DALAM SEMANGAT CH’AN
(bagian I)
diterjemahkan dari:
IN THE SPIRIT of CH’AN
An Introduction to Ch'an Buddhism
by
Master Sheng-yen
Beberapa di antara anda mungkin pernah mendengar pepatah “Ch’an tidak dibangun di atas kata-kata dan bahasa” dan “Ch’an adalah sebuah penyampaian di luar ajaran-ajaran konvensional.” Tetapi seandainya Ch’an tidak bergantung pada kata-kata, mengapa seseorang perlu untuk membaca buku Ch’an? Bukankah itu suatu kontradiksi? Meskipun Ch’an tidak dibangun di atas kata-kata, Ch’an telah, di antara banyak sekte-sekte Buddhisme di China, meninggalkan paling banyak tulisan. Tujuan utama dari tulisan ini, bagaimanapun, adalah untuk menunjukkan atau mengajar anda bahwa “Ch’an tidak dibangun di atas kata-kata dan bahasa” dan “Ch’an adalah sebuah penyampaian di luar ajaran-ajaran konvensional.” Jadi terdapat alasan bagi anda untuk membaca buku semacam itu.
Kata “Ch’an” dapat berarti pencerahan, dan pencerahan dapat dipahami dalam arti menyadari “makna utama,” atau “kebenaran tertinggi.” Di dalam Ch’an, juga terdapat apa yang dinamakan “makna kedua,” atau “kebenaran konvensional.” Kebenaran konvensional dapat diungkapkan di dalam kata-kata dan konsep, namun kebenaran utama atau tertinggi, kebenaran Ch’an, tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Di dalam tradisi Ch’an, kebenaran tertinggi kadang-kadang disamakan dengan rembulan, dan kebenaran konvensional disamakan dengan jari yang menunjuk ke arah rembulan. Tak seorangpun yang akan salah mengira jari yang menunjuk rembulan. Kata-kata, bahasa, gagasan, dan konsep adalah seperti jari, dan hanya dapat mengungkapkan kebenaran konvensional. Kata-kata dan konsep-konsep ini hanya menunjuk kebenaran tertinggi. Kebenaran tertinggi dapat dinamakan pikiran, sifat asli, atau sifat-Buddha. Ini adalah sesuatu yang harus dialami setiap orang untuk dirinya sendiri. Sesuatu yang tak pernah dapat diuraikan dengan sepenuhnya.
Dari manakah Ch’an berasal? Menurut legenda Ch’an, rahib Bodhidharma membawa Ch’an dari India ke China pada sekitar tahun 500 Masehi, lebih dari seribu tahun setelah meninggalnya Buddha Shakyamuni. Namun sejarah India berisikan sedikit catatan mengenai periode sementara itu, sehingga kita mengetahui relatif sedikit tentang asal mula praktik Ch’an.
Kita mengetahui tentang kisah-kisah dan legenda-legenda yang menceritakan asal mula Ch’an. Yang paling terkenal adalah kisah tentang penyampaian Dharma kepada Mahakashyapa, salah satu murid utama Sang Buddha, yang menjadi Patriark Pertama di dalam silsilah Ch’an. Kisah itu adalah: pada suatu hari, pada waktu khotbah di Puncak Burung Nasar, Buddha Shakyamuni memegang setangkai bunga di tangannya di depan pertemuan dan tidak berbicara. Tampaknya tak seorangpun yang tahu isyarat ini menandakan apa, kecuali Mahakashyapa yang tersenyum. Sang Buddha berkata, “Harta benda Mata Dharma Sejati, Pikiran Menakjubkan akan Nirvana, hanya Mahakashyapa yang memahami.” Kejadian ini menandai permulaan dari silsilah Ch’an dan penyampaian guru ke murid yang berlangsung sampai saat ini. Kisah ini tidak dikenal dalam sejarah Buddhis hingga abad kesepuluh dinasti Sung. Namun kebenaran harfiah dari kisah itu tidak sepenting sebagaimana pesan yang dikandungnya tentang sifat C’h’an.
