Tetapi kenyataannya Anda juga sudah berusaha menjelaskan bahwa nibanna, kendati Anda mengatakan bahwa "nibanna berada di luar konsep." Jadi penjelasan Anda juga kontradiktif. Anda menuduh seseorang melakukan kesalahan, tetapi pada kenyataannya Anda melakukan kesalahan yang sama. Pernyataan Anda (Xuvie): "Kenyataannya memang Nibbana dlm aspek transendental adlh di luar konsep." adalah juga sebuah KONSEP. Jadi pendek atau panjang Anda sudah berkonsep. Pelajaran dari hal ini adalah, kita hendaknya bijaksana dalam menuduh pihak lawan. Jangan-jangan Anda juga melakukan kesalahan sama yang mungkin lebih fatal.
Pertama, saya tidak menuduh Anda. Dan pernyataan saya 'nibbana di luar konsep' adlh mengutip dr pernyataan Sang Buddha Gotama. Ada rujukannya. Jadi saya tidak sembarang berkata.
Memang benar, ada sedikit paradoks yg terjadi. Bahwa 'Nibbana ada di luar konsep' itu sendiri pun sebuah konsep. Tapi konsep inilah yg paling mendekati realitas. Krn tidak dijelaskan terlalu jauh melainkan diberikan rambu2 & syarat mengenainya yaitu Ajatam Abhutam Akatam Asankhatam.
Saat realitas dideskripsikan ke dalam tataran pikiran dan kata2, tentu mengalami degradasi dan distorsi, tidak lagi realitas melainkan konsep.
Mari bayangkan pertanyaan anda. Jika sejak awal Sang Buddha tidak mencoba menjelaskan sbagaimana dlm Udana 8:3 bahwa 'ada ke tidakterlahiran, keterciptaan, keterbentukan, ketak-berkondisian yg dpt dicapai dr apa yg terlahir, tercipta, terbentuk dan berkondisi', bagaimana orang bisa mengerti dan mencapai pembebasan dr yg terlahir, tercipta, terbentuk dan berkondisi karenanya? Singkatnya, bagaimana orang bisa mencapai tujuan dari Buddha Dhamma?
Hanya saja, Sang Buddha sebagaimana dlm Pali Sutta dan Agama Sutra tidak melakukan hal2 yg bertabrakan dg ajarannya sendiri. Berbeda dg yg ada dlm kanon Mahayana di luar Agama Sutra.
Jadi kembali lagi, sebenarnya, bila Anda mengakui kebenaran Agama Sutra, maka kata2 Buddha-Bodhisattva (diluar Agama Sutra), para Guru dan para pujangga buddhis, termasuk Anda bertabrakan sendiri dg yg tertera dlm Agama Sutra.
Saya perlu tanyakan kembali berulang kali. Kalau begitu nibanna tanpa sisa itu lebih tinggi dari nibanna bersisa donk. Karena dalam nibanna tanpa sisa semua skandha sudah dipadamkan, maka tentu lebih tinggi donk?
Kedua, nibanna tanpa sisa hanya dapat dicapai setelah kematian. Pertanyaan saya berarti nibanna tanpa sisa hanya terkondisi oleh kematian donk? Nibanna masih terkondisi kalau begitu? Anda belum menjawab pertanyaan saya: "Apakah seseorang dapat mencapai nibanna tanpa sisa tanpa melalui proses kematian?" Dapat atau tidak? Mohon dijawab yang jelas.
Saya tidak tanya definisi menurut kamus. Jika Anda tidak setuju bahwa setelah "padam" tidak ada apa-apa. Maka Anda seharusnya setuju bahwa setelah padam masih mungkin "ada apa-apa," bukan? Mohon dijawab juga yang jelas.
Silakan tanya berulang kali, yg jelas ini pertama kali Anda menanyakan pd saya scr langsung.
