//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama  (Read 52043 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #45 on: 24 July 2010, 01:47:18 PM »
26. “Ketika [245] para dewa melihatKu, beberapa berkata: ‘Petapa Gotama telah mati.’ Beberapa dewa lain berkata: ‘Petapa Gotama tidak mati, Beliau sekarat.’ Dan para dewa lainnya lagi berkata: ‘Petapa Gotama tidak mati  ataupun sekarat; Beliau adalah seorang Arahant, karena demikianlah cara para Arahant berdiam.’

27. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika aku berlatih sepenuhnya tidak makan.’ Kemudian para dewa mendatangiKu dan berkata: ‘Tuan, jangan berlatih sepenuhnya tidak makan. Jika Engkau melakukan hal itu, kami akan memasukkan makanan surgawi ke dalam pori-pori kulitMu dan Engkau akan hidup dengan itu.’ Aku mempertimbangkan: ‘Jika Aku mengaku sepenuhnya tidak makan sementara para dewa ini memasukkan makan-makanan surgawi ke dalam pori-pori kulitku dan Aku akan hidup dengan itu, maka artinya Aku berbohong.’ Maka aku mengusir para dewa itu, dan berkata: ‘Tidak perlu.’

28. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku memakan sangat sedikit makanan, segenggam setiap kalinya, apakah sop kacang atau sop kacang tanah atau sop kacang hijau atau sop kacang polong.’ Maka Aku memakan sangat sedikit makanan segenggam setiap kalinya, apakah sop kacang atau sop kacang tanah atau sop kacang hijau atau sop kacang polong. Sewaktu Aku melakukan demikian, tubuhKu menjadi sangat kurus. Karena makan begitu sedikit anggota-anggota tubuhku menjadi seperti tanaman merambat atau batang bambu. Karena makan begitu sedikit punggungku menjadi seperti kuku onta. Karena makan begitu sedikit tonjolan tulang punggungku menonjol bagaikan untaian tasbih. Karena makan begitu sedikit tulang rusukKu menonjol karena kurus seperti kasau dari sebuah lumbung tanpa atap. Karena makan begitu sedikit bola mataKu masuk jauh ke dalam lubang mata, terlihat seperti kilauan air yang jauh di dalam sumur yang dalam. Karena makan begitu sedikit kulit kepalaKu mengerut dan layu bagaikan [246] buah labu pahit yang mengerut dan layu oleh angin dan matahari. Karena makan begitu sedikit kulit perutku menempel pada tulang punggungKu; sedemikian sehingga jika Aku menyentuh kulit perutKu maka akan tersentuh tulang punggungKu, dan jika Aku menyentuh tulang punggungKu maka akan tersentuh kulit perutKu. Karena makan begitu sedikit, jika Aku mencoba menyamankan diriKu dengan memijat badanKu dengan tanganKu, maka bulunya, tercabut pada akarnya, berguguran dari badanKu ketika Aku menggosoknya.

29. “Saat itu ketika orang-orang melihatKu, beberapa berkata: ‘Petapa Gotama hitam.’ Orang lain berkata: ‘Petapa Gotama tidak hitam, Beliau cokelat. Orang lain lagi berkata: ‘Petapa Gotama bukan hitam juga bukan cokelat, ia berkulit keemasan.’ Kulitku yang bersih dan cerah menjadi sangat kusam karena makan sangat sedikit.

30. “Aku berpikir: ‘Para petapa atau brahmana manapun di masa lampau telah mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk Karena usaha ini, ini adalah yang terjauh, tidak ada yang melampaui ini. Dan para petapa atau brahmana manapun di masa depan akan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk Karena usaha ini, ini adalah yang terjauh, tidak ada yang melampaui ini. Dan para petapa atau brahmana manapun di masa sekarang mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk Karena usaha ini, ini adalah yang terjauh, tidak ada yang melampaui ini. Tetapi melalui latihan keras yang menyiksa ini Aku tidak mencapai kondisi melampaui manusia apapun, keluhuran apapun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Apakah ada jalan lain menuju pencerahan?”

31. “Aku mempertimbangkan: ‘Aku ingat ketika ayahKu orang Sakya yang berkuasa, sewaktu Aku sedang duduk di keteduhan pohon jambu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.  Mungkinkah itu adalah jalan menuju pencerahan?’ kemudian, dengan mengikuti ingatan itu, muncullah pengetahuan: ‘Itu adalah jalan menuju pencerahan.’

32. “Aku berpikir: ‘Mengapa [247] Aku takut pada kenikmatan itu yang tidak berhubungan dengan kenikmatan indria dan kondisi-kondisi tidak bermanfaat?’ Aku berpikir: ‘Aku tidak takut pada kenikmatan itu karena tidak berhubungan dengan kenikmatan indria dan kondisi-kondisi tidak bermanfaat.’

33. “Aku mempertimbangkan: ‘Tidaklah mudah untuk mencapai kenikmatan demikian dengan badan yang sangat kurus. Bagaimana jika Aku memakan sedikit makanan padat – sedikit nasi dan bubur.’ Dan Aku memakan sedikit makanan padat – sedikit nasi dan bubur. Pada saat itu lima bhikkhu melayaniku, dengan berpikir: ‘Jika Petapa Gotama kita mencapai kondisi yang lebih tinggi, Beliau akan memberitahu kita.’ Tetapi ketika Aku memakan nasi dan bubur, kelima bhikkhu itu menjadi jijik dan meninggalkan Aku, dengan berpikir: ‘Petapa Gotama sekarang hidup dalam kemewahan; ia telah meninggalkan usahaNya dan kembali pada kemewahan.’

34. “Ketika Aku telah memakan sedikit makanan padat dan memperoleh kembali kekuatanKu, maka dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu pikiranku dan tidak menetap di sana.

35-37. “Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... Dengan meluruhnya kegembiraan ... Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Dengan  meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ... Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu pikiranku dan tidak menetap di sana.

38. “Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, [248] Aku mengarahkannya pada pengetahuan perenungan kehidupan lampau. Aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 4, §27) … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya Aku mengingat banyak kehidupan lampau.

39. “Ini adalah pengetahuan sejati pertama yang dicapai olehKu pada jaga pertama malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu pikiranku dan tidak menetap di sana.

40. “Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk  … (seperti Sutta 4, §29) … Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka.

41. “Ini adalah pengetahuan sejati ke dua yang dicapai olehKu pada jaga ke dua malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, [249] kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu pikiranku dan tidak menetap di sana.

42. “Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

43. “Ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, pikiranKu terbebas dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘terbebaskan.’ Aku secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

44. “Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang dicapai olehKu pada jaga ke tiga malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu pikiranku dan tidak menetap di sana.

45. “Aggivessana, Aku ingat pernah mengajarkan Dhamma kepada ratusan kelompok. Mungkin tiap-tiap orang berpikir: ‘Petapa Gotama sedang mengajarkan Dhamma secara khusus untukku.’ Tetapi jangan dianggap demikian; Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepada orang lain hanya untuk memberikan pengetahuan kepada mereka. Ketika pembabaran itu selesai, Aggivessana, kemudian Aku mengokohkan pikiranKu secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengkonsentrasikannya pada gambaran yang sama dengan gambaran konsentrasi sebelumnya, yang mana Aku berdiam di dalamnya secara terus-menerus.”

“Ini adalah suatu hal yang mana Guru Gotama dapat dipercaya, karena Beliau adalah Yang Sempurna dan Tercerahkan Sempurna. Tetapi apakah Guru Gotama ingat pernah tertidur di siang hari?”

46. “Aku ingat, Aggivessana, di bulan terakhir musim panas, ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan Aku menggelar jubah luarku yang dilipat empat, dan berbaring pada sisi kananKu, Aku jatuh tertidur dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan.”

“Beberapa petapa dan brahmana menyebutnya kediaman dalam kebodohan, Guru Gotama.” [250]

“Bukanlah demikian seseorang itu bodoh atau tidak bodoh, Aggivessana. Sehubungan dengan bagaimana seseorang itu bodoh atau tidak bodoh, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia.” Saccaka putera Nigaṇṭha menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

47. “Ia Kusebut bodoh, Aggivessana, yang belum meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, yang memberikan kesulitan, yang matang dalam kesengsaraan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; karena adalah dengan tidak-meninggalkan noda-noda maka seseorang menjadi bodoh. Ia Kusebut tidak bodoh, yang telah meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, yang memberikan kesulitan, yang matang dalam kesengsaraan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; karena adalah dengan meninggalkan noda-noda maka seseorang menjadi tidak bodoh. Sang Tathāgata, Aggivessana, telah meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, yang memberikan kesulitan, yang matang dalam kesengsaraan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, telah menyingkirkannya sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan. Seperti halnya sebatang pohon palem yang pucuknya dipotong tidak akan mampu tumbuh lagi, demikian pula, Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-noda yang mengotori ... menyingkirkannya sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan.”

 48. Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putera Nigaṇṭha berkata: “Sungguh menakjubkan, Guru Gotama, sungguh mengagumkan bagaimana ketika Guru Gotama menerima kata-kata sindiran lagi dan lagi, diserang oleh ucapan yang tidak sopan, warna kulitNya menjadi cerah dan raut wajahnya jernih, seperti yang seharusnya diharapkan dari seorang yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Aku ingat, Guru Gotama, ketika terlibat perdebatan dengan Pūraṇa Kassapa, dan kemudian ia berbicara berbelit-belit, mengalihkan permbicaraan, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Tetapi ketika Guru Gotama menerima kata-kata sindiran lagi dan lagi, diserang oleh ucapan yang tidak sopan, warna kulitNya menjadi cerah dan raut wajahnya jernih, seperti yang seharusnya diharapkan dari seorang yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Aku ingat, Guru Gotama, ketika terlibat perdebatan dengan Makkhali Gosāla ... Ajita Kesakambalin ... Pakudha Kaccāyana ... Sañjaya Belaṭṭhiputta ... Nigaṇṭha Nātaputta, [251] dan berbicara berbelit-belit, mengalihkan permbicaraan, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Tetapi ketika Guru Gotama menerima kata-kata sindiran lagi dan lagi, diserang oleh ucapan yang tidak sopan, warna kulitNya menjadi cerah dan raut wajahnya jernih, seperti yang seharusnya diharapkan dari seorang yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Dan sekarang, Guru Gotama, kami pergi. Kami sibuk dan banyak hal yang harus kami lakukan.”

“Sekarang adalah waktunya, Aggivessana, untuk melakukan apa yang engkau anggap baik.”

Kemudian Saccaka putera Nigaṇṭha, dengan merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya dan pergi.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:19:12 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #46 on: 24 July 2010, 01:49:32 PM »
37  Cūḷataṇhāsankhaya Sutta
Khotbah Pendek tentang
Hancurnya Keinginan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Taman Timur, di Istana ibunya Migāra.

2. Kemudian Sakka, penguasa para dewa, mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah memberi hormat kepada Beliau, ia berdiri di satu sisi dan bertanya: “Yang Mulia, bagaimanakah secara ringkas seorang bhikkhu terbebaskan dalam hancurnya keinginan, seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, keamanan tertinggi dari belenggu, kehidupan suci tertinggi, tujuan tertinggi, seorang yang terkemuka di antara para dewa dan manusia?”

3. “Di sini, penguasa para dewa, seorang bhikkhu telah mendengar bahwa tidak ada yang layak dilekati. Ketika seorang bhikkhu telah mendengar bahwa tidak ada yang layak dilekati, ia secara langsung sepenuhnya mengetahui segala sesuatu; setelah sepenuhnya mengetahui segala sesuatu, ia sepenuhnya memahami segala sesuatu; setelah sepenuhnya memahami segala sesuatu, apapun perasaan yang ia rasakan, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam perasaan-perasaan itu, merenungkan peluruhannya, merenungkan lenyapnya, merenungkan pelepasannya. Dengan merenungkan demikian, ia tidak melekat pada apapun di dunia. Ketika ia tidak melekat, ia tidak terganggu. Ketika ia tidak terganggu, ia secara pribadi mencapai Nibbāna.  [252] Ia memahami: ‘’Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Secara ringkas, dengan cara inilah, penguasa para dewa, bahwa seorang bhikkhu terbebaskan dalam hancurnya keinginan, seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, keamanan tertinggi dari belenggu, kehidupan suci tertinggi, tujuan tertinggi, seorang yang terkemuka di antara para dewa dan manusia.

4. Kemudian Sakka, penguasa para dewa, merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dan dengan Beliau di sisi kanannya, ia lenyap seketika.

5. Pada saat itu Yang Mulia Mahā Moggallāna sedang duduk tidak jauh dari Sang Bhagavā. Kemudian ia mempertimbangkan: “Apakah makhluk itu menembus makna dari kata-kata Sang Bhagavā ketika ia bergembira, ataukah tidak? Bagaimana jika aku mencari tahu apakah ia memahami atau tidak.”

6. Kemudian, bagaikan seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Yang Mulia Mahā Moggallāna lenyap dari Istana ibunya Migāra di Taman Timur dan muncul di antara para dewa Tiga Puluh Tiga.

7. Pada saat itu Sakka, penguasa para dewa, memiliki seratus yang terdiri dari lima jenis musik surgawi, dan ia sedang menikmatinya di Taman Rekreasi Teratai Tunggal. Ketika dari jauh ia melihat kedatangan Yang Mulia Mahā Moggallāna, ia membubarkan musiknya, mendatangi Yang Mulia Mahā Moggallāna, dan berkata kepadanya: “Marilah, Tuan Moggallāna, karena engkau berkesempatan untuk datang ke sini. Silahkan duduk, Tuan Moggallāna; tempat duduk telah disiapkan.”

Yang Mulia Mahā Moggallāna duduk di tempat yang telah disediakan, dan Sakka mengambil tempat duduk yang rendah dan duduk di satu sisi. Yang Mulia Mahā Moggallāna kemudian bertanya kepadanya:

8. “Kosiya,  bagaimanakah Sang Bhagavā menjelaskan kepadamu secara ringkas mengenai kebebasan dalam hancurnya keinginan? Baik sekali jika kami juga mendengarkan pernyataan itu.”

“Tuan Moggallāna yang baik, kami sangat sibuk, kami harus melakukan banyak urusan, tidak hanya dengan urusan kami, tetapi juga dengan urusan para dewa Tiga Puluh Tiga. Selain itu, Tuan Moggallāna, apa yang telah didengar, diketahui, [253] diperhatikan, diingat, telah lenyap seketika. Tuan Moggallāna, pernah terjadi perang antara para dewa dan para raksasa.  Dalam peperangan itu para dewa menang dan para raksasa kalah. Ketika aku telah memenangkan perang itu dan kembali dari sana sebagai penakluk, aku membangun Istana Vejayanta. Tuan Moggallāna yang baik, Istana Vejayanta memiliki seratus menara, dan tiap-tiap menara memiliki tujuh ratus kamar, dan masing-masing kamar dihuni oleh tujuh bidadari, dan tiap-tiap bidadari memiliki tujuh pelayan. Sudikah engkau melihat Istana Vejayanta yang indah ini, Tuan Moggallāna yang baik?” Yang Mulia Mahā Moggallāna menyetujui dengan berdiam diri.