Buddha Shakyamuni mempunyai dua orang murid yang lain; yang satu sangat cerdas, dan yang satunya lagi benar-benar tumpul. Murid yang pertama, Ananda, memiliki pikiran yang sangat kuat dan daya ingat yang mengagumkan. Meskipun demikian ia tidak pernah mencapai pencerahan selama masa kehidupan Buddha Shakyamuni. Ananda mengira bahwa Sang Buddha akan menghadiahi kecerdasannya dengan pencerahan. Hal ini tidak pernah terjadi. Setelah Sang Buddha memasuki nirvana, Ananda berharap Mahakashyapa akan membantunya.
Setelah meninggalnya Sang Buddha, Mahakashyapa mencoba untuk menghimpun 500 murid-murid yang telah mencapai pencerahan agar bersama-sama mengumpulkan dan mencatat ajaran-ajaran Buddha. Ia hanya dapat menemukan 499. Beberapa murid yang lain menyarankan supaya ia mengundang Ananda, namun Mahakashyapa berkata bahwa Ananda belum mencapai pencerahan, dan oleh karena itu tidak memenuhi syarat untuk mengikuti pertemuan. Ia berkata bahwa ia akan lebih suka tidak ada pertemuan sama sekali daripada mengijinkan kehadiran Ananda.
Sebaliknya Ananda bersikeras. Tiga kali ia ditolak oleh Mahakashyapa. Ananda berkata, “Buddha telah memasuki nirvana. Sekarang kamu satu-satunya yang dapat membantu saya mencapai pencerahan!” Mahakashyapa berkata, “Saya sangat sibuk. Saya tak dapat membantu. Hanya kamu yang dapat membantu dirimu sendiri.” Akhirnya, Ananda menyadari bahwa ia harus bergantung pada usahanya sendiri jika ia berharap untuk mencapai pencerahan. Ia berjalan ke sebuah tempat sunyi dan terpencil. Ketika ia baru saja mau duduk, ia mencapai pencerahan! Menapa? Pada saat itu ia tidak bergantung pada seseorang dan menghilangkan semua kemelekatan-kemelekatannya.
Kisah yang lain menceritakan murid bodoh bernama Suddhipanthaka, atau Jalan Kecil. Kecuali Jalan Kecil, semua murid dapat mengingat ajaran Buddha. Jika ia mencoba untuk mengingat kata pertama dari sebuah frasa, ia lupa kata yang kedua, dan sebaliknya. Sang Buddha memberinya pekerjaan menyapu halaman, karena ia kelihatannya tidak cocok untuk mengerjakan sesuatu yang lain.
Setelah ia harus menyapu halaman untuk waktu yang sangat lama, Jalan Kecil bertanya, “Halaman itu telah bersih, tetapi apakah halaman-pikiran saya bersih?” Pada saat itu segala sesuatu berjatuhan dari pikirannya. Ia pergi menemui Sang Buddha, yang sangat puas dengan pencapaiannya dan menegaskan bahwa Jalan Kecil telah menjadi tercerahkan.
Kisah-kisah ini tercatat di dalam teks-teks awal sebagai kisah-kisah nyata, namun maknanya berjalan di luar konteks aslinya. Kisah yang pertama menjelaskan bahwa di dalam praktik, pengetahuan dan kecerdasan tidak selalu menjamin pencerahan, dan kisah yang kedua menunjukkan bahwa seorang yang lamban pun dapat mencapai pencerahan. Sekalipun Buddha Shakyamuni, Mahakashyapa, dan Shariputra adalah orang-orang dengan pengetahuan hebat, Ch’an harus cukup memakai sedikit pengetahuan daripada memiliki problem pikiran yang diisi dengan kemelekatan-kemelekatn. Pencerahan hanya dapat dicapai ketika pikiran seseorang terbebas dari kemelekatan.
