//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 663617 times)

0 Members and 3 Guests are viewing this topic.

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #825 on: 30 April 2009, 03:53:03 PM »
Ryu:

Ko Tan :
Berarti kalau Buddha itu skarang masih ada atau tidak?
Yang bertumibal lahir itu apa kalau dalam Mahayana?
Ketika Buddha parinibbana, apakah yang berpindah ketika parinibbana, tetap Buddha (Sidhharta Gautama) atau menjadi Buddha yang lain?

TAN:

Bung Ryu,
Pertanyaan Anda ini agak sulit dijawab karena dalam ditinjau dari sudut pandang kebenaran relatif dan absolut akan menghasilkan jawaban yang beda. Apakah Buddha "ada" atau "tidak"? Saya akan coba berikan jawaban terbaik berdasarkan pengetahuan saya yang masih sangat dangkal ini. Buddha dalam wujud Manussabuddha seperti Sakyamuni jelas sekarang tidak "ada" lagi. Tetapi setelah parinirvana Buddha tidak hilang ke dalam nihilisme. Jadi Buddha itu tetap "ada" hanya saja melampaui segenap pemikiran kita. Inilah sebabnya dikatakan bahwa Buddha itu di luar "ada" dan "tiada." Itulah makna sebenarnya bagi "di luar ada dan tiada."
Bagi orang yang masih berada dalam lingkungan kelahiran dan kematian, maka Mahayana dan Theravada tidak berbeda dalam hal ini. Citta adalah yang terlahir kembali. Ini dijelaskan secara jelas dalam Bhavasankranti Sutra milik mazhab Mahayana.

"Ketika Buddha parinibbana, apakah yang berpindah ketika parinibbana, tetap Buddha (Sidhharta Gautama) atau menjadi Buddha yang lain?"

Tiada yang berpindah. Tidak ada pula yang datang dan pergi. Itulah sebabnya Buddha dalam bahasa Mandarin diberi gelar Rulai atau Tathagata.

Demikian semoga bermanfaat,

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #826 on: 30 April 2009, 03:57:37 PM »
Upasaka:

Pertanyaannya : Kalau seorang Samyaksambuddha sudah memasuki Mahaparinirvana, apakah berarti Beliau masih ada pikiran?

TAN:

Bung Upasaka, sejujurnya saya katakan TIDAK TAHU karena saya belum menjadi Buddha. Kalau saya berikan jawaban yang definitif (ya atau tidak) berarti itu hanya sebatas spekulasi atau mengutip dari kitab. Tetapi pendapat pribadi saya, kalaupun Buddha masih ada "pikiran" maka itu sangat berbeda sekali dengan "pikiran" para makhluk awam. Nah karena itu, saya tidak tahu apakah "pikiran" seorang Buddha itu masih dapat disebut "pikiran" atau tidak.

Amiduofo,

Tan

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #827 on: 30 April 2009, 04:04:12 PM »
Quote from: Tan
TAN:

Bung Upasaka, sejujurnya saya katakan TIDAK TAHU karena saya belum menjadi Buddha. Kalau saya berikan jawaban yang definitif (ya atau tidak) berarti itu hanya sebatas spekulasi atau mengutip dari kitab. Tetapi pendapat pribadi saya, kalaupun Buddha masih ada "pikiran" maka itu sangat berbeda sekali dengan "pikiran" para makhluk awam. Nah karena itu, saya tidak tahu apakah "pikiran" seorang Buddha itu masih dapat disebut "pikiran" atau tidak.

Amiduofo,

Tan

OK. Tapi saya masih ingin bertanya lagi.
Saya ingin tahu komentar Anda, selaku perwakilan Umat Mahayana di sini. :)

Anda tidak berani menjawab dengan pasti, karena menurut Anda itu terlalu spekulatif.

Pertanyaannya : Apakah menurut Anda keberadaan "pikiran" itu tidak terkondisikan oleh hal-hal lainnya, misalnya pancaskhandha?

Offline Johsun

  • Sebelumnya Jhonson
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.503
  • Reputasi: -3
  • Gender: Male
  • ??
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #828 on: 30 April 2009, 04:13:50 PM »
Mungkn mksdnxa pikiran buddha sudah brbeda dngan pikiran mkhluk.
Pikirannya anjing sudah jelas beda dngan pikiran manusia.
Apabila dalam T itu anupadisesa nibbana bukan nihilisme tapi juga bukan eternalis dan atta, maka diantara itulah yg disebut 'pikiran buddha' atau 'kesadaran tertinggi' atau 'kebahagiaan abadi' atau inilah (kediaman) tentram, suci, dan luhur.
CMIIW.FMIIW.

Offline Johsun

  • Sebelumnya Jhonson
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.503
  • Reputasi: -3
  • Gender: Male
  • ??
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #829 on: 30 April 2009, 04:19:51 PM »
Tambah:
mgkin pikiran nyamuk jelas berbeda dngan pkran anjing.
Dan pikiran anjng jelas brbeda dngan pikiran manusia.
Dan mungkin pikiran manusia itu jelas berbda dngan pkiran maha brahma.
Dan mungkn pkiran mahabrahma itu jelas brbeda dngan pkiran buddha.
Dan mgkn dlm mahayana pkran buddha itu disbt pkiran dan kesadaran tertinggi.
Dan dmikian sang buddha telah bebas dari knsep sang aku atau ciri2 keakuan seperti yg dijelaskan dalam sutra intan.
CMIIW.FMIIW.

