//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama  (Read 52048 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #60 on: 25 July 2010, 06:51:45 PM »
48  Kosambiya Sutta
Orang-Orang Kosambi

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambī di Taman Ghosita.

 2. Pada saat itu para bhikkhu di Kosambī bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan. Mereka tidak dapat saling meyakinkan atau diyakinkan oleh yang lain; mereka juga tidak dapat saling membujuk atau dibujuk oleh yang lain.

3. Kemudian [321] seorang bhikkhu menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Beliau  tentang apa yang sedang terjadi.

4. Kemudian Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu sebagai berikut: “Pergilah, bhikkhu, katakan kepada para bhikkhu itu atas namaKu bahwa Sang Guru memanggil mereka.” – “Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan mendatangi para bhikkhu itu dan memberitahu mereka: “Sang Guru memanggil para mulia.”

“Baik, teman,” mereka menjawab, dan mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā bertanya kepada mereka: “Para bhikkhu, benarkah bahwa kalian telah bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan. Bahwa kalian tidak dapat saling meyakinkan atau diyakinkan oleh yang lain; bahwa kalian tidak dapat saling membujuk atau dibujuk oleh yang lain?”

“Benar, Yang Mulia.”

5. “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Ketika kalian bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan, apakah pada saat itu kalian memelihara perbuatan cinta kasih melalui jasmani, ucapan, dan pikiran secara terbuka dan secara pribadi terhadap teman-temanmu dalam kehidupan suci?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Demikianlah, para bhikkhu, ketika kalian bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan, maka pada saat itu kalian tidak memelihara perbuatan cinta kasih melalui jasmani, ucapan, dan pikiran secara terbuka dan secara pribadi terhadap teman-temanmu dalam kehidupan suci. Orang-orang sesat, apakah yang mungkin dapat kalian ketahui, apakah yang dapat kalian lihat, sehingga kalian bertengkar dan bercekcok dan berselisih, [322] saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan? Sehingga kalian tidak dapat saling meyakinkan atau diyakinkan oleh yang lain, sehingga kalian tidak dapat saling membujuk atau dibujuk oleh yang lain? Orang-orang sesat, hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaan kalian untuk waktu yang lama.”

6. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, terdapat enam prinsip kerukunan  yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan. Apakah enam ini?

“Di sini seorang bhikkhu memelihara perbuatan jasmani cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan ucapan cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan pikiran cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu menggunakan benda-benda bersama-sama dengan teman-teman baiknya dalam kehidupan suci; tanpa merasa keberatan, ia berbagi dengan mereka apapun jenis perolehan yang ia peroleh yang sesuai dengan Dhamma dan telah diperoleh dengan cara yang sesuai dengan Dhamma, bahkan termasuk isi mangkuknya. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal moralitas yang tidak rusak, tidak robek, tidak berbintik, tidak bercoreng, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak disalah-pahami, dan mendukung konsentrasi. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan.  Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

“Ini adalah enam prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

7. “Di antara prinsip-prinsip kerukunan ini, yang tertinggi, yang paling mendekatkan, yang paling menyatukan adalah pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan ini. Seperti halnya yang tertinggi, yang paling mendekatkan, yang paling menyatukan dari sebuah bangunan berkubah adalah kubahnya itu sendiri, demikian pula, [323] Di antara enam prinsip kerukunan ini, yang tertinggi … adalah pandangan yang mulia dan membebaskan …

8. “Dan apakah pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan ini?

“Di sini seorang bhikkhu, pergi ke hutan, atau ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, merenungkan sebagai berikut: ‘Adakah gangguan apapun yang belum ditinggalkan dalam diriku yang dapat mengganggu pikiranku sehingga aku tidak dapat mengetahui atau melihat segala sesuatu sebagaimana adanya?’ Jika seorang bhikkhu terganggu oleh nafsu indria, maka pikirannya terganggu. Jika ia terganggu oleh niat buruk, maka pikirannya terganggu. Jika ia terganggu oleh kelambanan dan ketumpulan, maka pikirannya terganggu. Jika ia terganggu oleh kegelisahan dan penyesalan, maka pikirannya terganggu. Jika ia terganggu oleh keragu-raguan, maka pikirannya terganggu. Jika seorang bhikkhu tenggelam dalam spekulasi sehubungan dengan dunia ini, maka pikirannya terganggu. Jika seorang bhikkhu tenggelam dalam spekulasi sehubungan dengan dunia lain, maka pikirannya terganggu. Jika seorang bhikkhu terlibat dalam pertengkaran, percekcokan, dan perselisihan, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan, maka pikirannya terganggu.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Tidak ada gangguan yang belum ditinggalkan dalam diriku yang dapat mengganggu pikiranku sehingga aku tidak dapat mengetahui atau melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Pikiranku siap untuk menembus kebenaran-kebenaran.’  Ini adalah pengetahuan pertama yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

9. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Ketika aku mengejar, mengembangkan, dan melatih pandangan ini, apakah aku memperoleh ketenangan internal, apakah aku secara pribadi memperoleh kepadaman?’

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Ketika aku mengejar, mengembangkan, dan melatih pandangan ini, aku secara pribadi memperoleh ketenangan, aku secara pribadi memperoleh kepadaman.’ Ini adalah pengetahuan ke dua yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

10. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Adakah petapa atau brahmana lain di luar [Pengajaran Buddha] yang memiliki pandangan seperti yang kumiliki?’

“ia memahami sebagai berikut: ‘Tidak ada petapa atau brahmana lain di luar [Pengajaran Buddha] yang memiliki pandangan [324] seperti yang kumiliki.’ Ini adalah pengetahuan ke tiga yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

11. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki karakter  dari seorang yang berpandangan benar?’ apakah karakter dari seorang yang berpandangan benar? Ini adalah karakter dari seorang yang berpandangan benar: walaupun ia mungkin melakukan beberapa jenis pelanggaran yang karenanya suatu cara rehabilitasi telah ditentukan,  begitu ia mengaku, mengungkapkan, dan memberitahukan pelanggaran itu kepada guru atau kepada teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci, dan setelah melakukan hal itu, ia memasuki pengendalian di masa depan. Seperti halnya, seorang bayi muda dan lembut yang sedang berbaring telungkup seketika mundur ketika ia meletakkan tangan atau kakinya pada bara api menyala, demikian pula karakter seseorang yang berpandangan benar.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki karakter dari seorang yang berpandangan benar.’ Ini adalah pengetahuan ke empat yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

12. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki karakter dari seorang yang berpandangan benar?’ apakah karakter dari seorang yang berpandangan benar? Ini adalah karakter dari seorang yang berpandangan benar: walaupun ia mungkin aktif dalam berbagai urusan menyangkut teman-temannya dalam kehidupan suci, namun ia memiliki perhatian kuat pada latihan moralitas yang lebih tinggi, latihan pikiran yang lebih tinggi, dan latihan kebijaksanaan yang lebih tinggi. Seperti halnya seekor sapi dengan anaknya yang baru lahir, sambil merumput sapi itu juga mengawasi anaknya, demikian pula, itu adalah karakter dari seorang yang berpandangan benar.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki karakter dari seorang yang berpandangan benar.’ Ini adalah pengetahuan ke lima yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

13. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki kekuatan dari seorang yang berpandangan benar?’ apakah kekuatan dari seorang yang berpandangan benar? Ini adalah kekuatan dari seorang yang berpandangan benar: ketika Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, ia menyimaknya, memperhatikannya, menekuninya dengan segenap pikirannya, mendengarkan Dhamma dengan sungguh-sungguh.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki kekuatan dari seorang yang berpandangan benar.’ Ini adalah pengetahuan ke enam yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa. [325]

14. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki kekuatan dari seorang yang berpandangan benar?’ apakah kekuatan dari seorang yang berpandangan benar? Ini adalah kekuatan dari seorang yang berpandangan benar: ketika Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, ia memperoleh inspirasi dalam maknanya, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan sehubungan dengan Dhamma.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki kekuatan dari seorang yang berpandangan benar.’ Ini adalah pengetahuan ke tujuh yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

15. “Jika seorang siswa mulia memiliki tujuh faktor ini, maka ia telah dengan baik menemukan karakter bagi pencapaian buah memasuki-arus. “Jika seorang siswa mulia memiliki tujuh faktor ini, maka ia memiliki buah memasuki-arus.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:38:50 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #61 on: 25 July 2010, 06:53:00 PM »
49  Brahmanimantanika Sutta
Undangan Brahmā

[326] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, pada suatu ketika Aku sedang menetap di Ukkaṭṭhā di Hutan Subhaga di bawah pohon sāla besar.  Pada saat itu suatu pandangan sesat telah muncul pada Brahmā Baka sebagai berikut: ‘Ini kekal, ini bertahan selamanya, ini abadi, ini adalah keseluruhan, ini tidak tunduk pada kematian; karena ini adalah di mana seseorang tidak terlahir atau menua atau mati atau meninggal dunia juga tidak muncul kembali, dan di luar ini tidak ada jalan membebaskan diri.’

3. “Dengan pikiranKu Aku mengetahui pikiran Brahmā Baka, maka secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Aku lenyap dari bawah pohon sāla besar di Hutan Subhaga di Ukkaṭṭhā dan muncul di alam-Brahmā. Dari jauh Brahmā Baka melihat kedatanganKu dan berkata: ‘Silahkan, Tuan! Selamat datang, Tuan! Telah lama, Tuan, sejak Engkau berkesempatan datang ke sini. Sekarang, Tuan, Ini kekal, ini bertahan selamanya, ini abadi, ini adalah keseluruhan, ini tidak tunduk pada kematian; karena ini adalah di mana seseorang tidak terlahir atau menua atau mati atau meninggal dunia juga tidak muncul kembali, dan di luar ini tidak ada jalan membebaskan diri.’

4. “Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahu Brahmā Baka: ‘Brahmā Baka Yang Agung telah tergelincir ke dalam kebodohan; ia telah tergelincir ke dalam kebodohan sehingga ia mengatakan yang tidak kekal sebagai kekal, yang sementara sebagai bertahan selamanya, yang tidak abadi sebagai abadi, yang tidak lengkap sebagai keseluruhan, yang tunduk pada kematian sebagai tidak tunduk pada kematian, yang terlahir, menua, mati, meninggal dunia, dan muncul kembali sebagai tidak terlahir juga tidak menua juga tidak mati juga tidak meninggal dunia juga tidak muncul kembali; dan ketika ada jalan membebaskan diri melampaui ini, ia mengatakan tidak ada jalan membebaskan diri melampaui ini.’

5. “Kemudian Māra si Jahat menguasai salah satu anggota kelompok Brahmā,  dan ia berkata kepadaKu: ‘Bhikkhu, bhikkhu, jangan mencelanya, jangan mencelanya; karena Brahmā ini adalah Brahmā Agung, [327] Maharaja, yang tidak terlampaui, memiliki penglihatan yang tidak mungkin keliru, maha kuasa, maha pembuat dan pencipta, Tuhan yang tertinggi, Penguasa dan Ayah dari mereka yang ada dan yang akan ada. Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat para petapa dan brahmana yang mencela tanah karena kejijikan pada tanah,  yang mencela air karena kejijikan pada air, yang mencela api karena kejijikan pada api, yang mencela udara karena kejijikan pada udara, yang mencela makhluk-makhluk karena kejijikan pada makhluk-makhluk, yang mencela dewa-dewa karena kejijikan pada dewa-dewa, yang mencela Pajāpati karena kejijikan pada Pajāpati, yang mencela Brahmā karena kejijikan pada Brahmā; dan ketika hancurnya jasmani, ketika kehidupan mereka terpotong, mereka terlahir dalam jasmani yang hina.  Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat para petapa dan brahmana yang memuji tanah karena bergembira dalam tanah,  yang memuji air karena bergembira dalam air, yang memuji api karena bergembira dalam api, yang memuji udara karena bergembira dalam udara, yang memuji makhluk-makhluk karena bergembira dalam makhluk-makhluk, yang memuji dewa-dewa karena bergembira dalam dewa-dewa, yang memuji Pajāpati karena bergembira dalam Pajāpati, yang memuji Brahmā karena bergembira dalam Brahmā; dan ketika hancurnya jasmani, ketika kehidupan mereka terpotong, mereka terlahir dalam jasmani yang mulia.  Maka, Bhikkhu, aku memberitahukan kepadaMu: Pastikan, Tuan, hanya melakukan apa yang Brahmā katakan; jangan melampaui kata-kata Brahmā. Jika Engkau melampaui kata-kata Brahmā, Bhikkhu, maka, bagaikan seseorang mengusir dewi keberuntungan ketika ia mendekat, atau bagaikan seseorang yang kehilangan pegangan tangan atau pijakan kakinya di tanah ketika ia terjatuh ke dalam jurang yang dalam, itulah yang akan menimpamu, Bhikkhu. Pastikan, Tuan, hanya melakukan apa yang Brahmā katakan; jangan melampaui kata-kata Brahmā. Tidakkah Engkau melihat kumpulan Brahmā yang duduk di sini, Bhikkhu?’ dan Māra mengalihkan perhatianKu pada kelompok Brahmā.

6. “Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahu Māra: ‘Aku mengenalmu, Sang Jahat. Jangan berpikir: “Ia tidak mengenalku.” Engkau adalah Māra, si Jahat, dan Brahmā dan kelompok Brahmā dan para pengikut Kelompok Brahmā semuanya telah jatuh ke dalam genggamanmu, mereka telah jatuh ke dalam kekuatanMu. Engkau, si Jahat, berpikir: “Yang ini juga telah jatuh ke dalam genggamanku, yang ini juga telah jatuh ke dalam kekuatanKu.”; tetapi Aku tidak jatuh ke dalam genggamanmu, Sang Jahat, Aku tidak jatuh ke dalam kekuatanmu.’

7. “Ketika hal ini dikatakan, Brahmā Baka berkata kepadaKu: ‘Tuan, aku mengatakan yang kekal sebagai kekal, [328] yang bertahan selamanya sebagai bertahan selamanya, yang abadi sebagai abadi, yang seluruhnya sebagai seluruhnya, yang tidak tunduk pada kematian sebagai tidak tunduk pada kematian, yang tidak terlahir juga tidak menua juga tidak mati juga tidak meninggal dunia juga tidak muncul kembali sebagai tidak terlahir juga tidak menua juga tidak mati juga tidak meninggal dunia juga tidak muncul kembali; dan ketika tidak ada jalan membebaskan diri dari hal-hal ini, aku mengatakan tidak ada jalan membebaskan diri dari hal-hal ini. Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat para petapa dan brahmana di dunia ini yang menjalani pertapaan seumur hidupMu. Mereka mengetahui, jika ada jalan membebaskan diri, maka ada jalan membebaskan diri, dan ketika tidak ada jalan membebaskan diri, maka tidak ada jalan membebaskan diri. Maka, Bhikkhu, aku memberitahukan kepadamu: Engkau tidak akan menemukan jalan membebaskan diri, dan akhirnya Engkau hanya akan menemui kelelahan dan kekecewaan. Jika engkau menggenggam tanah, maka engkau akan dekat denganku, dalam wilayahku, melakukan kehendakku dan menghukum untukku.  Jika engkau menggenggam air ... api ... udara ... makhluk-makhluk ... para dewa ... Pajāpati ... Brahmā, maka engkau akan dekat denganku, dalam wilayahku, melakukan kehendakku dan menghukum untukku.’

8. “’Aku juga mengetahui hal itu, Brahmā. Jika Aku menggenggam tanah, maka aku akan dekat denganmu, dalam wilayahmu, melakukan kehendakmu dan menghukum untukmu. Jika aku menggenggam air ... api ... udara ... makhluk-makhluk ... para dewa ... Pajāpati ... Brahmā, maka aku akan dekat denganmu, dalam wilayahmu, melakukan kehendakmu dan menghukum untukmu. Lebih jauh lagi, Aku memahami jangkauan dan kekuasaanmu sejauh: Brahmā Baka memiliki kekuatan sebesar ini, keperkasaan sebesar ini, pengaruh sebesar ini.’

“’Sekarang, Tuan, Berapa jauhkah engkau memahami jangkauan dan kekuasaanku ?’

9.    “’Sejauh bulan dan matahari berputar
   Bersinar dan bercahaya di langit
   Lebih dari seribu dunia
   Kekuasaanmu menjangkau.

   Dan di sana engkau mengetahui yang tinggi dan yang rendah,
   Dan mereka yang bernafsu dan yang bebas dari nafsu,
   Kondisi yang demikian dan yang sebaliknya,
   Kedatangan dan kepergian makhluk-makhluk.

Brahmā, Aku memahami jangkauan dan kekuasaanmu sejauh: Brahmā Baka memiliki kekuatan sebesar ini, keperkasaan sebesar ini, [329] pengaruh sebesar ini.

10. “’Tetapi, Brahmā, terdapat tiga tubuh lain, yang tidak engkau ketahui juga tidak engkau lihat, dan yang Aku ketahui dan Aku lihat. Ada tubuh yang disebut [para dewa] dengan Cahaya Gemerlap, yang dari mana engkau mati dan muncul kembali di sini.  Karena engkau telah berdiam di sini cukup lama, ingatanmu akan hal itu telah hilang, dan karenanya engkau tidak mengetahui atau melihatnya, tetapi Aku mengetahui dan melihatnya. Demikianlah, Brahmā, sehubungan dengan pengetahuan langsung Aku tidak hanya berdiri sama tinggi denganmu, bagaimana mungkin Aku mengetahui lebih sedikit? Sebaliknya, Aku mengetahui lebih banyak daripada engkau.

“’Terdapat, tubuh yang disebut [para dewa] dengan Keagungan Gemilang ... Terdapat tubuh yang disebut [para dewa] dengan Buah Besar. Engkau tidak mengetahui atau melihatnya, tetapi Aku mengetahui dan melihatnya. Demikianlah, Brahmā, sehubungan dengan pengetahuan langsung Aku tidak hanya berdiri sama tinggi denganmu, bagaimana mungkin Aku mengetahui lebih sedikit? Sebaliknya, Aku mengetahui lebih banyak daripada engkau.

11. “’Brahmā, setelah dengan secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, dan setelah dengan secara langsung mengetahui yang tidak menjadi bagian dari sifat tanah, Aku tidak mengaku sebagai tanah, Aku tidak mengaku ada di dalam tanah, Aku tidak mengaku terpisah dari tanah, Aku tidak mengakui tanah sebagai “milikku”, Aku tidak menegaskan tanah.  Demikianlah, Brahmā, sehubungan dengan pengetahuan langsung Aku tidak hanya berdiri sama tinggi denganmu, bagaimana mungkin Aku mengetahui lebih sedikit? Sebaliknya, Aku mengetahui lebih banyak daripada engkau.

12-23. “’Brahmā, setelah dengan secara langsung mengetahui air sebagai air ... api sebagai api ... udara sebagai udara ... makhluk-makhluk sebagai makhluk-makhluk ... para dewa sebagai para dewa ... Pajāpati sebagai Pajāpati ... Brahmā sebagai Brahmā ... para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai para dewa dengan Cahaya Gemerlap ...  para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai para dewa dengan Keagungan Gemilang ...  para dewa dengan Buah Besar sebagai para dewa dengan Buah Besar ... raja sebagai raja ... keseluruhan sebagai keseluruhan, dan setelah dengan secara langsung mengetahui apa yang tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan, Aku tidak mengaku sebagai keseluruhan, Aku tidak mengaku ada di dalam keseluruhan, Aku tidak mengaku terpisah dari keseluruhan, Aku tidak mengakui keseluruhan sebagai “milikku”, Aku tidak menegaskan keseluruhan. Demikianlah, Brahmā, sehubungan dengan pengetahuan langsung Aku tidak hanya berdiri sama tinggi denganmu, bagaimana mungkin Aku mengetahui lebih sedikit? Sebaliknya, Aku mengetahui lebih banyak daripada engkau.’

24. “’Tuan, Jika tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan, maka itu terbukti percuma dan kosong bagiMu!’

25.    “’Kesadaran yang tidak terwujud,
   Tanpa batas, menerangi segala penjuru.
   
Yang tidak menjadi bagian dari sifat tanah, yang tidak menjadi bagian dari sifat air … [330] … yang tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan.’

26. “’Tuan, aku akan menghilang dari hadapanMu.’

“Menghilanglah dari hadapanKu jika engkau mampu, Brahmā.’

“Kemudian Brahmā Baka, dengan berkata: ‘Aku akan menghilang dari hadapan Petapa Gotama, Aku akan menghilang dari hadapan Petapa Gotama,’ tidak mampu menghilang. Kemudian Aku berkata: ‘Brahmā, Aku akan menghilang dari hadapanmu.’

“Menghilanglah dari hadapanKu jika engkau mampu, Tuan.’

“Kemudian Aku mengerahkan kekuatan batin sehingga Brahmā dan kelompok Brahmā dan para pengikut kelompok Brahmā dapat mendengar suaraKu namun tidak dapat melihatKu. Setelah aku menghilang, Aku mengucapkan syair ini:

27.    “’Setelah melihat ketakutan dalam penjelmaan
   Dan [setelah melihat] bahwa penjelmaan itu akan lenyap,
   Aku tidak menyambut segala jenis penjelmaan apapun,
   Juga tidak melekat pada kesenangan.’

28. “Saat itu Brahmā dan Kelompok Brahmā dan para pengikut Kelompok Brahmā merasa takjub dan kagum, berkata: ‘Sungguh mengagumkan, Tuan, sungguh menakjubkan, kekuatan dan kesaktian Petapa Gotama! Kami belum pernah menyaksikan atau mendengar petapa atau brahmana lain yang memiliki kekuatan dan kesaktian seperti yang dimiliki Petapa Gotama ini, yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya. Tuan, walaupun hidup dalam generasi yang menikmati penjelmaan, yang menyukai penjelmaan, yang bersukacita dalam penjelmaan, Beliau telah mencabut penjelmaan bersama dengan akarnya.’

29. “Kemudian Māra si Jahat menguasai salah satu pengikut Kelompok Brahmā, dan berkata kepadaKu: ‘Tuan, jika itu adalah apa yang Engkau ketahui, jika itu adalah apa yang telah engkau temukan, janganlah Engkau menuntun para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian, janganlah Engkau mengajarkan Dhamma kepada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian, janganlah Engkau membangkitkan kerinduan pada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian. Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat para petapa dan brahmana yang mengaku sempurna dan tercerahkan sempurna, dan mereka menuntun para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; mereka mengajarkan Dhamma kepada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; mereka membangkitkan kerinduan pada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; dan ketika hancurnya jasmani, ketika kehidupan mereka terpotong, mereka terlahir dalam jasmani yang hina. Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat juga para petapa dan brahmana yang mengaku sempurna dan tercerahkan sempurna, [331] dan mereka tidak menuntun para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; mereka tidak mengajarkan Dhamma kepada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian ; mereka tidak membangkitkan kerinduan pada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; dan ketika hancurnya jasmani, ketika kehidupan mereka terpotong, mereka terlahir dalam jasmani yang mulia. Maka, Bhikkhu, aku beritahukan kepadaMu: Pastikan, Tuan, untuk berdiam secara tidak aktif, jalanilah kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini, hal ini lebih baik dibiarkan tidak dibabarkan, dan karena itu, Tuan, janganlah menasihati siapapun.’ 

30. “Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahu Māra: ‘Aku mengenalmu, Sang Jahat. Jangan berpikir: “Ia tidak mengenalku.” Engkau adalah Māra, si Jahat. Bukanlah demi belas kasihan terhadap kesejahteraan mereka maka engkau berkata demikian, melainkan adalah tanpa belas kasihan terhadap kesejahteraan mereka maka engkau berkata demikian. Engkau berpikir seperti ini, Yang Jahat: “Mereka kepada siapa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma akan membebaskan diri dari wilayahku.” Para petapa dan brahmanamu itu, Yang Jahat, yang mengaku tercerahkan sempurna, tidaklah benar-benar tercerahkan sempurna. Tetapi Aku, yang mengaku tercerahkan sempurna, adalah benar-benar tercerahkan sempurna. Jika Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepada para siswanya, Beliau tetap seorang Tathāgata, Yang Jahat, dan jika Sang Tathāgata tidak mengajarkan Dhamma kepada para siswanya, Beliau tetap seorang Tathāgata.  Jika Sang Tathāgata menuntun para siswanya, Beliau tetap seorang Tathāgata, Yang Jahat, dan jika Sang Tathāgata tidak menuntun para siswanya, Beliau tetap seorang Tathāgata. Mengapakah? Karena Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, memberikan kesusahan, yang matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; Beliau telah memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan. Seperti halnya pohon palem yang dipotong pucuknya tidak akan mampu untuk tumbuh lebih tinggi lagi, demikian pula Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-noda yang mengotoriNya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan.’”

31. Demikianlah, karena Māra tidak mampu menjawab, dan karena [diawali] dengan undangan Brahmā, maka khotbah ini dinamakan “Tentang Undangan Brahmā.”
« Last Edit: 01 May 2012, 03:39:29 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #62 on: 25 July 2010, 06:54:26 PM »
50 Māratajjanīya Sutta
Teguran kepada Māra

[332] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Yang Mulia Mahā Moggallāna sedang menetap di negeri Bhagga di Suṁsumāragira di Hutan Bhesakaḷā, Taman Rusa.

2. Pada saat itu Yang Mulia Mahā Moggallāna sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Dan pada saat itu Māra si Jahat masuk ke dalam perut Yang Mulia Mahā Moggallāna dan memasuki ususnya. Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna mempertimbangkan: “Mengapa perutku menjadi sangat berat? Seseorang akan berpikir bahwa perutku penuh kacang.” Demikianlah ia meninggalkan jalan setapak itu dan memasuki kediamannya, di mana ia duduk di tempat yang telah tersedia.

3. Ketika ia telah duduk, ia mengerahkan perhatian penuh pada dirinya, dan melihat bahwa Māra si Jahat telah memasuki perutnya dan masuk ke dalam ususnya. Ketika ia melihat ini, ia berkata: “Keluarlah, Yang Jahat! Jangan mengganggu Sang Tathāgata, jangan menganggu siswa Sang Tathāgata, atau hal ini akan membawamu ke dalam bencana dan penderitaan untuk waktu yang lama.”

4. Kemudian Māra si Jahat berpikir: ‘Petapa ini tidak mengenali aku, ia tidak melihat aku ketika ia mengatakan itu. Bahkan gurunya tidak akan mengenaliku begitu cepat, bagaimana mungkin siswa ini mengenaliku?’”

5. Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna berkata: “Meskipun demikian, aku mengenalimu, Yang Jahat. Jangan berpikir: ‘Ia tidak mengenaliku.’ Engkau adalah Māra, si Jahat, engkau berpikir: Petapa ini tidak mengenali aku, ia tidak melihat aku ketika ia mengatakan itu. Bahkan gurunya tidak akan mengenaliku begitu cepat, bagaimana mungkin siswa ini mengenaliku?’”

6. Kemudian Māra si Jahat berpikir: “Petapa ini mengenali aku, ia melihat aku ketika ia mengatakan itu,” kemudian ia [333] keluar dari mulut Yang Mulia Mahā Moggallāna dan berdiri dengan bersandar pada palang pintu.

7. Yang Mulia Mahā Moggallāna melihatnya berdiri di sana dan berkata: “Aku melihat engkau di sana juga, Yang Jahat. Jangan berpikir: ‘Ia tidak melihatku.’ Engkau sedang berdiri bersandar pada palang pintu, Yang Jahat.

8. “Pernah terjadi suatu ketika, Yang Jahat, aku adalah Māra bernama Dūsi,  dan aku memiliki saudara perempuan bernama Kāli. Engkau adalah puteranya, maka engkau adalah keponakanku,

9. “Pada saat itu Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, telah muncul di dunia.  Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memiliki sepasang siswa utama yang mulia bernama Vidhura dan Sañjiva. Di antara para siswa Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, tidak ada yang menandingi Yang Mulia Vidhura dalam hal mengajarkan Dhamma. Itulah sebabnya Yang Mulia Vidhura memperoleh nama ‘Vidhura.’  Tetapi Yang Mulia Sañjiva, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, tanpa kesulitan masuk ke dalam lenyapnya persepsi dan perasaan.

10. “Pernah terjadi pada suatu ketika, Yang Mulia Sañjiva telah duduk di bawah sebatang pohon dan memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan. Beberapa orang penggembala sapi, penggembala kambing, pembajak sawah, dan pengembara melihat Yang Mulia Sañjiva sedang duduk di bawah pohon setelah memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan, dan mereka berpikir: ‘Sungguh mengagumkan, tuan-tuan, sungguh menakjubkan! Petapa ini mati sambil duduk. Mari kita mengkremasinya.’ Kemudian para penggembala sapi, penggembala kambing, pembajak sawah, dan pengembara itu mengumpulkan rumput, kayu, dan kotoran sapi, dan setelah menumpuknya di atas tubuh Yang Mulia Sañjiva, mereka membakarnya dan pergi.