Konon, dua puluh delapan generasi yang merupakan bagian dari penyampaian dimulai dari jaman Mahakashyapa hingga jaman Bodhidharma, yang dianggap sebagai Patriark Pertama Ch’an China. Ajaran-ajarannya telah disampaikan melalui sebuah garis tunggal selama lima generasi hingga jaman Patriark Keenam, Huineng (638-713), yang banyak murid-muridnya telah mendirikan banyak cabang, yang mana beberapa di antaranya tetap bertahan sampai hari ini. Saya generasi ke-62 pemegang silsilah Ch’an mulai dari Huineng, dan generasi ke-57 di dalam tradisi Linji (810-866). Di dalam silsilah Caodong, saya generasi ke-50 keturunan dari sesama pendiri, Master Dongshan (807-869).
Tidak tepat bahwa Ch’an Buddhisme dibawa oleh Boddhidharma dari India, kecuali Bodhidharma membawa pengertian-pengertian tertentu ke China, dan tradisi Ch’an berhubungan dengan hal-hal ini. Ia mengajarkan bahwa segala sesuatu datang dari pikiran, bahwa sifat dasar dari pikiran adalah sifat-Buddha, bahwa sifat-Buddha melekat di dalam setiap makhluk yang memiliki perasaan, dan metode yang paling mendasar untuk merealisasi sifat sejati ini adalah dengan melihat pikiran. Gagasan-gagasan ini menjadi kontroversial ketika pertama kali diperkenalkan di China, karena gagasan-gagasan itu tampaknya bertentangan dengan filosofi-filosofi yang lebih rumit dan praktik-praktik dari sekolah-sekolah Buddhis yang lain, meskipun gagasan-gagasan itu sebenarnya hanya dasar Buddhisme, yang mengupas esensinya.
Ada sebuah cerita terkenal seputar pencerahan murid Bodhidharma yang bernama Huike, yang menggambarkan sifat tulang-telanjang dari Ch’an Bodhidharma. Huike mendatangi Bodhidharma dan berkata, “Guru, dapatkah guru menenangkan pikiranku untukku?” Bodhidharma berkata, “Serahkan pikiranmu dan saya akan menenangkannya untukmu!” Huike mencarinya di dalam dan kemudian memberitahu Bodhidharma bahwa ia tidak dapat menemukan pikirannya. Bodhidharma kemudian berkata, “Di sana, telah saya tenangkan pikiranmu untukmu.” Inilah cerita mengenai pencerahan Huike. Bagi anda yang pernah retret dan menderita banyak rasa sakit di kaki anda karena meditasi duduk, tentu saja tidak perlu berbuat seperti itu. Sayangnya, anda tidak bertemu Bodhidharma.
Ada sebuah karya penting yang dianggap berasal dari Bodhidharma, yang dinamakan Dua Jalan Masuk dan Empat Latihan, di mana ia memerinci dengan sangat jelas apa yang harus dilakukan makhluk-makhluk berperasaan untuk menyadari sifat sejatinya. “Dua Jalan Masuk” adalah jalan masuk melalui prinsip dan jalan masuk melalui praktik. Jalan masuk melalui prinsip berarti melihat secara langsung prinsip pertama, atau sifat yang semula, tanpa bergantung kepada kata-kata, deskripsi-deskripsi, konsep-konsep, pengalaman, atau proses berpikir apa saja. Jalan masuk melalui praktik mengacu pada latihan pikiran setahap demi setahap.
Bodhidharma menguraikan jalan masuk melalui prinsip sebagai berikut: “Tinggalkan yang palsu, kembali ke yang sejati; tidak menciptakan perbedaan antara diri sendiri dan orang lain. Di dalam perenungan, pikiran seseorang harus kokoh dan tak bergerak, bagai tembok.” Uraian ini barangkali terdengar seperti langsung, jalan yang mudah untuk pencerahan, meskipun sebenarnya adalah jalan yang paling sulit. Jika kita membayangkan pencerahan Bodhidharma sendiri sebagai sebuah jalan masuk melalui praktik, maka kita pasti akan mengatakan bahwa pencerahan itu hanya datang setelah seumur hidup berlatih, yang mencapai puncaknya di dalam sembilan tahun meditasinya menghadap dinding di sebuah goa di Gunung Song. Sebenarnya, metode yang digunakan untuk melaksanakan jalan masuk melalui prinsip itu justru adalah frasa ini, “Pikiran seseorang harus kokoh dan tak bergerak, seperti tembok.” Pikiran yang kokoh dan tak bergerak bukan berarti bahwa pikiran itu kosong; sebaliknya, pikiran itu jernih dan waspada, yang menerangi segala sesuatu dengan kesadaran dan menanggapi dengan belas kasih. Inilah yang paling cocok, keadaan pikiran yang merujuk pada jalan masuk melalui prinsip.