9. Kemudian Sakka, penguasa para dewa, dan Raja Dewa Vessavaṇa  berjalan menuju Istana Vejayanta, mempersilahkan Yang Mulia Mahā Moggallāna berjalan di depan. Ketika dari jauh para palayan Sakka melihat kedatangan Yang Mulia Mahā Moggallāna, mereka menjadi malu dan masuk ke kamarnya masing-masing. Seperti halnya seorang menantu perempuan yang malu ketika melihat ayah mertuanya, demikian pula, para pelayan Sakka ketika melihat kedatangan Yang Mulia Mahā Moggallāna, mereka menjadi malu dan masuk ke kamarnya masing-masing.

10. Kemudian Sakka, penguasa para dewa, dan Raja Dewa Vessavaṇa mempersilahkan Yang Mulia Mahā Moggallāna berjalan dan menjelajahi Istana Vejayanta: “Lihatlah, Tuan Moggallāna yang baik, Istana Vejayanta yang indah ini! Lihatlah, Tuan Moggallāna yang baik, Istana Vejayanta yang indah ini!!”

“Itu adalah pujian kepada Yang Mulia Kosiya sebagai seseorang yang sebelumnya telah melakukan jasa; dan ketika manusia melihat apapun yang indah, mereka mengatakan: Tuan, itu adalah pujian kepada para dewa Tiga Puluh Tiga!’ itu adalah pujian kepada Yang Mulia Kosiya sebagai seseorang yang sebelumnya telah melakukan jasa.”

11. Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna mempertimbangkan sebagai berikut: “Makhluk-makhluk ini hidup dengan sangat lalai. Bagaimana jika aku membangkitkan dorongan spiritual dalam dirinya?” kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna melakukan keajaiban dengan kekuatan batinnya sehingga dengan ujung jari kakinya ia membuat Istana Vejayanta bergoyang, berguncang dan bergetar.  [254] Sakka dan Raja Dewa Vessavaṇa dan para dewa Tiga Puluh Tiga merasa kagum dan takjub, dan mereka berkata: “Tuan, sungguh mengagumkan, sungguh menakjubkan, kekuatan apakah yang dimiliki oleh petapa itu, sehingga dengan ujung jari kakinya ia membuat Istana alam surga ini, berguncang dan bergetar!”

12. Ketika Yang Mulia Mahā Moggallāna mengetahui bahwa Sakka, penguasa para dewa, telah tergerak oleh dorongan spiritual dengan bulu badannya berdiri, ia bertanya kepadanya: “Kosiya, bagaimanakah Sang Bhagavā menjelaskan kepadamu secara ringkas mengenai kebebasan dalam hancurnya keinginan? Baik sekali jika kami juga mendengarkan pernyataan itu.”

“Tuan Moggallāna yang baik, aku mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah memberi hormat kepada Beliau, aku berdiri di satu sisi dan berkata: ‘Yang Mulia, … [seperti pada §2] … para dewa dan manusia?’ Ketika hal ini dikatakan, Tuan Moggallāna yang baik, Sang Bhagavā memberitahuku: ‘Di sini, penguasa para dewa … [seperti pada §3] … para dewa dan manusia.’ Demikianlah bagaimana Sang Bhagavā menjelaskan kepadaku secara ringkas mengenai kebebasan dalam hancurnya keinginan, Tuan Moggallāna.”

13. Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sakka, penguasa para dewa. [255] Kemudian, bagaikan seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, ia lenyap dari antara para dewa Tiga Puluh Tiga dan muncul di Taman Timur di Istana ibunya Migāra.

14. Kemudian, segera setelah Yang Mulia Mahā Moggallāna pergi, para pelayan Sakka, penguasa para dewa, bertanya kepadanya: “Tuan, apakah itu gurumu, Sang Bhagavā?” – “Bukan, Teman-teman, itu bukan guruku, Sang Bhagavā. Dia adalah temanku dalam kehidupan suci, Yang Mulia Mahā Moggallāna.”  – “Tuan, suatu keuntungan bagimu bahwa temanmu dalam kehidupan suci memiliki kekuatan dan kesaktian seperti tu. Oh, betapa lebih saktinya Sang Bhagavā, gurumu!”

15. Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Beliau: “Yang Mulia, apakah Bhagavā ingat pernah menjelaskan secara ringkas – kepada makhluk dewa terkenal yang memiliki banyak pengikut – mengenai kebebasan dalam hancurnya keinginan?”

“Aku ingat, Moggallāna, di sini Sakka, penguasa para dewa mendatangiKu, dan setelah memberi hormat kepadaKu, ia berdiri di satu sisi dan bertanya: ‘Yang Mulia, bagaimanakah secara ringkas seorang bhikkhu terbebaskan dalam hancurnya keinginan, seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, keamanan tertinggi dari belenggu, kehidupan suci tertinggi, tujuan tertinggi, seorang yang terkemuka di antara para dewa dan manusia?’ Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahunya: ‘Di sini, penguasa para dewa, seorang bhikkhu telah mendengar bahwa tidak ada yang layak dilekati. Ketika seorang bhikkhu telah mendengar bahwa tidak ada yang layak dilekati, ia secara langsung sepenuhnya mengetahui segala sesuatu; setelah sepenuhnya mengetahui segala sesuatu, ia sepenuhnya memahami segala sesuatu; setelah sepenuhnya memahami segala sesuatu, apapun perasaan yang ia rasakan, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam perasaan-perasaan itu, merenungkan peluruhannya, merenungkan lenyapnya, merenungkan pelepasannya. Dengan merenungkan demikian, ia tidak melekat pada apapun di dunia. Ketika ia tidak melekat, ia tidak terganggu. Ketika ia tidak terganggu, ia secara pribadi mencapai Nibbāna. Ia memahami: ‘‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, [256] apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Secara ringkas, dengan cara inilah, penguasa para dewa, bahwa seorang bhikkhu terbebaskan dengan hancurnya keinginan, seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, keamanan tertinggi dari belenggu, kehidupan suci tertinggi, tujuan tertinggi, seorang yang terkemuka di antara para dewa dan manusia.” Demikianlah Aku ingat pernah menjelaskan secara ringkas kepada Sakka, penguasa para dewa, mengenai kebebasan dalam hancurnya keinginan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Mahā Moggallāna merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:20:08 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #47 on: 24 July 2010, 01:50:46 PM »
38  Mahātaṇhāsankhaya Sutta
Khotbah Panjang tentang
Hancurnya Keinginan

(SITUASI)

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di  Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu suatu pandangan sesat telah muncul pada seorang bhikkhu bernama Sāti, putera seorang nelayan, sebagai berikut: “Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.” 

3. Beberapa bhikkhu, setelah mendengar hal ini, mendatangi Bhikkhu Sāti dan bertanya kepadanya: “Teman Sāti, benarkah bahwa suatu pandangan sesat telah muncul padamu?”

“Demikianlah, teman-teman. Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.”

Kemudian para bhikkhu itu, berniat untuk melepaskannya dari pandangan sesat itu, menekan dan mempertanyakan dan mendebatnya sebagai berikut: “Teman Sati, jangan berkata seperti itu. Jangan salah memahami Sang Bhagavā. Tidaklah baik salah memahami Sang Bhagavā. Sang Bhagavā tidak mengatakan demikian. Karena dalam banyak khotbah Sang Bhagavā telah menjelaskan bahwa kesadaran adalah muncul bergantungan, [257] jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran.”

Namun walaupun ditekan dan dipertanyakan dan didebat oleh para bhikkhu ini, Bhikkhu Sāti, putera seorang nelayan, masih dengan keras kepala melekat pada pandangan sesat itu dan terus mempertahankannya.

4. Karena para bhikkhu tidak mampu melepaskannya dari pandangan sesat itu, mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud, mereka duduk di satu sisi dan memberitahukan semua yang telah terjadi, dan menambahkan: “Yang Mulia, karena kami tidak mampu melepaskan Bhikkhu Sāti, putera seorang nelayan, dari pandangan sesatnya, maka kami melaporkan persoalan ini kepada Sang Bhagavā.”

5. Kemudian Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu: “Pergilah, [258] bhikkhu, beritahu BHikkhu Sāti, putera seorang nelayan atas namaKu bahwa Sang Guru memanggilnya.” – “Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan ia mendatangi Bhikkhu Sāti dan memberitahunya: Sang Guru memanggilmu, Teman Sāti.”

“Baik, teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā kemudian bertanya kepadanya: “Sāti, benarkah bahwa suatu pandangan sesat telah muncul padamu: ‘Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.”

“Demikianlah, Yang Mulia. Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.”

“Apakah kesadaran itu, Sāti?”

“Yang Mulia, itu adalah apa yang berbicara dan merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk.”

“Orang sesat, dari siapakah engkau pernah mengetahui bahwa Aku mengajarkan Dhamma seperti itu? Orang sesat, dalam banyak khotbah bukankah Aku menjelaskan bahwa kesadaran adalah muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran? Tetapi engkau, orang sesat, telah salah memahami kami dengan pandangan salahmu dan melukai dirimu sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaanmu untuk waktu yang lama.”

6. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah Bhikkhu Sāti, putera seorang nelayan, telah menyalakan bahkan sepercik kebijaksanaan dalam Dhamma dan Disiplin ini?”

“Bagaimana mungkin, Yang Mulia? Tidak, Yang Mulia.”

Ketika hal ini dikatakan, Bhikkhu Sāti, putera seorang nelayan, duduk diam, cemas, dengan bahu terkulai dan kepala menunduk, muram dan tidak bereaksi. Kemudian, mengetahui hal ini, Sang Bhagavā memberitahunya: “Orang sesat, engkau akan dikenal dengan pandangan salahmu sendiri. Aku akan menanyai para bhikkhu sehubungan dengan hal ini.”

7. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, apakah kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti yang dipahami oleh Bhikkhu Sāti ini, [259] putera seorang nelayan, ketika ia salah memahami kita dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan?”

“Tidak, Yang Mulia. Karena dalam banyak khotbah Sang Bhagavā telah menyebutkan bahwa kesadaran muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran.”

“Bagus, para bhikkhu, bagus sekali bahwa kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti demikian. Karena dalam banyak khotbah Aku telah menyebutkan bahwa kesadaran muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran. Tetapi Bhikkhu Sāti ini, putera seorang nelayan, salah memahami kita dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaan orang sesat ini untuk waktu yang lama.

(KONDISIONALITAS KESADARAN)

8. “Para bhikkhu, kesadaran dikenali dengan kondisi tertentu yang dengan bergantung padanya maka kesadaran muncul. Ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, maka dikenal sebagai kesadaran-mata; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, maka dikenal sebagai kesadaran-telinga; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, [260] maka dikenal sebagai kesadaran-hidung; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, maka dikenal sebagai kesadaran-lidah; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada badan dan obyek-sentuhan, maka dikenal sebagai kesadaran-badan; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada pikiran dan obyek-obyek pikiran, maka dikenal sebagai kesadaran-pikiran. Seperti halnya api yang dikenali dengan kondisi tertentu yang dengan bergantung padanya maka api itu membakar – ketika api membakar dengan bergantung pada kayu gelondongan, maka dikenal sebagai api kayu gelondongan; ketika api membakar dengan bergantung pada kayu bakar, maka dikenal sebagai api kayu bakar; ketika api membakar dengan bergantung pada rumput, maka dikenal sebagai api rumput; ketika api membakar dengan bergantung pada kotoran sapi, maka dikenal sebagai api kotoran sapi; ketika api membakar dengan bergantung pada sekam, maka dikenal sebagai api sekam; ketika api membakar dengan bergantung pada sampah, maka dikenal sebagai api sampah – demikian pula, kesadaran dikenali dengan kondisi tertentu yang dengan bergantung padanya maka kesadaran muncul.  Ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, maka dikenal sebagai kesadaran-mata … ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada pikiran dan obyek-obyek pikiran, maka dikenal sebagai kesadaran-pikiran.

(PERTANYAAN UMUM TENTANG PENJELMAAN)

9. “Para bhikkhu, apakah kalian melihat: ‘Ini telah muncul’?”  – “Ya, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, apakah kalian melihat: ‘asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?” – “Ya, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, apakah kalian melihat: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apa yang telah muncul itu juga akan lenyap’?” – “Ya, Yang Mulia.”

10. “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan muncul jika seseorang tidak meyakini: ‘Apakah ini telah muncul?” - “Ya, Yang Mulia.” - “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan muncul jika seseorang tidak meyakini: ‘Apakah asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?” - “Ya, Yang Mulia.” - “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan muncul jika seseorang tidak meyakini: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apakah yang telah muncul itu juga akan lenyap’?” - “Ya, Yang Mulia.”

11. “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan ditinggalkan pada seseorang yang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Ini telah muncul’?” - “Ya, Yang Mulia.” - “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan ditinggalkan pada seseorang yang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?” – “Ya, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan ditinggalkan pada seseorang yang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka yang telah muncul itu juga akan lenyap’?” – “Ya, Yang Mulia.”

12. “Para bhikkhu, apakah kalian bebas dari keragu-raguan di sini: ‘Ini telah muncul’?” - “Ya, Yang Mulia.” - “Para bhikkhu, apakah kalian bebas dari keragu-raguan di sini: ‘asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?” – “Ya, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, apakah kalian bebas dari keragu-raguan di sini: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apa yang telah muncul itu juga akan lenyap’?” – “Ya, Yang Mulia.”

13. “Para bhikkhu, apakah telah terlihat jelas sebagaimana adanya oleh kalian dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘Ini telah muncul’?” - “Ya, Yang Mulia.” - “Para bhikkhu, apakah telah terlihat jelas sebagaimana adanya oleh kalian dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?” – “Ya, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, apakah telah terlihat jelas sebagaimana adanya oleh kalian dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apa yang telah muncul itu juga akan lenyap’?” – “Ya, Yang Mulia.”

14. “Para bhikkhu, sungguh murni dan cerah pandangan ini, jika kalian melekat padanya, memujanya, sangat menghargainya, dan memperlakukannya sebagai harta, maka apakah kalian dapat memahami Dhamma yang telah Kuajarkan dalam perumpamaan rakit, sebagai bertujuan untuk menyeberang, bukan bertujuan untuk digenggam?”  – “Tidak, Yang Mulia.” - “Para bhikkhu, sungguh murni dan cerah pandangan ini, [261] jika kalian tidak melekat padanya, tidak memujanya, tidak sangat menghargainya, dan tidak memperlakukannya sebagai harta, maka apakah kalian dapat memahami Dhamma yang telah Kuajarkan dalam perumpamaan rakit, sebagai bertujuan untuk menyeberang, bukan bertujuan untuk digenggam?” – “Ya, Yang Mulia.”

(MAKANAN DAN KEMUNCULAN BERGANTUNGAN)

15. “Para bhikkhu, terdapat empat jenis makanan ini untuk memelihara makhluk-makhluk yang telah muncul dan untuk menyokong mereka yang sedang mencari kehidupan baru. Apakah empat ini? Yaitu: makanan fisik sebagai makanan, kasar atau halus; kontak sebagai yang ke dua; kehendak pikiran sebagai yang ke tiga; dan kesadaran sebagai yang ke empat.

