//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 663684 times)

0 Members and 4 Guests are viewing this topic.

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1260 on: 02 June 2009, 03:03:04 AM »
Quote
Selanjutnya, pernyataan saya bahwa itu adalah “kelahiran terakhir” bagi sosok Siddharta juga tetap valid, karena pada kenyataannya pada masa berikutnya memang tidak ada sosok Pangeran Siddharta lagi; terlepas dari apakah Sang Bodhisatta pada kehidupan lampaunya pernah mengucapkan proklamasi semacam itu ada tidak.

Jadi sebelumnya, telah pernah ada 'kelahiran terakhir' bagi seorang Gotama di kelahiran terdahulunya. Kemudian kembali terlahir lagi di 'kelahiran terakhir' sebagai seorang Sakyamuni, Siddhartha Gautama. Dan mungkin di masa depan akan terlahir lagi di 'kelahiran terakhir' lain sebagai sosok lain. Terakhir dari hongkong?!
Berarti bukan benar2 'kelahiran terakhir' dong. Kalau hanya krn Nama-rupa berbeda lantas dianggap 'kelahiran terakhir', berarti ini adlh kelahiran terakhir bagi sy dlm wujud yg skrg. Dan ini 'kelahiran terakhir' pula bagi seorang Ivan Taniputera. Begitukah?
Terlalu dipaksakan..

Quote
Memang spekulatif, tetapi Anda tidak bisa membuktikan secara PASTI bahwa pernyataan saya salah. Selama Anda tidak bisa melakukan TIME TRAVEL dan mengunjungi masing-masing kehidupan Bodhisatta itu di masa lampau, maka apa yang saya ungkapkan masih mungkin memiliki derajat kebenaran; sehingga Anda tidak punya hak untuk mengklaimnya sebagai kesalahan.
Memang benar, tetapi berhub sebagaimana kaum non-Mahayanis meyakini kanon Pali, dan Anda sbg kaum Mahayana pun mengakui kebenaran Agama Sutra, maka bisa kembali lagi ke 4 kewibawaan utk mengecek ke Dhamma-Vinaya yg telah diajarkan Sang Gotama.
Dan seperti telah dikatakan oleh Bro Upasaka, bahwa dlm Theravada, penjelasan rasionalnya lebih dapat dipertanggung jawabkan.

instrumen dalam berlogikanya sepertinya banyak fallacy ya.. Boleh diperbaiki terlebih dahulu deh baru bisa meneruskan ke dlm diskusi.

Quote
nibanna sebagai pembebasan dukkha adalah omong kosong dan salah. Parinibbanalah yang menjadi pembebasan dari semua sebab-sebab dukkha. Lalu pertanyaan saya apakah gunanya nibanna apakah gunanya parinibanna? Apakah parinibanna dan nibanna itu adalah dua entitas yang terpisah?
Anda boleh membantah, silakan diperiksa kembali. Yakinkah Anda bahwa Saupadisesa nibbana dan Anupadisesa Nibbana tidak termuat dlm pembahasan Mahayana? Bukankah Mahayana mengklaim kalau ajaran Mahayana pun telah mencakup ajaran Theravada? Berarti itu bukan kelitan non-Mahayanis, melainkan Mahayanis sendiri.
Jadi jangan memandang dr sudut non-Mahayanis, tp pandanglah sbg sebuah pertentangan yg ada dlm tubuh Mahayana sendiri.

Quote
Pertanyaan saya :”Apakah nibanna tanpa sisa dapat dicapai tanpa kematian?” tidak pernah dijawab. Justru ini membuktikan ketidak-konsisten pandangan non Buddhis tentang nibanna.
Entah apakah terlewat dan tidak membaca atau kebanyakan debu di mata?
harap baca di atas telah tertulis:
Quote
Maka mencapai nibbana tanpa sisa tanpa melalui proses penghancuran adlh tidak mungkin.
Sudah dijelaskan pula bahwa pertanyaan tsb sendiri berkontradiksi, bagaimana mungkin disebut nibbana tanpa sisa bila tanpa kematian? Twisted!!
Mendikotomikan Nibbana dg Parinibbana? Benarkah demikian? Atau hanya pandangan yg mencoba menyamakan dan tidak mau melihat perbedaan yg ada?

Quote
SEkarang meminjam dari postingan rekan non Mahayana di sini, bahwa kalau ada dua hal yang bertentangan, maka tidak mungkin dua-duanya benar. Mari kita cermati dua statemen Anda:
1.Buddha bukan lenyap
2.Buddha bukan kekal
Mana dia antara dua pernyataan yang saling bertentangan itu yang benar?
Mari kita cermati pernyataan ini: “karena tidak ada diri yang lenyap setelah Parinibbana.” Pertanyaan saya: “Sebelum parinibanna masih ada diri tidak?”
Tidak jelas. Postingan rekan non Mahayana yg manakah yg dimaksud di sini? Tolong kutipkan agar kita bisa melihat jelas, sertakan sumber dg jelas, tdk perlu 'rekan non-Mahayana' krn itu bisa berarti banyak orang.
Sebelum parinibbana, apakah itu setelah nibbana atau belum? Lebih spesifik tolong..

Quote
Ada rekan non Mahayanis yang menyatakan bahwa nibanna itu di luar konsep, tetapi sekarang Anda menyatakan bukan di luar konsep. Nah lagi-lagi mana yang benar nih?

Sejauh yg saya tangkap dr mksd Bro Upasaka adl bahwa Bro Upasaka mengatakan bahwa 'Kalau saya uraikan seperti itu, rasanya penjelasan Nibbana versi Theravada bukan "di luar konsep" kan?'
Dlm hal ini, perhatikan makna tertulis maupun yg tersirat. Saya melihat bahwa Bro Upasaka hanya mencoba utk memberi pengertian yg lebih jelas, krn sebelumnya Anda selalu bersikeras bahwa penjelasan saya ttg 'di luar konsep' terlalu kabur. Karenanya, sedikit berkompromi, Bro Upasaka hanya mencoba menjelaskan secara lebih detil. Dan dia semata menulis 'rasanya' bukan bahwa penjelasan Nibbana Theravadin 'bukan di luar konsep'
Seperti orang yg ditanya pohon mangga menjelaskan pohon sukun. Demikianlah Anda tidak menjawab pertanyaan yg dilontarkan melainkan dng mengadu antara jawaban kaum non-Mahayanis dan kembali bertanya.
Itukah arti diskusi bagi Anda? Terus terang, saya tidak akan melanjutkan lebih jauh lagi apabila hal yg sama berkelanjutan.

Quote
Jawabannya masih yang itu-itu juga. Anda bilang: “karena INGIN membuat Ambatha mengoreksi dirinya sendiri” Berarti Sang Buddha punya keinginan donk? Ini sekali kontradiktif dengan pernyataan2 sebelumnya, bahwa seorang Buddha tidak punya keinginan lagi. Ternyata menurut Anda Buddha masih punya keinginan lho.
Pertanyaan saya: Jika Sang Buddha tahu bahwa Ambattha tidak akan menjawab pertanyaannya, apakah BEliau akan mencegah sang yakkha mengayunkan gadanya?
Anda terlalu detil & perhatian pd kata2 dr lawan bicara. Sehingga sedikit kesalahan spt 'menuntut' dan 'ingin' yg di atas langsung digembar-gemborkan. Tentunya Anda bisa memaklumi sedikit kesalahan sebagaimana yg Bro Upasaka tulis, kan? Dan bukankah ada dikatakan dlm sutra sesepuh Anda bahwa 'jangan melihat jari, tetapi lihatlah bulan'
Jd jangan terlalu meributkan hal2 sepele dlm tulisan kaum Non-Mahayanis, lihatlah hal yg dimaksud dlm tulisan tsb. ;)

Quote
-Bagi saya seorang Sammasambuddha TIDAK bisa mengeluarkan kata-kata sepele. Jadi kemungkinannya Sutta itu yang bermasalah, jadi bukan Sammasambuddhanya. Nah, biasanya rekan non Mahayanis mengkritik Sutra Mahayana, kini giliran saya mengkritik Sutta non Mahayanis.

Pernah mendengar pepatah 'menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri jua?'
Bukannya Sutta non-mahayanis pun diakui sebagai bagian dr kitab Mahayana, sebagai Agama Sutra. Benar kan? Tolong dijawab benar atau tidak saja.

Quote
-Semua kitab termasuk yang bermasalah sekalipun tetap ada amanatnya. yaitu: “Jangan menuduh dan merendahkan orang sembarangan. Jangan-jangan orang yang merendahkan atau menuduh itu justru punya kesalahan yang lebih besar.”

Umm.. Apakah ini juga termuat dlm Sutta/Sutra? ;D
appamadena sampadetha

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1261 on: 02 June 2009, 03:26:45 AM »
Quote
Begitu pula, seorang Bhikshu Zen memukul dengan tongkat atau membunuh seekor kucing karena para siswanya telah melakukan kesalahan. Dengan “memukul” atau memberikan tindakan semacam itu – yang beliau lakukan seolah sebagai kebenaran, tujuan sang Bhikshu adalah membenarkan kesalahan murid-muridnya. Sekaligus memberikan petikan amanah yang juga bermanfaat bagi para siswa lainnya.

Sip dah.. Knp dr awal tidak menjawab tetapi setelah Bro Upasaka menjawab baru diberikan jawaban sama? Seperti orang menanyakan pohon sukun dijawab pohon mangga.. :-?

Quote
Sang kucing berjasa karena berperan serta dalam proses pencerahan, juga akan bertumimbal lahir di alam yang lebih baik.