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #830 on: 30 April 2009, 05:03:16 PM »
Quote
TAN:

Saya akan beri analogi sebagai berikut. Ada sekelompok orang yang belum pernah pergi ke Paris. Suatu kali masing-masing dari mereka mendengar penuturan rekan atau kerabatnya masing-masing yang pernah pergi ke Paris. Ada di antara mereka yang mengagumi menara Eifel, sehingga dalam ceriteranya mereka banyak menceritakan tentang menara tersebut, umpamanya konstruksi bajanya yang luar biasa, keindahan kota Paris dilihat dari puncaknya dan lain sebagainya. Ada yang memusatkan ceritanya pada Istana Louvre dengan tamannya yang indah. Ada lagi yang bercerita tentang Gereja Notre Dame dan lain sebagainya. Ada lagi orang yang belum pernah ke Paris, tetapi membaca tentang Paris dari buku perjalanan.
Nah, suatu kali orang-orang yang belum pernah ke Paris ini berkumpul menjadi satu dan berdialog ramai tentang Paris, bahkan mereka membuat forum atau milis di internet untuk mendiskusikan Paris. Ada yang bilang dan bersikeras bahwa Eifel adalah bangunan terindah di Paris. Yang lain tidak mau kalah dan mengatakan Louvre adalah yang terindah. Yang lagi berteriak bahwa Notre Dame yang terindah. Bahkan yang lebih ekstrem ada yang mengatakan bahwa satu2nya bangunan terkenal di Paris adalah Eifel, Louvre, atau Notre Dame. Ingat! Tak seorangpun dari mereka pernah ke Paris. Tapi dengan lihainya mereka bercerita dan berteori tentang Paris, bahkan melebihi orang yang pernah ke Paris sendiri.
Analogi tadi mungkin tepat...mungkin juga tidak. Tetapi intinya adalah pertanyaan: Adakah di antara kita yang sudah jadi Buddha? Apakah teori kita hanya dari buku, penuturan guru-guru agama, atau dengar dari orang lain?
Semua yang diperdebatkan di sini hanya dari KITAB...hanya dari BUKU....!
Mana yang benar? Tanyalah pada rumput yang bergoyang.
Hanya saja saya merasa selama teori itu bermanfaat bagi saya, saya merasa berhak memegangnya.
saudara Tan,

contoh anda kurang tepat...masalah nya saya sudah pergi ke paris, ^^
atau dengan kata lain telah saya pratekkan dan telah saya alami secara kenyataan.
dan itu tidak sesuai dengan apa yang anda katakan.

jadi Saudara Tan selama mempelajari Dhamma tidak pernah mempratekkan? atau bahkan meng-check kebenaran? dari mana asumsi bahwa ada metta tanpa ada pikiran?

itulah masalah nya, yang berteori tentang paris adalah orang yang tidak pernah ke-paris...
sedangkan kenyataan, saya sendiri sudah mempratekkan-nya....so?

apa butuh menjadi seorang buddha baru bijaksana?
untuk menguasai 1+1 = 2,tidak butuh menjadi sammasambuddha bukan.. ^^
apa 1+1=2 anda ragukan hasilnya,karena anda bukan seorang buddha?


anak SD saja ketika memakan garam mengatakan Garam itu rasanya asin, maka Anak SD itu sudah menjadi Buddha disitu...

dan ketika anak SD memakan garam lalu mengatakan dan meragukan bahwa rasa garam itu asin, kira-kira anak ini bisa disebut tetap SD atau buddha?
(inilah ilusi itu)




Quote
"jadi selama ini apakah ilusi yang ingin di-diskusikan atau kenyataan?
andai membahas kenyataan, maka semua teori menjadi sama...."

What is "kenyataan" and what is "illusion"? Semua orang hanya "melihat apa yang mereka ingin lihat" (mengutip dari film Knowing). Anda ingin melihat "ilusi" menjadi "kenyataan" maka saat itu jadilah "kenyataan" itu. Anda ingin melihat "kenyataan" menjadi "ilusi" maka saat itu pula jadilah "ilusi" itu. Semua makhluk dalam samsara masih ditutupi oleh debu kebodohan tak dapat membedakan antara "ilusi" dan "kenyataan." Tak ada yang tahu siapa benar siapa salah. Karena itu jangan harap ada teori yang "sama." Teori yang "sama" hanya ada di kalangan orang yang berpendapat sama. Tapi dalam tataran majemuk jangan harap ada teori yang "sama."
kasihan sekali pemahaman anda saudara Tan ^^....

ketika seseorang berteori garam rasanya manis, dan yang satu berteori garam rasanya asin..
yang mana benar menurut saudara Tan?
apakah dengan bermimpi dan menghayal rasa garam bisa berubah menjadi manis?