16. “Sekarang, para bhikkhu, keempat jenis makanan ini memiliki apakah sebagai sumbernya, apakah sebagai asal-mulanya, dari apakah munculnya dan dihasilkan? Keempat jenis makanan ini memiliki keinginan sebagai sumbernya, keinginan sebagai asal-mulanya; muncul dan dihasilkan dari keinginan. Dan keinginan ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Keinginan memiliki perasaan sebagai sumbernya … Dan perasaan ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Perasaan memiliki kontak sebagai sumbernya … Dan kontak ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Kontak  memiliki enam landasan sebagai sumbernya … Dan enam landasan ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Enam landasan memiliki batin-jasmani sebagai sumbernya … Dan batin-jasmani memiliki apakah sebagai sumbernya …? Batin-jasmani memiliki kesadaran sebagai sumbernya … Dan kesadaran ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Kesadaran memiliki bentukan-bentukan sebagai sumbernya … Dan bentukan-bentukan ini memiliki apakah sebagai sumbernya, apakah sebagai asal-mulanya, dari apakah munculnya and dihasilkan? Bentukan-bentukan memiliki kebodohan sebagai sumbernya, kebodohan sebagai asal-mulanya; muncul dan dihasilkan dari kebodohan.

(PENJELASAN TENTANG KEMUNCULAN DALAM URUTAN MAJU)

17, “Maka, para bhikkhu, dengan kebodohan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan [muncul]; dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani; dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan; dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan; dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan, kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

(PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG MUNCULNYA DALAM URUTAN MUNDUR)

18. “’Dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah penuaan dan kematian memiliki kelahiran sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Penuaan dan kematian memiliki kelahiran sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian.’”

“’Dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah kelahiran memiliki penjelmaan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Kelahiran memiliki penjelmaan sebagai kondisi, [262] Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran.’”

“’Dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah penjelmaan memiliki kemelekatan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Penjelmaan memiliki kemelekatan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan.’”

“’Dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah kemelekatan memiliki keinginan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Kemelekatan memiliki keinginan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan.’”

“’Dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah keinginan memiliki perasaan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Keinginan memiliki perasaan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan.’”

“’Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah perasaan memiliki kontak sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Perasaan memiliki kontak sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan.’”

“’Dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah kontak memiliki enam landasan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Kontak memiliki enam landasan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak.’”

“’Dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah enam landasan memiliki batin-jasmani sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Enam landasan memiliki batin-jasmani sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan.’”

“’Dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah batin-jasmani memiliki kesadaran sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Batin-jasmani memiliki kesadaran sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani.’”

“’Dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah kesadaran memiliki bentukan-bentukan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Kesadaran memiliki bentukan-bentukan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran.’”

“’Dengan kebodohan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah bentukan-bentukan memiliki kebodohan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Bentukan-bentukan memiliki kebodohan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kebodohan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan.’”

(KESIMPULAN TENTANG MUNCULNYA)

19. “Bagus, para bhikkhu, kalian mengatakan demikian, dan Aku juga mengatakan demikian: ‘Dengan adanya ini, maka itu ada; [263] dengan munculnya ini, maka muncul pula itu.’  Yaitu, dengan kebodohan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan [muncul]; dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani; dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan; dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan; dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

(PENJELASAN TENTANG LENYAPNYA DALAM URUTAN MAJU)

20. “Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya kebodohan maka lenyap pula bentukan-bentukan; dengan lenyapnya bentukan-bentukan, lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, lenyap pula batin-jasmani; dengan lenyapnya batin-jasmani, lenyap pula enam landasan; dengan lenyapnya enam landasan, lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, lenyap pula keinginan; dengan lenyapnya keinginan, lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:21:33 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #48 on: 24 July 2010, 01:52:55 PM »
(PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG LENYAPNYA DALAM URUTAN MUNDUR)

21. “’Dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah penuaan dan kematian lenyap dengan lenyapnya kelahiran atau tidak, atau begaimanakah kalian memahaminya dalam  kasus ini?”

“Penuaan dan kematian lenyap dengan lenyapnya kelahiran, Yang Mulia. Demikianlah kami memahaminya dalam kasus ini:’Dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian.’”

“’Dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran’ … ‘Dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan’ … ‘Dengan lenyapnya keinginan, maka lenyap pula kemelekatan’ … Dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula keinginan’ … ‘Dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan’ [264] … ‘Dengan lenyapnya enam landasan, maka lenyap pula kontak’ … ‘Dengan lenyapnya batin-jasmani, maka lenyap pula enam landasan’ … ‘Dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula batin-jasmani’ … ‘Dengan lenyapnya bentukan-bentukan, maka lenyap pula kesadaran’ … ’Dengan lenyapnya kebodohan, maka lenyap pula bentukan-bentukan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah bentukan-bentukan lenyap dengan lenyapnya kebodohan atau tidak, atau begaimanakah kalian memahaminya dalam  kasus ini?”

“Bentukan-bentukan lenyap dengan lenyapnya kebodohan, Yang Mulia. Demikianlah kami memahaminya dalam kasus ini:’Dengan lenyapnya kebodohan, maka lenyap pula bentukan-bentukan.’”

(KESIMPULAN TENTANG LENYAPNYA)

22. “Bagus, para bhikkhu, kalian mengatakan demikian, dan Aku juga mengatakan demikian: ‘Dengan tidak adanya ini, maka itu tidak ada; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu.’ Yaitu, dengan lenyapnya kebodohan, maka lenyap pula bentukan-bentukan; dengan lenyapnya bentukan-bentukan, maka lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula batin-jasmani; dengan lenyapnya batin-jasmani, maka lenyap pula enam landasan; dengan lenyapnya enam landasan, maka lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula keinginan; dengan lenyapnya keinginan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

(PENGETAHUAN PRIBADI)

23. “Para bhikkhu, dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, [265] akankah kalian kembali ke masa lampau sebagai berikut: ‘Apakah kami ada di masa lampau? Apakah kami tidak ada di masa lampau? Apakah kami di masa lampau? Bagaimanakah kami di masa lampau? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah kami di masa lampau?’?” – “Tidak, Yang Mulia.” - “Dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian pergi ke masa depan sebagai berikut: ‘Apakah kami akan ada di masa depan? Apakah kami akan tidak ada di masa depan? Apakah kami di masa depan? Bagaimanakah kami di masa depan? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah kami di masa depan?’?” – “Tidak, Yang Mulia.” - “Dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian kebingungan dalam batin mengenai masa sekarang sebagai berikut: ‘Adakah aku? Tidak adakah aku? Apakah aku? Bagaimanakah aku? Dari mana makhluk ini datang? Kemanakah makhluk ini akan pergi?’?” – “Tidak, Yang Mulia.”

24. “Para bhikkhu, dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian mengatakan sebagai berikut: ‘Kami menghormati Sang Guru. Kami berbicara sesuai apa yang kami lakukan demi hormat kami kepada Sang Guru’?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian mengatakan sebagai berikut: ‘Petapa itu mengatakan hal ini, dan kami mengatakan demikian sesuai perintah petapa itu’?”  – “Tidak, Yang Mulia.” – “Dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian kembali pada pelaksanaan, perdebatan, dan tanda-tanda keberuntungan dari para petapa dan brahmana biasa, menganggapnya sebagai inti [dari kehidupan suci]?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Apakah kalian mengatakan hanya apa yang kalian telah ketahui, telah lihat, dan telah pahami bagi diri kalian sendiri?” – “Ya, Yang Mulia.”

25. “Bagus, para bhikkhu. Maka kalian telah dituntun olehKu dengan Dhamma, yang terlihat di sini dan saat ini, efektif segera, mengundang untuk diselidiki, mengarah maju, untuk dialami oleh para bijaksana untuk diri mereka sendiri. Karena sehubungan dengan hal ini telah dikatakan: ‘Para bhikkhu, Dhamma ini terlihat di sini dan saat ini,  efektif segera, mengundang untuk diselidiki, mengarah maju, untuk dialami oleh para bijaksana untuk diri mereka sendiri.’

(LINGKARAN KEHIDUPAN: KEHAMILAN HINGGA DEWASA)

26. “Para bhikkhu, kehamilan janin dalam rahim terjadi melalui perpaduan tiga hal.  Di sini, ada perpaduan ibu dan ayah, tetapi saat itu bukan musim kesuburan ibu, dan tidak ada kehadiran gandhabba  - dalam kasus ini tidak ada [266] kehamilan janin dalam rahim. Di sini, ada perpaduan ibu dan ayah, dan saat itu adalah musim kesuburan ibu, tetapi tidak ada kehadiran gandhabba - dalam kasus ini juga tidak ada kehamilan janin dalam rahim. Tetapi jika ada perpaduan ibu dan ayah, dan saat itu adalah musim kesuburan ibu, dan ada kehadiran gandhabba, melalui perpaduan ketiga hal ini  maka kehamilan janin dalam rahim terjadi.

27. “Sang ibu kemudian memelihara janin dalam rahimnya selama sembilan atau sepuluh bulan dengan banyak kesusahan, sebagai beban berat. Kemudian, di akhir sembilan atau sepuluh bulan, sang ibu melahirkan dengan banyak kesusahan, sebagai beban berat. Kemudian, ketika si anak lahir, sang ibu memberinya makan dengan darahnya sendiri; karena susu ibu disebut darah dalam Disiplin Yang Mulia.

28. “Ketika anak itu tumbuh dan indrianya matang, anak itu memainkan permainan-permainan seperti alat membajak mainan, melempar kayu, berjungkir-balik, kincir angin mainan, alat ukur mainan, kereta mainan, dan busur dan anak panah mainan.

29. “Ketika anak itu tumbuh dan indrianya matang [lebih jauh lagi], pemuda itu menikmati lima utas kenikmatan indria, dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu.

(KELANJUTAN LINGKARAN)

30. “Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, ia menginginkannya jika bentuk itu menyenangkan; ia tidak menginginkannya jika bentuk itu tidak menyenangkan. Ia berdiam dengan perhatian pada jasmani tidak ditegakkan, dengan pikiran terbatas, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan di mana kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa. Masuk ke dalam apa yang disukai maupun tidak disukai, apapun perasaan yang ia rasakan – apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – ia bergembira dalam perasaan itu, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya.  Sewaktu ia melakukan hal itu, kegembiraan muncul dalam dirinya. Sekarang kegembiraan dalam perasaan adalah kemelekatan. Dengan kemelekatannya sebagai kondisi, maka penjelmaan [muncul]; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Ketika mendengar suatu suara dengan telinga … Ketika mencium suatu bau dengan hidung … Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Ketika menyentuh suatu obyek sentuhan dengan badan … Ketika mengenali suatu obyek pikiran dengan pikiran, [267] ia menginginkannya jika obyek pikiran itu menyenangkan; ia tidak menginginkannya jika obyek pikiran itu tidak menyenangkan … Sekarang kegembiraan dalam perasaan adalah kemelekatan. Dengan kemelekatannya sebagai kondisi, maka penjelmaan [muncul]; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

(AKHIR DARI LINGKARAN: LATIHAN BERTAHAP)

31-38. “Di sini, para bhikkhu, seorang Tathāgata muncul di dunia ini, sempurna, tercerahkan sempurna … (seperti Sutta 27, §§11-18) [268-69] … ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan. [270]

39. “Setelah meninggalkan kelima rintangan ini demikian, ketidak-sempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama ... Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... Dengan meluruhnya kegembiraan ... ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ... yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan- kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

(AKHIR DARI LINGKARAN: LENYAP SEPENUHNYA)

40. “Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, ia tidak menginginkannya jika bentuk itu menyenangkan; ia tidak menolaknya jika bentuk itu tidak menyenangkan. Ia berdiam dengan perhatian pada jasmani ditegakkan, dengan pikiran tanpa batas, dan ia memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan di mana kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa.  Setelah meninggalkan apa yang disukai maupun tidak disukai, apapun perasaan yang ia rasakan – apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – ia tidak bergembira dalam perasaan itu, tidak menyambutnya, dan tidak terus-menerus menggenggamnya.  Karena ia tidak melakukan hal itu, kegembiraan dalam perasaan lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kegembiraan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Ketika mendengar suatu suara dengan telinga … Ketika mencium suatu bau dengan hidung … Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Ketika menyentuh suatu obyek sentuhan dengan badan … Ketika mengenali suatu obyek pikiran dengan pikiran, ia tidak menginginkannya jika obyek pikiran itu menyenangkan; ia tidak menolaknya jika obyek-pikiran itu tidak menyenangkan … Dengan lenyapnya kegembiraan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

(PENUTUP)

41. “Para bhikkhu, ingatlah kebebasan dalam hancurnya keinginan ini seperti yang diajarkan secara ringkas olehKu ini. Tetapi Bhikkhu Sāti ini, [271] putera seorang nelayan, terjebak dalam jaring besar keinginan, jala keinginan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:22:07 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #49 on: 24 July 2010, 01:53:54 PM »
39  Mahā-Assapura Sutta
Khotbah Panjang di Assapura

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di  Negeri Anga di pemukiman Anga bernama Assapura. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “’Petapa, petapa,’ para bhikkhu, itu adalah bagaimana orang-orang mengenali kalian. Dan jika kalian ditanya, ‘Apakah kalian?’, maka kalian mengaku bahwa kalian adalah para petapa. Karena itu adalah sebutan bagi kalian dan apa yang kalian akui, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan melaksanakan dan melatih hal-hal yang membuat seseorang menjadi seorang petapa, yang membuat seseorang menjadi seorang brahmana,  sehingga sebutan kami menjadi benar dan pengakuan kami benar, dan sehingga pelayanan dari mereka yang jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatannya kami gunakan akan memberikan buah dan manfaat besar bagi mereka, dan sehingga pelepasan keduniawian kami tidak sia-sia melainkan subur dan berbuah.’

