//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 663204 times)

0 Members and 5 Guests are viewing this topic.

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #660 on: 20 April 2009, 01:47:34 PM »
Quote from: sobat-dharma
Kalau menurut saya analogi ini kurang sesuai untuk realisasi nirvana.. Kenapa? Kekenyangan hanya bisa dirasakan secara subjektf oleh suatu ego-diri yang merasa hanya dirinya yang bisa merasakan lapar. Sedangkan nirvana adalah fenomena di luar batas diri subjektif. Nirvana bukan hanya pengalaman batin ataupun fisik belaka, karena untuk merealisasinya seseorang harus melampaui batin maupun fisiknya sendiri. Jika Nirvana dirasakan hanya sama dengan rasa lapar yang berupa pengalaman subjektif, dan fisik maka merealisasinya tidak akan banyak berarti...

Sedangkan dalam hal makan,sebenarnya tidak peduli apakah ia disuap atau makan sendiri, jika makanan sudah dicerna dengan baik dan cukup jumlahnya maka ia otomatis kenyang.

Sobat... Analogi yang saya berikan itu tidak perlu dibandingkan tiap seginya dengan Nirvana. Bagaimanapun juga tidak akan ada analogi yang sebanding dengan Nirvana. Analogi saya itu cukup dilihat dalam term "mencapai kenyang". Jadi maksudnya... meski saya disuapi oleh orang lain atau makan sendiri, tetap saja yang bisa membuat saya kenyang adalah dengan makan. Makan ini adalah usaha sendiri.

Sampai di sini, apakah kita sepakat dengan paradigma ini...?


Quote from: sobat-dharma
Kalau gitu jelaskan, akal sehat Anda menjadi ukuran kebenaran bagi Anda… Minimal anda menafsirkannya dengan suatu cara tertentu dan makna yang Anda yakini sebagai kebenaran yang akhirnya memotivasi Anda… walaupun wujudnya sudah jauh berbeda dengan kalimat aslinya..

Saya rasa, tidak perlu saya menguraikan lebih lanjut mengenai statement dari agama lain di sini...

Bagi saya, suatu hal harus teruji oleh banyak pembuktian agar dapat saya terima. Setidaknya untuk saat ini... Anda tidak perlu mencari tahu bagaimana pola gelombang pikiran saya bekerja. Yang sedang kita bahas adalah statement yang harus dapat dipertanggungjawabkan di sepanjang zaman.


Quote from: sobat-dharma
Coba perhatikan kata anda sendiri, “saya rasa logika tidak menjadi tuan saya.” Kata yang anda gunakan adalah “saya rasa”, dalam hal ini yang bekerja di balik “saya rasa” itu sendiri tidak lain hanya keyakinan.

Ini bukan soal filter yang berbeda belaka… Jika logika dijadikan panduan awal, maka bersiap-siaplah ia akan menjadi penuntun Anda, atau dengan kata lain siapa yang memandu ia yang akan menjadi pemipin, dan pemimpin itulah tuan bagi yang dipimpin dan yang dituntun. Daripada anda menjadikan logika dan akal sehat sebagai penuntun, bukanlkah lebih baik kita dituntun oleh Buddha Dharma, sebelum akhirnya dituntun oleh Nirvana .

Hehehe... Anda ini orangnya lucu juga. :)

Saya pakai kata "rasa", itu pun karena formalitas dalam tata berbahasa. Lagipula kata "rasa" di kalimat itu sebenarnya menunjukkan bahwa saya melewati proses menimbang, hingga akhirnya saya menyatakan statement itu.

Hmmm... Jadi kita tidak perlu memakai akal sehat dan logika sebagai panduan awal? Lalu kita sebaiknya memakai apa? Iman...?

Lalu darimana Anda bisa berpendapat bahwa bila kita menggunakan akal sehat dan logika sebagai panduan awal, maka seterusnya kita akan menjadi budaknya...? Saya harap Anda mengeluarkan pernyataan ini dengan tidak menggunakan akal sehat dan logika... :)

Apa alasan Anda untuk langsung percaya pada Buddha-Dharma...? Apakah karena Buddha-Dharma lahir sejak 2,5 millenium lalu, sehingga Anda menghargai tulisan-tulisan kuno itu? Bagaimana bisa orang cerdas seperti Anda langsung menelan doktrin-doktrin kuno secara bulat-bulat tanpa memolesnya dalam tungku uji coba...?

Sekarang saya tambah tidak mengerti dengan konsep Nirvana...
Saya baru tahu kalau Nirvana itu adalah penuntun. Saya baru tahu kalau Nirvana itu bukanlah the Ultimate. Saya baru tahu, hmmm... jika sekiranya kita dituntun Nirvana, lalu kita akan diarahkan ke mana lagi...?


Quote from: sobat-dharma
Saya sudah mencoba menjelaskannya, tapi memang akal sehat sulit menerimanya…  Setiap ruang dan waktu selalu ada jika dialami batin, oleh karena itu tidak ada ruang dan waktu yang berdiri sendiri… Alam yang murni hanya bisa dicapai oleh pikiran yang murni pula, “Jika pikiran murni maka alampun murni.” Dalam hal ini Nirvana adalah wilayah yang bebas dari pensekatan kaku antara dunia batin internal dan dunia alam eksternal…. Tidak mungkin Nirvana hanya merupakan suatu tempat belaka… Kalau anda masih juga belum paham soal ini ya saya tidak punya argumen lain lagi.

Ya, saya tahu bagaimana sulitnya mendeskripsikan Pembebasan dengan kata-kata. Tapi saya mencium adanya aroma perbedaan konsep Pembebasan antara Aliran Mahayana dengan Aliran Theravada. Jadi saya hanya ingin menggali pemahaman yang lebih lanjut mengenai konsep ini di Mahayana...

Saya tidak akan berspekulasi sejauh itu. Kalimat singkat itu cukup menjadi satu kalimat kontroversial. Karenanya, saya tidak akan mengeluarkan statement seperti itu. Statement yang lebih tepat adalah, "Nirvana dapat direalisasi di kehidupan ini". Statement ini lugas, tidak spekulatif, maknanya tidak akan melebar, koridornya jelas, dan value dari Nirvana itu sendiri tetap terjaga. Seumpanya Anda mengeluarkan statement ini dari kemarin, saya tidak akan memperpanjang pembicaraan.

Kalau saya memang masih terlihat tidak paham, saya juga tidak punya argumen lain lagi...


Quote from: sobat-dharma
Bagaimana jika “saya sendiri”, “makhluk lain” dan “alam” sekitar pada hakikatnya adalah satu?

Apa maksudnya bahwa "saya sendiri", "makhluk lain" dan "alam sekitar" pada hakikatnya adalah satu?
« Last Edit: 20 April 2009, 01:51:37 PM by upasaka »

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #661 on: 20 April 2009, 02:57:23 PM »
Quote from: sobat-dharma
Jelaskan lebih jauh pertanyaanmu sobat...

Anda menyatakan bahwa samsara dan Nirvana adalah identik. Maka, saya yang pemahamannya masih dangkal ini bertanya kepada Anda...