11.  “Sekarang, Yang Jahat, ketika malam telah berlalu, Yang Mulia Sañjiva keluar dari pencapaian itu.  Ia mengibaskan jubahnya, karena hari telah pagi, ia merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia memasuki desa untuk menerima dana makanan. Para penggembala sapi, penggembala kambing, pembajak sawah, dan pengembara melihat Yang Mulia Sañjiva berjalan menerima dana makanan, dan mereka berpikir: ‘Sungguh mengagumkan, tuan-tuan, sungguh menakjubkan! Petapa ini yang mati sambil duduk telah hidup kembali!’ [334] Itulah sebabnya Yang Mulia Sañjiva memperoleh nama ‘Sañjiva.’

12. “Kemudian, Yang Jahat, Māra Dūsi mempertimbangkan: ‘terdapat para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik ini, tetapi aku tidak mengetahui kedatangan dan kepergian mereka. Aku akan menguasai para brahmana perumah tangga, dengan mengatakan kepada mereka: “Marilah, caci, maki, cela, dan ganggulah para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik; dan mungkin ketika mereka dicaci, dimaki, dicela, dan digoda oleh kalian, beberapa perubahan akan terjadi dalam pikiran mereka di mana Māra Dūsi akan memperoleh kesempatan.”’

13. “Kemudian, Yang Jahat, Māra Dūsi menguasai para brahmana perumah tangga, dengan mengatakan kepada mereka: “Marilah, caci, maki, cela, dan ganggulah para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik; dan mungkin ketika mereka dicaci, dimaki, dicela, dan diganggu oleh kalian, beberapa perubahan akan terjadi dalam pikiran mereka di mana Māra Dūsi akan memperoleh kesempatan.’ Kemudian, ketika Māra Dūsi telah menguasai para brahmana perumah tangga, mereka mencaci, memaki, mencela, dan mengganggu para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik sebagai berikut:  ‘Para petapa berkepala gundul ini, budak-budak berkulit gelap keturunan kaki Leluhur,  mengaku: “Kami adalah meditator, kami adalah meditator!” dan dengan bahu membungkuk, kepala menunduk, dan seluruh tubuh lemas, mereka bermeditasi, mengulangi meditasi, melampaui meditasi, dan bermeditasi secara keliru.  Seperti halnya seekor burung hantu yang menghinggapi sebuah dahan menunggu seekor tikus, bermeditasi, mengulangi meditasi, melampaui meditasi, dan bermeditasi secara keliru, atau seperti halnya seekor serigala di tepi sungai menunggu ikan,  bermeditasi, mengulangi meditasi, melampaui meditasi, dan bermeditasi secara keliru, atau seperti halnya seekor kucing, menunggu seekor tikus di lorong atau saluran pembuangan atau tempat sampah, bermeditasi, mengulangi meditasi, melampaui meditasi, dan bermeditasi secara keliru, atau seperti halnya seekor keledai yang tanpa beban, berdiri di dekat tiang pintu atau tempat sampah atau saluran pembuangan, bermeditasi, mengulangi meditasi, melampaui meditasi, dan bermeditasi secara keliru, demikian pula, Para petapa berkepala gundul ini, budak-budak berkulit gelap keturunan kaki Leluhur, mengaku: “Kami adalah meditator, kami adalah meditator!” dan dengan bahu membungkuk, kepala menunduk, dan seluruh tubuh lemas, mereka bermeditasi, mengulangi meditasi, melampaui meditasi, dan bermeditasi secara keliru.’  Sekarang, Yang Jahat, pada masa itu sebagian besar manusia, ketika mati, muncul kembali setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. [335]

14. “Kemudian Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, Māra Dūsi telah menguasai para brahmana perumah tangga dengan mengatakan kepada mereka: “Marilah, caci, maki, cela, dan ganggulah para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik; dan mungkin ketika mereka dicaci, dimaki, dicela, dan diganggu oleh kalian, beberapa perubahan akan terjadi dalam pikiran mereka di mana Māra Dūsi akan memperoleh kesempatan.’ Ayo, para bhikkhu, berdiamlah dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh cinta kasih, demikian pula dengan arah ke dua, demikian pula dengan arah ke tiga, demikian pula dengan arah ke empat; ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri kalian sendiri, berdiamlah dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran penuh cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa kekejaman dan tanpa niat buruk. Berdiamlah dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasihan … dengan pikiran penuh dengan kegembiraan altruistis … dengan pikiran penuh dengan keseimbangan … berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa kekejaman dan tanpa niat buruk.’

15. Maka, Yang Jahat, ketika para bhikkhu itu telah dinasihati dan diberi instruksi oleh Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, kemudian, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, mereka berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih … dengan pikiran yang penuh dengan belas kasihan … dengan pikiran yang penuh dengan kegembiraan altruistis … dengan pikiran yang penuh dengan keseimbangan … tanpa kekejaman dan tanpa niat buruk.

16. “Kemudian, si Jahat, Māra Dūsi mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Walaupun aku melakukan seperti apa yang sedang kulakukan, namun aku masih tidak mengetahui kedatangan dan kepergian para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik ini. Aku akan menguasai para brahmana perumah tangga, dengan mengatakan kepada mereka: “Marilah sekarang, hormati, hargai, sembah, dan muliakanlah para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik; [336] dan mungkin, ketika mereka dihormati, dihargai, disembah, dan dimuliakan oleh kalian, beberapa perubahan akan terjadi dalam pikiran mereka di mana Māra Dūsi akan memperoleh kesempatan.”’

17. “Kemudian, Yang Jahat, Māra Dūsi menguasai para brahmana perumah tangga, dengan mengatakan kepada mereka: ‘Marilah sekarang, hormati, hargai, sembah, dan muliakanlah para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik; dan mungkin, ketika mereka dihormati, dihargai, disembah, dan dimuliakan oleh kalian, beberapa perubahan akan terjadi dalam pikiran mereka di mana Māra Dūsi akan memperoleh kesempatan.’ Kemudian, ketika Māra Dūsi telah menguasai para brahmana perumah tangga, mereka menghormati, menghargai, menyembah, dan memuliakan para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik itu. Sekarang, Yang Jahat, pada masa itu sebagian besar manusia, ketika mati, muncul kembali setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, dalam kondisi bahagia, bahkan di alam surga.

18. “Kemudian Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, Māra Dūsi telah menguasai para brahmana perumah tangga dengan mengatakan kepada mereka: “Marilah sekarang, hormati, hargai, sembah, dan muliakanlah para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik; dan mungkin, ketika mereka dihormati, dihargai, disembah, dan dimuliakan oleh kalian, beberapa perubahan akan terjadi dalam pikiran mereka di mana Māra Dūsi akan memperoleh kesempatan.’’ Ayo, para bhikkhu, berdiamlah dengan merenungkan kejijikan dalam jasmani, melihat kejijikan dalam makanan, merasakan kekecewaan terhadap segalanya di dunia, merenungkan ketidak-kekalan dalam segala bentukan.’

19. “Maka, Yang Jahat, ketika para bhikkhu itu telah dinasihati dan diberi instruksi oleh Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, kemudian, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, mereka berdiam dengan merenungkan kejijikan dalam jasmani, melihat kejijikan dalam makanan, merasakan kekecewaan terhadap segalanya di dunia, merenungkan ketidak-kekalan dalam segala bentukan.

20. “Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarNya, ia pergi ke desa untuk menerima dana makanan dengan Yang Mulia Vidhura sebagai pelayanNya.

21. “Kemudian Māra Dūsi menguasai seorang anak, dan dengan mengambil sebutir batu, ia melempar Yang Mulia Vidhura di kepalanya dengan batu itu dan melukai kepalanya. Dengan darah menetes dari kepalanya yang terluka, [337] Yang Mulia Vidhura mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā Kakusandha yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Kemudian Sang Bhagavā Kakusandha yang sempurna dan tercerahkan sempurna, berbalik dan melihatnya dengan tatapan gajah: ‘Māra Dūsi ini tidak mengenal batas.’ Dan dengan tatapan itu, si Jahat, Māra Dūsi jatuh dari tempat itu dan muncul kembali di Neraka Besar.

22. “Sekarang, Yang Jahat, ada tiga sebutan bagi Neraka Besar: neraka enam landasan kontak, neraka tusukan tombak, dan neraka yang dirasakan untuk diri sendiri.  Kemudian, Yang Jahat, penjaga neraka mendatangiku dan berkata: ‘Tuan, ketika tombak bertemu tombak di jantungmu, maka engkau akan tahu: “Aku sudah terpanggang di neraka selama seribu tahun.”’

23. “Selama bertahun-tahun, Yang Jahat, selama berabad-abad, selama ribuan tahun, aku terpanggang di Neraka Besar. Selama sepuluh milenium aku terpanggang di Neraka Besar tambahan, mengalami perasaan yang disebut neraka yang muncul dari kematangan.  Tubuhku berbentuk sama dengan tubuh manusia, Yang Jahat, tetapi kepalaku menyerupai kepala ikan.

24.    “Bagaimanakah neraka dapat diperbandingkan
   Di mana Dūsi terpanggang, si penyerang
   Vidhura Sang Siswa
   Dan Sang Brahmana Kakusandha?
   Tombak-tombak baja, bahkan berjumlah seratus,
   Masing-masing diderita secara terpisah;
   Dengan inilah neraka itu dapat diperbandingkan
   Di mana Dūsi terpanggang, si penyerang
   Vidhura Sang Siswa
   Dan Sang Brahmana Kakusandha.

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita
   Dengan menyerang seorang bhikkhu demikian,
   Seorang siswa dari Yang Tercerahkan
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.

25.    “Di tengah samudera
   Terdapat istana-istana yang bertahan selama satu kappa,
   Bersinar safir, memancarkan api
   Dengan kilauan jernih dan tembus pandang,
   Di mana bidadari laut warna-warni menari
   Dalam irama yang rumit dan sulit diikuti

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita …
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.

26.   “Aku adalah seorang yang, ketika dinasihati
   Oleh Yang Tercerahkan secara pribadi,
   Mengguncang Istana Ibunya Migāra
   Dengan jari kaki, dengan disaksikan oleh Sangha.

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita …
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.

27.    “Aku adalah seorang yang, secara kokoh mengerahkan
   Kekuatan batin,
   Mengguncang seluruh Istana Vejayanta
   Dengan jari kaki untuk mendorong para dewa:  [338]

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita …
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.

28.   “Aku adalah seorang yang, di Istana itu
   Mengajukan pertanyaan ini kepada Sakka:
   ‘Tahukah engkau, teman, kebebasan
   Dalam hancurnya keinginan sepenuhnya?’
   Yang mana Sakka menjawab
   Sesuai dengan pertanyaan yang diajukan kepadanya:

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita …
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.

29.    “Aku adalah seorang yang, terpikir untuk mengajukan
   Pertanyaan ini kepada Brahmā
   Di Aula Suddhama di surga:
   ‘Masih adakah padamu, teman,
   Pandangan salah yang pernah engkau terima?
   Apakah engkau melihat cahaya
   Yang melampaui cahaya alam Brahmā?
   Kemudian Brahmā menjawab pertanyaanku
   Dengan jujur dan sesuai urutan:
   ‘Tidak ada lagi padaku,
   Tuan, pandangan salah yang pernah kugenggam;
   Sungguh aku melihat cahaya
   Yang melampaui cahaya alam Brahmā.
   Sekarang bagaimana mungkin aku mempertahankan
   Bahwa aku adalah kekal dan abadi?’:

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita …
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.

30.   “Aku adalah seorang yang, dengan kebebasan,
   Telah menyentuh puncak Gunung Sineru,
   Mengunjungi hutan Pubbavidehi
   Dan manusia manapun yang mendiami bumi.

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita
   Dengan menyerang seorang bhikkhu demikian,
   Seorang siswa dari Yang Tercerahkan
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.


31.    “Tidak pernah ada api
   Yang berniat, ‘aku akan membakar si dungu,’
   Tetapi si dungu yang menyerang api
   Membakar dirinya dengan perbuatannya sendiri
   Demikian pula engkau, O Māra:
   Dengan menyerang Sang Tathāgata,
   Bagaikan si dungu yang bermain api
   Engkau hanya akan membakar dirimu sendiri.
   Dengan menyerang Sang Tathāgata,
   Engkau menghasilkan banyak keburukan.
   Yang Jahat, apakah engkau membayangkan
   Bahwa kejahatanmu tidak akan matang?
   Dengan melakukan demikian, engkau menimbun kejahatan
   Yang akan bertahan lama, O Pembuat-Akhir!
   Māra, menjauhlah dari Yang Tercerahkan,
   Jangan lagi memainkan tipuanmu pada para bhikkhu.”

   Demikianlah bhikkhu itu menyadarkan Māra
   Dalam belantara Bhesakaḷā
   Kemudian makhluk gelap itu
   Lenyap di sana pada saat itu juga
« Last Edit: 01 May 2012, 03:40:00 PM by ryu »

Offline Hendra Susanto

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #63 on: 02 August 2010, 07:03:25 PM »
Majjhima Nikaya, Bagian I (Lima puluh khotbah pertama).

SELESAI

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
« Reply #64 on: 18 October 2010, 01:46:49 PM »
SUTTA 1

1) Untuk penjelasan lebih lengkap atas Sutta yang sulit dan penting ini, baca Bhikkhu Bodhi, Discourse on the Root of Existence. Karya ini berisikan, selain terjemahan sutta, juga sebuah analisa lengkap atas makna filosofis dan banyak kutipan dari literatur komentar yang sangat membantu yang telah ditambahkan di sana-sini. Terjemahan Ñm atas sutta ini dalam Ms sangat bersifat dugaan; dengan demikian, walaupun saya mempertahankan sebagian besar terminologi dari Ñm, namun secara sintaksis saya telah menggantikan dengan terjemahan saya untuk memberikan makna yang sesuai dengan interpretasi tradisional dan hal itu sepertinya dibenarkan oleh versi Pali Text yang asli. Kalimat-kalimat kunci seperti yang diterjemahkan oleh Ñm akan diberikan dalam catatan.

2) MA menjelaskan bahwa Sang Buddha membabarkan sutta ini untuk menaklukkan keangkuhan yang telah muncul pada lima ratus bhikkhu sehubungan dengan penguasaan pengetahuan dan intelektual atas ajaran Buddha. Para bhikkhu ini dulunya adalah para brahmana yang terpelajar dalam hal literatur Veda, dan ucapan-ucapan tersamar dari Sang Buddha mungkin dimaksudkan untuk menantang pandangan brahmanis yang mungkin masih mereka lekati.

3) Sabbadhammamūlapariyāya. MṬ menjelaskan bahwa kata “semua” (sabba) digunakan di sini dalam pengertian terbatas “segala identitas pribadi” (sakkāyasabba), yaitu, sehubungan dengan segala kondisi atau fenomena (dhammā) yang terdapat dalam kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan (baca MN 28.4). Kondisi-kondisi lokuttara – jalan, buah, dan Nibbāna tidak termasuk. “Akar segala sesuatu” – yaitu, kondisi khusus yang memelihara kelangsungan proses kelahiran berulang - MṬ menjelaskan sebagai keinginan, keangkuhan, dan pandangan (yang merupakan sumber yang mendasari “anggapan”), dan ini pada gilirannya didasari oleh kebodohan, disiratkan dalam Sutta dengan frasa “ia belum sepenuhnya memahaminya.”

4) “Orang biasa yang tidak terpelajar” (assutavā puthujjana) adalah kaum duniawi pada umumnya, yang tidak memiliki pembelajaran maupun pencapaian spiritual dalam Dhamma para mulia, dan membiarkan diri mereka dikuasai oleh banyak kekotoran dan pandangan salah. Baca Bodhi, Discourse on the Root of Existence, pp. 40-46.

5) Paṭhaviṁ paṭhavito sañjānāti. Walaupun melihat “tanah sebagai tanah” sepertinya menyiratkan melihat obyek sebagaimana adanya, tujuan dari meditasi pandangan terang Buddhis, konteksnya menjelaskan bahwa persepsi orang-orang biasa atas “tanah sebagai tanah” telah memasukkan sedikit penyimpangan atas obyek, suatu penyimpangan yang akan ditingkatkan menjadi kesalah-pahaman sepenuhnya ketika proses kognitif memasuki tahap “menganggap.” MA menjelaskan bahwa orang biasa menangkap ungkapan konvensional “ini adalah tanah,” dan menerapkannya pada obyek, melihatnya melalui suatu “penyimpangan persepsi” (saññāvipallāsa). Istilah “penyimpangan persepsi” adalah ungkapan teknis yang dijelaskan sebagai melihat apa yang tidak-kekal sebagai kekal, apa yang menyakitkan sebagai menyenangkan, apa yang bukan-diri sebagai diri, apa yang menjijikkan sebagai indah (AN 4:49/ii.52). Ñm menuliskan bentuk akhiran ablatif –to dari Pali sebagai menyiratkan turunan dan menerjemahkan frasa itu: “Dari tanah ia mendapatkan kesan tanah.”

6) Kata Pali “menganggap” (maññati), yang berasal dari akar kata man, “berpikir”, sering digunakan dalam sutta-sutta Pali untuk mengartikan pemikiran-pemikiran yang menyimpang – pikiran yang berasal dari karakteristik obyek dan suatu pemahaman yang diturunkan bukan dari obyek itu sendiri, melainkan dari imajinasi subyektif seseorang. Penyimpangan kognitif yang diusulkan oleh menganggap terdiri dari, secara singkat, pemaksaan dari persepktif egosentris ke dalam pengalaman yang telah sedikit menyimpang oleh persepsi spontan. Menurut komentar, aktivitas menganggap diatur oleh tiga kekotoran, yang muncul dalam berbagai cara manifestasinya – keinginan (taṇha), keangkuhan (māna),  dan pandangan (diṭṭhi).

MA menuliskan teks ini sebagai: “Setelah melihat tanah dengan persepsi menyimpang, orang biasa setelah itu menganggapnya – menafsirkan atau menilainya – melalui kecenderungan-kecenderungan berkembangan yang kasar (papañca) dari keinginan, keangkuhan, dan pandangan, yang disebut ‘anggapan’ … Ia memahaminya dalam beragam cara yang bertolak-belakang [dengan kenyataan].”

Empat cara menganggap (maññanā). Sang Buddha menunjukkan bahwa anggapan atas obyek apapun dapat terjadi dalam salah satu dari empat cara, diungkapkan oleh teks sebagai empat pola linguistik: akusatif, lokatif, ablatif, dan pemberian. Makna utama dari pola ini – yang juga tersamar dalam Pali – sepertinya filosofis. Saya menganggap pola itu menunjukkan beragam cara yang mana seorang biasa mencoba memberikan makna positif pada makna keegoan yang ia bayangkan dengan memposisikan, di bawah ambang bayangan, suatu hubungan antara dirinya sebagai subyek kognisi dan fenomena yang dilihat sebagai obyek. Menurut empat pola yang diberikan, hubungan ini dapat berupa salah satu dari identifikasi langsung (“ia melihat X”), atau yang mendasari (“ia membayangkan di dalam X”), atau perbedaan atau turunan (“ia membayangkan dari X”), atau hanya sekadar pemberian (“ia menganggap X sebagai ‘milikku’”).

Tetapi hati-hati dalam menginterpretasikan frasa-frasa ini. Pali tidak menyediakan obyek langsung bagi cara ke dua dan ke tiga, dan ini menyiratkan bahwa proses penganggapan berlangsung dari tingkat yang lebih dalam dan lebih umum daripada yang terlibat dalam pembentukan pandangan diri secara eksplisit, seperti yang dijelaskan misalnya pada MN 2.8 atau MN 44.7. Dengan demikian aktivitas penganggapan sepertinya terdiri dari keseluruhan wilayah kognisi yang diwarnai secara subyektif, dari impuls dan pikiran yang mana makna identitas pribadi masih belum lengkap untuk menjelaskan struktur intelektual yang telah dijelaskan secara lengkap.

Akan tetapi Ñm, memahami obyek anggapan implisit sebagai persepsi itu sendiri, dan karena itu menerjemahkan: “setelah mempersepsikan tanah dari tanah, ia menganggap [itu sebagai] tanah, ia menganggap [itu sebagai] di dalam tanah, ia menganggap [itu terpisah] dari tanah,” dan seterusnya.

Frasa ke lima, “ia bergembira di dalam X”, secara eksplisit menghubungkan penganggapan dengan keinginan, yang mana di tempat lain dikatakan “bergembira di sana-sini.” Hal ini, lebih jauh lagi, menyiratkan bahaya dalam proses pemikiran kaum duniawi, karena keinginan dikatakan oleh Sang Buddha sebagai asal-mula penderitaan.

MA memberikan banyak contoh yang mengilustrasikan segala jenis penganggapan yang berbeda, dan ini jelas menegaskan bahwa obyek penganggapan yang dimaksudkan adalah makna egoistis yang keliru.

7) MA menyebutkan bahwa seseorang yang sepenuhnya memahami tanah melakukannya melalui tiga jenis pemahaman penuh: pemahaman penuh atas apa yang diketahui (ñātapariññā) – definisi unsur tanah menurut karakteristik khusus, fungsi, manifestasi, dan penyebab terdekat; pemahaman penuh dengan menyelidiki (tīraṇapariññā) – perenungan unsur tanah melalui karakteristik umum ketidak-kekalan, penderitaan, dan tanpa-diri; dan pemahaman penuh atas pelepasan (pahānapariññā) – meninggalkan keinginan dan nafsu pada unsur tanah melalui jalan tertinggi (Kearahatan).

8 ) Bhūtā. MA mengatakan bahwa “makhluk-makhluk” di sini menyiratkan hanya makhluk hidup di bawah alam surga Empat Raja Dewa, alam terendah di antara surga alam-indria; tingkatan makhluk hidup yang lebih tinggi tercakup oleh sebutan-sebutan berikutnya. MA memberikan contoh penerapan ketiga jenis penganggapan dalam situasi ini sebagai berikut: Ketika seseorang menjadi terikat pada makhluk-makhluk sebagai akibat dari penglihatan, pendengaran, dan seterusnya, atau menginginkan kelahiran kembali dalam kelompok makhluk tertentu, ini adalah penganggapan karena keinginan. Jika ia menilai dirinya sebagai lebih tinggi, sama, atau lebih rendah dari orang lain, ini adalah penganggapan karena keangkuhan. Dan jika ia berpikir, “Makhluk-makhluk adalah kekal, stabil, abadi,” dan seterusnya, ini adalah penganggapan karena pandangan.

9) MA: Yang dimaksudkan adalah para dewa dari enam surga alam-indria, kecuali Māra dan para pengikutnya di alam para dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain. Baca penjelasan Kosmoslogi Buddhis pada Pendahuluan, pp.45-48.

10) Prajāpati, “Raja penciptaan”, adalah nama yang diberikan oleh Veda kepada Indra, Agni, dan sebagainya, sebagai yang tertinggi dalam ketuhanan Veda. Tetapi menurut MA, Pajāpati di sini adalah nama bagi Māra karena ia adalah penguasa “generasi” ini (pajā) yang terdiri dari makhluk-makhluk hidup.

11) Brahmā di sini adalah Mahābrahmā, dewa pertama yang dilahirkan pada awal siklus kosmis dan yang rentang umur kehidupannya sepanjang keseluruhan siklus – para Menteri Brahmā dan pengikut Brahmā – para dewa lain yang posisinya ditentukan melalui pencapaian jhāna pertama – juga termasuk.

12) MA: Dengan menyebutkan hal-hal ini, semua makhluk yang menempati alam jhāna ke dua – para dewa dengan cahaya terbatas dan para dewa dengan cahaya tanpa batas – harus dimasukkan, karena semuanya menempati tingkatan yang sama.

13) MA: Dengan menyebutkan hal-hal ini, semua makhluk yang menempati alam jhāna ke tiga – para dewa dengan keagungan terbatas dan para dewa dengan keagungan tanpa batas – harus dimasukkan

14) Ini adalah para dewa di alam jhāna ke empat.

15) Abhibhū. MA mengatakan kata ini adalah sebutan bagi alam tanpa-persepsi, disebut demikian karena menaklukkan (abhibhavati) empat kelompok unsur tanpa materi lainnya. Identifikasi ini sepertinya terencana, khususnya karena kata “abhibhū” adalah bentuk tunggal kelaki-lakian. Di tempat lain (MN 49.5) kata ini muncul sebagai bagian dari pangakuan ketuhanan dari Brahmā Baka, namun MA menolak identifikasi Abhibhū sebagai Brahmā di sini sebagai sesuatu yang belebihan.

16) Ini dan tiga bagian selanjutnya membahas penganggapan sehubungan dengan empat alam tanpa materi – padanan kosmologis dari pencapaian empat meditasi tanpa materi. Dengan §18 pembagian penganggapan melalui alam-alam kehidupan selesai.

17) Dalam hal empat bagian fenomena yang terdiri dari identitas pribadi yang dianggap sebagai obyek persepsi yang dikelompokkan dalam empat kelompok dilihat, didengar, dicerap, dan dikenali. Di sini, dicerap (muta) menyiratkan data bau-bauan, rasa kecapan, dan sentuhan, dikenali (viññāta) menyiratkan data introspeksi, pikiran abstrak, dan imajinasi. Obyek persepsi “dianggap” ketika dikenali dalam hal “milikku”, “aku,” dan “diri,” atau dalam cara-cara yang menghasilkan keinginan, keangkuhan, dan pandangan.

18) Dalam bagian ini dan berikutnya, fenomena yang terdiri dari identitas pribadi diperlakukan sebagai dua – melalui kesatuan dan keragaman. Penekanan pada kesatuan (ekatta), MA mengatakan, adalah karakteristik dari seorang yang mencapai jhāna-jhāna, yang mana pikiran muncul dalam modus tunggal pada obyek tunggal. Penekanan pada keragaman (nānatta) berlaku bagi yang belum mencapai yang tidak memiliki pengalaman kesatuan jhāna yang meliputi. Penganggapan-penganggapan yang menekankan pada keragaman terdapat dalam ungkapan dalam filosofi pluralis, yang menekankan pada kesatuan terdapat dalam ungkapan dalam filofosi monistis.

19) Dalam bagian ini semua fenomena identitas pribadi dikumpulkan dan ditampilkan sebagai satu. Gagasan totalitas ini dapat membentuk landasan filosofis phanteis atau monistis, tergantung pada hubungan antara diri dan seluruhnya.

20) MA memahami “Nibbāna” di sini merujuk pada lima jenis “Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini” yang termasuk dalam enam puluh dua pandangan salah dari Brahmajāla Sutta (DN 1.3.19-25/i.36-38), yaitu, Nibbāna yang diidentifikasikan dengan kenikmatan sepenuhnya pada kenikmatan indria atau dengan empat jhāna. Dengan menikmati kondisi-kondisi ini, atau merindukannya, ia membayangkannya dengan keinginan. Bangga pada dirinya ketika mencapainya, ia membayangkannya dengan keangkuhan. Menganggap Nibbāna ilusi ini sebagai kekal, dan seterusnya, ia membayangkannya dengan pandangan.

21) Sekha, siswa dalam latihan yang lebih tinggi, adalah seorang yang telah mencapai satu dari tiga alam kesucian yang  lebih rendah – memasuki arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali – tetapi masih harus berlatih lebih jauh lagi untuk mencapai tujuan, Kearahatan, keamanan tertinggi dari belenggu. MN 53 dikhususkan untuk menjelaskan latihan yang harus dilaksanakan. Arahant kadang-kadang disebut asekha,  seorang yang melampaui latihan, dalam pengertian bahwa ia telah menyelesaikan latihan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ñm menerjemahkan sekha sebagai “praktisi” dan asekha sebagai “seorang yang terampil,” yang telah berubah di sini untuk menghindari konotasi “esoteris”.

22) Harus dimengerti bahwa, sementara orang biasa dikatakan melihat masing-masing landasan, seorang yang dalam latihan yang lebih tinggi dikatakan secara langsung mengetahuinya (abhijānāti). MA menjelaskan bahwa ia mengetahuinya dengan pengetahuan luhur, mengetahuinya sesuai sifat sejatinya sebagai tidak kekal, penderitaan, dan tanpa-diri. Ñm menerjemahkan: “Dari tanah ia memiliki pengetahuan langsung atas tanah.”

23) Siswa dalam latihan yang lebih tinggi didorong oleh Sang Buddha untuk menjauhi penganggapan dan kesenangan karena kecondongan pada proses-proses batin ini masih menetap dalam dirinya. Dengan pencapaian tingkat memasuki-arus ia melenyapkan belenggu pandangan identitas dan dengan demikian tidak lagi menganggap dalam hal pandangan salah. Tetapi kekotoran-kekotoran keinginan dan keangkuhan hanya tercabut oleh jalan Kearahatan, dan dengan demikian sekha  masih rentan pada penganggapan yang karenanya anggapan-anggapan itu dapat muncul. Sementara pengetahuan langsung (abhiññā) adalah wilayah sekha dan Arahant, pemahaman sepenuhnya (pariññā) adalah wilayah Arahant secara eksklusif, karena melibatkan ditinggalkannya sepenuhnya semua kekotoran.

24) Ini adalah penggambaran umum Arahant, yang diulangi dalam banyak sutta.

25) Ketika kebodohan telah terhapuskan oleh pencapaian pemahaman penuh, kecederungan terhalus pada keinginan dan keangkuhan juga tersingkirkan. Demikianlah Arahant tidak lagi terlibat dalam penganggapan dan kesenangan.

