//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 663352 times)

0 Members and 5 Guests are viewing this topic.

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1095 on: 15 May 2009, 12:02:18 PM »
kalau yg dicari merupakan pembenaran bukan kebenaran semua nya menjadi sulit.....
belum lagi berjumpa dengan kata-kata tidak berdasar....
dhamma tidak memiliki inti, atau tidak berkondisi adalah sesuatu yang berkondisi atau sebaliknya...
paling baik belajar bahasa kata (sankhara) terlebih dahulu ^^

analogi nya..
C timbul, karena ada nya A+B...maka C disebut berkondisi.
karena di kondisikan oleh A dan B
apabila A+B tidak ada, maka C tidak ada....

jadi kalau teori nya disebut sesuatu yang tidak-berkondisi adalah berkondisi...itu bagaimana ya?
saya bingung...ada yang bisa jelaskan pada sy... ^^
maklum bahasa indo saya cuma dapat 6 saja di rapor

salam metta.

Bagaimana juga anda menjelaskan dengan logika
a adalah kondisi bagi b
b adalah kondisi bagi a

Dalam Mahanidana sutta dikatakan:
nama-rupa adalah kondisi bagi kesadaran,
kesadaran adalah kondisi bagi nama-rupa
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1096 on: 15 May 2009, 02:51:39 PM »
Bagaimana juga anda menjelaskan dengan logika
a adalah kondisi bagi b
b adalah kondisi bagi a

Dalam Mahanidana sutta dikatakan:
nama-rupa adalah kondisi bagi kesadaran,
kesadaran adalah kondisi bagi nama-rupa

Ini memang gaya bahasa yang sedikit rancu. Dalam Mahanidana ini dijelaskan dalam konteks kelahiran kembali.
Nama-Rupa dan Kesadaran dalam Mahanidana ini dikatakan sebagai hubungan kausal sirkular di mana kesadaran tidak akan menyebabkan kelahiran tanpa bathin jasmani; demikian pula bathin-jasmani tidak akan menyebabkan kelahiran tanpa adanya kesadaran. Pendek kata, seperti "Ayam dan Telur". Yang mana yang sebab, yang mana yang akibat? Dalam lingkaran tumimbal lahir, keduanya adalah sebab, dan keduanya juga akibat.

Untuk paticca samuppada dalam konteks penghentian dukkha, salah satunya ada di dalam Titthayatanadi Sutta (Anguttara Nikaya III, Mahavagga), di mana dikatakan Avijja sebagai penyebab lingkaran tumimbal lahir, dan dengan lenyapnya Avijja, maka tidak ada lagi kelahiran kembali.
« Last Edit: 15 May 2009, 02:59:18 PM by Kainyn_Kutho »

Offline hatRed

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.400
  • Reputasi: 138
  • step at the right place to be light
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1097 on: 15 May 2009, 02:54:22 PM »
hmm?

Bukannya Kesadaran itu bagian dari Nama (nb: panca Khanda)
i'm just a mammal with troubled soul



Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1098 on: 15 May 2009, 03:07:08 PM »
Kalau dari Tradisi Theravada, ketika seseorang meninggal, pikiran, perasaan, dan ingatan "bersatu" dengan kesadaran (yang biasa disebut kesadaran penerus) karena tidak adanya jasmani. Dengan adanya kondisi yang mendukung (adanya jasmani) maka kesadaran bertemu dengan jasmani dan terjadilah pikiran, perasaan, dan ingatan. Walaupun secara sederhana nama itu dibagi menjadi 4 (vinnana, sanna, sankhara, vedana), tetapi hubungan masing-masing khanda, sebetulnya jauh lebih kompleks, tidak dibagi dan disatukan begitu saja seperti kita potongan puzzle.

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1099 on: 15 May 2009, 09:29:17 PM »
MARCEDES:

Saudara Tan,
tidak ada dalam sutta dikatakan nibbana sisa atau nibbana tanpa sisa yg lebih tinggi...

karena ini ibarat anda bertanya kebenaran mana lebih tinggi garam rasanya asin dan gula rasanya manis.
kebenaran adalah kebenaran....tidak ada tinggi atau rendah...
kebenaran tidak sama dengan parami/pahala kebajikan.

TAN:

Tidak bisa begitu donk. Kalau tidak ada yang tinggi atau lebih tinggi kalau dikonfirmasi sesuatu yang menyerempet-nyerempet Mahayana mengapa rekan non Mahayanis selalu mengatakan "O.. itu waktu Sang Buddha masih hidup di dunia (alias nibanna dengan sisa)." Jelas yang melakukan pembedaan adalah rekan-rekan non Mahayanis sendiri.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1100 on: 15 May 2009, 09:37:58 PM »
ADI LIM:

