan bukan tanpa-persepsi pada Beliau, tidak dikatakan melalui tahap-tahap secara urut seperti yang diajarkan Buddha Gotama. Bahkan Sang Bodhisatta Gotama mempelajari kedua landasan dari dua guru yang berbeda. Dengan demikian, anggapan harus melalui dahulu jhana 1, 2, 3 dst. sebenarnya hanyalah suatu prosedur alternatif, bukan keharusan.
Bahkan dalam Theravada sendiri, ada Mahasi Sayadaw yang berpendapat bahwa Jhana tidak harus dicapai dahulu untuk mempraktikkan Vipassana. Namun ada sebagian guru dalam Theravada seperti Paauk Sayadaw dan Ajahn Brahm yang mengatakan bahwa Jhana adalah pintu masuk ke semua pencapaian (saya pribadi menyebut pandangan ini sebagai Pan-Jhanaisme).
Pengalaman Bodhidharma justru menggambarkan bagaimana Jhana 1-4 bisa dicapai dengan mudah melalui pintu masuk lain, yaitu langsung melihat ke Bodhicitta atau Pikiran Kebuddhaan. Kalau anda bertanya bagaimana metode pastinya. Saya akan menjawab bahwa pada dasarnya Zen adalah Metode tanpa-metode. Zen adalah metode yang tidak terikat pada suatu cara atau wujud tertentu. Bentuk praktiknya bisa seperti apapun, namun yang penting adalah praktisi Zen terus mengamati pikirannya (citta). Maka dalam Zen tidak peduli apakah yang seseorang praktikkan adalah meditasi samatha bhavana, metta bavana, vipassana bhavana, nienfo, kong-an, dll, jika ia tidak mengawasi pikirannya maka ia akan menyimpang. Dalam Zen, Jhana (sebagaimana yang dimaksud dalam Jhana 1, 2, 3 dan 4 ) hanyalah efek samping dari seseorang yang menjadi sadar akan Bodhicittanya.
Bodhisatva menunda karena ingin menjadi SammasamBuddha bukan? Jika saat itu juga dia realisasikan tentu jadi arahat tapi karena tekad untuk menjadi Buddha maka tertunda, disini artinya masih ada Bhava tanha(keinginan utk menjadi) inilah yg disebut kilesa. Saya memahami masalah nirwana pelik, tetapi mengapa Sang Buddha mengatakan siswa2 arahat telah bersih dari kilesa/nibbana?
Bukan, Bodhisattva menunda penerangan sempurnanya demi makhluk lain yang masih tersesat.
Apa sih nirvana menurut mahayana? apa juga arti nirvana mikro dan absolut? Kalau bicara Arahat bukan hanya Pacekka Buddha. Savaka Buddha, pacceka Buddha dan Sammasambuddha adalah arahat. Kalau Sravaka Arahat baru dengar juga sih . Kalo sravaka/savaka arahat masih ada kilesa masih bisa diterima.
Nirvana dalam Mahayana sebagaimana yang saya pahami: tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata dan logika, hanya yang telah merealisasinya yang dapat memahaminya secara sepenuhnya. Setiap usaha menjelaskannya dalam bahasa hanya menghasilkan kerancuan baru. Sedangkan nirvana mikro adalah sebutan untuk pencapaian Para Bodhisattva yang tetap mempertahankan "nirvana" dalam pikirannya namun tetap bertahan dalam samsara. Nirvana mikro atau Bodhicitta hanya dapat disadari ketika seorang Boddhisattva tidak terperangkap dalam "kekosongan" stagnan yang terpisah dari "keberadaan" yang sebagaimana dimiliki oleh awam. Nirvana mikro adalah suatu penembusan yang melampaui itu, sehingga memungkinkan seorang Bodhhisattva tetap dalam dunia yang penuh kilesa namun tetap mempertahankan pencapaiannya.