26) Bagian ini dan dua berikutnya disebutkan untuk menunjukkan bahwa Arahant tidak menganggap, bukan hanya karena ia telah sepenuhnya memahami obyek, tetapi karena ia telah menyingkirkan ketiga akar tidak bermanfaat – nafsu (atau keserakahan), kebencian, dan kebodohan. Frasa “bebas dari nafsu melalui hancurnya nafsu” digunakan untuk menekankan bahwa Arahant tidak sekedar dalam keadaan tanpa nafsu untuk sementara, melainkan telah menghancurkannya pada tingkat yang paling mendasar. Demikian pula dengan kebencian dan kebodohan.

27) Mengenai kata ini, gelar Sang Buddha yang paling sering digunakan ketika merujuk diriNya sendiri, baca pendahuluan, p.24. Komentar memberikan etimologi yang panjang dan terperinci, berusaha untuk memampatkan keseluruhan Dhamma. Bagian itu telah diterjemahkan dalam Bhikkhu Bodhi, Discourse on the All-Embracing Net of Views, pp.331-44.

28) PAriññātantaṁ tathāgatassa. Demikianlah menurut SBJ dan MA, walaupun PTS menuliskan hanya pariññātaṁ. MA mengemas: “sepenuhnya memahami kesimpulannya, sepenuhnya memahami batasnya, sepenuhnya memahami tanpa sisa.” Ini menjelaskan bahwa sementara para Buddha dan para siswa Arahant adalah serupa dalam hal meninggalkan segala kekotoran, namun terdapat perbedaan dalam cakupan pemahaman penuh itu: sementara para siswa dapat mencapai Nibbāna setelah memahaminya dengan pandangan terang hanya sejumlah bentukan secara terbatas, para Buddha memahami sepenuhnya segala bentukan tanpa kecuali.

29) Kalimat ini memberikan pernyataan yang sangat padat atas formula sebab-akibat yang saling bergantungan (paṭicca samuppāda). Seperti diinterpretasikan oleh MA, “kesenangan” adalah keinginan dari kehidupan lampau yang memunculkan “penderitaan” dari kelima kelompok unsur kehidupan dalam kehidupan sekarang, “makhluk” aspek penentu secara kamma dari kehidupan sekarang yang menghasilkan kelahiran di masa depan, diikuti oleh penuaan dan kematian di masa depan. Paragraf ini menunjukkan penyebab lenyapnya penganggapan Sang Buddha adalah penembusan pada sebab-akibat yang saling bergantungan pada malam pencerahanNya. Penyebutan “kesenangan” (mandī) sebagai akar penderitaan menghubungkan dengan judul sutta; lebih jauh lagi, dengan merujuk pada pernyataan sebelumnya bahwa orang biasa senang dalam tanah, dan seterusnya, menujukkan bahwa penderitaan adalah akibat tertinggi dari kesenangan.

30) MA menjelaskan urutan dari gagasan-gagasan ini sebagai berikut: Sang Tathāgata tidak membayangkan tanah dan tidak bersenang-senang dalam tanah karena Beliau telah memahami bahwa kesenangan adalah akar penderitaan. Lebih jauh lagi, dengan memahami sebab-akibat yang saling bergantungan, ia telah sepenuhnya meninggalkan keinginan yang di sini disebut “kesenangan” dan telah tercerahkan pada Pencerahan sempurna yang tertinggi. Sebagai akibatnya Beliau tidak membayangkan tanah atau bersenang-senang dalam tanah.

31) Para bhikkhu tidak bergembira mendengar kata-kata Sang Buddha, jelas karena khotbah itu menggali terlalu dalam pada wilayah yang halus dari keangkuhan mereka, dan mungkin pandangan-pandangan brahmanis mereka yang masih tersisa. Belakangan, MA memberitahukan, ketika keangkuhan mereka telah mereda, Sang Buddha membabarkan Gotamaka Sutta (AN 3:123/i.276) kepada para bhikkhu yang sama ini, yang akhirnya mereka semua mencapai Kearahatan.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
« Reply #65 on: 18 October 2010, 01:47:36 PM »

SUTTA 2

32) Noda-noda (āsava), pengelompokan kekotoran yang terdapat pada tingkat yang paling mendasar, dibahas dalam Pendahuluan, p.38. MA menjelaskan bahwa pengendalian (saṁvara) ada lima: melalui moralitas, perhatian, pengetahuan, usaha, dan kesabaran. Dalam sutta ini, pengendalian melalui moralitas diilustrasikan dengan menghindari tempat-tempat duduk dan tempat-tempat tinggal yang tidak sesuai (§19); pengendalian melalui perhatian, dengan mengendalikan kelima indria (§12); pengendalian melalui pengetahuan, dengan mengulang-ulangi frasa “merenungkan dengan bijaksana”; pengendalian melalui usaha, dengan melenyapkan pikiran-pikiran tidak bermanfaat; dan pengendalian melalui kesabaran, dengan paragraf tentang menahankan (§18).

33) Perhatian bijaksana (yoniso manasikāra) dikemas sebagai perhatian yang merupakan cara yang benar (upāya), di jalur yang benar (patha). Ini dijelaskan sebagai perhatian pikiran, pertimbangan, atau pikiran yang sesuai dengan kebenaran, yaitu, perhatian pada ketidak-kekalan sebagai ketidak-kekalan, dan sebagainya. Perhatian tidak bijaksana (ayoniso manasikāra) adalah perhatian yang merupakan cara yang salah, di jalur yang salah (uppatha), berlawanan dengan kebenaran, yaitu, perhatian pada ketidak-kekalan sebagai kekekalan, menyakitkan sebagai menyenangkan, apa yang bukan diri sebagai diri., dan apa yang menjijikkan sebagai indah. Perhatian tidak bijaksana, MA memberitahukan, adalah akar dari lingkaran kehidupan, karena menyebabkan keinginan meningkat; perhatian bijaksana adalah akar dari kebebasan dari lingkaran, karena menuntun menuju pengembangan Jalan Mulia Berunsur Delapan. MA merangkum inti dari paragraph ini sebagai: hancurnya noda-noda adalah bagi seseorang yang mengetahui bagaimana meningkatkan perhatian bijaksana dan yang melihat sehingga perhatian tidak bijaksana tidak muncul.

34) Enam di antara ini – menghilangkan bagian noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat – disebutkan dalam tanya-jawab tentang noda-noda dalam AN 6:58/iii.387-90.

35) Kata “melihat” (dassana) di sini merujuk pada yang pertama dari empat jalann lokuttara – jalan memasuki-arus (sotāpattimagga) – disebut demikian karena memberikan penglihatan sepintas pada Nibbāna. Tiga jalan yang lebih tinggi disebut jalan pengembangan (bhāvanā) karena mengembangkan penglihatan Nibbāna hingga pada titik di mana semua kekotoran tersingkirkan.

36) MA menambahkan hal penting bahwa tidak ada ketetapan dalam segala sesuatu sehubungan dengan apakah layak atau tidak layak bagi perhatian. Perbedaannya terdapat lebih kepada modus perhatian. Bahwa modus perhatian yang menjadi landasan bagi kondisi-kondisi pikiran yang tidak bermanfaat harus dihindari, sedangkan modus perhatian yang menjadi landasan bagi kondisi-kondisi yang bermanfaat harus dikembangkan. Prinsip yang sama ini berlaku juga pada §9.

37) MA mengilustrasikan pertumbuhan noda-noda melalui perhatian tidak bijaksana sebagai berikut: Ketika ia memperhatikan kepuasan dalam lima utas kenikmatan indria, noda-noda keinginan indria muncul dan meningkat; ketika ia memperhatikan kepuasan dalam kondisi-kondisi luhur (jhāna-jhāna), noda-noda penjelmaan muncul dan meningkat; ketika ia memperhatikan hal-hal lokuttara apapun melalui empat “perlawanan” (dari kekekalan, dan sebagainya), noda-noda kebodohan muncul dan meningkat.

38) Menurut MA, paragraf ini bertujuan untuk menunjukkan noda-noda pandangan (diṭṭhāsava,  tidak disebutkan dalam khotbah) di bawah judul keragu-raguan. Akan tetapi, akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa noda-noda pandangan, yang dijelaskan oleh §8, keluar dari perhatian tidak bijaksana dalam bentuk keragu-raguan. Berbagai jenis keragu-raguan telah dipenuhi dengan pandangan salah yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya.

39) Dari keenam pandangan ini, dua pertama mewakili lawan dari eternalisme dan nihilisme; pandangan bahwa “tidak ada diri yang ada padaku” bukanlah doktrin bukan-diri dari Sang Buddha, melainkan pandangan materialis yang mengidentifikasikan seseorang sebagai jasmani dan dengan demikian menganut bahwa tidak ada kelanjutan diri setelah kematian. Tiga pandangan berikutnya dapat dimengerti muncul dari pengamatan yang secara filosofis lebih rumit bahwa pengalaman memiliki struktur reflektif yang memperbolehkan kesadaran-diri, kapasitas pikiran untuk mengenali dirinya sendiri, isinya, dan jasmani yang dengannya saling berhubungan. Menekuni pencarian “sifat sejati”nya, orang biasa yang tidak terpelajar akan mengidentifikasikan diri sebagai kedua aspek pengalaman (pandangan 3), atau sebagai hanya si pengamat (pandangan 4), atau sebagai hanya yang diamati (pandangan 5). Pandangan terakhir adalah versi lengkap dari eternalisme dengan semua batasan telah dihilangkan.

40) Diri sebagai pembicara mewakili konsep diri sebagai pelaku perbuatan; diri sebagai yang merasakan, konsep diri sebagai subyek pasif. “Di sana-sini” menyiratkan diri sebagai entitas yang berpindah yang mempertahankan identitasnya di sepanjang kelahiran yang berbeda berturut-turut. Pandangan yang sama dianut oleh Bhikkhu Sāti pada MN 38.2.

41) Ini, tentu saja, adalahh formula Empat Kebenaran Mulia, yang diperlakukan sebagai subyek perenungan dan pandangan terang. MA mengatakan bahwa hingga pencapaian jalan memasuki-arus, perhatian adalah pandangan terang (vipassanā), tetapi pada saat jalan perhatian adalah pengetahuan-jalan. Pandangan terang secara langsung memahami dua buah pertama, karena wilayah sasarannya adalah fenomena batin dan materi yang terdapat dalam dukkha  dan asal-mulanya; pandangan terang ini dapat mengetahui asal-mula hanya dengan cara menyimpulkan. Pengetahuan-jalan menjadikan kebenaran lenyapnya sebagai obyeknya, memahaminya dengan penembusan sebagai obyek (ārammaṇa). Pengetahuan-jalan melakukan empat fungsi sehubungan dengan Empat Kebenaran: memahami sepenuhnya kebenaran penderitaan, meninggalkan asal-mula penderitaan, menembus lenyapnya penderitaan, dan mengembangkan jalan menuju lenyapnya penderitaan.

42) Jalan memasuki-arus berfungsi memotong ketiga belenggu pertama yang mengikat pada saṁsāra. MA mengatakan bahwa pandangan identitas dan keterikatan pada aturan dan upacara, karena termasuk pada noda-noda pandangan, adalah noda-noda serta belenggu, sedangkan keragu-raguan (biasanya) dikelompokkan hanya sebagai belenggu; tetapi karena termasuk di sini di antara “noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat,” maka dikatakan sebagai sebuah noda.

43) Jika ditinggalkannya noda-noda dipahami dalam makna tepat sebagai kehancuran tertinggi, maka hanya dua dari tujuh metode yang disebutkan dalam sutta ini yang berdampak pada pelepasan – melihat dan mengembangkan – yang di antaranya terdapat empat jalan lokuttara. Kelima metode lainnya tidak dapat secara langsung memenuhi kehancuran noda-noda, tetapi dapat mengendalikannya selama pada tahap persiapan praktik dan karenanya memfasilitasi pembasmian pada akhirnya oleh jalan lokuttara.

44) Faktor utama yang bertanggung jawab untuk melakukan pengendalian indria ini adalah perhatian. Formula yang lebih lengkap atas pengendalian indria diberikan dalam banyak sutta lainnya – misalnya, MN 27.15 – dan dianalisa secara terperinci pada Vsm I, 53-59. MA menjelaskan “demam” (pariḷāha) dalam paragraf di atas sebagai demam kekotoran dan akibat (kamma)nya.

45) Paragraf yang mengikuti di sini telah menjadi formula standard yang digunakan oleh para bhikkhu dalam perenungan sehari-hari mereka terhadap empat kebutuhan dalam kehidupan suci. Empat ini dijelaskan secara terperinci dalam Vsm I, 85-97.

46) Tempat-tempat duduk yang tidak layak ada dua jenis disebutkan dalam Pātimokkha – duduk bersama dengan seorang perempuan di tempat duduk bertirai yang memungkinkan untuk melakukan hubungan seksual, dan duduk sendiri dengan seorang perempuan di tempat pribadi. Berbagai jenis tempat yang tidak layak disebutkan dalam Vsm I, 45,

47) Ketiga jenis pertama dari pikiran tidak bermanfaat – keinginan indria, niat buruk, dan kekejaman – merupakan pikiran salah atau kehendak salah, lawan dari faktor ke dua dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ketiga jenis pikiran salah dan lawannya ini dibahas secara lebih lengkap dalam MN 19.

48) Terdapat tujuh faktor pencerahan sempurna (satta bojjhangā) yang termasuk dalam tiga puluh tujuh persyaratan pencerahan, dan dibahas secara lebih luas di bawah pada MN 10.42 dan MN 118.29-40. Bagian ini menjelaskan tujuh faktor pencerahan sempurna secara khusus sebagai bantuan untuk mengembangkan ketiga jalan lokuttara yang lebih tinggi, yang dengannya noda-noda yang lolos dari pencabutan oleh jalan pertama akan tercabut. Kata “keterasingan” (viveka), “kebosanan” (virāga), dan “lenyapnya” (nirodha) semuanya dapat dipahami sebagai merujuk pada Nibbāna. Penggunaan kata-kata itu dalam konteks ini menyiratkan bahwa pengembangan faktor-faktor pencerahan mengarah pada Nibbāna sebagai tujuannya selama tahap-tahap persiapan sang jalan, dan sebagai obyeknya dengan pencapaian jalan lokuttara. MA menjelaskan bahwa kata vossaga, diterjemahkan sebagai “pelepasan,” memiliki dua makna “melepaskan” (pariccāga), yaitu, ditinggalkannya kekotoran, dan “memasuki” (pakkhandana), yaitu, memuncak pada Nibbāna.

49) Noda keinginan indria tercabut oleh jalan yang-tidak-kembali, noda penjelmaan dan kebodohan hanya oleh jalan terakhir, Kearahatan.

50) Sepuluh belenggu harus dihancurkan untuk mencapai kebebasan sepenuhnya telah diuraikan dalam Pendahuluan, pp.42-43. Keangkuhan, pada tingkat yang paling halus, adalah keangkuhan “aku,” yang bertahan di dalam rangkaian batin hingga pencapaian Kearahatan. “Penembusan keangkuhan” (mānābhisamaya) berarti melihat menembus keangkuhan dan meninggalkannya, yang keduanya tercapai bersamaan oleh jalan Kearahatan. Bhikkhu itu telah “mengakhiri penderitaan” dalam makna bahwa ia telah mengakhiri penderitaan dalam lingkaran saṁsāra (vaṭṭadukkha).

 
SUTTA 3

51) MA: Sang Buddha membabarkan sutta ini karena banyak bhikkhu yang menjadi gembira karena perolehan dan penghormatan yang diterima Sangha, sehingga mengabaikan latihan spiritual mereka. Sang Buddha jelas tidak mungkin menetap peraturan yang melarang penggunaan benda-benda kebutuhan, tetapi Beliau ingin menunjukkan praktik para pewaris Dhamma kepada para bhikkhu yang sungguh-sungguh ingin berlatih.

52) MA menjelaskan bahwa kelima kualitas ini secara perlahan-lahan memenuhi semua tahap praktik yang memuncak pada Kearahatan.

53) Para bhikkhu senior (thera) adalah mereka yang telah menjalani kebhikkhuan selama lebih dari sepuluh musim hujan sejak penahbisan (upasampada); bhikkhu menengah telah menjalani antara lima sampai Sembilan musim hujan; bhikkhu junior kurang dari lima musim hujan.

54) Kualitas-kualitas jahat yang disebutkan di sini, dan pada bagian berikutnya, diperkenalkan untuk menunjukkan kondisi-kondisi yang disebutkan di atas (§6) dengan pernyataan: “Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru beritahukan untuk ditinggalkan.” Kualitas-kualitas ini juga merupakan faktor-faktor yang menunjang seorang bhikkhu untuk lebih menjadi pewaris dalam hal benda-benda materi daripada pewaris Dhamma. Dalam MN 7.3 enam belas kualitas yang sama, dengan “niat buruk” menggantikan “kebencian” dirujuk sebagai “ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran” (cittass’ upakkilesā). Baca n.87 di bawah.

55) Jalan Mulia Berunsur Delapan diperkenalkan di sini untuk menunjukkan praktik yang membuat seseorang menjadi seorang “pewaris Dhamma.” Perlawanan antara kekotoran dan sang jalan menegaskan kembali, dari sudut pandang baru, perlawanan antara “pewaris dalam benda-benda materi” dan “pewaris Dhamma” yang dengannya Sang Buddha memulai sutta ini.


SUTTA 4

56) MA mengatakan bahwa Jāṇussoṇi bukanlah nama aslinya melainkan suatu gelar kehormatan yang berarti “brahmana kerajaan” (purohita) yang dianugerahkan kepadanya oleh raja. MN 27 juga ditujukan kepaada Brahmana Jāṇussoṇi.

57) Bhoto Gotamassa sā janatā diṭṭhānugatiṁ āpajjati. Ñm menerjemahkan: “Apakah orang-orang ini mengikuti makna dari pandangan Guru Gotama?” dan Horner: “orang-orang ini meniru pandangan-pandangan Gotama Mulia” (MLS 1:22). MA juga mengemas: “Orang-orang ini memiliki pandangan dan opini  yang sama dengan Guru Gotama.” Akan tetapi, akan lebih tepat dalam konteks ini untuk menuliskan diṭṭha bukan sebagai bentuk sandhi dari diṭṭhi, melainkan sebagai bentuk lampau, dan mengartikan frasa ini sebagai “mengikuti apa yang mereka lihat dari dirinya,” yaitu, teladannya. Makna ini jelas diperlukan oleh frasa yang terdapat pada SN ii.203, AN i.126, AN iii.108, 251, 422.

58) Ñm awalnya telah menerjemahkan frasa ini sebagai “sempurna dalam pemahaman,” dan frasa yang bersesuaian pada bagain sebelumnya sebagai “sempurna dalam konsentrasi.”Akan tetapi, karena sepertinya tidak tepat untuk memasangkan kesempurnaan pada samādhi dan paññā kepada Bodhisatta sebelum pencerahanNya, maka saya memilih untuk menerjemahkan akhiran sampanna di sepanjang sutta ini sebagai “memiliki.” MA menjelaskan bahwa ini bukanlah kebijaksanaan pandangan terang juga bukan kebijaksanaan sang jalan, melainkan kebijaksanaan yang mendefinisikan sifat dari obyek itu (ārammaṇavavatthānapaññā).

59) Tahun India, menurut sistem kuno yang diwarisi oleh Buddhisme, terbagi dalam tiga musim – musim dingin, musim panas, dan musim hujan – masing-masing berlangsung selama empat bulan. Empat bulan itu dibagi lagi dalam periode dua mingguan (pakkha), yang ke empat dan ke tujuh terdiri dari empat belas hari dan yang lainnya terdiri dari lima belas hari. Pada masing-masing dua mingguan, malam bulan purnama dan bulan baru (baik tanggal empat belas atau lima belas) dan malam bulan setengah (hari ke delapan) dianggap sebagai hari yang keramat. Dalam Buddhisme masa sekarang menjadi Uposatha, hari pelaksanaan aturan-aturan religius. Pada hari bulan purnama dan bulan baru para bhikkhu membacakan aturan-aturan dan umat-umat awam mengunjungi vihara untuk mendengarkan khotbah atau mempraktikkan meditasi.

60) Empat postur (iriyāpatha) yang sering disebutkan dalam teks Buddhis adalah berjalan, berdiri, duduk, dan berbaring.

61) Dimulai dari bagian ini, Sang Buddha menunjukkan perjalanan prakti yang menuntunNya menuju puncak ketidak-bodohan.

62) MA mengatakan bahwa Sang Bodhisatta mengembangkan empat jhāna menggunakan perhatian pada pernafasan sebagai subyek meditasiNya.

63) Dijelaskan secara terperinci dalam Vsm XIII, 13-71.

64) Dijelaskan secara terperinci dalam Vsm XIII, 72-101.

65) MA: Setelah menunjukkan Empat Kebenaran Mulia dalam sifat sejatinya (yaitu, dalam hal penderitaan), paragraf tentang noda-noda disebutkan untuk menunjukkan secara tidak langsung melalui kekotoran.

66) Menurut MA, frasa “Ketika aku mengetahui dan melihat demikian” merujuk pada pandangan terang dan sang jalan; yang mencapai puncaknya dalam jalan Kearahatan; frasa “batinKu terbebaskan” menunjukkan saat buah, dan frasa “muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan’” menunjukkan pengetahuan peninjauan (baca Vsm XXII, 20-21), demikian pula dengan kalimat berikutnya yang dimulai dengan “Aku secara langsung mengetahui.”

67) Ini adalah pernyataan umum Kanonis atas pencapaian pengetahuan akhir atau Kearahatan. MA menjelaskan bahwa pernyataan “Kelahiran telah dihancurkan” berarti bahwa kelahiran jenis apapun juga yang mungkin telah muncul jika sang jalan belum dikembangkan telah tidak mampu muncul lagi melalui pengembangan sang jalan. “Kehidupan suci” yang telah dijalani adalah kehidupan suci sesuai sang jalan (maggabrahmacariya). Frasa “apa yang harus dilakukan telah dilakukan” (kataṁ karaṇīyaṁ) menunjukkan empat tugas dari jalan mulia – memahami sepenuhnya penderitaan, meninggalkan asal-mulanya, menembus lenyapnya, dan mengembangkan sang jalan – telah diselesaikan seluruhnya pada masing-masing dari empat jalan lokuttara. Frasa ke empat, nāparaṁ itthattāya, dikemas oleh MA sebagai berikut: “Sekarang tidak perlu lagi bagiku untuk mengembangkan sang jalan karena ‘kondisi demikian’, yaitu, demi enam belas fungsi (dari sang jalan) atau demi hancurnya kekotoran. Atau dengan kata lain: setelah ‘kondisi demikian,’ yaitu, rangkaian kelompok-kelompok unsur kehidupan yang terjadi saat ini, tidak ada lagi rangkaian kelompok-kelompok unsur kehidupan yang lebih jauh lagi bagiku. Kelima kelompok unsur kehidupan ini, setelah dipahami sepenuhnya, berdiri bagaikan pohon yang ditebang di akarnya. Dengan lenyapnya kesadaran terakhir, kelompok-kelompok unsur kehidupan itu akan padam bagaikan api tanpa bahan bakar.” Saya telah memilih interpretasi ke dua, tetapi mengartikan itthattāya sebagai bentuk obyek tidak langsung. Kata ini, yang secara literal berarti “kondisi ini” atau “kondisi demikian,” menyiratkan manifestasi kondisi kehidupan konkrit. Ñm menerjemahkan: “Tidak ada lagi yang melampaui ini.”

68) MA: Beliau memiliki “belas kasihan kepada generasi mendatang” sejauh generasi-generasi para bhikkhu di masa depan, dengan melihat bahwa Sang Buddha mendatangi tempat-tempat tinggal di dalam hutan, akan mengikuti teladanNya dan dengan demikian mempercepat kemajuan mereka menuju akhir penderitaan.
« Last Edit: 18 October 2010, 01:49:15 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
« Reply #66 on: 18 October 2010, 01:48:51 PM »


SUTTA 5

69) MA, mengutip penggunaan kata “orang” (puggala) oleh Yang Mulia Sāriputta, menjelaskan bahwa Sang Buddha memiliki dua ajaran – ajaran konvensional (sammutidesanā) yang diungkapkan sehubungan dengan orang, makhluk, perempuan, dan laki-laki dan sebagainya,. Dan ajaran mutlak (paramatthadesanā) yang diungkapkan hanya seubungan dengan apa yang memiliki validitas filosofis tertinggi, seperti kelompok-kelompok unsur kehidupan, unsur-unsur, landasan-landasan indria, ketidak-kekalan, penderitaan, bukan-diri, dan sebagainya. Sang Buddha membabarkan ajaranNya dengan cara yang sesuai untuk membantu si pendengar menembus maknanya, menyingkirkan kebodohan, dan mencapai kemuliaan. Oleh karena itu penggunaan kata “orang,” tidak menyiratkan kekeliruan dalam arti orang sebagai diri.

70) Subhanimitta: suatu obyek yang menarik yang menjadi landasan bagi nafsu. Sang Buddha mengatakan bahwa perhatian tidak bijaksana pada gambaran keindahan adalah makanan (āhāra) bagi munculnya keinginan indria yang belum muncul dan bagi berkembangnya keinginan indria yang telah muncul (SN 46:2/v.64)

71) Ini adalah praktik pertapaan keras, penghuni hutan, pemakan makanan yang didanakan, berkunjung dari rumah ke rumah, pemakai jubah dari kain yang dibuang dijelaskan dalam Vsm II.

72) Ini adalah praktik “yang lebih lunak” daripada yang disebutkan pada §29, umumnya dianggap sebagai gambaran komitmen usaha yang kurang kuat demi mencapai tujuan.

73) Para Ājīvaka atau Ājīvika, adalah aliran saingan yang ajarannya menekankan pada praktik keras berdasarkan pada filosofi yang berbatasan dengan fatalisme. Baca Basham, History and Doctrines of the Ājivikas.

74) Kata ganti milik mensyaratkan bahwa hati tidak terdapat dalam Pali, tetapi makna frasa ini harus dipahami dengan mempertimbangkan perumpamaan. Seperti halnya Samīti menghaluskan cacat dari lingkaran roda seolah-olah ia mengetahui hati Paṇḍuputta dengan hatinya, demikian pula Sāriputta menghaluskan cacat dari para bhikkhu seolah-olah ia mengetahui keinginan Moggallāna yang ingin melenyapkannya. MLS (1:40) kehilangan maknanya dengan menerjemahkan: “karena ia mengetahui hati mereka dengan hatinya,” menganggap rujukan pertama adalah kepada para bhikkhu bukan kepada YM. Moggallāna.

75) Mahānāga. Nāga adalah kelompok makhluk yang menyerupai naga dalam mitologi India yang dipercaya menghuni wilayah bawah tanah dan menjadi penjaga harta tersembunyi. Kata ini muncul mewakili makhluk-makhluk besar dan perkasa, seperti gajah bergading atau kobra dan, dengan memperluasnya, seorang bhikkhu Arahant. Baca Dhp, ch.23, Nāgavagga.


SUTTA 6

76) MA mengatakan bahwa ungkapan sampannasīlā, yang diterjemahkan di sini sebagai “memiliki moralitas,” dapat bermakna “sempurna dalam moralitas” (paripuṇṇasīlā) atau “memiliki moralitas” (sīlasamangino). Pātimokkha adalah aturan disiplin monastik, yang dalam versi Pali terdiri dari 227 aturan,.  Gocara menyiratkan tempat yang sesuai untuk menerima dana makanan, walaupun kata ini juga dapat berarti penampilan selayaknya dari seorang bhikkhu, ketenangannya dan pengendalian dirinya. Kata kunci dalam paragraf ini dianalisa dalam Vsm I, 43-52.

77) MA: paragraf yang dimulai dengan “maka ia harus memenuhi aturan-aturan,” diulangi pada tiap-tiap bagian berikutnya hingga akhir sutta, terdiri dari keseluruhan tiga latihan. Frasa mengenai memenuhi aturan-aturan menyiratkan latihan dalam moralitas yang lebih tinggi (adhisīlasikkhā); frasa “menekuni ketenangan pikiran internal, tidak mengabaikan meditasi” menyiratkan latihan dalam konsentrasi yang lebih tinggi (adhicittasikkhā); dan frasa “memiliki pandangan terang” merujuk pada latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi (adhipaññāsikkhā). Frasa “berdiam dalam gubuk kosong” menggabungkan kedua latihan yang terakhir, karena seseorang mendatangi gubuk kosong bertujuan untuk mengembangkan ketenangan dan pandangan terang.

78) Yaitu, jika sanak saudara yang telah terlahir kembali di alam hantu atau di alam dewa yang rendah mengingat moralitas bhikkhu dengan penuh keyakinan, maka keyakinan itu akan menjadi sumber kebajikan bagi mereka, melindungi mereka dari kelahiran kembali yang buruk dan menjadi kondisi positif untuk mencapai Nibbāna.

79) Ini adalah empat pencapaian tanpa materi yang mana formula lengkapnya terdapat dalam MN 8.8-11, MN 25.16-19, dan sebagainya. MA mengemas “tubuh” sebagai “tubuh batin” (nāmakāya).

