//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 663371 times)

0 Members and 5 Guests are viewing this topic.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1020 on: 11 May 2009, 04:53:37 PM »
Btw… Bro Sobat-Dharma, selamat Hari Raya Trisuci Waisak yah. _/\_

”Happy Vesakh to all Mahayanis and Theravadin”


Happy Vesak day too. Kepada semua teman-teman di sini Happy Vesakh.

buat bro Upasaka, untuk sementara diskusi kita saya tunda dulu jawabannya karena ada sesuatu yang menarik.

Sobat-sobat,
saya rasa salah satu perdebatan yang rame di topik ini adalah tentang apakah setelah seseorang merealisasi nirvana apakah ia akan "terpisah sepenuhnya dari samsara" atau "masih bebas berkontak dengan samsara."

Para Theravadin dalam diskusi meyakini bahwa saat seseorang merealisasi nirvana ia terlepas sama sekali dari samsara sehingga ia tidak bisa kembali lagi kondisi-kondisi sebelumnya. Hal ini kemudian membentuk opini bahwa jika seseorang masih memiliki keinginan untuk menyelamatkan makhluk lain maka ia belum merealisasi nirvana. Pandangan ini menyakini bahwa karena seseorang tidak lagi memiliki keinginan ia tidak mungkin kembali ke kondisi sebelumnya. Demikian apa yang saya baca dari opini-opini yang berkembang di dalam diskusi ini.

Para Mahayanis meyakini bahwa seseorang yang telah merealisasi nirvana ia masih bebas untuk berpindah dari satu kondisi ke kondisi lain. Para Mahayanis berargumen bahwa justru kebebasan tersebut yang membuktikan bahwa seseorang meraih pembebasan yang sejati, karena dengan demikian seseorang tidak terikat dengan kondisi apapun. Demikian kira-kira opini  yang saya pahami berkembang di antara Para Mahayanis di forum ini.

Perdebatan tentang ini menyebabkan seolah-olah adanya perbedaan konsep realisasi nirvana antara Theravada dan Mahayana. Apakah perbedaan ini meman demikian halnya?

Terakhir ini saya mencoba membaca Digha Nikaya Pali dan menemukan sebuah bagian dari Mahanidana Sutta yang sebagian terakhir dari isinya membahas tentang 8  pembebasan (vimokha). Pertama-tama, sutta tersebut menyebutkan satu-persatu 8 pembebasan yang antara lain terdiri dari berikut ini:
  • (1)   Memiliki bentuk, seseorang melihat bentuk.
    (2)   Tanpa melihat bentuk materi dalam diri seseorang, ia melihatnya di luar
    (3)   Berpikir: “Ini indah”, seseorang meliputinya.
    (4)   Dengan secara total melampaui semua persepsi materi, dengan melenyapkan persepsi reaksi-sensor dan dengan ke-tidak-tertarikan pada persepsi yang beraneka-ragam, berpikir: “Ruang adalah tanpa batas,” seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Ruang Tanpa Batas
    (5)   Dengan melampaui Alam Ruang Tanpa Batas, berpikir: “Kesadaran adalah tanpa batas,” seseorang masuk dan berdiam dalam alam Kesadaran Tanpa Batas
    (6)   Dengan melampaui alam Kesadaran Tanpa Batas, berpikir: “Tidak ada apa pun,” seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Kekosongan
    (7)   Dengan melampaui Alam Kekosongan, seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Bukan persepsi juga bukan Bukan-Persepsi
    (8 )   Dengan melampaui Alam Bukan persepsi juga bukan Bukan-Persepsi, seseorang masuk dan berdiam dalam Lenyapnya Persepsi dan Perasaan.

Jika kita lihat, yang dimaksud sebagai pembebasan kedelapan tidak lain adalah realisasi nirvana: lenyapnya persepsi dan perasaan.

Nah setelah itu saya sampe pada bagian yang akan kudiskusikan dalam forum ini. Setelah Sang Buddha menyebutkan kedelapan pembebasan tersebut, Beliau mengatakan demikian:

‘ânanda, ketika seorang bhikkhu mencapai delapan pembebasan ini dalam urutan maju, dalam urutan mundur, dan dalam urutan maju-dan-mundur, masuk dan keluar dari dalamnya kapan pun ia inginkan, selama yang ia inginkan, dan telah mencapai dengan pengetahuan-super yang ia miliki di sini dan saat ini, baik kehancuran kekotoran-kekotoran maupun pembebasan yang tanpa kekotoran dari hati dan pembebasan oleh kebijaksanaan bhikkhu itu disebut “Terbebaskan dalam kedua-arah,”  dan, ânanda, tidak ada jalan lain selain “pembebasan kedua-arah” yang lebih mulia atau sempurna daripada yang ini.’