Apakah hakikat Nirvana itu adalah anitya, dukkha dan anatta...?


Dengan menyadari dan melihat anitya, dukkha dan samsara sebagaimana adanya seseorang merealisasi nirvana.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #662 on: 20 April 2009, 03:28:30 PM »

Sobat... Analogi yang saya berikan itu tidak perlu dibandingkan tiap seginya dengan Nirvana. Bagaimanapun juga tidak akan ada analogi yang sebanding dengan Nirvana. Analogi saya itu cukup dilihat dalam term "mencapai kenyang". Jadi maksudnya... meski saya disuapi oleh orang lain atau makan sendiri, tetap saja yang bisa membuat saya kenyang adalah dengan makan. Makan ini adalah usaha sendiri.
Sampai di sini, apakah kita sepakat dengan paradigma ini...?
Tidak. Jelas-jelas Nirvana tidak bisa dianalogikan dengan kekenyangan...


Saya rasa, tidak perlu saya menguraikan lebih lanjut mengenai statement dari agama lain di sini...
Bagi saya, suatu hal harus teruji oleh banyak pembuktian agar dapat saya terima. Setidaknya untuk saat ini... Anda tidak perlu mencari tahu bagaimana pola gelombang pikiran saya bekerja. Yang sedang kita bahas adalah statement yang harus dapat dipertanggungjawabkan di sepanjang zaman.
maksudnya?


Hehehe... Anda ini orangnya lucu juga. :)
Terimakasih :)


Saya pakai kata "rasa", itu pun karena formalitas dalam tata berbahasa. Lagipula kata "rasa" di kalimat itu sebenarnya menunjukkan bahwa saya melewati proses menimbang, hingga akhirnya saya menyatakan statement itu.
Pertimbangan apa? Cerita dong....


Hmmm... Jadi kita tidak perlu memakai akal sehat dan logika sebagai panduan awal? Lalu kita sebaiknya memakai apa? Iman...?
Wah itu sih dikotomi yang dibuat oleh Theolog... logika vs iman.  Ternyata di balik anda punya jiwa gembala juga :))


Lalu darimana Anda bisa berpendapat bahwa bila kita menggunakan akal sehat dan logika sebagai panduan awal, maka seterusnya kita akan menjadi budaknya...? Saya harap Anda mengeluarkan pernyataan ini dengan tidak menggunakan akal sehat dan logika... :)
Anda menggunakannya sebagai panduan awal, bukan semata-mata menggunakannya... Itulah bedanya. 

Apa alasan Anda untuk langsung percaya pada Buddha-Dharma...? Apakah karena Buddha-Dharma lahir sejak 2,5 millenium lalu, sehingga Anda menghargai tulisan-tulisan kuno itu? Bagaimana bisa orang cerdas seperti Anda langsung menelan doktrin-doktrin kuno secara bulat-bulat tanpa memolesnya dalam tungku uji coba...?

Jawaban jujurnya: saya percaya Buddha Dharma karena orangtua saya penganut Buddha Dharma juga.
Jawaban idealnya:  Setelah itu saya mempraktikkannya dan membawa hasil pada saya, tidak seperti beberapa agama yang pernah kucoba-coba ikuti. Logika dan akal sehat, dalam pengalaman saya, hanya menjauhkan kita dari Sang Jalan.


Sekarang saya tambah tidak mengerti dengan konsep Nirvana...
Saya baru tahu kalau Nirvana itu adalah penuntun. Saya baru tahu kalau Nirvana itu bukanlah the Ultimate. Saya baru tahu, hmmm... jika sekiranya kita dituntun Nirvana, lalu kita akan diarahkan ke mana lagi...?
Maksud saya sebagai penuntun untuk membedakan antara praktik yang membebaskan dan tidak membebaskan. Nirvana harus menjadi  tolak ukur dari semua praktik, karena bagaimanapun tujuan dari mempraktikkan Dharma adalah terlepas dari siklus kehidupan dan kematian.

Ya, saya tahu bagaimana sulitnya mendeskripsikan Pembebasan dengan kata-kata. Tapi saya mencium adanya aroma perbedaan konsep Pembebasan antara Aliran Mahayana dengan Aliran Theravada. Jadi saya hanya ingin menggali pemahaman yang lebih lanjut mengenai konsep ini di Mahayana...
Selamat berjuang :)

Saya tidak akan berspekulasi sejauh itu. Kalimat singkat itu cukup menjadi satu kalimat kontroversial. Karenanya, saya tidak akan mengeluarkan statement seperti itu. Statement yang lebih tepat adalah, "Nirvana dapat direalisasi di kehidupan ini". Statement ini lugas, tidak spekulatif, maknanya tidak akan melebar, koridornya jelas, dan value dari Nirvana itu sendiri tetap terjaga. Seumpanya Anda mengeluarkan statement ini dari kemarin, saya tidak akan memperpanjang pembicaraan.
Kenapa tidak, kalau paramita dari kehidupan lampau sudah mencukupi. Kenapa tidak? Setiap masa kehidupan adalah “kehidupan ini”, bukankah gitu? Kalaupun tidak di kehidupan ini lalu memangnya bermasalah?

Apa maksudnya bahwa "saya sendiri", "makhluk lain" dan "alam sekitar" pada hakikatnya adalah satu?
Yang membeda-bedakan adalah pikiran ego-diri , sedangkan hakikatnya mereka semuanya adalah tidak bisa dibedakan.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #663 on: 20 April 2009, 04:16:16 PM »
Quote from: sobat-dharma
Dengan menyadari dan melihat anitya, dukkha dan samsara sebagaimana adanya seseorang merealisasi nirvana.

Lalu bagaimana dengan anatta...?

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #664 on: 20 April 2009, 04:16:50 PM »
Quote from: sobat-dharma
Tidak. Jelas-jelas Nirvana tidak bisa dianalogikan dengan kekenyangan...

Hmmm...
Maksud saya kalau kita ingin kenyang, maka kita yang harus makan. Kalau kita ingin bisa mengendarai sepeda, maka kita yang harus belajar bersepeda. Kalau kita ingin merealisasi Nirvana, maka kita yang harus berusaha untuk merealisasinya.

Saya ajak Anda melihat dari sisi cara mencapainya, tapi Anda selalu menolak. Sudah saya katakan, analogi itu bukan menjadi contoh sebanding dengan sendi-sendi Nirvana.


Quote from: sobat-dharma
maksudnya?

Harus diuji kebenarannya dengan berbagai cara. Kalau tidak berlaku universal, maka saya ragu untuk menerimanya.


Quote from: sobat-dharma
Pertimbangan apa? Cerita dong....

Pernahkah Anda berpikir dahulu sebelum mengambil suatu keputusan...? Nah, seperti itulah pertimbangan...


Quote from: sobat-dharma
Wah itu sih dikotomi yang dibuat oleh Theolog... logika vs iman.  Ternyata di balik anda punya jiwa gembala juga :))

:)) Tidak ada hubungannya dengan itu, sobat...
Saya minta pendapat dari Anda, sebaiknya kita menggunakan apa sebagai panduan awal...?