Sdr. Tan yang baik
Saya menyarankan anda belajar bahasa tidak salah, karena di milis, saya membaca pendapat penulis dengan apa adanya, dimana kami anggap tulisan ini berdasarkan yang anda ketahui, jadi bebas untuk mengkritik balik

kalau memang anda mau memperbandingkan maksud kata2 Sabbe Satta  Bhavantu Sukhitatta (slogan satu aliran) dan Ikrar Bodhisatva (tekad suatu aliran), kenapa harus pakai menyindir dan menyudutkan suatu slogan yang kamu tidak setuju.
Kan lebih elegan bila sdr Tan bisa menjelaskan langsung secara lugas dan terperinci, sehingga pembaca budiman bisa mengerti dan paham apa maksud anda menulis.

mengenai kata2 SLOGAN, IKRAR, TEKAD ada beda, mungkin para pembaca lainnya bisa menjelaskan !

dengan kamu menulis untuk menyudutkan suatu Slogan milik satu aliran adalah perbuatan buruk, bisa membuat pembaca lainnya salah penafsiran.

TAN:

Anda salah paham. Saya bukannya tidak setuju dengan Sabbe Sattha Bhavantu Sukithatta. Yang saya tidak setuju adalah umat non Mahayanis yang mengkritik Ikrar atau Tekad Bodhisattva sebagaimana yang diajarkan dalam Mahayana. Bagi saya ungkapan Sabbe Sattha Bhavantu Sukitthata tidak ada bedanya dengan ikrar Bodhisattva. Anda mau sebut IKRAR, TEKAD, SLOGAN apapun juga harus memperhatikan kaidah-kaidah berikut ini:

1.Anda tahu bahwa apa yang Anda tekadkan, ikrarkan, atau slogankan itu bukan sesuatu yang tak masuk akal. Sebagai contoh. Anda berkata, "Aku berikrar untuk tidak makan coklat lagi." Bila Anda merasa bahwa itu mustahil Anda lakukan maka itu berarti ikrar atau tekad Anda itu hanya pemanis bibir atau lip service belaka. Bisa juga dikatakan bahwa Anda menipu diri Anda sendiri.

2.Anda benar-benar mengharap apa yang Anda ikrarkan itu benar-benar terjadi. Contoh. Anda mengatakan pada teman Anda: "Semoga Anda lulus ujian." Tetapi ternyata dalam hati Anda mengharapkan ia gagal ujian. Apa yang Anda ucapkan itu palsu.

3.Ikrar, tekad, atau slogan harus disertai tindakan nyata. Anda hanya membuat slogan: "Semoga perusahaan kita menjadi yang terbaik dan pemimpin dalam teknik manufaktur abad ke-21." Tetapi ternyata tidak ada peningkatan etos kerja. Penerapan ISO masih awut2an. Kedisiplinan masih tetap kurang. Nah, slogan macam apa pula itu?

Dari sini jelas bahwa Ikrar Bodhisattva dalam Mahayana tidak berbeda dengan ucapan Sabbe Sattha Bhavantu Sukithtata.
Anda salah besar kalau mengatakan bahwa saya tidak setuju dengan ungkapan tersebut. Semua umat Buddha baik Mahayana dan Theravada perlu mewujudkan ucapan tersebut dengan sepenuh tenaganya. Kalau tidak, itu hanya akan jadi pemanis bibir atau lip service saja.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1101 on: 15 May 2009, 09:41:36 PM »
BOND:
erima kasih om Tan atas tanggapan Anda. Sebenarnya ikrar adalah suatu tekad untuk menjadi yg disertai usaha2 oleh yg bersangkutan. Kalau good wishes dengan "smoga" itu memang harapan agar orang lain menjadi baik, tetapi yg mengatakan "smoga"bukanlah penentu atas kehidupan orang lain, sekalipun kita juga berusaha menyadarkan mereka. Jadi keberhasilan atas good wishes tadi adalah bukan si good wisher atau pemberkat tapi yg diberikan harapannya. Jadi 2 objek yg berbeda antara good wishes dengan kata "sabe satta bhavantu sukhitata" dan ikrar bodhisatva.

Sebenarnya masalah ikrar bodhisatva mahayanis yg dipertentangkan bagi saya bukan suatu masalah, tapi bila ada beberapa memperdebatkan itu urusan pribadi masing2 menilainya. Bagi saya bodhisatva adalah bodhisatva , Buddha adalah Buddha dan mereka tidak didominasi aliran buddhist manapun juga. Perbedaan konsep itu hal yg wajar. Sekalipun ada yg menanggap ikrar bodhiatva mustahil, misal : "saya akan menjadi Buddha bila semua makhluk bebas dari alam samsara" bagi saya itu tidak masalah, paling tidak ,usaha2 bodhisatva tersebut patut diacungi jempol karena ia senantiasa membantu orang tanpa lelah. Dan pasti ada buahnya yg luar biasa dan bisa saja saat buah untuk mencapai keBuddhaan  tiba dia menyadari hal yg sebenarnya dan akhirnya dia berpikir untuk merealisasikannya untuk menjadi Buddha karena pengertiannya telah menjadi sempurna. Atau bisa saja Seorang bodhisatva yg mengucapkan ikrar tersebut sadar itu hal yg tidak mungkin tetapi tetap diucapkan sebagai pendorong/penyemangat dia untuk mengumpulkan parami sampai saatnya tiba. Permasalahannya kita tidak tau pikiran dan kedalaman pengertian setiap orang yg melakukan ikrar bodhisatva. Yang pasti jika tujuannya membebaskan makhluk dari penderitaan adalah baik adanya bila sesuai dengan JM 8. Entah itu dari non mahayanis dan mahayanis sesungguhnya keduanya sama-sama membina diri dan juga membantu makhluk lainnya hanya tujuan pencapaian yg berbeda saja.  Jadi mengenai jalan mahayana dan non mahayana dikembalikan kepada pemilih mau contreng yang mana  Grin . Selama kedua aliran ini mengajarkan sesuatu yg bukan takhayul dan membawa kepada jalan pembebasan maka semuanya adalah baik dalam satu wadah Buddha sasana.