(PERILAKU DAN PENGHIDUPAN)

3. “Dan apakah, para bhikkhu, hal-hal yang membuat seseorang menjadi seorang petapa, yang membuat seseorang menjadi seorang brahmana? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah.’  Sekarang, para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah. Itu sudah cukup, itu sudah dilakukan, tujuan pertapaan telah dicapai, tidak ada lagi yang harus kami lakukan’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

4. “Apakah lagi yang harus dilakukan? [272] Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Perilaku jasmani kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain karena kemurnian perilaku jasmani itu.’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan perilaku jasmani kami telah dimurnikan. Itu sudah cukup, itu sudah dilakukan, tujuan pertapaan telah dicapai, tidak ada lagi yang harus kami lakukan’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

5. “Apakah lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Perilaku ucapan kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain karena kemurnian perilaku ucapan itu.’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan perilaku jasmani kami telah dimurnikan dan perilaku ucapan kami telah dimurnikan. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

6. “Apakah lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Perilaku pikiran kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain karena kemurnian perilaku pikiran itu.’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan perilaku jasmani dan perilaku ucapan kami telah dimurnikan dan perilaku pikiran kami telah dimurnikan. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

7. “Apakah lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Penghidupan kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain karena kemurnian penghidupan itu.’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan perilaku jasmani, perilaku ucapan, dan perilaku pikiran kami telah dimurnikan dan penghidupan kami telah dimurnikan. [273] Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

(PENGENDALIAN INDRIA)

8. “Apakah lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menjaga pintu-pintu indria kami. Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, kami tidak akan menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika kami membiarkan indria mata tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menyerbu kami, kami akan berlatih cara pengendaliannya, kami akan menjaga indria mata, kami akan menjalankan pengendalian indria mata. Ketika mendengar suara dengan telinga ... Ketika mencium bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap rasa kecapan dengan lidah ... Ketika menyentuh obyek sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali obyek-pikiran dengan pikiran, kami tidak akan menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika kami membiarkan indria pikiran tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menyerbu kami, kami akan berlatih cara pengendaliannya, kami akan menjaga indria mata, kami akan menjalankan pengendalian indria.’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan perilaku jasmani, perilaku ucapan,  perilaku pikiran, dan penghidupan kami telah dimurnikan, dan kami menjaga pintu-pintu indria kami. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

(MAKAN SECUKUPNYA)

9. “Apakah lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan makan secukupnya. Merenungkan dengan bijaksana, kami akan memakan makanan bukan untuk kenikmatan juga bukan untuk mabuk juga bukan demi kecantikan dan kemenarikan fisik, tetapi hanya untuk ketahanan dan kelangsungan tubuh ini, untuk mengakhiri ketidak-nyamanan, untuk menunjang kehidupan suci, dengan mempertimbangkan: “Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan lama tanpa membangkitkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan dapat hidup dalam kenyamanan.”’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan perilaku jasmani, perilaku ucapan, perilaku pikiran, dan penghidupan kami telah dimurnikan, kami menjaga pintu-pintu indria kami, dan kami makan secukupnya. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

(KEAWASAN)

10. “Apakah lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menekuni keawasan. Pada siang hari, sewaktu berjalan mondar-mandir dan duduk, kami akan memurnikan pikiran kami dari pikiran-pikiran dengan kondisi-kondisi yang merintangi. Pada jaga pertama malam hari, [274] sewaktu berjalan mondar-mandir dan duduk, kami akan memurnikan pikiran kami dari pikiran-pikiran dengan kondisi-kondisi yang merintangi. Pada jaga pertengahan malam hari, kami akan berbaring pada sisi kanan dalam posisi singa dengan satu kaki di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, setelah mencatat dalam batin waktu untuk terjaga. Setelah terjaga, pada jaga ke tiga malam hari, sewaktu berjalan mondar-mandir dan duduk, kami akan memurnikan pikiran kami dari pikiran-pikiran dengan kondisi-kondisi yang merintangi.’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan perilaku jasmani, perilaku ucapan,  perilaku pikiran, dan penghidupan kami telah dimurnikan, kami menjaga pintu-pintu indria kami, kami makan secukupnya, dan kami menekuni keawasan. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

(PERHATIAN DAN KEWASPADAAN PENUH)

11. “Apakah lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memiliki perhatian dan kewaspadaan penuh. Kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika berjalan maju dan mundur; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika melihat ke depan dan melihat ke belakang; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika membungkuk dan meregangkan badan; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkuk; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika makan, minum, mengunyah, dan mengecap; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika buang air besar dan buang air kecil; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika berjalan, berdiri, duduk, jatuh tertidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri.’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan perilaku jasmani, perilaku ucapan,  perilaku pikiran, dan penghidupan kami telah dimurnikan, kami menjaga pintu-pintu indria kami, kami makan secukupnya, kami menekuni keawasan, dan kami memiliki perhatian dan kewaspadaan penuh. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

(MENINGGALKAN RINTANGAN-RINTANGAN)

12. “Apakah lagi yang harus dilakukan? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu mendatangi tempat tinggal terpencil: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, hutan belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.

13. “Ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan ia duduk bersila, menegakkan badan dan menegakkan perhatian di depannya. Dengan meninggalkan ketamakan pada dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari ketamakan; ia memurnikan pikirannya dari ketamakan. Dengan meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari niat buruk, berbelas kasihan demi kesejahteraan semua makhluk; [275] ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Dengan meninggalkan kelambanan dan ketumpulan, ia berdiam bebas dari kelambanan dan ketumpulan, mempersepsikan cahaya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan; ia memurnikan pikirannya dari kelambanan dan ketumpulan. Dengan meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam tanpa kegelisahan dengan kedamaian dalam batin; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. Dengan meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam melampaui keragu-raguan, tanpa kebingungan sehubungan dengan kondisi-kondisi bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

14. “Para bhikkhu, misalkan seseorang meminjam uang dan menjalankan usahanya dan usahanya itu berhasil sehingga ia mampu mengembalikan uang pinjamannya sebelumnya dan masih tersisa cukup untuk memelihara seorang istri; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang yang sedang sakit, menderita, sakit keras, dan makanannya tidak cocok baginya dan tubuhnya tidak memiliki kekuatan, tetapi kemudian ia sembuh dari penyakitnya dan makanannya cocok baginya dan tubuhnya memperoleh kembali kekuatannya; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang yang terkurung dalam penjara, tetapi kemudian ia dibebaskan, selamat dan aman, tanpa kehilangan hartanya; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang adalah budak, tidak bergantung pada diri sendiri melainkan bergantung pada orang lain, tidak dapat pergi ke manapun yang ia inginkan, tetapi kemudian ia dibebaskan dari perbudakan, bergantung pada diri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, seorang bebas yang dapat pergi ke manapun yang ia inginkan; maka dengan mempertimbangkan hal ini, [276] ia akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang yang membawa harta kekayaannya berjalan di jalan yang melintasi gurun pasir, tetapi kemudian ia berhasil menyeberangi gurun pasir itu, selamat dan aman, tanpa kehilangan harta kekayaannya; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Demikian pula, para bhikkhu, ketika kelima rintangan ini belum ditinggalkan dalam dirinya, seorang bhikkhu melihatnya berturut-turut sebagai pinjaman, penyakit, penjara, perbudakan, dan jalan yang melintasi gurun pasir. Tetapi ketika kelima rintangan ini telah ditinggalkan dalam dirinya, ia melihat hal itu sebagai kebebasan dari pinjaman, kesehatan, kebebasan dari penjara, kebebasan dari perbudakan, dan tanah keselamatan.

« Last Edit: 01 May 2012, 03:24:05 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #50 on: 24 July 2010, 01:54:50 PM »
(EMPAT JHĀNA)

15. “Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, ketidak-sempurnaan batin yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. Bagaikan seorang petugas pemandian atau murid petugas pemandian menumpuk bubuk mandi dalam baskom logam dan, secara perlahan memerciknya dengan air, meremasnya hingga kelembaban membasahi bola bubuk mandi tersebut, membasahinya, dan meliputinya di dalam dan di luar, namun bola itu sendiri tidak meneteskan air; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu.

16. “Kemudian, para bhikkhu, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Bagaikan sebuah danau yang airnya berasal dari mata air di dasarnya [277] dan tidak ada aliran masuk dari timur, barat, utara, atau selatan, dan tidak ditambah dari waktu ke waktu dengan curahan hujan, kemudian mata air sejuk memenuhi danau itu dan membuat air sejuk itu membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi seluruh danau itu, sehingga tidak ada bagian danau itu yang tidak terliputi oleh air sejuk itu; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi.

17. “Kemudian, para bhikkhu, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Ia membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu. Bagaikan, dalam sebuah kolam teratai biru atau merah atau putih, beberapa teratai tumbuh dan berkembang dalam air tanpa keluar dari air, dan air sejuk membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi teratai-teratai itu dari pucuk hingga ke akarnya, sehingga tidak ada bagian dari teratai-teratai itu yang tidak terliputi oleh air sejuk; demikian pula, seorang bhikkhu, membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu.

18. “Kemudian, para bhikkhu, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ia duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah. Bagaikan seorang yang duduk dan ditutupi dengan kain putih dari kepala ke bawah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya [278] yang tidak tertutupi oleh kain putih itu; demikian pula, seorang bhikkhu duduk dengan dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu.

(TIGA PENGETAHUAN SEJATI)

19. “Ketika konsentrasi pikirannya sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan pada pengetahuan perenungan kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (Seperti Sutta 4, §27) … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Bagaikan seseorang yang pergi dari desa tempat tinggalnya ke desa lain dan kemudian kembali lagi ke desanya, ia berpikir: ‘Aku pergi dari desaku ke desa itu, dan di sana aku berdiri demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri demikian; dan dari desa itu aku pergi ke desa lain, dan di sana aku berdiri demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri demikian; dan dari desa itu aku kembali lagi ke desaku.’ Demikian pula, seorang bhikkhu mengingat banyak kehidupan lampau … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau.

20. “Ketika konsentrasi pikirannya sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … (Seperti Sutta 4, §29) [279] …  Demikianlah dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Bagaikan terdapat dua rumah dengan pintu-pintu dan seseorang yang berpenglihatan baik berdiri di antara kedua rumah itu melihat orang-orang memasuki dan keluar dari rumah itu silih berganti, demikian pula, dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, seorang bhikkhu melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali … dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka.

21. “Ketika konsentrasi pikirannya sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; … ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; … ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’; … ‘Ini adalah noda-noda’; … ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; … ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

“Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebas dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

“Bagaikan terdapat sebuah danau pada sebuah ceruk di gunung, bersih, jernih, dan tidak terganggu, sehingga seseorang dengan penglihatan yang baik yang berdiri di tepinya dapat melihat kerang, kerikil, dan koral, dan juga kawanan ikan yang berenang kesana kemari  dan beristirahat, ia berpikir: ‘Danau ini bersih, jernih, dan tidak terganggu, dan terdapat [280] kerang, kerikil, dan koral ini, dan juga kawanan ikan yang berenang kesana kemari dan beristirahat.’ Demikian pula, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’ ... Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

(ARAHANT)

22. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang demikian disebut seorang petapa, seorang brahmana, seorang yang telah dicuci, seorang yang telah mencapai pengetahuan, seorang terpelajar suci, seorang mulia, seorang Arahant.

23. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang petapa? Ia telah menenangkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, yang memberikan kesulitan, yang matang dalam kesengsaraan, dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang petapa.

24. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang brahmana? Ia telah menyingkirkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang brahmana.

25. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang telah dicuci?  Ia telah mencuci kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang yang telah dicuci.

26. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang telah mencapai pengetahuan? Ia telah mengetahui kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang yang telah mencapai pengetahuan.

27. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang terpelajar suci?  Kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan, telah mengalir keluar dari dirinya. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang terpelajar suci.

28. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang mulia? Kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan, jauh dari dirinya. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang mulia.

29. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang Arahant? Kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, yang memberikan kesulitan, yang matang dalam kesengsaraan, dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan, jauh dari dirinya. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang Arahant.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:24:51 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #51 on: 25 July 2010, 06:02:29 PM »
40  Cūḷa-Assapura Sutta
Khotbah Pendek di Assapura

[281] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di  Negeri Anga di pemukiman penduduk Anga bernama Assapura. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “’Petapa, petapa,’ para bhikkhu, itu adalah bagaimana orang-orang mengenali kalian. Dan jika kalian ditanya, ‘Apakah kalian?’, maka kalian mengaku bahwa kalian adalah para petapa. Karena itu adalah sebutan bagi kalian dan apa yang kalian akui, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan melatih jalan benar selayaknya bagi  seorang petapa  sehingga sebutan kami menjadi benar dan pengakuan kami benar, dan sehingga pelayanan dari mereka yang jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatannya kami gunakan akan memberikan buah dan manfaat besar bagi mereka, dan sehingga pelepasan keduniawian kami tidak sia-sia melainkan subur dan berbuah.’

3. “Bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu tidak melatih jalan benar selayaknya bagi  seorang petapa? Selama seorang bhikkhu yang tamak belum meninggalkan ketamakan, yang memiliki pikiran berniat buruk belum meninggalkan niat buruk, yang penuh kemarahan belum meninggalkan kemarahan, yang penuh kekesalan belum meninggalkan kekesalan, yang bersikap meremehkan belum meninggalkan sikap meremehkan, yang bersikap congkak belum meninggalkan kecongkakan, yang iri-hati belum meninggalkan keiri-hatian, yang kikir belum meninggalkan kekikiran, yang curang belum meninggalkan kecurangan, yang menipu belum meninggalkan penipuan, yang memiliki keinginan jahat belum meninggalkan keinginan jahat, yang berpandangan salah belum meninggalkan pandangan salah,  selama ia tidak melatih jalan benar selayaknya bagi petapa, Aku katakan, karena kegagalannya dalam meninggalkan noda-noda bagi petapa ini, cacat bagi petapa ini, sampah bagi petapa ini, yang merupakan landasan bagi kelahiran kembali dalam kondisi sengsara dan yang akibat-akibatnya akan dialami di alam yang tidak berbahagia.

4. “Misalkan senjata yang disebut mataja, terasah dengan baik pada kedua sisinya, tertutup dan tersimpan dalam sarung kain. Aku katakan bahwa pelepasan keduniawian bhikkhu itu adalah seperti senjata itu.

5. “Aku tidak mengatakan bahwa status petapa datang dari pemakai jubah bertambalan hanya karena mengenakan jubah bertambalan, juga bukan dari seorang petapa telanjang hanya karena ketelanjangannya, juga bukan dari seorang yang berlumuran tanah dan debu hanya karena berlumuran tanah dan debu, juga bukan dari seorang pelaku ritual mandi hanya karena melakukan ritual mandi, juga bukan dari seorang penghuni bawah pohon hanya karena [282] menetap di bawah pohon, juga bukan seorang yang menetap di ruang terbuka hanya karena menetap di ruang terbuka, juga bukan dari seorang praktisi yang berlatih terus-menerus berdiri hanya karena terus-menerus berdiri, juga bukan dari seorang yang makan dalam interval waktu yang telah ditentukan hanya karena makan dalam interval waktu yang telah ditentukan, juga bukan dari seorang pembaca mantera hanya karena membaca mantera; Aku juga tidak mengatakan bahwa status petapa datang dari seorang petapa berambut kusut hanya karena berambut kusut.

6. “Para bhikkhu, jika dengan hanya mengenakan jubah bertambalan seorang pemakai jubah bertambalan yang tamak meninggalkan ketamakan, yang memiliki pikiran berniat buruk meninggalkan niat buruk ... yang berpandangan salah meninggalkan pandangan salah, maka teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan menjadikannya seorang pemakai jubah bertambalan segera setelah ia dilahirkan dan menyuruhnya menjalani praktik mengenakan jubah bertambalan sebagai berikut: ‘Marilah, sayangku, jadilah seorang pemakai jubah bertambalan agar, sebagai seorang pemakai jubah bertambalan maka, ketika engkau tamak engkau akan meninggalkan ketamakan, ketika engkau memiliki pikiran berniat buruk engkau akan meninggalkan niat buruk ... ketika engkau berpandangan salah engkau akan meninggalkan pandangan salah.’ Tetapi Aku melihat di sini seorang pemakai jubah bertambalan yang tamak, yang memiliki pikiran berniat buruk ... yang berpandangan salah; dan itulah sebabnya mengapa Aku tidak mengatakan bahwa status petapa datang dari pemakai jubah bertambalan hanya karena mengenakan jubah bertambalan.