Quote from: sobat-dharma
Anda menggunakannya sebagai panduan awal, bukan semata-mata menggunakannya... Itulah bedanya.  

Jadi yang benar seperti apa...? Cerita dong...


Quote from: sobat-dharma
Jawaban jujurnya: saya percaya Buddha Dharma karena orangtua saya penganut Buddha Dharma juga.
Jawaban idealnya:  Setelah itu saya mempraktikkannya dan membawa hasil pada saya, tidak seperti beberapa agama yang pernah kucoba-coba ikuti. Logika dan akal sehat, dalam pengalaman saya, hanya menjauhkan kita dari Sang Jalan.

Mungkin Anda salah menerapkannya...
Akal sehat dan logika bukanlah yang paling vital. Tapi setidaknya kita bisa mengevaluasi banyak hal dengan menggunakannya.


Quote from: sobat-dharma
Maksud saya sebagai penuntun untuk membedakan antara praktik yang membebaskan dan tidak membebaskan. Nirvana harus menjadi  tolak ukur dari semua praktik, karena bagaimanapun tujuan dari mempraktikkan Dharma adalah terlepas dari siklus kehidupan dan kematian.

Jadi maksudnya Nirvana itu adalah hasil yang seharusnya didapat dengan melaksanakan praktik Dharma...?

*Apakah seorang Arhat (Sravaka Buddha) sudah terlepas dari siklus kehidupan dan kematian?


Quote from: sobat-dharma
Kenapa tidak, kalau paramita dari kehidupan lampau sudah mencukupi. Kenapa tidak? Setiap masa kehidupan adalah “kehidupan ini”, bukankah gitu? Kalaupun tidak di kehidupan ini lalu memangnya bermasalah?

Anda salah menangkap maksud saya...
Kehidupan ini yaitu kehidupan saat ini. Kehidupan saat kita sedang mendiskusikan Dharma ini. Kehidupan ini adalah kehidupan yang potensial bagi kita untuk merealisasi Pembebasan.

Tapi saya tahu kemungkinan kecil terlintas statement itu di benak Anda. Karena sebagai seorang Mahayanis, pikiran Anda terpola untuk perencanaan jauh di masa depan. Bukan prioritas masa kini yang bermanfaat di masa depan.


Quote from: sobat-dharma
Yang membeda-bedakan adalah pikiran ego-diri , sedangkan hakikatnya mereka semuanya adalah tidak bisa dibedakan.

Sebelumnya saya ingin bertanya, apakah pernyataan di atas merupakan wejangan Aliran Mahayana atau paradigma pribadi Anda sendiri...?

Saya melihat ada kesamaan antara pernyataan itu dengan konsep di Hinduisme, yang menyatakan bahwa; "Atman dan Brahman dikenal sebagai dua esensi, namun pada hakikatnya adalah satu".

Kita sedang membahas tentang berbuat kebaikan untuk kesejahteraan semua pihak... Apakah bila seseorang menjadikan dirinya sebagai 'tumbal', maka orang itu telah berbuat kebaikan nan arif?
« Last Edit: 20 April 2009, 04:18:30 PM by upasaka »

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #665 on: 20 April 2009, 04:19:51 PM »
Apa alasan Anda untuk langsung percaya pada Buddha-Dharma...? Apakah karena Buddha-Dharma lahir sejak 2,5 millenium lalu, sehingga Anda menghargai tulisan-tulisan kuno itu? Bagaimana bisa orang cerdas seperti Anda langsung menelan doktrin-doktrin kuno secara bulat-bulat tanpa memolesnya dalam tungku uji coba...?

Jawaban jujurnya: saya percaya Buddha Dharma karena orangtua saya penganut Buddha Dharma juga.
Jawaban idealnya:  Setelah itu saya mempraktikkannya dan membawa hasil pada saya, tidak seperti beberapa agama yang pernah kucoba-coba ikuti. Logika dan akal sehat, dalam pengalaman saya, hanya menjauhkan kita dari Sang Jalan.

Jadi sang jalan yang dimaksud, seharusnya memang tidak bersesuaian dengan logika dan akal sehat?


Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #666 on: 20 April 2009, 04:22:10 PM »
Quote from: sobat-dharma
Dengan menyadari dan melihat anitya, dukkha dan samsara sebagaimana adanya seseorang merealisasi nirvana.

Lalu bagaimana dengan anatta...?


maksudku anatta juga
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #667 on: 20 April 2009, 04:27:46 PM »
Apa alasan Anda untuk langsung percaya pada Buddha-Dharma...? Apakah karena Buddha-Dharma lahir sejak 2,5 millenium lalu, sehingga Anda menghargai tulisan-tulisan kuno itu? Bagaimana bisa orang cerdas seperti Anda langsung menelan doktrin-doktrin kuno secara bulat-bulat tanpa memolesnya dalam tungku uji coba...?

Jawaban jujurnya: saya percaya Buddha Dharma karena orangtua saya penganut Buddha Dharma juga.
Jawaban idealnya:  Setelah itu saya mempraktikkannya dan membawa hasil pada saya, tidak seperti beberapa agama yang pernah kucoba-coba ikuti. Logika dan akal sehat, dalam pengalaman saya, hanya menjauhkan kita dari Sang Jalan.

Jadi sang jalan yang dimaksud, seharusnya memang tidak bersesuaian dengan logika dan akal sehat?



Sang Jalan berada di luar logika dan akal sehat. Jika masih terikat padanya ataupun lawan darinya, berarti semakin menyimpang.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #668 on: 20 April 2009, 04:37:14 PM »
Apa alasan Anda untuk langsung percaya pada Buddha-Dharma...? Apakah karena Buddha-Dharma lahir sejak 2,5 millenium lalu, sehingga Anda menghargai tulisan-tulisan kuno itu? Bagaimana bisa orang cerdas seperti Anda langsung menelan doktrin-doktrin kuno secara bulat-bulat tanpa memolesnya dalam tungku uji coba...?

Jawaban jujurnya: saya percaya Buddha Dharma karena orangtua saya penganut Buddha Dharma juga.
Jawaban idealnya:  Setelah itu saya mempraktikkannya dan membawa hasil pada saya, tidak seperti beberapa agama yang pernah kucoba-coba ikuti. Logika dan akal sehat, dalam pengalaman saya, hanya menjauhkan kita dari Sang Jalan.

Jadi sang jalan yang dimaksud, seharusnya memang tidak bersesuaian dengan logika dan akal sehat?



Sang Jalan berada di luar logika dan akal sehat. Jika masih terikat padanya ataupun lawan darinya, berarti semakin menyimpang.

Saya setuju bahwa "kebijaksanaan sang jalan" tidak terjangkau logika dan tidak bisa dijelaskan dengan akal intelektualitas. Tetapi kalau dibilang "tidak bersesuaian", saya jadi bingung.