80) Tiga belenggu yang dihancurkan oleh pemasuk-arus adalah pandangan identitas, keragu-raguan, dan keterikatan pada aturan dan upacara, seperti disebutkan pada MN 2.11.

81) Sebagai tambahan pada tiga belenggu pertama, yang-tidak-kembali menghancurkan dua “belenggu yang lebih rendah” lainnya, yaitu, keinginan-indria dan niat buruk. Yang-tidak-kembali terlahir kembali di wilayah khusus di alam Brahmā yang disebut dengan Alam Murni, dan mengakhiri penderitaan di sana.

82) §§140-19 menyajikan enam belas pengetahuan langsung (abhiññā). Baca Pendahuluan, p.37; untuk penjelasan lebih lengkap, baca Vsm XII dan XVIII.

83) MA: Dalam paragraf ini “pikiran” dan “kebijaksanaan” berturut-turut menyiratkan, konsentrasi dan kebijaksanaan yang berhubungan dengan Buah Kearahatan. Konsentrasi disebut “kebebasan pikiran” (cetovimutti) karena terbebaskan dari nafsu; kebijaksanaan disebut “kebebasan melalui kebijaksanaan” (paññāvimutti) karena terbebas dari kebodohan. Kebebasan pikiran biasanya adalah hasil dari ketenangan, kebebasan melalui kebijaksanaan biasanya adalah hasil dari pandangan terang. Tetapi ketika digabungkan dan digambarkan sebagai tanpa-noda (anāsava), secara bersama-sama merupakan hasil dari hancurnya noda-noda melalui jalan lokuttara Kearahatan.


SUTTA 7

84) Untuk penjelasan yang lebih lengkap atas sutta ini dan sutta berikutnya, dengan pendahuluan yang sangat membantu dan penjelasan panjang pada catatan kaki, baca Nyanaponika Thera, The Simile of the Colth and The Discourse of Effacement.

85) Alam tujuan kelahiran yang buruk (duggati) adalah kelahiran kembali di tiga alam sengsara- neraka, alam binatang, dan alam hantu. Alam tujuan kelahiran yang bahagia (sugati), yang disebutkan persis di bawahnya, adalah kelahiran kembali di antara manusia, dan di alam-alam surga.

86) Cittassa upakkilesā. Kata upakkilesā kadang-kadang digunakan dalam makna tanpa noda atau ketidak-sempurnaan konsentrasi meditatif, seperti pada MN 128:27, 30; kadang-kadang dalam makna noda atau ketidak-sempurnaan pandangan terang, seperti pada Vsm XX, 106; dan kadang-kadang menyiratkan kekotoran minor yang muncul dari ketiga akar tidak bermanfaat – keserakahan, kebencian, dan kebodohan – apakah sebagai modusnya atau cabangnya. Di sini digunakan dalam makna ke tiga, tetapi mempertahankan hubungan dengan kedua penggunaan pertama, diterjemahkan oleh frasa “ketidak-sempurnaan yang mengotori batin.”

87) MA memberikan beberapa perbedaan sementara antara ketamakan (abhijjhā) dan perbuatan tidak baik (visamalobha), tetapi kemudian karena, dari sudut pandang latihan yang lebih tinggi, semua keserakahan adalah tidak baik, maka kedua kata ini dapat dipahami sebagai hanya perbedaan sebutan untuk faktor batin yang sama, keserakahan atau nafsu. Di sini saya menuliskan penjelasan MA atas beberapa kekotoran batin lainnya: Kekesalan (upanāha) terbentuk setelah kemarahan berulang-ulang menyelimuti pikiran. Meremehkan (makkha) adalah penurunan manfaat atas seseorang oleh orang lain. Kecongkakan (paḷāsa) adalah dugaan (yugaggāha) yang muncul ketika seseorang menempatkan dirinya setara dengan orang lain yang memiliki kualitas lebih. Kecemburuan (issā) adalah kekesalan terhadap penghormatan, dan lain-lain yang diterima orang lain.; kekikiran (macchariya) adalah keengganan untuk membagi miliknya dengan orang lain. Sifat keras kepala (thambha) adalah ketidak-lenturan, kekakuan, kesukaran, bagaikan pipa pengembus yang penuh dengan angin. Persaingan (sārambha)  adalah usaha untuk mengalahkan orang lain, terdorong untuk melampaui pencapaian orang lain. Beberapa dari kekotoran ini juga didefinisikan pada Vbh §§45-46, 891-94.

88) MA mengatakan bahwa meninggalkan yang dibicarakan di sini harus dipahami sebagai “meninggalkan melalui pemberantasan” (samucchedappahāna), yaitu, mencabut secara total melalui jalan lokuttara. Enam belas kekotoran ditinggalkan oleh jalan mulia dalam urutan sebagai berikut:
1.   Jalan memasuki-arus meninggalkan: meremehkan, kepongahan, kecemburuan, kekikiran, penipuan, kecurangan
2.   Jalan yang-tidak-kembali meninggalkan: niat buruk, kemarahan, kekesalan, kelengahan.
3.   Jalan Kearahatan meninggalkan: ketamakan dan keserakahan yang tidak baik, kekeras-kepalaan, persaingan, keangkuhan, kesombongan, kebanggaan.

MA mempertahankan, dengan referensi pada sumber penafsiran kuno, bahwa paragraf ini menjelaskan jalan yang-tidak-kembali. Oleh karena itu kita harus memahami bahwa kekotoran-kekotoran yang harus ditinggalkan sepenuhnya melalui jalan Kearahatan pada titik ini hanya ditinggalkan sebagian, melalui manifestasinya yang lebih kasar.

89) Keyakinan yang tidak tergoyahkan (aveccappasāda) pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha adalah atribut seorang siswa mulia pada minimal seorang pemasuk-arus, yang keyakinannya sempurna karena ia telah melihat kebenaran Dhamma itu oleh dirinya sendiri. Formula perenungan Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha dijelaskan secara lengkap dalam Vsm VII.

90) Terjemahan ini mengikuti tulisan yatodhi dan penjelasan MA atas kata ini sebagai meninggalkan sebagian kekotoran melalui tiga jalan pertama, berlawanan dengan total (anodhi) kekotoran yang harus ditinggalkan oleh jalan ke empat atau terakhir. Ñm, mengikuti tulisan yatodhi, menerjemahkan: “Dan apapun [dari ketidak-sempurnaan itu] yang telah, menurut batasan [yang ditetapkan tiga jalan pertama yang manapun yang telah ia capai], dihentikan, dijatuhkan [selamanya], dibiarkan berlalu, ditinggalkan, dilepaskan.” Kedua variasi ini sepertinya berasal dari zaman dulu karena keduanya dikenali oleh MA.

91) Labhati atthavedaṁ labhati dhammavedaṁ.  YM. Nyanaponika menerjemahkan: “Ia memperoleh antusiasme pada tujuan,  ia memperoleh antusiasme pada Dhamma.” MA menjelaskan veda sebagai bermakna kegembiraan dan pengetahuan yang berhubungan dengan kegembiraan itu, dan mengatakan: “Atthaveda adalah inspirasi yang muncul dalam diri seseorang yang merenungkan ditinggalkannya kekotoran secara sebagian, penyebab keyakinan yang tidak tergoyahkan.”

92) Padanan dalam Pali, dalam bentuk kata benda, atas kata dalam rangkaian ini adalah: pāmojja, kegembiraan; piti, kegembiraan meluap; passaddhi, ketenangan; samādhi, konsentrasi.  Ketenangan, dengan melenyapkan ganguan-gangguan batin dan jasmani yang halus yang berhubungan dengan kegembiraan dan kegembiraan meluap, membawa kenikmatan tenang dan mempersiapkan pikiran untuk konsentrasi yang semakin mendalam.

93) Kata dalam Pali adalah: evaṁsīlo evaṁdhammo evaṁpañño. Kata yang di tengah, dalam konteks ini, jelas merujuk pada tahap ke dua dari tiga latihan, yaitu, konsentrasi, walupun cukup mengherankan mengapa kata samādhiī tidak digunakan. Komentar MN 123.2 mengemas sebuah ungkapan paralel dengan samādhi-pakkha-dhammā, “kondisi-kondisi yang diperlukan oleh konsentrasi.”

94) Pernyataan ini menggaris-bawahi pencapaian tingkat yang-tidak-kembali. Karena yang-tidak-kembali telah melenyapkan keinginan indria, maka makanan lezat tidak dapat merintanginya dalam perjalanannya menuju jalan dan buah terakhir.

95) §§13-16 menyajikan formula-formula sutta standard mengenai empat “kediaman Brahma” (brahmavihāra). Secara singkat, cinta kasih (mettā) adalah keinginan akan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk-makhluk lain; belas kasihan (karuṇā), empati kepada mereka yang menderita; kegembiraan altruistik (muditā), bergembira atas kebajikan dan keberhasilan mereka; dan keseimbangan (upekkha), sikap tidak-membeda-bedakan yang bebas terhadap makhluk-makhluk (bukan ketidak-pedulian atau ketidak-acuhan). Untuk penjelasan lebih lengkap, baca Vsm IX.

96) MA: Bagian ini menunjukkan praktik meditasi pandangan terang dari yang-tidak-kembali yang ditujukan pada Kearahatan dan bagian berikutnya menunjukkan pencapaian Kearahatannya. Frasa “Ada ini” menyiratkan kebenaran penderitaan; “ada yang rendah,” asal-mula penderitaan; “ada yang mulia,” kebenaran sang jalan; dan “ada jalan membebaskan diri dari keseluruhan bidang persepsi ini” adalah Nibbāna, lenyapnya penderitaan.

97) MA: Sang Buddha menggunakan frasa ini untuk membangkitkan perhatian Brahmana Sundarika Bhāradvāja, yang berada dalam kumpulan itu dan mempercayai pemurnian melalui ritual mandi. Sang Buddha meramalkan bahwa brahmana itu akan terinspirasi dan menerima penahbisan di bawah Beliau dan akan mencapai Kearahatan.

98) Ini adalah sungai-sungai dan penyeberangan yang dipercaya dapat memurnikan.

99) Kata Pali adalah phaggu, satu hari untuk pemurnian brahmana di bulan Phagguna (Februari-Maret), dan uposatha, hari pelaksanaan religius yang diatur dalam penanggalan lunar. Baca n.59.

100) Pelepasan keduniawian (pabbajja) adalah penahbisan resmi untuk menjalani kehidupan tanpa rumah sebagai sāmaṇera; penahbisan penuh (upasampadā) memberikan status bhikkhu, anggota penuh dari Sangha.


SUTTA 8

101) Baca n.84

102) Pandangan-pandangan yang berhubungan dengan doktrin diri (attavādapaṭisaṁyuttā), menurut MA, ada dua puluh jenis pandangan identitas yang diuraikan pada MN 44.7, walaupun pandangan-pandangan itu juga dapat dipahami memasukkan doktrin yang lebih luas tentang diri yang dibahas dalam MN 102. pandangan-pandangan yang berhubungan dengan doktrin tentang dunia (lokavādapaṭisaṁyutta) ada delapan pandangan; dunia adalah abadi, tidak abadi, keduanya, atau bukan keduanya; dunia adalah terbatas, tidak terbatas, keduanya, atau bukan keduanya. Baca MN 63 dan MN 72 mengenai penolakan Sang Buddha atas pandangan-pandangan ini.

103) MA: Pertanyaan ini merujuk pada seseorang yang telah mencapai hanya tahap awal dari meditasi pandangan terang tanpa mencapai tingkat memasuki-arus, jenis pelepasan yang dibahas adalah melepaskan melalui pencabutan, yang hanya dapat terjadi pada jalan memasuki-arus. YM. Mahā Cunda mengajukan pertanyaan ini karena beberapa meditator terlalu meninggikan pencapaian mereka, menganggap bahwa mereka telah meninggalkan pandangan-pandangan itu sementara mereka belum benar-benar melenyapkannya.

104) MA menjelaskan bahwa kata “muncul” (uppajjanti) di sini merujuk pada munculnya pandangan-pandangan yang belum muncul sebelumnya; “berlandaskan” (anusenti) pada kekuatannya yang terkumpul melalui keterikatan terus-menerus pada pandangan-pandangan itu; dan “diterapkan” (samudācaranti) pada perbutan jasmani atau ucapan mereka. “Obyek” di mana pandangan-pandangan itu berlandaskan adalah kelima kelompok unsur kehidupan (khandha) yang merupakan sesosok orang atau makhluk hidup – bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan batin, dan kesadaran.

105) Dengan pernyataan ini Sang Buddha menunjukkan cara yang dengannya pandangan-pandangan tercabut: perenungan pada kelima kelompok unsur kehidupan sebagai “bukan milikku”, dan seterusnya, dengan kebijaksanaan pandangan terang yang memuncak pada jalan memasuki-arus.

106) MA menjelaskan bahwa Sang Buddha, setelah menjawab pertanyaan bhikkhu itu, sekarang membicarakan jenis orang yang terlalu meninggikan – mereka yang mencapai delapan pencapaian meditatif dan percaya bahwa mereka mempraktikkan pemurnian yang sesungguhnya (sallekha). Kata sallekha, yang berarti praktik pertapaan atau praktik keras, digunakan oleh Sang Buddha untuk menyiratkan penghapusan atau pelenyapan kekotoran secara radikal. Walaupun delapan pencapaian di tempat lain diletakkan dalam Latihan Buddhis (baca MN 25.12-19, MN 26.34-41), di sini dikatakan bahwa pencapaian itu tidak disebut sebagai pemurnian karena bhikkhu yang mencapainya tidak menggunakannya sebagai landasan bagi pandangan terang – seperti dijelaskan, misalnya, dalam MN 52 dan MN 64 – melainkan hanya sebagai alat untuk menikmati kebahagiaan dan kedamaian.

107) Empat puluh empat “cara pemurnian” yang dijelaskan, jatuh dalam beberapa kelompok ajaran sebagai berikut. Yang tidak disebutkan di sini berarti tidak termasuk dalanm kelompok manapun.
(2)-(11) adalah sepuluh perbuatan tidak bermanfaat dan perbuatan bermanfaat (kammapatha) – baca MN 9.4, 9.6;
(12)-(18) adalah tujuh faktor terakhir dari Jalan Delapan – buruk dan baik – faktor pertama identik dengan (1);
(19)-(20) kadang-kadang ditambahkan pada dua Jalan Delapan – baca MN 117.34-36;
(21)-(23) adalah tiga terakhir dari lima rintangan – baca MN 10.36 – dua yang pertama identik dengan (9) dan (10);
(24)-(33) adalah sepuluh dari enam belas ketidak-sempurnaan yang mengotori batin, yang disebutkan dalam MN 7.3;
(37)-(43) adalah tujuh kualitas buruk dan tujuh kualitas baik (saddhammā) yang disebutkan dalam MN 53.11-17.

108) MṬ: Ketidak-kejaman (avihiṁsā), yang merupakan sinonim dari belas kasihan, disebutkan pertama karena merupakan akar dari segala kebajikan, khususnya penyebab-akar dari moralitas.

109) MA: Ini adalah penjelasan dari mereka yang menggenggam erat-erat pada pandangan yang telah muncul dalam diri mereka, dengan mempercayai “Hanya inilah kebenaran”; mereka tidak melepaskannya bahkan jika disuruh oleh Sang Buddha dengan argumen yang masuk akal.

110) MA: Kecenderungan pikiran bermanfaat besar karena secara eksklusif membawa kesejahteraan dan kebahagiaan, dan karena menjadi penyebab dari perbuatan selanjutnya yang bersesuaian.

111) Kata Pali yang diterjemahkan sebagai “padam” adalah parinibbuto, yang juga dapat berarti “mencapai Nibbāna”; dan kata Pali yang diterjemahkan “membantu memadamkan” adalah parinibbāpessati, yang juga dapat berarti “membantu mencapai Nibbāna” atau “membawa menuju Nibbāna.” Kata Pali untuk ungkapan selanjutnya “yang dengannya memadamkannya,” parinibbānaya, mungkin dapat diterjemahkan “untuk mencapai Nibbāna.” Walaupun dalam seluruh tiga kasus terjemahan alternatif ini akan menjadi terlalu dipaksakan secara literal, maknanya berperan pada usulan atas makna asli dalam cara yang tidak dapat ditangkap dalam terjemahan.

112) MA menunjukkan bahwa pernyataan ini dapat dipahami dalam dua cara: (1) Seseorang yang bebas dari kekejaman dapat menggunakan ketidak-kejamannya untuk membantu memadamkan kekejaman orang lain; dan (2) seseorang yang kejam dapat mengembangkan ketidak-kejaman untuk memadamkan watak kejamnya. Seluruh kasus berikutnya harus dipahami dalam dua cara serupa.

113) MA: Tugas guru yang berbelas kasihan adalah ajaran Dhamma yang benar; di luar itu adalah praktik, yang merupakan tugas para siswa.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
« Reply #67 on: 18 October 2010, 01:50:36 PM »

SUTTA 9

114) MA: Pandangan benar ada dua: lokiya dan lokuttara: Pandangan benar lokiya dibagi menjadi dua lagi: pandangan bahwa kamma menghasilkan buahnya, yang dianut oleh baik para Buddhis maupun diluar Buddhis, dan pandangan yang sesuai dengan Empat Kebenaran Mulia, yang eklusif pada Ajaran Buddha. Pandangan benar lokuttara adalah pemahaman atas Empat Kebenaran Mulia yang dicapai melalui penembusan empat jalan dan buah kesucian. Pertanyaan yang diajukan oleh Yang Mulia Sāriputta adalah sehubungan dengan sekha, siswa dalam latihan yang lebih tinggi, yang memiliki pandangan benar yang satu arah menuju kebebasan. Ini disiratkan oleh frasa “keyakinan tidak tergoyahkan” dan “telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

115) Di sini yang tidak bermanfaat (akusala) dijelaskan melalui sepuluh perbuatan tidak bermanfaat. Tiga pertama berhubungan dengan perbuatan jasmani, empat berikutnya berhubungan dengan ucapan, dan tiga terakhir berhubungan dengan pikiran. Sepuluh ini dijelaskan secara lengkap pada MN 41.8-10.

116) Tiga ini disebut akar yang tidak bermanfaat karena mendorong semua perbuatan tidak bermanfaat. Untuk pembahasan yang lebih lengkap dan informatif dari faktor-faktor ini dan lawan-lawannya, baca Nyanaponika Thera, The Roots of Good and Evil.

117) Sepuluh perbuatan tidak bermanfaat ini dijelaskan dalam MN 42.12-14.

118) MA menjelaskan pemahaman siswa atas keempat hal ini melalui Empat Kebenaran Mulia adalah sebagai berikut: semua perbuatan adalah kebenaran penderitaan; akar bermanfaat dan tidak bermanfaat adalah kebenaran asal-mula; tidak terjadinya perbuatan itu dan akar-akarnya adalah kebenaran lenyapnya; dan jalan mulia yang mencapai lenyapnya adalah kebenaran sang jalan. Hingga sejauh ini seorang siswa mulia pada salah satu dari ketiga tingkat telah dijelaskan – seorang yang telah sampai pada pandangan benar lokuttara namun belum melenyapkan semua kekotoran.

119) Paragraf dari “ia sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu” hingga “ia mengakhiri penderitaan” menunjukkan tugas yang diselesaikan oleh jalan yang-tidak-kembali dan jalan Kearahatan – lenyapnya kekotoran yang paling halus dan membandel dan pencapaian pengetahuan akhir. Di sini, kecenderungan tersembunyi pada nafsu indria dan kebencian dilenyapkan melalui jalan yang-tidak-kembali, kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan “aku” dan kebodohan melalui jalan Kearahatan. MA menjelaskan bahwa ungkapan “kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan ‘aku’” (asmī ti diṭṭhimānānusaya) harus diinterpretasikan sebagai bermakna kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan yang serupa dengan pandangan karena, seperti halnya pandangan diri yang menangkap gagasan “aku ada.”

120) Di sini saya menganggap sambhavesīnam sebagai bentuk (jarang digunakan) kata kerja aktif masa depan dalam  -esin.  (baca Norman, Elders; Verses I: Theragāthā, n.527, dan Gelger, A Pali Grammar, 193A.) Para komentator, yang saya ikuti dalam edisi pertama buku ini, menganggap –esin sebagai bentuk kata sifat dari esati, mencari, dan dengan demikian menjelaskan frasa ini sebagai bermakna “mereka yang mencari kehidupan baru.” Baca juga n.514. Makanan (āhāra) di sini harus dipahami dalam makna yang luas sebagai kondisi yang menonjol bagi kelangsungan hidup individu. Makanan fisik (kabalinkāra āhāra) adalah kondisi penting bagi tubuh fisik, kontak bagi perasaan, kehendak pikiran bagi kesadaran, dan kesadaran bagi batin-jasmani, organisme yang memiliki batin dan jasmani secara keseluruhan. Keinginan disebut asal-mula makanan dalam hal bahwa keinginan dari kehidupan sebelumnya adalah sumber dari individu sekarang dengan ketergantungannya pada konsumsi terus-menerus akan empat makanan dalam kehidupan ini. Untuk kompilasi kanon yang disertai keterangan dan komentar atas makanan-makanan, baca Nyanaponika Thera, The Four Nutriments of Life.

121) Dua belas bagian selanjutnya menyajikan, dalam urutan mundur, penelaahan faktor demi faktor dari sebab-akibat yang saling bergantungan. Kata penting dari formula ini dijelaskan secara ringkas pada Pendahluan, pp.30-31. penafsiran terperinci terdapat dalam Vsm XVII. Di sini masing-masing faktor terpola menurut Empat Kebenaran Mulia.

122) Ini merujuk pada kelima kelompok unsur kehidupan. Baca MN 10.38 dan MN 44.2.

123) Enam landasan bagi kontak diuraikan pada §50 di bawah.

124) Tiga jenis penjelmaan dijelaskan dalam Pendahuluan, pp.46-48, dalam pembahasan mengenai kosmologi Buddhis. Di sini, “penjelmaan” harus dipahami baik sebagai alam kelahiran kembali yang sesungguhnya maupun jenis kamma yang menghasilkan kelahiran kembali di alam tersebut.

125) Kemelekatan pada aturan dan upacara adalah keterikatan pada pandangan bahwa pemurnian dapat dicapai dengan mengadopsi aturan eksternal tertentu atau mengikuti upacara tertentu, khususnya disiplin-diri pertapaan; kemelekatan pada doktrin diri adalah bersinonim dengan pandangan diri dalam salah satu dari dua puluh jenisnya (baca MN 44.7); kemelekatan pada pandangan adalah kemelekatan pada seluruh jenis lain pandangan kecuali dua yang disebutkan secara terpisah. Kemelekatan dalam salah satu variasinya merupakan suatu penguatan keinginan, kondisinya.

126) Keinginan akan obyek-obyek pikiran (dhammataṇhā) adalah keinginan akan segala obyek kesadaran kecuali obyek-obyek dari kelima jenis kesadaran indria. Contohnya adalah keinginan akan khayalan dan gambaran pikiran, keinginan akan gagasan-gagasan abstrak dan sistem intelektual, keinginan akan perasaan-perasaan dan kondisi-kondisi emosi, dan sebagainya.

127) Kontak (phassa) dijelaskan pada MN 18.16 sebagai pertemuan antara organ indria, obyeknya, dan kesadaran.

128) Landasan-pikiran (manāyatana) adalah kata gabungan untuk segala jenis kesadaran. Satu bagian landasan ini – “rangkaian kehidupan” (bhavanga) atau kesadaran bawah sadar – adalah “pintu” bagi munculnya kesadaran-pikiran. Baca n.130.

129) Batin-jasmani (nāma-rūpa) adalah sebuah kata yang memayungi organisme yang memiliki batin-jasmani yang secara khusus memiliki kesadaran. Kelima faktor batin yang disebutkan dalam kelompok nāma adalah tidak dapat dipisahkan dari kesadaran dan dengan demikian berhubungan dengan seluruh pengalaman kesadaran. Empat unsur utama secara nyata mewakili kualitas materi kepadatan, kohesi, panas, dan perluasan. Bentuk materi diturunkan dari unsur-unsur termasuk, menurut analisa Abhidhamma, zat sensitif kelima indria; empat obyek indria – warna, suara, bau-bauan, dan rasa kecapan. (obyek sentuhan merupakan tiga unsur tanah, api, dan udara); kemampuan hidup secara fisik, inti makanan, perbedaan jenis kelamin, dan jenis lain fenomena materi. Baca Pendahuluan, p.56.

130) Kesadaran-pikiran (manoviññāṇa) terdiri dari seluruh kesadaran kecuali lima jenis kesadaran indria yang telah disebutkan. Termasuk kesadaran dari gambaran pikiran, gagasan-gagasan abstrak, dan kondisi internal pikiran, serta kesadaran dalam merenungkan obyek-obyek indria.

131) Dalam konteks doktrin sebab-akibat yang saling bergantungan, bentukan-bentukan (sankhārā) adalah kehendak-kehendak yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat, atau, singkatnya, kamma. Bentukan jasmani adalah kehendak yang dinyatakan melalui jasmani, bentukan ucapan adalah kehendak yang dinyatakan melalui ucapan, dan bentukan batin adalah kehendak yang tetap berada di dalam tanpa berubah menjadi ungkapan jasmani atau ucapan.

132) Harus dipahami bahwa sementara kebodohan adalah kondisi bagi noda-noda, noda-noda – termasuk noda kebodohan – pada gilirannya adalah kondisi bagi kebodohan. MA mengatakan bahwa pengondisian kebodohan oleh kebodohan harus dipahami sebagai bermakna bahwa kebodohan dalam satu kehidupan dikondisikan oleh kebodohan dalam kehidupan sebelumnya. Karena itu, kesimpulan yang mengikuti adalah bahwa tidak ada titik awal yang dapat ditemukan bagi kebodohan, dan dengan demikian maka saṁsāra adalah tanpa awal yang dapat diketahui.




Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
« Reply #68 on: 18 October 2010, 01:51:04 PM »
SUTTA 10

133) Ini adalah salah satu terpenting dalam Kanon Pali, berisikan pernyataan yang paling luas dari jalan paling langsung pada pencapaian tujuan Buddhis. Sebenarnya sutta serupa juga terdapat pada DN 22, walaupun dengan tambahan analisa yang diperluas pada Empat Kebenaran Mulia, yang menjadikannya lebih panjang. Sutta ini, komentarnya, dan kutipan-kutipannya telah disajikan berserta terjemahannya oleh Soma Thera dalam The Way of Mindfulness. Suatu terjemahan atas sutta ini yang sangat mudah dibaca, dengan komentarnya yang jelas dan mendalam, dapat ditemukan dalam Nyanaponika Thera, The Heart of Buddhist Meditation.

134) Pemukiman ini dikatakan oleh beberapa terpelajar berlokasi di sekitar Delhi Modern.

135) Dalam Pali tertulis ekāyano ayaṁ bhikkhave maggo, yang hampir semua penerjemah memahaminya sebagai suatu pernyataan yang menganggap satipaṭṭhāna sebagai suatu jalan yang eksklusif. Demikianlah YM. Soma menerjemahkannya: “Ini adalah jalan satu-satunya, O para bihkkhu,” dan YM. Nyanaponika: “Ini adalah jalan tunggal, para bhikkhu.” Akan tetapi, Ñm menunjukkan bahwa ekāyana magga pada MN 12.37-42 memiliki makna yang tidak membingungkan sebagai “jalan satu arah,” dan demikianlah ia menerjemahkan frasa ini dalam paragraf ini. Ungkapan yang digunakan di sini, “jalan langsung,” adalah suatu usaha untuk melestarikan makna yang lebih luwes. MA menjelaskan ekāyana magga sebagai jalan tunggal, bukan jalan bercabang; sebagai jalan yang harus dijalani oleh diri sendiri, tanpa pendamping; dan merupakan jalan yang menuju ke satu tujuan, Nibbāna. Walaupun tidak ada dasar Kanonis atau komentar atas pandangan ini, namun dapat dikatakan bahwa satipaṭṭhāna disebut ekāyana magga, jalan langsung, untuk membedakannya dari pendekatan pencapaian meditatif yang melalui jhāna atau brahmavihāra. Walaupun jhāna atau brahmavihāra dapat menuntun menuju Nibbāna, namun juga dapat menyimpang, sedangkan satipaṭṭhāna pasti menuntun menuju tujuan akhir.

136) Kata satipaṭṭhāna adalah kata majemuk. Bagian pertama, sati, secara literal berarti “ingatan,” tetapi dalam penggunaan Buddhis Pali lebih sering bermakna perhatian yang diarahkan pada masa sekarang – demikianlah perubahan penerjemahan menjadi “perhatian.” Bagian ke dua dijelaskan dalam dua cara: sebagai bentuk singkat dari upaṭṭhāna,  yang berarti “menegakkan” atau “membentuk” – di sini, dalam hal perhatian; atau sebagai paṭṭhāna,  yang berarti “wilayah” atau “landasan” – sekali lagi, dalam hal perhatian. Dengan demikian empat satipaṭṭhāna dapat dipahami sebagai empat cara menegakkan perhatian atau sebagai empat wilayah obyek perhatian, yang diperkuat dalam isi sutta ini. Makna pertama sepertinya turunan yang benar secara etomologi (ditegaskan oleh Sanskrit sm tyupasthāna), tetapi para komentator Pali, walaupun menerima kedua penjelasan ini, lebih menyukai makna ke dua.