Jika kita melihat kutipan ini, jelas dalam sutta pali juga mengatakan bahwa justru saat seseorang merealisasi nirvana yang sempurna, ia "terbebaskan dari dua arah", yang artinya ia menjadi bebas untuk "keluar dan masuk dalam kondisi kedelapan pembebasan kapanpun ia inginkan dan selama ia inginkan" (lihat bagian yang kuberi tanda biru). Dengan demikian, seseorang dikatakan mencapai pembebasan yang lebih mulia dan sempurna adalah jika ia bebas untuk keluar dan masuk antara nirvana dan samsara.

Nah jika interpretasi saya benar, berarti sebenarnya dalam sutta pali pun menganut pandangan yang sama dengan Para Mahayanis di forum ini, yaitu meski seseorang merealisasi nirvana seseorang masih "bebas keluar dan masuk" antara nirvana dan samsara. Dengan anggapan bahwa semua tingkat pembebasan lain masih berada dalam Samsara sedangkan hanya pembebasan terakhir saja yang merupakan realisasi Nirvana. Sedangkan kata-kata Sang Buddha ini (jika tidak ada keraguan tentang keaslian sutta) sama sekali tidak mendukung pandangan bahwa realisasi nirvana yang sempurna berarti terpotong/terpisah selamanya dari samsara tanpa ada "kebebasan" untuk bergerak di antaranya.

Bagaimana menurut teman-teman?   


1 Saupadisesa=Nibbana yang dicapai selagi masih hidup, misalnya para Arahat yang berdiam dalam kedamaian Nibbana (Nirodhasamapatti)
2. Anupadisesa=Nibbana yang dicapai saat Parinibbana, yaitu ketika para Arahat meninggal dunia.


Apa sutta di atas termasuk yang no.1 khan?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1021 on: 11 May 2009, 05:01:35 PM »

1 Saupadisesa=Nibbana yang dicapai selagi masih hidup, misalnya para Arahat yang berdiam dalam kedamaian Nibbana (Nirodhasamapatti)
2. Anupadisesa=Nibbana yang dicapai saat Parinibbana, yaitu ketika para Arahat meninggal dunia.

Apa sutta di atas termasuk yang no.1 khan?

Tidak ada keterangan bro.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1022 on: 11 May 2009, 05:06:28 PM »

1 Saupadisesa=Nibbana yang dicapai selagi masih hidup, misalnya para Arahat yang berdiam dalam kedamaian Nibbana (Nirodhasamapatti)
2. Anupadisesa=Nibbana yang dicapai saat Parinibbana, yaitu ketika para Arahat meninggal dunia.

Apa sutta di atas termasuk yang no.1 khan?

Tidak ada keterangan bro.

‘ânanda, ketika seorang bhikkhu mencapai delapan pembebasan ini dalam urutan maju, dalam urutan mundur, dan dalam urutan maju-dan-mundur, masuk dan keluar dari dalamnya kapan pun ia inginkan, selama yang ia inginkan, dan telah mencapai dengan pengetahuan-super yang ia miliki di sini dan saat ini, baik kehancuran kekotoran-kekotoran maupun pembebasan yang tanpa kekotoran dari hati dan pembebasan oleh kebijaksanaan bhikkhu itu disebut “Terbebaskan dalam kedua-arah,”  dan, ânanda, tidak ada jalan lain selain “pembebasan kedua-arah” yang lebih mulia atau sempurna daripada yang ini.’
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline coedabgf

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 946
  • Reputasi: -2
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1023 on: 11 May 2009, 05:10:03 PM »
Btw… Bro Sobat-Dharma, selamat Hari Raya Trisuci Waisak yah. _/\_

”Happy Vesakh to all Mahayanis and Theravadin”


Happy Vesak day too. Kepada semua teman-teman di sini Happy Vesakh.

buat bro Upasaka, untuk sementara diskusi kita saya tunda dulu jawabannya karena ada sesuatu yang menarik.

Sobat-sobat,
saya rasa salah satu perdebatan yang rame di topik ini adalah tentang apakah setelah seseorang merealisasi nirvana apakah ia akan "terpisah sepenuhnya dari samsara" atau "masih bebas berkontak dengan samsara."

Para Theravadin dalam diskusi meyakini bahwa saat seseorang merealisasi nirvana ia terlepas sama sekali dari samsara sehingga ia tidak bisa kembali lagi kondisi-kondisi sebelumnya. Hal ini kemudian membentuk opini bahwa jika seseorang masih memiliki keinginan untuk menyelamatkan makhluk lain maka ia belum merealisasi nirvana. Pandangan ini menyakini bahwa karena seseorang tidak lagi memiliki keinginan ia tidak mungkin kembali ke kondisi sebelumnya. Demikian apa yang saya baca dari opini-opini yang berkembang di dalam diskusi ini.