TAN:

Kalau dalam hal ini saya setuju 100 % dengan Anda. Kita jangan mempermasalahkan ikrar Bodhisattva atau bukan. Semua orang bebas memilih Theravada atau Mahayana, asalkan hidupnya dapat menjadi lebih baik.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1102 on: 15 May 2009, 10:26:05 PM »
TL:

Hayo pada reply sebelumnya nggak ngaku... jadi benar kan Theravada 99% sama dengan Mahayana? 
Tapi sorry... kayaknya Theravada nggak ngerasa sama lho mas...

TAN:

Anda salah besar. Di sini kita membahas sesuatu yang beda. Mari kita lihat apa yang sedang kita bicarakan. Yang kita bicarakan adalah perbandingan Agama Sutra dan Nikaya Pali. Ingat bahwa Agama Sutra hanya salah satu bagian saja dari Kanon Mahayana. Kalau isi Agama Sutra kurang lebih 99 % sama dengan Nikaya Pali. Tetapi karena Mahayana juga memiliki suatu kumpulan yang disebut Sutra-sutra Mahayana (Nama Mahayana Sutra), maka jelas tidak mungkin bahwa Theravada 99 % sama dengan Mahayana. Ini adalah sesuatu yang beda. Yang satu bicara kitab suci sedangkan yang satu bicara mazhab. Suatu agama yang kitab sucinya benar-benar sama saja bias terpecah menjadi berbagai mazhab, apalagi yang kita sucinya tidak identik. Sutra-sutra Mahayana itu jumlahnya jauh lebih banyak dibanding Agama Sutra. Inilah yang Anda tidak mengerti-ngerti jadi diskusinya tidak maju-maju.
Memang Theravada tidak sama dengan Mahayana, tetapi dalam diskusi ini kita memperbandingkan mana yang lebih masuk akal. Selama diskusi selama beberapa minggu ini belum pernah saya mendapatkan jawaban yang membuktikan bahwa Mahayana “tidak masuk akal.” Malah saya merasa sudah membuktikan bahwa ada beberapa ajaran mazhab non Mahayanis yang tidak masuk akal, seperti mengajarkan nihilisme, dan lain sebagainya.
Justru saya berdiskusi untuk “menguji” mazhab saya sendiri. Tetapi ternyata tidak ada satupun tanggapan rekan-rekan non Mahayanis yang sanggup menggoyangkan sendi-sendi Mahayana.
Mahayana juga nggak merasa sama dengan Theravada kok hehehehee…. Malahan Mahayana tidak mau dikatakan nihilisme.

TL:

Iya kan saya hanya mengikuti perumpamaan mas Tan: "(Tan mode: on)" 
Saya catat pernyataan mas Tan, jadi Buddhanya di Mahayana sah-sah saja berbohong? demi alasan bijaksana?

TAN:

Hm bagaimana ya? Karena kita beda pandangan di sini. Bagi saya tindakan semacam itu bukan berbohong. Kita kadang harus bijaksana dalam menjawab sesuatu. Supaya orang seperti Anda bisa mengerti, saya kasih satu contoh dah. Umpamanya Anda punya anak atau keponakan yang masih kecil dan ingusan, terus dia bertanya: “Darimana datangnya adik bayi?” Pertanyaannya apakah Anda akan memberikan jawaban: “O iya adik bayi itu datangnya dari hubungan [tiiiittttt sensor], caranya alat [tiittttt..sensor] dimasukkan ke [tiittttt…sensor]…..” Begitu ya? Jawaban yang bijak adalah mengatakan: “Adik bayi itu datang dibawa burung bangau.” Nah, apakah jawaban itu adalah kebohongan? Tidak. Karena itu adalah jawaban terbaik yang dapat diberikan. Anda mungkin akan berkilah dengan mengatakan, “Ah, tunggu kamu besar, nanti khan tahu sendiri.” Tetapi ingat ini bukan jawaban. Efek negatifnya akan lebih besar. Sang anak jadi penasaran dan kemungkinan mencari dari sumber-sumber lain yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Selanjutnya, kasus yang saya ungkapkan dalam posting sebelumnya juga belum Anda jawab. Apakah bijaksana memberitahu kondisi yang sebenarnya pada sang ayah yang sakit jantung atau depresi? Sebaiknya Anda jawab pertanyaan ini.
Apakah sah-sah saja seorang Buddha di Mahayana berbohong? Pertanyaan ini tidak valid, karena Mahayana tidak menganggapnya sebagai kebohongan.