tentu asin bukan?...dari mana jawaban keyakinan bahwa garam rasanya asin?
tentu dari anda telah memakan garam dan meyakinkan bahwa pada saat itu bukan mimpi...

itulah saya katakan, teori bisa saja tidak sesuai kenyataan,
tetapi kenyataan tidak akan bisa diubah oleh teori.


salam metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #831 on: 30 April 2009, 05:24:03 PM »
Ryu:

Ko Tan :
Berarti kalau Buddha itu skarang masih ada atau tidak?
Yang bertumibal lahir itu apa kalau dalam Mahayana?
Ketika Buddha parinibbana, apakah yang berpindah ketika parinibbana, tetap Buddha (Sidhharta Gautama) atau menjadi Buddha yang lain?

TAN:

Bung Ryu,
Pertanyaan Anda ini agak sulit dijawab karena dalam ditinjau dari sudut pandang kebenaran relatif dan absolut akan menghasilkan jawaban yang beda. Apakah Buddha "ada" atau "tidak"? Saya akan coba berikan jawaban terbaik berdasarkan pengetahuan saya yang masih sangat dangkal ini. Buddha dalam wujud Manussabuddha seperti Sakyamuni jelas sekarang tidak "ada" lagi. Tetapi setelah parinirvana Buddha tidak hilang ke dalam nihilisme. Jadi Buddha itu tetap "ada" hanya saja melampaui segenap pemikiran kita. Inilah sebabnya dikatakan bahwa Buddha itu di luar "ada" dan "tiada." Itulah makna sebenarnya bagi "di luar ada dan tiada."
Bagi orang yang masih berada dalam lingkungan kelahiran dan kematian, maka Mahayana dan Theravada tidak berbeda dalam hal ini. Citta adalah yang terlahir kembali. Ini dijelaskan secara jelas dalam Bhavasankranti Sutra milik mazhab Mahayana.

"Ketika Buddha parinibbana, apakah yang berpindah ketika parinibbana, tetap Buddha (Sidhharta Gautama) atau menjadi Buddha yang lain?"

Tiada yang berpindah. Tidak ada pula yang datang dan pergi. Itulah sebabnya Buddha dalam bahasa Mandarin diberi gelar Rulai atau Tathagata.

Demikian semoga bermanfaat,

Amiduofo,

Tan
saudara Tan yang bijak,
di luar "ADA" dan "tidak ada" adalah pemahaman bodoh dan keliru...^^

dari arah pemahaman anda tentang parinirvana anda mau merujuk pada kata "ADA" tetapi anda takut dikatakan "ADA" malah bilang diluar "ada dan tiada"

sudah jelas ketika sangbuddha akan lahir entah dan menjadi buddha dikalpa mana,(bahkan lupa cara pencapaian)
dan ditanya apakah buddha itu ada?
diluar ada dan tiada jawab-nya?....

ini seperti saya bertanya apakah anda sedang main surfing web DC, lalu anda menjawab sedang main dan tidak main.

inilah salah satu dari  62 pandangan salah dalam brahmajala sutta.

oh satu lagi, kata "ru lai" itu merujuk pada "yang akan datang" alias "ru lai fo" yang tidak lain "buddha metteya"
apa buddha metteya = buddha gotama?

sedangkan kata "Tathagata" merujuk pada "panggilan kepada buddha"
ada yang mengartikan menjadi "yang telah pergi" (thus gone) dalam konteks orang tersebut telah pergi keluar dari Samsara, alias telah Nibbana.

salam metta
« Last Edit: 30 April 2009, 05:28:27 PM by marcedes »
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #832 on: 30 April 2009, 05:27:50 PM »
Quote
TL:



Kan mas Tan tidak perlu menyanggah saya?




TAN:

Ooo saya tidak menyanggah, hanya memberikan penjelasan mengenai Mahayana sejauh yang saya ketahui.  hahahaha

Jadi sanggah-menyanggah terjadi karena mas Tan juga kan  ;D


Quote
TL:



Kalau ada sesuatu diluar pancaskandha apa? sebutin dong mas.




TAN:

Nama itu hanya sebutan yang diberikan oleh manusia. Apalah arti sebuah nama? Apa namanya tidak penting. Saya bisa beri sebutan apa saja dan sekaligus tidak bisa beri sebutan apa saja. Yang pasti itu “ada”sesuatu. Kalau tidak berarti sama saja dengan nihilisme donk? Anda mau disebut kaum nihilis? Seperti yang telah saya katakan berkali-kali Mahayana lebih konsisten dan masuk akal dengan hal ini. Mari saya terangkan dengan alur logika.

Kalau bagi Anda, hanya ada lima skandha penyusun makhluk hidup DAN tak ada yang lainnya lagi, maka begitu seorang Buddha memasuki nirvana tanpa sisa, dimana panca skandha musnah; artinya semuanya ikut MUSNAH. Bila begitu apa bedanya dengan nihilisme? Bisakah Anda menjelaskan hal ini? Untuk kesekian kalinya saya mengungkapkan hal ini.