137) MA mengatakan bahwa dalam konteks ini, “bhikkhu” adalah kata yang menunjukkan seseorang yang dengan sungguh-sungguh berusaha untuk melatih ajaran: “Siapapun yang menjalankan praktik itu ... di sini termasuk dalam kata ‘bhikkhu.’”

138) Pengulangan dalam frasa “merenungkan jasmani sebagai jasmani” (kaye kāyānupassī), menurut MA, bertujuan untuk secara tepat menentukan obyek perenungan dan mengisolasi obyek tersebut dari yang lainnya yang dapat membingungkan. Dengan demikian, dalam praktik ini, jasmani harus direnungkan sebagaimana adanya, dan bukan perasaan, gagasan, atau emosi yang berhubungan dengan jasmani. Frasa ini juga bermakna bahwa jasmani harus direnungkan hanya sebagai jasmani, bukan sebagai laki-laki, perempuan, diri, atau makhluk hidup. Pertimbangan serupa berlaku pada pengulangan dalam masing-masing dari ketiga landasan perhatian lainnya. “Ketamakan dan kesedihan,” MA mengatakan, adalah keinginan indria dan niat buruk, rintangan utama yang harus diatasi agar praktik ini berhasil, diuraikan secara terpisah di bawah pada §36.

139) Struktur sutta ini sangat sederhana. Setelah pembukaan, batang tubuh khotbah ini jatuh dalam empat bagian menurut empat landasan perhatian:
I.   Perenungan jasmani, yang terdiri dari empat belas latihan: perhatian pada pernafasan; perenungan pada empat postur; kewaspadaan penuh; perhatian pada kejijikan; perhatian pada unsur-unsur; dan sembilan “perenungan tanah pekuburan” – perenungan pada mayat dalam berbagai tahap kerusakan.
II.   Perenungan perasaan, dianggap satu latihan.
III.   Perenungan Pikiran, juga satu latihan.
IV.   Perenungan Obyek-obyek pikiran, yang terdiri dari lima sub-bagian – lima rintangan; lima kelompok unsur kehidupan; tujuh faktor pencerahan; dan Empat Kebenaran Mulia.

Demikianlah sutta ini menjelaskan keseluruhan dua puluh satu latihan perenungan. Masing-masing latihan pada gilirannya memiliki dua aspek: latihan dasar, dijelaskan pertama kali, dan bagian tambahan mengenai pandangan terang (yang intinya sama untuk semua latihan), yang menunjukkan bagaimana perenungan dikembangkan untuk memperdalam pemahaman akan fenomena yang diselidiki.

Akhirnya sutta ini ditutup dengan pernyataan jaminan yang mana Sang Buddha secara pribadi menjamin efektifitas metode ini dengan menyatakan buah dari praktik yang dilakukan terus-menerus ini adalah Kearahatan atau yang-tidak-kembali,

140) Praktik perhatian pada pernafasan (ānāpānasati) tidak melibatkan usaha untuk mengatur nafas, seperti pada hatha yoga, tetapi mempertahankan usaha memusatkan kewaspadaan pada nafas sewaktu masuk dan keluar secara alami. Perhatian ditegakkan di lubang hidung atau bibir atas, di manapun sentuhan nafas paling jelas dirasakan; panjang nafas diperhatikan namun tidak dengan sengaja dikendalikan. Pengembangan meditasi ini secara lengkap dijelaskan dalam MN 118. Untuk koleksi yang lebih terstruktur atas topik ini, baca Bhikkhu Ñāṇamoli, Mindfulness of Breathing, baca juga Vsm VIII, 145-244.

141) MA menjelaskan “mengalami keseluruhan tubuh” (sabbakāyapaṭisaṁvedī) sebagai bermakna bahwa meditator mewaspadai tiap-tiap nafas masuk dan keluar melalui tiga tahap awal, pertengahan, dan akhir. Pada edisi pertama Saya mengikuti penjelasan ini dan menambahkan dalam kurung “nafas” setelah “keseluruhan tubuh.” Akan tetapi, setelah mempertimbangkan kembali, interpretasi ini sepertinya terlalu dipaksakan, dan sekarang saya lebih suka mengartikan frasa ini secara literal. Juga adalah sulit melihat bagaimana paṭisaṁvedi dapat berarti “mewaspadai,” karena kata ini didasarkan pada kata kerja yang berarti “mengalami.”

142) “Bentukan jasmani” (kāyasankhāra) didefinisikan pada MN 44.13 sebagai nafas masuk dan keluar itu sendiri. Demikianlah, seperti yang dijelaskan MA, dengan pengembangan praktik yang berhasil, nafas si meditator menjadi semakin halus, tenang, dan damai.

143) MA: “secara internal”: merenungkan nafas dalam tubuhnya sendiri. “Secara eksternal”: merenungkan nafas pada tubuh orang lain. “Secara internal dan eksternal”: merenungkan nafas dalam tubuh sendiri dan tubuh orang lain bergantian, dengan perhatian tanpa terputus. Penjelasan serupa berlaku untuk bagian pengulangan pada tiap-tiap bagian lainnya, kecuali  bahwa dalam perenungan perasaan, pikiran, dan obyek-obyek pikiran, perenungan secara eksternal, selain dari mereka yang memiliki kekuatan telepatis, harus dilakukan dengan menyimpulkan.

144) Ungkapan samudayadhammānupassi kāyasmiṁ viharati biasanya diterjemahkan “ia berdiam merenungkan faktor-faktor munculnya dalam jasmani” (seperti yang terdapat pada edisi pertama), dengan asumsi bahwa kata majemuk itu berisikan bentuk jamak, samudayadhammā. Akan tetapi, makna jamak, bukanlah keharusan, dan adalah lebih konsisten dengan penggunaan akhiran –dhamma di tempat lain dengan menganggapnya berarti “tunduk pada” atau “memiliki sifat” di sini juga. Penjelasan komentar terhadap faktor-faktor pengondisi bagi masing-masing dari keempat landasan tidak menyiratkan bahwa komentar memahami –dhamma sebagai berarti faktor-faktor pengondisi yang sebenarnya.

MA menjelaskan bahwa sifat munculnya (samudayadhammā) dari jasmani dapat diamati dalam kondisi asal-mulanya melalui kebodohan, keinginan, kamma, dan makanan, serta asal-mula saat demi saat dari fenomena materi dalam jasmani. Dalam hal perhatian pada pernafasan, suatu kondisi adalah perlengkapan pernafasan fisiologis. “Sifat lenyapnya” (vayadhammā) bagi jasmani dapat dilihat dalam lenyapnya fenomena jasmani melalui lenyapnya kondisi-kondisinya serta dalam saat demi saat lenyapnya fenomena jasmani.

145) MA: Demi pengetahuan dan perhatian yang lebih luas dan lebih tinggi.

146) Pemahaman atas postur tubuh yang dirujuk dalam latihan ini bukanlah pengetahuan alami yang biasa kita miliki sehubungan dengan aktivitas jasmani, melainkan kewaspadaan penuh dan terus-menerus terhadap jasmani dalam setiap posisi, yang disertai dengan pemeriksaan analitis yang dimaksudkan untuk melenyapkan kebodohan yang beranggapan diri sebagai pelaku gerakan jasmani.

147) Sampajañña, juga diterjemahkan sebagai “pemahaman jernih” (Soma, Nyanaponika), dianalisa dalam komentar dalam empat jenis: kewaspadaan penuh atas tujuan perbuatan, kewaspadaan penuh atas kesesuaian caranya; kewaspadaan penuh atas wilayah, yaitu, tidak meninggalkan subyek meditasi selama aktivitas rutin sehari-hari; dan kewaspadaan penuh atas kenyataan, pengetahuan bahwa di balik aktivitas seseorang tidak ada diri yang berdiam. Baca The Way of Mindfulness, pp.60-100; The Heart of Buddhist Meditation, pp. 46-55.

148) Dalam karya Pali belakangan otak ditambahkan pada daftar di atas membentuk tiga puluh dua bagian. Rincian praktik meditasi ini dijelaskan dalam Vsm VIII, 42-144.

149) Empat unsur utama ini dijelaskan oleh tradisi Buddhis sebagai atribut materi utama – kepadatan, kohesi, panas, dan perluasan. Penjelasan terperinci terdapat pada Vsm XI, 27-117.

150) Kata “seolah-olah” (seyyathāpi) menyiratkan bahwa meditasi ini, dan yang berikutnya, tidak harus berdasarkan pada penglihatan sesungguhnya pada mayat dalam kondisi rusak seperti digambarkan, tetapi dapat dilakukan dengan latihan membayangkan. “Jasmani yang sama ini” adalah, tentu saja, jasmani di meditator.

151) Masing-masing dari empat jenis mayat yang disebutkan di sini, dan tiga jenis berikutnya, dapat dianggap sebagai subyek meditasi terpisah dan mencukupi; atau keseluruhannya dapat digunakan sebagai rangkaian progresif untuk menekankan gagasan pikiran akan kesementaraan dan ketanpa-intian jasmani ini. Kemajuan berlanjut pada §§26-30. daftar tulang-belulang di sini diterjemahkan dari versi yang lebih lengkap dari edisi BBS.

152) Perasaan (vedanā) menyiratkan kualitas efektif dari pengalaman, jasmani dan batin, baik menyenangkan, menyakitkan, maupun bukan keduanya, yaitu, perasaan netral. Contoh dari bentuk-bentuk “duniawi” dan “non-duniawi” yang membentuk perasaan-perasaan ini diberikan pada MN 137.9-15 di bawah rubrik enam jenis kegembiraan, kesedihan, dan keseimbangan berdasarkan berturut-turut pada kehidupan rumah tangga dan pelepasan keduniawian.

153) Kondisi-kondisi bagi muncul dan lenyapnya perasaan adalah sama dengan kondisi-kondisi muncul dan lenyapnya jasmani (baca n.144) kecuali bahwa makanan digantikan dengan kontak, karena kontak adalah kondisi bagi perasaan (baca MN 9.42).

154) Pikiran (citta) sebagai suatu obyek perenungan merujuk pada kondisi dan tingkatan umum kesadaran. Karena kesadaran itu sendiri, secara alami, hanyalah sekadar mengetahui atau mengenali suatu obyek, kualitas kondisi pikiran apapun ditentukan oleh faktor-faktor batin tertentu, seperti nafsu, kebencian, dan kebodohan atau lawannya, seperti disebutkan dalam sutta.

155) Contoh berpasangan dari citta yang diberikan dalam paragraf ini memperlawankan kondisi pikiran yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, atau karakter yang terkembang dan tidak terkembang. Akan tetapi, suatu pengecualian, adalah pasangan “mengerut” dan “kacau”, yang keduanya adalah tidak bermanfaat, mengerut karena kelambanan dan ketumpulan, kacau karena kegelisahan dan penyesalan. MA menjelaskan “pikiran luhur” dan “pikiran yang tanpa batas” adalah pikiran yang berhubungan dengan tingkatan jhāna dan pencapaian meditatif tanpa materi, dan “pikiran tidak luhur” dan “pikiran terbatas” adalah berhubungan dengan tingkatan kesadaran alam-indria. “pikiran terbebaskan” harus dipahami sebagai pikiran yang secara sementara dan secara sebagian terbebas dari kekotoran-kekotoran melalui pandangan terang atau jhāṅa. Karena praktik satipaṭṭhāna berhubungan dengan tahap persiapan dari sang jalan yang ditujukan pada jalan kebebasan lokuttara, kategori terakhir ini jangan diartikan sebagai pikiran yang terbebas melalui pencapaian jalan lokuttara.

156) Kondisi-kondisi muncul dan lenyapnya pikiran adalah serupa dengan kondisi-kondisi muncul dan lenyapnya jasmani kecuali bahwa makanan digantikan oleh batin-jasmani, karena batin-jasmani adalah kondisi bagi kesadaran (baca DN 15.22/ii.63).

157) Kata yang diterjemahkan sebagai “obyek-obyek pikiran” adalah dhammā yang memiliki banyak makna. Dalam konteks ini dhammā dapat dipahami sebagai terdiri dari segala fenomena yang dikelompokkan melalui pengkategorian Dhamma, Ajaran Sang Buddha tentang kenyataan. Perenungan ini mencapai puncaknya pada penembusan ajaran ke dalam jantung Dhamma – Empat Kebenaran Mulia.

158) Lima rintangan (pañcanīvaraṇā) adalah halangan batin utama pada pengembangan konsentrasi dan pandangan terang. Keinginan indria muncul melalui perhatian yang tidak bijaksana pada kemenarikan obyek indria dan ditinggalkan melalui meditasi pada obyek menjijikkan (seperti dalam §10 dan §§14-30); niat buruk muncul melalui perhatian yang tidak bijaksana pada obyek yang menjijikkan dan ditinggalkan melalui pengembangan cinta kasih; kelambanan dan ketumpulan muncul karena menyerah pada kebosanan dan kemalasan dan ditinggalkan dengan membangkitkan semangat; kegelisahan dan penyesalan muncul melalui perenungan yang tidak bijaksana pada pikiran-pikiran yang mengganggu dan ditinggalkan melalui perenungan yang bijaksana pada ketenangan; keragu-raguan muncul melalui perenungan yang tidak bijaksana pada hal-hal yang meragukan dan ditinggalkan melalui pembelajaran, penyelidikan, dan bertanya. Rintangan-rintanagn ini dilenyapkan sepenuhnya hanya melalui jalan lokuttara. Untuk pembahasan lebih lengkap, baca The Way of Mindfulness, pp.119-130; Nyanaponika Thera, The Five Mental Hindrances; dan juga MN 27.18 dan MN 39.13-14 di bawah.

159) Kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan (pañc’ upādānakkhandhā) adalah lima kelompok faktor yang menyusun individu personal. Kelompok-kelompok unsur kehidupan ini dibahas dalam Pendahuluan, p.26, dan dianalisa serta dijelaskan dalam hal asal-mula dan lenyapnya pada MN 109.9.

160) Landasan-landasan internal adalah, seperti ditunjukkan, enam organ indria; landasan-landasan eksternal adalah obyek-obyeknya masing-masing. Belenggu yang muncul dengan bergantung pada pasangan ini dapat dipahami melalui sepuluh belenggu yang dijelaskan dalam Pendahuluan, pp.42-43, atau secara lebih sederhana sebagai ketertarikan (keserakahan), ketidak-senangan (kebencian), dan kebodohan yang mendasari.

161) Bagaimana ketujuh faktor pencerahan ini terungkap dalam urutan bertahap dijelaskan pada MN 118.29-40. Untuk pembahasan lebih terperinci, baca Piyadassi Thera, The Seven Faktor of Enlightenment.

162) “Penyelidikan kondisi-kondisi” (dhammavicaya) berarti meneliti fenomena batin dan jasmani yang muncul dalam pikiran meditator melalui perhatian.

163) Komentar menjelaskan secara terperinci kondisi-kondisi yang mendukung kematangan faktor-faktor pencerahan. Baca The Way of Mindfulness, pp.134-149.

164) Dalam bagian ini, perenungan dhammā sebagai obyek-obyek pikiran memuncak pada pemahaman Dhamma dalam formula inti sebagai Empat Kebenaran Mulia. Mahāsatipaṭṭhāna Sutta yang lebih panjang dalam Dīgha Nikāya memberikan definisi dan penjelasan yang lebih luas pada masing-masing kebenaran.

165) Pengetahuan akhir, aññā, adalah pengetahuan kebebasan akhir seorang Arahant. Tidak Kembali (anāgāmitā) tentu saja adalah kondisi yang-tidak-kembali, yang terlahir kembali di alam yang lebih tinggi di mana ia mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali ke alam manusia.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
« Reply #69 on: 18 October 2010, 01:51:42 PM »

SUTTA 11

166) Frasa “hanya di sini” berarti hanya dalam Pengajaran Buddha. Empat petapa (samaṇa) merujuk pada empat tingkat siswa ariya – pemasuk-arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali, dan Arahant. “Auman singa” (sīhanāda), menurut MA, adalah auman keunggulan dan tanpa ketakutan, auman yang tidak dapat dibantah. Sehubungan dengan pernyataan Sang Buddha ini, baca juga khotbahNya kepada Subhadda dalam Mahāparinibbāna Sutta (DN 16:5.27/ii.151-52).

167) MA: Walaupun para pengikut sekte lain semuanya menyatakan Kearahatan – yang dipahami secara umum sebagai kesempurnaan spiritual – sebagai tujuan, namun mereka menunjukkan pencapaian lain sebagai tujuan sesuai dengan pandangan mereka. Demikianlah para brahmana menyatakan alam-Brahma sebagai tujuan, para petapa menyatakan dewa dengan Cahaya Gemerlap, para pengembara menyatakan dewa dengan Keagungan Gemilang, dan para Ājīvaka menyatakan kondisi tanpa-persepsi, yang mereka bayangkan sebagai “pikiran yang tanpa batas.”

168) “Menyukai dan menolak” (anurodhapaṭivirodha) berarti bereaksi dengan ketertarikan melalui nafsu dan dengan ketidak-senangan melalui kebencian.

169) Proliferasi (papañca), menurut MA, ini adalah aktivitas pikiran yang diatur oleh keinginan dan pandangan. Penjelasan lebih lanjut sehubungan dengan kata penting ini, baca n.229.

170) Pandangan penjelmaan (bhavadiṭṭhi) adalah eternalisme, kepercayaan akan diri yang abadi; pandangan tanpa-penjelmaan (vibhadiṭṭhi)  adalah nihilisme, penyangkalan pada prinsip kelangsungan sebagai suatu landasan bagi kelahiran kembali dan pembalasan kamma. Pengadopsian salah satu pandangan merupakan penolakan pada pandangan lainnya yang berhubungan dengan pernyataan sebelumnya bahwa tujuan itu adalah untuk seorang yang tidak menyukai dan tidak menolak.

171) Sehubungan dengan asal-mula (samudaya) dari pandangan-pandangan ini, MA menyebutkan delapan kondisi: kelima kelompok unsur kehidupan, kebodohan, kontak, persepsi, pikiran, perhatian tidak bijaksana, teman-teman yang buruk, dan kata-kata orang lain. Lenyapnya (atthangama) pandangan-pandangan ini adalah jalan memasuki-arus, yang melenyapkan semua pandangan salah. Kepuasan (assāda)  dapat dipahami sebagai kepuasan pada kebutuhan psikologis yang diberiken oleh pandangan-pandangan itu; bahaya (ādīnava) adalah belenggu yang terus-menerus yang dibawa oleh pandangan-pandangan itu; jalan membebaskan diri (nissaraṇa) dari pandangan-pandangan itu adalah Nibbāna.

172) MA mengemas pemahaman penuh (pariññā) di sini sebagai mengatasi, melampaui (samatikkama), dengan merujuk pada gagasan komentar atas pahānapariññā, “pemahaman penuh sebagai pelepasan.” Baca n.7.

173) Paragraf ini dengan jelas menyebutkan faktor penting yang membedakan ajaran Buddha dari kepercayaan filosofis dan religius lainnya adalah “pemahaman penuh terhadap kemelekatan pada ajaran itu sendiri.” Ini berarti, intinya, bahwa Sang Buddha sendiri mampu menunjukkan bagaimana mengatasi semua pandangan diri dengan mengembangkan penembusan pada kebenaran tanpa-diri. Karena para guru spiritual lainnya tidak memiliki pemahaman tanpa-diri ini, pengakuan mereka sehubungan dengan pemahaman sepenuhnya ketiga jenis kemelekatan ini juga adalah dugaan.

174) MA: Yaitu, Sang Buddha mengajarkan bagaimana kemelekatan pada kenikmatan indria (dipahami sebagai terdiri dari segala bentuk keserakahan, MṬ) ditinggalkan melalui jalan Kearahatan, ketiga kemelekatan lainnya melalui jalan memasuki-arus.

175) Paragraf ini disebutkan untuk menunjukkan bagaimana kemelekatan ditinggalkan. Kemelekatan ditelusuri hingga penyebab-akarnya dalam kebodohan, dan kemudian hancurnya kebodohan ditunjukkan sebagai cara untuk melenyapkan kemelekatan.

176) Idiom Pali, n’ eva kāmupādānaṁ upādiyati, seharusnya diterjemahkan secara literal sebagai “ia tidak melekat pada kemelekatan pada kenikmatan indria,” yang dapat mengaburkan maknanya daripada menjelaskannya. Ūpādāna dalam Pali adalah obyek dari kata kerjanya sendiri, sementara “kemelekatan” (clinging, Ing.) bukan. Pada satu tahapan dalam terjemahannya Ñm mencoba untuk menghindari persoalan ini dengan meminjam makna lain dari kata ūpādāna, yaitu, “bahan bakar” dan menerjemahkannya: “ia tidak lagi melekat pada kenikmatan indria [sebagai bahan bakar bagi] kemelekatan.” Akan tetapi, ini juga masih kabur, dan oleh karena itu saya mencoba untuk melewati kesulitan ini dengan menerjemahkannya secara langsung sesuai maknanya daripada menyesuaikan dengan kalimat idiom tersebut.


SUTTA 12

177) Sunakkhata Sutta (MN 105) telah dibabarkan kepadanya oleh Sang Buddha, jelas sebelum ia bergabung dalam Sangha; kisah mengenai peralihannya dijelaskan dalam Pāṭika Sutta (DN 24). Ia menjadi tidak puas dan meninggalkan Sangha karena Sang Buddha tidak memperlihatkan kesaktian apapun padanya atau menjelaskan kepadanya tentang awal dari segala sesuatu.

178) Kondisi-kondisi melampaui manusia (uttari manussadhammā) adalah kondisi-kondisi, moralitas, atau pencapaian yang lebih tinggi daripada manusia biasa yang terdiri dari sepuluh perbuatan baik (baca MN 9.6); termasuk jhāna-jhāna, jenis-jenis pengetahuan langsung, dan jalan dan buah. “keluhuran dalam hal pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia” (alamariyañāṇadassanavisesa), ungkapan yang sering muncul dalam sutta-sutta, menyiratkan semua tingkatan pengetahuan meditatif yang lebih tinggi yang menjadi karakteristik individu mulia. Di sini, menurut MA, ini secara khusus berarti jalan lokuttara, yang disangkal oleh Sunakkhatta pada Sang Buddha.

179) Inti dari kritikannya adalah bahwa Sang Buddha mengajarkan suatu doktrin yang Beliau capai sendiri dalam pikiranNya bukan seorang yang telah mencapainya melalui kebijaksanaan transenden. Jelas ia percaya bahwa dengan dituntun menuju kehancuran total penderitaan adalah, sebagai suatu tujuan, lebih rendah daripada mencapai kekuatan gaib.

180) Semua bagian berikutnya disampaikan sebagai bantahan terhadap kritikan Sunakkhatta pada Sang Buddha. §§6-8 mencakup tiga pertama dari enam pengetahuan langsung (abhiññā), tiga terakhir adalah yang terakhir dari sepuluh kekuatan Sang Tathāgata. Sepuluh kekuatan Sang Tathāgata, menurut MA, dipahami sebagai kekuatan pengetahuan (ñāṇabala) yang dicapai oleh semua Buddha sebagai buah akumulasi jasa mereka. Vibhanga (§§809-31/440-51) dari Abhidhamma Piṭaka menguraikan analisanya.

181) Tentang Sang Buddha mengaumkan auman singaNya, baca SN 22:78/iii.84-86. Roda Brahmā adalah yang tertinggi, terbaik, roda yang terunggul, Roda Dhamma (dhammacakka) dalam dua maknanya: pengetahuan menembus kebenaran dan pengetahuan bagaimana membabarkan ajaran (MA).

182) Vbh §809 menjelaskan pengetahuan ini dengan mengutip MN 115.12-17. akan tetapi, MA, menjelaskan secara berbeda sebagai pengetahuan atas hubungan antara sebab dan akibatnya.

183) Pengetahuan ini dapat ditunjukkan oleh analisis kamma menurut Sang Buddha dalam MN 57, MN 135 dan MN 136. MA menjelaskan kemungkinan (ṭhāna)  seperti alam, situasi, waktu, dan usaha – faktor-ffaktor yang dapat menghalangi atau mendorong akibatnya; penyebabnya (hetu) adalah kamma itu sendiri.

184) Pengetahuan ini akan dijelaskan dalam §§35-42 di bawah.

185) Pemahaman Sang Tathāgata atas banyak unsur yang menyusun dunia terdapat dalam MN 115.4-9.

186) Vbh §813 menjelaskan bahwa Sang Tathāgata memahami makhluk-makhluk berkecenderungan rendah dan berkecenderungan mulia, dan bahwa mereka condong kepada mereka yang memiliki kecenderungan sama.

187) Vbh §814-27 memberikan analisa terperinci. MA menyebutkan maknanya secara lebih ringkas sebagai pengetahuan Sang Tathāgata terhadap indria keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan makhluk-makhluk yang rendah maupun mulia.

188) Vbh §828: “kekotoran” (sankilesa) adalah suatu kondisi yang  menyebabkan kemunduran, “pemurnian” (vodāna) adalah suatu kondisi yang  menyebabkan kemajuan, “kemunculan” (vuṭṭhāna) adalah pemurnian dan kemunculan pencapaian. Delapan kebebasan (vimokkhā) diuraikan dalam MN 77.22 dan MN 137.26; sembilan pencapaian (samāpatti) adalah empat jhāna, empat pencapaian tanpa materi, dan lenyapnya persepsi dan perasaan seperti pada MN 25.12-20.

189) Idiom yathābhataṁ nikkhitto evaṁ niraye agak rumit; terjemahan di sini mengikuti komentar: “Ia akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa dan diletakkan di sana oleh penjaga neraka.”

190) Dalam tradisi Buddhis belakangan, asura, raksasa atau “lawan-para dewa,” ditambahkan sebagai alam terpisah menjadikan enam alam tujuan kehidupan.

191) MA: walaupun penggambarannya sama dengan kebahagiaan alam surga, maknanya berbeda. Karena kebahagiaan alam surga tidaklah sungguh-sungguh sangat menyenangkan karena demam nafsu, dan sebagainya, masih ada di sana. Tetapi kebahagiaan Nibbāna sungguh sangat menyenangkan dalam segala hal karena lenyapnya segala demam.

192) Pada titik ini, MA memberitahukan kita, Sang Buddha menceritakan kisah praktik pertapaan masa lampauNya karena Sunakkhatta adalah seorang pemuja pertapaan keras (seperti yang ditunjukkan dalam Paṭika Sutta) dan Sang Buddha ingin memberitahukan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat menyamaiNya dalam hal praktik pertapaan keras. Paragraf-paragraf berikutnya harus digabungkan dengan MN 4.20 dan MN 36.20-30 untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang percobaan Sang Bodhisatta dalam penyiksaan diri ekstrim.

193) Gagasan ini sepertinya bahwa belas kasihnya terarah, bukan pada kuman dalam setetes air (seperti yang disiratkan dalam terjemahan edisi pertama), melainkan pada makhluk-makhluk yang mungkin terluka atau terbunuh karena tidak berhati-hati dalam membuang air.

194) MA mengatakan bahwa “Delapan hari interval beku” (antaraṭṭhaka himapātasamaya) terjadi pada empat hari pertama bulan Magha dan empat hari pertama bulan Phagguna (yaitu, akhir februari). Akan tetapi, musim dingin di Asia Selatan biasanya jatuh pada akhir Desember atau awal Januari.

195) Yaitu, mereka menganut pandangan bahwa makhluk-makhluk dimurnikan dengan cara mengurangi makanan.

196) Kelahiran kembali di Alam Murni (suddhāvāsa) hanya mungkin bagi para yang-tidak-kembali.

197) Kata Pali untuk empat istilah ini adalah sati, gati, dhiti, paññāveyyattiya. MA menjelaskan sati sebagai kemampuan untuk menangkap dalam pikiran seratus atau seribu frasa sewaktu diucapkan; gati sebagai kemampuan untuk mengingat dan mempertahankannya dalam pikiran; dithi sebagai kemampuan untuk mengucapkan kembali apa yang telah ditangkap dan diingat; dan paññāveyyattiya sebagai kemanpuan untuk melihat makna dan logika dari frasa-frasa tersebut.

198) YM. Nāgasamāla menjadi pelayan pribadi Sang Buddha selama dua puluh tahun pertama pengajaranNya.

199) Lomahaṁsanapariyāya. Sutta ini dirujuk dengan nama itu pada Miln 398 dan dalam Komentar Dīgha Nikāya.


SUTTA 13

200) MA: “Pemahaman penuh” (pariññā) di sini berarti mengatasi (samatikkama) atau meninggalkan (pahāna). Para pengembara sekte lain mengidentifikasikan pemahaman penuh pada kenikmatan indria sebagai jhāna pertama, pemahaman penuh pada bentuk materi sebagai alam penjelmaan tanpa materi, dan pemahaman penuh pada perasaan sebagai alam penjelmaan tanpa-perasaan. Sang Buddha, sebaliknya, menggambarkan pemahaman penuh pada kenikmatan indria sebagai jalan yang-tidak-kembali, dan pemahaman penuh pada bentuk materi dan perasaan sebagai jalan Kearahatan.