Mengapa Anda selalu mencari yg lebih tinggi? Ke-2 2nya bahkan belum saya realisasikan, bagaimana saya bisa menjelaskan yg lebih tinggi yg mana? Bahkan sejauh yg saya pelajari, pun tidak ada Sang Buddha membandingkan mana kondisi yg lebih tinggi. Jika saya bisa menjawabnya, entah bagaimana cara saya menalar seorang Samma Sambuddha. Entah saya melebihi beliau, atau ?
Batin yg telah mencapai Nibbana tidak ada pembedaan A lebih tinggi dari B. Hanya ada melihat A sebagai A dan B sebagai B. Sejauh inilah yg saya bisa nalar. Demikianlah.
Jadi saya hanya bisa memberikan penjelasan sejauh yg saya ketahui dan ada tercantum dlm teks. Harap dimaklumi.
Ada kelahiran maka tentu ada pelapukan dan penghancuran. Jika penghancuran unsur2 tsb yg Anda mksd dg kematian. Maka mencapai nibbana tanpa sisa tanpa melalui proses penghancuran adlh tidak mungkin. Krn bagaimana mungkin disebut 'tidak bersisa' jika 'tidak hancur'? Aneh.. Dlm kalimat pertanyaan Anda itu sendiri bertabrakan makanya saya memilih tidak menjawab sebelumnya.
Eits.. Gmnpun, perbendaharaan kata2 dan persepsi itu penting. Terkadang bisa jadi 2 orang merujuk 1 hal sama, tp krn berbeda kosa kata, maka jadilah perdebatan. Sebelumnya, saya telah menyarankan Anda utk memeriksa di kamus dan membedakan antara kata padam dg tidak ada.
Apabila Anda menyamakan ke-2 hal tsb. Anda seperti orang yg menyamakan bahwa arti kata Atheis sbg 'tidak percaya adanya Tuhan' sama dengan 'percaya bahwa tidak ada Tuhan'
Berhati2lah meskipun sekilas terlihat sama..
Jika saya setuju dg setelah padam masih ada apa2. Berarti saya bertentangan dg prinsip 'Nibbana adlh bukan ada, bukan tiada, bukan antara ada dan tiada, bukan bukan ada pun tiada' itu sendiri.
Mengapa masih terus mencoba memancing saya menjawab dlm jawaban yg salah?
Patuhilah aturan bermain..
Saya sendiri tidak merasa benar krn tdk menjawab. Jd sia2 bila ada serangan yg ditujukan pd pribadi saya.
Toh.. apa artinya? Ini semua hanya kata2, bkn sebuah pengalaman langsung. Jd saya semata ingin berdiskusi saja dan menyampaikan bbrp hal yg saya ketahui sebagaimana ada dlm kanon Pali dan membandingkan dg kanon Mahayana.
Oh ya. Jawabannya masih seperti ini juga. Kalau begitu semua kritikan terhadap Mahayana juga tidak "apply." Anehnya, Anda menyatakan bahwa Sang Buddha masih bisa "menuntut." Apakah seorang Buddha masih bisa "menuntut" seseorang? Keluar dari apakah tuntutan itu? Kata Anda sebelumnya sudah tidak punya keinginan lalu atas dasar apa Beliau menuntut? Penjelasan Anda kontradiktif dengan sebelumnya. Sang Buddha masih ingin agar Ambattha terhindar dari konsekuensi penghancuran kepala oleh Vajirapani, jadi Beliau menuntut jawaban dari Ambattha. Jadi Sang Buddha masih punya keinginan atau harapan donk? Bagaimana ini? Mana keterangan Anda yang benar?
Kenyataannya, memang demikianlah. Tidak diragukan lagi Anda seorang cendekia. Saya banyak belajar dr tulisan Anda. Tentunya Anda tahu bahwa inti diskusi adlh bertanya dan menjawab. Pertanyaan Anda selalu saya usahakan utk saya jawab dg baik. Tetapi bagaimana dg pertanyaan saya? Selalu Anda kembalikan, bertanya kembali. Dan terkadang mengarah ke pribadi, pdhl jelas yg saya tulis adalah sebagaimana yg tertera dlm kanon Pali.