Para Mahayanis meyakini bahwa seseorang yang telah merealisasi nirvana ia masih bebas untuk berpindah dari satu kondisi ke kondisi lain. Para Mahayanis berargumen bahwa justru kebebasan tersebut yang membuktikan bahwa seseorang meraih pembebasan yang sejati, karena dengan demikian seseorang tidak terikat dengan kondisi apapun. Demikian kira-kira opini  yang saya pahami berkembang di antara Para Mahayanis di forum ini.

Perdebatan tentang ini menyebabkan seolah-olah adanya perbedaan konsep realisasi nirvana antara Theravada dan Mahayana. Apakah perbedaan ini meman demikian halnya?

Terakhir ini saya mencoba membaca Digha Nikaya Pali dan menemukan sebuah bagian dari Mahanidana Sutta yang sebagian terakhir dari isinya membahas tentang 8  pembebasan (vimokha). Pertama-tama, sutta tersebut menyebutkan satu-persatu 8 pembebasan yang antara lain terdiri dari berikut ini:
  • (1)   Memiliki bentuk, seseorang melihat bentuk.
    (2)   Tanpa melihat bentuk materi dalam diri seseorang, ia melihatnya di luar
    (3)   Berpikir: “Ini indah”, seseorang meliputinya.
    (4)   Dengan secara total melampaui semua persepsi materi, dengan melenyapkan persepsi reaksi-sensor dan dengan ke-tidak-tertarikan pada persepsi yang beraneka-ragam, berpikir: “Ruang adalah tanpa batas,” seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Ruang Tanpa Batas
    (5)   Dengan melampaui Alam Ruang Tanpa Batas, berpikir: “Kesadaran adalah tanpa batas,” seseorang masuk dan berdiam dalam alam Kesadaran Tanpa Batas
    (6)   Dengan melampaui alam Kesadaran Tanpa Batas, berpikir: “Tidak ada apa pun,” seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Kekosongan
    (7)   Dengan melampaui Alam Kekosongan, seseorang masuk dan berdiam dalam Alam Bukan persepsi juga bukan Bukan-Persepsi
    (8 )   Dengan melampaui Alam Bukan persepsi juga bukan Bukan-Persepsi, seseorang masuk dan berdiam dalam Lenyapnya Persepsi dan Perasaan.

Jika kita lihat, yang dimaksud sebagai pembebasan kedelapan tidak lain adalah realisasi nirvana: lenyapnya persepsi dan perasaan.

Nah setelah itu saya sampe pada bagian yang akan kudiskusikan dalam forum ini. Setelah Sang Buddha menyebutkan kedelapan pembebasan tersebut, Beliau mengatakan demikian:

‘ânanda, ketika seorang bhikkhu mencapai delapan pembebasan ini dalam urutan maju, dalam urutan mundur, dan dalam urutan maju-dan-mundur, masuk dan keluar dari dalamnya kapan pun ia inginkan, selama yang ia inginkan, dan telah mencapai dengan pengetahuan-super yang ia miliki di sini dan saat ini, baik kehancuran kekotoran-kekotoran maupun pembebasan yang tanpa kekotoran dari hati dan pembebasan oleh kebijaksanaan bhikkhu itu disebut “Terbebaskan dalam kedua-arah,”  dan, ânanda, tidak ada jalan lain selain “pembebasan kedua-arah” yang lebih mulia atau sempurna daripada yang ini.’

Jika kita melihat kutipan ini, jelas dalam sutta pali juga mengatakan bahwa justru saat seseorang merealisasi nirvana yang sempurna, ia "terbebaskan dari dua arah", yang artinya ia menjadi bebas untuk "keluar dan masuk dalam kondisi kedelapan pembebasan kapanpun ia inginkan dan selama ia inginkan" (lihat bagian yang kuberi tanda biru). Dengan demikian, seseorang dikatakan mencapai pembebasan yang lebih mulia dan sempurna adalah jika ia bebas untuk keluar dan masuk antara nirvana dan samsara.

Nah jika interpretasi saya benar, berarti sebenarnya dalam sutta pali pun menganut pandangan yang sama dengan Para Mahayanis di forum ini, yaitu meski seseorang merealisasi nirvana seseorang masih "bebas keluar dan masuk" antara nirvana dan samsara. Dengan anggapan bahwa semua tingkat pembebasan lain masih berada dalam Samsara sedangkan hanya pembebasan terakhir saja yang merupakan realisasi Nirvana. Sedangkan kata-kata Sang Buddha ini (jika tidak ada keraguan tentang keaslian sutta) sama sekali tidak mendukung pandangan bahwa realisasi nirvana yang sempurna berarti terpotong/terpisah selamanya dari samsara tanpa ada "kebebasan" untuk bergerak di antaranya.

Bagaimana menurut teman-teman?   


1 Saupadisesa=Nibbana yang dicapai selagi masih hidup, misalnya para Arahat yang berdiam dalam kedamaian Nibbana (Nirodhasamapatti)
2. Anupadisesa=Nibbana yang dicapai saat Parinibbana, yaitu ketika para Arahat meninggal dunia.