Hello.. Para guru abhidhamma.. Adakah krn kucing dibunuh utk tujuan kebaikan maka dipastikan kucing akan terlahir di alam lebih baik? Bukankah setiap mahluk mewarisi kammanya tersendiri?
Bukannya krn kucing mati menderita, menolak saat akan dibunuh, maka akan terlahir sekali lagi ke alam menderita? Itu logikanya bukan?
Apa tuh namanya kamma yg berdasar pd pikiran terakhir sebelum meninggal yg menentukan kelahiran kembali ke alam mana.

Quote
Wah ga bisa begitu donk. Ga adil! Apakah rekan-rekan non Mahayanis boleh mengkritik Mahayanis sedangkan rekan2 Mahayanis tidak boleh mengkritik non Mahayanis? Kritikan itu adalah bagian dari jawaban yang tak dapat dipisahkan. Saya bisa buka thread sendiri, tetapi tidak akan efektif karena semuanya berkaitan. Akan membuang2 waktu kalau saya harus membalas di dua thread padahal keduanya saling berkaitan.
Jika rekan2 non Mahayanis tidak bersedia dikritik, maka dengan senang hati saya akan mundur. Untuk apa saya berdiskusi dengan orang yang tidak bersedia balik dikritik?

Hihi.. Bukannya tidak adil.. Tapi ini kan memang di board Mahayana? Agar tidak OOT toh? :)
Dibuka aja di board Theravada agar dijawab para sesepuh di sana. ;)
Jika dirasa semua saling berkaitan, bagaimana bila diadakan semacam board 'muara' pertemuan antara Theravada dg Mahayana?
Tdk berhub dg kesiapan dikritik. Tetapi memang saya menyarankan demikian agar tdk berputar2. Bukannya biasa selalu dikatakan utk membuka thread baru saja?

Ttg mujizat. Ya bisa dibandingkan. Utk membaca satu sutra Mahayana sebelumnya, kadang kita harus membaca terlebih dahulu keagungan2, mujizat2 yg dpt dilakukan Sang Buddha, yg terkesan 'Wow' tetapi bagi saya, cukup membosankan. Bandingkan dg penjelasan Sang Buddha ttg mujizat di sutta Theravada yg kebanyakan hanya menjelaskan apa adanya ttg panca abhinna yg dpt diperoleh lewat samadhi.
Seperti lazimnya kita ketemukan di setiap sutra Mahayana, ttg kemampuan Buddha & para Bodhisattva utk muncul ke alam manusia dan sekali membabarkan dhamma, berkoti2 mahluk diselamatkan, bla bla bla.. Toh ampe umur segini hari ini belum kedengaran ada 1 pun yg nongol di dekat rumah saya. Yg sering mah kedatangan ustad atau ulama. Apa para Buddha dan Bodhisattva menyamar dlm bentuk ustad dan ulama?? ^-^
Bandingkan dg cerita mujizat di Theravada, memang ada bbrp. Tp tidak terlalu banyak dibandingkan dg yg Mahayana. Tentu saja tidak saya hitung brp banyak scr pasti. Berhubung saya bukan orang yg kurang kerjaan. Dan terutama krn saya kekurangan bahan. Berbeda dg Anda yg gudang ilmu, pemilik 1000 buku dan risalah buddhis. Bagaimana jika pd waktu senggang, dihitung brp perbandingan mujizat yg ada antar Sutta Theravada dg Sutra Mahayana+Agama Sutra?
Memang, tolok ukur utk itu sendiri bersifat subjektif. Jadi tidak perlu dibahas berkepanjangan. ;D
Krn seperti yg pernah saya katakan, FYI, saya tidak terlalu terkesan dan meyakini dng cerita2 tsb. Dan andaipun ada, dlm Sutta Theravada tafsir-menafsirnya lebih rasional dibandingkan dg maaf.. Mahayana, sejauh yg pernah saya baca. Mungkin saja ada sutta Mahayana yg rasional, krn belum ketemu, maka di sinilah saya bertanya pd Anda sekalian para sesepuh Mahayana. Bukannya utk balik ditanya. :)

Terima kasih

_/\_
appamadena sampadetha

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1262 on: 02 June 2009, 05:55:44 AM »
 [at] bro Tan &  [at] bro Xuvie:

Utk pembahasan "Pertanyaan kritis mengenai Theravada" bisa dibuat di board theravada agar pembahasannya tidak bercampur dan keluar dari topik.

:backtotopic:
There is no place like 127.0.0.1

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1263 on: 02 June 2009, 10:21:53 AM »
Quote from: Tan
Tepatnya analogi bagi apa? Apakah yakkha Vajirapani sesungguhnya adalah "centeng" atau umat2 yang kebetulan hadir di sana dan membawa sebuah gada atau pentungan? Dan mereka akan langsung "bak buk" main hajar kalau Ambattha tak mau menjawab untuk kali ketiga?

Maksud saya, mungkin yakkha di kisah itu hanyalah gambaran karakter dari si penulis Sutta. Dalam banyak kisah Sutta Theravada, gaya cerita analogi ini sering ditemukan. Salah satunya adalah gaya cerita tentang Mara, yang maksudnya adalah gejolak batin sendiri.

NB: Mara memang makhluk. Tapi ada beberapa kisah yang memakai Mara sebagai wujud kotoran batin.


Quote from: Tan
Jadi kalau ternyata Ambattha tidak mau menjawab, maka Buddha akan mencegah Vajirapani mengayunkan gadanya? Penjelasan ini kontradiksi dengan pernyataan bahwa orang yang tidak bersedia menjawab pertanyaan Buddha untuk kali ketiga akan remuk kepalanya menjadi tujuh bagian. Kalau toh Buddha pada akhirnya akan mencegahnya meski Ambattha tidak menjawab pertanyaan untuk kali ketiga, maka pernyataan sebelumnya adalah "bohong," karena toh Buddha akan "mengampuni" dan mencegah sang yakkha mengayunkan gadanya. Jadi seolah-olah tetap ada ancaman bukan? Terbukti Ambattha katanya sampai "tegak seluruh rambutnya."

Sang Buddha sudah tahu kalau Ambattha pasti akan menjawab pertanyaan-Nya setelah ditegur. Makanya Sang Buddha tidak 'khawatir' dan berusaha mencegah yakkha memukul kepala Ambatha.


Quote from: Tan
Sama dengan seorang anak yang meniru tindakan orang dewasa, bisa saja hal itu membahayakan dirinya. Ada kisah seorang bhikshu Zen yang membunuh seekor kucing untuk mengakhiri suatu pertentangan antara dua kubu bhikshu. Ini ada di kartun Zen karya Ts'ai Shih Chung. Nah bagi orang awam, membunuh kucing adalah karma buruk, tetapi tidak bagi sang bhikshu, karena ia sudah tercerahi. Jadi jangan mencoba meniru membunuh kucing karena seorang bhikshu yang bijaksana melakukannya.

Banyak bhikkhu yang belum mencapai tingkat kesucian. Tapi mereka berusaha bertindak-tanduk dalam kebenaran (Dhamma). Dan mereka semua berusaha meneladani tindak-tanduk Sang Buddha. Apakah itu adalah kesalahan? Jadi mereka semua masuk Neraka Avici ya?

Oooo... begitu toh.
Rupanya ada pembunuhan dengan kasus tertentu yang dapat dinyatakan sebagai kebaikan?
Rupanya masih mungkin bagi orang Yang Tercerahkan untuk dapat membunuh?

Berarti tanpa meniru pun, para teroris nun jauh di sana punya bekal-bekal Pencerahan seperti ini.


Quote from: Tan
Mengapa Anda berpikir begitu? Bagi ajaran Mahayana, kita juga mempergunakan risalah2 dari para bhikshu tinggi, seperti Vasubandhu, Nagarjuna, Huineng, dll. Karya itu dianggap permata Dharma yang sama nilainya. Bahkan kitab riwayat para guru Sesepuh dan bhikshu tinggi (Gao Shengquan) juga dimasukkan dalam kanon Mahayana. Mengapa demikian? Bukan karena kami kaum Mahayanis ingin menambah2i Tripitaka, tetapi karena Dharma itu sungguh luas. Belajar dari ajaran guru-guru Sesepuh juga sesuatu yang bernilai. Itu saja.

Tidak ada maksud begitu. Saya hanya ingin mengetahui apakah maksudnya Sang Buddha lupa menyisipkan uraian mengenai perihal itu dalam penjelasan mengenai garuka kamma. Rupanya sudah jelas sekarang...

Kanon Mahayana itu seringkali mengandung wejangan-wejangan dari para Bhiksu sesepuh. Pantas saja banyak isi ajaran Buddhisme yang bertolak-belakang jika dibandingkan antar-sektenya.


Quote from: Tan
Pernah dengan Bhikkhu Sati yang pernah "dihardik" oleh Buddha karena mengajarkan sesuatu yang salah, yakni tentang "berpindahnya kesadaran"? Saat itu dalam Sutta disebutkan bahwa Bhikkhu Sati sangat malu hingga ia tertunduk kepalanya. Saya kira metoda apapun adalah baik, tergantung dari orangnya. Apakah itu pengamalan dari ajaran Buddha? Saya jawab dengan tegas YA! Ada orang yang harus diajar dengan cara "keras" dan "lunak" (baca Kesi Sutta).
Sebagai tambahan: bagaimana Anda tahu bahwa ajaran Zen memakai kekerasan fisik dan ucapan? Memang dalam meditasi Zen Anda dipukul dengan kayu, tetapi pukulannya tidak keras dan hanya dimaksudkan agar posisi meditasi Anda kembali benar. Tidak ada kekerasan ucapan dalam Zen. Bila Anda mengantuk maka pelatih akan meneriakkan seruan seperti "Ho." Tidak ada niat kejam dalam diri mereka.