201) MA memberikan penggambaran grafis pada masing-masing bentuk siksaan ini.

202) Harus dipahami bahwa sementara bahaya dalam kenikmatan indria yang sebelumnya disebut “kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini” (sandiṭṭhiko dukkhakkhandho), yang ini disebut “kumpulan penderitaan dalam kehidupan mendatang” (samparāyiko dukkhakkhandho).

203) MA mengatakan bahwa Nibbāna adalah lenyapnya dan ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan kenikmatan indria, karena dengan bergantung pada Nibbāna, keinginan dan nafsu dilenyapkan dan ditinggalkan. Ini juga dapat dianggap termasuk jalan yang-tidak-kembali, yang sempurna meninggalkan keinginan dan nafsu akan kenikmatan indria.

204) Untuk mengungkapkan bahaya dalam perasaan, Sang Buddha memilih kenikmatan lokiya yang paling halus dan luhur, kebahagiaan dan kedamaian jhāna, dan menunjukkan bahwa bahkan kondisi-kondisi demikian adalah tidak kekal dan dengan demikian tidak memuaskan.


SUTTA 14

205) Mahānāma orang Sakya adalah saudara sepupu Sang Buddha dan saudara dari YM. Anuruddha dan Ānanda. Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga dan membiarkan Anuruddha menjadi bhikkhu, kisah ini terdapat dalam Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, pp.80-81.

206) Menurut MA, Mahānāma telah lama mencapai buah yang-kembali-sekali, yang hanya melemahkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan, namun belum melenyapkannya. MA mengatakan bahwa ia memiliki gagasan keliru bahwa keserakahan, kebencian, dan kebodohan dilenyapkan melalui jalan yang-kembali-sekali. Dengan demikian, ketika ia melihat bahwa keserakahan, kebencian, dan kebodohan masih muncul dalam pikirannya, ia menyadari bahwa ia belum meninggalkannya dan menanyakan sebab kemunculannya kepada Sang Buddha. Para siswa mulia dapat keliru mengenai kekotoran apa yang ditinggalkan oleh jalan apa.

207) Dari pembahasan selanjutnya tentang bahaya dalam kenikmatan indria, sepertinya “kondisi” (dhamma) yang belum ditinggalkan oleh Mahānāma adalah keinginan indria, yang masih mengikatnya pada kehidupan rumah tangga dan menikmati kenikmatan indria.

208) “Kegembiraan dan kenikmatan yang terpisah dari kenikmatan indria” adalah kegembiraan dan kenikmatan dalam jhāna pertama dan ke dua; kondisi-kondisi yang “lebih damai daripada itu” adalah jhāna-jhāna yang lebih tinggi. Dari paragraf ini sepertinya bahwa seorang siswa dapat mencapai bahkan hingga jalan dan buah ke dua tanpa memiliki jhāna lokiya.

209) Para Nigaṇṭha atau Jain, para pengikut Guru Nigaṇṭha Nātaputta (juga dikenal dengan nama Mahāvīra), menekankan praktik pertapaan keras untuk meluruhkan akumulasi kamma buruk masa lampau. Tujuan paragraf ini, menurut MA, adalah untuk menunjukkan jalan membebaskan diri, yang belum ditunjukkan sebelumnya bersama dengan kepuasan dan bahaya dalam kenikmatan indria. Sang Buddha manyebutkan praktik pertapaan Jain untuk memperlihatkan bahwa ajarannya adalah “Jalan Tengah” yang bebas dari kedua ekstrim menikmati kenikmatan indria dan penyiksaan diri.

210) Para Jain menganut pandangan bahwa apapun yang dialami seseorang adalah disebabkan oleh kamma lampau. Jika demikian, Sang Buddha membantah, maka kesakitan yang mereka alami sebagai bagian dari disiplin pertapaan mereka adalah berakar pada perbuatan buruk mereka dalam kehidupan sebelumnya.

211) MA: ini merujuk pada pengalamanNya sendiri akan kenikmatan pencapaian buah, yaitu, pencapaian buah Kearahatan (arahattaphalasamāpatti).


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
« Reply #70 on: 18 October 2010, 01:52:38 PM »

SUTTA 15

212) Vadantu, secara literal berarti “semoga mereka berbicara kepadaku,” menyiratkan makna: “Semoga mereka berbicara kepadaku dengan memberikan instruksi dan nasihat” (MA).

213) Baca MN 5.10-29.

214) Baca MN 8.44 dan n.109.

215) Adalah dari paragraf ini judul sutta ini berasal.

216) MA: teks-teks tua menyebut sutta ini “Bhikkhupātimokkha.” Seorang bhikkhu harus meninjau kembali dirinya tiga kali sehari dengan cara yang dijelaskan dalam sutta. Jika ia tidak dapat melakukannya tiga kali, maka ia harus melakukan dua kali atau, minimal satu kali.


SUTTA 16

217) MA menjelaskan cetokhila, diterjemahkan “belantara dalam batin,” sebagai kekakuan, sampah, atau tunggul dalam batin. Ini menjelaskan cetaso vinibandha sebagai sesuatu yang mengikat batin, mencengkeramnya bagaikan kepalan; karena itu disebut “belenggu dalam batin.” Belantara dalam batin, seperti akan terlihat, terdiri dari empat kasus keragu-raguan, satu dari kebencian; belenggu dalam batin terdiri dari lima variasi keserakahan.

218) MA menjelaskan “Dhamma” di sini sebagai ajaran tekstual dan penembusan pada jalan, buah, dan Nibbāna. Dhamma sebagai praktik disebutkan secara terpisah di bawah sebagai latihan (sikkhā) -  yaitu, tiga latihan dalam moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan.

219) “Badan jasmani” di sini adalah tubuhnya sendiri, sedangkan “bentuk” di bagian bawah adalah bentuk luar, jasmani orang lain.

220) Empat landasan kekuatan batin (iddhipāda) termasuk dalam tiga puluh tujuh prasyarat pencerahan; merupakan landasan khusus bagi lima jenis pengetahuan langsung lokiya (abhiññā).  Menurut MA, semangat (ussoḷhi) adalah kegigihan, yang diterapkan di mana-mana.

221) Lima belas faktor adalah meninggalkan lima belantara dalam batin, meninggalkan lima belenggu, dan lima yang baru disebutkan. “Keamanan tertinggi dari belenggu” (anuttara yogakkhema) adalah Kearahatan, seperti pada MN 1.27.

222) Perumpamaan ini muncul kembali pada MN 53.19-22 sehubungan dengan penembusan siswa pada tiga jenis pengetahuan sejati (tevijjā).


SUTTA 17

223) Pola yang dibangun oleh §§3-6 dapat disebutkan secara sederhana sebagai berikut:
   Tidak ada kemajuan dan sulit memperoleh benda-benda kebutuhan = pergi;
   Tidak ada kemajuan dan mudah memperoleh benda-benda kebutuhan = pergi;
   Ada kemajuan dan sulit memperoleh benda-benda kebutuhan = tinggal;
   Ada kemajuan dan mudah memperoleh benda-benda kebutuhan = tinggal;

224) Pola yang sama diterapkan dalam §§7-22 pada desa, pemukiman, kota, dan negeri.

225) PTS, di sini dalam menulis anāpucchā, “tanpa pamit,” sepertinya keliru. BBS dan BBJ menulis āpucchā, “setelah pamit,” sepertinya lebih tepat. Karena orang yang padanya seorang bhikkhu bergantung – diduga seorang guru atau penyokong awam – menyediakan benda-benda kebutuhan yang cukup, sopan-santun diperlukan bahwa seorang bhikkhu pamit darinya sebelum pergi.

SUTTA 18

226) Daṇḍapāni, yang namanya berarti “tongkat-di-tangan”, dinamai demikian karena ia biasanya berjalan dengan memamerkan tongkat emasnya, walaupun ia masih muda dan sehat. Menurut MA, ia memihak Devadatta, musuh Sang Buddha, ketika Devadatta mencoba memecah-belah para pengikut Sang Buddha. Caranya mengajukan pertanyaan terkesan sombong dan dengan sengaja memprovokasi.

227) Bagian pertama dari jawaban Sang Buddha secara langsung membalas sikap agresif Daṇḍapāni. Sehubungan dengan hal ini MA mengutip  SN 22:94/iii.138: “Para bhikkhu, Aku tidak berselisih dengan dunia, adalah dunia yang berselisih denganKu. Seorang pembabar Dhamma tidak berselisih dengan siapapun di dunia ini.” Bagian ke dua dapat dianggap berarti, karena persepsi-persepsi Sang Arahant ( dikatakan di sini sebagai “brahmana itu” dengan merujuk pada Sang Buddha sendiri), tidak lagi membangkitkan kecenderungan tersembunyi yang tertidur pada kekotoran, diuraikan dalam §8.

228) Reaksi ini sepertinya merupakan ungkapan frustrasi dan kebingungan.

229) Interpretasi atas paragraf yang tersamar ini berpusat pada kata papañca dan kata majemuk papañca-saññā-sankhā. Ñm menerjemahkan papañca sebagai “keberagaman” dan papañca-saññā-sankhā sebagai “perhitungan mengenai persepsi keberagaman.” Akan tetapi, sepertinya persoalan utama yang ditunjukkan dengan kata papañca bukanlah “keberagaman,” yang mungkin cukup sesuai jika bidang indria itu sendiri memperlihatkan keragaman, tetapi kecenderungan imajinasi kaum duniawi untuk meledak dalam pencurahan komentar pikiran yang menghalangi pengenalan data. Dalam suatu pembahasan penembusan, Concept and Reality in Early Buddhism, Bhiikhu Ñāṇananda menjelaskan papañca sebagai “proliferasi konseptual,” dan saya mengikutinya dengan menggantikan “keberagaman” dari Ñm menjadi “proliferasi”. Komentar mengidentifikasikan timbulnya proliferasi ini sebagai tiga faktor – keinginan, keangkuhan, dan pandangan – yang karenanya pikiran menjadi “membubuhi” pengalaman dengan meginterpretasikannya dengan sebutan “milikku,” “aku,” dan “diriku.” Papañca dengan demikian adalah berhubungan dekat dengan maññanā, “menganggap,” dalam MN 1 – baca n.6.

Kata majemuk papañca-saññā-sankhā lebih rumit. YM Ñāṇananda menginterpretasikannya sebagai “konsep-konsep yang dikarakteristikkan oleh pikiran yang cenderung berkembang,” tetapi penjelasan ini masih belum memasukkan kata saññā. MA mengemas sankhā dengan koṭṭhāsa, “bagian,” dan mengatakan bahwa saññā adalah persepsi yang berhubungan dengan papañca ataupun papañca itu sendiri. Saya sependapat dengan Ñāṇananda dalam menganggap sankhā lebih sebagai berarti konsep atau gagasan (“Perhitungan” dari Ñm adalah terlalu literal) daripada bagian. Keputusan saya memperlakukan saññā-sankhā sebagai kata majemuk dvanda, “persepsi dan gagasan,” mungkin akan dipertanyakan, tetapi karena ungkapan saññā-sankhā jarang muncul dalam Kanon dan tidak pernah dianalisa secara verbal, maka tidak ada terjemahan yang benar-benar melampaui keragu-raguan. Pada Interpretasi alternatif dari komponennya, ungkapan itu mungkin dapat diterjemahkan “gagasan-gagasan [yang muncul dari] proliferasi persepsi” atau “gagagasan-gagasan persepsi [yang muncul dari] proliferasi.”

Lanjutannya akan menjelaskan bahwa proses kognisi itu sendiri adalah “sumber yang melaluinya persepsi dan gagasan [yang timbul dari] proliferasi pikiran menyerang seseorang.” Jika dalam proses kognisi tersebut tidak ada yang disenangi, disambut, atau digenggam, maka kecenderungan tersembunyi pada kekotoran-kekotoran akan berakhir.

230) YM. Mahā Kaccāna dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai siswa terunggul dalam menjelaskan secara terperinci dari suatu ucapan singkat. MN 133 dan MN 138 juga dijelaskan olehnya dalam situasi serupa.

231) Cakkhubhūto ñāṇabhūto dhammabhūto brahmabhūto. MA: Beliau adalah penglihatan dalam makna bahwa Beliau adalah pemimpin dalam penglihatan; Beliau adalah pengetahuan dalam makna bahwa Beliau mengetahui segala sesuatu; Beliau adalah Dhamma dalam makna bahwa Beliau merupakan Dhamma yang Beliau ucapkan secara verbal setelah merenungkannya dalam batin; Beliau adalah Brahmā, yang suci, dalam makna yang terbaik.

232) Paragraf ini menunjukkan bagaimana papañca, keluar dari proses kognisi, memunculkan persepsi dan gagasan yang meliputi dan memangsa penciptanya yang malang. Ms mencantumkan sebuah catatan oleh Ñm: “Pertemuan mata, bentuk, dan kesadaran-mata disebut kontak. Kontak, menurut sebab-akibat yang saling bergantungan, adalah kondisi utama bagi perasaan. Perasaan dan persepsi adalah tidak terpisahkan (MN 43.9). Apa yang dilihat sebagai ‘ini’ adalah pikiran dalam perbedaan dan dengan demikian dibedakan dari ‘itu’ dan dari ‘aku.’ Pembedaan ini – melibatkan keinginan akan bentuk, pandangan salah tentang kekekalan bentuk, dan sebagainya, dan keangkuhan ‘aku’ – mengarah pada keterlenaan dengan perhitungan keinginan pada bentuk-bentuk masa lampau dan masa sekarang dengan pandangan untuk memperoleh bentuk yang diinginkan di masa depan.” Mungkin kunci untuk menginterpretasikan paragraf ini adalah penjelasan YM. Mahā Kaccāna pada syair dalam MN 133. di sana terlalu gembira dalam unsur-unsur kognisi memainkan peran penting dalam menyebabkan belenggu, dan penjelasan syair ini dalam hal ketiga periode waktu berhubungan dengan referensi pada ketiga masa dalam sutta ini.

233) Idiom Pali phassapaññattiṁ paññāpessati, yang mana kata kerja mengambil obyek yang diturunkan dari kata itu sendiri, agak rumit. Ñm awalnya menerjemahkan “Itu akan menggambarkan suatu penggambaran kontak.” “Untuk menunjukkan sebuah manifestasi” adalah kurang literal, tetapi lebih sesuai dengan maknanya tanpa menimbulkan resiko kerancuan. MA mengatakan bahwa paragraf ini dimaksudkan untuk menunjukkan keseluruhan lingkaran kehidupan (vaṭṭa) melalui dua belas landasan indria; §18 menunjukkan lenyapnya lingkaran (vivaṭṭa) dengan menegasikan kedua belas landasan indria.

234) Kue manis dan besar, atau sebuah bola terbuat dari tepung, ghee, sirop, madu, gula, dan sebagainya. Baca juga AN 5:194/iii.237.


SUTTA 19

235) Dua kelompok pikiran Sang Bodhisatta terjadi selama enam tahun usahanya dalam mencapai pencerahan.

236) Pikiran tanpa-niat buruk dan pikiran tanpa-kekejaman juga dapat dijelaskan secara positif sebagai pikiran cinta kasih (mettā) dan pikiran belas kasihan (karuṇā).

237) MA: pemikiran dan perenungan yang berlebihan mengarah pada kegelisahan. Untuk menjinakkan dan melunakkan pikiran, Sang Bodhisatta akan memasuki pencapaian meditatif, kemudian ia akan keluar dari sana dan mengembangkan pandangan terang.


SUTTA 20

238) Sutta ini beserta komentarnya tersedia dalam suatu terjemahan oleh Soma Thera, The Removal of Distracting Thoughts.

239) MA: Pikiran yang lebih tinggi (addhicitta) adalah pikiran dari delapan pencapaian meditatif yang digunakan sebagai landasan pandangan terang; disebut “pikiran yang lebih tinggi” karena lebih tinggi dari pikiran (bermanfaat) biasa dari sepuluh perbuatan bermanfaat. Lima “gambaran” (nimitta) dapat dipahami sebagai metode praktis untuk melenyapakan pikiran kacau. Hanya dilatih jika pikiran kacau menjadi menetap dan merintangi; pada saat lainnya meditator harus tetap pada subyek meditasi utamanya.

240) MA: Ketika pikiran keinginan indria muncul terarah pada makhluk-makhluk hidup, “gambaran lain” adalah meditasi pada kejijikan (baca MN 10.10); ketika pikiran diarahkan pada benda-benda mati, “gambaran lain” adalah perhatian pada ketidak-kekalan. Ketika pikiran kebencian muncul terarah pada makhluk-makhluk hidup, “gambaran lain” adalah meditasi cinta kasih; ketika pikiran diarahkan pada benda-benda mati, “gambaran lain” adalah perhatian pada unsur-unsur (baca MN 10.12). Obat bagi pikiran-pikiran yang berhubungan dengan kebodohan adalah menetap di bawah seorang guru, mempelajari Dhamma; mempertanyakan maknanya, mendengarkan Dhamma, dan mempertanyakan penyebabnya.

241) Metode ini dapat diilustrasikan dengan perenungan Bodhisatta dalam MN 19.3-5. Mengingat keburukan dari pikiran-pikiran jahat menghasilkan rasa malu (hiri); mengingat akibatnya yang berbahaya menghasilkan rasa takut pada pelanggaran (ottappa).

242) Vitakka-sankhāra-saṇṭhānaṁ. MA memahami sankhāra di sini sebagai kondisi, sebab, atau akar, dan mengartikan kata majemuk ini sebagai “menghentikan sebab pikiran.” Ini dicapai dengan bertanya, ketika suatu pikiran tidak bermanfaat muncul: “Apakah penyebabnya? Apakah penyebab dari sebab itu?” dan seterusnya. Pertanyaan demikian, menurut MA, akan mengendurkan, dan akhirnya melenyapkan, arus pikiran yang tidak bermanfaat.

243) MA: Ia harus menggilas kondisi pikiran yang tidak bermanfaat dengan kondisi pikiran yang tidak bermanfaat.

244) Ini menujukkan pencapaian Kearahatan. Baca n.50

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
« Reply #71 on: 18 October 2010, 01:53:26 PM »
SUTTA 21

245) Pada SN 12:12/ii.13 Moliya Phagguna mengajukan serangkaian pertanyaan kepada Sang Buddha, yang mana Sang Buddha menolaknya karena disusun secara keliru. Belakangan dilaporkan bahwa ia kembali ke kehidupan rumah tangga (SN 12:32/ii.50).

246) Menurut MA, Sang Buddha mengatakan hal ini karena Phagguna masih tidak ingin menuruti nasihat Beliau melainkan terus-menerus menentangNya, dan ini mendorong Sang Buddha untuk memuji para bhikkhu penurut selama masa awal pengajaran Beliau. Untuk paragraf tentang makan sekali sehari, baca MN 65.2 dan MN 70.2

247) Tadārammaṇaṁ, secara literal, “dengan dirinya sebagai obyek.” MA: Pertama-tama seseorang mengembangkan cinta-kasih kepada orang yang berbicara kepada seseorang atau orang lain yang mengucapkan satu dari lima ucapan, kemudian ia mengarahkan pikiran cinta kasih itu kepada semua makhluk, menjadikan seluruh dunia sebagai obyeknya.


SUTTA 22

248) Sutta ini dengan pendahuluan yang baik dan catatan yang terperinci tersedia dalam sebuah terjemahan oleh Nyanaponika Thera, The Discourse on the Snake Simile.

249) Dalam menegaskan hal ini ia secara langsung menyangkal yang ke tiga dari empat keberanian Sang Tathāgata – baca MN 12.25. menurut MA, sewaktu merenungkan dalam keterasingan ia sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada bahaya jika para bhikkhu terlibat dalam hubungan seksual dengan perempuan dan ia mempertahankan bahwa hal ini seharusnya tidak dilarang oleh peraturan monastik. Walaupun pernyataannya tidak secara langsung menyebutkan masalah seksual, namun perumpamaan mengenai kenikmatan seksual ini dibawakan oleh para bhikkhu ini berasal dari komentar.

250) Tujuh perumpamaan pertama mengenai kenikmatan indria dijabarkan pada MN 54.15-21.

251) Bagian pertama dari kisah Ariṭṭha muncul dua kali dalam Vinaya Piṭaka. Pada Vin ii.25 mendorong Sangha menjatuhkan sanksi penangguhan (ukkhepaniyakamma) atas Ariṭṭha karena menolak melepaskan pandangan salahnya. Pada Vin iv.133-34 penolakannya untuk melepaskan pandangan salahnya setelah beberapa kali diberi nasihat ditetapkan sebagai pelanggaran monastik dalam kelompok Pācittiya.

252) Walaupun Pali menggunakan satu kata kāma dalam seluruh empat kasus, dari konteks ini frasa pertama harus dipahami sebagai merujuk pada kenikmatan indria obyektif, yaitu, obyek-obyek kenikmatan indria, frasa lainnya merujuk pada kekotoran subyektif yang berhubungan dengan indria, yaitu, keinginan indria. MA mengemas “seseorang yang dapat melibatkan diri dalam kenikmatan indria” dengan “seseorang yang menikmati hubungan seksual.” MṬ menghatakan bahwa tindakan fisik lainnya yang melibatkan keinginan seksual seperti merangkul dan menepuk juga termasuk.

253) MA menjelaskan bahwa paragraf ini disebutkan untuk menunjukkan pelanggaran dalam perolehan pengetahuan intelektual Dhamma dengan motivasi keliru – jelas merupakan jebakan ke dalam mana Ariṭṭha terjatuh. “kebaikan (attha) yang karenanya mereka mempelajari Dhamma” adalah jalan dan buah.

254) “Perumpamaan rakit” yang terkenal melanjutkan argumen yang sama terhadap kekeliruan dalam menggunakan pembelajaran yang diperkenalkan oleh perumpamaan ular. Seseorang yang terlena menggunakan Dhamma untuk memicu kontroversi dan memenangkan perdebatan membawa Dhamma di lehernya bukannya menggunakannya untuk menyeberangi banjir.

255) Dhammā pi vo pahātabbā pageva adhammā. Kata dhammā bermakna ganda di sini. MA menginterpretasikannya sebagai bermakna kondisi-kondisi baik, yang mengidentifikasikannya sebagai ketenangan dan pandangan terang (samatha-vipassanā) dalam penulisannya pada teks: “Aku mengajarkan, para bhikkhu, bahkan meninggalkan keinginan dan kemelekatan pada kondisi-kondisi yang damai dan luhur seperti ketenangan dan pandangan terang, apalagi hal-hal yang rendah, vulgar, tercela, kasar, dan tidak murni itu yang oleh si dungu Ariṭṭha yang dilihat sebagai tidak berbahaya ketika ia mengatakan bahwa tidak ada rintangan dalam keinginan dan nafsu pada kelima utas kenikmatan indria.” Komentator mengutip MN 66.26-33 sebagai contoh dari ajaran Sang Buddha tentang ditinggalkannya kemelekatan pada ketenangan, MN 38.14 sebagai contoh ajaranNya tentang ditinggalkannya kemelekatan pada pandangan terang. Perhatikan bahwa dalam masing-masing kasus, adalah kemelekatan pada kondisi-kondisi baik itu yang harus ditinggalkan, bukan kondisi-kondisi baik itu sendiri.

Terlepas dari MA, sepertinya bagi saya bahwa dhammā di sini menyiratkan, bukan kondisi-kondisi baik itu sendiri, melainkan ajaran-ajaran, sikap yang seharusnya yang digambarkan di atas dalam perumpamaan ular. Perumpamaan rakit mengisyaratkan bahwa bahkan ajaran-ajaran yang seharusnya digenggam dengan baik akhirnya harus dilepaskan. Akan tetapi, ini bukanlah undangan pada nihilisme moral, melainkan suatu peringatan bahwa bahkan kemelekatan pada ajaran mulia adalah suatu rintangan bagi kemajuan. Apa yang berlawanan dengan ajaran-ajaran, adhammā, termasuk kelemahan moral yang menguasai Ariṭṭha.

256) Bagian ini terbukti bertujuan mencegah jenis lain konsepsi keliru dan interpretasi keliru dari Dhamma, yaitu, pengenalan pandangan diri ke dalam ajaran. Menurut MA, sudut pandang bagi pandangan (diṭṭhiṭṭhāna) adalah pandangan-pandangan salah itu sendiri sebagai landasan bagi pandangan salah-pandangan salah lainnya yang lebih besar; obyek-obyek pandamgan, yaitu, kelima kelompok unsur kehidupan, dan kondisi-kondisi bagi pandangan-pandangan, yaitu, faktor-faktor seperti kebodohan, persepsi sesat, dan pikiran-pikiran keliru, dan sebagainya.

257) MA menyebutkan bahwa gagasan “ini milikku” dicetuskan oleh keinginan, gagasan “ini aku” oleh keangkuhan, dan gagasan “ini diriku” oleh pandangan salah. Ketiga ini – keinginan, keangkuhan, dan pandangan salah – disebut tiga penguasaan (gāha). Ketiga ini juga merupakan penyebab utama dibalik penganggapan (MN 1) dan proliferasi pikiran (MN 18).

258) Rangkaian kata ini menunjukkan kelompok unsur kesadaran secara tidak langsung, melalui obyeknya. Yang “terlihat” menunjukkan kesadaran-mata, yang “terdengar” menunjukkan kesadaran-telinga, yang “tercerap” menunjukkan ketiga jenis kesadaran indria lainnya, dan terakhir pada kesadaran-pikiran.

259) Ini adalah pandangan eternalis lengkap yang muncul dengan berdasarkan pada satu yang sebelumnya, jenis yang lebih mendasar dari pandangan personalitas; di sini menjadi obyek keinginan, keangkuhan, dan pandangan salah pada diri. Pandangan ini sepertinya mencerminkan filosofi Upanishads, yang menegaskan identitas diri individual (ātman) dengan sosok universal (Brahman),  walaupun sulit untuk menentukan dengan berdasarkan pada teks apakah Sang Buddha secara pribadi memahami Upanishad awal itu sendiri.

260) Asati na paritassati. Bentuk kata benda paritassanā, menurut MA, memiliki dua konotasi ketakutan dan keinginan, dengan demikian “gangguan” terpilih untuk mencakup keduanya. Gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal (§18) merujuk pada keputus-asaan duniawi karena kehilangan atau tidak mendapatkan kepemilikan; gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal (§20) merujuk pada keputus-asaan eternalis ketika ia secara keliru memahami ajaran Buddha tentang Nibbāna sebagai doktrin nihilisme.

261) Pariggahaṁ parigaṇheyyātha, secara literal. “Kalian mungkin memiliki kepemilikian itu.” Ini berhubungan dengan §18 tentang gangguan sehubungan dengan kepemilikan eksternal.

262) Attavādupādānaṁ upādiyetha. Secara literal “Kaliann mungkin melekat pada kemelekatan doktrin diri itu.” Mengenai persoalan yang dilibatkan oleh idiom ini pada terjemahan, baca n.176. Paragraf ini berhubungan dengan §20 tentang gangguan yang timbul dari pandangan diri.

263) Penyokong pandangan (diṭṭhinissaya), menurut MA, adalah enam puluh dua pandangan yang disebutkan dalam Brahmajāla Sutta (DN 1), yang muncul dari pandangan diri atau “doktrin diri.” Juga termasuk pandangan sesat yang dianut Ariṭṭha pada awal sutta ini.

264) Gagasan “apa yang menjadi milik diri” atau “milik diri” (attaniya) berasal dari apapun di antara kelima kelompok unsur kehidupan yang tidak diidentifikasikan sebagai diri, serta seluruh kepemilikan eksternal individu. Paragraf ini menunjukkan saling ketergantungan, dan dengan demikian sama-sama tidak dapat dipertahankan, dari kedua gagasan “aku” dan “milikku.”

265) Menurut komentar, kekecewaan (nibbidā, juga diterjemahkan “kejijikan” atau “kemuakan”) menyiratkan tahap puncak dari pandangan terang, kebosanan (virāga) menyiratkan pencapaian jalan lokuttara, dan kebebasan (vimutti) menyiratkan buah. Pengetahuan peninjauan Arahant (paccavekkhaṇañāṇa) ditunjukkan oleh frasa “muncullah pengetahuan” dan “ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan …’.”

266) “Pergi demikian” adalah, dalam Pali, tathāgata, gelar yang biasanya diberikan pada Sang Buddha, tetapi di sini diterapkan lebih luas pada Arahant. MA menginterpretasikan paragraf ini dalam dua cara alternatif sebagai berikut: (1) Arahant bahkan selagi masih hidup adalah tidak terlacak di sini dan saat ini sebagai makhluk atau individu (dalam makna tidak ada makhluk (sebagai diri). (2) Arahat tidak terlacak di sini dan saat ini karena adalah tidak mungkin bagi para dewa, dan sebagainya untuk menemukan penyokong bagi batin pandangan terangnya, batin sang jalannya, batin buahnya (vipassanācitta, maggacitta, phalacitta); yaitu, karena obyeknya adalah Nibbāna, maka batinnya tidak dapat dikenali oleh kaum duniawi.