“Jika dengan ketelanjangan seorang petapa telanjang yang tamak meninggalkan ketamakan ... Jika dengan berlumuran tanah dan debu ... Jika dengan melakukan ritual mandi... Jika dengan menetap di bawah pohon ... Jika dengan menetap di ruang terbuka ... jika dengan terus-menerus berdiri ... Jika dengan makan pada interval waktu yang telah ditentukan ... Jika dengan membaca mantera ... Jika dengan berambut kusut ... [283] ... dan itulah sebabnya mengapa Aku tidak mengatakan bahwa status petapa datang dari seorang petapa berambut kusut hanya karena berambut kusut.

7. “Bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu melatih jalan benar selayaknya bagi  seorang petapa? Ketika seorang bhikkhu yang tamak telah meninggalkan ketamakan, yang memiliki pikiran berniat buruk telah meninggalkan niat buruk, yang penuh kemarahan telah meninggalkan kemarahan, yang penuh kekesalan telah meninggalkan kekesalan, yang bersikap meremehkan telah meninggalkan sikap meremehkan, yang bersikap congkak telah meninggalkan kecongkakan, yang iri-hati telah meninggalkan keiri-hatian, yang kikir telah meninggalkan kekikiran, yang curang telah meninggalkan kecurangan, yang menipu telah meninggalkan penipuan, yang memiliki keinginan jahat telah meninggalkan keinginan jahat, yang berpandangan salah telah meninggalkan pandangan salah, maka ia melatih jalan benar selayaknya bagi seorang petapa, Aku katakan, adalah karena dengan meninggalkan noda-noda bagi petapa ini, cacat bagi petapa ini, sampah bagi petapa ini, yang merupakan landasan bagi kelahiran kembali dalam kondisi sengsara dan yang akibat-akibatnya akan dialami di alam yang tidak berbahagia.

8. “Ia melihat dirinya murni dari kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat ini, ia melihat dirinya terbebas dari kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat ini. Ketika ia melihat ini, kegembiraan muncul dalam dirinya. Ketika ia gembira, sukacita muncul dalam dirinya; dalam diri seorang yang bersukacita, jasmaninya menjadi tenang; seseorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan; dalam diri seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi.

9. “Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala arah, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

10-12. “Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan belas kasihan ... dengan pikiran yang penuh dengan kegembiraan altruistis ... dengan pikiran yang penuh dengan keseimbangan ... berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

13. “Misalkan terdapat sebuah kolam, dengan air yang jernih, sejuk menyenangkan, bening, dengan tepian yang landai, indah, dan dekat dengan hutan. [284] Jika seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang dari arah timur atau dari arah barat atau dari arah utara atau dari arah selatan atau dari manapun kalian inginkan, setelah mendatangi kolam itu ia akan memuaskan dahaganya dan demam cuaca-panasnya. Demikian pula, para bhikkhu, jika siapapun dari kasta para mulia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah menemukan Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, mengembangkan cinta kasih, belas kasihan, kegembiraan altruistis, dan keseimbangan, dan karenanya memperoleh kedamaian internal, maka karena kedamaian internal itu ia melatih jalan benar selayaknya seorang petapa, Aku katakan. Jika siapapun dari kasta brahmana meninggalkan keduniawian … jika siapapun dari kasta pedagang meninggalkan keduniawian … jika siapapun dari kasta pekerja meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah menemukan Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, mengembangkan cinta kasih, belas kasihan, kegembiraan altruistis, dan keseimbangan, dan karenanya memperoleh kedamaian internal, maka karena kedamaian internal itu ia melatih jalan benar selayaknya seorang petapa, Aku katakan.

14. “Para bhikkhu, jika siapapun dari kasta para mulia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan dengan menembus untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda, maka ia telah menjadi seorang petapa karena hancurnya noda-noda itu.  Dan jika siapapun dari kasta brahmana meninggalkan keduniawian … Jika siapapun dari kasta pedagang meninggalkan keduniawian … Jika siapapun dari kasta pekerja meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan dengan menembus untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda, maka ia telah menjadi seorang petapa karena hancurnya noda-noda itu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:25:20 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #52 on: 25 July 2010, 06:03:33 PM »
41  Sāleyyaka Sutta
Brahmana Sālā

[285] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara secara bertahap di Negeri Kosala bersama banyak Sangha para bhikkhu, dan akhirnya Beliau tiba di desa brahmana Kosala bernama Sālā.

2. para brahmana perumah tangga dari Sālā mendengar: “Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengunjungi negeri Kosala bersama banyak Sangha para bhikkhu dan telah tiba di Sālā. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia. Beliau menyatakan dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā,  generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, yang telah Beliau tembus oleh diriNya sendiri dengan pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna sepenuhnya.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

3. Kemudian para brahmana perumah tangga dari Sālā mendatangi Sang Bhagavā. Beberapa bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya menyebutkan nama dan suku mereka di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya hanya berdiam diri dan duduk di satu sisi.

4. Ketika mereka telah duduk, mereka berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, apakah penyebab dan kondisi mengapa beberapa makhluk di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan dalam neraka? Dan apakah penyebab dan kondisi mengapa beberapa makhluk di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga?”

5. “Para perumah tangga, adalah dengan alasan perilaku yang tidak sesuai dengan Dhamma, dengan alasan perilaku tidak baik maka beberapa makhluk di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan dalam neraka. Adalah dengan alasan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, dengan alasan perilaku yang baik maka beberapa makhluk di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.” [286]

6. “Kami tidak memahami makna secara terperinci dari ucapan Guru Gotama, yang telah Beliau ucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci. Baik sekali jika Guru Gotama sudi mengajarkan Dhamma kepada kami sehingga kami dapat memahami makna terperinci dari ucapan Beliau.”

“Maka, para perumah tangga, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.”

“Baik, Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

7. “Para perumah tangga, terdapat tiga jenis perilaku jasmani yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku yang tidak baik. Terdapat empat jenis perilaku ucapan yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku yang tidak baik. Terdapat tiga jenis perilaku pikiran yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku yang tidak baik.

8. “Dan bagaimanakah, para perumah tangga, tiga jenis perilaku jasmani yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku tidak baik? Di sini seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup; ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup. Ia mengambil apa yang tidak diberikan; ia mengambil harta dan kekayaan orang lain di desa atau hutan dengan cara mencuri. Ia melakukan perbuatan salah dalam kenikmatan indria; ia melakukan hubungan seksual dengan perempuan-perempuan yang dilindungi oleh ibu, ayah, ibu dan ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, atau sanak saudara mereka, yang memiliki suami, yang dilindungi oleh hukum, dan bahkan dengan mereka yang mengenakan kalung bunga sebagai tanda pertunangan. Itu adalah tiga jenis perilaku jasmani yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku tidak baik.

9. Dan bagaimanakah, para perumah tangga, empat jenis perilaku ucapan yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku tidak baik? Di sini seseorang mengucapkan kebohongan; ketika dipanggil oleh pengadilan, atau dalam suatu pertemuan, atau di depan sanak saudaranya, atau oleh perkumpulannya, atau di depan anggota keluarga kerajaan, dan ditanya sebagai seorang saksi sebagai berikut: ‘Baiklah, tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ tidak mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu,’; tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat’; dengan penuh kesadaran ia mengatakan kebohongan demi keselamatan dirinya sendiri, atau demi keselamatan orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi. Ia mengucapkan fitnah; ia mengulangi di tempat lain apa yang telah ia dengar di sini dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini, atau ia mengulangi kepada orang-orang ini apa yang telah ia dengar di tempat lain dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia adalah seorang yang memecah-belah mereka yang rukun, seorang pembuat perpecahan, yang menikmati perselisihan, bergembira dalam perselisihan, bersukacita dalam perselisihan, pengucap kata-kata yang menciptakan perselisihan. Ia berkata kasar; ia mengucapkan kata-kata yang kasar, keras, menyakiti orang lain, menghina orang lain, berbatasan dengan kemarahan, tidak menunjang konsentrasi. [287] Ia adalah seorang penggosip; ia berbicara di waktu yang salah, mengatakan apa yang bukan fakta, mengatakan hal yang tidak berguna, mengatakan yang berlawanan dengan Dhamma dan Disiplin; pada waktu yang salah ia mengucapkan kata-kata yang tidak berguna, tidak masuk akal, melampaui batas, dan tidak bermanfaat. Ini adalah empat jenis perilaku ucapan yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku tidak baik.

10. “Dan bagaimanakah, para perumah tangga, tiga jenis perilaku pikiran yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku tidak baik? Di sini seseorang bersifat tamak; ia tamak pada kekayaan dan kemakmuran orang lain sebagai berikut: ‘oh, semoga apa yang menjadi milik orang lain menjadi milikku!’ Atau ia memiliki pikiran berniat buruk dan niat membenci sebagai berikut: ‘Semoga makhluk-makhluk ini dibunuh dan disembelih, semoga mereka dipotong, musnah, atau dibasmi!’ Atau ia memiliki pandangan salah, penglihatan menyimpang, sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan, tidak ada yang dikorbankan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’  Ini adalah tiga jenis perilaku pikiran yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku tidak baik. Jadi, para perumah tangga, adalah dengan alasan perilaku yang tidak sesuai dengan Dhamma demikian, dengan alasan perilaku tidak baik demikian maka beberapa makhluk di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan dalam neraka.

11. “Para perumah tangga, terdapat tiga jenis perilaku jasmani yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik. Terdapat empat jenis perilaku ucapan yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik. Terdapat tiga jenis perilaku pikiran yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik.

12. “Dan bagaimanakah, para perumah tangga, tiga jenis perilaku jasmani yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik? Di sini seseorang, dengan meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, ia menghindari pembunuhan makhluk hidup, dengan tongkat pemukul dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelas kasihan kepada semua makhluk hidup. Dengan meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan; ia tidak mengambil harta dan kekayaan orang lain di desa atau hutan dengan cara mencuri. Dengan meninggalkan perbuatan salah dalam kenikmatan indria, ia menghindari perbuatan salah dalam kenikmatan indria; ia tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan-perempuan yang dilindungi oleh ibu, ayah, ibu dan ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, atau sanak saudara mereka, yang memiliki suami, yang dilindungi oleh hukum, atau dengan mereka yang mengenakan kalung bunga sebagai tanda pertunangan. Itu adalah tiga jenis perilaku jasmani yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik. [288]

13. Dan bagaimanakah, para perumah tangga, empat jenis perilaku ucapan yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik? Di sini seseorang, dengan meninggalkan kebohongan, menghindari ucapan salah; ketika dipanggil oleh pengadilan, atau dalam suatu pertemuan, atau di depan sanak saudaranya, atau oleh perkumpulannya, atau di depan anggota keluarga kerajaan, dan ditanya sebagai seorang saksi sebagai berikut: ‘Baiklah, tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ tidak mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu,’; tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat’; ia tidak dengan penuh kesadaran mengatakan kebohongan demi keselamatan dirinya sendiri, atau demi keselamatan orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi. Dengan meninggalkan ucapan fitnah, ia menghindari ucapan fitnah; ia tidak mengulangi di tempat lain apa yang telah ia dengar di sini dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini, juga ia tidak mengulangi kepada orang-orang ini apa yang telah ia dengar di tempat lain dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia adalah seorang yang merukunkan mereka yang terpecah-belah, seorang penganjur persahabatan, yang menikmati kerukunan, bergembira dalam kerukunan, bersukacita dalam kerukunan, pengucap kata-kata yang menciptakan kerukunan. Dengan meninggalkan ucapan kasar, ia menghindari ucapan kasar; ia mengucapkan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, dan indah, ketika masuk dalam batin, sopan, disukai banyak orang dan menyenangkan banyak orang. Dengan meninggalkan gosip, ia menghindari gosip; ia berbicara pada saat yang tepat, mengatakan apa yang sebenarnya, mengatakan apa yang baik, membicarakan Dhamma dan Disiplin; pada saat yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang layak dicatat, yang logis, selayaknya, dan bermanfaat. Ini adalah empat jenis perilaku ucapan yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik.

14. “Dan bagaimanakah, para perumah tangga, tiga jenis perilaku pikiran yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik? Di sini seseorang tidak bersifat tamak; ia tidak tamak pada kekayaan dan kemakmuran orang lain sebagai berikut: ‘oh, semoga apa yang menjadi milik orang lain menjadi milikku!’ Pikirannya tanpa niat buruk dan ia memiliki kehendak yang bebas dari kebencian sebagai berikut: ‘Semoga makhluk-makhluk ini bebas dari permusuhan, penderitaan, dan ketakutan! Semoga mereka hidup berbahagia!’ Ia memiliki pandangan benar, penglihatan yang tidak menyimpang, sebagai berikut: ‘Ada yang diberikan, ada yang dipersembahkan, ada yang dikorbankan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini, ada dunia lain; ada ibu, ada ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Ini adalah tiga jenis perilaku pikiran yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik. Jadi, para perumah tangga, adalah dengan alasan perilaku yang sesuai dengan Dhamma demikian, dengan alasan perilaku yang baik demikian maka beberapa makhluk di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. [289]

15. “Jika, para perumah tangga, seseorang yang melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik, berkehendak: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, aku muncul kembali di tengah-tengah para mulia yang kaya!’ itu adalah mungkin, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di tengah-tengah para mulia yang kaya. Mengapakah? Karena ia melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik.

16-17. “Jika, para perumah tangga, seseorang yang melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik, berkehendak: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, aku muncul kembali di tengah-tengah para brahmana yang kaya! ... di tengah-tengah para perumah tangga kaya!’ Itu adalah mungkin, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di tengah-tengah para perumah tangga kaya. Mengapakah? Karena ia melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik.

18-42. “Jika, para perumah tangga, seseorang yang melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik, berkehendak: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, aku muncul kembali di tengah-tengah para dewa di alam surga Empat Raja Dewa! ... di tengah-tengah para dewa di alam surga Tiga Puluh Tiga ... para dewa Yāma ... para dewa di alam surga Tusita ... para dewa yang bergembira dalam penciptaan ... para dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain ... para dewa pengikut Brahmā ... para dewa bercahaya ’ ... para dewa dengan cahaya terbatas ... para dewa dengan cahaya tanpa batas ... para dewa dengan cahaya gemerlap ... para dewa Agung ... para dewa dengan Keagungan terbatas ... para dewa dengan Keagungan tanpa batas ... para dewa dengan Keagungan gemilang ... para dewa berbuah besar ... para dewa Aviha ... para dewa Atappa ... para dewa Sudassa ... para dewa Sudassī ... para dewa Akaniṭṭha ... para dewa di alam landasan ruang tanpa batas ... para dewa di alam landasan kesadaran tanpa batas ... para dewa di alam landasan kekosongan ... para dewa di alam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi!’ itu adalah mungkin, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di tengah-tengah para dewa di alam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Mengapakah? Karena ia melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik.