Demikian semoga jawaban saya memuaskan Anda.

Amiduofo,

Tan

Apakah Sang Buddha menghardik dengan ucapan dan atau perlakuan yang bersifat kekerasan?

Mungkin 'kekerasan' di Ajaran Zen tidak terlalu parah.
Tapi kenapa Sang Buddha tidak memberi pengajaran dengan bumbu 'kekerasan' seperti itu?

Apakah maksudnya 'kekerasan' itu adalah metode mutakhir untuk mengajarkan Dharma?
Atau metode Sang Buddha itu kuno, jadi perlu direvisi?

Saudara Tan...

Pertanyaan-pertanyaan saya di atas juga Anda tunda ya?

Saudara Tan...

Pertanyaan-pertanyaan saya di atas juga Anda tunda ya?

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1264 on: 02 June 2009, 10:23:04 AM »
Quote from: Tan
TAN:
Well! Saya berhak menyatakan pula alur logika sebagai berikut: Pemuda Sumedha yang menerima Vekkarana dari Buddha Dipankara tidak merealisasi Penerangan Sempurna pada kurun waktu kehidupannya. Seekor anak ayam jantan tidak merealisasi Penerangan Sempurn pada kurun waktu kehidupannya. Itulah sebabnya, mereka tidak menyatakan “Inilah Kelahiranku yang terakhir.” Beda kasusnya dengan Pangeran Sidharta yang merealisasi Penerangan Sempurna pada kurun waktu kehidupannya. Karena itu, ia menyatakan bahwa itulah kelahirannya yang terakhir.
Konsep Mahayana sudah jelas bahwa nirmanakaya merupakan emanasi dari Dharmakaya, yang tujuannya adalah membimbing para makhluk menuju Jalan Dharma. Itulah sebabnya, Beliau mengucapkan mengenai “Kelahiran Terakhir” yang mengacu pada pembebasan dari samsara.
Jadi, ungkapan semacam itu memang sudah sesuai dengan “hakikat” nirmanakaya pada saat itu; yakni “memperagakan” suatu “drama” Penerangan Sempurna. Demikianlah pandangan Mahayana. Karena itu, pertanyaan bahwa “seseorang yang sudah merealisasi Penerangan Sempurna di masa lampau” kini “mencapai Penerangan Sempurna lagi tidaklah valid. Mengapa? Karena Penerangan Sempurna itu hanya suatu “drama agung” demi mengajar umat manusia.
Selanjutnya, pernyataan saya bahwa itu adalah “kelahiran terakhir” bagi sosok Siddharta juga tetap valid, karena pada kenyataannya pada masa berikutnya memang tidak ada sosok Pangeran Siddharta lagi; terlepas dari apakah Sang Bodhisatta pada kehidupan lampaunya pernah mengucapkan proklamasi semacam itu ada tidak.
Kalau mau pakai bahasa ngotot-ngototan saya juga bisa berkelit dengan menyatakan bahwa mungkin saja Bodhisatta Sumedha di masa lalu mengucapkan hal semacam itu, hanya saja tidak dicatat dalam Tipitaka. Toh di Tipitaka juga tidak mencatat semua hal. Anda mungkin membantah: “Bagaimana bisa!” sambil memelototkan mata. Saya bilang bisa saja! Toh Tipitaka juga tidak mencatat warna celana yang dipakai Sumedha. Jadi Tipitaka tidak mencatat segalanya. Mungkin Anda membantah lagi dengan menyatakan: “Ah, pernyataan spekulatif!” Memang spekulatif, tetapi Anda tidak bisa membuktikan secara PASTI bahwa pernyataan saya salah. Selama Anda tidak bisa melakukan TIME TRAVEL dan mengunjungi masing-masing kehidupan Bodhisatta itu di masa lampau, maka apa yang saya ungkapkan masih mungkin memiliki derajat kebenaran; sehingga Anda tidak punya hak untuk mengklaimnya sebagai kesalahan.

Anda benar! Dengan ini saya menyatakan :
“Inilah kelahiranku yang terakhir.”

Apakah berarti saya sudah mencapai Pencerahan? ^-^


Lucu sekali komentar Anda. Saya ambil poin-poinnya :
- Bodhisatta Gotama sudah mencapai Pencerahan sejak kehidupan yang lampau.
- Sebagai wujud dari Nirmanakaya, Bodhisatta Gotama lahir menjadi Pangeran Siddhattha untuk menjadi Sammasambuddha.

Pertanyaannya :
- Apa seh arti Pencerahan bagi Anda?
- Apakah Pencerahan sama dengan Nirvana?
- Bagaimana caranya seseorang yang sudah merealisasi Pencerahan atau Nirvana untuk masih dapat terhanyut dalam roda kehidupan berulang?
- Kalau begitu, apakah mungkin Sammasambuddha Gotama masih melanjutkan roda kehidupan berulang untuk kelak mengajarkan Dhamma kepada para dewa dan manusia lagi?


Quote from: Tan
TAN:
Ah ya benar sekali! Tapi tambahkan pula pernyataan bahwa kedua statemen di atas harus mengacu pada satu lampu, pada tempat, dan waktu yang sama. Tanpa tambahan keterangan itu, mungkin saja masing-masing statemen mengacu pada dua lampu bohlam yang berbeda atau satu lampu pada saat yang berbeda.
Anggap saja semua kondisi sudah dipenuhi. Tetapi seperti kelitan yang biasa dilontarkan rekan non Mahayanis, saya juga akan menjawab bahwa analogi atau dua statemen Anda di atas tidak valid bila dikenakan pada kasus Mahayana (dan memang menurut saya adalah demikian adanya).
Amiduofo,

Tan

Tidak valid di mananya?
« Last Edit: 02 June 2009, 10:37:26 AM by upasaka »

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1265 on: 02 June 2009, 10:37:15 AM »
Quote from: Tan
TAN:
Tetapi bagaimanapun juga penjelasan non Mahayanis selalu memancing dikotomi antara nibanna dan parinibbana. Ini yang justru membuat segalanya menjadi rumit dan terkesan kontradiktif. Jika parinibanna adalah terhentinya semua sebab-sebab dukkha, maka ketika seorang Buddha “baru” mencapai nibanna (belum parinibanna) maka sebab-sebab dukkha itu masih ada. Demikiankah maksud Anda? Karena itu, berdasarkan konsep di atas, nibanna sebagai pembebasan dukkha adalah omong kosong dan salah. Parinibbanalah yang menjadi pembebasan dari semua sebab-sebab dukkha. Lalu pertanyaan saya apakah gunanya nibanna apakah gunanya parinibanna? Apakah parinibanna dan nibanna itu adalah dua entitas yang terpisah?

Nibbana adalah padamnya lobha-dosa-moha. Ini jelas merujuk pada kondisi batin. Orang yang mencapai Nibbana tidak lagi merasakan suka maupun duka; batinnya sudah mencapai kedamaian. Artinya Nibbana juga terhentinya dukkha. Namun orang yang merealisasi Nibbana masih menjalani penghidupan di samsara ini. Jadi meskipun batinnya tidak lagi menderita, namun ia masih memiliki keterbatasan fisik; sesuai hakikatnya sebagai makhluk.

Ketika memasuki Parinibbana, maka ia tidak lagi dibatasi oleh fisik jasmani. Orang yang memasuki Parinibbana adalah orang yang sudah merealisasi Nibbana tanpa sisa. Orang itu sudah merealisasi Pembebasan Mutlak.

Nibbana bukan berguna atau tidak. Nibbana dan Parinibbana adalah satu realitas. Perbedaannya adalah :
- Nibbana merupakan Pembebasan; dimana orang yang merealisasinya masih menjalani penghidupan.
- Parinibbana merupakan Pembebasan Mutlak; dimana orang yang memasukinya tidak lagi menjalani rutinitas penghidupan.


Quote from: Tan
TAN:
Tidak juga. Justru tidak konsisten. Contohnya seperti dikotomi antara nibanna dan parinibanna; antara nibanna dengan sisa dan tanpa sisa. Kalau benar nibanna tanpa sisa itu tak terkondisi, mengapa hanya dapat dicapai setelah kematian? Pertanyaan saya :”Apakah nibanna tanpa sisa dapat dicapai tanpa kematian?” tidak pernah dijawab. Justru ini membuktikan ketidak-konsisten pandangan non Buddhis tentang nibanna.

Nibbana itu merupakan Pembebasan – terbebas dari lobha-dosa-moha. Nibbana itu berbicara mengenai kondisi batin, yakni batin yang tidak berkondisi.

Nibbana tanpa sisa (Parinibbana) hanya dapat dicapai setelah seseorang meninggalkan penghidupan. Karena ketika seseorang meninggalkan penghidupan (meninggal), saat itulah semua paduan unsur-unsur yang masih ada akan terurai habis; seperti api yang padam.

Konsep Theravada sangat jelas. Tidak ngejlimet. Selalu konsisten. Nibbana dan Parinibbana dijelaskan dengan penggambaran yang detail dan logis, serta sangat sistematis dan berada dalam koridor yang rapi.


….Ketidak-konsisten pandangan Non-Buddhis…??

Anda salah ketik yah?
Hmm… Kalau Anda mengantuk, sebaiknya jangan dipaksakan untuk membalas postingan dulu. Sebagai info, hati (lever) manusia akan bekerja menawarkan racun di dalam tubuh ketika pukul 2-3 pagi. Jadi sebaiknya Anda beristirahat / tidur pada waktu itu.