Kalau bukan Skandha yang memancarkan apa mas? ada referensinya nggak? apa cuma pendapat pribadi?    ^-^

Quote
Di sini letak bedanya dengan ajaran Mahayana. Mahayana bukan eternalisme karena menganggap bahwa sesuatu yang kekal itu dipandang dari konsepsi adanya “aku” atau tidak. Bila “aku” telah padam, maka tidak ada lagi bias-bias kesalahan. Tidak ada lagi keinginan untuk melanggengkan sang “aku.” Itulah sebabnya meskipun mengajarkan bahwa seorang Buddha masih dapat memancarkan maitri karuna hal itu tidak dapat disamakan etenalisme ataupun disamakan dengan pandangan Brahmanisme. Saya kira sudah cukup jelas ya. Terserah mau diterima atau tidak.

ehm.. aku itu darimana ada dimana, bentuknya apa mas? bagaimana cara padamnya aku mas? apakah hilang begitu saja dengan nien fo?

Quote
TL:



Jadi karma apa selain karma individu mahluk? karma kursi, karma pohon, mungkin batu jadi Sun go Kong akibat karma ?




TAN:

Hukum karma alias karma niyama. Itu nitya atau anitya? Apakah hukum karma masih merupakan obyek perubahan?

Nggak nyambung lagi. Hukum karma atau karma Niyama terjadi pada apa mas? terjadi pada mahluk hidup atau benda mati juga berlaku karma niyama?

Quote
TL:



Anitya adalah sifat dari kondisi-kondisi. dengan berhentinya kondisi-kondisi maka lenyaplah anitya, sekarang saya ulangi pertanyaan saya kelima kalinya dan jangan menghindar mas Tan:

APAKAH KESADARAN ITU BERSIFAT ANITYA ATAU NITYA?  




TAN:

Saya ulangi pula pertanyaan SEKALIGUS JAWABAN saya untuk kelima kalinya:

APAKAH ANITYA ITU BERSIFAT NITYA ATAU ANITYA?
Coba direnungkan. Apakah cukup jelas? Nah itulah jawaban saya. Saya sudah menjawab untuk kali ke-5. Andalah yang menghindar dari jawaban saya. Hahahahahahaahaha.......

Coba jawab mas Tan :

Mahluk hidup punya kesadaran atau tidak ? ? ? ^-^
Kesadaran itu anitya atau nitya ?

Quote
TL:



Jawab yang jujur mas 99% sama atau tidak?




TAN:

Sama. Silakan ehipassiko saja sendiri.

Abhidharma Sarvastivada:
Sangitiparyaya ('Discourses on Gathering Together')
Dharmaskandha ('Aggregation of Dharmas')
Prajnaptisastra ('Treatise on Designations')
Dhatukaya ('Body of Elements')
Vijnanakaya ('Body of Consciousness')
Prakaranapada ('Exposition')
Jnanaprasthana ('Foundation of Knowledge')

Abhidhamma:
Dhammasangani ('Enumeration of Factors')
Vibhanga ('Analysis')
Dhatukatha ('Discussion of Elements')
Puggalapannatti ('Descriptions of Individuals')
Kathavatthu ('Points of Controversy')
Yamaka ('The Pairs')
Patthana ('Foundational Conditions' or 'Relations')

The Four Āgamas: (   http://en.wikipedia.org/wiki/Agamas  )

There are four extent collections of Āgamas. They are preserved in their entirety only in Chinese translation (Agama: 阿含經), although small portions of all four have recently been discovered in Sanskrit, and portions of three of the four Āgamas are preserved in Tibetan.[6] It is not known if any schools had an equivalent to the Khuddaka Nikāya, the fifth Nikāya of the Pāli Canon. The four extent Āgamas are:


The Saṃyukta Āgama ("Connected Discourses", Zá Ahánjīng 雜阿含經 Taishō 99)[7] (corresponding to Saṃyutta Nikāya). A Chinese translation of the complete Saṃyukta Āgama of the Sarvāstivāda (說一切有部) school was done by Guṇabhadra (求那跋陀羅) in the Song state (宋) [435-443CE]4 (although two folios are missing). Portions of the Sarvāstivāda Saṃyukta Āgama also survive in Tibetan translation. There is also an incomplete Chinese translation of the Saṃyukta Āgama (別譯雜阿含經 Taishō 100) of the Kāśyapīya (飲光部) school by an unknown translator [circa the Three Qin (三秦) period, 352-431CE][8]. A comparison of the Sarvāstivādin, Kāśyapīya, and Theravadin texts reveals a considerable consistency of content, although each recension contains texts not found in the others.


The Madhyama Āgama ("Middle-length Discourses," Zhōng Ahánjīng 中阿含經, Taishō 26)[9] (corresponding to Majjhima Nikāya). A complete translation of the Madhyama Āgama of the Sarvāstivāda school was done by Saṃghadeva (僧伽提婆) in the Eastern Jin dynasty (東晉) [397-398CE]. The Madhyama Āgama of the Sarvāstivāda school contains 222 sūtras, in contrast to the 152 suttas in the Pāli Majjhima Nikāya. Portions of the Sarvāstivāda Madhyama Āgama also survive in Tibetan translation.