Apa sutta di atas termasuk yang no.1 khan?


tambahan penjelasan dari thread - penjelasan coedabgf (yang saya birui dan tebalkan) :

wah, saya telat masuk di thread ini,
masih bisa nanya nggak?
kalau saya liat ada beberapa postingan dari teman2di  forum berbicara soal
kebenaran sejati dan nibbana,
bisa dijelaskan dalam agama budha?
tks.
Nibbana adalah hilanganya Dosa,lobha dan Moha (kebencian, keserakahan dan kebodohan batin), punca penderitaan kita adalah dikarenakan oleh kemelekatan(attachment), jadi hanya dengan menghilangkan kemelekatan maka kita akan mencapai ketenangan sejati yg dipanggil Nibbana.

Kemelekatan terlahir dari Dosa, lobha dan Moha..

CMIIW
salam,
 Christ

saat menyadari dan terbebasnya dari kesalahan pandangan dan memelekatan kepada kewujudan ciri diri yang palsu (yang memiliki sifat yang disebut tilakhana, sifat duniawi), seseorang dapat mengetahui dan menyelami pengetahuan dan mencapai realisasi Nibanna.
Saat seseorang mencapai realisasi Nibanna, saat itu seseorang menyadari/mengetahui kebenaran sejati, kedemikianan, kewajaran, kemurnian True self (sumber) kehidupannya yang sejati.

ada yang mencapai pengetahuan kebijaksanaan tetapi belum mencapai realisasi Nibanna, itu yang dibilang guru Buddha sifatnya masih berspekulasi.
tapi ada yang memiliki banyak pengetahuan tetapi belum mengalaminya, itu yang disebut hanya sebatas teori (omdo).
Saya tanya sekali lagi, apa anda sudah tercerahkan atau masih spekulasi? atau hanya omdo? atau anda sudah mencicipi Nibbana seperti Bapak Hudoyo?

kan... ai sudah bilang hanya berbagi informasi. (seperti yang anda tulis urutannya the real truth, masih spekulasi dan juga termasuk omdo.)
Omong-omong kata 'mencicipi Nibanna', pengalaman realisasi Nibanna bukan seperti orang makan icip-icip setelah itu dibilang gak lagi makan (tindakannya). Tetapi seperti orang makan dilihat dari pengalaman rasanya. Sekali merasakan, seterusnya melekat pengetahuan itu.
Klo dibilang icip-icip, lalu hilang atau katanya seperti ini atau itu, tetapi seperti orang lupa tidak dapat meraih lagi alias dibilang pernah menyicipi tapi tidak dapat mencapainya lagi alias tidak berada dalam kebijaksanaan pencapaian itu lagi, itu sih namanya (masih) spekulasi sendiri.
Lihat kutipan saya yang saya huruf birui dan tebalkan. Mereka sudah mengetahui yang asli/sifat kesejatian (Udanna VIII.3, sunya), dapat melihat dan membedakan yang palsu (yang berkondisi, bersifat tilakhana) dengan yang sejati (Udanna VIII.3), meskipun mereka hidup didalam kesemetaraan tubuh dan dunia fana (yang berkondisi, bersifat tilakhana).


iKuT NGeRumPI Akh..!

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1024 on: 11 May 2009, 05:28:45 PM »

‘ânanda, ketika seorang bhikkhu mencapai delapan pembebasan ini dalam urutan maju, dalam urutan mundur, dan dalam urutan maju-dan-mundur, masuk dan keluar dari dalamnya kapan pun ia inginkan, selama yang ia inginkan, dan telah mencapai dengan pengetahuan-super yang ia miliki di sini dan saat ini, baik kehancuran kekotoran-kekotoran maupun pembebasan yang tanpa kekotoran dari hati dan pembebasan oleh kebijaksanaan bhikkhu itu disebut “Terbebaskan dalam kedua-arah,”  dan, ânanda, tidak ada jalan lain selain “pembebasan kedua-arah” yang lebih mulia atau sempurna daripada yang ini.’

Kata "di sini dan saat ini" sama sekali tidak secara gamblang menjelaskan bahwa pembebasan demikian hanya dalam Saupadisesa. Penjelasan hanya berdasarkan kata ini sangat spekulatif. Bagaimanapun kondisi Anupadisesa sendiri masih adalah misteri. Sang Buddha sendiri hanya menjawabnya dengan diam ketika ditanya tentang bagaimana keadaan setelah Tathagata mencapai Parinibbana. Nah, kalau kita berdiskusi tentang keadaan setelah sang Buddha telah parinibbana, maka mencontoh sikap Sang Buddha saya hanya akan bersikap diam :)

Meskipun demikian, di bawah ini saya akan menyampaikan beberapa pertimbangan saya.