Quote from: Tan
Hahaha. SEkarang meminjam dari postingan rekan non Mahayana di sini, bahwa kalau ada dua hal yang bertentangan, maka tidak mungkin dua-duanya benar. Mari kita cermati dua statemen Anda:
1.Buddha bukan lenyap
2.Buddha bukan kekal
Mana dia antara dua pernyataan yang saling bertentangan itu yang benar?
Mari kita cermati pernyataan ini: “karena tidak ada diri yang lenyap setelah Parinibbana.” Pertanyaan saya: “Sebelum parinibanna masih ada diri tidak?”

“Buddha bukan lenyap” dan “Buddha bukan kekal”.

Maka yang dimaksud adalah : setelah memasuki Parinibbana, Buddha tidak lagi bisa dikatakan ada maupun tiada. Nibbana tanpa sisa adalah perealisasian tertinggi, ia berada di luar samsara. Maksudnya bahwa ia tidak terkungkung oleh samsara. Jadi ia bukanlah lenyap, bukanlah kekal, bukanlah tidak kekal, dan bukanlah tidak lenyap.

Sebelum Parinibbana, tidak ada diri juga. Sejak awal kelahiran sampai kematian, tidak ada intensitas yang namanya “diri”. Yang ada hanyalah konsep tentang keberadaan diri. Dan konsep inilah yang harus ditanggalkan guna merealisasi Nibbana.

Gimana rasanya sudah meminjam cara berpikir Theravadin untuk mengemukakan postingan? Logis kan?

Tapi sayangnya saya kemukakan lagi cara berpikir Theravadin untuk mengemukakan jawaban. Logis juga kan?


Quote from: Tan
TAN:
Ada rekan non Mahayanis yang menyatakan bahwa nibanna itu di luar konsep, tetapi sekarang Anda menyatakan bukan di luar konsep. Nah lagi-lagi mana yang benar nih?

Amiduofo,

Tan

Maksudnya… Penjelasan mengenai Nibbana itu masih bisa saya rincikan lebih jelas lagi. Tentu saja hakikat Nibbana di luar konsep pemikiran manusia. Karena Nibbana berada di luar samsara, sedangkan pemikiran manusia merupakan bagian dari samsara.

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1266 on: 02 June 2009, 10:46:36 AM »
Quote from: Tan
TAN:
Jawabannya masih yang itu-itu juga. Anda bilang: “karena INGIN membuat Ambatha mengoreksi dirinya sendiri” Berarti Sang Buddha punya keinginan donk? Ini sekali kontradiktif dengan pernyataan2 sebelumnya, bahwa seorang Buddha tidak punya keinginan lagi. Ternyata menurut Anda Buddha masih punya keinginan lho.
Pertanyaan saya: Jika Sang Buddha tahu bahwa Ambattha tidak akan menjawab pertanyaannya, apakah BEliau akan mencegah sang yakkha mengayunkan gadanya?

Pertanyaannya masih itu-itu saja…

Keinginan yang tidak lagi ada pada diri seorang Buddha adalah keinginan berdasarkan keakuan. Tentu saja seorang Buddha masih memiliki keinginan. Kalau tidak memiliki keinginan, bagaimana mungkin Sang Buddha bisa memberi khotbah kepada para dewa dan manusia.

Pertanyaan Anda tidak valid lagi... ^-^

Sudah saya katakan, Sang Buddha sudah tahu kalau Ambatha akan menjawab pertanyaan-Nya setelah diulangi untuk ketiga kalinya. Jadi Sang Buddha tidak risau dengan niat yakkha itu. Karena itulah Sang Buddha tidak berusaha mencegah perbuatan yakkha itu.


Quote from: Tan
TAN:
Ada yang ingin saya jawab:
-Menurut saya YA. Mengapa? Karena yang diributkan adalah masalah status atau kedudukan. Tentunya bagi seorang Samyaksambuddha suatu status adalah “tidak penting lagi” bukan? Atau menurut Anda status atau kasta (Brahmana vs. Khattiya) masih penting bagi seorang Sammasambuddha? Jika bagi Anda pertanyaan itu bukan sepele, maka kesimpulannya seorang Sammasambuddha masih mementingkan status.
-Bagi saya seorang Sammasambuddha TIDAK bisa mengeluarkan kata-kata sepele. Jadi kemungkinannya Sutta itu yang bermasalah, jadi bukan Sammasambuddhanya. Nah, biasanya rekan non Mahayanis mengkritik Sutra Mahayana, kini giliran saya mengkritik Sutta non Mahayanis.
-Menurut saya, banyak rekan non Mahayanis yang sudah cukup cerdas untuk memetik amanah dari ajaran Mahayana. Tapi kenapa mereka terus mengungkit ajaran Mahayana? Apakah mereka ingin mempertobatkan semua umat Mahayana menjadi non Mahayana?
-Semua kitab termasuk yang bermasalah sekalipun tetap ada amanatnya. yaitu: “Jangan menuduh dan merendahkan orang sembarangan. Jangan-jangan orang yang merendahkan atau menuduh itu justru punya kesalahan yang lebih besar.” Waktu Ambattha memaki suku Sakya sebagai keturunan rendah, justru Ambattha sendiri yang keturunan wanita pelayan. Nah ini pelajaran berharga yang bisa dipetik. Jangan merendahkan kalau tidak mau direndahkan.

Amiduofo,

Tan

- Apakah yang terjadi pada Ambatha setelah dia menjawab pertanyaan sepele dari Sang Buddha? Hasilnya apa?? Kalau dari pertanyaan sepele itu akhirnya Ambatha bias berubah ke arah yang lebih baik, artinya pertanyaan Sang Buddha itu bukan pertanyaan sepele. Justru Anda yang terlalu menyepelekan hal-hal kecil. Hati-hati loh, semut yang kecil itu bisa mengalahkan seekor gajah yang besar…

- Kalau menurut saya, Sang Buddha tidak pernah sekalipun mengeluarkan kata-kata sepele di dalam Sutta. Yang jadi permasalahannya adalah orang-orang yang membaca Sutta itu. Seringkali mereka menyepelekan kata-kata yang sederhana.

- Anda keliru. Kami semua Umat Non-Mahayanis di sini tidak lebih cerdas dari Anda. Terlebih saya sendiri. Saya hanyalah seorang awam yang baru mengenyam pendidikan di bangku TK, dan saya masih belum mengerti pelajaran di bangku SD (baca : Mahayana) dan SMP (baca : Vajrayana). Karena itu, saya ingin membangkitkan pemikiran kritis saya guna mempelajari tendensi dari pelajaran-pelajaran di bangku SD ini.

- Terima kasih atas pencerahannya. ;D

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1267 on: 02 June 2009, 10:50:14 AM »
Quote from: Tan
TAN:
Dengan alasan yang sama. Apakah seorang Bhikshu Zen yang memukul dengan tongkat merugikan muridnya? Jawabannya tentu tidak, justru “pukulan” tongkat itu membuat siswa tersadarkan dan kembali bermeditasi dengan benar. Dengan kata lain, “pukulan” tongkat itu memberi keuntungan bagi sang siswa.

Apakah seorang Yang Tercerahkan masih membutuhkan tongkat dalam memberikan pengajarannya?

Hmmm... Mungkin memang benar, kalau Guru-guru Zen itu lebih berbakat mengajar daripada seorang Sammasambuddha Gotama yah? Hahaha...


Quote from: Tan
TAN:
Begitu pula, seorang Bhikshu Zen memukul dengan tongkat atau membunuh seekor kucing karena para siswanya telah melakukan kesalahan. Dengan “memukul” atau memberikan tindakan semacam itu – yang beliau lakukan seolah sebagai kebenaran, tujuan sang Bhikshu adalah membenarkan kesalahan murid-muridnya. Sekaligus memberikan petikan amanah yang juga bermanfaat bagi para siswa lainnya.

Dimana kekonsistenan kalau Aliran Mahayana (baca : Zen) bertindak atas dasar menghargai semua bentuk kehidupan? Demi memberikan inspirasi, seekor kucing harus dijadikan tumbal? Wow... Sungguh bijaksana sekali tindakannya? Sang Buddha Gotama pasti bisa memberikan standing applause untuk metode pengajaran ini yah... ;D


Quote from: Tan
TAN:
Jawaban dari saya untuk Anda:
-Kalau pembunuhan kucing itu dapat menjadikan saya tercerahi, maka itu adalah bijaksana. Sang kucing berjasa karena berperan serta dalam proses pencerahan, juga akan bertumimbal lahir di alam yang lebih baik. Everybody happy kalau segala sesuatu dilakukan dengan bijaksana. Tidak ada yang dirugikan di sini.
-Sudah dijawab di atas. Office Boy belum tentu dirugikan kalau si boss membersihkan sendiri bangkai kucingnya. Dengan asumsi si Boss bijaksana, maka tentunya ia akan membersihkan sendiri bangkai kucingnya; kecuali kalau si office boy memang dengan penuh suka cita membersihkan ruangan dari bangkai kucing. Sekali lagi semua hanya sekedar asumsi.
Coba renugkan baik-baik, Bro!
Amiduofo,

Tan

- Kucing itu berjasa? Kucing itu akan terlahir ke alam yang lebih baik? Everybody’s happy? Bagaimana mungkin?? Kucing itu kan tidak tahu apa-apa, nyatanya dia harus kehilangan nyawanya meski tidak berbuat salah kepada seisi kantor… Kucing itu mungkin akan terlahir kea lam rendah lagi, karena pikirannya pasti dipenuhi dengan rasa takut dan kebencian ketika menjelang kematiannya. Dan siapa tahu timbunan karma burukya masih banyak… Dan saya ini penggemar kucing loh. Bagaimana pun, saya tetap akan sedih melihat kucing dibunuh. Jadi setidaknya tindakan itu tidak bias membuat semua orang happy.

