Tahukah anda bahwa kritikan tajam dan argumen yang diajukan oleh beberapa umat Buddhis sekte "T" pada Mahayana di zaman modern ini sebenarnya hanyalah mengulang sejarah masa lampau?
Kaum Hinayana di India pada masa lampu telah mengatakan bahwa Mahayana bukanlah ajaran Sang Buddha. Tetapi seperti yang pernah saya katakan beberapa waktu yang lalu, argumen kaum Hinayana tersebut disanggah dengan piawai oleh pendiri Svatantrika Madhyamika, yaitu YA Bhavaviveka (500–578 M), yang juga dikenal sebagai emanasi Amitabha Buddha.
Dalam bab keempat Tarkajvala, Bhavaviveka mengumpulkan argumen kaum Hinayana yang menyatakan bahwa Mahayana bukanlah berasal dari sabda Sang Buddha. Argumen kaum Hinayana yang dirangkum oleh Bhavaviveka adalah sebagai berikut:
1. Sutra-sutra Mahayana tidak termasuk dalam penulisan Tripitaka mula-mula
2. Karena Mahayana mengajarkan bahwa Tathagata itu abadi, maka bertentang dengan doktrin anitya [ketidakkekalan]
3. Karena Mahayana mengajarkan Tathagatagarbha itu mencakup semuanya, maka Mahayana tidak menanggalkan konsep atman
4. Karena Mahayana mengajarkan bahwa sang Buddha tidak mencapai Nirvana, maka ini menunjukkan bahwa Nirvana itu tidaklah damai
5. Sutra-sutra Mahayana mencakup ramalan di mana para Sravaka akan menjadi Buddha
6. Mahayana merendahkan Arhat
7. Mahayana memuja para Bodhisattva di atas Buddha
8. Mahayana menyimpangkan ajaran dengan mengatakan bahwa Sakyamuni adalah emanasi
9. Mahayana mengajarkan bahwa tindakan tidak membawa akibat
“Maka dari itu Sang Tathagata tidak mendirikan Mahayana; Mahayana dibuat oleh mereka yang bersifat iblis dengan tujuan untuk menipu mereka yang bodoh dan berpikiran buruk.”, demikian klaim para Hinayana.YA Bhavaviveka pun tidak tinggal diam. Bhavaviveka menyanggah segala klaim Hinayana tersebut sebagai sesuatu yang keliru.
Bhavaviveka berkata bahwa Hinayana dan Mahayana mempunyai persamaan pokok, di aman persamaan ini merupakan dasar ajaran Sang Buddha:
1. Empat Kebenaran Mulia
2. Marga [Delapan Ruas Jalan Mulia]
3. 37 Bodhipaksha Dharma
4. Kekuatan [bala] dari Buddha sama baik di Hinayana maupun Mahayana
Bhavaviveka juga berkata bahwa di kalangan Hinayana tersendiri, terjadi kontroversi akan keaslian Tripitaka.
Apabila kita lihat, argumen Bhavaviveka tersebut sangat masuk akal, mengingat karena:
1. Theravada dengan Dipavamsanya mengatakan bahwa Theravada adalah yang paling murni dan asli
2. Sarvastivada dengan Mahavibhasa mengatakan bahwa Sarvastivada adalah yang paling murni dan asli
3. Mahasanghika dengan Sariputrapariprccha mengatakan bahwa Mahasanghika adalah yang paling murni dan asli
Nah kalau begitu mana yang benar-benar murni / asli? Melihat bahwa ke-18 sekte saling ngotot-ngototan untuk membuktikan diri merekalah yang paling asli.
Lebih lanjut Bhavaviveka dalam Tarkajvala juga menyanggah klaim Hinayana dengan ofensif, yaitu dengan mengatakan bahwa Sutra-Sutra Mahayana memang bukan diperuntukkan untuk kaum Hinayana [Sravaka], tetapi untuk para Bodhisattva. Wajar saja kalau Hinayana tidak tahu.
Sebagai klimaks Bhavaviveka mengutip Simsapavana Sutra:
“Ananda, Dharma yang kumengerti tetapi tidak kuajarkan padamu lebih banyak daripada dedaunan di hutan pohon simsapa ini.”Di sana jelas bahwa Sang Buddha tidak mengajarkan semua Dharma pada kaum Sravaka. Yang tidak diajarkan pada kaum Sravaka itu, diajarkan sang Buddha pada para Bodhisattva.