Jalan masuk yang kedua untuk mencapai pencerahan adalah melalui praktik. Bodhidharma membahas empat metode spesifik: menerima keadilan karma, beradaptasi dengan kondisi, tidak mencari, dan menyatu dengan Dharma. Masing-masing praktik semakin lama semakin lebih maju, oleh karena itu empat metode spesifik tersebut harus diikuti secara teratur.
Menerima keadilan karma meliputi mengakui akibat-akibat karma dan Sebab dan Akibat. Karma adalah sebuah istilah Sansekerta yang secara harfiah diterjemahkan sebagai “perbuatan.” Ketika kita melaksanakan suatu perbuatan, kekuatan karma yang tersisa itu menimbulkan suatu akibat di masa yang akan datang, apakah di dalam kehidupan yang sekarang atau di dalam suatu masa depan. Akibat karma dari suatu perbuatan tertentu tidak terpasang untuk selama-lamanya, karena pelaksanaan yang terus-menerus dari perbuatan-perbuatan baru mengubah kekuatan karma dengan sesuai, tetapi bagaimanapun juga, terdapat suatu Sebab dan Akibat yang berhubungan, dan akibat itu akan menjadi serupa dengan sifat untuk sebab. Oleh karena itu, ketika menghadapi kemalangan, kita seharusnya mengerti bahwa kita sedang menerima keadilan karma dari perbuatan-perbuatan terdahulu di dalam kehidupan-kehidupan sebelumnya yang tak terhitung banyaknya. Bila kita membayar beberapa di antara hutang kita, kita seharusnya merasa bahagia bahwa kita mempunyai kemampuan untuk melakukan hal seperti itu. Jika kita memiliki pandangan seperti ini, maka ketika kemalangan muncul, kita akan menjadi tenang dan tanpa kejengkelan. Kita tidak akan menderita akibat perasaan-perasaan yang mengganggu, menjadi patah semangat atau depresi. Ini adalah sebuah latihan yang penting.
Karma, atau Sebab dan Akibat, harus dipahami dan dapat diterapkan bersama-sama dengan konsep Buddhis Sebab dan Kondisi. Sebab dan Kondisi menjelaskan kebenaran bahwa sesuatu terjadi dikarenakan banyak kondisi-kondisi yang muncul bersama-sama. Kita tidak dapat dan seharusnya tidak lari dari pertanggungjawaban-pertanggungjawaban kita dan keadilan yang disebabkan oleh karma kita. Sebaliknya kita harus berusaha untuk memperbaiki kondisi-kondisi dan karma kita. jika sesuatu dapat diperbaiki, kita harus berusaha untuk menjadikannya lebih baik. Jika sesuatu itu tak dapat diubah, maka kita harus menerimanya dengan ketenangan hati sebagai keadilan karma.