Makanya supaya tidak berbelit saya tanya prakteknya jika tidak lalu untuk apa kita berlatih ?. Misalnya penjelasannya prakteknya gini lho dan ini ada dalam sutra ini. Cirinya mencapai ini adalah itu. paling tidak yg dasar2. Atau Ada penjelasan gamblang ini lho yg dilatih Bodhidharma. Artinya jangan sampai langsung tertulis dia mencapai pencerahan tapi apa landasan latihannya/prakteknya?. Misal telah ditulis meditasi ala mahayana ada a,b,c dan d. Hanya itu saja. Bagaimana dan gimana tidak jelas. Lalu bagaimana kita bisa maju. Karena kemajuan dalam Praktek harus tau cara mengolahnya.Jadi disini sebenarnya bukan untuk membenarkan metode tertentu. Smoga dipahami pointnya, dan saya tidak ada maksud berdebat tanpa dasar. Karena minimnya pengetahuan saya ttg mahayana khususnya maka saya banyak bertanya hal yg lebih konkrit.
Saya akan jelaskan hal ini dalam sisi Zen. Sekali lagi, zen adalah metode tanpa-metode. Artinya praktik zen tidak memiliki wujud pasti. Seseorang bisa terus mempraktikkan metode yang metode yang digunakannya. Inti dari zen, seperti kata Bodhidharma hanya mengamati/mengawasi pikiran. Dalam hal ini, sebenarnya posting yang kukirim tentang khotbah Bodhidharma sudah sangat jelas membabarkan hal ini. Memang masih ada sebagian kecil terjemahan yang belum selesai kuterjemahkan, jadi sabar dulu ya
Saya menilai kebiasaan dengan jabaran rinci tahap-tahap pencapaian sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa guru sebenarnya bukanlah suatu keharusan. Dalam zen, guru yang menunjuk cara memasukinya namun praktisi yang belajar dari pengalamannya. Guru saya yang mengajari saya zen, pernah berkata bahwa pencapaian setiap orang dalam menjalani zen adalah unik dan berbeda-beda. Berusaha menyeragamkan praktik setiap orang dalam zen sama sekali sia-sia. Mungkin ada yang cocok dengan melalui Jhana 1, 2, 3 dan 4 terlebih dahulu, mungkin ada yang cocok melalui vipassana lebih dahulu baru mengalami jhana, mungkin ada yang lebih cocok dengan nienfo, dll. Jadi tidak ada tolak ukur pasti bagi setiap orang.
Tolak ukurnya cuma satu paket yang longgar: sila, samadhi dan prajna.
Contoh begini : Ada seorang bhikkhu melatih untuk menghilangkan kilesa.....lalu mencapai nibbana. Dan tiba2 ada orang lain bilang "membayangkan" padahal yg dilatih benar2 melihat langsung nah tentunya saya tanya koq bisa begitu? atau bisa juga si bhikhu itu bertanya koq kamu tau ?
Contoh lain : sharing saja ya. Misal Anda berlatih pada seorang guru contoh Paauk Sayadaw, lalu kita katakan sudah sampai sini ternyata belum. Lalu diberikan instruksinya yg benar dan dijelaskan mengapa demikian. Dan akhirnya mencapai tahap itu. Dan ini bisa dijelaskan. Nah makanya saya tanya...mungkin selain bro bisa juga praktisi mahayanis lainnya menjelaskan maksud Bodhidharma membayangkan dasarnya apa? Apa ada dalam sutra, apa alasannya ? dan bagaimana cara berlatih menurut sutra? dan apakah cara menurut sutra itu sesuai yg diajarkan Sang Buddha. Kalau Sutta kan jelas ada, jadi disini saya tidak memperbandingkan sutta dan sutra.
Saya rasa apa yang dilakukan Paauk Sayadaw, dalam hal ini penjabarannya berdasarkan tuntunan praktik dalam Visuddhimagga sangat bermanfaat kala seseorang membutuhkan petunjuk yang jelas dan terperinci. Master Ch'an seperti Hanshan dalam otobiografinya juga pernah menyinggung persoalan ini. Masalah dalam zen memang tiadanya tuntunan terperinci untuk mengklarifikasi pencapaian seseorang, sehigga banyak praktisi zen yang tersesat di tengah-tengah praktiknya. Bahkan banyak sekali guru zen di masanya yang akhirnya enggan mengajarkan siswa-siswanya mempraktikkan zen semata-mata khawatir jika beliau meninggal tidak ada orang yang menuntun muridnya guna mencapai pencerahan di kala-kala praktiknya sedang membutuhkan tuntunan.
