TL:
Kitab-kitab suci Mahayana seperti Saddharma Pundarika Sutra, Avatamsaka Sutra dll tak pernah dimasukkan dalam agama sutra padahal kitab-suci ini juga dimulai dengan: Demikianlah yang kudengar.
Disebabkan ketidak sepakatan diantara golongan Mahayana sendiri mengenai keabsahan kedua kitab tersebut.
TAN:
Terus masalahnya apa kalau tidak dimasukkan ke dalam Agama Sutra? Justru itulah yang membedakan Tripitaka Mahayana dengan Tipitaka Pali. Apakah Anda hendak memaksakan bahwa semuanya harus dimasukkan ke dalam Agama Sutra? Ataukah semua sutra2 Mahayana harus dibuang, sehingga tinggal Agama Sutra saja? [Kok jadi ingat agama XXX yang pernah menyarankan pembakaran kitab-kitab
]
Kedua, kata siapa pernah ada ketidak-sepakatan di antara golongan Mahayana tentang keabsahan kedua kitab tersebut? Jawabnya tidak ada. Yang ada adalah aliran-aliran Mahayana menjadikan kitab2 tertentu sebagai pedomannya. Ya ini wajarlah. Sutra2 Mahayana itu jumlahnya bejibun. Akhirnya suatu aliran hanya pakai sutra2 tertentu saja, tetapi tidak memandang rendah Sutra2 Mahayana lainnya. Sebagai contoh:
Aliran Huayan (Avatamsaka) menjadikan Sutra Avatamsaka sebagai pedomannya.
Airan Tiantai (Panggung Surgawi) menjadikan Sutra Saddharmapundarika sebagai pedomannya.
Aliran Mizong (Tantra) menjadikan Sutra Mahavairocana dan Vajrasekhara sebagai pedomannya.
Mungkin dahulu dalam proses penyusunan kanonisasi Taisho Tripitaka Mahayana pernah terjadi perdebatan mengenai berbagai kitab yang hendak dimasukkan. Ini wajar saja, karena di tiap2 agama juga begitu. Bukannya menyinggung Theravada, tetapi kenyataan sejarah juga memperlihatkan bahwa Abhidhamma Pali sempat menjadi kontroversi.
Di sini Anda sekali lagi mengungkapkan ketidak benaran. Yang sebelumnya menuduh saya mengatakan Tipitaka Pali = Tripitaka Mahayana. Sekarang mengatakan ada perselisihan mengenai keabsahan Sadharmapundarika dan Avatamsaka Sutra dalam Mahayana. Padahal keduanya sudah 1000 tahun lebih masuk dalam kanon Mahayana.
TL:
At: mas Tan: semoga mas Tan berlapang dada untuk mengungkapkan secara terus terang mengenai ajaran mahayana, sehingga semua pembaca bisa mendapat manfaat dari diskusi ini, semoga mas Tan tidak berpikir mengenai diskusi ini dari segi menang atau kalah, semoga mas Tan mengambil yang benar membuang yang salah: bukankah seharusnya demikian yang dilakukan oleh pencari kebenaran sejati?
TAN:
O maaf! Saya tidak lagi mencari kebenaran sejati. Bagi saya kebenaran adalah ajaran Mahayana. Saya tidak mencari-cari lagi. Anda ingin merubah saya mengikuti aliran Anda? Kalau itu tujuan Anda, Anda pasti akan kecewa, Bung. Sebaiknya urungkan saja niat Anda. Saya sudah yakin 100 %, Mahayana itu logis dan realistis. Tetapi saya tidak memaksa Anda mengikuti Mahayana. Di sini Mahayana dikritik, jadi saya merasa berhak memberikan jawaban. Anda sendiri masihkan mencari kebenaran sejati?
TL:
Seperti Alaya Vinnana yang kekal abadi, mas Tan nampak sekali menghindar untuk membahas mengenai Alaya Vinnana, itulah sebabnya bila saya tanyakan apakah kesadaran itu anitya atau tidak mas Tan selalu menghindar dengan mengajukan pertanyaan balasan: apakah anitya itu nitya atau anitya? (dalam usaha defensif).
TAN:
Justru Anda tidak mau menjawab hal itu, karena jawaban apakah anitya itu nitya atau anitya akan merupakan tantangan bagi apa yang Anda yakini dan sekaligus jawaban apakah kesadaran itu anitya atau nitya. Apakah Anda tidak bersedia menjawab apakah anitya itu nitya atau anitya sebagai usaha defensif pula? Coba tanyalah pada diri Anda sendiri.
Selebihnya posting Anda di bawah ini tidak akan saya tanggapi, karena menurut saya tidak berguna ditanggapi. Saya sudah banyak jelaskan panjang lebar sebelumnya. Kalau Anda tidak mengerti-ngerti juga ya sudah.
Semoga pencerahan tidak hanya di intelektual, tetapi juga pada tindakan, perkataan, dan tindakan.
Amiduofo,
Tan