TL:

Katanya punya keterbatasan pengetahuan kok tahu Buddha mondar-mandir Nirvana-Samsara?

TAN:

Anda salah. Buddha tidak mondar mandir nirvana-samsara. Anda mengatakannya demikian karena memandangnya dari sudut pandang dualisme. Sah-sah saja Anda mengatakan demikian, tetapi dari sudut pandang Mahayana hal ini tidak benar. Istilah “mondar mandir” nirvana dan samsara itu tidak valid karena:

1.Bagi seorang Buddha tidak ada lagi dualisme nirvana dan samsara. Karena nirvana tidak lagi beda dan samsara, adakah lagi masuk dan keluar?
2.Saat seorang Buddha “memasuki” (ini istilah yang terpaksa digunakan) samsara, ia tidak meninggalkan “keberadaan”nya (istilah ini juga terpaksa dipergunakan karena kerterbatasan kosa kata kita) di nirvana. Dharmakaya seorang Buddha tetap omnipresence dan tidak “berpindah” ke mana-mana.

Jadi jelas istilah “mondar-mandir nirvana-samsara” itu tidak valid. Ya memang kita mempunyai keterbatasan pengetahuan, karena itu kita harus tahu batasnya.

TL:

Bingung? Wajar karena sudah saya katakan tolong diresapi dan dimengerti, karena saya rasa memang terlalu dalam untuk mas Tan. Penjelasan seperti ini merupakan pelajaran anak SMP dikalangan T lho mas.
Masa iya mas Tan nggak mengerti bahwa bila sebuah rumah, tiang-tiang penopangnya telah hancur, gentingnya telah berserakan, tiang kuda-kudanya telah patah berkeping-keping apakah masih dapat menjadi tempat naungan bagi orang-orang?

TAN:

Bisa. Kalau rumahnya dibangun kembali. Meskipun fungsi sebuah sudah berakhir, tetapi unsur penyusun2nya masih ada khan. Genting, kuda-kuda, tiang penopang, atau bata-batanya masih ada khan? Ataukah menurut Anda lantas semuanya lenyap sama sekali? Semoga tidak ada yang terobsesi dengan David Copperfield di sini yang bisa menihilismekan suatu benda.

TL

Berbicara mengenai pertanyaan spekulatif yang tak keruan juntrungannya, apakah berhentinya fungsi rumah sebagai tempat perlindungan bisa berhenti atau tak bisa berhenti? 

TAN:

Rumah sebagai tempat perlindungan bisa berhenti dengan dua cara:

1.Tidak ada orang lagi yang tinggal di sana. Kalau tidak yang berlindung di dalamnya, apakah dapat disebut tempat berlindung?
2.Rumahnya rusak dan tidak dapat memenuhi fungsi sebagai tempat berlindung.

Jadi rumah tidak harus hancur. Rumah memang anitya, tetapi ingat anitya tidak sama dengan nihilisme. Rumah mungkin hancur menjadi unsur2 penyusunnya. Tetapi ingat unsur2 penyusun ini tetap ada. Karena itu analogi itu tidak dapat mendukung pendapat Anda

TL:

Nih saya kasih tahu lagi, simak yang baik pelajaran SMP ini ya? Berhentinya fungsi rumah tersebut karena bahan-bahan pendukungnya telah tak berfungsi, oleh karena itu fungsi rumah tersebut juga berhenti.

TAN:

Semua anak SD, juga tahu bahwa rumah itu bisa dibangun kembali dan reruntuhannya tidak mungkin lenyap begitu saja.

TL:

Demikian juga dengan mahluk hidup,
mahluk hidup bertumimbal lahir selama masa yang tak terhitung disebabkan kemelekatan pada panca khandha, kemelekatan ini sendiri merupakan kondisi,  apakah yang menyebabkan kemelekatan pada pancakhandha? akarnya adalah Moha/Avijja.

Bila kemelekatan kepada pancakhandha berakhir maka kita terbebas dari kondisi-kondisi, karena kondisi-kondisi yang tercipta disebabkan oleh kemelekatan kepada pancakhandha ini talah berhenti, itulah yang disebut Nibbana.

Jadi Nibbana (anupadisesa Nibbana) adalah keadaan yang tak berkondisi, bedakan dengan Saupadisesa Nibbana yang masih memiliki kondisi karena masih adanya pancakhandha. (maksudnya Saupadisesa Nibbana adalah mencapai Nibbana selama masih memiliki bentuk sebagai manusia, dewa, maupun Brahma dengan kata lain masih hidup belum meninggal)

TAN:

Jadi menurut Anda: anupadisesa nibanna tak berkondisi, sedangkan saupadisesa nibanna masih berkondisi? Jadi ada dua jenis nibanna yang berbeda kalau begitu? Apakah menurut Anda dengan demikian anupadisesa nibanna lebih tinggi dari saupadisesa nibanna? Jika anupadisesa nibanna “lebih tinggi” dari saupadisesa nibanna bukankan itu adalah suatu “kondisi” (dalam artian lebih tinggi dan rendah)?  Anda mengatakan saupadisesa nibanna masih berkondisi. Artinya “nibanna” masih bisa berkondisi dan tidak bukan? Bisa “berkondisi dan tidak” bukankah itu adalah suatu kondisi. Ingat ini Anda sendiri yang menyatakan lho.

