Kisah dari salah satu peristiwa ketika Bodhisatta metteya beriita-cita dan ketika kesempurnaan yang tertinggi darinya digambarkan terdapat dalam Teks Pali yang dituliskan setelah penyusunan Kanon. [30] Kisah cita-cita Bodhisatta Metteya diceritakan kepada siswa utama Yang Mulia Sariputta ketika ia sedang berdiam di dekat Savatthi di Pubbarama, vihara yang dipersembahkan oleh seorang umat awam perempuan bernama Visakha.
Dulu sekali, Bodhisatta Metteya adalah seorang Raja Pemutar Roda bernama Sankha di kota Indapatta di negeri Kuru. Kota besar ini menyerupai kota para Deva. Para Raja Pemutar Roda memerintah seluruh dunia dan memiliki tujuh pusaka: sebuah roda agung, seekor gajah, kuda, permata, istri, perumah tangga, dan penasihat. Sankha menetap di sebuah istana bertingkat tujuh yang terbuat dari tujuh jenis permata. Istana ini muncul dari tanah berkat kekuatan jasanya. Sankha memimpin orang-orang lain untuk mengikuti Sang Jalan yang menuju kelahiran kembali di alam kehidupan yang lebih tinggi, dan ia memberikan keadilan yang tidak memihak.
Setelah Sankha menjadi seorang Raja Pemutar Roda, muncullah Sang Buddha Sirimata. Ada suatu pengumuman kemunculan Buddha seribu tahun sebelum kelahiran seorang Bodhisatta dalam kehidupan terakhirnya, [31] para Brahma dari Alam Murni (Suddhavasa) berkeliling dunia manusia dan mengumumkan: “Seribu tahun sejak sekarang, seorang Buddha akan muncul di dunia ini.” Raja Sankha pasti telah mendengar pengumuman ini, karena suatu hari, ketika ia duduk di singgasana emasnya di bawah payung putih, ia berkata, “Dulu ada pengumuman bahwa seorang Buddha akan dilahirkan. Aku akan menyerahkan istana Raja Pemutar Roda ini kepada siapa pun yang mengetahui tentang Tiga Permata, kepada siapa pun yang menunjukkan kepadaku permata Buddha, Dhamma, dan Sangha, serta pengajaranNya. Aku akan pergi menemui Buddha Yang Tertinggi.”
Pada waktu itu Buddha Sirimata sedang menetap hanya enam belas liga dari ibu kota Sankha. Di antara para samanera dalam Sangha, terdapat seorang anak yang berasal dari keluarga miskin. Ibunya adalah seorang budak, maka si samanera pergi ke kota untuk mencari uang untuk membebaskan ibunya. Ketika orang-orang melihatnya, mereka menganggap bahwa ia adalah Yakkha, atau raksasa, jadi mereka melemparnya dengan tongkat kayu. Karena ketakutan, ia mendatangi istana dan berdiri di hadapan sang raja. “Siapakah engkau, anak muda?” Raja bertanya. “Aku disebut samanera, O Baginda,” samanera itu menjawab.
“Mengapa engkau menyebut dirimu samanera?”
“Karena, O Baginda, aku tidak melakukan kejahatan, aku memiliki perilaku bermoral, dan demikianlah aku menjalani kehidupan suci. Oleh karena itu aku disebut sebagai samanera.”
“Siapakah yang memberikan nama itu kepadamu?”
“Guruku, O Baginda.”
“Disebut apakah gurumu itu, anak muda?”
“Guruku disebut seorang bhikkhu, O Baginda.”
“Siapakah yang memberikan nama ‘bhikkhu’ kepada gurumu, anak muda?”
“O Baginda, nama guruku diberikan oleh permata tak ternilai Sangha.”
Dengan penuh kegembiraan, Raja Sankha bangkit dari singgasananya dan bersujud di kaki si samanera. Dan ia bertanya, “Siapakah yang memberikan nama pada Sangha?” “O Baginda, Buddha Sirimata mulia yang tertinggi yang memberikan nama kepada Sangha.”
Mendengar kata “Buddha,” yang sangat sulit didengar dalam kurun waktu ratusan ribu kappa, Raja Sankha pingsan karena gembira. Ketika ia tersadar kembali, ia bertanya, “Yang Mulia, di manakah Buddha Sirimata mulia yang tertinggi menetap saat ini?”