43. “Jika, para perumah tangga, seseorang yang melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik, berkehendak: ‘Oh, bahwa dengan menembus untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung, semoga aku dapat di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda!’ Adalah mungkin bahwa, dengan menembus untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia dapat di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Mengapakah? Karena ia melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik.”  [290]

44. Ketika hal ini dikatakan, para brahmana perumah tangga dari Sālā berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi seseorang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan bagi mereka yang memiliki penglihatan agar dapat melihat bentuk-bentuk. Kami berlindung pada Guru Gotama dan Dhamma dan Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama menerima kami sebagai pengikut awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
« Last Edit: 01 May 2012, 03:26:08 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #53 on: 25 July 2010, 06:05:04 PM »
42  Verañjaka Sutta
Brahmana Verañja

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu beberapa brahmana perumah tangga dari Verañja sedang mengunjungi Sāvatthī untuk suatu urusan. [291]

3-44. [Teks dari sutta ini sama dengan teks pada sutta 41, kecuali pada bagian di mana sutta sebelumnya disampaikan sehubungan dengan “perilaku yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku yang tidak baik” (§§7-10) dan “perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik” (§§11-14), sutta ini disampaikan sehubungan dengan “seorang yang tidak melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, seorang yang berperilaku tidak baik” dan “seorang yang melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, seorang yang berperilaku baik”; ganti kata “Sālā” dengan “Verañja” di sepanjang sutta.]

« Last Edit: 01 May 2012, 03:33:13 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #54 on: 25 July 2010, 06:05:51 PM »
43  Mahāvedalla Sutta
Rangkaian Panjang Tanya-Jawab


[292] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

“Kemudian, pada malam hari, Yang Mulia Mahā Koṭṭhita bangkit dari meditasinya, mendatangi Yang Mulia Sāriputta, dan saling bertukar sapa dengannya.  Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Sāriputta:

(KEBIJAKSANAAN)

2. “’Seorang yang tidak bijaksana, seorang yang tidak bijaksana’ dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan, ’seorang yang tidak bijaksana’?”

“’Seorang yang tidak dengan bijaksana memahami, seorang yang tidak dengan bijaksana memahami,’ teman; itulah mengapa dikatakan, ‘seorang yang tidak bijaksana.’ Dan apakah yang seseorang tidak dengan bijaksana memahami? Ia tidak dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah penderitaan’; ia tidak dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia tidak dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia tidak dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ ‘Seorang yang tidak dengan bijaksana memahami, seorang yang tidak dengan bijaksana memahami,’ teman; itulah mengapa dikatakan, ‘seorang yang tidak bijaksana.’

Dengan mengatakan “Bagus, teman,’ Yang Mulia Mahā Koṭṭhita senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian ia mengajukan pertanyaan lebih lanjut:

3. “’Seorang yang bijaksana, seorang yang bijaksana’ dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan, ’seorang yang bijaksana’?”

“’Seorang yang dengan bijaksana memahami, seorang yang dengan bijaksana memahami,’ teman; itulah mengapa dikatakan, ‘seorang yang bijaksana.’ Dan apakah yang seseorang dengan bijaksana memahami? Ia dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah penderitaan’; ia dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ ‘Seorang yang dengan bijaksana memahami, seorang yang dengan bijaksana memahami,’ teman; itulah mengapa dikatakan, ‘seorang yang bijaksana.’

(KESADARAN)

4. “’Kesadaran, kesadaran’ dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah ‘kesadaran’ dikatakan?”

“’Kesadaran menyadari, kesadaran menyadari,’ teman; itulah mengapa ‘kesadaran’ dikatakan.  Apakah yang dikenali? Kesadaran menyadari ‘[Ini] menyenangkan’; kesadaran menyadari: ‘[Ini] menyakitkan’; kesadaran menyadari: ‘[Ini] bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.’; “’Kesadaran menyadari, kesadaran menyadari,’ teman; itulah mengapa ‘kesadaran’ dikatakan.

5. “Kebijaksanaan dan kesadaran, teman – apakah kondisi-kondisi ini tergabung atau terpisah? Dan apakah mungkin memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara keduanya?”

“Kebijaksanaan dan kesadaran, teman – kondisi-kondisi ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara keduanya. Karena apa yang seseorang pahami dengan bijaksana, maka itulah yang ia sadari, dan apa yang ia sadari, maka itulah yang ia pahami dengan bijaksana. [293] Itulah mengapa kondisi-kondisi ini tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara keduanya.”

6. “Apakah perbedaannya, teman, antara kebijaksanaan dan kesadaran, kondisi-kondisi ini yang tergabung, bukan terpisah?”

“Perbedaannya, teman, antara kebijaksanaan dan kesadaran, kondisi-kondisi ini yang tergabung, bukan terpisah, adalah: kebijaksanaan harus dikembangkan, kesadaran harus dipahami sepenuhnya.”

(PERASAAN)

7. “’Perasaan, perasaan’ dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah ‘perasaan’ dikatakan?”

“’Perasaan merasakan, perasaan merasakan,’ teman; itulah mengapa ‘perasaan’ dikatakan. Apakah yang dirasakan? Perasaan merasakan kenikmatan, perasaan merasakan kesakitan, perasaan merasakan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.’ ’Perasaan merasakan, perasaan merasakan,’ teman; itulah mengapa ‘perasaan’ dikatakan.

(PERSEPSI)

8. “Persepsi, persepsi dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah ‘persepsi’ dikatakan?”

“Persepsi mempersepsikan, persepsi mempersepsikan,’ teman; itulah mengapa ‘persepsi’ dikatakan. Apakah yang dipersepsikan? Persepsi mempersepsikan biru, persepsi mempersepsikan kuning, persepsi mempersepsikan merah, dan persepsi mempersepsikan putih. ’Persepsi mempersepsikan, persepsi mempersepsikan,’ teman; itulah mengapa ‘persepsi’ dikatakan.

9. “Perasaan, persepsi, dan kesadaran, teman - apakah kondisi-kondisi ini tergabung atau terpisah? Dan apakah mungkin memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara ketiganya?”

“Perasaan, persepsi, dan kesadaran, teman - kondisi-kondisi ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara ketiganya. Karena apa yang seseorang rasakan, itulah yang ia persepsikan; dan apa yang ia persepsikan, itulah yang ia sadari. Itulah mengapa kondisi-kondisi ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara ketiganya.”

(MENGETAHUI HANYA MELALUI PIKIRAN)

10. “Teman, apakah yang dapat diketahui oleh kesadaran-pikiran yang dimurnikan yang terbebas dari kelima indria?”

“Teman, melalui kesadaran-pikiran yang dimurnikan yang terbebas dari kelima indria maka landasan ruang tanpa batas dapat diketahui sebagai berikut: ‘Ruang adalah tanpa batas’; landasan kesadaran tanpa batas dapat diketahui sebagai berikut: ‘Kesadaran adalah tanpa batas’; dan landasan kekosongan dapat diketahui sebagai berikut: ‘Tidak ada apa-apa.’”

11. “Teman, dengan apakah seseorang memahami suatu kondisi yang dapat diketahui?”

“Teman, seseorang memahami suatu kondisi yang dapat diketahui dengan mata kebijaksanaan.”

12. “Teman, apakah kegunaan kebijaksanaan?”

“Kegunaan kebijaksanaan, teman, adalah pengetahuan langsung, gunanya adalah pemahaman sepenuhnya, gunanya adalah melepaskan.”
« Last Edit: 01 May 2012, 03:34:47 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #55 on: 25 July 2010, 06:07:58 PM »
(PANDANGAN BENAR)

[294] 13. “Teman, berapakah kondisi bagi munculnya pandangan benar?”

“Teman, ada dua kondisi bagi munculnya pandangan benar: kata-kata orang lain dan perhatian bijaksana. Ini adalah dua kondisi bagi munculnya pandangan benar.”

14.  “Teman, oleh berapakah faktor pandangan benar dibantu ketika memiliki kebebasan pikiran  sebagai buahnya, kebebasan pikiran  sebagai buah dan manfaatnya, ketika memiliki kebebasan  melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan  melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya?”

“Teman, pandangan benar dibantu oleh lima faktor ketika memiliki kebebasan pikiran  sebagai buahnya, kebebasan pikiran  sebagai buah dan manfaatnya, ketika memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan  melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya. Di sini, teman, pandangan benar dibantu oleh moralitas, pembelajaran, diskusi, ketenangan, dan pandangan terang. Pandangan benar dibantu oleh lima faktor ketika memiliki kebebasan pikiran  sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya; memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan  melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya.”

(PENJELMAAN)

15. “Teman, berapakah jenis penjelmaan?”

“Ada tiga jenis penjelmaan ini, teman: penjelmaan alam-indria, penjelmaan alam bermateri halus, dan penjelmaan alam tanpa materi.”

16. “Teman, bagaimanakah penjelmaan baru di masa depan dihasilkan?”

“Teman, penjelmaan baru di masa depan dihasilkan melalui kegembiraan dalam ini dan itu di pihak makhluk-makhluk yang dirintangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan.”

17. “Teman, bagaimanakah penjelmaan baru di masa depan tidak dihasilkan?”

“Teman, dengan meluruhnya kebodohan, dengan munculnya pengetahuan sejati, dan dengan lenyapnya keinginan, maka penjelmaan baru di masa depan tidak dihasilkan.”

(JHĀNA PERTAMA)

18. “Teman, apakah jhāna pertama?”

“Di sini, teman, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ini disebut jhāna pertama.”

19. “Teman, berapakah faktor yang dimiliki jhāna pertama?”

“Teman, jhāna pertama memiliki lima faktor. Di sini, ketika seorang bhikkhu telah masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, di sana muncul awal pikiran, kelangsungan pikiran, kegembiraan, kenikmatan, dan keterpusatan pikiran. Ini adalah bagaimana jhāna pertama memiliki lima faktor.”

20. “Teman, berapakah faktor yang ditinggalkan dalam jhāna pertama dan berapakah faktor yang dimiliki?”

“Teman, dalam jhāna pertama lima faktor ditinggalkan dan lima faktor dimiliki. Di sini, ketika seorang bhikkhu telah masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, keinginan indria ditinggalkan, niat buruk ditinggalkan, kelambanan dan ketumpulan ditinggalkan, kekhawatiran dan penyesalan [295] ditinggalkan, dan keragu-raguan ditinggalkan; dan di sana muncul awal pikiran, kelangsungan pikiran, kegembiraan, kenikmatan, dan keterpusatan pikiran. Ini adalah bagaimana dalam jhāna pertama lima faktor ditinggalkan dan lima faktor dimiliki.”

(LIMA INDRIA)

21. “Teman, lima indria ini masing-masing memiliki bidang terpisah, wilayah terpisah, dan tidak saling mengalami bidang dan wilayah lainnya, yaitu, indria mata, indria telinga, indria hidung, indria lidah, dan indria badan. Sekarang dari kelima indria ini yang masing-masing memiliki bidang terpisah, wilayah terpisah, dan tidak saling mengalami bidang dan wilayah lainnya, apakah penentunya, apakah yang mengalami bidang dan wilayahnya?”

“Teman, kelima indria ini masing-masing memiliki bidang terpisah, wilayah terpisah, dan tidak saling mengalami bidang dan wilayah lainnya, yaitu, indria mata, indria telinga, indria hidung, indria lidah, dan indria badan. Sekarang dari kelima indria ini yang masing-masing memiliki bidang terpisah, wilayah terpisah, dan tidak saling mengalami bidang dan wilayah lainnya, memiliki pikiran sebagai penentunya, dan pikiran mengalami bidang dan wilayahnya.”

22. “Teman, sehubungan dengan kelima indria ini - yaitu, indria mata, indria telinga, indria hidung, indria lidah, dan indria badan – bergantung pada apakah kelima indria ini berdiri?”

“Teman, sehubungan dengan kelima indria ini - yaitu, indria mata, indria telinga, indria hidung, indria lidah, dan indria badan – kelima indria ini berdiri dengan bergantung pada vitalitas.”

“Teman, bergantung pada apakah vitalitas berdiri?”

“Vitalitas berdiri dengan bergantung pada panas.”

“Teman, bergantung pada apakah panas berdiri?”

“Panas berdiri dengan bergantung pada vitalitas.”

“Tadi, teman, kami memahami Yang Mulia Sāriputta mengatakan: ‘Vitalitas berdiri dengan bergantung pada panas.’; dan sekarang kami memahami ia mengatakan: ‘Panas berdiri dengan bergantung pada vitalitas.’ Bagaimanakah makna dari kedua pernyataan ini dipahami?”

“Dalam hal ini, teman, aku akan memberikan sebuah perumpamaan, karena beberapa orang bijaksana di sini memahami makna suatu pernyataan melalui perumpamaan. Seperti halnya ketika sebuah lampu minyak menyala, cahayanya terlihat dengan bergantung pada apinya dan apinya terlihat dengan bergantung pada cahayanya; demikian pula, vitalitas berdiri dengan bergantung pada panas dan panas berdiri dengan bergantung pada vitalitas.”

(BENTUKAN-BENTUKAN VITAL)

23. “Teman, apakah bentukan-bentukan vital adalah kondisi perasaan atau apakah bentukan-bentukan vital adalah satu hal dan kondisi perasaan adalah hal lainnya?” [296]

“Bentukan-bentukan vital, teman, bukanlah kondisi perasaan.  Jika bentukan-bentukan vital adalah kondisi perasaan, maka ketika seorang bhikkhu telah memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan, ia tidak terlihat keluar dari sana. Karena bentukan-bentukan vital adalah satu hal dan kondisi perasaan adalah hal lainnya, maka ketika seorang bhikkhu telah memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan, ia dapat terlihat keluar dari sana.”

24. “Teman, ketika jasmani ini kehilangan berapa kondisikah maka jasmani ini dilepaskan dan ditinggalkan, dibiarkan mati bagaikan balok kayu?”

“Teman, ketika jasmani ini kehilangan tiga kondisi – vitalitas, panas, dan kesadaran – maka jasmani ini dilepaskan dan ditinggalkan, dibiarkan mati bagaikan balok kayu.”

25. “Teman, apakah perbedaan antara seseorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, dan seorang bhikkhu yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan?”

“Teman, dalam hal seorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, bentukan-bentukan jasmaninya telah memudar dan sirna, bentukan-bentukan ucapannya telah memudar dan sirna; bentukan-bentukan pikirannya telah memudar dan sirna, vitalitasnya padam, panasnya berhamburan, dan indria-indrianya hancur seluruhnya. Dalam hal seorang bhikkhu yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan,  bentukan-bentukan jasmaninya telah memudar dan sirna, bentukan-bentukan ucapannya telah memudar dan sirna, tetapi vitalitasnya tidak padam, panasnya tidak berhamburan, dan indria-indrianya menjadi sangat jernih.  Ini adalah perbedaan antara seseorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, dan seorang bhikkhu yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan.”