Kalau begitu, katakanlah di bagian mana semua kritikan thdp Mahayana juga tdk 'apply'?
Menuntut itu hny sebuah penekanan, sbgmn yg saya tangkap dr pertanyaan Anda sbelumnya yg mengindikasikan seolah2 Sang Buddha menuntut jawaban. Jika Anda tidak merasa demikian..
Baiklah, anggaplah saya menulis 'menuntut' itu hanya pandangan subjektif saya dan tanggapan tulisan sy yg sedikit berlebihan atas tulisan Anda sebelumnya, jika Anda tidak menganggap Sang Buddha menuntut sebuah jawaban. Maafkan saya.
Sang Buddha bertanya pd Ambattha, krn apa yg ditanyakan harus dijawab. Apa yg dilakukan harus siap akan konsekuensinya toh? Setuju? Dan dia sendiri telah memulai perdebatan tsb. Karenanya wajar jika Sang Buddha bertanya akan jawaban dari dia. Krn perdebatan telah terjadi, maka wajar jika perdebatan harus berlangsung hingga akhir. Sedangkan Ambattha berhenti ditengah2. Jadi pertanyaan Sang Buddha bukan didorong oleh kehendak (cetana) spt keinginan dan pengharapan, melainkan sbuah tindakan fungsional (kiriya) dlm situasi tsb. Dan krn SB tidak bisa menghentikan, oleh belas-kasihnya, maka dia memberitahu pemuda Ambattha akan konsekuensi bila dia tidak menjawab utk ke-3 kalinya.
Kalau begitu semoga boss Anda yang bijaksana itu memarahi Anda di hadapan orang banyak agar Anda tidak mengulangi suatu kesalahan yang sama di kemudian hari (kalau ada).
OOT, krn sebelumnya Anda mengambil saya dan boss saya hny sebagai analogi dlm kasus Bhikkhu Sati.
Tp dari efek psikologis malu krn telah salah (hiri), yg tertanam lebih kuat dlm benak, tentunya Bhikkhu Sati menjadi lebih berhati2 lagi dlm bertindak kedepannya, krn takut akan berbuat salah lagi (ottapa).
Berarti tulisan saya juga benar donk, kalau Buddha mengucapkan hal itu untuk mengajar, karena toh Beliau mengulanginya di kemudian hari di hadapan siswa2Nya.
Di Mahayana banyak mukjizat? Hmm di non Mahayana tidak ada mukjizat ya? Lalu berikut ini apa?
1.Buddha memancarkan api dan air secara bersamaan.
2.Buddha menciptakan tangga keemasan saat turun dari surga setelah membabarkan Abhidhamma
3.Buddha melindungi Suriya ketika hendak dimangsa oleh Rahu, seperti yang tercantum dalam Samyutta Nikaya.
4.Nimmita Buddha yang berasal dari Buddha Sakyamuni
5.Batu hancur berkeping2 waktu Devadatta hendak membunuh Buddha.
dll.
Itu bukan mukjizatkah? Hmmmmm......
Itu mujizat, memang. Makanya perhatikan dong saya tulis 'penuh' sebelumnya. Di Theravada ada, tetapi tidak terlalu berlebihan dan dilebih2kan, gampangnya, "tidak penuh" hanya sekadarnya.
FYI, saya sendiri tidak terlalu meyakini cerita2 yg berlebihan dlm kitab2. Sebagaimana bbrp scholar yg menemukan adanya perubahan dan pergeseran isi Sutta seiring perubahan zaman.
Dan sekadar mengingatkan, krn ini board Mahayana ttg 'pertanyaan kritis mengenai Mahayana' jadi bahaslah sesuai tempat dan waktu. Bkn 'pertanyaan kritis ttg non-Mahayana' toh?