267) Ini merujuk kembali pada §20, di mana para penganut eternalis salah memahami ajaran Buddha tentang Nibbāna, lenyapnya penjelmaan, sebagai melibatkan pemusnahan makhluk yang sekarang yang dianggap sebagai diri.

268) Maksud dari pernyataan ini lebih dalam daripada apa yang tampak di permukaan. Dalam konteks tuduhan keliru pada §37, Sang Buddha menyebutkan bahwa Beliau mengajarkan bahwa makhluk hidup bukanlah diri, melainkan hanya kumpulan faktor-faktor, peristiwa-peristiwa jasmani dan batin, yang saling berhubungan dalam proses yang bersifat dukkha, dan bahwa Nibbāna, lenyapnya penderitaan, bukanlah pemusnahan makhluk, melainkan terhentinya proses yang tidak memuaskan yang sama itu. Pernyataan ini harus dibaca bersama dengan SN 12:15/ii.17, di mana Sang Buddha mengatakan bahwa seorang yang berpandangan benar, yang telah melenyapkan semua doktrin diri, melihat bahwa apapun yang muncul hanyalah munculnya dukkha,  dan apapun yang lenyap hanyalah lenyapnya dukkha.

269) “Apa yang sebelumnya telah dipahami sepenuhnya” (pubbe pariññātaṁ) adalah kelima kelompok unsur kehidupan. Karena hanya pada ini kehormatan dan hinaan ditunjukkan, bukan “aku” atau diri, tidak ada alasan untuk merasa senang atau kesal.

270) MA menunjukkan bahwa ini adalah kemelekatan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang harus ditinggalkan; kelompok-kelompok unsur kehidupan itu sendiri tdiak dapat dicabut atau dihancurkan.

271) MA: “Chinna-pilotika: pilotikā adalah kain usang dan robek yang dijahit dan ditambal di sana-sini; tidak ada (dalam Dhamma ini) yang seperti ini – robek, usang, dijahit dan ditambal dengan kemunafikan dan muslihat.”

272) Yaitu, karena para Arahant telah mencapai kebebasan dari seluruh lingkaran kehidupan, maka adalah tidak mungkin menunjukkan di alam mana dalam lingkaran itu mereka mungkin terlahir kembali.

273) Ini adalah dua kelompok individu yang berdiri di jalan memasuki-arus. “Pengikut-Dhamma” (dhammānusārin) dan para siswa yang indria kebijaksanaannya (paññindriya) menonjol dan yang mengembangkan jalan mulia dengan dipimpin oleh kebijaksanaan; ketika mereka mencapai buah maka mereka disebut “mencapai pandangan” (diṭṭhipatta).  “Pengikut keyakinan” (saddhānusārin) adalah para siswa yang indria keyakinannya (saddhindriya) menonjol dan yang mengembangkan jalan mulia dengan dipimpin oleh keyakinan; ketika mereka mencapai buah maka mereka disebut “terbebaskan melalui keyakinan” (saddhāvimutta). Baca MN 70.20,21; juga Pug I 35-36/15 dan Vsm XXI,75.

274) MA mengatakan bahwa ini merujuk pada orang-orang yang menekuni praktik meditasi pandangan terang yang belum mencapai tahap pencapaian lokiya yang manapun. Perhatikan bahwa praktik ini hanya menuntun menuju alam surga, bukan pencerahan, walaupun jika praktik ini telah matang maka dapat mencapai jalan memasuki-arus dan dengan demikian memperoleh jaminan pencerahan. Ungkapan saddhāmattaṁ pemamattaṁ dapat diterjemahkan “hanya keyakinan, hanya cinta kasih” atau “sekadar keyakinan, sekadar cinta kasih” (seperti kadang-kadang diterjemahkan), tetapi ini tidak menjelaskan jaminan kelahiran kembali di alam surga. Oleh karena itu sepertinya adalah suatu keharusan untuk menambahkan akhiran matta di sini untuk menyiratkan jumlah keyakinan dan cinta kasih yang diperlukan, bukan sekadar memiliki kualitas-kualitas ini.


SUTTA 23

275) YM. Kumāra Kassapa adalah anak yang diadopsi oleh Raja Pasenadi dari Kosala, yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang, karena tidak mengetahui bahwa ia sedang hamil, meninggalkan keduniawian menjadi seorang bhikkhunī setelah kehamilannya. Pada saat sutta ini dibabarkan ia masih seorang sekha; ia mencapai Kearahatan dengan menggunakan sutta ini sebagai subyek meditasinya.

276) Menurut MA, dewa ini adalah yang-tidak-kembali yang hidup di Alam Murni. Ia dan Kumāra Kassapa adalah anggota kelompok lima bhikkhu yang, pada masa pengajaran Buddha Kassapa, telah berlatih meditasi bersama-sama di puncak gunung. Adalah dewa yang sama dengan yang mendorong Bāhiya Dāruciriya, anggota kelompok lainnya, untuk mengunjungi Sang Buddha (baca Ud 1:10/7).

277) Makna atas penggambaran oleh dewa tersebut akan dijelaskan dalam sutta itu sendiri.

278) Kummāsa: Vinaya dan komentar menjelaskannya sebagai sesuatu yang terbuat dari yava, gandum. Ñm menerjemahkan kata ini sebagai roti, tetapi dari MN 82.18 jelas bahwa kummāsa mengental dan membusuk setelah lewat semalam. PED mendefinisikannya sebagai susu kental asam; Horner menerjemahkannya sebagai “susu asam.”

279) MA: Bagaikan sebuah palang di gerbang kota mencegah orang-orang memasukinya, demikian pula kebodohan mencegah orang-orang mencapai Nibbāna.

280) Dvedhāpatha juga pernah diterjemahkan sebagai “persimpangan jalan,” jelas melambangkan keragu-raguan.

281) MA menyebutkan bahwa empat kaki dan kepala seekor kura-kura menyerupai kelima kelompok unsur kehidupan.

282) MA: Makhluk-makhluk yang menginginkan kenikmatan indria terpotong oleh parang keinginan indria di atas balok pengganjal obyek indria.

283) Simbolisasi ini dijelaskan dalam MN 54.16.

284) Ini adalah seorang Arahant. Untuk simbolisasinya, baca n.75.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
« Reply #72 on: 18 October 2010, 02:03:27 PM »

SUTTA 24

285) Suatu sisipan diberikan oleh MA. Tanah asal Sang Buddha adalah Kapilabatthu, di kaki Pegunungan Himalaya.

286) Kelima hal terakhir membentuk suatu kumpulan yang disebut lima kelompok unsur Dhamma (dhammakkhandhā). “Kebebasan” diidentifikasikan dengan buah mulia, “pengetahuan dan penglihatan kebebasan” dengan pengetahuan peninjauan.

287) YM. Puṇṇa Mantāṇiputta berasal dari keluarga brahmana dan ditahbiskan oleh YM. Aññā Kodañña di Kapilavatthu, yang mana ia terus menetap di sana hingga ia memutuskan untuk mengunjungi Sang Buddha di Sāvatthī. Ia belakangan dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai bhikkhu yang paling menonjol di antara para pembabar Dhamma.

288) Walaupun ketujuh pemurnian (satta visuddhi) ini disebutkan di tempat lain dalam Kanon Pali (dalam DN iii.288, dengan dua tambahan: pemurnian melalui kebijaksanaan dan pemurnian melalui kebebasan), yang mengherankan adalah bahwa kedua tambahan ini tidak dianalisa sebagai satu kelompok di manapun dalam Nikāya; dan hal ini menjadi semakin mengherankan ketika kedua siswa besar ini sepertinya mengenalinya sebagai satu kelompok pembagian ajaran. Bagaimanapun juga, ketujuh skema ini membentuk kerangka bagi keseluruhan Visuddhimagga, yang mendefinisikan perbedaan tahapan melalui tradisi komentar yang lengkap tentang meditasi konsentrasi dan pandangan terang.

Singkatnya, “pemurnian moralitas” (sīlavisuddhi) adalah ketaatan pada aturan-aturan moral yang dijalani seseorang, dijelaskan oleh Vsm dengan merujuk pada latihan moral dari seorang bhikkhu sebagai “empat pemurnian moralitas.” “Pemurnian pikiran (cittavisuddhi) adalah mengatasi kelima rintangan melalui pencapaian konsentrasi awal dan jhāna-jhāna. “Pemurnian pandangan” (diṭṭhivisuddhi) adalah pemahaman yang mendefinisikan sifat dari kelima kelompok unsur kehidupan yang menyusun sesosok makhluk hidup. “Pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan” (kankhāvitaraṇavisuddhi) adalah memahami kondisionalitas. “Pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan pada apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan” (maggāmaggañāṇadassanavisuddhi) adalah pembedaan benar antara jalan pertapaan yang keliru, menggembirakan pengalaman dan jalan pandangan yang benar ke dalam ketidak-kekalan, penderitaan, dan bukan-diri. “Pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan pada sang jalan” (paṭipadāñāṇadassanavisuddhi) membentuk rangkaian meningkat dari pengetahuan pandangan terang hingga jalan lokuttara. Dan “Pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan” (ñāṇadassanavisuddhi) adalah jalan lokuttara.

289) MA mengemas anupādā parinibbāna sebagai appacayaparinibbāna, “Nibbāna akhir yang tanpa kemelekatan,” menjelaskan bahwa upādāna memiliki dua makna: genggaman (gahaṇa),  seperti dalam kalimat biasa tentang empat jenis kemelekatan dan kondisi (paccaya), seperti diilustrasikan oleh paragraf ini. Para komentator menjelaskan “Nibbāna akhir tanpa kemelekatan” adalah sebagai buah Kearahatan; karena tidak dapat digenggam oleh satu dari empat jenis kemelekatan; atau sebagai Nibbāna, yang tidak terkondisi, karena tidak muncul melalui kondisi apapun.

290) MA menjelaskan bahwa enam tingkat pertama adalah “disertai kemelekatan” dalam makna dikondisikan dan dalam makna ada dalam diri seseorang yang masih menggenggam; tingkat ke tujuh, karena lokuttara, hanya dalam makna terkondisikan.

291) MA mengatakan bahwa Sāriputta menanyakan ini hanya sebagai cara untuk menyapa Puṇṇa Mantāṇiputta karena ia telah mengetahui namanya. Akan tetapi, Puṇṇa, belum pernah bertemu dengan Sāriputta sebelumnya dan karena itu ia pasti sungguh-sungguh terkejut bertemu dengan siswa utama itu.

292) Satthukappa. MA mengatakan bahwa ini adalah pujian tertinggi yang dapat diucapkan oleh seorang siswa.


SUTTA 25

293) Cetovimutti: MA menjelaskan bahwa mereka hanya meninggalkan tekad mereka untuk menetap dalam hutan, walaupun ini juga dapat dianggap bahwa para petapa itu telah mencapai – dan kehilangan – delapan pencapaian meditatif yang biasanya disiratkan oleh kata cetovimutti.

294) Ini adalah sepuluh pandangan spekulatif yang diperdebatkan oleh para petapa filsuf pada masa Sang Buddha. Semuanya ditolak oleh Sang Buddha dengan alasan tidak berhubungan dengan dasar-dasar kehidupan suci dan tidak mendukung kebebasan dari penderitaan. Baca MN 63, MN 72.

295) Delapan pencapaian meditatif di sini harus dipahami, seperti yang dijelaskan MA, sebagai landasan bagi pandangan terang. Ketika seorang bhikkhu telah memasuki jhāna demikian, Māra tidak dapat melihat bagaimana pikirannya bekerja. Akan tetapi, kekebalan dari pengaruh Māra ini hanya bersifat sementara.

296) Bhikkhu terakhir ini, dengan menghancurkan noda-noda, telah menjadi bukan hanya tidak terlihat oleh Māra secara sementara namun secara permanen tidak terjangkau oleh Māra. Mengenai lenyapnya persepsi dan perasaan, baca Pendahuluan, p.41.


SUTTA 26

297) Judul ini mengikuti MN edisi PTS dan SBJ. MA edisi BBS, dan MA edisi PTS dan BBS, merujuk pada khotbah ini sebagai Pāsarāsi Sutta, tumpukan perangkap dengan referensi pada perumpamaan dalam §§32-33.

298) MA menunjukkan bahwa jhāna ke dua dan subyek meditasi utama seseorang keduanya disebut “keheningan mulia” (ariyo tuṇhibhāvo). Mereka yang tidak mampu mencapai jhāna ke dua disarankan untuk mempertahankan keheningan mulia dengan memperhatikan subyek meditasi utama mereka.

299) Upadhi:  makna akarnya adalah fondasi, dasar, landasan (PED). Dalam komentar dijelaskan berbagai jenis upadhi, diantaranya adalah kelima kelompok unsur kehidupan, obyek-obyek kenikmatan indria, kekotoran-kekotoran, dan kamma. Ñm menerjemahkan kata ini secara konsisten sepanjang sutta sebagai “sifat dasar kehidupan,” yang sering kali mengaburkan makna kontekstualnya. Saya mencoba menangkap beberapa konotasi kata ini dengan menerjemahkannya menjadi “perolehan-perolehan” yang mana makna obyektifnya lebih menonjol (seperti di sini) dan sebagai “perolehan” yang mana makna subyektifnya lebih menonjol. Pada MN 26.19 Nibbāna disebut “lepasnya segala perolehan” (sabb’ ūpadhipaṭinissagga),  dengan kedua makna itu yang dimaksudkan.

300) Emas dan perak dikecualikan dari benda-benda yang tunduk pada penyakit, kematian, dan dukacita, tetapi benda-benda tersebut tunduk pada kekotoran, menurut MA, karena benad-benda tersebut dapat dicampur dengan logam yang bernilai lebih rendah.

301) MA: ia mengajarkan Beliau tujuh pencapaian (meditasi ketenangan) yang berakhir pada landasan kekosongan, ke tiga dari empat pencapaian tanpa-materi. Walaupun pencapaian-pencapaian ini adalah luhur secara spiritual, namun masih dalam lingkup lokiya dan tidak secara langsung mengarah pada Nibbāna.

302) Yaitu, menuntun menuju kelahiran kembali di alam kehidupan yang disebut landasan kekosongan, tujuan dari pencapaian meditatif ke tujuh. Di sini umur kehidupannya adalah 60,000 kappa, tetapi ketika jangka waktu itu telah berlalu, seseorang akan meninggal dunia dan kembali ke alam yang lebih rendah. Dengan demikian seseorang yang mencapai ini masih belum terbebas dari kelahiran dan kematian namun terperangkap dalam jebakan Māra (MA). Horner melewatkan hal penting bahwa kelahiran kembali adalah intinya dengan menerjemahkan “hanya sejauh mencapai alam kekosongan” (MLS 1:209).

303) Baik Horner dalam MLS dan Ñm dalam Ms melakukan kesalahan dalam terjemahan mereka mengenai kisah pertemuan Sang Bodhisatta dengan Uddaka Rāmaputta dengan menganggap Uddaka sama dengan Rāma. Akan tetapi, seperti ditunjukkan oleh namanya, Uddaka adalah putera (putta) dari Rāma, yang pasti telah meninggal dunia sebelum kedatangan Sang Bodhisatta. Perhatikan bahwa semua rujukan pada Rāma dituliskan dalam bentuk lampau dan sebagai orang ke tiga, dan bahwa Uddaka pada akhirnya menempatkan Sang Bodhisatta dalam posisi guru. Walaupun teks tidak memberikan akhir yang pasti, namun ini menyiratkan bahwa ia sendiri belum mencapai pencapaian ke empat tanpa-materi itu.

304) MN 36, yang mencantumkan kisah pertemuan Sang Bodhisatta dengan Āḷāra Kālāma dan Uddaka Rāmaputta, dari sini melanjutkan dengan kisah praktik pertapaan keras yang membawaNya hingga ke ambang kematian dan selanjutnya tentang penemuanNya akan jalan tengah yang menuntunNya menuju pencerahan.

305) MA mengidentifikasikan “Dhamma ini” sebagai Empat Kebenaran Mulia. Dua kebenaran atau kondisi-kondisi (ṭhāna) yang dibicarakan persis di bawah – sebab-akibat yang saling bergantungan dan Nibbāna – adalah kebenaran asal-mula dan lenyapnya penderitaan, yang berturut-turut menyiratkan kebenaran penderitaan dan sang jalan.

306) Ālaya. Sulit untuk menemukan padanan yang tepat untuk kata ini dalam Bahasa Inggris yang belum digunakan oleh kata Pali lainnya yang lebih sering muncul. Horner menerjemahkannya sebagai “kenikmatan indria,” yang sesuai dengan terjemahan biasa bagi kāma dan mungkin terlalu sempit. Dalam Ms dan dalam terbitan lainnya Ñm menerjemahkannya sebagai “sesuatu untuk bersandar,” yang mungkin ditarik dari konotasi kata tersebut yang tidak sesuai di sini. MA menjelaskan ālaya sebagai terdiri dari kenikmatan indria obyektif dan pikiran-pikiran keinginan yang berhubungan dengannya.

307) MA mengangkat pertanyaan mengapa, ketika Sang Bodhisatta yang sejak lama bercita-cita untuk mencapai Kebuddhaan dengan tujuan untuk membebaskan makhluk-makhluk lain, sekarang pikirannya condong untuk tidak melakukan apa-apa. Alasannya, menurut komentar, adalah bahwa baru sekarang, setelah mencapai pencerahan, Beliau menyadari sepenuhnya betapa kuatnya kekotoran-kekotoran dalam batin makhluk-makhluk dan betapa mendalamnya Dhamma. Juga Beliau menghendaki agar Brahmā memohonNya untuk mengajar sehingga makhluk-makhluk yang menyembah Brahmā dapat mengenali nilai berharga dari Dhamma dan berkeinginan untuk mendengarnya.

308) Kelima bhikkhu ini melayani Sang Bodhisatta selama masa penyiksaan-diri, percaya bahwa Beliau akan mencapai pencerahan dan mengajarkan Dhamma kepada mereka. Akan tetapi, ketika Beliau meninggalkan praktik kerasNya dan kembali memakan makanan padat, mereka kehilangan keyakinan padaNya, menuduhNya kembali kepada kemewahan, dan meninggalkanNya. Baca MN 36.33.

309) Anantajina: mungkin ini adalah gelar bagi seorang Ājivaka yang tercerahkan secara spiritual.

310) Menurut MA, Upaka selanjutnya jatuh cinta dengan puteri seorang pemburu dan menikahinya. Ketika pernikahannya ternyata tidak membahagiakan, ia kembali pada Sang Buddha, memasuki Sangha, dan menjadi seorang yang-tidak-kembali, ia terlahir kembali di alam surga Aviha, di mana ia mencapai Kearahatan.

311) Āvuso: sebutan bersahabat yang digunakan untuk menyapa mereka yang setara.

312) Baca n.178.

313) Perubahan panggilan dari “teman” menjadi “Yang Mulia” (bhante) menunjukkan bahwa mereka sekarang telah menerima pengakuan Sang Buddha dan siap untuk menganggapnya sebagai yang lebih mulia daripada mereka.

314) Pada titik ini Sang Buddha membabarkan khotbah pertamaNya kepada mereka, Dhammacakkappavattana Sutta, Memutar Roda Dhamma, tentang Empat Kebenaran Mulia. Beberapa hari berikutnya, setelah mereka semuanya telah menjadi pemasuk-arus, Beliau mengajarkan Anattalakkhana Sutta, Karakteristik Bukan-diri, yang setelah mendengarnya mereka semua mencapai Kearahatan. Penjelasan lengkap, terdapat dalam Mahāvagga (Vin i.7-14), yang juga termasuk dalam Ñaṇamoli, The Life of the Buddha, pp.42-47.

315) Bagian ini kembali pada tema pencarian mulia dan tidak mulia yang memulai khotbah Sang Buddha ini. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa menjalani kehidupan monastik bukan jaminan bahwa seseorang telah memulai pencarian mulia, karena pencarian tidak mulia juga dapat menyerbu kehidupan monastik.

316) Ini merujuk pada penggunaan empat benda kebutuhan dengan perenungan terhadap penggunaan selayaknya dalam kehidupan meninggalkan keduniawian. Baca MN 2.13-16.

317) Baca n.295.

318) Baca n.296.

SUTTA 27

319) Menurut Riwayat Sri Lanka, ini adalah sutta pertama yang dibabarkan oleh Mahinda Thera setelah kedatangannya di Sri Lanka.

320) Vacchāyana adalah nama suku Pilotika.

321) Ñm menerjemahkan ekabhattika sebagai “makan hanya pada satu bagian dari hari,” mengikuti komentar. Menurut Vinaya waktu yang benar bagi para bhikkhu untuk makan adalah antara fajar hingga tengah hari. Dari tengah hari hingga fajar keesokan harinya hanya cairan yang diperbolehkan.

322) Formula ini dianalisa dalam Vsm I, 53-59. secara singkat, gambaran (nimitta) adalah kualitas yang paling jelas dari obyek yang, jika digenggam dengan secara tidak waspada, dapat membangkitkan pikiran-pikiran kotor; ciri-ciri (anubyañjana) adalah rincian yang dapat menangkap perhatian ketika kontak persepsi pertama belum diikuti oleh pengendalian. “Kondisi-kondisi ketamakan dan kesedihan” menyiratkan reaksi bergantian keinginan dan ketidak-senangan, kemenarikan dan kemenjijikan, terhadap obyek indria.

323) Ketamakan (abhijjhā) di sini adalah bersinonim dengan keinginan indria (kāmacchanda), yang pertama dari lima rintangan.

324) MA: Ia belum sampai pada kesimpulan ini sehubungan dengan Tiga Permata karena jhāṅa-jhāna dan pengetahuan langsung (lokiya) juga dimiliki oleh mereka yang di luar Ajaran Buddha.

325) Ini, menurut MA, menunjukkan saat sang jalan, dan karena pada titik ini siswa mulia itu masih belum menyelesaikan tugasnya, ia belum sampai pada kesimpulan (na tveva niṭṭhaṁ gato hoti) sehubungan dengan Tiga Permata; sebaliknya, ia berada dalam proses sampai pada kesimpulan (niṭṭhaṁ gacchati). Sutta ini menggunakan permainan kata pada makna dari ungkapan “sampai pada kesimpulan” yang sama wajarnya dalam Bahasa Inggris seperti dalam Pali.

326) Ini menunjukkan kejadian ketika siswa telah mencapai buah Kearahatan, dan setelah menyelesaikan semua tugasnya dalam segala cara, telah sampai pada kesimpulan sehubungan dengan Tiga Permata.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
« Reply #73 on: 18 October 2010, 02:06:34 PM »

SUTTA 28

327) Khotbah ini telah diterbitkan secara terpisah dengan pendahuluan dan catatan oleh Nyanaponika Thera, The Greater Discourse on the Elephant-Footprint Simile.

328) Struktur khotbah ini dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama-tama YM. Sāriputta menguraikan Empat Kebenaran Mulia (§2). Kemudian ia menganalisa kebenaran penderitaan dalam berbagai aspek (§3). Dari antara semua ini, ia memilih yang terakhir dan menguraikan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan (§4). Berikutnya ia memilih kelompok unsur pertama, kelompok unsur bentuk materi (§5). Menggunakan masing-masing dari unsur-unsur utama, ia menunjukkannya memiliki dua aspek – internal dan eksternal – aspek pertama dipilih untuk dianalisa secara terperinci, aspek ke dua hanya disebutkan secara singkat sebagai pelengkap dan perbandingan (misalnya, §§6-7). Masing-masing unsur dijelaskan sebagai suatu landasan bagi pandangan terang (misalnya, §§8-10). Setelah selesai memeriksa unsur, YM. Sāriputta selanjutnya mengangkat aspek-aspek dari Empat Kebenaran Mulia yang sebelumnya ia kesampingkan. Ia memperkenalkan bentuk materi turunan melalui organ-organ indria dan obyeknya (§27, dan seterusnya), yang kemudian ia hubungkan dengan empat kelompok unsur kehidupan lainnya dari kebenaran mulia pertama. Akhirnya ia menguraikan keseluruhan topik yang rumit ini sehubungan dengan ketiga kebenaran mulia lainnya (§28, dan seterusnya).

329) Upādinna. “dilekati,” digunakan dalam Abhidhamma sebagai istilah teknis yang berlaku pada fenomena jasmani yang dihasilkan oleh kamma. Akan tetapi, di sini digunakan dalam makna yang lebih umum sebagai berlaku pada keseluruhan jasmani sejauh yang digenggam sebagai “milikku” dan disalah-pahami sebagai diri. Frasa “apapun lainnya” dimaksudkan untuk memasukkan unsur tanah yang terdapat dalam bagian-bagian tubuh yang tidak termasuk dalam daftar di atas. Menurut analisa materi dalam Abhidhamma, empat unsur utama adalah tidak terpisahkan, dan dengan demikian masing-masing unsur juga termasuk, walaupun dalam peran yang lebih rendah, dalam fenomena jasmani terdaftar di bawah ketiga unsur lainnya.

330) MA: Pernyataan ini dibuat untuk menggaris-bawahi sifat tidak-hidup (acetanābhāva) dari unsur tanah internal dengan menghubungkannya dengan unsur tanah eksternal, sifat tidak-hidupnya menjadi lebih mudah terlihat.

331) Menurut Kosmologi India kuno siklus kehancuran dunia dapat terjadi karena air, api, atau angin. Baca Vsm XIII, 30-65.

332) Gagasan “aku”, “milikku”, dan “diriku” mewakili tiga gagasan yang mengganggu pikiran yaitu pandangan identitas, keinginan, dan keangkuhan, secara berturut-turut.

333) MA menjelaskan bahwa paragraf ini, yang merujuk pada seorang bhikkhu yang mempraktikkan meditasi pada unsur-unsur, bermaksud untuk menunjukkan kekuatan pikirannya dalam menerapkan pemahamannya terhadap segala sesuatu pada obyek-obyek tidak menyenangkan yang muncul di “pintu” telinga. Dengan merenungkan pengalaman melalui kondisionalitas dan ketidak-kekalan, ia mentransformasikan situasi yang berpontensi memprovokasi karena dihina menjadi suatu kesempatan bagi pandangan terang.

334) Tassa dhātārammaṇam eva cittaṁ pakkhandati. Kalimat ini dapat ditafsirkan dalam dua cara alternatif, bergantung pada bagaimana kata majemuk dhātārammaṇam dipahami. YM. Nyanaponika menganggapnya sebagai obyek dari kata kerja pakkhandati, dan ia memahami dhātu di sini sebagai “unsur bukan personal secara umum” yang mampu menerima suara, kontak, perasaan, dan sebagainya. Karena itu ia menerjemahkan: “Dan pikirannya masuk ke dalam obyek itu [dengan menganggapnya hanya sebagai] unsur [tidak hidup].”Ñm membaca kata majemuk ini sebagai kata tambahan yang berarti citta, dan memberikan obyek dari kata kerja dalam tanda kurung. MA sepertinya mendukung tulisan pertama; MṬ secara eksplisit mengidentifikasikan dhātu sebagai unsur tanah, dengan demikian mendukung pernyataan ke dua. MA menjelaskan frasa “memperoleh keteguhan” bermakna bahwa meditator merenungkan situasi melalui unsur-unsur dan dengan demikian tidak melekati juga tidak menolaknya.

335) MA: Paragraf ini dimaksudkan untuk menunjukkan kekuatan bhikkhu yang bermeditasi ketika ia mengalami penderitaan melalui jasmani.

336) Baca MN 21.20.

337) MA: Perenungan Sang Buddha dilakukan di sini dengan mengingat bahwa Sang Bhagavā mengajarkan perumpamaan gergaji ini, perenungan Dhamma dengan mengingat nasihat yang terkandung dalam perumpamaan gergaji, dan perenungan Sangha dengan mengingat moralitas para bhikkhu yang mampu menahankan hinaan demikian tanpa memunculkan pikiran membenci. “Keseimbangan yang didukung oleh kondisi-kondisi bermanfaat” (upekkha kusalanissitā) adalah keseimbangan pandangan terang, enam keseimbangan yang tidak tertarik juga tidak menolak obyek-obyek yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan yang muncul di enam pintu indria. Dengan kata lain, enam keseimbangan yang hanya dimiliki oleh Arahant, tetapi di sini dikatakan dimiliki oleh bhikkhu dalam latihan karena pandangan terangnya mendekati keseimbangan sempurna Arahant.

338) Ini dikatakan untuk menekankan sekali lagi sifat tanpa-ego dari jasmani. MṬ: Ia menunjukkan bahwa empat unsur hanyalah sekadar unsur bukan milik diri; unsur-unsur itu adalah tanpa makhluk, tanpa jiwa.