The Dīrgha Āgama ("Long Discourses," Cháng Ahánjīng 長阿含經 Taishō 1)[10] (corresponding to Dīgha Nikāya). A complete version of the Dīrgha Āgama of the Dharmagupta (法藏部) school was done Buddhayaśas (佛陀耶舍) and Zhu Fonian (竺佛念) in the Late Qin dynasty (後秦) [413CE]. It contains 30 sūtras in contrast to the 34 suttas of the Theravadin Dīgha Nikāya. A "very substantial" portion of the Sarvāstivādin Dīrgha Āgama survives in Sanskrit,[11] and portions survive in Tibetan translation.


The Ekottara Āgama ("Increased by One Discourses," Zēngyī Ahánjīng, 增壹阿含經 Taishō 125)[12] (corresponding to Anguttara Nikāya). A complete version, translated by Dharmanandi (曇摩難提) of the Fu Qin state (苻秦) [397CE] and altered by Saṃghadeva in the Eastern Jin (東晉), is thought to be from either the Mahāsaṃghika (大眾部) or Sarvāstivādin canons. It contains some mahāyāna philosophy. According to Keown, "there is considerable disparity between the Pāli and the Sarvāstivādin versions, with more than two-thirds of the sūtras found in one but not the other compilation, which suggests that much of this portion of the Sūtra Piṭaka was not formed until a fairly late date."[13]
In addition, there is a substantial quantity of Agama-style texts outside of the main collections. These are found in various sources:

Partial Āgama collections and independent sutras within the Chinese canon.
Small groups of sutras or independent sutras within the Tibetan canon.
Sutras reconstructed from ancient manuscripts in Sanskrit, Gandhari, or other ancient Indic languages.
Passages and quotes from Agama sutras preserved within Mahayana Sutras, Abhidharma texts, later commentaries, and so on.
Isolated phrases preserved in inscriptions. For example, the Ashoka pillar at Lumbini declares iha budhe jāte, a quote from the Mahaparinirvana Sutra.

99% sama ya mas Tan?  ;D

Quote
TL:



Baik sekali mas, semoga mas Tan sering-sering nien fo agar imannya selalu bertambah kuat.





TAN:

Baik sekali, semoga Bung TL sering-sering baca paritta Pali saja biar tambah pinter berdebat.

Amiduofo,

Tan

Oh ya bagaimana dengan kutipan kitab suci Hindu tersebut, mirip atau tidak?
Terima kasih mas Tan, semoga mas Tan selalu berbahagia.

metta,
The truth, and nothing but the truth...

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #833 on: 30 April 2009, 05:41:44 PM »
Mercedes:

saudara Tan yg bijak,
jika semua teori tanpa kenyataan, semua ajaran bisa mengatakan mereka-lah paling benar.
ketika teori tidak sesuai kenyataan yang manakah yang salah? kenyataan atau teori?

kenyataan tidaklah mungkin salah, dan yang salah pasti adalah teori-nya.
ketika berkata semua itu kembali ke masing-masing, sungguh itu bukanlah pemikiran buddhis.
karena buddhis tidak mengajarkan samuthi saja.

4 kesunyataan mulia yang dibabarkan sang buddha, bukanlah teori tanpa kebenaran...melainkan kenyataan sesungguh-nya.... ( seperti habis makan banyak pasti kenyang ^^ )
baik ajaran percaya atau tidak percaya tetap saja akan terkena imbas dari 4 kenyataan ini...

jadi selama ini apakah ilusi yang ingin di-diskusikan atau kenyataan?
andai membahas kenyataan, maka semua teori menjadi sama....

kalau membahas teori tanpa kenyataan, maka muncul 1001 macam teori atau 84.000 teori.

TAN:

Saya akan beri analogi sebagai berikut. Ada sekelompok orang yang belum pernah pergi ke Paris. Suatu kali masing-masing dari mereka mendengar penuturan rekan atau kerabatnya masing-masing yang pernah pergi ke Paris. Ada di antara mereka yang mengagumi menara Eifel, sehingga dalam ceriteranya mereka banyak menceritakan tentang menara tersebut, umpamanya konstruksi bajanya yang luar biasa, keindahan kota Paris dilihat dari puncaknya dan lain sebagainya. Ada yang memusatkan ceritanya pada Istana Louvre dengan tamannya yang indah. Ada lagi yang bercerita tentang Gereja Notre Dame dan lain sebagainya. Ada lagi orang yang belum pernah ke Paris, tetapi membaca tentang Paris dari buku perjalanan.
Nah, suatu kali orang-orang yang belum pernah ke Paris ini berkumpul menjadi satu dan berdialog ramai tentang Paris, bahkan mereka membuat forum atau milis di internet untuk mendiskusikan Paris. Ada yang bilang dan bersikeras bahwa Eifel adalah bangunan terindah di Paris. Yang lain tidak mau kalah dan mengatakan Louvre adalah yang terindah. Yang lagi berteriak bahwa Notre Dame yang terindah. Bahkan yang lebih ekstrem ada yang mengatakan bahwa satu2nya bangunan terkenal di Paris adalah Eifel, Louvre, atau Notre Dame. Ingat! Tak seorangpun dari mereka pernah ke Paris. Tapi dengan lihainya mereka bercerita dan berteori tentang Paris, bahkan melebihi orang yang pernah ke Paris sendiri.
Analogi tadi mungkin tepat...mungkin juga tidak. Tetapi intinya adalah pertanyaan: Adakah di antara kita yang sudah jadi Buddha? Apakah teori kita hanya dari buku, penuturan guru-guru agama, atau dengar dari orang lain?
Semua yang diperdebatkan di sini hanya dari KITAB...hanya dari BUKU....!
Mana yang benar? Tanyalah pada rumput yang bergoyang.
Hanya saja saya merasa selama teori itu bermanfaat bagi saya, saya merasa berhak memegangnya.