TL:

Oleh sebab itu dikatakan dalam Dhammanussati: Sanditthiko, akaliko, opanayiko paccatam veditabbo vinnuhiti...
Dhamma berada sangat dekat, tak lapuk oleh waktu, mengundang untuk dibuktikan, menuntun ke dalam batin, dapat diselami oleh orang bijaksana dalam batin masing-masing.

Perhatikan terjemahan kata diselami, yang tepat adalah dialami. Dhamma adalah jalan hingga tercapainya Nibbana itu sendiri (baca: Dhammacakkapavattana sutta)

Dhamma disini bukan berarti teori spekulasi macam-macam. Dhamma berarti pembersihan batin dari macam-macam noda, dengan kata lain mencapai Magga/Phala yaitu: mencapai dan mengalami Nibbana sewaktu kita masih hidup, bukan sudah meninggal.

Bagaimanakah caranya agar kita terbebas dari kondisi-kondisi tersebut? Dengan melatih Dhamma dan menembus Dhamma atau mencapai kesucian/ mengalami Nibbana seseorang pada akhirnya akan mampu melepaskan kemelekatan pada pancakhandha. Seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha ketika Beliau mencapai Penerangan Sempurna di bawah pohon Bodhi, "wahai pembuat rumah.... dstnya"  baca sendiri deh di RAPB.

Mengenai mahluk lain masih diliputi oleh anicca, oleh karena mereka belum terbebas dari kondisi-kondisi.

Mengenai Anitya itu nitya atau tidak anitya maksudnya apa? MAS TAN SENDIRI BISA MENJAWAB ATAU TIDAK?
Saya telah menjawab dengan jelas!!!  Dan sekarang MAS TAN, TERUS MEMAKAI JURUS BERKELIT KARENA MAS TAN SENDIRI TAK BISA MENJAWAB KAN? jawaban saya tak memuaskan mas Tan, itu jelas karena memaksakan pendapat bahwa T nihilis padahal sudah dikatakan bahwa Sang Buddha menolak bila dikatakan Beliau ada setelah Parinibbana, Beliau juga tidak setuju bila dikatakan Beliau tak ada setelah Parinibbana, maupun pandangan Buddha ada dan tidak ada, Buddha bukan tidak ada dan bukan ada, karena semua hal itu merupakan spekulasi. 

Hayo ngaku, mas Tan bingung terhadap pertanyaan mas Tan sendiri kan? Makanya dikasih tahu bagaimanapun juga tetap nggak mudeng.   

makanya kalo kagak ngerti mengenai Nirvana jangan berspekulasi.

TAN:

Wah. Anda masih belum bisa menjawab juga. Masih menuduh orang lain berkelit. Tapi tidak mengapa. Saya tidak peduli dituduh apapun. Anda tidak berspekulasi? Kalau begitu bagaimana bisa tahu kalau nibanna itu tak berkondisi? Dari buku khan? Nah, sesama pencontek buku tidak perlu saling menyalahkan. Sama-sama spekulan tida boleh saling mendahului. Heheheehehe. Sebagai informasi, saya tidak bingung dengan pertanyaan saya sendiri. Saya berterima kasih, karena Anda telah memproklamasikan kebingungan saya.

TL:

Sudah dapat belum yang mau membeli tulisan saya mas?

TAN:

Ah, mana ada yang mau. Dikasih gratis saja belum tentu ada yang mau. Wakakakaka )

TL:

yang mana ya? saya juga gelap tuh! siapa yang menjadi nihil ya? tolong kasih tahu dimana mahluk yang menjadi nihil tersebut, oh ya tolong kasih tahu mas Tan, bagaimana caranya mahluk tersebut menjadi nihil.
ngomong-ngomong ada yang mengajarkan eternalisme lho mas, hayo ngaku siapa 

Mau lapor kepada moderator nih, mas Tan menghina dan merendahkan ajaran lain yang tidak sesuai dengan pandangannya  dengan mengatakan bahwa ajaran tersebut nihilis... hayo buktikan mas Tan, dimana di Tipitaka maupun komentarnya yang mengatakan bahwa SANG BUDDHA MENGAJARKAN UNTUK MENGHANCURKAN DIRI SENDIRI (NIHILISME?)

TAN:

Sudah saya ungkapkan pada posting-posting terdahulu. Malas ngulang-ulang terus. Ajaran yang mengatakan bahwa sesudah pancaskandha hancur terus tidak ada apa-apa lagi, apakah bukan nihilisme?
Hayo masih tidak mau ngaku ada yang mengajarkan nihilisme? Siapa ya?