Seingat saya beda antara nibbana tanpa sisa dan nibbana yang dicapai ketika masih hidup yang pasti hanya pada ada tidaknya Pancaskandha. Jika asumsinya seseorang yang telah merealisasi Nirvana berarti ia telah mematahkan lingkaran kehidupan dan kematian, berartikan ada atau tidaknya pancaskandha bukan lagi rintangan? Apalagi di sini dikatakan bahwa pembebasan sejati berarti seseorang bebas untuk masuk dan keluar dari kondisi nirvana dan samsara, sehingga jika seseorang dikatakan bebas keluar dan masuk berartikan keberadaan pancaskandha sama sekali tidak ada kaitannya? Bahkan jika dikatakan nirvana adalah kondisi yang melampaui dualitas ada dan tiada, maka seharusnya ada dan tiadanya pancaskandha bukanlah sesuatu yang harus terlalu diperhitungkan bukan?

Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1025 on: 11 May 2009, 05:34:18 PM »

‘ânanda, ketika seorang bhikkhu mencapai delapan pembebasan ini dalam urutan maju, dalam urutan mundur, dan dalam urutan maju-dan-mundur, masuk dan keluar dari dalamnya kapan pun ia inginkan, selama yang ia inginkan, dan telah mencapai dengan pengetahuan-super yang ia miliki di sini dan saat ini, baik kehancuran kekotoran-kekotoran maupun pembebasan yang tanpa kekotoran dari hati dan pembebasan oleh kebijaksanaan bhikkhu itu disebut “Terbebaskan dalam kedua-arah,”  dan, ânanda, tidak ada jalan lain selain “pembebasan kedua-arah” yang lebih mulia atau sempurna daripada yang ini.’

Kata "di sini dan saat ini" sama sekali tidak secara gamblang menjelaskan bahwa pembebasan demikian hanya dalam Saupadisesa. Penjelasan hanya berdasarkan kata ini sangat spekulatif. Bagaimanapun kondisi Anupadisesa sendiri masih adalah misteri. Sang Buddha sendiri hanya menjawabnya dengan diam ketika ditanya tentang bagaimana keadaan setelah Tathagata mencapai Parinibbana. Nah, kalau kita berdiskusi tentang keadaan setelah sang Buddha telah parinibbana, maka mencontoh sikap Sang Buddha saya hanya akan bersikap diam :)

Meskipun demikian, di bawah ini saya akan menyampaikan beberapa pertimbangan saya.

Seingat saya beda antara nibbana tanpa sisa dan nibbana yang dicapai ketika masih hidup yang pasti hanya pada ada tidaknya Pancaskandha. Jika asumsinya seseorang yang telah merealisasi Nirvana berarti ia telah mematahkan lingkaran kehidupan dan kematian, berartikan ada atau tidaknya pancaskandha bukan lagi rintangan? Apalagi di sini dikatakan bahwa pembebasan sejati berarti seseorang bebas untuk masuk dan keluar dari kondisi nirvana dan samsara, sehingga jika seseorang dikatakan bebas keluar dan masuk berartikan keberadaan pancaskandha sama sekali tidak ada kaitannya? Bahkan jika dikatakan nirvana adalah kondisi yang melampaui dualitas ada dan tiada, maka seharusnya ada dan tiadanya pancaskandha bukanlah sesuatu yang harus terlalu diperhitungkan bukan?


Kalau tidak salah pernah baca, ada pertapa yang bisa mengetahui dimana kelahiran kembali seseorang dengan cara mengetok tengkorak orang mati, ketika sang Buddha meminta pertapa itu mengetok tengkorak arahat, pertapa itu bingung karena tidak mengetahui keberadaan arahat tersebut.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1026 on: 11 May 2009, 05:36:40 PM »
Kalau tidak salah pernah baca, ada pertapa yang bisa mengetahui dimana kelahiran kembali seseorang dengan cara mengetok tengkorak orang mati, ketika sang Buddha meminta pertapa itu mengetok tengkorak arahat, pertapa itu bingung karena tidak mengetahui keberadaan arahat tersebut.

Kalau seandainya cerita ini benar, berartikan ini menggambarkan kondisi Parinibbana yang melampaui keadaan ada atau tiadak? Logika si pertapa tentang ada dan tiada tidak mampu menjangkau nibbana/parinibbana
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1027 on: 11 May 2009, 05:39:22 PM »
Kalau tidak salah pernah baca, ada pertapa yang bisa mengetahui dimana kelahiran kembali seseorang dengan cara mengetok tengkorak orang mati, ketika sang Buddha meminta pertapa itu mengetok tengkorak arahat, pertapa itu bingung karena tidak mengetahui keberadaan arahat tersebut.