"jadi selama ini apakah ilusi yang ingin di-diskusikan atau kenyataan?
andai membahas kenyataan, maka semua teori menjadi sama...."

What is "kenyataan" and what is "illusion"? Semua orang hanya "melihat apa yang mereka ingin lihat" (mengutip dari film Knowing). Anda ingin melihat "ilusi" menjadi "kenyataan" maka saat itu jadilah "kenyataan" itu. Anda ingin melihat "kenyataan" menjadi "ilusi" maka saat itu pula jadilah "ilusi" itu. Semua makhluk dalam samsara masih ditutupi oleh debu kebodohan tak dapat membedakan antara "ilusi" dan "kenyataan." Tak ada yang tahu siapa benar siapa salah. Karena itu jangan harap ada teori yang "sama." Teori yang "sama" hanya ada di kalangan orang yang berpendapat sama. Tapi dalam tataran majemuk jangan harap ada teori yang "sama."

Amiduofo,

Tan

Nah disinilah masalahnya mas Tan, bila Nirvana hanya merupakan dongeng menurut Mahayana maka mirip Dengan kr****n atau Islam dllnya, yaitu: Semua itu mungkin bisa dibuktikan nanti setelah kita meninggal.

Tetapi tidak semua aliran Buddhis yang beranggapan seperti Mahayana, ada juga aliran Buddhis yang mengajarkan kita mencicipi Nirvana sekarang dalam kehidupan ini juga !!!

Yang mencicipi Nibbana itu bukan hanya satu atau dua, bahkan seorang guru meditasi pada abad 20 dikatakan telah membimbing ribuan orang mencicipi Nirvana selagi mereka hidup, bukan setelah mereka wafat.

Metta,
The truth, and nothing but the truth...

Offline F.T

  • Sebelumnya: Felix Thioris, MarFel, Ocean Heart
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.134
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • • Save the Children & Join with - Kasih Dharma Peduli • We Care About Their Future • There Are Our Next Generation.
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #834 on: 30 April 2009, 05:50:46 PM »
Sati.. Sati.. Sati.. * pinjam slogan suhu *

mohon dengan hormat nih, jgn saling menyerang pribadi yah... , sekilat inpo ... nasi goreng memang enak, tp tdk semua orang menyukai nasi goreng.. sama dengan aliran2 dalam buddhis ... masing2 orang memiliki kecocokan yang berbeda2 dengan aliran yang ada... selama anda merasa bahagia dan kepribadian anda semakin baik hari demi hari sejak mendalami aliran tersebut... maka berbahagialah anda...

no offence... peace and good luck...

:backtotopic:


Save the Children & Join With :
Kasih Dharma Peduli ~ Anak Asuh
May all Beings Be Happy


Contact Info : Kasihdharmapeduli [at] yahoo.com

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #835 on: 30 April 2009, 10:59:19 PM »
Upasaka:

OK. Tapi saya masih ingin bertanya lagi.
Saya ingin tahu komentar Anda, selaku perwakilan Umat Mahayana di sini.

Anda tidak berani menjawab dengan pasti, karena menurut Anda itu terlalu spekulatif.

Pertanyaannya : Apakah menurut Anda keberadaan "pikiran" itu tidak terkondisikan oleh hal-hal lainnya, misalnya pancaskhandha?

TAN:

Saya perlu luruskan. Saya tidak mewakili umat Mahayana di sini. Karena saya tidak merasa ada yang pernah mengangkat saya sebagai wakilnya. Apa yang saya sampaikan di sini adalah sebatas pengetahuan saya yang dangkal mengenai Mahayana.

"Apakah pikiran terkondisikan?"

Saya perlu bertanya apakah maksud Anda menanyakan hal itu? Topik kita adalah Buddha yang masih memancarkan cinta kasih setelah parinirvana. Pertanyaan Anda itu saya anggap topik lain. Jawaban saya singkat saja: "Bagi makhluk yang masih berada dalam samsara maka pikiran masih terkondisikan oleh hal-hal lain."