Kisah hutan Simsapa ini juga disebutkan dalam Mahaparinirvana Sutra:
Kasyapa berkata pada sang Buddha: “O Bhagava! Ketika Sang Buddha berada di tepi sungai Gangga, di hutan Simsapavana, Pada waktu itu, sang Tathagata mengambil satu dahan pohon simsapa yang kecil dengan beberapa daun di batang tersebut dan berkata pada para bhiksu:
“Apakah daun yang berada di dalam genggaman tangan-Ku banyak atau semua daun dari rerumputan dan pepohonan di seluruh hutan banyak?”
Semua bhiksu menjawab: “O Bhagava! Dedaunan dari rerumputan dan pepohonan dari seluruh hutan sangat banyak dan tidak dapat dihitiung. Apa yang Tathagata pegang di tangan-Nya sangat sedikit dan tidak berharga untuk disebutkan.”
“O para bhiksu! Pengetahuan yang aku ketahui adalah seperti dedaunan dari rerumputan dan pepohonan di muka bumi; apa yang Aku berikan pada semua makhluk bagaikan daun dalam genggaman tangan-Ku.”
Sang Bhagava kemudian berkata: Hal-hal yang tidak terbatas yang diketahui oleh Tathagata adalah merupakan ajaran-Ku apabila mereka mencakup Empat Kebenaran Mulia. Jika tidak, maka akan ada 5 Kebenaran.”
………..
Bodhisattva Kasyapa berkata pada Buddha: “Jika semua hal tersebut berada dalam Empat kebenaran Mulia, mengapa Anda mengatakan bahwa mereka belum dibabarkan?”
Sang Buddha menjawab: “O pria yang berbudi! Meskipun mereka berada di dalam Empat kebenaran Mulia, kita tidak dapat mengatakan bahwa mereka telah dibabarkan. Mengapa tidak? O pria yang berbudi! Ada 2 macam kebijaksanaan berkaitan dengan pengetahuan Kebenaran Mulia. Yang pertama adalah tingkat menengah dan yang lainnya adalah tingkat superior. Apa yang dinamakan sebagai kebijaksanaan tingkat menengah adalah para Sravaka dan Pratyekabuddha; apa yang dimaksud sebagai tingkat superior adalah para Buddha dan Bodhisattva.
……….
“O pria yang berbudi! Semua fenomena adalah tidak kekal, semua fenomena yang terbentuk tidak mempunyai Diri. Nirvana adalah shunya. Ini adalah “Paramartha-satya”. Inilah yang harus kita ketahui. Ini adalah kebijaksanaan tingkat menengah. “Paramartha-satya”, harus kita ketahui, adalah tidak terbatas, tidak terikat dan tidak dapat dihitung. Itu berada di luar jangkauan pemahaman Sravaka dan Pratyekabuddha. Ini adalah kebijaksanaan tingkat superior. Aku belum pernah membabarkan hal tersebut dalam sutra-sutra.”Jadi berdasarkan kutipan di atas bahwa ada sesuatu yang tidak diajarkan Sang Buddha dalam sutra-sutra Hinayana, karena para Sravaka dan Pratyekabuddha tidak dapat memahami kebijaksanaan tingkat superior.
Yang dapat memahami kebijaksanaan tingkat superior adalah Buddha dan Bodhisattva. Maka dari itu Sang Buddha membabarkan tentang kebijaksanaan tingkat superior pada para Bodhisattva dan ini tercantum dalam Sutra-sutra Mahayana.
Lantas dengan demikian apakah ini berarti Mahayana merendahkan Hinayana?
Dalam Saddharmapundarika Sutra disebutkan:
“Seorang Bodhisattva … tidak memandang para Buddhis lainnya dengan jijik, bahkan mereka yang mengikuti jalan Hinayana juga tidak [dipandang demikian], [para Bodhisattva] juga tidak menyebabkan kaum Hinayana ragu dan menyesal dengan mengkritik metode pelatihan mereka maupun membuat pernyataan yang mengecilkan hati.”Bahkan di kalangan Vajrayana dikenal ikrar Bodhisattva, di mana seseorang berikrar untuk tidak merendahkan Hinayana.
The Siddha Wanderer