Dan si samanera memberitahukan kepadanya bahwa Sang Buddha sedang menetap di sebuah vihara bernaam Pubbarama, enam belas liga jauhnya. Raja Sankha menyerahkan kekuasaan Raja Pemutar Roda kepada si samanera. Ia melepaskan kerajaannya dan sejumlah besar sanak saudaranya. Penuh kegembiraan dengan pikiran akan bertemu dengan Sang Buddha, ia berjalan kea rah utara menuju Pubbarama. Pada hari pertama, telapak kakinya yang sangat halus pecah karena terbiasa dalam kemewahan. Pada hari ke dua, kakinya mulai berdarah. Ia tidak mampu berjalan pada hari ke tiga, jadi ia melanjutkan dengan merangkak. Pada hari ke empat, tangan dan kakinya berdarah, jadi ia bertekad untuk melanjutkan perjalanan dengan merayap. Kegembiraan yang muncul dari kemungkinan bertemu dengan Sang Buddha mampu membuatnya mengatasi penderitaan dan kesakitan hebat itu.
Buddha Sirimata memeriksa dunia ini dengan pengetahuan kemahatahuannya dan melihat kekuatan usaha (viriya-bala) dari Sang Raja, Sang Buddha berpikir, “Raja Pemutar Roda Sankha ini pasti adalah benih, sebuah tunas Buddha (Buddankura-bijo). Ia mengalami kesakitan hebat demi Aku. Sungguh, Aku harus menemuinya.” Dengan kekuatan batinNya, Sang Buddha menyembunyikan kemegahannya dan menyamar sebagai seorang pemuda yang mengendarai kereta. Beliau mendatangi Sankha dan menghalangi jalannya untuk menguji kekuatan usahanya.
“Engkau yang di sana!” Buddha Sirimata berkata kepada Raja Sankha, “kembalilah dengan merayap! Aku akan melewati jalan ini dengan keretaku.” Tetapi Raja Sankha menolak, dan berkata bahwa ia sedang dalam perjalanannya menemui Sang Buddha. Sang Buddha yang sedang menyamar itu mengundang raja untuk menaiki keretanya, dan berkata bahwa ia juga menuju ke sana. Dalam perjalanan itu, seorang gadis deva bernama Sujata turun dari alam surga Tavatimsa, dan menyamar sebagai seorang gadis, ia mempersembahkan makanan. Sang Buddha memberikannya kepada Sankha. Kemudian Sakka, menyamar menjadi seorang pemuda, turun dari alam surga Tavatimsa dan memberikan air. Sebagai akibat dari makanan dan minuman surgawi ini, semua luka Raja Sankha lenyap.
Ketika mereka tiba di Pubbarama, Sang Buddha duduk di atas tempat duduknya di dalam vihara, kembali pada wujud aslinya dengan cahaya enam warna yang bersinar. Ketika sang raja masuk dan melihat Sang Buddha, sekali lagi ia pingsan. Tidak lama kemudian, ia sadar kembali, mendatangi Sang Buddha, dan memberi hormat.
“Yang Mulia,” ia memohon, “penjaga dunia, pelindung dunia, ajarkanlah kepadaku (inti) ajaran yang dapat menenangkanku ketika aku mendengarnya.” “Baiklah,” Sang Buddha berkata, “dengarkanlah.” Sang Buddha menjelaskan Doktrin Nibbana dan mengajarkan kepada sang raja khotbah yang berhubungan dengan Nibbana. Hal ini membangkitkan penghormatan pada Ajaran dalam diri raja, tetapi setelah mendengarkan hanya sedikit dari khotbah itu, ia memohon kepada Sang Buddha, “Mohon hentikan, Sang Bhagava. Jangan mengajarkan aku lagi.” Ia mengatakan hal ini karena ia berpikir bahwa ia tidak memiliki pemberian yang layak bagi apa yang diajarkan oleh Sang Buddha jika ia mendengarkan lebih banyak lagi.