(KEBEBASAN PIKIRAN )

26. “Teman, berapakah kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran  bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”

“Teman, ada empat kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran  bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan: di sini, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan lenyapnya sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini adalah empat kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran  bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”

27. “Teman, berapakah kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran  tanpa gambaran?”

“Teman, ada dua kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran  tanpa gambaran: tanpa-perhatian pada segala gambaran dan perhatian pada unsur tanpa-gambaran. Ini adalah dua kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran  tanpa gambaran.”

28. “Teman, berapakah kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran  tanpa gambaran yang terus-menerus?”

“Teman, ada tiga kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran  tanpa gambaran yang terus-menerus: [297] tanpa-perhatian pada segala gambaran, perhatian pada unsur tanpa-gambaran, dan tekad sebelumnya [atas durasinya]. Ini adalah tiga kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran  tanpa gambaran yang terus-menerus.”

29. “Teman, berapakah kondisi untuk keluar dari  kebebasan pikiran  tanpa gambaran?”

“Teman, ada dua kondisi untuk keluar dari pencapaian kebebasan pikiran  tanpa gambaran: perhatian pada segala gambaran dan tanpa-perhatian pada unsur tanpa-gambaran. Ini adalah kondisi untuk keluar dari  kebebasan pikiran  tanpa gambaran.”

30. “Teman, kebebasan pikiran  yang tanpa batas, kebebasan pikiran  melalui kekosongan, kebebasan pikiran  melalui kehampaan, dan kebebasan pikiran  tanpa gambaran: apakah kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam sebutan, atau bermakna sama dan hanya berbeda dalam sebutan?”

“Teman, kebebasan pikiran  yang tanpa batas, kebebasan pikiran  melalui kekosongan, kebebasan pikiran  melalui kehampaan, dan kebebasan pikiran  tanpa gambaran: ada cara di mana kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam sebutan, dan ada cara di mana kondisi-kondisi ini bermakna sama  dan hanya berbeda dalam sebutan.

31. “Apakah, teman, cara di mana kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam sebutan? Di sini seorang bhikkhu meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala arah, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasihan ... Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh kegembiraan altruistis ... Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh keseimbangan, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala arah, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ini disebut kebebasan pikiran  yang tanpa batas.

32. “Dan apakah, teman, kebebasan pikiran  melalui kekosongan?” Di sini, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ini disebut kebebasan pikiran  melalui kekosongan.

33. “Dan apakah, teman, kebebasan pikiran  melalui kehampaan? Di sini seorang bhikkhu, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, merenungkan sebagai berikut: ‘Ini hampa dari diri atau apa yang menjadi milik diri.’ [298] Ini disebut kebebasan pikiran  melalui kehampaan.

34. “Dan apakah, teman, kebebasan pikiran  tanpa gambaran? Di sini, dengan tanpa-perhatian pada segala gambaran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran tanpa-gambaran. Ini disebut kebebasan pikiran  tanpa gambaran.  Ini adalah cara di mana kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam sebutan

35. “Dan apakah, teman, cara di mana kondisi-kondisi ini bermakna sama dan hanya berbeda dalam sebutan? Nafsu adalah pembuat penilaian, Kebencian adalah pembuat penilaian, kebodohan adalah pembuat penilaian.  Dalam diri seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah hancur, hal-hal ini telah ditinggalkan, dipotong pada akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, tersingkirkan sehingga tidak dapat muncul lagi di masa depan. Di antara semua jenis kebebasan pikiran  yang tanpa batas, kebebasan pikiran  yang tidak tergoyahkan adalah yang terbaik. Sekarang kebebasan pikiran  yang tidak tergoyahkan itu hampa dari nafsu, hampa dari kebencian, hampa dari kebodohan.

36. “Nafsu adalah satu hal, kebencian adalah satu hal, kebodohan adalah satu hal.  Dalam diri seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah hancur, hal-hal ini telah ditinggalkan, dipotong pada akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, tersingkirkan sehingga tidak dapat muncul lagi di masa depan. Di antara semua jenis kebebasan pikiran  melalui kekosongan, kebebasan pikiran  yang tidak tergoyahkan adalah yang terbaik.  Sekarang kebebasan pikiran  yang tidak tergoyahkan itu hampa dari nafsu, hampa dari kebencian, hampa dari kebodohan.

37. “Nafsu adalah pembuat gambaran, kebencian adalah pembuat gambaran, kebodohan adalah pembuat gambaran.  Dalam diri seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah hancur, hal-hal ini telah ditinggalkan, dipotong pada akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, tersingkirkan sehingga tidak dapat muncul lagi di masa depan. Di antara semua jenis kebebasan pikiran  tanpa gambaran, kebebasan pikiran  yang tidak tergoyahkan adalah yang terbaik.  Sekarang kebebasan pikiran  yang tidak tergoyahkan itu hampa dari nafsu, hampa dari kebencian, hampa dari kebodohan. Ini adalah cara di mana kondisi-kondisi ini bermakna sama dan hanya berbeda dalam sebutan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Yang Mulia Mahā Koṭṭhita merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:35:25 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #56 on: 25 July 2010, 06:09:53 PM »
44  Cūḷavedalla Sutta
Rangkaian pendek Tanya-Jawab

[299] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian umat awam Visākha mendatangi Bhikkhunī Dhammadinnā,  dan setelah bersujud kepadanya, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepadanya:

(IDENTITAS)

2. “Yang Mulia, ‘identitas, identitas’ dikatakan. Apakah yang disebut identitas oleh Sang Bhagavā?

“Teman Visākha, kelima kelompok unsur kehidupan ini yang terpengaruh oleh kemelekatan disebut sebagai identitas oleh Sang Bhagavā; yaitu, kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan. Kelima kelompok unsur kehidupan ini disebut identitas oleh Sang Bhagavā.”

Dengan mengatakan, “Bagus sekali, Yang Mulia,” umat awam Visākha senang dan gembira mendengar kata-kata Bhikkhunī Dhammadinnā. Kemudian ia mengajukan pertanyaan lebih lanjut:

3. “Yang Mulia, ‘asal-mula identitas, asal-mula identitas’ dikatakan. Apakah yang disebut asal-mula identitas oleh Sang Bhagavā?”

“Teman Visākha, adalah keinginan, yang membawa penjelmaan baru, yang disertai dengan kesenangan dan nafsu, dan senang akan ini dan itu; yaitu, keinginan akan kenikmatan indria, keinginan akan penjelmaan, dan keinginan akan tanpa-penjelmaan. Ini disebut asal-mula identitas oleh Sang Bhagavā.”

4. “Yang Mulia, ‘lenyapnya identitas, lenyapnya identitas’ dikatakan. Apakah yang disebut lenyapnya identitas oleh Sang Bhagavā?”

“Teman Visākha, adalah peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya, menghentikan, melepaskan, membiarkan dan menolak keinginan yang sama itu. Ini disebut lenyapnya identitas oleh Sang Bhagavā.”

5. “Yang Mulia, ‘jalan menuju lenyapnya identitas, jalan menuju lenyapnya identitas’ dikatakan. Apakah yang disebut jalan menuju lenyapnya identitas oleh Sang Bhagavā?”

“Teman Visākha, adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.”

6. “Yang Mulia, apakah kemelekatan itu sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini, atau kemelekatan adalah sesuatu yang terpisah dari kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan?”

“Teman Visākha, kemelekatan itu bukan sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan [300] juga kemelekatan bukan sesuatu yang terpisah dari kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Adalah keinginan dan nafsu sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan yang menjadi kemelekatan di sana.”


(PANDANGAN ATAS IDENTITAS)

7. “Yang Mulia, bagaimanakah pandangan atas identitas muncul?”

“Di sini, teman Visākha, seorang biasa yang tidak terpelajar, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Ia menganggap perasaan sebagai diri, atau diri sebagai memiliki perasaan, atau perasaan sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam perasaan. Ia menganggap persepsi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki persepsi, atau persepsi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam persepsi. Ia menganggap bentukan-bentukan sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentukan-bentukan, atau bentukan-bentukan sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentukan-bentukan. Ia menganggap kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Ini adalah bagaimana pandangan atas identitas muncul”

8. “Yang Mulia, bagaimanakah pandangan atas identitas tidak muncul?”

“Di sini, teman Visākha, seorang mulia yang terpelajar, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri, atau diri sebagai memiliki perasaan, atau perasaan sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam perasaan. Ia tidak menganggap persepsi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki persepsi, atau persepsi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam persepsi. Ia tidak menganggap bentukan-bentukan sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentukan-bentukan, atau bentukan-bentukan sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentukan-bentukan. Ia tidak menganggap kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Ini adalah bagaimana pandangan atas identitas tidak muncul”

(JALAN MULIA BERUNSUR DELAPAN)

9. “Yang Mulia, apakah Jalan Mulia Berunsur Delapan?”

“Teman Visākha, adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.”

10. “Yang Mulia, apakah Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah terkondisi atau tidak terkondisi?”

“Teman, Visākha, Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah [301] terkondisi.”

11. “Yang Mulia, apakah tiga kelompok termasuk dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan, atau Jalan Mulia Berunsur Delapan termasuk dalam tiga kelompok?”

“Tiga kelompok bukan termasuk dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan, teman Visākha, tetapi Jalan Mulia Berunsur Delapan termasuk dalam ketiga kelompok. Ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar – kondisi-kondisi ini termasuk dalam kelompok moralitas. Usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar – kondisi-kondisi ini termasuk dalam kelompok konsentrasi. Pandangan benar dan kehendak benar – kondisi-kondisi ini termasuk dalam kelompok kebijaksanaan.”

(KONSENTRASI)

12. “Yang Mulia, apakah konsentrasi? Apakah landasan konsentrasi? Apakah perlengkapan konsentrasi? Apakah pengembangan konsentrasi?”

“Keterpusatan pikiran, teman Visākha, adalah konsentrasi; Empat Landasan Perhatian adalah landasan konsentrasi; Empat Usaha Benar adalah perlengkapan konsentrasi; pengulangan, pengembangan, dan pelatihan atas hal-hal ini adalah kondisi yang sama dengan pengembangan konsentrasi.”

(BENTUKAN-BENTUKAN)

13. “Yang Mulia, ada berapakah bentukan-bentukan itu?”

“Ada tiga bentukan ini, teman Visākha: bentukan jasmani, bentukan ucapan, dan bentukan pikiran.”

14. “Tetapi, Yang Mulia, apakah bentukan jasmani? apakah bentukan ucapan? apakah bentukan pikiran?”

“Nafas-masuk dan nafas-keluar, teman Visākha, adalah bentukan jasmani; awal pikiran dan kelangsungan pikiran adalah bentukan ucapan; persepsi dan perasaan adalah bentukan pikiran.”

15. “Tetapi, Yang Mulia, mengapa nafas-masuk dan nafas-keluar adalah bentukan jasmani? Mengapa awal pikiran dan kelangsungan pikiran adalah bentukan ucapan? Mengapa persepsi dan perasaan adalah bentukan pikiran?

“Teman, Visākha nafas-masuk dan nafas-keluar adalah jasmani, kondisi-kondisi ini terikat dengan jasmani; itulah sebabnya mengapa nafas-masuk dan nafas-keluar adalah bentukan jasmani. Pertama-tama seseorang mulai berpikir dan mempertahankan pikiran, dan selanjutnya ia mengungkapkannya melalui ucapan; itulah sebabnya mengapa awal-pikiran dan kelangsungan pikiran adalah bentukan ucapan. Persepsi dan perasaan adalah pikiran, kondisi-kondisi ini terikat dengan pikiran; itulah sebabnya mengapa persepsi dan perasaan adalah bentukan pikiran.”

(PENCAPAIAN LENYAPNYA)

16. “Yang Mulia, bagaimanakah pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan terjadi?”

“Teman Visākha, ketika seorang bhikkhu mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan, ia tidak berpikir: ‘Aku akan mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan,’ atau ‘Aku sedang mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan,’ atau ‘Aku telah mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan’; melainkan pikirannya telah dikembangkan sebelumnya sedemikian sehingga mengarahkannya pada kondisi tersebut.”  [302]

17. “Yang Mulia, ketika seorang bhikkhu sedang mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan, kondisi manakah yang pertama lenyap dalam dirinya: bentukan jasmani, bentukan ucapan, atau bentukan pikiran?”

“Teman Visākha, ketika seorang bhikkhu sedang mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan, pertama-tama bentukan ucapan lenyap, kemudian bentukan jasmani, kemudian bentukan pikiran.”

18. “Yang Mulia, bagaimanakah keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan terjadi?”

“Teman Visākha, ketika seorang bhikkhu keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, ia tidak berpikir: ‘Aku akan keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan,’ atau ‘Aku sedang keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan,’ atau ‘Aku telah keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan’; melainkan pikirannya telah dikembangkan sebelumnya sedemikian sehingga mengarahkannya pada kondisi tersebut.”

19. “Yang Mulia, ketika seorang bhikkhu keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, kondisi manakah yang pertama muncul dalam dirinya: bentukan jasmani, bentukan ucapan, atau bentukan pikiran?”

“Teman Visākha, ketika seorang bhikkhu keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, pertama-tama bentukan pikiran muncul, kemudian bentukan jasmani, kemudian bentukan ucapan.”

20. “Yang Mulia, ketika seorang bhikkhu telah keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, ada berapakah kontak yang menyentuhnya?”

“Teman Visākha, ketika seorang bhikkhu telah keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, tiga jenis kontak menyentuhnya: kontak kehampaan, kontak tanpa-gambaran, kontak tanpa-keinginan.”

21. “Yang Mulia, ketika seorang bhikkhu telah keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, kepada apakah pikirannya condong, kepada apakah pikirannya bersandar, kepada apakah pikirannya mengarah?”

“Teman Visākha, ketika seorang bhikkhu telah keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, pikirannya condong kepada keterasingan, bersandar pada keterasingan, mengarah pada keterasingan.”

(PERASAAN)

22. “Yang Mulia, ada berapakah jenis perasaan?”

“Teman Visākha, ada tiga jenis perasaan: perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, dan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”

23. “Tetapi, Yang Mulia, apakah perasaan menyenangkan? apakah perasaan menyakitkan? dan apakah perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”

“Teman Visākha, perasaan apapun yang dirasakan secara jasmani atau secara batin yang menyenangkan dan menyejukkan adalah perasaan menyenangkan. Perasaan apapun yang dirasakan secara jasmani atau secara batin yang menyakitkan dan melukai adalah perasaan menyakitkan. Perasaan apapun yang dirasakan secara jasmani atau secara batin yang tidak menyejukkan juga tidak melukai [303] adalah perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”

24. “Yang Mulia, apakah menyenangkan dan apakah menyakitkan sehubungan dengan perasaan menyenangkan? Apakah menyakitkan dan apakah menyenangkan sehubungan dengan perasaan menyakitkan? Apakah menyenangkan dan apakah menyakitkan sehubungan dengan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?

“Teman Visākha, perasaan menyenangkan adalah menyenangkan selama perasaan itu berlangsung dan menyakitkan ketika perasaan itu berubah. Perasaan menyakitkan adalah menyakitkan selama perasaan itu berlangsung dan menyenangkan ketika perasaan itu berubah. Perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan adalah menyenangkan jika ada pengetahuan [atas perasaan itu] dan menyakitkan jika tidak ada pengetahuan [atas perasaan itu].”