Kalau seandainya cerita ini benar, berartikan ini menggambarkan kondisi Parinibbana yang melampaui keadaan ada atau tiadak? Logika si pertapa tentang ada dan tiada tidak mampu menjangkau nibbana/parinibbana
Nah, kenapa Mahayana koq bisa menggambarkan Nibbana? Para Mahayanis meyakini bahwa seseorang yang telah merealisasi nirvana ia masih bebas untuk berpindah dari satu kondisi ke kondisi lain?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1028 on: 11 May 2009, 05:42:35 PM »
Nah, kenapa Mahayana koq bisa menggambarkan Nibbana? Para Mahayanis meyakini bahwa seseorang yang telah merealisasi nirvana ia masih bebas untuk berpindah dari satu kondisi ke kondisi lain?

Bukankah sutta yang kukutip juga berkata demikian, pembebasan sejati justru terjadi ketika seseorang dapat berpindah dari kondis satu ke kondisi lainnya
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1029 on: 11 May 2009, 05:43:11 PM »
TL:

Jadi setuju menurut mas Tan 99% Tipitaka Pali ada di Agama sutra?

TAN:

Absolutely Yes. Anda tanyakan 1000 kali juga jawabannya akan sama.

TL:

Perumpamaannya kok nggak tepat ya?
Perumpamaan yang benar adalah: menghadapi pasien lever dokternya bilang pada ibunya si A sakit lever, pada ayahnya dia mengatakan si A tidak sakit apa-apa.
Pada ayahnya ia bilang sakit lever tidak bisa sembuh, pada ibunya ia mengatakan sakit lever bisa sembuh. Itu namanya plin plan atau tidak ?

TAN:

Ah, itu khan Cuma kata Anda tidak tepat. Ya biasalah dalam debat itu saling menyalahkan pendapat orang lain sangat wajar. Kalau tidak saling menyalahkan bukan debat namanya. Hahahahaahaah ) Bagi saya sih tepat ya. Tapi terserah kata Anda. Baiklah, kalau si ayah sakit jantung atau sedang dalam tekanan batin kronis, lebih baik ia tidak perlu kenyataan sebenarnya. Ini ada dalam psikologi. Dalam hal ini sang dokter tidak plin plan. Menyampaikan sesuatu harus diperhatikan juga kondisi pendengarnya. Itu baru bijaksana.

TL:

Tidak dilahirkan? apa Beliau muncul begitu saja?  Seperti dewa?    
Atau bersandiwara pura-pura lahir?  

TAN:

Ya itu, bersandiwara khan cuma kata Anda. Sudah dijelaskan berulang-ulang. Kalau tidak paham-paham ya sudah. Saya kasih penjelasan terakhir ya. “Kelahiran” di sini bukan dalam pengertian “kelahiran” makhluk samsara. Kita tidak punya kosa kata untuk mendefinisikannya, sementara itu Anda dengan semena-mena menerapkan keterbatasan kosa kata manusia yang belum tercerahi untuk membahas mengenai Buddha. Ini jelas mustahil, bagaikan orang primitif yang hendak menjelaskan mengenai pesawat ataupun sistim computer. Jelas diskusi ini tidak akan nyambung walau sampai kapanpun. . Beda dengan ajaran Mahayana yang dengan rendah hati mengakui keterbatasan manusia. Oke. Untuk selanjutnya saya tidak akan membahas lagi masalah ini.

TL:

Kasihan mas Tan tinggal satu-satunya cara menjawab karena tidak tahu jawabannya  

Anitya bersifat nitya atau Anitya?

Tolong diresapi dan dimengerti jawaban saya berikut ini:

Ada sanskhata Dharma dan asanskhata Dharma (Dharma yang berkondisi dan Dharma yang tidak berkondisi), suatu hal yang berkondisi atau suatu hal yang muncul maka akan lenyap kembali. Inilah yang disebut anitya.

…… (jawabannya yang terlalu berbelit2 dipotong karena kepanjangan)


TAN:

Kasihan sekali Anda memberikan jawaban yang berbelit2 dan tidak pernah menjawab permasalahannya dengan jelas. Selama itu pula perdebatan ini tidak akan selesai. Kalau nibanna adalah penghentian anitya, maka bila nibanna nitya (kekal), penghentian anitya itu juga nitya. Bila nibanna itu anitya, maka penghentian anitya itu juga tidak kekal. Jadi kuncinya pada nibanna. Nah mempertanyakan semacam itu, Anda katakan tidak valid. Kalau Anda mengatakan pertanyaan itu tidak valid, saya juga boleh mengatakan bahwa segenap pertanyaan Anda tentang Mahayana juga tidak valid dan bahkan “kurang ajar.” Jadi sama-sama khan? Meskipun ada orang yang telah merealisasi nibanna dan tidak lagi terikat pada hukum anitya, tetapi makhluk lain yang belum, tetap terikat pada anitya bukan? Nah, berarti anitya masih ada bukan? Untuk jelasnya begini, meskipun Anda berada dalam sebuah ruangan dan tidak melihat adanya matahari, tetapi bukan berarti matahari lenyap khan? Sekarang anitya itu nitya atau anitya?  Tolong beri jawaban yang jelas dan tidak berbelit-belit.
Sebagai tambahan, saya mengakui bahwa memang bagi sebagian orang ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak valid, terutama kalau sudah menyangkut masalah keyakinan. Untuk itulah kita perlu saling menghormati dan toleransi.

