II. AUMAN SINGA
11 (1) Auman Singa
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:
“Bhante, aku telah menyelesaikan masa pengasingan musim hujan di Sāvatthī. Aku ingin pergi dalam suatu perjalanan menuju daerah pedalaman.”
“Silakan engkau pergi, Sāriputta, jika engkau menginginkan.”
Kemudian Yang Mulia Sāriputta bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi. [374] Kemudian, tidak lama setelah Yang Mulia Sāriputta pergi, seorang bhikkhu tertentu berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, Yang Mulia Sāriputta memukulku dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf.”<1851>
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada seorang bhikkhu tertentu: “Pergilah, bhikkhu, panggil Sāriputta atas namaKu, [katakan kepadanya]: ‘Sang Guru memanggilmu, teman Sāriputta.’”<1852>
“Baik, Bhante,” bhikkhu itu menjawab. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan berkata: “Sang Guru memanggilmu, teman Sāriputta.”
“Baik, teman,” Yang Mulia Sāriputta menjawab.
Pada saat itu Yang Mulia Mahāmoggallāna dan Yang Mulia Ānanda membawa kunci dan mendatangi kediaman demi kediaman, [sambil menyerukan]: ‘Datanglah, para mulia! Datanglah, para mulia! Sekarang Yang Mulia Sāriputta akan mengaumkan auman singanya di hadapan Sang Bhagavā!”
Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya: ‘Sariputta, salah satu dari teman-temanmu para bhikkhu telah mengajukan keluhan terhadapmu, [dengan mengatakan]: ‘Bhante, Yang Mulia Sāriputta memukulku dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf.’”
(1) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya mereka membuang benda-benda yang murni maupun tidak murni di atas tanah – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun tanah ini tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian [375] pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti tanah, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.
(2) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya mereka mencuci benda-benda yang murni maupun tidak murni di air – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun air itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti air, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.
(3) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya api membakar benda-benda yang murni maupun tidak murni – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun api itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti api, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.
(4) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya udara meniup benda-benda yang murni maupun tidak murni – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun udara itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti udara, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.
(5) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. [376] Seperti halnya sebuah sikat yang menghapuskan benda-benda yang murni maupun tidak murni – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun sikat itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti sebuah sikat, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.
(6) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seorang anak laki-laki atau anak perempuan dari kasta terbuang, yang berpakaian dari kain bertambalan dan memegang kendi, memasuki sebuah desa atau pemukiman dengan pikiran rendah hati; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti anak laki-laki dari kasta buangan itu, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.
(7) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seekor sapi jantan dengan tanduk terpotong, yang lembut, yang dijinakkan dengan baik dan dilatih dengan baik, berkeliaran dari jalan ke jalan, dari lapangan ke lapangan tanpa melukai siapa pun dengan kaki atau tanduknya; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran bagaikan pikiran sapi jantan yang tanduknya terpotong itu, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.
(8 ) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seorang perempuan atau laki-laki - muda, berpenampilan muda, dan menyukai perhiasan, dengan kepala dicuci – akan [377] mundur, muak, dan jijik jika bangkai ular, anjing, atau manusia, dikalungkan di lehernya; demikian pula, Bhante, aku mundur, muak, dan jijik oleh tubuh busuk ini.
(9) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seseorang yang membawa mangkuk retak dan berlubang berisi cairan lemak yang tumpah dan menetes; demikian pula, Bhante, aku membawa tubuh yang retak dan berlubang ini yang tumpah dan menetes.
“Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf.”
Kemudian bhikkhu [penuduh] itu bangkit dari duduknya, merapikan jubahnya di satu bahunya, bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, aku telah melakukan pelanggaran karena aku begitu dungu, bodoh, dan tidak terampil telah memfitnah Yang Mulia Sāriputta atas dasar yang tidak benar, tanpa dasar, dan salah. Bhante, sudilah Sang Bhagavā menerima pelanggaranku dilihat sebagai pelanggaran demi pengendalian di masa depan.”
“Tentu saja, bhikkhu, engkau telah melakukan pelanggaran karena engkau begitu dungu, bodoh, dan tidak terampil telah memfitnah Yang Mulia Sāriputta atas dasar yang tidak benar, tanpa dasar, dan salah. Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu sebagai pelanggaran dan melakukan perbaikan sesuai Dhamma, maka Kami menerimanya. Karena adalah kemajuan dalam disiplin Yang Mulia bahwa seseorang melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran, melakukan perbaikan sesuai Dhamma, dan melakukan pengendalian di maa depan.” [378]
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sāriputta maafkanlah manusia kosong ini sebelum kepalanya pecah menjadi tujuh keping di sana.”
“Aku akan memaafkan yang mulia ini, Bhante, jika yang mulia ini mengatakan kepadaku: ‘Dan sudilah yang mulia memaafkan aku.’”<1853>
12 (2) Dengan Sisa Tertinggal
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ia berpikir: “Masih terlalu pagi untuk berjalan menerima dana makanan. Biarlah aku mampir ke taman para pengembara sekte lain.”<1854>
Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendatangi taman para pengembara sekte lain. Ia saling bertukar sapa dengan para pengembara itu, ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi. Pada saat itu para pengembara itu telah berkumpul dan sedang duduk bersama ketika pembicaraan ini terjadi di antara mereka: “Teman-teman, siapa pun yang meninggal dunia dengan sisa yang masih tertinggal adalah tidak terbebas dari neraka, alam binatang, atau alam hantu menderita; ia tidak terbebas dari alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah.”
Kemudian Yang Mulia Sāriputta dengan tidak menerima juga tidak menolak pernyataan dari para pengembara itu, melainkan bangkit dari duduknya dan pergi, [dengan berpikir]: “Aku akan mengetahui apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā sehubungan dengan pernyataan ini.”
