Maksud saya; kalau kita ingin merealisasi kenyang, maka kita sendiri yang harus makan. Tidak mungkin ada orang yang bisa membantu kita untuk merealisasi kenyang.
Kalau menurut saya analogi ini kurang sesuai untuk realisasi nirvana.. Kenapa? Kekenyangan hanya bisa dirasakan secara subjektf oleh suatu ego-diri yang merasa hanya dirinya yang bisa merasakan lapar. Sedangkan nirvana adalah fenomena di luar batas diri subjektif. Nirvana bukan hanya pengalaman batin ataupun fisik belaka, karena untuk merealisasinya seseorang harus melampaui batin maupun fisiknya sendiri. Jika Nirvana dirasakan hanya sama dengan rasa lapar yang berupa pengalaman subjektif, dan fisik maka merealisasinya tidak akan banyak berarti...
Sedangkan dalam hal makan,sebenarnya tidak peduli apakah ia disuap atau makan sendiri, jika makanan sudah dicerna dengan baik dan cukup jumlahnya maka ia otomatis kenyang.
Tidak juga. Yesus pernah berkata, "jika seseorang menampar pipi kirimu, berikanlah pipi kananmu."
Kalimat ini juga kalimat bijak, inspiratif dan memotivasi saya. Tapi saya tidak menelannya bulat-bulat. Dan setelah saya saring dengan akal sehat, saya melihat kepincangannya sehingga saya tidak menggenggamnya sebagai pedoman hidup. Meski demikian, saya rasa kalimat itu tidak kalah bijaknya dari kalimat yang diucapkan oleh bodhisattva itu.
Kalau gitu jelaskan, akal sehat Anda menjadi ukuran kebenaran bagi Anda… Minimal anda menafsirkannya dengan suatu cara tertentu dan makna yang Anda yakini sebagai kebenaran yang akhirnya memotivasi Anda… walaupun wujudnya sudah jauh berbeda dengan kalimat aslinya..
Saya rasa logika tidak menjadi tuan saya. Saya memakai logika dan akal sehat pun sewajarnya, hanya sebatas panduan awal. Tentunya keabsahan mereka bergantung dari tingkat intelektual, cara pandang dan pengalaman saya sebagai pribadi. Dan selama ini, logika dan akal sehat selalu memberikan jaminan yang lebih tinggi daripada perasaan dan harapan. Akal sehat dan logika mengarahkan saya untuk melihat suatu hal lebih realistis - tidak dibuai oleh imajinasi, dan tidak perlu yakin pada suatu hal dengan cara menghibur diri sendiri.
Kalau memang Anda memilah suatu hal dengan menggunakan filter yang berbeda dari saya, saya menghormati Anda. Karena saya sangat menghormati kehendak bebas orang lain.
Coba perhatikan kata anda sendiri, “saya rasa logika tidak menjadi tuan saya.” Kata yang anda gunakan adalah “saya rasa”, dalam hal ini yang bekerja di balik “saya rasa” itu sendiri tidak lain hanya keyakinan.
Ini bukan soal filter yang berbeda belaka… Jika logika dijadikan panduan awal, maka bersiap-siaplah ia akan menjadi penuntun Anda, atau dengan kata lain siapa yang memandu ia yang akan menjadi pemipin, dan pemimpin itulah tuan bagi yang dipimpin dan yang dituntun. Daripada anda menjadikan logika dan akal sehat sebagai penuntun, bukanlkah lebih baik kita dituntun oleh Buddha Dharma, sebelum akhirnya dituntun oleh Nirvana .
Maka, jika memang pada saat ini Nirvana ada di sini (samsara), artinya Nirvana pun berada di dalam samsara. Sama seperti contoh kalimat pertama tadi : "Saya sudah ada di sini". Kalimat itu menyatakan bahwa saya ada di dalam area / lokasi ini.
Berangkat dari pemahaman ini, menurut saya adalah tidak tepat untuk memakai kalimat bahwa "Nirvana ada di sini". Karena sudah jelas akan membuat orang memandang bahwa Nirvana identik dengan ruang (samsara) dan saat ini kita sudah mencapai "Nirvana". Lihat saja buktinya, dari dulu banyak teman-teman yang selama ini menangkap Nirvana sebagai suatu domisili baru dalam rancah Buddhisme Mahayana.
Saya sudah mencoba menjelaskannya, tapi memang akal sehat sulit menerimanya… Setiap ruang dan waktu selalu ada jika dialami batin, oleh karena itu tidak ada ruang dan waktu yang berdiri sendiri… Alam yang murni hanya bisa dicapai oleh pikiran yang murni pula, “Jika pikiran murni maka alampun murni.” Dalam hal ini Nirvana adalah wilayah yang bebas dari pensekatan kaku antara dunia batin internal dan dunia alam eksternal…. Tidak mungkin Nirvana hanya merupakan suatu tempat belaka… Kalau anda masih juga belum paham soal ini ya saya tidak punya argumen lain lagi.
Standarnya adalah memberi kebaikan bagi makhluk lain, alam sekitar dan tentu saja diri sendiri. Standarnya adalah tidak merugikan makhluk lain, alam sekitar dan tentu saja diri sendiri.
Bagaimana jika “saya sendiri”, “makhluk lain” dan “alam” sekitar pada hakikatnya adalah satu?