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #836 on: 30 April 2009, 11:01:43 PM »
Johnsun:

Mungkn mksdnxa pikiran buddha sudah brbeda dngan pikiran mkhluk.
Pikirannya anjing sudah jelas beda dngan pikiran manusia.
Apabila dalam T itu anupadisesa nibbana bukan nihilisme tapi juga bukan eternalis dan atta, maka diantara itulah yg disebut 'pikiran buddha' atau 'kesadaran tertinggi' atau 'kebahagiaan abadi' atau inilah (kediaman) tentram, suci, dan luhur.

Tambah:
mgkin pikiran nyamuk jelas berbeda dngan pkran anjing.
Dan pikiran anjng jelas brbeda dngan pikiran manusia.
Dan mungkin pikiran manusia itu jelas berbda dngan pkiran maha brahma.
Dan mungkn pkiran mahabrahma itu jelas brbeda dngan pkiran buddha.
Dan mgkn dlm mahayana pkran buddha itu disbt pkiran dan kesadaran tertinggi.
Dan dmikian sang buddha telah bebas dari knsep sang aku atau ciri2 keakuan seperti yg dijelaskan dalam sutra intan.

TAN:

Bagus sekali! You got my point. Grp Send untuk Anda.

Amiduofo,

Tan


Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #837 on: 30 April 2009, 11:15:23 PM »
Mercedes:

saudara Tan,

contoh anda kurang tepat...masalah nya saya sudah pergi ke paris, ^^
atau dengan kata lain telah saya pratekkan dan telah saya alami secara kenyataan.
dan itu tidak sesuai dengan apa yang anda katakan.

jadi Saudara Tan selama mempelajari Dhamma tidak pernah mempratekkan? atau bahkan meng-check kebenaran? dari mana asumsi bahwa ada metta tanpa ada pikiran?

itulah masalah nya, yang berteori tentang paris adalah orang yang tidak pernah ke-paris...
sedangkan kenyataan, saya sendiri sudah mempratekkan-nya....so?

apa butuh menjadi seorang buddha baru bijaksana?
untuk menguasai 1+1 = 2,tidak butuh menjadi sammasambuddha bukan.. ^^
apa 1+1=2 anda ragukan hasilnya,karena anda bukan seorang buddha?


anak SD saja ketika memakan garam mengatakan Garam itu rasanya asin, maka Anak SD itu sudah menjadi Buddha disitu...

dan ketika anak SD memakan garam lalu mengatakan dan meragukan bahwa rasa garam itu asin, kira-kira anak ini bisa disebut tetap SD atau buddha?
(inilah ilusi itu)

TAN:

Anda tidak paham maksud saya dan mengartikan posting saya terlalu harafiah. Apa yang saya sampaikan itu berbeda sekali dengan apa yang Anda ungkapkan di sini.
Ungkapan Anda: “apa butuh menjadi seorang buddha baru bijaksana?
untuk menguasai 1+1 = 2,tidak butuh menjadi sammasambuddha bukan.. ^^
apa 1+1=2 anda ragukan hasilnya,karena anda bukan seorang buddha?” Pertanyaan saya:

1.Kebijaksanaan macam apa dulu? Kebijaksanaan tertinggi (prajna) jelas hanya seorang Buddha yang sanggup merealisasinya. Ingat banyak orang merasa dirinya bijaksana. Tetapi sekali lagi kebijaksanaan macam apa yang Anda maksud? Kalau kebijaksanaan Buddha jelas hanya seorang samyaksambuddha yang sanggup merealisasinya.

2. Ungkapan Anda mengenai 1+1 dan keharusan menjadi samasambuddha adalah sesuatu yang aneh dan tidak nyambung. Saya giliran bertanya pada Anda: “Apakah pengetahuan bahwa 1+1 = 2 itu adalah Kebijaksanaan Buddha?” Kalau bukan jangan gunakan sebagai analogi di sini.

Kebijaksanaan Buddha ya Kebijaksanaan Buddha.

Analogi Anda tentang garam dan anak SD tidak tepat. Yang benar adalah: Anda tidak akan pernah tahu apakah garam itu asin sebelum mengecap keasinan tersebut. Lagipula “asin” adalah sekedar istilah. Orang Inggris mengatakannya “salty.” Orang Jerman menyebutnya “saelzig.” Bagi orang Inggris garam jelas tidak asin tapi “salty.” Tetapi istilah “salty” sendiri apakah dapat menggambarkan rasa “garam.”

Mengenai metta dan pikiran. Tentu saja bagi makhluk yang belum tercerahi metta timbul dari pikiran. Saya tidak pernah mengatakan bahwa “metta” tidak berasal dari “ketiadaan” sama sekali. Buddha tidak masuk ke dalam nihilisme. Buddha itu tetap “ada.” Kalian boleh menyebutnya “Pikiran Tertinggi” atau apa saja. Saya tidak mempermasalahkan sebutan. Hanya saja “keberadaan” itu berbeda dengan apa yang kita pikirkan sebagai “keberadaan.” Itulah sebabnya Kebuddhaan merupakan “sesuatu yang tak terkatakan.” Dengan demikian, Mahayana menurut saya bukanlah eternalisme, meskipun aliran non Mahayana menuduhnya demikian. Saya tidak peduli tuduhan apapun terhadap Mahayana. Pandangan saya tak akan berubah sama sekali.