Sekarang andaikan ada seseorang membunuh orang lain (yang tidak salah apa-apa) dengan alasan membahagiakan orang lain, lalu tentu saja tidak bisa diterima dengan logika dan akal sehat. Lalu orang itu dengan entengnya mengatakan, "Saya melakukannya karena mengikut Sang Jalan, dan Sang Jalan memang ada di luar logika, kalian tidak akan mengerti."

Bagaimana pendapat anda?


Offline naviscope

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.084
  • Reputasi: 48
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #669 on: 20 April 2009, 04:51:32 PM »
^
^
^
klu membunuh orang lain

gimana kalau contoh nya dibalik, mengorbankan diri untuk membahagiakan orang lain?

bagaimana pendapat anda?

satu pertanyaan lagi, mengapa agama buddha begitu kelam?  :whistle:
« Last Edit: 20 April 2009, 04:53:11 PM by naviscope »
Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamain batin.

Leave the past alone, do not worry about the future, do not cling to the present and you will achieve calm.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #670 on: 20 April 2009, 04:58:16 PM »
^
^
^
klu membunuh orang lain

gimana kalau contoh nya dibalik, mengorbankan diri untuk membahagiakan orang lain?

bagaimana pendapat anda?

satu pertanyaan lagi, mengapa agama buddha begitu kelam?  :whistle:
Berkorban demi orang lain itu hal yang wajar diterima akal sehat.

Ini bukan bilang tentang Agama Buddha, hanya analogi tentang "akal sehat & logika" yang bersesuaian.

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #671 on: 20 April 2009, 05:00:56 PM »
Quote
Tanggapan terpadu Tentang Mahayana

Ivan Taniputera (17 April 2009)

Melalui pengamatan saya, diskusi kali ini sudah menjurus pada perdebatan. Meskipun pihak yang menanyakan mengenai Mahayana berdalih bahwa mereka ingin mengenal Mahayana lebih jauh, tetapi pada kenyataannya malah berakhir pada perdebatan yang tidak berujung pangkal. Saya tidak berharap setiap orang menerima paham Mahayana. Setiap orang bebas menentukan apa yang mereka yakini. Menerima berbeda dengan memahami. Apa yang dimaksud memahami adalah mengerti sesuatu sebagaimana adanya, tanpa perlu memperdebatkannya. Perdebatan tanpa praktik Dharma nyata tak akan membawa kita ke mana-mana.
Oleh karena itu, tulisan saya kali ini lebih ditujukan bagi mereka yang ingin mengerti Mahayana. Semoga artikel ini bermanfaat bagi mereka yang ingin memahami Mahayana dan menghindarkan salah tafsir terhadapnya. Sebelumnya, saya ingin menyatakan bahwa dalam artikel kali ini tidak ada maksud untuk mengkontraskan Mahayana dengan aliran apapun. Oleh karena itu, saya menyebutkan pandangan dalam Buddhisme yang bukan khas Mahayana sebagai "pandangan non Mahayanis." Ini tidak mengacu pada mazhab atau sekte apapun. Semoga saling pengertian antar sesama umat Buddha dapat semakin meningkat.


Nampaknya mas Tan salah paham, seperti yang sudah saya katakan bahwa saya bertanya dengan kritis, bukankah untuk lebih memahami sesuatu maka kita harus bisa menghilangkan keragu-raguan? dan cara terbaik untuk menghilangkan keragu-raguan adalah dengan bertanya?

Mengenai praktik, praktik seperti apakah yang dimaksudkan oleh mas Tan? Setahu saya pernyataan praktik ini merupakan pernyataan yang sangat subjektif sifatnya. Ada yang beranggapan bahwa membuat rumah sakit, berdana, mendirikan sekolah, membantu fakir miskin adalah praktek. Ada yang beranggapan bahwa sembahyang, dzikir, atau pembacaan sutra atau paritta atau mantra seperti Kwan Sie Im Keng atau Maha karuna Dharani adalah praktek . Ada yang beranggapan meditasi baru praktek. Ada yang beranggapan menolong orang lain baru praktek. Yang manakah yang sungguh-sungguh praktek? Yang manakah yang menurut mas Tan dianggap praktek?

Quote
1.Nirvana dalam Mahayana

Nirvana dalam Mahayana bukanlah sesuatu yang statis dan seorang Buddha masih dapat memancarkan maitri karunanya bahkan setelah Beliau memasuki nirvana. Dalam diskusi sebelumnya ada yang mengkritik bahwa tanpa adanya pancaskandha, seperti pada "nirvana tanpa sisa," tidak mungkin ada pemancaran maitri karuna, sebagaimana halnya "nirvana bersisa." Permasalahan dalam pandangan ini adalah:

a.Seolah-olah terjadi perbedaan dan dualisme antara "nirvana bersisa" dan nirvana tanpa sisa" Padahal nirvana itu tak terpisah-pisahkan. Bagaimana mungkin sesuatu yang absolut itu dapat dipisah-pisahkan?

b.Pancaskandha seolah-olah dapat memberikan pengaruh pada nirvana. Ini nampak jelas jika kita mengamati alur logika di bawah ini:

"Nirvana tanpa sisa" tak lagi memancarkan maitri karuna "karena" tak ada lagi pancaskandha.
"Nirvana bersisa" masih dapat memancarkan maitri karuna "karena" ada pancaskandha.

Dengan demikian, nampaknya nirvana dikondisikan oleh pancaskandha. Padahal nirvana itu adalah sesuatu yang tak berkondisi. Mahayana lebih konsisten dalam hal ini dengan menyatakan bahwa pemancaran maitri karuna itu "tidak bergantung" pada pancaskhandha. Karenanya, tak ada perbedaan kondisi baik pada "nirvana bersisa" atau "nirvana tanpa sisa."

Mengenai Nirvana tanpa sisa atau bersisa? memang "debatable", tetapi sangat aneh pernyataan mas Tan yang mengatakan Nirvana tak berkondisi di satu sisi, di sisi lain mengatakan bahwa Nirvana memancarkan maitri karuna. Pertanyaannya: Maitri karuna itu adalah suatu kondisi atau bukan?