“Sesungguhnya, Yang Mulia,” raja berkata, “dari semua doktrin yang diajarkan, Sang Bhagava telah menunjukkan Nibbana, yang merupakan ajaran tertinggi. Jadi, dari semua bagian tubuhku ini, aku akan memberi hormat pada ajaranMu ini dengan kepalaku.” Ia mulai memotong lehernya dengan kukunya dan berkata, “Yang Mulia Buddha Sirimata, Engkau pergi [32] ke Nibbana terlebih dulu; dengan pemberian kepalaku ini, aku akan pergi ke Nibbana kelak. Setelah mengatakan beberapa kata ini, Aku bersujud kepada doktrin Nibbana. Sekarang, semoga ini menjadi alat untuk (mencapai) Kemahatahuan.” Dan setelah mengatakan ini, ia selesai memotong kepalanya dengan kukunya.
Karakteristik yang menonjol dari Raja Sankha adalah kegigihannya yang besar (viriya). Hal ini ditunjukkan dengan cara bagaimana ia mengatasi kesulitan dalam usahanya menemui Buddha Sirimata. Usahanya begitu besar, Sang Buddha menaydari bahwa ia adalah seorang Bodhisatta besar. Kesempurnaan lainnya juga digambarkan dalam kisah ini. Ia melepaskan posisinya sebagai Raja Pemutar Roda. Bahkan sebelum mendengarkan ajaran Sang Buddha, ia telah menjadi teladan dalam menjalani kehidupan bermoral yang mengarah menuju kelahiran kembali yang lebih tinggi. Sebagai seorang raja, ia menunjukkan kebijaksanaan, kesabaran, kejujuran, cinta kasih, dan keseimbangan. Begitu ia mendengar dari Sang Buddha, ia meninggalkan kerajaan dan keluarganya, melepaskan posisi tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia. Dan tekad kuat yang bekerja bersama-sama dengan kegigihannya.
Perbuatan terakhir dari Raja Sankha adalah memberikan kepalanya kepada Sang Buddha. Hal ini sepertinya aneh, tetapi dijelaskan dalam Teks dengan fakta bahwa Sang Buddha telah mengajarkan kepadanya suatu aspek Ajaran tentang Nibbana, tujuan tertinggi. Raja Sankha tidak memiliki pemberian lain yang layak untuk Nibbana, maka ia bertekad untuk mempersembahkan kepalanya. Dalam Komentar Pali, [33] dikatakan bahwa hanya dengan memberikan organ tubuh atau nyawa mereka akan membuat para Bodhisatta besar menjadi mulia ketika mereka memberi. Kegembiraan yang muncul ketika mereka memberikan pemberian demikian dan mereka tidak mengalami pertentangan batin. Jadi kita dapat melihat bahwa pemberian demikian adalah di luar jangkauan orang-orang biasa, dan kita tidak perlu merasa bahwa kita harus melakukan pengorbanan demikian.
Pada masa Buddha Gotama, Bodhisatta Agung yang akan menjadi Buddha berikutnya adalah seorang bhikkhu bernama Ajita. [34] Menurut komentar Anagatavamsa, Ajita adalah putera Raja Ajatasattu dan Ratu Kancanadevi. [35] Pangeran Ajita memiliki lima ratus orang pelayan, dan ketika ia berusia enam belas tahun, raja memintanya untuk mewariskan warisan Buddha. Sang Pangeran setuju, maka sang raja membawanya ke vihara Veluvana dalam kemegahan dan keagungan besar bersama dengan kelima ratus pelayannya. Pangeran Ajita ditahbiskan menjadi seorang samanera, dank arena ketenangan, dan kebijaksanaannya ia sangat dihormati. Kelak ia ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Sang Buddha membawanya ketika ia pergi dari Rajagaha menuju Kapilavatthu untuk menetap di vihara Nigrodharama.
Ketika mereka menetap di vihara itu, Maha-Pajapati-Gotami berkunjung pada suatu hari dengan membawa dua helai kain yang dipersembahkan kepada Sang Buddha untuk digunakan sebagai jubah. Ia menanam benih kapas itu sendiri dan melakukan segala pekerjaan yang diperlukan hingga sampai pada waktu jubah itu siap. Kisah persembahan kain ini terdapat dalam Majjhima Nikaya. [26] Di sana, Sang Buddha menolak menerima jubah yang dipersembahkan oleh Maha=Pajapati-Gotami itu sebanyak tiga kali dan menyarankan agar mempersembahkannya kepada Sangha dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya. Yang Mulia Ananda mendekati Sang Buddha, menyarankan agar Beliau menerima kain itu. Sang Buddha kemudian membabarkan khotbah tentang analisis persembahan.