TL:

sesuatu memancarkan sesuatu, yang kita tidak tahu apa sesuatu itu karena berbeda dengan apa yang kita tahu, kita punya keterbatasan, tetapi kita tahu akan sesuatu yang kita tidak tahu.   

Ada sesuatu tak berkondisi, dari yang tak berkondisi ini ada suatu kondisi yang timbul, tak tahu apa itu, tetapi itu jangan disebut kondisi, oleh karena kita umat awam tak mengerti, oleh karena itu, sesuatu itu tak berkondisi   

semoga cukup jelas   

Mana yang berbelit-belit ya?

TAN:

Berbelit-belit bagi yang tidak mau tahu atau mengerti. Tidak berbelit-belit bagi yang tahu dan mengerti.

Amiduofo,

Tan





Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1103 on: 15 May 2009, 10:52:03 PM »
PERTANYAAN

Bila aliran non Mahayanis mengatakan bahwa sesudah seorang Buddha memasuki nirvana tanpa sisa, maka seluruh panca skandha sudah padam, sehingga tidak ada apa-apa lagi tentunya. Jika demikian halnya, mengapa dalam naskah-naskah non Mahayanis Buddha menolak dikatakan TIDAK ADA sesudah anupadisesa nibanna? Jika para makhluk hanya terbentuk dari pancaskandha, tentunya dengan padamnya pancaskandha maka tentunya benar-benar tidak ada apa-apa lagi bukan? Anehnya Buddha menolak dikatakan TIDAK ADA setelah parinibanna. Padahal kalau Buddha dengan tegas mengatakan TIDAK ADA, maka tidak perbantahan lagi mengenai hal ini. Ungkapan Buddha itu akan menjadi kontradiktif. Mohon tanggapannya yang masuk akal. Sebelum dan sesudahnya terima kasih.

Amiduofo,

Tan

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1104 on: 15 May 2009, 11:45:56 PM »
PERTANYAAN

Bila aliran non Mahayanis mengatakan bahwa sesudah seorang Buddha memasuki nirvana tanpa sisa, maka seluruh panca skandha sudah padam, sehingga tidak ada apa-apa lagi tentunya. Jika demikian halnya, mengapa dalam naskah-naskah non Mahayanis Buddha menolak dikatakan TIDAK ADA sesudah anupadisesa nibanna? Jika para makhluk hanya terbentuk dari pancaskandha, tentunya dengan padamnya pancaskandha maka tentunya benar-benar tidak ada apa-apa lagi bukan? Anehnya Buddha menolak dikatakan TIDAK ADA setelah parinibanna. Padahal kalau Buddha dengan tegas mengatakan TIDAK ADA, maka tidak perbantahan lagi mengenai hal ini. Ungkapan Buddha itu akan menjadi kontradiktif. Mohon tanggapannya yang masuk akal. Sebelum dan sesudahnya terima kasih.

Amiduofo,

Tan
saudara Tan yang bijak,
dalam teks pali mesti kita teliti kata-kata tersebut....maaf dalam hal ini sy juga bukan ahli.

tetapi dalam kasus percakapan buddha dengan vecchagota, buddha jelas menolak kata "tidak ada setelah parinibbana" apabila tidak ada unsur yg padam...
dan buddha juga menolak dikatakan "ADA" karena kasus nya tidak tepat....
dalam hal tumimbal lahir.

salam metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1105 on: 16 May 2009, 07:36:45 AM »
PERTANYAAN

Bila aliran non Mahayanis mengatakan bahwa sesudah seorang Buddha memasuki nirvana tanpa sisa, maka seluruh panca skandha sudah padam, sehingga tidak ada apa-apa lagi tentunya. Jika demikian halnya, mengapa dalam naskah-naskah non Mahayanis Buddha menolak dikatakan TIDAK ADA sesudah anupadisesa nibanna? Jika para makhluk hanya terbentuk dari pancaskandha, tentunya dengan padamnya pancaskandha maka tentunya benar-benar tidak ada apa-apa lagi bukan? Anehnya Buddha menolak dikatakan TIDAK ADA setelah parinibanna. Padahal kalau Buddha dengan tegas mengatakan TIDAK ADA, maka tidak perbantahan lagi mengenai hal ini. Ungkapan Buddha itu akan menjadi kontradiktif. Mohon tanggapannya yang masuk akal. Sebelum dan sesudahnya terima kasih.

Amiduofo,

Tan
bukankah nibbana itu keadaan yang sudah terbebas dari kekotoran bathin, suatu kondisi kebahagiaan tertinggi.
padamnya unsur2 yang mendukung kelahiran kembali.

ada dalam PRAJNA PARAMITA HRDAYA SUTRA :
Yang Maha Suci Sang Avalokitasvara sedang membina Samadhi Kebijaksanaan Sejati untuk mencapai pantai seberang (nirvana). Dalam pengamatan bathinNya, Beliau melihat dengan jelas, bahwa lima kelompok kegemaran (Panca-Skhanda) itu sebenarnya adalah kosong (Sunyata). Dengan pencapaian meditasiNya ini, maka Sang Avalokitesvara telah terbebas dari segala sumber sengsara dan derita.