Quote
2.Maitri karuna dan seluruh kualitas positif adalah sifat alami seorang Buddha

Mahayana mengajarkan suatu praktik spiritual guna menghilangkan segenap kekotoran batin, baik itu lobha, dosa, moha, kesombongan, dan lain sebagainya. Segenap varana atau kekotoran batin (baik kleshavarana atau jneyavarana) akan ditransformasi menjadi kemurnian pikiran. Kualitas cinta dan belas kasih seorang Buddha akan menjadi murni tanpa kekotoran batin. Makhluk yang belum tercerahi tidak akan dapat merealisasi maitri karuna sejati karena batinnya masih tertutupi oleh kekotoran batin. Maitri karuna sejati ini tidak akan berakhir. Akan sungguh ironis bila seorang Buddha menapaki jalan Bodhisattva, tetapi setelah berhasil mentransformasi segenap kekotoran batinnya dan merealisasi maitri karuna sejati, namun meninggalkan begitu saja semuanya setelah memasuki mahaparinirvana.
Maitri karuna akan menjadi kualitas alami seorang Buddha tanpa Beliau menginginkannya. Dengan demikian, tidak tepat apabila seseorang mengkritik paham Mahayana ini dengan menyatakan bahwa seorang Buddha yang tak memiliki "keinginan" lagi seharusnya mustahil memancarkan maitri karuna. Keinginan bukan penyebab bagi maitri karuna. Setelah pencerahan direalisasi, semua kualitas bajik secara otomatis akan menjadi sifat alaminya. Sebagai analogi, sifat alami air adalah cair. Apakah air menginginkan agar dirinya menjadi cair? Apa yang disebut dengan sendirinya adalah cair.
Orang yang belum merealisasi nirvana harus punya "keinginan" untuk mempraktikkan dana, sila, virya, kshanti, samadhi, dan prajna demi melatih dirinya. Tetapi setelah ini menjadi sifat alami kita, tidak perlu ada lagi "dorongan" atau "keinginan" untuk mempraktikkannya. Semuanya akan berjalan secara otomatis atau alami.

Lagi-lagi saya merasa ada ketidak konsistenan disini, belas kasih atau maitri karuna tidak akan berakhir? Tolong dijawab darimanakah maitri karuna ini dipancarkan? Dari panca skandha atau bukan?
Untuk ketiga kalinya saya bertanya kepada Mas Tan: APAKAH KESADARAN ITU ANITYA ATAU NITYA...??

Coba perhatikan pertanyaan dari teman-teman disini bukan mengenai sayang atau tidak sayang meninggalkan keBuddhaan (yang jelas berasal dari kemelekatan halus) yang menjadi argumen mas Tan, tetapi pertanyaannya adalah bagaimana caranya seorang Buddha memancarkan maitri karuna terus menerus bahkan setelah Parinirvana. (tolong diterangkan mengapa demikian dan apa yang memancarkan)

Quote
3.Tiga Tubuh Buddha

Mahayana mengajarkan bahwa Buddha memiliki tiga tubuh, yakni dharmakaya, samboghakaya, dan nirmanakaya. Dharmakaya sendiri merupakan sesuatu yang absolut dan tidak dilahirkan atau menjelma. Namun karena maitri karuna adalah sifat sejati seorang Buddha, terdapat nirmanakaya yang "menjelma" (ingat kata ini saya tulis dalam anda kutip) dirinya demi mengajarkan dan membantu membebaskan para makhluk dari pandangan salahnya. Ajaran ini lebih mendalam, karena sanggup menyesuaikan diri dengan dua hal; yakni keabsolutan nirvana (dalam hal ini dharmakaya) dan hakikat maitri karuna seorang Buddha (dalam wujud emanasi nirmanakaya). Kedua konsep ini dapat dicakup sekaligus oleh Mahayana, sehingga nirvana menurut Mahayana tidaklah abu-abu; melainkan sangat jelas, konsisten, dan mendalam. Mungkin ada sebagian pihak akan mengkritik bahwa tiga tubuh Buddha itu seolah-olah mengajarkan adanya tiga "pribadi" Buddha yang terpisah. Kritikan ini akan dijawab dengan fakta bahwa dalam rujukan-rujukan Pali juga terdapat mengenai nimmita Buddha (Buddha jelmaan). Pertanyaannya, di antara Buddha-Buddha jelmaan itu manakah yang benar-benar Buddha? Apakah satu Buddha dapat menjadi banyak Buddha yang terpisah? Mungkin pihak non Mahayanis akan menjawab bahwa nimitta Buddha itu berbeda dengan nirmanakaya. Tetapi jawaban ini tidak berarti apa-apa, karena tak menjawab inti pertanyaannya: "Siapakah di antara nimitta-nimitta Buddha itu yang benar-benar Buddha?" Kedua, Mahayana juga menerima absolutisme nirvana, jadi pertanyaan atau kritikan mengenai tiga "pribadi" terpisah itu tidak valid dalam hal ini, sehingga tak perlu dijawab lebih jauh. Sesuatu mungkin nampak terpisah dari sudut pandang orang yang belum tercerahi.
Lebih jauh lagi, "penjelmaan" (kita gunakan saja istilah ini agar lebih mudah dalam menjelaskannya) nirmanakaya itu berbeda dengan penjelmaan suatu makhluk yang masih diliputi avidya. Pihak non Mahayanis beranggapan bahwa tanpa adanya avidya (sebagai salah satu mata rantai (pratyasamutpada), seseorang tak perlu bertumimbal lahir lagi dalam samsara. Pandangan ini juga diterima oleh Mahayana. Tetapi bedanya, pihak non Mahayanis menganggap bahwa nirvana itu seolah-olah adalah suatu "batasan" atau "sekat" yang membatasi seorang Buddha dari samsara. Pandangan inilah yang ditolak oleh Mahayana. Dalam hal ini Mahayana konsisten dengan konsep keabsolutan nirvana. Justru karena absolut itu maka tiada lagi sekat yang dikenakan padanya. Nirvana bukanlah penjara.
Kemunculan nirmanakaya di samsara bukan disebabkan oleh keinginan (Sanskrit: trsna, Pali: tanha), melainkan ini sudah merupakan sifat alami seorang Buddha. Kita memandangnya sebagai sesuatu yang menjelma, karena masih berdiri pada perahu dualisme. Bagi Buddha tidak ada lagi yang menjelma, mati, datang, atau pergi.


Mas Tan nampaknya ahli mengenai Tipitaka Pali (terlepas dari fakta bahwa ini kesekian kalinya mas Tan membandingkan antara M dengan T padahal mengatakan tidak bermaksud demikian) Boleh tahu dimana dikatakan bahwa Buddha ada jelmaan-jelmaan Buddha? tolong referensinya.

Juga tolong diterangkan mengapa pada buddha bisa muncul trikaya? bagaimanakah proses yang terjadi sehingga trikaya muncul.

Yang mengatakan bahwa Nirvana adalah sekat yang membatasi seorang Buddha dari samsara menurut saya adalah mas Tan sendiri. Setahu saya Non-Mahayanis beranggapan bahwa Samsara muncul oleh karena ada sebab, Nirvana telah terbebas dari sebab-sebab itu, oleh karena itu dikatakan batinnya telah terbebas (bukan terbebas dari sekat, tetapi terbebas dari sebab-sebab). Jadi perhatikan perbedaan cara berpikir mahayanis dan non Mahayanis

Pemikiran bahwa seorang Buddha selalu memancarkan maitri karuna walaupun telah Parinirvana adalah merupakan Pemikiran yang lagi lagi telah terkontaminasi Hindu.