Antara prinsip Sebab dan Kondisi dengan Sebab dan Akibat dapat dengan mudah menyebabkan kebingungan. Sebenarnya, dua prinsip itu mempunyai hubungan yang erat sekali satu sama lain, dan sulit untuk berbicara tentang salah satu dari prinsip itu tanpa menyinggung yang lain. Dari sudut pandang Sebab dan Akibat, kita dapat mengatakan bahwa kejadian awal adalah Sebab dan kejadian yang belakangan adalah Akibat. Satu kejadian menimbulkan kejadian berikutnya. Sebuah sebab, bagaimanapun, tak dapat menimbulkan suatu akibat secara otomatis. Sesuatu yang lain harus terdapat, harus muncul bersama-sama dengan sebab, untuk menimbulkan suatu akibat. Kejadian-kejadian dan faktor-faktor yang muncul bersama-sama ini yang dirujuk sebagai Sebab dan Kondisi. Seorang laki-laki dan seorang wanita bersama-sama tidak secara otomatis menimbulkan anak. Faktor-faktor yang lain harus muncul bersama-sama agar Sebab (orang tua) menimbulkan akibat (anak). Orang tua, anak, dan faktor-faktor lain yang semuanya terlibat dianggap Sebab dan Kondisi.
Selain itu, kondisi (salah satu dharma) yang silang-menyilang dengan suatu sebab (dharma yang lain) harus memiliki penyebabnya sendiri oleh sesuatu yang lain, dan seterusnya dan seterusnya, dengan tak terbatas dalam semua arah sepanjang ruang dan waktu. Semua fenomena muncul dikarenakan sebab-sebab dan kondisi-kondisi. Fenomena apa saja yang muncul dengan sendirinya adalah suatu akibat dari suatu sebab sebelumnya dan muncul dikarenakan muncul bersama-sama Sebab dan Kondisi. Hal ini menimbulkan konsep kemunculan yang berkondisi, juga dikenal sebagai asal mula yang bergantungan, yang berarti bahwa segala fenomena, atau dharma, tidak menjadi masalah kapan atau di mana mereka ditemukan, adalah saling berhubungan satu sama lain.
Karena semua dharma adalah akibat dari Sebab dan Kondisi, maka kemunculannya menjadi berkondisi. Hal ini mencakup bukan hanya kemunculan dan penampakannya, akan tetapi juga kemusnahan dan kelenyapannya. Seseorang yang dilahirkan adalah sebuah fenomena, dan seseorang yang meninggal adalah sebuah fenomena; sebuah gelembung yang terbentuk adalah sebuah fenomena, dan sebuah gelembung yang meledak adalah sebuah fenomena; buah pikir yang muncul adalah sebuah fenomena, dan buah pikir yang lenyap adalah sebuah fenomena. Semua dharma muncul dan musnah dikarenakan Sebab dan Kondisi.
Mari kita buat suatu perbedaan antara dharma dan Dharma. Dharma dengan huruf kecil “d” mengacu pada fenomena apa saja. Dharma dengan huruf besar “D” mengacu pada Buddhadharma, atau ajaran Buddha, metode berlatih, prinsip dan konsep yang mendasari praktik. Tapi perlu diingat, ajaran Buddha dan metode-metode praktik pun adalah fenomena itu sendiri, atau dharma.
Praktik yang kedua dari keempat praktik yang dianjurkan oleh Bodhidharma adalah “beradaptasi dengan kondisi.” Praktik ini juga membutuhkan suatu pemahaman mengenai Sebab dan Kondisi. Beradaptasi dengan kondisi artinya bahwa kita harus berusaha sebaik mungkin di dalam lingkungan kita yang membatasi. Jika keadaan kita menguntungkan untuk terjadinya sesuatu yang baik pada kita, kita seharusnya tidak menjadi terlalu gembira. Nasib baik, sebagaimana nasib buruk, adalah hasil dari keadilan karma. Mengapa kita harus merasa bergembira bila kita hanya menikmati buah dari kerja kita? Ini seperti menarik kembali uang dari rekening bank kita sendiri. Begitu juga, kita seharusnya tidak menjadi terlalu bangga, karena nasib baik, sebagaimana nasib buruk, adalah hasil dari banyak Sebab dan Kondisi yang muncul secara bersamaan. Bagaimana kita dapat mengumpulkan kredit untuk pencapaian-pencapaian kita, bila pencapaian-pencapaian itu terlalu banyak bergantung pada niat baik orang lain, pada pengorbanan-pengorbanan orang tua kita, pada keadaan-keadaan masa lalu? Praktik beradaptasi dengan kondisi artinya bahwa anda harus menerima karma anda, atau Sebab dan Akibat, tanpa menjadi terlalu gembira, puas diri, atau kecewa.