- Wow… Sungguh Boss teladan. Kalau begitu, Office Boy itu pasti senang sekali punya Boss seperti itu. Kelak jika Boss itu menumpahkan kopi di lantai, maka Boss itu juga yang akan membersihkannya sendiri. Hahaha…

- Anda mau berjasa bagi banyak makhluk bukan? Pergilah ke pedalaman suku-suku primitif, dan berikanlah diri Anda sebagai tumbal persembahan bagi dewa-dewa mereka. Mungkin saja mereka akan mendapat pencerahan dari perbuatan itu. No offense loh… ;D


Coba renungkan kembali, Bro!

Offline naviscope

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.084
  • Reputasi: 48
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1268 on: 02 June 2009, 10:55:53 AM »


Quote from: Tan
TAN:
Jawaban dari saya untuk Anda:
-Kalau pembunuhan kucing itu dapat menjadikan saya tercerahi, maka itu adalah bijaksana. Sang kucing berjasa karena berperan serta dalam proses pencerahan, juga akan bertumimbal lahir di alam yang lebih baik. Everybody happy kalau segala sesuatu dilakukan dengan bijaksana. Tidak ada yang dirugikan di sini.
-Sudah dijawab di atas. Office Boy belum tentu dirugikan kalau si boss membersihkan sendiri bangkai kucingnya. Dengan asumsi si Boss bijaksana, maka tentunya ia akan membersihkan sendiri bangkai kucingnya; kecuali kalau si office boy memang dengan penuh suka cita membersihkan ruangan dari bangkai kucing. Sekali lagi semua hanya sekedar asumsi.
Coba renugkan baik-baik, Bro!
Amiduofo,

Tan

- Kucing itu berjasa? Kucing itu akan terlahir ke alam yang lebih baik? Everybody’s happy? Bagaimana mungkin?? Kucing itu kan tidak tahu apa-apa, nyatanya dia harus kehilangan nyawanya meski tidak berbuat salah kepada seisi kantor… Kucing itu mungkin akan terlahir kea lam rendah lagi, karena pikirannya pasti dipenuhi dengan rasa takut dan kebencian ketika menjelang kematiannya. Dan siapa tahu timbunan karma burukya masih banyak… Dan saya ini penggemar kucing loh. Bagaimana pun, saya tetap akan sedih melihat kucing dibunuh. Jadi setidaknya tindakan itu tidak bias membuat semua orang happy.


mgkn sudah takdirnya kale tuh kucing harus mati, alias sudah karma nya ;D

Kucing itu kan tidak tahu apa-apa, nyatanya dia harus kehilangan nyawanya meski tidak berbuat salah kepada seisi kantor…
Kucing itu mungkin akan terlahir kea lam rendah lagi, karena pikirannya pasti dipenuhi dengan rasa takut dan kebencian ketika menjelang kematiannya. << kalau kucing terlahir dialam lebih rendah, jangan salahkan orang lain, salahkan diri sendiri kenapa tidak bisa melepas, masih saja punya kebencian....  :P

 _/\_
« Last Edit: 02 June 2009, 10:57:45 AM by naviscope »
Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamain batin.

Leave the past alone, do not worry about the future, do not cling to the present and you will achieve calm.

Offline hatRed

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.400
  • Reputasi: 138
  • step at the right place to be light
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1269 on: 02 June 2009, 11:00:41 AM »
Quote from: Tan
TAN:
Jawaban dari saya untuk Anda:
-Kalau pembunuhan kucing itu dapat menjadikan saya tercerahi, maka itu adalah bijaksana. Sang kucing berjasa karena berperan serta dalam proses pencerahan, juga akan bertumimbal lahir di alam yang lebih baik. Everybody happy kalau segala sesuatu dilakukan dengan bijaksana. Tidak ada yang dirugikan di sini.
-Sudah dijawab di atas. Office Boy belum tentu dirugikan kalau si boss membersihkan sendiri bangkai kucingnya. Dengan asumsi si Boss bijaksana, maka tentunya ia akan membersihkan sendiri bangkai kucingnya; kecuali kalau si office boy memang dengan penuh suka cita membersihkan ruangan dari bangkai kucing. Sekali lagi semua hanya sekedar asumsi.
Coba renugkan baik-baik, Bro!
Amiduofo,

Tan

- Kucing itu berjasa? Kucing itu akan terlahir ke alam yang lebih baik? Everybody’s happy? Bagaimana mungkin?? Kucing itu kan tidak tahu apa-apa, nyatanya dia harus kehilangan nyawanya meski tidak berbuat salah kepada seisi kantor… Kucing itu mungkin akan terlahir kea lam rendah lagi, karena pikirannya pasti dipenuhi dengan rasa takut dan kebencian ketika menjelang kematiannya. Dan siapa tahu timbunan karma burukya masih banyak… Dan saya ini penggemar kucing loh. Bagaimana pun, saya tetap akan sedih melihat kucing dibunuh. Jadi setidaknya tindakan itu tidak bias membuat semua orang happy.

- Wow… Sungguh Boss teladan. Kalau begitu, Office Boy itu pasti senang sekali punya Boss seperti itu. Kelak jika Boss itu menumpahkan kopi di lantai, maka Boss itu juga yang akan membersihkannya sendiri. Hahaha…

- Anda mau berjasa bagi banyak makhluk bukan? Pergilah ke pedalaman suku-suku primitif, dan berikanlah diri Anda sebagai tumbal persembahan bagi dewa-dewa mereka. Mungkin saja mereka akan mendapat pencerahan dari perbuatan itu. No offense loh… ;D


Coba renungkan kembali, Bro!



IMO, Sang Kucing boleh bisa dianggap berjasa, bila kucing tersebut timbul cetana untuk dikorbankan... demi kebaikan orang lain.  :|

* bila maksud jasa disini adalah karma baik, sekali lagi saya komparatif dengan teori karma, bahwa perbuatan bisa masuk karma jika ada cetana. dalam kisah zen sepertinya kucing itu gak ada cetana untuk dikorbankan. jadi bagaimana mungkin bisa mendapat jasa (baca:karma baik). sebaliknya guru zen tersebut mempunyai cetana untuk membunuh kucing, agar muridna tidak ribut (suatu bentuk penolakan, dimana masih ada LDM). tetapi bila dalam kisah, Guru Zen tersebut memang dikatakan sudah "tercerahkan" maka cetana nya tidak menimbulkan karma. karena saya terimpuls dengan keabsolutan orang yg "tercerahkan" kepada guru Zen tersebut.



|      moga moga kucing yg ini gak dibelah....
|     
|       _/\_
|
V
« Last Edit: 02 June 2009, 11:02:48 AM by hatRed »
i'm just a mammal with troubled soul



Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1270 on: 02 June 2009, 11:03:06 AM »
Dan seorang yg tercerahkan tidak mungkin membunuh dengan sengaja (ini bukan pengalaman pribadi, hanya baca dari dongeng).

Offline hendrako

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.244
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1271 on: 02 June 2009, 11:21:43 AM »
To Hendrako:

Mari perhatikan ungkapan Anda berikut ini:

Jangan khawatir bro...
Arahatnya bisa merosot.......

Bandingkan dengan yang ini:

Menurut pengertian saya sejauh ini, seorang Arahat tidak akan merosot.
Saya serius loh.

Kesimpulannya:

Anda orang yang plin plan dan kontradiktif.

Amiduofo,

Tan


Perhatikan yang saya bold biru diatas.
Apabila tanpa imbuhan -nya, maka kesimpulan anda benar.

-nya yang saya maksud adalah kepemilikan, dalam hal ini aliran Mahayana (yang (mungkin) terwakili oleh anda) sebagai obyek yang ditanggapi, dimana yg saya ketahui sampai saat ini, bahwa Arahat dalam pandangan Mahayana bisa merosot.
Sedangkan dari yang saya pelajari dan pahami, seorang Arahat telah terbebas dan takkan merosot. Apabila Arahat dipandang masih bisa merosot, maka itu adalah sebuah kemerosotan itu sendiri, Arahat2-an. (menurut saya pribadi)

Dan kali ini saya juga serius loh.
 :|
yaa... gitu deh

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1272 on: 02 June 2009, 12:00:36 PM »
saudara Tan,
Quote
Saya jelaskan lagi ya. Bagi kaum Mahayanis kedua hal itu tidak bertentangan. Ketika Dharmakaya mengemanasikan dirinya sebagai Nirmanakaya (dalam hal ini Buddha Sakyamuni - Pangeran Siddharta), maka tentu saja itu adalah "kelahiran" terakhir sebagai Pangeran Siddharta. Untuk selanjutnya tidak ada lagi "kelahiran" sebagai Pangeran Siddharta. Jadi pandangan dalam Sutta Pali juga "benar" dan Mahayana juga "benar."
Mahayana juga mengajarkan upaya kausalya, jadi tatkala Bodhisattva Siddharta terlahir dan berjalan tujuh langkah serta mengeluarkan raungan singa (Simhanada); ungkapan "Inilah kelahiranKu yang terakhir" adalah ajaran bagi umat manusia untuk menapaki jalan Dharma demi menghentikan samsara. Tetapi proses emanasi sendiri berada di luar ruang dan waktu; sehingga bagi umat awam dikatakan "tak berakhir."
Kedua, Anda selalu berpikir bahwa dua statemen yang saling bertentangan tidak mungkin kedua-duanya benar. Ini adalah salah; kalau Anda belajar filsafat Dewey, maka Anda akan mengetahui bahwa tidak selamanya demikian. Saya akan berikan suatu analogi yang mungkin tidak tepat benar (sekali lagi saya bilang ini adalah analogi, semoga Anda dapat memahami apa maksudnya "analogi"):

1.Lampu lalu lintas tidak menyala merah
2.Lampu lalu lintas menyala merah

Mana di antara kedua statemen yang nampak bertentangan itu yang benar? Jawabnya keduanya bisa benar tergantung kondisinya, karena lampu lalu lintas terkadang menyala merah dan terkadang tidak (kuning serta hijau). Tidak ada yang salah di antara kedua statemen di atas.