Quote
4. Samsara dan Nirvana

Dari sudut pandang yang telah tercerahi (paramartha satya) tidak ada dualisme lagi. Oleh karena itu, bagi seorang Buddha nirvana tentunya identik dengan samsara. Nirvana bukanlah lawan dari samsara. Sesuatu yang absolut tak memerlukan lawan lagi bukan? Pemahaman seperti ini harus dilihat dari konteksnya yang benar. Orang yang tak memahami Mahayana akan mengajukan kritikan: "Kalau nirvana identik dengan samsara, maka tentunya saya yang masih diliputi oleh lobha, dosa, dan moha, tentunya sudah merealisasi nirvana." Ini jelas merupakan pandangan salah dan logika yang dipaksakan. Permasalahannya begini. Pribadi yang mengajukan pernyataan itu, masih menganggap bahwa nirvana dan samsara adalah dua hal yang terpisah. Jadi apa yang diungkapkannya itu tidak konsisten dengan dirinya sendiri. Ia tak berhak menyatakan bahwa dirinya telah merealisasi nirvana, selama masih menganggapnya sebagai sesuatu yang terpisah. Kritikan di atas mengandung kelemahan fatal. Ibaratnya seseorang mengatakan: "Kalau setiap orang boleh membeli makanan, tentunya aku yang tak memiliki uang sepeserpun juga boleh membeli makanan di sana." Orang itu lupa bahwa prasyarat untuk membeli adalah memiliki uang. Kedua, bila seseorang telah merealisasi keidentikan samsara dan nirvana, ia secara otomatis tak akan memiliki lobha, dosa, dan moha lagi. Tentu saja orang yang hanya paham bahwa nirvana identik dengan samsara secara intelektual juga tak dapat dianggap merealisasi pencerahan.


Mengenai pernyataan bahwa "Kalau nirvana identik dengan samsara, maka tentunya saya yang masih diliputi oleh lobha, dosa, dan moha, tentunya sudah merealisasi nirvana." mas katakan  bahwa salah dan logika dipaksakan karena masih menganggap kedua hal itu terpisah. Ini juga pernyataan aneh. Faktanya:
"Nirvana identik dengan Samsara, yang mengatakan bukan orang itu tetapi mas Tan sendiri kan?" logika bila Nirvana yang bebas dari lobha, dosa, moha adalah = samsara yang diliputi lobha,dosa, moha. Maka dari sini kita bisa tarik logika berikut: Nirvana identik dengan Samsara, yaitu kedua-duanya memiliki lobha, dosa atau moha.
logika kedua: Nirvana identik dengan Samsara, yaitu kedua-duanya tidak memiliki lobha, dosa atau moha (kedua-duanya Nirvana).
Ini baru sesuai dengan arti identik. Silahkan buka kamus.
The truth, and nothing but the truth...

Offline naviscope

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.084
  • Reputasi: 48
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #672 on: 20 April 2009, 05:03:14 PM »
bisa saja, kalau yang kamu bunuh itu adalah
pembunuh sadis, kalau kamu tidak bunuh dia, akan jatuh korban2 yang lain nya...

hehehe....
kadang2 bro, ada sesuatu yang harus diluar logika
kalau terlalu bermain logika, tidak bisa membawa menuju nirvana,,,,....  klu tidak salah perkataan bro sobat dharma :P

Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamain batin.

Leave the past alone, do not worry about the future, do not cling to the present and you will achieve calm.

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #673 on: 20 April 2009, 05:03:23 PM »
Quote
5.Juru Selamat dalam Mahayana

Banyak orang salah paham bahwa di Mahayana mengenal konsep juru selamat. Membantu atau menolong makhluk lain tidak berarti bahwa kita yang mencerahkan mereka. Pencerahan tetap harus diusahakan sendiri. Namun kita dapat membantu orang lain dengan membawakan materi-materi Dharma. Oleh karena itu, saya sangat menganjurkan sesorang berdana Dharma, yakni berupa mencetak Sutra atau buku. Bila Mahayana mengenal konsep juru selamat seperti pada agama lain, untuk apa diajarkan berbagai jenis meditasi? Bukankah cukup berpangku tangan saja. Bahkan berbagai ritual dalam tradisi Mahayana sesungguhnya adalah bentuk meditasi. Tradisi Chan (Dhyana) yang menjadi bagian Mahayana mengenal apa yang disbut meditasi Chan. Sementara itu, tradisi Tantra mengenal meditasi pada suara-suara mantra. Aliran Sukhavati bermeditasi dengan mengulang nama Buddha Amitabha. Dengan demikian, pandangan adanya juru selamat dalam Mahayana yang siap menyeberangkan kita ke nirvana merupakan sesuatu yang mengada-ada.

Berikut saya kutip tulisan mas Tan sendiri.

"terdapat nirmanakaya yang "menjelma" (ingat kata ini saya tulis dalam anda kutip) dirinya demi mengajarkan dan membantu membebaskan para makhluk dari pandangan salahnya. Ajaran ini lebih mendalam, karena sanggup menyesuaikan diri dengan dua hal; yakni keabsolutan nirvana (dalam hal ini dharmakaya) dan hakikat maitri karuna seorang Buddha (dalam wujud emanasi nirmanakaya)."

menjelma berulang-ulang kan?

Dalam ajaran Hindu Dewa Wisnu berulang kali menjelma menjadi manusia untuk menolong manusia, pertama dalam kisah Arjuna Sosrobahu, kedua dalam kisah Ramayana (sebagai Rama) dan terakhir dalam Mahabharata sebagai Krishna.

Quote
6.Konsep penjelmaan Buddha mirip dengan dewa-dewa yang turun ke dunia

"Penjelmaan" Buddha dalam bentuk nirmanakaya telah kita ulas di atas. Sehingga seharusnya telah menjadi jelas perbedaannya dengan para dewa dan Brahma yang turun ke dunia. Tetapi kritikan di atas dapat pula ditanggapi dengan fakta bahwa seorang Buddha yang "terpisah" dari samsara itu sebenarnya justru sangat mirip dengan konsep tirthankara dalam agama Jain. Tirthankara adalah serangkaian sosok-sosok yang telah merealisasi pencerahan menurut Jainisme dan mereka memasuki suatu kondisi yang mirip nirvana dalam Buddhisme; dimana mereka benar-benar "terpisah" dari samsara. Tidakkah konsep non Mahayanis ini juga mirip dengan konsep tirthankara dalam Jainisme? Padahal pendiri Jain, yakni Nirgrantha Nataputra (Mahavira) dianggap dianggap salah satu di antara enam guru menyimpang dalam kurun waktu kehidupan Buddha.


Nah ini menarik mas Tan... Apabila benar seperti yang mas Tan katakan, tolong kutipkan dan sebutkan sumbernya. Dan satu hal lagi apakah mas Tan yakin bahwa kebebasan dari samsara (Nirvana) yang dianut oleh aliran Jaina sama dengan Nirvana yang dianut oleh aliran non Mahayanis?

bagian yang saya bold: nampak jelas sekali bahwa sesungguhnya mas Tan sendiri yang beranggapan bahwa ada sekat yang memisahkan Nirvana dan Samsara. sedangkan non mahayanis yang saya ketahui mengatakan bahwa "segala sesuatu muncul dari sebab dan akan berhenti bila sebabnya berhenti". Tak ada pernyataan yang mengatakan mengenai sekat.