Menerima keadilan karma dan beradaptasi dengan kondisi adalah praktik yang sangat berguna di dalam kehidupan sehari-hari. Kedua hal ini memberikan kita kesempatan untuk memperbaiki kondisi-kondisi dan karma, serta memelihara suatu sikap positif terhadap kehidupan. Kedua hal ini membantu kita mendapatkan ketenangan hati dalam menghadapi perubahan keadaan, memperbaiki tingkah laku kita, dan menjaga keharmonisan hubungan-hubungan kita. Ajaran-ajaran Bodhidharma ini tidak sulit untuk dimengerti, dan setiap orang biasa dapat memanfaatkannya. Jika kita mampu menerapkannya dalam keadaan sehari-hari, kita akan memenuhi tanggung jawab-tanggung jawab kita, dan akan menjadikannya kesempatan-kesempatan terbaik kita. Dengan cara seperti ini, hidup akan menjadi lebih penuh arti.
Praktik yang ketiga dari keempat praktik Bodhidharma adalah praktik “tidak mencari.” Ada sebuah peribahasa China yang berbunyi: “orang-orang membesarkan anak untuk menopang mereka di usia tua, dan orang-orang mengumpulkan makanan dalam keadaan kelaparan.” Dewasa ini, orang-orang di Barat barangkali tidak membesarkan anak hanya untuk menopang mereka di usia tua, tapi kemungkinan besar orang masih mengumpulkan makanan, atau kekayaan, dalam keadaan menderita. Sikap ini bukan sikap tidak mencari. Di dalam praktik tidak mencari, kita terus-menerus, dengan tekun terlibat di dalam kegiatan yang bermanfaat, namun kita harus tidak berpikir bahwa kegiatan ini adalah untuk keuntungan pribadi kita, sekarang atau di masa yang akan datang. Kita tidak mencari keuntungan-keuntungan pribadi. Ini tidak mudah, dan ini adalah tingkat praktik yang lebih tinggi dibandingkan praktik yang kedua. Sebenarnya, agar dengan sepenuhnya menghindari kegiatan egosentris, kita harus menempuh langkah sulit untuk merealisasi bahwa diri itu tidak eksis.
Apa yang biasanya kita anggap sebagai diri adalah sebuah ilusi. Tidak terdapat satu diri pun di dalam diri itu sendiri, kecuali sebuah nama yang kita berikan untuk kesinambungan interaksi kita dengan lingkungan. Kita tak henti-hentinya melihat, mendengar, mencium, merasakan, menyentuh, dan berpikir, dan ini adalah rangkaian dari sensasi-sensasi, persepsi-persepsi, penilaian-penilaian, dan buah pikir demi buah pikir, yang kita samakan sebagai diri.
Dengan mengatakan bahwa diri adalah sebuah ilusi, bagaimanapun, bukan untuk mengatakan bahwa diri adalah sebuah halusinasi. Diri bukan sebuah khayalan. Kita mengatakan bahwa diri adalah khayal, karena diri bukan suatu keberadaan yang tetap, tapi sebaliknya, sebuah rangkaian dari kejadian-kejadian yang terus-menerus berubah dalam menanggapi suatu keadaan yang tak henti-hentinya berubah. Diri bukan sesuatu
yang tetap serupa, dan seperti yang telah diketahui, kita mengatakah bahwa diri adalah sebuah ilusi. Untuk alasan yang sama, semua fenomena dianggap sebagai ilusi; yakni, semua fenomena adalah bukan-diri. Segala sesuatu berubah dari waktu ke waktu, berkembang secara perlahan-lahan dan mengubah bentuk ke dalam sesuatu yang lain. Diri, karena itu, adalah suatu keberadaan palsu yang tanpa henti-hentinya saling mempengaruhi dengan suatu keadaan sekeliling yang palsu.
Girinala