Jangan lupa pula bahwa kedua statemen yang saling bertetangan bisa juga keduanya salah. Contoh:

Air berwarna putih
Air berwarna hitam

Mana yang benar? Keduanya salah. Mengapa? Air itu TIDAK berwarna.

Sebenarnya masih banyak contoh-contoh lainnya. Sebagaimana umat Buddha (khususnya Mahayana, entah kalau non Mahayana) yang baik kita hendaknya sedikit demi sedikit meluaskan wawasan kita dan tidak terjebak terus menerus dalam dikotomi sempit (kalau bukan kawan, maka ia adalah lawan).

Semoga tulisan saya cukup jelas.

Amiduofo,

Tan
saudara tan,
anda tahu makna bertentangan atau tidak sih?
kata "besok saya tidak akan lahir"
kemudian "besok saya akan lahir"  kalau di tanya mana benar...jelas belum saya tahu.
tapi yang JELAS BERTENTANGAN.
dimana jika satu dikatakan benar, yang satu nya tidak mungkin benar pula.

tahu tidak mengapa sang Buddha berkali-kali mengatakan hal ini dalam beberapa sutta.
1.simsapa sutta
2.cula-malungkyaputta sutta.
3.potthapada sutta.
4.brahmajala sutta.

ini yang saya tahu semua tercatat hal yang sama.
mengapa SangBuddha tidak pernah mau menjawab
apakah Tathagata itu ada setelah parinibbana,tidak ada, ada dan tiada bukan ada maupun bukan tidak ada.
dan alasan Buddha sudah sangat jelas dan diuraikan terus menerus
"ini tidak membawa pada jalan nibbana/akhir dari Dukkha"

ketika saya berdiskusi dengan Bhante Maha.
kata-kata beliau setidaknya membuat saya mengerti apa yang dimaksud dengan
"ini tidak membawa pada jalan nibbana/akhir dari dukkha"

karena semua jawaban ini bersifat spekulasi
"apa yang dirasakan ketika telah mencapai sotapanna"?
bhante menjawab ini pertanyaan gila.
Bhante menjawab ini pertanyaan gila, ketika anda berumur 8 tahun, dan anda bertanya bagaimana jika saya menjadi sarjana, atau menjadi dokter, ini atau itu...
itu hanya pikiran masa depan,....tetap lah fokus pada "saat ini"

"if Buddha reborn after passed away"?
bhante "tidak,tidak mungkin,tetapi kau tidak perlu berpikir seperti itu"
------------
SangBuddha selalu menyatakan "apakah aku ada di masa lampau?" apakah aku ada dimasa depan?
tidak lah mungkin.

ketika seorang pangeran bertanya kepada Buddha, sungguh damai dan tenang para bikkhu disini, apakah yang membuat demikian?
SangBuddha menjawab "tidak menyesali masa lalu,tidak merindukan masa depan,diam dalam keheningan saat ini"

keep pratice meditation everytime be mindfullnes and be passion that's the key.

salam metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1273 on: 02 June 2009, 12:14:07 PM »
TANGGAPAN TERPADU UNTUK XUVIE
Keterangan: Kata-kata di dalam kurung siku [] adalah tanggapan saya.
Kata-kata di luar kurung siku adalah tanggapan Xuvie sebelumnya.

===========================================================
Pertama, saya tidak menuduh Anda. Dan pernyataan saya 'nibbana di luar konsep' adlh mengutip dr pernyataan Sang Buddha Gotama. Ada rujukannya. Jadi saya tidak sembarang  berkata.
Memang benar, ada sedikit paradoks yg terjadi. Bahwa 'Nibbana ada di luar konsep' itu sendiri pun sebuah konsep. Tapi konsep inilah yg paling mendekati realitas.

[Di sini telah terjadi kontradiksi. Pada mulanya dikatakan nirvana di luar konsep, tetapi belakangan dinyatakan bahwa itu adalah “konsep.” Dengan demikian, menyimpulkan dari perkataan Anda itu, seharusnya “nirvana ada di luar konsep” tidak lagi valid, karena toh sudah dikonsepkan. BAgi saya konsep yang mendekati realitas atau jauh dari realitas adalah sama-sama konsep. Anjing baik besar atau kecil adalah tetap anjing. Kedua bagaimana Anda tahu bahwa itu yang paling mendekati realitas, sedangkan Anda belum merealisasi nirvana?]

=============================================================
 Krn tidak dijelaskan terlalu jauh melainkan diberikan rambu2 & syarat mengenainya yaitu Ajatam Abhutam Akatam Asankhatam.
Saat realitas dideskripsikan ke dalam tataran pikiran dan kata2, tentu mengalami degradasi dan distorsi, tidak lagi realitas melainkan konsep.

[Hal yang sama pula dengan filosofi Mahayana. Ketika realitas dalam filosofi Mahayana dideskripsikan ke dalam tataran pikiran dan kata2, tentu mengalami degradasi dan distorsi, seperti yang sudah saya katakan dalam posting2 sebelumnya. Banyak istilah2 dalam Mahayana yang terpaksa diungkapkan dalam kata-kata awam. Banyak umat non Mahayanis menafsirkannya terlalu harafiah dan melontarkan kritikan.Padahal sebenarnya makna yang hendak disampaikan tidak demikian. Itulah sebabnya saya juga boleh mengatakan bahwa kritikan itu tidak valid]

========================================================

Mari bayangkan pertanyaan anda. Jika sejak awal Sang Buddha tidak mencoba menjelaskan sbagaimana dlm Udana 8:3 bahwa 'ada ke tidakterlahiran, keterciptaan, keterbentukan, ketak-berkondisian yg dpt dicapai dr apa yg terlahir, tercipta, terbentuk dan berkondisi', bagaimana orang bisa mengerti dan mencapai pembebasan dr yg terlahir, tercipta, terbentuk dan berkondisi karenanya? Singkatnya, bagaimana orang bisa mencapai tujuan dari Buddha Dhamma?

[Hal inipun sudah diungkapkan dalam Sutra Samdhinirmocana. Sangat gamblang malah. Dijelaskan bahwa Sang Guru mengunakan “kata-kata sementara” (provisional meaning) untuk mengomunikasikan suatu ajaran. Itulah sebabnya agama Buddha, baik dari aliran apapun, sebenarnya adalah agama praktik.]

============================================================

Hanya saja, Sang Buddha sebagaimana dlm Pali Sutta dan Agama Sutra tidak melakukan hal2 yg bertabrakan dg ajarannya sendiri. Berbeda dg yg ada dlm kanon Mahayana di luar Agama Sutra.
Jadi kembali lagi, sebenarnya, bila Anda mengakui kebenaran Agama Sutra, maka kata2 Buddha-Bodhisattva (diluar Agama Sutra), para Guru dan para pujangga buddhis, termasuk Anda bertabrakan sendiri dg yg tertera dlm Agama Sutra.

[Bertabrakan menurut Anda, sedangkan bagi umat Mahayana tidak ada yang bertabrakan tuh. Secara logika, bila Agama Sutra bertabrakan dengan kanon Mahayana, mengapa kanon itu dimasukkan dalam kanon Mahayana? Bhikshu2 Mahayana yang menyusun kanon Taisho atau Beijing Sanzang tidak bodoh. Mereka pernah mengeluarkan Sutra2 yang dianggap palsu dari kanon. Jika benar yang Anda bilang ajarannya bertabrakan, maka dengan mudah mereka dapat mengeluarkannya dari kanon. Jawaban yang sangat simple. Jadi saya tekankan lagi. Ungkapan Anda bawa Agama Sutra bertabrakan dengan kanon Mahayana adalah sesuatu yang sangat subyektif dan tidak berarti apa2. Saya mempelajari dua2nya tetapi tidak merasa ada kontradiksi. Kalau perbedaan memang pasti ada. Tetapi bukan “tabrakan.” Kontradiksi tidak akan terjadi kalau Anda bersedia menerima penjelasan Mahayana. Tetapi bila tidak, maka kontradiksi itu bagi Anda akan terus ada. Nah, bila sudah begitu tidak ada lagi gunanya berdiskusi. Dengan alasan itu, agar tidak membuang-buang waktu saya. Saya tidak akan menanggapi lagi pernyataan yang menyatakan bahwa Agama Sutra bertabrakan dengan Sutra2 Mahayana].

==========================================================

Silakan tanya berulang kali, yg jelas ini pertama kali Anda menanyakan pd saya scr langsung.  
Mengapa Anda selalu mencari yg lebih tinggi? Ke-2 2nya bahkan belum saya realisasikan, bagaimana saya bisa menjelaskan yg lebih tinggi yg mana? Bahkan sejauh yg saya pelajari, pun tidak ada Sang Buddha membandingkan mana kondisi yg lebih tinggi. Jika saya bisa menjawabnya, entah bagaimana cara saya menalar seorang Samma Sambuddha. Entah saya melebihi beliau, atau ?
Batin yg telah mencapai Nibbana tidak ada pembedaan A lebih tinggi dari B. Hanya ada melihat A sebagai A dan B sebagai B. Sejauh inilah yg saya bisa nalar.