339) Bagian ini dijelaskan, menurut MA, untuk memperkenalkan bentuk materi yang diturunkan dari empat unsur utama. Bentuk materi turunan, menurut analisa materi Abhidhamma, termasuk lima organ indria (pasādarūpa) dan empat jenis pertama obyek indria, obyek sentuhan karena diidentifikasikan dengan unsur utama itu sendiri. “Aktivitas (kesadaran) yang bersesuaian” (tajjo samannāhāro) dijelaskan oleh MA sebagai perhatian (manasikāra) yang muncul dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, diidentifikasikan dengan “lima pintu kesadaran penerima (pañcadvārāvajjanacitta), yang memutuskan aliran rangkaian kehidupan (bhavanga) untuk memulai proses pengenalan. Bahkan ketika bentuk-bentuk muncul dalam jangkauan mata, jika perhatian tidak terhubung dengan bentuk karena sedang terlibat pada hal lain, maka tidak ada manifestasi dari “kesadaran yang bersesuaian,” yaitu, kesadaran-mata.

340) Bagian ini dijelaskan untuk menunjukkan Empat Kebenaran Mulia melalui pintu-pintu indria. “Apa yang telah muncul demikian” (tathābhūta) adalah keseluruhan faktor-faktor yang muncul melalui kesadaran-mata. Dengan menganalisa faktor-faktor ini ke dalam lima kelompok unsur kehidupan, YM.Sāriputta menunjukkan bahwa setiap peristiwa pengalaman indria berada dalam kebenaran penderitaan.

341) Pernyataan ini belum terlacak secara langsung berasal dari Sang Buddha dalam sutta manapun dalam Kanon Pali. MA mengemas, mungkin dengan sangat sedikit berhubungan dengan implikasi pernyataan yang lebih mendalam: “Seorang yang melihat sebab-akibat yang saling bergantungan melihat kondisi-kondisi sebab-akibat yang saling bergantungan (paṭicca samuppanne dhamme); seorang yang melihat kondisi-kondisi sebab-akibat yang saling bergantungan melihat sebab-akibat yang saling bergantungan.”

342) Empat kata ini – chanda, ālaya, anunaya, ajjhasāna – adalah sinonim dari keinginan (taṇhā).

343) Walaupun hanya tiga dari Empat Kebenaran Mulia yang secara eksplisit ditunjukkan dalam teks, namun kebenaran ke empat juga tersiratkan. Menurut MA, ini adalah penembusan ketiga kebenaran ini melalui pengembangan delapan faktor sang jalan.

344) MA mengidentifikasikan “pikiran” (mano) dalam paragraf ini sebagai kesadaran rangkaian-kehidupan (bhavangacitta).

345) MA mengilustrasikan kasus ini melalui keterlenaan pikiran dengan obyek yang sudah biasa dikenali ketika tidak memperhatikan rincian yang biasa dikenali dari obyek tersebut. “kelompok kesadaran yang bersesuaian” di sini adalah kesadaran-pikiran (manoviññāṇa), yang mengambil obyek non-indria sebagai bidang pengenalannya.


SUTTA 29

346) Setelah kegagalan usaha Devadatta dalam membunuh Sang Buddha dan merampas kuasa atas Sangha, ia berpisah dari Sang Buddha dan mencoba untuk membentuk sektenya sendiri dengan dirinya sebagai pemimpin. Baca Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, pp. 266-69.

347) “Pengetahuan dan penglihatan” (ñāṇadassana) di sini merujuk pada mata dewa (MA), kemampuan melihat bentuk-bentuk yang halus yang tidak terlihat oleh penglihatan normal,

348) Terjemahan ini mengikuti BBS dan SBJ, yang menuliskan asamayavimokkhaṁ dalam kalimat sebelumnya dan asamayavimuttaiyā dalam kalimat ini. Edisi PTS, yang mana Horner dan Ñm menggunakannya sebagai dasar terjemahan mereka, terbukti keliru dalam membaca samaya dalam dua kata majemuk dan ṭhānaṁ sebagai pengganti aṭṭhānaṁ.  MA mengutip Paṭisambhidāmagga (ii.40) untuk definisi asamayavimokkha (secara literal, kebebasan bukan-sementara atau “terus-menerus”) sebagai empat jalan, empat buah, dan Nibbāna, dan samayavomikkha (kebebasan sementara) sebagai empat jhāna dan empat pencapaian atnpa bentuk., baca juga MN 122.4.

349) “Kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan” adalah buah Kearahatan (MA). Demikianlah “kebebasan terus-menerus” – sebagai termasuk empat jalan dan buah – memiliki jangkauan makna yang lebih luas daripada “Kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan,” yang dinyatakan sebagai tujuan kehidupan suci.


SUTTA 30

350) Keenam guru tersebut, yang sezaman dengan Sang Buddha, semuanya berada di luar Brahmanisme Ortodoks, dan doktrin-doktrin mereka menunjukkan keberanian spekulatif pada masa Sang Buddha. Enam orang ini sering disebutkan secara bersama dalam Kanon. Ajaran-ajaran mereka, seperti dipahami dalam komunitas Buddhis, terdapat dalam DN 2.17-32/ii.52-59.

351) Pertanyaan yang persis sama dengan yang diajukan kepada Sang Buddha menjelang Parinibbāna oleh pengembara Subhadda pada SN 16.5.26-27/ii.150-52.

352) Adalah kalimat ini, yang digunakan pada kalimat yang diawali dengan “Ia menjadi mabuk ...,” yang membedakan paragraf-paragraf dari sutta ini dengan paragraf-paragraf yang bersesuaian dari sutta sebelumnya.

353) Walaupun jhāna-jhāna juga termasuk dalam pencapaian konsentrasi yang dijelaskan pada §10, dan pengetahuan dan penglihatan digambarkan sebagai lebih tinggi daripada pencapaian konsentrasi, namun jhāna-jhāna sekarang menjadi lebih tinggi daripada pengetahuan dan penglihatan karena jhāna-jhāna diperlakukan sebagai landasan bagi pencapaian lenyapnya dan hancurnya noda-noda. (pada §21).


SUTTA 31

354) YM. Anuruddha adalah saudara sepupu Sang Buddha; YM. Nandiya dan Kimbila adalah sahabat Anuruddha.

355) Ini adalah tiga dari “enam prinsip kerukunan” yang dijelaskan dalam MBN 48.6.

356) MA mengidentifikasikan yakkha ini sebagai raja surgawi (devarāja) yang termasuk di antara dua puluh delapan pemimpin yakkha yang disebutkan pada DN 32.10/iii.205.


SUTTA 32

357) Empat kelompok adalah para bhikkhu, bhikkhunī, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan. Tujuh kecenderungan tersembunyi diuraikan pada MN 18.8. YM. Ānanda dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai siswa yang paling unggul di antara mereka yang telah banyak belajar, dan khotbah-khotbahnya dikatakan menyenangkan empat kelompok tersebut (DN 16.5.16/ii.145).

358) Yathā sakaṁ paṭibhānaṁ. Frasa ini juga dapat diterjemahkan “menurut intuisinya” atau “menurut idealismenya.” Ñm menerjemahkan “sesuai apa yang terpikir olehnya”; Horner, “menurut kapasitasnya.”

359) YM. Revata dinyatakan sebagai siswa yang paling unggul di antara para siswa meditator.

360) YM. Anuruddha dinyatakan sebagai siswa yang paling unggul di antara para siswa yang memiliki mata-dewa.

361) Mahā Kassapa adalah siswa yang paling unggul di antara para siswa yang menjalankan praktik pertapaan.

362) Abhidhamma. Walaupun kata ini di sini tidak dapat merujuk pada Abhidhamma Piṭaka – yang jelas merupakan produk pemikiran Buddhis belakangan setelah Nikāya-Nikāya – namun menunjukkan suatu pendekatakan sistematis dan analitis terhadap doktrin yang bertindak sebagai inti asli dari Abhidhamma Piṭaka. Dalam suatu pembahasan saksama pada konteks di mana kata “Abhidhamma” muncul dalam Sutta Piṭaka dari beberapa edisi terbaru, Terpelajar Bahasa Pali dari Jepang bernama Fumimaro Watanabe menyimpulkan bahwa para siswa Sang Buddha membentuk konsep Abhidhamma sebagai pelajaran filosofi dasar untuk mendefinisikan, menganalisa, dan mengelompokkan dhamma dan untuk mengeksplorasi saling ke-terkaitannya. Baca bukunya Philosophy and its Development in the Nikāyas and Abhidhamma, pp.34-36.

363) Sementara jawaban-jawaban para siswa dianggap sebagai idealisme seorang bhikkhu yang telah mencapai kemahiran dalam bidang tertentu dari kehidupan meninggalkan keduniawian, jawaban Sang Buddha, dengan menitik-beratkan pada seorang bhikkhu yang masih berjuang untuk mencapai tujuan, menggaris-bawahi tujuan utama dari kehidupan suci itu sendiri.


SUTTA 33

364) Baca MN 129.2.27

365) Aturan (mātikā) mungkin adalah peraturan Pātimokkha yang diringkas dari matriks penjelasannya, serta daftar kelompok doktrin utama yang digunakan untuk membabarkan Dhamma. Untuk penjelasan lebih lanjut tentang mātikā baca Watanabe, Philosophy and its Development in the Nikāyas and Abhidhamma, pp.42-45.

366) Baca n.89.

367) Pada SN 47:6/v.148 empat landasan perhatian disebut wilayah yang selayaknya (gocara) dari seorang bhikkhu, dalam makna sebagai bidang selayaknya dari aktivitasnya.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
« Reply #74 on: 18 October 2010, 02:07:33 PM »

SUTTA 34

368) Baca n.273.


SUTTA 35

369) Menurut MA, Saccaka adalah putera dari orangtua penganut Nigaṇṭha (Jain) yang mana kedua orangtuanya mahir dalam debat filosofis. Ia telah mempelajari seribu doktrin dari orangtuanya dan banyak lagi sistem filosofi dari orang lain. Dalam pembahasan di bawah ia dipanggil dengan nama sukunya, Aggivessana.

370) YM. Assaji adalah salah satu dari lima siswa pertama Sang Buddha.

371) Ringkasan doktrin ini mengabaikan karakteristik ke dua dari tiga karakteristik, dukkha atau penderitaan. MA menjelaskan bahwa Assaji mengabaikan ini untuk menghindari memberikan kesempatan kepada Saccaka untuk membantah doktrin Sang Buddha.

372) MA menjelaskan bahwa orang-orang memainkan permainan ini ketika mempersiapkan kain rami. Mereka mengikat segenggam rami kasar, merendamnya dalam air, dan memukulnya di atas papan di sebelah kiri, kanan, dan tengah. Seekor gajah besar melihat permainan ini, dan mencebur ke dalam air, ia mengambil air dengan belalainya dan menyemprotkannya ke perutnya, ke tubuhnya, di kedua sisi, dan selangkangannya.

373) Dalam menegaskan kelima kelompok unsur kehidupan sebagai diri, ia tentu saja secara langsung menentang ajaran Buddha tentang anattā. Ia mengatakan pandangannya berasal dari “banyak orang” dengan pikiran bahwa “mayoritas tidak mungkin salah.”

374) Sang Buddha di sini mengatakan bahwa kelompok-kelompok unsur kehidupan bukanlah diri karena tidak memiliki satu karakteristik penting dari diri – dapat dikuasai. Apa yang tidak dapat dikuasai atau dikendalikan sepenuhnya tidak dapat diidentifikasikan sebagai “diriku.”

375) MA mengidentifikasikan makhluk (yakkha) ini sebagai Sakka, penguasa para dewa.

376) Teks di antara tanda bintang (*) tidak terdapat pada edisi PTS, namun ditambahkan dari BBS dan SBJ. Kelima kelompok unsur kehidupan di sini disebut penderitaan karena tidak kekal dan tidak dapat dikuasai.

377) Ini adalah karakteristik-karakteristik seorang sekha. Arahant, sebaliknya, tidak hanya memiliki pandangan benar tanpa-diri, tetapi juga menggunakannya untuk melenyapkan segala kemelekatan seperti dijelaskan oleh Sang Buddha pada §25.

378) MA memberikan beberapa penjelasan alternatif atas ketiga kata ini. Yaitu kebijaksanaan, praktik, dan kebebasan lokiya dan lokuttara. Atau seluruhnya lokuttara: pertama adalah pandangan benar pada jalan Kearahatan, ke dua adalah ketujuh faktor lainnya, ke tiga adalah buah tertinggi (Kearahatan). Atau pertama adalah penglihatan pada Nibbāna, ke dua adalah faktor-faktor sang jalan, ke tiga adalah buah tertinggi.

379) Walaupun Saccaka mengaku kalah dalam debat, namun ia tetap masih menganggap dirinya sebagai orang suci, dan dengan demikian ia tidak terdorong untuk memohon perlindungan pada Tiga Permata. Juga, karena ia tetap menganggap dirinya sebagai orang suci, maka ia merasa tidaklah selayaknya baginya untuk mempersembahkan jasa persembahan itu kepada dirinya, dan dengan demikian ia ingin mempersembahkan jasa itu kepada para Licchavi. Tetapi Sang Buddha menjawab bahwa para Licchavi akan memperoleh jasa karena memberikan makanan kepada Saccaka untuk dipersembahkan kepada Sang Buddha. Jasa persembahan itu berbeda secara kualitas menurut kemurnian penerimanya, seperti dijelaskan pada MN 142.6


SUTTA 36

380) MA: Saccaka mendekat dengan niat untuk mendebat doktrin Sang Buddha, yang mana ia gagal melakukannya pada pertemuan pertamanya dengan Sang Buddha (dalam MN 35). Tetapi kali ini ia datang sendirian, dengan pikiran jika ia menderita kekalahan maka tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. Ia bermaksud untuk membantah Sang Buddha dengan pertanyaannya tentang tidur di siang hari, yang tidak ia tanyakan hingga menjelang akhir sutta (§45).

381) MA: Ānanda mengatakan ini demi belas kasihnya kepada Saccaka, dengan pikiran jika ia bertemu denga Sang Buddha dan mendengar Dhamma, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk waktu yang lama.

382) Dari §5 jelas bahwa Saccaka mengidentifikasikan “pengembangan jasmani” (kāyabhāvanā) sebagai praktik penyiksaan-diri. Karena ia tidak melihat para bhikkhu Buddhis yang melakukan penyiksaan-diri, ia berpendapat bahwa mereka tidak melatih pengembangan jasmani. Tetapi Sang Buddha (menurut MA) memahami “pengembangan jasmani” sebagai meditasi pandangan terang, “pengembangan batin” (cittabhāvanā) sebagai meditasi ketenangan.

383) Mereka ini adalah tiga guru Ājivaka; yang terakhir sezaman dengan Sang Buddha, dua yang pertama hampir merupakan tokoh legenda yang identitasnya masih kabur. Sang Bodhisatta telah menjalankan praktik mereka selama masa pertapaannya – baca MN 12.45 – tetapi akhirnya menolak praktik itu sebagai tidak mendukung pencerahan.

384) MA menjelaskan bahwa “pengembangan jasmani” di sini adalah pandangan terang, dan “pengembangan batin” adalah konsentrasi. Ketika siswa mulia mengalami perasaan menyenangkan, ia tidak dikuasai oleh perasaan itu karena, melalui pengembangan pandangan terang, ia memahami perasaan itu tidak kekal, tidak memuaskan, dan bukan diri; dan ketika ia mengalami perasaan menyakitkan, ia tidak dikuasai oleh perasaan itu karena, melalui pengembangan konsentrasi, ia mempu membebaskan diri dari perasaan itu dengan memasuki pencerapan meditaif.

385) Sekarang Sang Buddha akan menjawab pertanyaan Saccaka dengan pertama-tama menunjukkan perasaan yang sangat menyakitkan yang Beliau alami selama perjalanan praktik pertapaanNya, dan setelah itu menunjukkan perasaan yang sangat menyenangkan yang Beliau alami selama dalam pencapaian meditatifNya menjelang pencerahan.

386) PTS pasti keliru dalam membaca avūpakaṭṭho di sini, “tidak terasing.” Dalam edisi pertama saya menerjemahkan paragraf ini berdasarkan pada BBS, yang menuliskan kāyena c’ eva cittena ca. Tetapi PTS dan SBJ menghilangkan cittena, dan sepertinya sulit untuk memahami bagaimana para petapa ini dapat digambarkan “terasing secara batin” dari kenikmatan indria jika mereka belum menenangkan keinginan indria dalam diri mereka. Oleh karena itu saya mengikuti PTS dan SBJ.

387) Adalah mengherankan bahwa dalam paragraf berikutnya Sang Bodhisatta ditunjukkan melakukan penyiksaan-diri setelah Beliau telah sampai pada kesimpulan bahwa praktik demikian adalah tidak berguna untuk mencapai Pencerahan. Ketidak-sesuaian gagasan ini menimbulkan kecurigaan bahwa urutan narasi sutta ini telah tercampur-aduk. Tempat yang seharusnya bagi perumpamaan kayu api ini adalah di akhir masa percobaan pertapaan Sang Bodhisatta, ketika Beliau telah memperoleh landasan kuat untuk menolak penyiksaan-diri. Namun demikian, MA menerima urutan ini apa adanya dan memunculkan pertanyaan mengapa Sang Bodhisatta melakukan praktik keras ini jika Beliau mampu mencapai Kebuddhaan tanpa melakukan demikian. Jawabannya: Beliau melakukan demikian, pertama, untuk menunjukkan usahaNya kepada dunia, karena kualitas kegigihan yang tanpa tandingan memberiNya kegembiraan; dan ke dua, demi belas kasihan kepada generasi mendatang, dengan menginspirasi mereka untuk berjuang dengan tekad yang sama yang Beliau terapkan demi mencapai pencerahan.

388) Kalimat ini, yang juga diulangi pada setiap akhir dari masing-masing bagian berikutnya, menjawab pertanyaan ke dua dari dua pertanyaan yang diajukan oleh Saccaka pada §11.

389) MA: pada masa kecil Sang Bodhisatta sebagai seorang pangeran, pada suatu ketika ayahnya mengadakan upacara membajak sawah pada suatu festival tradisi orang Sakya. Sang Pangeran dibawa ke tempat festival tersebut dan tempat untukNya dipersiapkan di bawah pohon jambu. Ketika para pelayanNya meninggalkanNya untuk menyaksikan upacara membajak sawah, Beliau secara spontan duduk dalam posisi meditasi dan mencapai jhāna pertama melalui perhatian pada pernafasan. Ketika para pelayannya kembali dan melihat Sang Anak sedang duduk bermeditasi, mereka melaporkan hal ini kepada Sang Raja yang segera datang dan bersujud menghormati puteranya.

390) Paragraf ini menandai perubahan dalam evaluasi kenikmatan oleh Sang Bodhisatta; sekarang kenikmatan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang ditakuti dan diusir melalui praktik keras, tetapi, jika muncul dari keterasingan dan pelepasan, terlihat sebagai pendamping yang berharga dari tingkat-tingkat yang lebih tinggi sepanjang perjalanan menuju pencerahan. Baca MN 139.9 tentang dua kelompok kenikmatan.

391) Kalimat ini menjawab pertanyaan pertama dari dua pertanyaan yang diajukan oleh Saccaka pada §11.

392) MA menjelaskan “gambaran konsentrasi” (samādhinimittā) di sini sebagai buah pencapaian kekosongan (suññataphalasamāpatti). Baca juga MN 122.6.

393) Ini adalah pertanyaan yang awalnya ingin ditanyakan oleh Saccaka kepada Sang Buddha. MA menjelaskan bahwa walaupun para Arahant telah melenyapkan kelambanan dan ketumpulan, namun mereka masih perlu tidur untuk mengusir keletihan fisik yang menjadi sifat alami tubuh.

394) MA menjelaskan bahwa walaupun Saccaka tidak mencapai pencapaian apapun atau bahkan tidak menerima Tiga Perlindungan, namun Sang Buddha mengajarkan kepadanya dua sutta panjang untuk mengumpulkan dalam dirinya suatu kesan batin (vāsanā) yang akan matang di masa depan. Karena Beliau meramalkan bahwa kelak, setelah Ajaran berkembang di Sri Lanka, Saccaka akan terlahir kembali di sana dan akan mencapai Kearahatan sebagai seorang Arahant besar, Kāḷa Buddharakkhita Thera.


SUTTA 37

395) MA memperluas: “Secara singkat, sejauh apa Beliau mengatakan sebagai kebebasan dalam hancurnya keinginan, yaitu, dalam Nibbāna, hencurnya keinginan melalui keterbebasan pikiran [yang muncul] dengan menggunakannya [Nibbāna] sebagai obyek. Ajarkanlah aku secara singkat praktik awal dari para bhikkhu Arahant yang dengannya ia terbebaskan dalam hancurnya keinginan.”

396) MA menjelaskan paragraf ini sebagai berikut: “Segala sesuatu” (sabbe dhammā) adalah lima kelompok unsur kehidupan, dua belas landasan, delapan belas unsur. Ini adalah “tidak layak dilekati” melalui keinginan dan pandangan karena pada kenyataannya terbukti berbeda dari caranya digenggam: digenggam sebagai kekal, menyenangkan, dan diri, namun ternyata tidak kekal, penderitaan, dan bukan diri. Ia “secara langsung mengetahui”nya dengan menyelidiknya dengan cara yang sama. “Merenungkan ketidak-kekalan,” dan seterusnya, dicapai dengan pengetahuan pandangan terang timbul dan tenggelam dan hancurnya dan lenyapnya. “Ia tidak melekat” pada bentukan apapun melalui keinginan dan pandangan, tidak menjadi terganggu karena keinginan, dan secara pribadi mencapai Nibbāna melalui padamnya semua kekotoran.

397) Nama kecil Sakka, berarti “burung hantu.”

398) Para dewa dan para raksasa (asura) digambarkan dalam Kanon Pali sebagai terus-menerus dalam kondisi saling berperang. Baca khususnya Sakkasaṁyutta (SN i.216-28).

399) Satu dari Empat Raja Dewa, penguasa para yakkha, kerajaannya berada di sebelah utara.

400) MA: Ia melakukan hal ini dengan cara masuk ke dalam meditasi pada kasiṇa-air dan kemudian berkehendak: “Semoga fondasi istana ini menjadi seperti air.”

401) Sakka dapat merujuk YM. Mahā Moggallāna sebagai seorang “teman dalam kehidupan suci” karena ia sendiri telah mencapai tingkat memasuki-arus (DN 21.2.10/ii.289) dan dengan demikian menjadi seorang siswa mulia yang pasti mencapai kebebasan yang sama yang telah dicapai oleh Mahā Moggallāna.


SUTTA 38

402) Menurut MA, melalui logika keliru berdasarkan fakta kelahiran, Sāti menyimpulkan bahwa kesadaran yang ada yang berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan lain adalah menjelaskan tentang kelahiran kembali. Bagian pertama dari sutta ini (hingga §8) mengulangi pembukaan MN 22, perbedaannya hanya pada pandangan yang menyertai.

403) Ini adalah yang terakhir dari enam pandangan yang digambarkan pada MN 2.8. Baca n.40.

404) MA: tujuan dari perumpamaan ini adalah untuk menunjukkan bahwa tidak ada perpindahan kesadaran pada pintu-pintu indria. Seperti halnya api kayu gelondongan yang membakar dengan bergantung pada kayu gelondongan dan padam ketika bahan bakarnya habis, tanpa berpindah ke kayu ranting dan dikenal sebagai api kayu ranting, demikian pula, kesadaran yang muncul pada pintu mata yang bergantung pada mata dan bentuk menjadi lenyap ketika kondisinya lenyap, tanpa berpindah ke telinga, dan seterusnya, dan menjadi dikenal sebagai kesadaran-telinga, dan seterusnya. Demikianlah Sang Buddha mengatakan yang intinya: “Dalam peristiwa kesadaran bahkan tidak ada perpindahan dari satu pintu ke pintu lain, jadi bagaimana mungkin Sāti sesat ini mengatakan perpindahan dari satu kehidupan ke kehidupan lain?”

405) Bhūtam idan ti. MA: “Ini” merujuk pada kelima kelompok unsur kehidupan. Setelah menunjukkan kondisionalitas kesadaran, Sang Buddha mengatakan paragraf ini untuk menunjukkan kondisionalitas seluruh lima kelompok unsur kehidupan, yang muncul karena kondisi, “makanan”nya, dan berlalu dengan lenyapnya kondisi tersebut. Dalam tadāhārasambhavaṁ berikutnya, MA menganggap tad sebagai suatu bentuk nominatif yang mewakili subyek (= taṁ khandhapañcakaṁ), tetapi seprtinya lebih mungkin bahwa ini berarti āhāra dan keduanya harus dianggap sebagai bentuk ablatif, subyek idaṁ dipahami. Interpretasi ini sepertinya ditegaskan oleh pernyataan ke tiga. Terjemahan Horner “Ini adalah asal-mula makanan” jelas salah.

406) Ini dikatakan untuk menunjukkan kepada para bhikkhu bahwa mereka tidak boleh melekat pada bahkan pandangan benar dari meditasi pandangan terang. Perumpamaan rakit merujuk pada MN 22.13.

407) Tentang empat makanan, baca n.120. MA: Sang Buddha mengatakan paragraf ini dan paragraf berikutnya menghubungkan makanan dengan sebab akibat yang saling bergantungan untuk menunjukkan bahwa Beliau mengetahui bukan hanya kelima kelompok unsur kehidupan tetapi juga keseluruhan rangkaian kondisi yang bertanggung jawab atas penjelmaan.

408) Ini adalah pernyataan prinsip abstrak dari sebab-akibat yang saling bergantungan yang ditunjukkan oleh dua belas formula. Prinsip abstrak tentang lenyapnya tercantum pada §22. Ñm menerjemahkan munculnya sebagai berikut:”Itu ada jika ini ada; itu muncul dengan munculnya ini.” Dan prinsip lenyapnya: “Itu tidak ada jika ini tidak ada; itu lenyap dengan lenyapnya ini.”

409) Tulisan terbaik adalah dari SBJ: samaṇavacanena ca mayaṁ. Ñm jelas menerjemahkan dari PTS samaṇā ca na ca mayaṁ dan dengan demikian menerjemahkannya menjadi, “dan demikian pula dengan para bhikkhu [lainnya], tetapi kami tidak mengatakan demikian.” “Petapa itu” adalah Sang Buddha.
410) Bagian berikutnya dari khotbah ini dapat dipahami sebagi penerapan konkrit dari sebab akibat yang saling bergantungan – sejauh ini hanya diungkapkan sebagai formula doktrin – pada perjalanan kehidupan individu. Paragraf §§26-29 dapat dipahami sebagai untuk menunjukkan faktor-faktor dari kesadaran hingga perasaan yang dihasilkan dari kebodohan dan bentukan-bentukan masa lampau, §40 menunjukkan faktor sebab-akibat dari keinginan dan kemelekatan ketika membangun keberlangsungan lingkaran saṁsāra. Bagian berikutnya (§§31-40), menghubungkan sebab-akibat yang saling bergantungan dengan munculnya Sang Buddha dan ajaran Dhamma, menunjukkan praktik Dhamma sebagai alat untuk mengakhiri lingkaran.

411) MA: gandhabba adalah makhluk yang dimaksudkan di sana. Ini bukan seseorang (yaitu, makhluk tanpa jasmani) yang berdiri di dekat sana melihat calon orangtuanya melakukan hubungan seksual, melainkan makhluk yang didorong oleh mekanisme kamma, yang terlahir kembali pada saat itu.

Arti yang tepat dari kata gandhabba sehubungan dengan proses kelahiran kembali tidak dijelaskan dalam Nikāya, dan kata dalam makna ini hanya muncul di sini dan dalam 93.18. DN 15/ii.63 menjelaskan tentang kesadaran sebagai “masuk ke dalam rahim ibu,” ini menjadi kondisi bagi terjadinya kelahiran kembali. Demikianlah kita dapat mengidentifikasikan gandhabba  di sini sebagai arus kesadaran, yang dianggap secara lebih animistik sebagai datang dari kehidupan sebelumnya dan membawa akumulasi total dan kecenderungan kamma dan ciri pribadi. Pembahasan lengkap atas konsep gandhabba ini terdapat pada Wijesekera, “Vedic Gandharva and Pali Gandhabba,” dalam Buddhist and Vedic Studies, pp.191-202.

412) MA menjelaskan bahwa ia bergembira dalam perasaan menyakitkan dengan melekatinya dengan pikiran “aku” dan “milikku.” Dalam mengkonfirmasi pernyataan bahwa kaum duniawi mungkin bergembira dalam perasaan menyakitkan, seseorang berpikir bukan hanya suatu sifat menyenangi siksaan, tetapi juga kecenderungan umum dari orang-orang untuk menempatkan diri mereka dalam situasi menderita untuk memperkuat ego mereka.

413) MA: suatu pikiran yang tanpa batas (appamāṇacetaso) adalah pikiran lokuttara; ini berarti bahwa ia memiliki sang jalan.

414) Pernyatan ini mengungkapkan bahwa rantai sebab-akibat yang saling bergantungan putus pada mata rantai antara perasaan dan keinginan. Perasaan muncul karena jasmani yang diperoleh melalui keinginan masa lampau tunduk pada kematangan kamma lampau. Akan tetapi, jika seseorang tidak bergembira dalam perasaan, maka keinginan tidak akan berkesempatan untuk muncul dan memicu reaksi senang dan tidak senang yang menghasilkan bahan bakar lebih banyak bagi lingkaran, dan dengan demikian lingkaran akan berakhir.


 

anything