Tidak ada penjelasan lain yang diberikan dalam Kanon pali atau komentar oleh Ashin Buddhaghosa. Dalam komentar Anagatavamsa, dikatakan bahwa Sang Buddha menerima satu jubah untuk diriNya sendiri dan menginstruksikan ibu tirinya agar mempersembahkan yang ke dua kepada Sangha. Tetapi tidak ada satu pun di antara delapan puluh siswa besar yang maju untuk menerima jubah itu. Akhirnya, Yang Mulia Ajita berpikir bahwa Sang Buddha telah memberitahukan kepada ibu tirinya untuk memberikan jubah kepada Sangha demi manfaat baginya, maka ia dengan berani bangkit bagaikan seekor raja singa di tengah-tengah Sangha dan menerima jubah itu. Terdapat kekecewaan dan banyak pembicaraan tentang bagaimana seorang bhikkhu yang tidak terkenal dapat menerima jubah sementara tidak ada satu pun dari para siswa besar yang menerimanya. Menyadari situasi tersebut dan untuk melenyapkan keragu-raguan, Sang Buddha berkata, “Jangan katakana bahwa bhikkhu ini adalah seorang bhikkhu biasa. Ia adalah seorang Bodhisatta yang akan menjadi Buddha Metteya di masa depan.” Kemudian Sang Buddha mengambil mangkuk yang dipersembahkan kepada Beliau tidak lama setelah beliau mencapai penerangan sempurna oleh empat raja deva dan melemparkannya ke angkasa. Tidak satu pun dari delapan puluh siswa besar yang mampu mengambilnya. Yang Mulia Ajita memahami bahwa Sang Buddha bermaksud agar ia menunjukkan kekuatan batinnya, maka ia mengambil kembali mangkuk itu. Kemudian Yang Mulia Ajita mengambil kain yang telah ia terima dan memasangkannya di Kamar Harum Sang Buddha sebagai kanopi di bawah atap, bercita-cita bahwa perbuatan kedermawanan ini dapat menghasilkan baginya kanopi yang terbuat dari tujuh permata dan tirai terbuat dari emas, perak, koral, dan mutiara berukuran dua belas liga saat ia menjadi Buddha. [37] Sang Buddha tersenyum melihat hal ini dan Yang Mulia Ananda bertanya mengapa Beliau tersenyum. Sang Buddha menjawab, “Ananda, Bhikkhu Ajita ini akan menjadi Buddha Ari Metteya pada kappa yang penuh keberuntungan ini.” Kemudian Beliau berdiam diri, menikmati buah Kearahatan. Siswa Utama pertama, Yang Mulia Sariputta, yang mengetahui bahwa para bhikkhu yang berkumpul ingin mendengar lebih banyak informasi, memohon agar Sang Bulsxddha membabarkan khotbah tentang Buddha mendatang. Dan Sang Buddha membabarkan kisah ini dalam Anagatavamsa.
Ramalan sehubungan dengan Metteya terdapat dalam Kanon Pali, [38] tetapi penjelasan sehubungan dengan Buddha mendatang diberikan dalam khotbah terpisah. Dasavatthu melanjutkan dengan mengatakan bahwa sejak saat ramalan pasti, Sang Bodhisatta mengajarkan sejumlah besar bhikkhu, menjelaskan keseluruhan Kanon dan membantu mereka meningkatkan pandangan terang dan mencapai pengetahuan penyesuaian kesabaran. Di akhir kehidupan itu, ia terlahir kembali di alam Deva. Tetapi terdapat rujukan pada paling sedikit satu kehidupan di alam manusia lainnya karena ia harus menjalani kehidupan di mana ia bermurah hati seperti halnya Bodhisatta Vessantara. [39] Setelah kehidupan itu, ia akan terlahir kembali di alam Deva Tusita, di mana semua Bodhisatta Agung berdiam sebelum kelahiran terakhir mereka. Menurut Culavamsa, Sang Bodhisatta akan menjalani kehidupan lainnya sebagai manusia. [40]