[Anda tidak mengerti esensi pertanyaan saya. Ibaratnya buah sukun Anda jawab mangga. Buah mangga Anda jawab sukun. Mengapa pertanyaan mana yang lebih tinggi saya tanyakan terus menerus? Jawabnya karena umat non Mahayanis selalu mengkontraskan dengan nibanna tanpa sisa. Jika demikian, adalah konsekuensi wajar (anggap saja saya orang non Buddhis yang tidak tahu banyak mengenai agama Buddha) bahwa pasti ada perbedaan antara nibanna sisa dan tanpa sisa. Jadi pertanyaan mana yang lebih tinggi adalah konsekuensi yang wajar dari keterangan kalian. Itupun kalau kalian bisa atau bersedia menjawabnya. Memang benar bagi Samyasambuddha tidak ada tinggi atau rendah. Tetapi masalahnya saya tanya pada Anda yang belum mencapai samyaksambuddha. Jadi tinggi dan rendah seharusnya masih valid bagi Anda].

========================================================

Demikianlah.
Jadi saya hanya bisa memberikan penjelasan sejauh yg saya ketahui dan ada tercantum dlm teks. Harap dimaklumi.
Ada kelahiran maka tentu ada pelapukan dan penghancuran. Jika penghancuran unsur2 tsb yg Anda mksd dg kematian. Maka mencapai nibbana tanpa sisa tanpa melalui proses penghancuran adlh tidak mungkin. Krn bagaimana mungkin disebut 'tidak bersisa' jika 'tidak hancur'? Aneh.. Dlm kalimat pertanyaan Anda itu sendiri bertabrakan makanya saya memilih tidak menjawab sebelumnya.

[Jadi nibanna tanpa sisa adalah berkondisi bukan? Saya tidak bisa nonton di bioskop kalau tidak membayar karcis – itu adalah kondisi. Nah jika nibanna tanpa sisa tanpa melalu proses penghancuran adalah tidak mungkin, maka itu artinya nibanna tanpa sisa adalah berkondisi. Jadi ungkapan bahwa nibanna itu tak berkondisi adalah salah, setidaknya dengan mengacu pada keterangan Anda di atas. Dengan demikian, sekarang akan jadi jelas siapa yang sesungguhnya bertabrakan].

=====================================================

Eits.. Gmnpun, perbendaharaan kata2 dan persepsi itu penting. Terkadang bisa jadi 2 orang merujuk 1 hal sama, tp krn berbeda kosa kata, maka jadilah perdebatan. Sebelumnya, saya telah menyarankan Anda utk memeriksa di kamus dan membedakan antara kata padam dg tidak ada.
Apabila Anda menyamakan ke-2 hal tsb. Anda seperti orang yg menyamakan bahwa arti kata Atheis sbg 'tidak percaya adanya Tuhan' sama dengan 'percaya bahwa tidak ada Tuhan'
Berhati2lah meskipun sekilas terlihat sama..
Jika saya setuju dg setelah padam masih ada apa2. Berarti saya bertentangan dg prinsip 'Nibbana adlh bukan ada, bukan tiada, bukan antara ada dan tiada, bukan bukan ada pun tiada' itu sendiri.
Mengapa masih terus mencoba memancing saya menjawab dlm jawaban yg salah?

[Bukannya memancing, tetapi karena memang apa yang Anda ungkapkan itu menimbulkan banyak pertanyaan. Jadi pertanyaan semacam itu adalah konsekuensi wajar dari apa yang Anda ungkapkan. Jika padam tidak dapat diartikan sebagai tak ada apa lagi, maka secara logika tentunya padam dapat diartikan sebagai “ada apa-apa lagi.” Ini bukan dari saya lho, melainkan saya hanya mengikuti alur logis posting2 Anda sebelumnya. Anda pernah pula menyatakan bahwa bila ada dua hal yang bertentangan, maka mustahil dua-duanya benar. Nah, sekarang silakan jawab, bila padam bukan berarti tidak ada apa-apa lagi, tentunya lawannya yang benar bukan? Yakni “padam masih ada apa-apa.” Jika Anda ngotot bahwa dua-duanya tidak ada yang benar, sebagai konsekuensinya Anda harus menarik pernyataan Anda sebelumnya bahwa jika ada dua pernyataan yang bertentangan, maka salah satu di antara keduanya pasti salah. Itupun jika Anda bersedia mengakuinya. Bila tidak ya terserah Anda.].

======================================================

Patuhilah aturan bermain..

[Aturan bermain apa lagi yang harus dipatuhi? Bermain lompat tali maksudnya?]

==========================================================

Saya sendiri tidak merasa benar krn tdk menjawab. Jd sia2 bila ada serangan yg ditujukan pd pribadi saya.

[Siapa yang menyerang pribadi Anda?]

==========================================================

Toh.. apa artinya? Ini semua hanya kata2, bkn sebuah pengalaman langsung. Jd saya semata ingin berdiskusi saja dan menyampaikan bbrp hal yg saya ketahui sebagaimana ada dlm kanon Pali dan membandingkan dg kanon Mahayana.

[Begitupun saya. Saya hanya berupaya menjelaskan kesalah-pahaman rekan2 non Mahayana terhadap ajaran Mahayana].

==========================================================

Kenyataannya, memang demikianlah. Tidak diragukan lagi Anda seorang cendekia. Saya banyak belajar dr tulisan Anda. Tentunya Anda tahu bahwa inti diskusi adlh bertanya dan menjawab. Pertanyaan Anda selalu saya usahakan utk saya jawab dg baik. Tetapi bagaimana dg pertanyaan saya? Selalu Anda kembalikan, bertanya kembali. Dan terkadang mengarah ke pribadi, pdhl jelas yg saya tulis adalah sebagaimana yg tertera dlm kanon Pali.

[Begitupun juga saya. Saya merasa telah memberikan jawaban yang terbaik. Pertanyaan itu tentunya juga adalah sebagian dari jawaban. Ada pertanyaan yang perlu dijawab dengan pertanyaan balik. Mengarah pada pribadi? Saya kira itu hanya perasaan Anda saja].

======================================================

Kalau begitu, katakanlah di bagian mana semua kritikan thdp Mahayana juga tdk 'apply'?

[Ya semuanya lah. Karena kritikan di sini adalah penafsiran yang terlalu harafiah dan dipaksakan terhadap ajaran Mahayana. Sesungguhnya kerja sama yang baik antara aliran itu harusnya berupa upaya untuk memahami satu sama lain dan bukannya saling mengkritik atau membandingkan. Sebenarnya kita semua sudah tahu bahwa Mahayana dan non Mahayana itu pasti beda. Tetapi biasanya non Mahayanis terus menerus menekankan perbedaan itu. Namun sudah dengan asumsi (gelas yang tidak lagi kosong) bahwa ajaran non Mahayana itu pasti benar].

=====================================================

Menuntut itu hny sebuah penekanan, sbgmn yg saya tangkap dr pertanyaan Anda sbelumnya yg mengindikasikan seolah2 Sang Buddha menuntut jawaban. Jika Anda tidak merasa demikian..
Baiklah, anggaplah saya menulis 'menuntut' itu hanya pandangan subjektif saya dan tanggapan tulisan sy yg sedikit berlebihan atas tulisan Anda sebelumnya, jika Anda tidak menganggap Sang Buddha menuntut sebuah jawaban. Maafkan saya.

[Lho? Saya tidak tahu apakah Sang Buddha menuntut jawaban atau tidak. Yang saya tanya adalah bagaimana pandangan menurut Anda. Yang saya perlukan adalah jawaban yang jelas. Ya atau tidak].

==================================================

Sang Buddha bertanya pd Ambattha, krn apa yg ditanyakan harus dijawab. Apa yg dilakukan harus siap akan konsekuensinya toh? Setuju? Dan dia sendiri telah memulai perdebatan tsb. Karenanya wajar jika Sang Buddha bertanya akan jawaban dari dia. Krn perdebatan telah terjadi, maka wajar jika perdebatan harus berlangsung hingga akhir. Sedangkan Ambattha berhenti ditengah2.

[Darimana ada aturan bahwa suatu perdebatan harus berhenti sampai akhir. Bagaimana kalau tidak mungkin ditemukan jalan keluar? Ungkapan bahwa perdebatan harus diselesaikan sampai akhir adalah terlalu menggampangkan masalah. Perdebatan antara Mahayana dan non Mahayana sendiri mana mungkin bisa selesai? Sampai kapan seseorang harus berdebat? Sampai jenggotan ya? Dengan demikian, jawaban Anda di atas masih jauh dari sasaran, karena inti masalahnya bukan itu. Ibarat buah sukun dijawab buah mangga dan demikian pula sebaliknya].

===========================================================
 Jadi pertanyaan Sang Buddha bukan didorong oleh kehendak (cetana) spt keinginan dan pengharapan, melainkan sbuah tindakan fungsional (kiriya) dlm situasi tsb. Dan krn SB tidak bisa menghentikan, oleh belas-kasihnya, maka dia memberitahu pemuda Ambattha akan konsekuensi bila dia tidak menjawab utk ke-3 kalinya.