TL:

Loh? di Theravada jelas tidak, emangnya di Mahayana percaya?

TAN:

O jelas tidak. Mahayana juga tidak percaya kok. Tetapi ada suatu aliran non Mahayana yang percaya nihilisme lho. Ehm..ehm.. aliran apa ya? Tauk ah gelapppp…..!

TL:

Manakah yang lebih mungkin memancarkan maitri karuna:
jiwa roh yang kekal abadi seperti paham alaya vinyana yang telah memasuki Nirvana atau
keadaan yang tak berkondisi?    

metta

TAN:

Walah..walah…! Pertanyaan ini lagi. Muter-muter ae. Mana yang paling mungkin? Bila nirvana disebut tak berkondisi, maka “kemustahilan untuk memancarkan maitri karuna” adalah juga kondisi. Akibatnya nirvana jadi berkondisi donk. Bagaimana dengan Mahayana? Apakah nirvana Mahayaan jadi berkondisi dengan pemancaran maitri karuna? Oo jelas tidak donk. Mengapa? Karena “pemancaran maitri karuna di sini beda dengan pemancaran maitri karuna makhluk yang belum dicerahi!” Mengapa digunakan istilah “pemancaran maitri karuna”? Karena keterbatasan kosa kata dan pemahaman kita yang belum tercerahi, dipergunakan istilah “pemancaran maitri karuna.” Nah, karena “pemancaran maitri karuna” itu hendaknya tidak dipahami dalam pengertian awam, nirvana menurut Mahayana jadi tak berkondisi. Karena yang dimaksud “kondisi” sebenarnya hanyalah jargon-jargon yang diterapkan oleh umat awam yang belum tercerahi. Semoga ini cukup jelas.

Amiduofo,

Tan


Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1030 on: 11 May 2009, 05:53:07 PM »
TL:

Ini pemikiran spekulatif Mahayana yang terlebih lagi tidak menyelesaikan masalah, karena beranggapan suatu ketika semua mahluk hidup merealisasi Nirvana berkat pertolongan Bodhisattva dan Buddha yang harus berkali-kali tumimbal lahir lagi (apa bedanya ya?) sehingga tak ada lagi mahluk di alam samsara, sehingga setelah semua mahluk masuk Nirvana maka tak ada lagi karma.

Spekulasi lebih besar lagi akan timbul dari spekulasi Mahayana tersebut:

BILA BUDDHA JUGA BERTUMIMBAL LAHIR KEMBALI SAMPAI KAPAN SEMUA MAHLUK AKAN TERBEBAS DARI SAMSARA?

Bukankah terlahir kembali berarti masuk alam samsara lagi? Bukankah bila seorang yang telah mencapai pencerahan dan tak akan terlahir kembali, maka masih memungkinkan samsara akan bersih dari mahluk? karena semua mahluk telah terbebas dari samsara?.

Ini hanya spekulasi yang dijawab dengan spekulasi.

Ada aliran diluar M yang tak mau berspekulasi mengenai apakah semua mahluk akan terbebas dari samsara atau tidak, yang penting baginya adalah membebaskan dirinya dari samsara dan membantu mahluk lain sebanyak mungkin agar terbebas dari samsara.

Pandangan di luar M ini menggunakan rujukan dari satu sutra yang berisi perumpamaan orang yang terkena panah.

metta,

TAN:

Lalu apa yang bukan spekulasi? Jujur aja dah pada diri sendiri. Apa  yang Anda ungkapkan di atas salah kaprah. Kalau mau pakai bahasa pamungkas Anda, pertanyaan itu tidak valid. Siapa bilang Buddha bertumimbal lahir kembali? Jelas tidak ada ajaran semacam ini di Mahayana. Semuanya hanya bikinan dan spekulasi kacau Anda saja. Anda bilang “membantu sebanyak mungkin agar terbebas dari samsara.”  Bukankah ini adalah konsep Mahayana? Mahayana juga tidak pernah berspekulasi apakah semua makhluk akan terbebas dari samsara atau tidak kok? Bodhisattva Mahayana memang berikrar membebaskan para makhluk dari samsara. Tapi itu khan cuma ikrar. Intinya adalah sama yakni “membantu sebanyak mungkin makhluk dari samsara.
Ada aliran di luar M, yang getol bilang Sabbe Sattha Bhavantu Sukithatta. Malah getol bikin stiker gede2 pake tulisan itu. Nah, pertanyaannya apakah itu berarti bahwa aliran tersebut berspekulasi agar semua makhluk berbahagia? Lagian secara logika, apakah mungkin semua makhluk berbahagia, padahal masing2 punya kepentingan beda. Apakah kita berharap agar seorang maling berhasil dalam merampok, sehingga ia bahagia? Nah, sekarang giliran saya tanya: Sabbe Sattha Bhavantu Sukhittata itu masuk akal ga? Hahahahahaa.