Amiduofo,

Tan



Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #838 on: 30 April 2009, 11:23:22 PM »
Mercedes:

kasihan sekali pemahaman anda saudara Tan ^^....

ketika seseorang berteori garam rasanya manis, dan yang satu berteori garam rasanya asin..
yang mana benar menurut saudara Tan?
apakah dengan bermimpi dan menghayal rasa garam bisa berubah menjadi manis?

tentu asin bukan?...dari mana jawaban keyakinan bahwa garam rasanya asin?
tentu dari anda telah memakan garam dan meyakinkan bahwa pada saat itu bukan mimpi...

itulah saya katakan, teori bisa saja tidak sesuai kenyataan,
tetapi kenyataan tidak akan bisa diubah oleh teori.

salam metta.

TAN:

Anda salah mengerti. Asin dan manis hanyalah nama. Sebagai contoh kita mengacungkan jempol artinya “bagus.” Tetapi orang India mengacungkan jempol artinya “kotor.” Mana yang benar mana yang salah? Karena itu jangan biarkan kata-kata menipu kita. Orang yang sudah mengecap rasa garam, dia sudah tahu “kedemikianan” (tathata) garam itu. Mau disebut “asin,” “manis,” “salty,” atau “saelzig” ya sami mawon.
Kenyataan tidak bisa diubah oleh teori, demikian kata Anda. Kalo gitu mari kita kembali ke topik kita tentang masalah Kebuddhaan. Kita anggap Buddha sebagai suatu “kenyataan.” Nah masalahnya, apakah kita semua sudah menjadi Buddha? Kalau belum. Janganlah kalian bilang TAHU kenyataan itu. Sudahkah kalian memasuki parinirvana? Kalau belum jangan bilang itu sebagai “kenyataan.” Kita semua ini cuma “kutu-kutu buku” atau “kutu-kutu teori.”

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #839 on: 30 April 2009, 11:32:58 PM »
Mercedes:

saudara Tan yang bijak,
di luar "ADA" dan "tidak ada" adalah pemahaman bodoh dan keliru...^^

dari arah pemahaman anda tentang parinirvana anda mau merujuk pada kata "ADA" tetapi anda takut dikatakan "ADA" malah bilang diluar "ada dan tiada"

sudah jelas ketika sangbuddha akan lahir entah dan menjadi buddha dikalpa mana,(bahkan lupa cara pencapaian)
dan ditanya apakah buddha itu ada?
diluar ada dan tiada jawab-nya?....

ini seperti saya bertanya apakah anda sedang main surfing web DC, lalu anda menjawab sedang main dan tidak main.

inilah salah satu dari  62 pandangan salah dalam brahmajala sutta.

oh satu lagi, kata "ru lai" itu merujuk pada "yang akan datang" alias "ru lai fo" yang tidak lain "buddha metteya"
apa buddha metteya = buddha gotama?

sedangkan kata "Tathagata" merujuk pada "panggilan kepada buddha"
ada yang mengartikan menjadi "yang telah pergi" (thus gone) dalam konteks orang tersebut telah pergi keluar dari Samsara, alias telah Nibbana.

salam metta

TAN:

Sebelumnya saya minta izin OOT dulu. Perkataan Anda sungguh lucu dan membuat saya geli. Tapi cukup menghibur juga. Anda mengatakan “Saudara Tan yang bijak…. Adalah pemahaman yang BODOH dan KELIRU.” Lucu sekali, Anda mengatakan saya bijak.. tapi bilang pandangan saya bodoh dan keliru. Hahahahahaaha…. :p
Oke kembali ke laptop. Anda salah. Saya tidak takut mengatakan “ada.” Saya tidak takut dikatakan “eternalis.” Memang apakah untungnya bagi saya dikatakan “eternalis” atau “tidak eternalis”? Uang saya tidak tambah sama sekali hahahahaha ) (becanda).
Jadi baiklah untuk menyingkat waktu. Saya katakan Buddha itu tetap “ada.” Hanya saja “keberadaan” itu berbeda dengan konsep “keberadaan” yang ada di benak kita. Itulah sebabnya dikatakan bahwa Buddha itu di luar ada dan tiada. Saya kira ini cukup jelas.

Ungkapan Anda: “oh satu lagi, kata "ru lai" itu merujuk pada "yang akan datang" alias "ru lai fo" yang tidak lain "buddha metteya"
apa buddha metteya = buddha gotama?”

Hahahaaha Anda salah besar!!! Rulai itu bahasa Mandarin bagi Tathagata. Dalam Sutra Saddharmapundarika ada disebutkan Duobao Rulai yang dalam bahasa Sansekerta disebut Prabutaratna Tathatagata. Rulai itu salah satu gelar Buddha. Ungkapan bahwa Rulai mengacu pada Maitreya saja jelas ngawur. Sutra lain ada menyebutkan Miaoshi shen Rulai (Buddha Tubuh Elok). Nah sekarang Anda simpulkan sendiri apakah Rulai = Maitreya.

Amiduofo,

Tan

 

anything