Namun, tuntunan yang demikian (sebagaimana dalam Visuddhimagga) bukannya tidak membuahkan masalah. Banyak praktisi yang jika terlalu berpegang pada tuntunan tertulis yang baku bisa jadi putus asa karena terlalu terikat dengan deskripsi yang digambarkan dalam tuntunan tersebut. Setiap kali ia memiliki pengalaman dalam meditasinya ia bertanya-tanya terus apakah ia telah mencapai sesuai yang dicantumkan dalam tuntunan atau tidak. Kondisi ini, hanya menimbulkan kegelisahan dan kecemasan baru sehingga mengganggu praktik seseorang. Belum lagi dalam diri praktisi muncul pertanyaan-pertanyaan seperti "kapan saya bisa mencapai tahap seperti yang tertulis dalam tuntunan?" atau "apa yang saya capai koq tidak ada dalam tuntunan ya?" Dalam hal ini, peran seorang guru yang seperti Paauk Sayadaw, Ajahn Brahma, dll. yang terus menginngatkan siswa-siswanya tentang praktik sebagaimana mestinya sangat penting. Bukan tulisan atau teks yang bisa membantu, namun kehadiran guru itu sendiri dengan pengalaman dan pengetahuannya yang bisa membantu.
Selain itu perlu diingat, Visuddimagga yang diacu oleh Paauk Sayadaw dan Ajahn Brahm bukanlah satu-satunya tuntunan demikian. Saya pernah mendengar tentang Vimutthimagga (jalan Pembebasan) yang ditulis oleh Arahant Upatissa. Saya sendiri belum sempat membacanya. Nanti kalau sudah membacanya akan kita diskusikan di forum ini.
Di luar semua ini, Bodhidharma sendiri tidak mementingkan tuntunan semacam ini. Beliau justru menganjurkan seseorang untuk tidak menceritakan pencapaiannya pada orang lain. Dalam hal ini tuntunan rinci tidaklah diperlukan. Ajarannya sederhana, cukup mengamati/mengawasi pikiran.Transmisi dilakukan oleh guru ke murid dari pikiran ke pikiran. Bagi Bodhidharma, selagi seseorang masih terus waspada dan mengawasi pikirannya ia tidak mungkin tersesat. Mungkin anda tidak sepaham dengannya. Jika demikian, maka terus mengikuti tuntunan dalam Visuddhimagga juga tidak ada salahnya jika memang membuahkan hasil bagi anda. Dalam hal ini, setiap seseorang terus waspada akan pikirannya itulah zen.
Apa arti jneyavarana menurut sutra Mahayana sendiri selain pandangan bro pribadi.?
Apakah Jneyavarana adalah juga kilesa?
4 corak itu adalah tentang micchaditthi yg telah tidak ada lagi pada diri arahat dan prakteknya juga demikian. Jangan2 yg dimaksud non mahayanis arahat sebenarnya bodhisatva di mahayanis lagi, karena masalah konsep, nah lho (spekulatif deh...)
Dalam Mahayana, Jneyavarana disebutkan terpisah dari Kleshavarana. Saya menyimpulkan tentang Jneyavarana ini berdasarkan Sutra Maha Kesadaran Sempurna. Jika teman-teman Mahayana lain punya pengertian lain mohon ditambahkan. Dalam Mahayana, pluralitas selalu dihargai
. Jika Theravada punya konsep sendiri ya tidak masalahkan..
Berarti ini karena diyakini? bukan fakta lapangan dong
Selama saya masih belum mencapai yang disebutkan, semuanya hanya keyakinan belaka. Bahkan umat Buddha yang belum merealisasi nirvana, nirvana hanyalah keyakinan belaka bukan fakta. Bahkan banyak hal dalam Buddhisme seperti tumimbal lahir, karma, pratitya samutpada, anatta dll semuanya hanya berdasarkan keyakinan belaka jika seseorang belum berhasil menembus pencapaian seperti yang diajarkan
Bahkan saya meragukan, jika pencerahan telah dicapai "fakta" sebagaimana yang kita pahami saat ini masih sama
-kala subjek dan objek tidak lagi eksis berdiri sendiri-sendiri apakah fakta masih relevan...
[/quote]