[Jadi menurut Anda kiriya ya? Omong2 seperti apa sih kiriya itu. Apakah seperti proses yang tidak dapat dihentikan oleh Buddha dan berjalan seperti ban berjalan atau robot yang otomatis? Kalau penjelasan Anda mengenai kiriya adalah seperti itu, maka apakah bedanya Buddha dan sebuah robot yang hanya mempunyai “tindakan fungsional”? Apakah orang mencapai pencerahan hanya untuk menjadi “robot” bila jawaban Anda adalah “ya.” Menurut saya, kiriya tidak seperti itu, setidaknya menurut definisi Mahayana. Tetapi ini akan saya simpan dulu sampai akhir. Tunggu bagaimana penjelasan Anda].

==========================================================
XUVIE:
Jadi sebelumnya, telah pernah ada 'kelahiran terakhir' bagi seorang Gotama di kelahiran terdahulunya. Kemudian kembali terlahir lagi di 'kelahiran terakhir' sebagai seorang Sakyamuni, Siddhartha Gautama. Dan mungkin di masa depan akan terlahir lagi di 'kelahiran terakhir' lain sebagai sosok lain. Terakhir dari hongkong?!

TAN:
Anda salah besar! Buddhisme Mahayana tidak menganggapnya sebagai “kelahiran” melainkan EMANASI. Jadi pertanyaan Anda di sini sangat tidak valid. Seperti yang telah saya ungkapkan di atas, karena keterbatasan kata-kata, maka dipergunakan istilah kelahiran. Tetapi tentunya itu bukan istilah kelahiran, seperti manusia atau para makhluk pada umumnya, sehingga penyebutan sebagai “kelahiran” di sini tidak tepat. Seperti yang telah saya ungkapkan sebelumnya, emanasi itu adalah suatu permainan kosmis demi mengajarkan para makhluk. Yaitu memperagakan bagaimana proses pencarian seorang manusia menuju Penerangan Sempurna. Itulah berita sesungguhnya yang ingin disampaikan. Pernah tahu Sutra Lalitavistara ga? Itu adalah Sutra Mahayana yang membahas mengenai riwayat Buddha Sakyamuni. Tahu arti kata “Lalitavistara” ga? Itu artinya “Permainan atau Drama Kosmis.” Istilah “kelahiran terakhir” itu hanya istilah yang dipergunakan untuk mengajar umat manusia.
XUVIE:

Berarti bukan benar2 'kelahiran terakhir' dong. Kalau hanya krn Nama-rupa berbeda lantas dianggap 'kelahiran terakhir', berarti ini adlh kelahiran terakhir bagi sy dlm wujud yg skrg. Dan ini 'kelahiran terakhir' pula bagi seorang Ivan Taniputera. Begitukah?
Terlalu dipaksakan..
TAN:
Benar. Setidaknya saya bisa pakai rujukan dari ajaran non Mahayanis untuk mendukung teori saya di atas. Kalau ini bukan kelahiran terakhir dari sosok Tan, maka berarti di masa yang akan datang masih ada sosok Tan lagi. Itu berarti ada suatu “atta” kekal yang terlahir berulang-ulang. Nah itu adalah ajaran eternalis bukan? Tentunya Anda tidak mau disebut eternalis khan?
XUVIE:
Memang benar, tetapi berhub sebagaimana kaum non-Mahayanis meyakini kanon Pali, dan Anda sbg kaum Mahayana pun mengakui kebenaran Agama Sutra, maka bisa kembali lagi ke 4 kewibawaan utk mengecek ke Dhamma-Vinaya yg telah diajarkan Sang Gotama.
Dan seperti telah dikatakan oleh Bro Upasaka, bahwa dlm Theravada, penjelasan rasionalnya lebih dapat dipertanggung jawabkan.

instrumen dalam berlogikanya sepertinya banyak fallacy ya.. Boleh diperbaiki terlebih dahulu deh baru bisa meneruskan ke dlm diskusi.

TAN:

Kebenaran rasional dari Hongkong? Mana buktinya? Justru pertanyaan2 saya banyak yang tidak terjawab oleh rekan-rekan non Mahayanis. Semuanya banyak yang muter2 saja. Pernyataan Anda bahwa logika saya banyak fallacynya adalah sesuatu yang sangat subyektif. Itu semua hanya karena SAYA TIDAK SEPENDAPAT DENGAN ANDA. Coba saja kalau saya sependapat dengan Anda seperti Sdr. Upasaka, dll, maka Anda akan bilang logika saya sudah benar. Anda bilang kalau saya banyak mengarah pada pribadi Anda. Tetapi ungkapan “instrumen dalam berlogikanya sepertinya banyak fallacy ya.. Boleh diperbaiki terlebih dahulu deh baru bisa meneruskan ke dlm diskusi.” apakah bukan pengarahan terhadap pribadi juga. Saya juga boleh bilang tanggapan Anda semuanya sangat subyektif. Bisa diperbaiki terlebih dahulu sebelum meneruskannya ke dalam diskusi.

[bersambung]
« Last Edit: 02 June 2009, 12:18:18 PM by Tan »

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1274 on: 02 June 2009, 12:18:03 PM »
27. ‘Baiklah, Bhagavà, apakah Tathàgata ada setelah kematian? Apakah hanya ini yang benar dan semua yang lainnya salah?’ ‘Aku tidak menyatakan bahwa Tathàgata ada setelah kematian,’ ‘Baiklah, Bhagavà, apakah Tathàgata tidak ada setelah kematian, … ada dan tidak ada setelah kematian? … bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian?’ ‘Aku tidak menyatakan bahwa Tathàgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian, dan bahwa semua yang lainnya adalah salah.’
28. ‘Tetapi, Bhagavà, mengapakah Bhagavà tidak menyatakan hal-hal ini?’ ‘Poññhapàda, itu tidak mendukung pada tujuan, tidak mendukung pada Dhamma, [189] bukan jalan untuk memulai kehidupan suci; tidak mengarah menuju ketidaktertarikan, tidak menuju kebosanan, tidak menuju pelenyapan, tidak menuju ketenangan, tidak menuju pengetahuan yang lebih tinggi, tidak menuju pencerahan, tidak menuju Nibbàna. Itulah sebabnya, maka Aku tidak menyatakannya.’
29. ‘Tetapi, Bhagavà, apakah yang Bhagavà nyatakan?’ ‘Poññhapàda, Aku telah menyatakan: “Ini adalah penderitaan, ini adalah asal-mula penderitaan, ini adalah lenyapnya penderitaan, dan ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.”’
30. ‘Tetapi, Bhagavà, mengapakah Bhagavà menyatakan hal-hal ini?’ ‘Karena, Poññhapàda, itu mendukung pada tujuan, mendukung pada Dhamma, [189] jalan untuk memulai kehidupan suci; mengarah menuju ketidaktertarikan, menuju kebosanan, menuju pelenyapan, menuju ketenangan, menuju pengetahuan yang lebih tinggi, menuju pencerahan, menuju Nibbàna. Itulah sebabnya, maka Aku menyatakannya.’

.................

31. Kemudian para pengembara, segera setelah Sang Bhagavà pergi, mencela, mengejek, mencemooh Poññhapàda dari segala penjuru, dengan mengatakan: ‘Apa pun yang dikatakan Petapa Gotama, Poññhapàda setuju dengan-Nya: “Jadi, begitu, Bhagavà. Jadi, begitu, Yang Sempurna menempuh Sang Jalan!” Kami tidak mengerti sepatah kata pun dari keseluruhan ceramah Petapa Gotama: “Apakah dunia ini kekal atau tidak? – apakah terbatas atau tidak terbatas? – apakah jiwa sama dengan badan atau berbeda? – apakah Tathàgata ada setelah kematian atau tidak ada, [190] atau keduanya, atau bukan keduanya?”’
Poññhapàda menjawab: ‘Aku juga tidak mengerti tentang apakah dunia ini kekal atau tidak … atau apakah Tathàgata ada setelah kematian atau tidak, atau keduanya, atau bukan keduanya. Tetapi Petapa Gotama mengajarkan cara yang benar dan nyata dalam praktik yang selaras dengan Dhamma dan berdasarkan pada Dhamma. Dan mengapakah seorang sepertiku tidak mengungkapkan persetujuan atas praktik yang benar dan nyata, yang diajarkan dengan begitu baik oleh Petapa Gotama?’

................
33. ‘Poññhapàda, semua pengembara itu adalah buta dan tidak memiliki penglihatan, engkau satu-satunya di antara mereka yang memiliki penglihatan. Beberapa hal yang Kuajarkan dan Kutunjukkan, Poññhapàda, adalah pasti, yang lainnya adalah tidak pasti. Yang manakah yang Kutunjukkan adalah tidak pasti? “Dunia adalah kekal“ Aku nyatakan sebagai tidak pasti …. “Tathàgata ada setelah kematian .…” Mengapa? Karena tidak mendukung …menuju Nibbàna. Itulah sebabnya, mengapa Aku menyatakannya sebagai tidak pasti.’

‘Tetapi yang manakah yang Kutunjukkan sebagai pasti? “Ini adalah penderitaan [192], ini adalah asal-mula penderitaan, ini adalah lenyapnya penderitaan, dan ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.” Mengapa? Karena, itu mendukung pada tujuan, mendukung pada Dhamma, jalan untuk memulai kehidupan suci; mengarah menuju ketidaktertarikan, menuju kebosanan, menuju pelenyapan, menuju ketenangan, menuju pengetahuan yang lebih tinggi, menuju pencerahan, menuju Nibbàna. Itulah sebabnya, maka Aku menyatakannya sebagai pasti.’

selanjutnya baca sendiri agak panjang......Download tuh.^^
daripada membahas A,B,C lalu Z.. pada akhirnya hanya NOL besar yg didapat.
apa tidak cape?....cape d. ;D   _/\_

salam metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

 

anything