Kemudian, ketika Yang Mulia Sāriputta telah berjalan menerima dana makanan di Sāvatthī, [379] setelah makan, ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan itu, ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. [Di sini ia mengulangi kata demi kata keseluruhan kejadiannya dan mengakhiri dengan:] “aku bangkit dari dudukku dan pergi, [dengan berpikir]: “Aku akan mengetahui apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā sehubungan dengan pernyataan ini.”
“Siapakah,<1855> Sāriputta, para pengembara sekte lain yang dungu dan tidak kompeten itu dan siapakah mereka yang mengetahui seorang dengan sisa yang tertinggal sebagai ‘seorang dengan sisa yang tertinggal’ dan seorang yang tanpa sisa yang tertinggal sebagai ‘seorang yang tanpa sisa yang tertinggal’?<1856>
“Sembilan orang ini, Sāriputta, yang meninggal dunia dengan sisa yang tertinggal, tetapi terbebas dari neraka, alam binatang, atau alam hantu menderita; terbebas dari alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah. Apakah sembilan ini? [380]
(1) “Di sini, Sāriputta, seseorang memenuhi perilaku bermoral dan konsentrasi tetapi melatih kebijaksanaan hanya dalam tingkat sekedarnya.<1857> Dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah, orang ini adalah seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara. Ini adalah orang pertama, yang meninggal dunia dengan sisa yang masih tertinggal, tetapi terbebas dari neraka, alam binatang, atau alam hantu menderita; terbebas dari alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah.
(2) – (5) “Kemudian, seseorang memenuhi perilaku bermoral dan konsentrasi tetapi melatih kebijaksanaan hanya dalam tingkat sekedarnya. Dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah, orang ini adalah seorang yang mencapai nibbāna pada saat mendarat … seorang yang mencapai nibbāna tanpa berusaha … seorang yang mencapai nibbāna dengan berusaha … seorang yang mengarah ke atas, menuju alam Akaniṭṭha. Ini adalah orang ke lima, yang meninggal dunia dengan sisa yang masih tertinggal, tetapi terbebas dari neraka, alam binatang, atau alam hantu menderita; terbebas dari alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah.
(6) “Kemudian, seseorang memenuhi perilaku bermoral tetapi melatih konsentrasi dan kebijaksanaan hanya dalam tingkat sekedarnya. Dengan hancurnya ketiga belenggu yang lebih rendah dan dengan melemahnya keserakahan, kebencian, dan delusi, orang ini adalah seorang yang-kembali-sekali yang, setelah kembali ke alam ini satu kali lagi, ia akan mengakhiri penderitaan. Ini adalah orang ke enam, yang meninggal dunia dengan sisa yang masih tertinggal, tetapi terbebas dari neraka, alam binatang, atau alam hantu menderita; terbebas dari alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah.
(7) “Kemudian, seseorang memenuhi perilaku bermoral tetapi melatih konsentrasi dan kebijaksanaan hanya dalam tingkat sekedarnya. Dengan hancurnya ketiga belenggu yang lebih rendah, orang ini adalah seorang yang mencapai satu-benih yang, setelah terlahir kembali sekali lagi sebagai manusia, ia [381] akan mengakhiri penderitaan. Ini adalah orang ke tujuh, yang meninggal dunia dengan sisa yang masih tertinggal, tetapi terbebas dari neraka, alam binatang, atau alam hantu menderita; terbebas dari alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah.
(8 ) “Kemudian, seseorang memenuhi perilaku bermoral tetapi melatih konsentrasi dan kebijaksanaan hanya dalam tingkat sekedarnya. Dengan hancurnya ketiga belenggu yang lebih rendah, orang ini adalah seorang yang mencapai dari keluarga-ke-keluarga yang, setelah mengembara di antara keluarga-keluarga baik dua atau tiga kali, ia akan akan mengakhiri penderitaan. Ini adalah orang ke delapan, yang meninggal dunia dengan sisa yang masih tertinggal, tetapi terbebas dari neraka, alam binatang, atau alam hantu menderita; terbebas dari alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah.
(9) “Kemudian, seseorang memenuhi perilaku bermoral tetapi melatih konsentrasi dan kebijaksanaan hanya dalam tingkat sekedarnya. Dengan hancurnya ketiga belenggu yang lebih rendah, orang ini adalah seorang yang mencapai maksimum tujuh kali yang, setelah mengembara di antara para deva dan manusia paling banyak tujuh kali, ia akan akan mengakhiri penderitaan. Ini adalah orang ke sembilan, yang meninggal dunia dengan sisa yang masih tertinggal, tetapi terbebas dari neraka, alam binatang, atau alam hantu menderita; terbebas dari alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah.
“Siapakah, Sāriputta, para pengembara sekte lain yang dungu dan tidak kompeten itu dan siapakah mereka yang mengetahui seorang dengan sisa yang tertinggal sebagai ‘seorang dengan sisa yang tertinggal’ dan seorang yang tanpa sisa yang tertinggal sebagai ‘seorang yang tanpa sisa yang tertinggal’?
“Sembilan orang ini, Sāriputta, yang meninggal dunia dengan sisa yang tertinggal, terbebas dari neraka, alam binatang, atau alam hantu menderita; terbebas dari alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah. Sāriputta, aku belum condong untuk memberikan pembabaran Dhamma ini kepada para bhikkhu, bhikkhunī, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan. Karena alasan apakah? Karena setelah mendengar pembabaran Dhamma ini, mereka mungkin akan menjadi lengah. [382] Akan tetapi, Aku menyampaikan pembabaran Dhamma ini dengan tujuan untuk menjawab pertanyaanmu.”<1858>