O, Sariputra, wujud (rupa) tidak bedanya dengan kosong (sunyata), dan kosong (sunyata) juga tidak berbeda dengan wujud (rupa). Maka wujud pada hakekatnya adalah kosong dan kosong adalah wujud. Demikian pula halnya dengan perasaan, pikiran, keinginan, dan kesadaran.

Sariputra, kekosongan dari semua benda tidak terlahirkan, tidak termusnahkan, tidak ternoda, tidak bersih, tidak bertambah, ataupun tidak berkurang.

Oleh sebab itu,dengan kekosongan maka tiada berwujud,tiada perasaan, pikiran, keinginan, dan kesadaran; tiada mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan pikiran; tiada wujud, suara, bau, rasa, sentuhan dan gambaran pikiran ; tiada alam penglihatan sampailah tiada alam kekuatan pikiran dan kesadaran (delapan belas alam pengenal)

Tiada 'timbul awal kebodohan' (avijja) maupun tiada 'timbul akhir kebodohan'; hingga usia dan kematian, tiada 'timbul akhir usia tua dan kematian'. Tiada 'timbul derita (Dukha)', lautan derita (samudaya), pelenyapan derita(Nirodha), dan jalan kebenaran (Marga) ; tiada 'timbul kebijaksanaan', maupun tiada 'timbul yang dicapai'.

Karena tiada yang dicapai, maka Bodhisattva mengandalkan Kebijaksanaan Sejati untuk mencapai pantai seberang; oleh sebab itu hati nuraninya telah terbebaskan dari segala kemelekatan dan halangan.

Karena tidak ada lagi kemelekatan dan halangan, maka tidak ada rasa takut dan khawatir, dan dapat terbebas dari ilusi dan keterperdayaan, dengan demikian dapat mencapai Kesempurnaan Sejati.

Para Budha di masa lampau, sekarang, dan yang akan datang membina pada Kebijaksanaan Sejati untuk mencapai Kesadaran Sejati Tertinggi.

Maka kita mengetahui bahwa Maha Prajna Paramita adalah Mantra suci Agung, Mantra unggul dan Mantra yang tiada taranya; Yang benar dan tepat untuk menghapuskan semua derita.

Karena beliau mengucapkan Mantra Prajna Paramita yang berbunyi :

"Gate Gate Paragate Parasamgate Bodhisvaha"
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1106 on: 16 May 2009, 02:32:07 PM »

bukankah nibbana itu keadaan yang sudah terbebas dari kekotoran bathin, suatu kondisi kebahagiaan tertinggi.
padamnya unsur2 yang mendukung kelahiran kembali.

ada dalam PRAJNA PARAMITA HRDAYA SUTRA :
Yang Maha Suci Sang Avalokitasvara sedang membina Samadhi Kebijaksanaan Sejati untuk mencapai pantai seberang (nirvana). Dalam pengamatan bathinNya, Beliau melihat dengan jelas, bahwa lima kelompok kegemaran (Panca-Skhanda) itu sebenarnya adalah kosong (Sunyata). Dengan pencapaian meditasiNya ini, maka Sang Avalokitesvara telah terbebas dari segala sumber sengsara dan derita.

[...]

Sariputra, kekosongan dari semua benda tidak terlahirkan, tidak termusnahkan, tidak ternoda, tidak bersih, tidak bertambah, ataupun tidak berkurang.

Bro,
Sunyata walaupun sering diartikan sebagai "kekosongan", namun sebenarnya bukan kekosongan sebagaimana kota pahami. Dalam Sutra Hati, Sunyata digambarkan sebagai: "tidak terlahirkan, tidak termusnahkan, tidak ternoda, tidak bersih, tidak bertambah, ataupun tidak berkurang." Jadi bukan konsep sebagaimana kita pahami "tidak ada" sebagai bentuk negatif dari "ada". Sebab, jika sunyata semata-mata dianggap sebagai "tidak ada" sebagai bentuk negatif dari "ada" sebagaimana kita pahami, maka sunyata tidaklah bebas dari dualitas. Tidak ada dan ada terbentuk karena pikiran yang diskriminatif (membeda-bedakan), oleh karena itu ada dan tiada sebenarnya adalah kondisi. Irulah sebabnya dikatakan bahwa "Tanpa-kondisi" adalah kondisi, sebab persepsi tentang ada dan tiadanya kondisi itu sendiri adalah suatu kondisi dualitas.