Tolong dikutipkan yang dari Jaina ya? sangat menarik mas.

Quote
7.Menunda "nirvana tanpa sisa"

Dalam Mahaparinibanna Sutta disebutkan bahwa bila Ananda memohon pada Buddha, Beliau dapat hidup selama satu kalpa lagi. Buddha seolah-olah dapat hidup abadi, karena kehadiran peradaban manusia di muka bumi ini "baru" sekitar 6.000 tahun, yang belum apa-apa bila dibandingkan satu kalpa. Konsep Buddha yang dapat hidup selama satu kalpa itu juga tidak bertentangan dengan ajaran mengenai Buddha Amitabha yang mengajar di Sukhavati. Bila pihak non-Mahayanis mengkritik eksistensi Buddha Amitabha yang seolah-olah hidup abadi itu, ia juga harus mempertanyakan kesahihan konsep Buddha yang dapat hidup selama satu kalpa sebagaimana yang termaktub dalam Mahaparinibanna Sutta

Mas Tan sebelum (lagi-lagi) membandingkan antara M dengan T cobalah lebih dahulu mempelajari lebih jauh mengenai T, cari tahu lebih jauh apa yang dimaksud kalpa menurut T, ada berapa jenis kalpa menurut T.

Quote
8.Bodhisattva

Setiap bodhisattva berikrar untuk menjadi yang terakhir dalam memasuki nirvana. Para kritikus non-Mahayana kerap menjadikan hal ini sebagai bahan kritikan dan gurauan dengan mengatakan bahwa kelak para bodhisattva akan saling dorong-mendorong rekannya yang lain memasuki nirvana. Dengan demikian, ia dapat menjadi yang terakhir dalam memasuki nirvana. Sepintas pandangan di atas terdengar masuk akal. Tetapi setelah direnungkan dengan sesama, terdapat kesalahan fatal dalam pertanyaan itu. Pertama, suatu ikrar hendaknya tidak diambil maknanya secara harafiah. Ketika seorang pemuda mengatakan pada kekasihnya, "Hingga bumi kiamat aku tetap mencintaimu." Tentu saja ungkapan cinta pemuda itu pada kekasihnya hendaknya tidak diartikan secara harafiah. Kita tidak dapat mempertanyakan, "Bukankah sebelum bumi kiamat pemuda itu pasti sudah meninggal - ikrarnya tidak masuk akal." Pertanyaan seperti itu sungguh merupakan kebodohan, karena orang yang menanyakan tidak mengetahui apa makna suatu ikrar. Perasaan atau batin seseorang tidak dapat dihitung secara matematis. Kita tidak dapat mengukur berapa meter atau sentimeter dalamnya suatu cinta. Tak pula kita dapat menimbang berapa kilogram massa suatu cinta. Kedua, orang yang mengajukan kritikan semacam itu tidak mengetahui bagaimana konsep mengenai bodhisattva menurut Mahayana. Mustahil ada peristiwa "dorong mendorong" seperti yang diungkapkan di atas, karena pemenuhan suatu ikrar akan berjalan alami. Mustahil ada peristiwa "dorong mendorong" seperti yang dikritikan sebelumnya. Karenanya, pertanyaan atau kritikan itu dengan sendirinya menjadi tidak valid.

Apakah kitab suci sama dengan kitab dongeng? atau buku romans? jadi ikrar Bodhisattva tidak sungguh-sungguh ya mas Tan?  ;D

Yang keduanya mana..?

Quote
9.Mengapa masih banyak penderitaan di dunia ini?

Apabila para Buddha dan bodhisattva masih terus berkarya menebarkan maitri karuna, mengapa di dunia ini masih banyak penderitaan? Karena itu, tidak mungkin para Buddha dan bodhisattva masih memancarkan belas kasihnya. Pertanyaan ini memang terkesan logis, tetapi sungguh tidak tepat. Kritikan ini dapat kita balikkan dengan pertanyaan pula. Kaum non Mahayanis, tentu menerima bahwa Dharma adalah obat bagi penyakit batin umat manusia. Namun mengapa masih banyak umat Buddha yang batinnya sakit?
Kedua, Buddha dan bodhisattva hingga saat ini masih memancarkan kasihnya, hanya kita tidak menyadari atau pura-pura tak mengetahuinya. Mahayana mengajarkan bahwa seorang bodhisattva dapat bermanifestasi dalam wujud apa saja (lihat Sutra Saddharmapundarika dan Karandavyuha mengenai perwujudan-perwujudan Bodhisattva Avalokitesvara demi menolong para makhluk). Florence Nightigale dengan tidak kenal lelah menolong para prajurit yang terluka di medan laga. Henry Dunant mendirikan organisasi Palang Merah demi meringankan penderitaan orang lain. Oscar Schindler pernah menyelamatkan ribuan jiwa orang Yahudi dari pembantaian oleh Nazi. Pastor Damien merelakan dirinya berkarya di tengah para penderita kusta. Pastor Maximilianus Kolbe mengorbankan dirinya demi menyelamatkan seorang Polandia yang masih mempunyai tanggungan keluarga saat hendak dibunuh oleh Nazi. Daftar para bodhisattva ini masih sangat panjang dan mustahil semuanya dituliskan di sini. Bahkan pada saat sekarang para bodhisattva masih berkarya demi misi-misi kemanusiaan, baik besar maupun kecil. Beberapa bodhisattva sanggup melakukan kebajikan besar yang masih dikenang hingga berabad-abad. Sementara itu banyak bodhisattva lainnya yang melakukan kebajikan-kebajikan kecil dan tidak dikenal orang. Namun, baik skala besar ataupun kecil semuanya adalah bodhisattva yang terus menerus berkarya hingga detik ini.
Masih banyaknya penderitaan di muka bumi ini, bukanlah kesalahan para Buddha dan bodhisattva. Malahan Anda perlu menanyakan diri Anda sendiri, apakah kontribusi Anda selaku umat Buddha untuk meringankan penderitaan Anda. Para makhluk memang keras hati dan susah dibawa menuju jalan kebenaran. Jadi banyaknya penderitaan bukanlah bukti bahwa para Buddha dan bodhisattva tidak memancarkan maitri karunanya. Bencana kelaparan masih terjadi bukan berarti FAO tidak ada gunanya. Peperangan masih terjadi bukan berarti bahwa PBB tinggal diam. Buddha dan bodhisattva bukanlah sosok yang maha kuasa. Mahayana juga mengajarkan hal ini. Kitalah yang hendaknya merubah dunia ini menjadi Sukhavati.

Saya hanya bingung dengan pernyataan mas Tan yang berikut:Florence Nightingale, Henry Dunant dan Oscar Schindler dll adalah Bodhisattva? Saya banyak menolong nyamuk, semut, belut, lele dll. mereka juga adalah mahluk hidup kan? Bila demikian jadi saya adalah Bodhisattva juga kan?  ;D

Para makhluk memang keras hati dan susah dibawa menuju jalan kebenaran. Ini saya setuju sekali, seringkali si A menuduh si B melekat pada pandangan tetapi si A lupa bahwa ia juga sebenarnya melekat pada pandangannya sendiri.
Semoga mimpi mas Tan agar dunia ini menjadi Sukhavati, terkabul.