Amiduofo,

Tan


Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1031 on: 11 May 2009, 05:55:10 PM »
TL:

Bagus, lebih keren pakai kacamata kuda mas Tan, Saya bukan mencari kebenaran sejati tetapi saya memihak  pada kebenaran sejati, dimanapun itu berada. Sesuai slogan saya: The truth and nothing but the truth....

TAN:

Orang K juga menganggap agamanya sebagai kebenaran sejati. God is truth... etc...etc... Hm lalu mana yang benar-benar "truth" ya. Hahahaahahah
The highest truth is NO TRUTH.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1032 on: 11 May 2009, 05:58:39 PM »
Sobat dharma:

Bukankah sutta yang kukutip juga berkata demikian, pembebasan sejati justru terjadi ketika seseorang dapat berpindah dari kondis satu ke kondisi lainnya

TAN:

Very good! Jawaban yang sangat mantap. Salut untuk Anda.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1033 on: 11 May 2009, 06:01:32 PM »
AKU TERTAWA

Membaca pesan Waisak kemarin bahwa agama Buddha adalah agama yang membawa pesan damai, toleransi, dan saling menghormati, saya jadi ingin tertawa. Rasanya kalau mencermati diskusi yang ada di milis2 Buddhis, terutama masalah sekte, rasanya kok agama Buddha jauh dari itu ya? Apakah kita tidak maul mengklaim sebagai agama yang pesan damai, toleransi, dan saling menghormati?

Amiduofo,

Tan

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1034 on: 11 May 2009, 06:10:36 PM »

Quote
Mengapa demikian? Jawabnya logika sendiri adalah bagian dari pikiran, sedangkan pikiran adalah bagian dari Pancaskandha. Bagaimana Pancaskandha yang sebenarnya ilusif tersebut bisa meraih kebenaran absolut. Kebenaran absolut Nirvana justru dipahami ketika pancaskandha disadari sebagai yang anatta, anicca dan anitya.
saudara Sobat-dharma,

btw, jadi dengan apa seseorang mencapai pencerahan kalau bukan dari pikiran?


According to Sammana-Phala Sutta (berhubung saya bicara dengan Theravadin):

Melalui praktik yang antara lain:

1. Mempraktikkan sila yang mulia
2. Mengendalikan indera-indera
3. Membangun sati dan sampajnana 
4. Kepuasaan seperti "burung terbang bebas hanya dengan sayapnya"

Dengan demikian dapat mengatasi lima rintangan:
1. Kerinduan pada duniawi
2. Niat jahat
3. Kemalasan dan kelambanan
4. Kegelisahan dan kekhawatiran
5. Keragu-raguan

Dengan demikian seorang praktisi dapat bekonsentrasi menembus jhana 1, 2, 3, 4 (samadhi). Setelah itu dengan konsentrasi yang murni dan terpusat akhirnya merenungkan empat kebenaran mulia dan lain sehingga mencapai nibbana (panna)

Dari langkah-langkah yang disajikan di atas, tidak ada yang secara langsung dikatakan "akal pikiran" atau "logika" dapat membantu seseorang merealisasi nibbana. Justru yang dibutuhkan adalah "pandangan terang" yang akhirnya menyebabkan seseorang "mengetahui" dan "melihat" langsung apa yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Bagaimana dengan akal? Tentu saja bukan berarti akal sama sekali tidak dibutuhkan. Minimal dibutuhkan ketika membaca Ajaran Sang Buddha dari teks dan mendiskusikannya seperti yang kita lakukan di forum ini. Tapi itu berada di tahap awal belaka. Pada praktik selanjutnya, baik Theravadin ataupun Mahayanis, rasio-logis kadang-kadang malah bisa mengganggu. Kenapa demikian?
1. Terlalu banyak berpikir kritis membuat orang mudah ragu-ragu dan tidak memiliki keyakinan akan jalan (rintangan ke lima)
2. Terbiasa banyak berpikir menyebabkan pikiran terus bergerak dan sulit mencapai keheningan yang biasa menyebabkan kerinduan pada duniawi (rintangan 1) dan kegelisahan (rintangan 4)
Demikian pendapat saya tentang dampak terlalu banyak pikiran terhadap praktik Buddhadharma.
sobat dharma

semua itu menggunakan apa? kalau bukan dari pikiran sumber nya?

memang nya melatih dari 1-4 tidak lewat pikiran?....
lewat pikiran kan, dan pikiran adalah sumber-nya...bagaimana itu?

metta
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!