:) Demikianlah pendapat saya tentang sunyata; kalau terdengar tidak logis maafkan saya, bagaimanapun saya tidak memiliki bahasa yang logis untuk menjelsakan sesuatu yang melampaui logika. Mohon dimaklumi kelemahan saya yang satu ini.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1107 on: 16 May 2009, 02:59:18 PM »

bukankah nibbana itu keadaan yang sudah terbebas dari kekotoran bathin, suatu kondisi kebahagiaan tertinggi.
padamnya unsur2 yang mendukung kelahiran kembali.

ada dalam PRAJNA PARAMITA HRDAYA SUTRA :
Yang Maha Suci Sang Avalokitasvara sedang membina Samadhi Kebijaksanaan Sejati untuk mencapai pantai seberang (nirvana). Dalam pengamatan bathinNya, Beliau melihat dengan jelas, bahwa lima kelompok kegemaran (Panca-Skhanda) itu sebenarnya adalah kosong (Sunyata). Dengan pencapaian meditasiNya ini, maka Sang Avalokitesvara telah terbebas dari segala sumber sengsara dan derita.

[...]

Sariputra, kekosongan dari semua benda tidak terlahirkan, tidak termusnahkan, tidak ternoda, tidak bersih, tidak bertambah, ataupun tidak berkurang.

Bro,
Sunyata walaupun sering diartikan sebagai "kekosongan", namun sebenarnya bukan kekosongan sebagaimana kota pahami. Dalam Sutra Hati, Sunyata digambarkan sebagai: "tidak terlahirkan, tidak termusnahkan, tidak ternoda, tidak bersih, tidak bertambah, ataupun tidak berkurang." Jadi bukan konsep sebagaimana kita pahami "tidak ada" sebagai bentuk negatif dari "ada". Sebab, jika sunyata semata-mata dianggap sebagai "tidak ada" sebagai bentuk negatif dari "ada" sebagaimana kita pahami, maka sunyata tidaklah bebas dari dualitas. Tidak ada dan ada terbentuk karena pikiran yang diskriminatif (membeda-bedakan), oleh karena itu ada dan tiada sebenarnya adalah kondisi. Irulah sebabnya dikatakan bahwa "Tanpa-kondisi" adalah kondisi, sebab persepsi tentang ada dan tiadanya kondisi itu sendiri adalah suatu kondisi dualitas.

:) Demikianlah pendapat saya tentang sunyata; kalau terdengar tidak logis maafkan saya, bagaimanapun saya tidak memiliki bahasa yang logis untuk menjelsakan sesuatu yang melampaui logika. Mohon dimaklumi kelemahan saya yang satu ini.
Bukannya itu mengarah ke  :
.....Tiada 'timbul awal kebodohan' (avijja) maupun tiada 'timbul akhir kebodohan'; hingga usia dan kematian, tiada 'timbul akhir usia tua dan kematian'. Tiada 'timbul derita (Dukha)', lautan derita (samudaya), pelenyapan derita(Nirodha), dan jalan kebenaran (Marga) ; tiada 'timbul kebijaksanaan', maupun tiada 'timbul yang dicapai'.

Memang theravada tidak mengarah ke tidak ada (nihilis) juga ke eternalis khan?
tapi tampak nya mahayana yang mengarah ke eternalis :)
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1108 on: 16 May 2009, 03:12:23 PM »
Bukannya itu mengarah ke  :
.....Tiada 'timbul awal kebodohan' (avijja) maupun tiada 'timbul akhir kebodohan'; hingga usia dan kematian, tiada 'timbul akhir usia tua dan kematian'. Tiada 'timbul derita (Dukha)', lautan derita (samudaya), pelenyapan derita(Nirodha), dan jalan kebenaran (Marga) ; tiada 'timbul kebijaksanaan', maupun tiada 'timbul yang dicapai'.

Memang theravada tidak mengarah ke tidak ada (nihilis) juga ke eternalis khan?
tapi tampak nya mahayana yang mengarah ke eternalis :)

 :)) :)) :)) Ternyata kembali pada pemberian label. "Nihilis" ataupun "Eternalis" hanyalah label  :)) Label demikian tidak akan membantu anda memahami permasalahan tapi hanya menciptakan pertentangan posisi yang tidak bakal habis-habisnya.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1109 on: 16 May 2009, 03:15:21 PM »
Bukannya itu mengarah ke  :
.....Tiada 'timbul awal kebodohan' (avijja) maupun tiada 'timbul akhir kebodohan'; hingga usia dan kematian, tiada 'timbul akhir usia tua dan kematian'. Tiada 'timbul derita (Dukha)', lautan derita (samudaya), pelenyapan derita(Nirodha), dan jalan kebenaran (Marga) ; tiada 'timbul kebijaksanaan', maupun tiada 'timbul yang dicapai'.

Memang theravada tidak mengarah ke tidak ada (nihilis) juga ke eternalis khan?
tapi tampak nya mahayana yang mengarah ke eternalis :)

 :)) :)) :)) Ternyata kembali pada pemberian label. "Nihilis" ataupun "Eternalis" hanyalah label  :)) Label demikian tidak akan membantu anda memahami permasalahan tapi hanya menciptakan pertentangan posisi yang tidak bakal habis-habisnya.
iya lah, pada akhirnya jalani sendiri ajah sesuai iman dan kepercayaan masing2 yak =)) =)) =))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

 

anything