Quote
10. Kesimpulan

Setelah mengikuti berbagai perdebatan, diskusi, dan kritikan mengenai Mahayana yang ada di berbagai forum serta buku, justru keyakinan saya terhadap Mahayana semakin kuat dan diteguhkan. Tidak ada kritikan yang sanggup menggoyahkan sendi-sendi Mahayana sebagaimana yang saya pahami. Malah sebagian besar kritikan makin memperkokoh sendi-sendi tersebut.Saya menyarankan agar para praktisi Mahayana lebih banyak memusatkan perhatian dalam mengkaji Dharma Mahayana. Para praktisi hendaknya tidak hanya memusatkan perhatian pada ritualistik atau aspek lahiriah Mahayana saja. Banyak praktisi yang beranggapan, asalkan saya sudah nianjing atau nianfo setiap hari sudahlah cukup menjadikan saya Mahayanis. Nianjing atau nianfo tanpa dipahami maknanya tidak akan menimbulkan transformasi batin.

Amiduofo,

Tan

Amiiiinnnn.. semoga praktisi Mahayana imannya tambah kuat, semoga mas Tan juga "imannya" tambah kuat, semoga mas Tan dibukakan jalan olehNya. Semoga mas Tan mendapatkan berkah dan limpahan "KasihNya".

Metta,
The truth, and nothing but the truth...

Offline naviscope

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.084
  • Reputasi: 48
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #674 on: 20 April 2009, 05:07:27 PM »
PERUMPAMAAN TENTANG TIGA PEDATI DAN RUMAH YANG TERBAKAR (P.61, L.2 - P.63, L.21)

Dahulu kala, seorang yang kaya tinggal di sebuah desa. Kekayaannya tidak terukur. Ia memiliki banyak ladang padi, rumah, dan pelayan. Rumahnya begitu besar, akan tetapi hanya memiliki satu pintu keluar. Dalam rumah itu tinggal ratusan orang. Gedungnya telah rusak, pagar dan dindingnya telah rapuh, dasar dari tiang rumahnya telah lapuk, dan balok dan kuda-kuda atapnya bengkok dan goyah.
Tiba-tiba saja, timbul kebakaran dan segera menyebar ke seluruh penjuru rumah. Dalam rumah ini juga tinggal banyak anak dari orang kaya tersebut. Ia amat takut akan kebakaran besar ini dan berpikir, “Aku mampu keluar dari rumah yang terbakar ini dengan aman, tapi anak-anakku masih di dalam. Pikiran mereka tenggelam dalam permaianan. Mereka tidak mengetahui kalau api sedang menuju ke arah mereka. Mereka tidak takut atau khawatir. Mereka tidak mengetahui apa itu kebakaran.” “Rumah ini hanya memiliki satu pintu gerbang. Lebih parah lagi, gerbangnya kecil dan sempit. Anak-anakku terlalu kecil untuk mengetahui hal ini. Mereka terikat kepada tempat dimana mereka sedang bermain. Mereka bisa terbakar. Aku sebaiknya memberitahu mereka akan bahaya ini. Mereka harus keluar secepatnya, agar tidak mati terbakar.” “Cepatlah keluar!”, ia memperingatkan mereka dengan kata-kata yang penuh kasih, akan tetapi mereka telalu larut dalam bermain hingga tidak mendengar kata-kata ayahnya. Mereka tidak ingin keluar. Mereka berlarian dengan gembiranya. Mereka hanya melirik kepada ayahnya sesekali. “Jika mereka dan saku tidak segera keluar, kita akan terbakar. Aku harus menyelamatkan mereka dari bahaya ini dengan suatu cara upaya.”Ia berkata kepada mereka, “Mainan yang kalian inginkan ada di luar pintu pagar. Ada pedati domba, pedati rusa, dan pedati kerbau. Kalian bisa bermain-main dengannya. Cepatlah keluar dari rumah yang terbakar ini segera!”Anak-anak itu berlarian keluar segera dari rumah yang terbakar, saling dorong-mendorong satu sama lainnya karena masing-masing ingin menjadi yang pertama. Orang kaya yang melihat mereka semua telah keluar dengan selamat, menjadi lega dan menari penuh kegembiraan. Mereka berkata kepada ayahnya, “Ayah! Berikan kepada kami maianan itu! Berikan kami pedati domba, rusa, dan kerbau yang kau janjikan kepada kam!”Kemudian orang kaya tersebut memberi mereka masing-masing sebuah PEDATI SAPI PUTIH BESAR yang sama ukurannya. Pedati tersebut tinggi, lebar dan besar, dihiasi dengan berbagai harta karun, dan memiliki lonceng yang tergantung di keempat sisinya. Orang hebat ini memberikan setiap pedati tersebut kepada masing-masing anak-anaknya karena kekayaannya begitu tak terukur hingga semua toko-tokonya dipenuhi segala jenis harta karun.

Anak-anak tersebut naik ke atas pedati besar, bergembira karena mereka belum pernah naik pedati seperti ini, dan tidak pernah mengira akan menerima hadiah yang sedemikian mewahnya.

PENJELASAN:
1.Rumah yang terbakar: melambangkan bahwa dunia ini dipenuhi dengan berbagai penderitaan.
2.Anak-anak: melambangkan orang-orang yang masa bodoh yang tidak menyadari bahwa kematian mendatangi setiap orang.
3.Kebakaran: melambangkan bahwa kematian datang sama rata kepada baik kepada orang kaya, miskin, bijak, maupun bodoh.
4.Satu-satunya pintu gerbang yang sempit: melambangkan bahwa keselamatan bukanlah hal yang mudah dicapai.
   5.Anak-anak yang berlarian keluar: Anda harus melakukannya sendiri. Agama adalah sebuah alam yang hanya bisa dialami sendiri.

6. Pedati domba: melambangkan kendaraan kaum shomon
    Pedati rusa: melambangkan kendaraan kaum engaku
    Pedati kerbau: melambangkan kendaraan kaum Bodhisattva
7. Pedati sapi besar: melambangkan kendaaran Buddha Tunggal, Saddharma Pundarika Sutra
8. Orang yang kaya: melambangkan Buddha Sâkyamuni


Perumpamaan ini menjelaskan bahwa Buddhisme adalah ajaran yang diperuntukkan bagi kita yang bisa membuat kita menghapus ketidak bahagiaan dan menikmati kebahagiaan. Kebahagiaan sejati adalah bersuka cita membantu orang lain dan memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Ini adalah pelaksanaan dari Kendaraan Buddha Tunggal.

perumpamaan rumah yang terbakar dalam saddharma pundarika sutra.
dengan mengerti ini, maka anda akan mengerti Mahayana...
« Last Edit: 20 April 2009, 05:15:15 PM by naviscope »
Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamain batin.

Leave the past alone, do not worry about the future, do not cling to the present and you will achieve calm.

 

anything