(KECENDERUNGAN TERSEMBUNYI)

25. “Yang Mulia, kecenderungan tersembunyi apakah yang mendasari perasaan menyenangkan? kecenderungan tersembunyi apakah yang mendasari perasaan menyakitkan? kecenderungan tersembunyi apakah yang mendasari perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”

“Teman Visākha, kecenderungan tersembunyi pada nafsu mendasari perasaan menyenangkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebencian mendasari perasaan menyakitkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebodohan mendasari perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”

26. “Yang Mulia, apakah kecenderungan tersembunyi pada nafsu mendasari semua perasaan menyenangkan? Apakah kecenderungan tersembunyi pada kebencian mendasari semua perasaan menyakitkan? Apakah kecenderungan tersembunyi pada kebodohan mendasari semua perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”

“Teman Visākha, kecenderungan tersembunyi pada nafsu tidak mendasari semua perasaan menyenangkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebencian tidak mendasari semua perasaan menyakitkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebodohan tidak mendasari semua perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”

27. “Yang Mulia, apakah yang harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan menyenangkan? apakah yang harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan menyakitkan? apakah yang harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”

“Teman Visākha, kecenderungan tersembunyi pada nafsu harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan menyenangkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebencian harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan menyakitkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebodohan harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”

28. “Yang Mulia, apakah kecenderungan tersembunyi pada nafsu harus ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan menyenangkan? Apakah kecenderungan tersembunyi pada kebencian harus ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan menyakitkan? Apakah kecenderungan tersembunyi pada kebodohan harus ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”

“Teman Visākha, kecenderungan tersembunyi pada nafsu tidak harus ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan menyenangkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebencian tidak harus ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan menyakitkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebodohan tidak harus ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.

“Di sini, teman Visākha, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Dengan itu ia meninggalkan nafsu, dan kecenderungan tersembunyi pada nafsu tidak mendasari itu.

“Di sini seorang bhikkhu mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kapankah aku harus masuk dan berdiam dalam landasan yang dimasuki dan didiami oleh para mulia sekarang?’ Dalam diri seorang yang memunculkan kerinduan akan kebebasan tertinggi itu, [304] kesedihan muncul bersama kerinduan itu sebagai kondisi. Dengan itu ia meninggalkan kebencian, dan kecenderungan tersembunyi pada kebencian tidak mendasari itu.

“Di sini, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Dengan itu ia meninggalkan kebodohan, dan kecenderungan tersembunyi pada kebodohan tidak mendasari itu.”

(PASANGAN)

29. “Yang Mulia, apakah pasangan dari perasaan menyenangkan?”

“Teman Visākha, perasaan menyakitkan adalah pasangan dari perasaan menyenangkan.”

“Apakah pasangan dari perasaan menyakitkan?”

“Perasaan menyenangkan adalah pasangan dari perasaan menyakitkan.”

“Apakah pasangan dari perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan

“Kebodohan adalah pasangan dari perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”

“Apakah pasangan dari kebodohan?”

“Pengetahuan sejati adalah pasangan dari kebodohan.”

“Apakah pasangan dari pengetahuan sejati?”

“Kebebasan adalah pasangan dari pengetahuan sejati.”

“Apakah pasangan dari kebebasan?”

“Nibbāna adalah pasangan dari kebebasan.”

“Yang Mulia, apakah pasangan dari Nibbāna?”

“Teman Visākha, engkau melewati batas mengajukan pertanyaan terlalu jauh, engkau tidak mampu menangkap batasan pertanyaan-pertanyaan.  Karena kehidupan suci, teman Visākha, berlandaskan dpada Nibbāna, memuncak dalam Nibbāna, berakhir dalam Nibbāna. Jika engkau menghendaki, teman Visākha, temuilah Sang Bhagavā dan tanyakan kepada Beliau mengenai makna ini. Sebagaimana Sang Bhagavā menjelaskan kepadamu, demikianlah engkau harus mengingatnya.”

(PENUTUP)

30. Kemudian umat awam Visākha, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Bhikkhunī Dhammadinnā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepadanya, dengan Bhikkhunī Dhammadinnā di sisi kanannya, ia pergi menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Sang Bhagavā seluruh percakapannya dengan Bhikkhunī Dhammadinnā. Ketika ia selesai berbicara, Sang Bhagavā memberitahunya:

31. Bhikkhunī Dhammadinnā bijaksana, Visākha, Bhikkhunī Dhammadinnā memiliki kebijaksanaan luas. Jika engkau menanyakan makna dari hal ini, Aku juga akan menjelaskan kepadamu [305] dengan cara yang sama seperti yang telah dijelaskan oleh Bhikkhunī Dhammadinnā. Demikianlah maknanya, dan engkau harus mengingatnya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Umat awam Visākha merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:36:14 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #57 on: 25 July 2010, 06:48:05 PM »
45  Cūḷadhammasamādāna Sutta
Khotbah Pendek tentang Cara-Cara
Melaksanakan Segala Sesuatu

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, ada empat cara melaksanakan segala sesuatu. Apakah empat ini? Ada cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan. Ada cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan. Ada cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan. Ada cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.

3. “Apakah, para bhikkhu, cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan? Para bhikkhu, ada para petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya sebagai berikut: ‘Tidak ada bahaya dalam kenikmatan indria.’ Mereka menelan kenikmatan indria dan bersenang-senang dengan para pengembara perempuan yang mengikat rambut mereka dengan sanggul. Mereka berkata: ‘Masa depan yang bagaimanakah yang dilihat oleh para petapa dan brahmana baik ini ketika mereka mengajarkan meninggalkan kenikmatan indria dan menjelaskan pemahaman sepenuhnya atas kenikmatan indria? Sungguh menyenangkan sentuhan tangan lembut dan halus dari pengembara perempuan ini!’ Demikianlah mereka menelan kenikmatan indria, dan setelah melakukan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, mereka muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Di sana mereka merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Mereka berkata: ‘Inilah Masa depan yang dilihat oleh para petapa dan brahmana baik itu dalam kenikmatan indria ini ketika mereka mengajarkan meninggalkan kenikmatan indria dan menjelaskan pemahaman sepenuhnya atas kenikmatan indria. Karena dengan alasan kenikmatan indria, [306] demi kenikmatan indria, maka kami sekarang merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.’

4. “Para bhikkhu, misalkan pada bulan terakhir musim panas sekuntum kelopak tumbuhan rambat māluva terbuka dan biji tumbuhan rambat māluva itu jatuh di bawah sebatang pohon sāla. Kemudian dewa yang menghuni pohon itu menjadi cemas, terganggu, dan ketakutan; tetapi teman-teman, sahabat, sanak saudara dan kerabat – dewa kebun, dewa taman, dewa pohon, dan para dewa yang menghuni tanaman obat, rumput dan pepohonan besar di hutan – berkumpul dan menenangkan dewa itu sebagai berikut: ‘Jangan takut, tuan, jangan takut. Mungkin seekor merak akan menelan biji tumbuhan rambat māluva itu atau seekor binatang liar akan memakannya atau kebakaran hutan akan membakarnya atau para pekerja hutan akan membawanya atau rayap akan melahapnya atau biji itu mungkin mandul.’ Tetapi tidak ada merak yang menelan biji tumbuhan rambat māluva itu, tidak ada binatang liar yang memakannya, tidak ada kebakaran hutan yang membakarnya, tidak ada pekerja hutan yang  membawanya, tidak ada rayap yang melahapnya atau biji itu ternyata tidak mandul. Kemudian, karena disiram oleh hujan dari awan pembawa hujan, biji itu akhirnya bertunas dan sulur-sulur tumbuhan rambat māluva yang lembut itu bergulung di sekeliling pohon sāla itu. Kemudian dewa yang menghuni pohon sāla itu berpikir: ‘Masa depan yang bagaimanakah yang dilihat oleh teman-teman dan sahabat, sanak saudara dan kerabatku … dalam biji tumbuhan rambat māluva itu ketika mereka berkumpul dan menenangkanku seperti yang telah mereka lakukan? Sungguh menyenangkan sentuhan sulur-sulur tumbuhan rambat māluva yang lembut ini!’ kemudian tumbuhan rambat itu membungkus pohon sāla, membuat atap di atasnya, menurunkan tirai di sekelilingnya, dan memecahkan batang pohon itu. Dewa yang menghuni pohon itu kemudian menyadari: ‘Inilah masa depan yang mereka lihat dalam biji tumbuhan rambat māluva itu. [307] Karena biji tumbuhan rambat māluva itu aku sekarang merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.’

“Demikian pula, para bhikkhu, ada para petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya sebagai berikut: ‘Tidak ada bahaya dalam kenikmatan indria.’ … Mereka berkata: ‘Inilah Masa depan yang dilihat oleh para petapa dan brahmana baik itu dalam kenikmatan indria … maka kami sekarang merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.’ Ini disebut cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.

5. “Dan apakah, para bhikkhu, cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan? Di sini, para bhikkhu, seseorang bepergian dengan telanjang, menolak kebiasaan, menjilat tangannya, tidak datang ketika diminta, tidak berhenti ketika diminta … (seperti Sutta 12,§45) [308] … Ia berdiam dengan menekuni praktik mandi di air tiga kali setiap hari termasuk di malam hari. Demikianlah dalam berbagai cara ia berdiam menekuni praktik menyiksa dan menghukum tubuhnya. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ini disebut cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.

6. “Dan apakah, para bhikkhu, cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan? Di sini, para bhikkhu, seseorang secara alami memiliki nafsu yang kuat, dan ia terus-menerus mengalami kesakitan dan kesedihan yang muncul dari nafsu itu;  secara alami ia memiliki kebencian yang kuat, dan ia terus-menerus mengalami kesakitan dan kesedihan yang muncul dari kebencian itu; secara alami ia memiliki kebodohan yang kuat, dan ia terus-menerus mengalami kesakitan dan kesedihan yang muncul dari kebodohan itu. Akan tetapi dalam kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Ini disebut cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.

7. “Dan apakah, para bhikkhu, cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan? Di sini, para bhikkhu, seseorang secara alami tidak memiliki nafsu yang kuat, dan ia tidak terus-menerus mengalami kesakitan dan kesedihan yang muncul dari nafsu itu;  secara alami ia tidak memiliki kebencian yang kuat, dan ia tidak terus-menerus mengalami kesakitan dan kesedihan yang muncul dari kebencian itu; secara alami ia tidak memiliki kebodohan yang kuat, [309] dan ia tidak terus-menerus mengalami kesakitan dan kesedihan yang muncul dari kebodohan itu. Dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Dengan meluruhnya kegembiraan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Ini disebut cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan. Ini, para bhikkhu, adalah empat cara melaksanakan segala sesuatu.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:36:48 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #58 on: 25 July 2010, 06:49:11 PM »
46 Mahādhammasamādāna Sutta
Khotbah Panjang tentang Cara-Cara
Melaksanakan Segala Sesuatu

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, sebagian besar makhluk memiliki harapan, keinginan, dan kerinduan: ‘Seandainya hal-hal yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan berkurang dan hal-hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan bertambah!’ Namun walaupun makhluk-makhluk memiliki harapan, keinginan, dan kerinduan ini, tetapi hal-hal yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan bertambah bagi mereka dan hal-hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan berkurang. Sekarang, para bhikkhu, apakah menurut kalian alasan atas hal itu?”

“Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, [310] dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari kata-kata ini. Setelah mendengarkan dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, para bhikkhu, dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.”

“Baik, Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terpelajar, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, tidak mengetahui hal-hal apakah yang seharusnya dilatih dan hal-hal apakah yang seharusnya tidak dilatih, ia tidak mengetahui hal-hal apakah yang harus diikuti dan hal-hal apakah yang seharusnya tidak diikuti. Karena tidak mengetahui ini, ia melatih hal-hal yang seharusnya tidak dilatih dan tidak melatih hal-hal yang seharusnya dilatih, ia mengikuti hal-hal yang seharusnya tidak diikuti dan tidak mengikuti hal-hal yang seharusnya diikuti.  Adalah karena ia melakukan hal ini maka hal-hal yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan bertambah baginya dan hal-hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan berkurang. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang tidak melihat.

4. “Siswa mulia yang terpelajar, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, mengetahui hal-hal apakah yang seharusnya dilatih dan hal-hal apakah yang seharusnya tidak dilatih, ia mengetahui hal-hal apakah yang harus diikuti dan hal-hal apakah yang seharusnya tidak diikuti. Dengan mengetahui ini, ia melatih hal-hal yang seharusnya dilatih dan tidak melatih hal-hal yang seharusnya tidak dilatih, ia mengikuti hal-hal yang seharusnya diikuti dan tidak mengikuti hal-hal yang seharusnya tidak diikuti. Adalah karena ia melakukan hal ini maka hal-hal yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan berkurang baginya dan hal-hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan bertambah. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang melihat.

5. “Para bhikkhu, ada empat cara melaksanakan segala sesuatu. Apakah empat ini? Ada cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan. Ada [311] cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan. Ada cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan. Ada cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.

(ORANG DUNGU)

6. (1) “Sekarang, para bhikkhu, seorang yang dungu, tidak mengetahui cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan, tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.’ Karena tidak mengetahui hal ini, tidak memahami hal ini sebagaimana adanya, si dungu melatihnya dan tidak menghindarinya; karena ia melakukan hal itu, maka hal-hal yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan bertambah baginya dan hal-hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan berkurang. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang tidak melihat.

7. (2) “Sekarang, para bhikkhu, seorang yang dungu, tidak mengetahui cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan, tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.’ Karena tidak mengetahui hal ini, tidak memahami hal ini sebagaimana adanya, si dungu melatihnya dan tidak menghindarinya; karena ia melakukan hal itu, maka hal-hal yang tidak diharapkan ... bertambah baginya dan hal-hal yang diharapkan ... berkurang. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang tidak melihat.

8. (3) “Sekarang, para bhikkhu, seorang yang dungu, tidak mengetahui cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan, tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.’ Karena tidak mengetahui hal ini, tidak memahami hal ini sebagaimana adanya, si dungu tidak melatihnya melainkan menghindarinya; karena ia melakukan hal itu, maka hal-hal yang tidak diharapkan ... bertambah baginya dan hal-hal yang diharapkan ... berkurang. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang tidak melihat.

9. (4) “Sekarang, para bhikkhu, seorang yang dungu, tidak mengetahui cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan, tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.’ Karena tidak mengetahui hal ini, tidak memahami hal ini sebagaimana adanya, si dungu tidak melatihnya melainkan menghindarinya; karena ia melakukan hal itu, [312] maka hal-hal yang tidak diharapkan ... bertambah baginya dan hal-hal yang diharapkan ... berkurang. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang tidak melihat.

(ORANG BIJAKSANA)

10. (1) “Sekarang, para bhikkhu, seorang yang bijaksana, dengan mengetahui cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan, memahami sebagaimana adanya: ‘Cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.’ Karena mengetahui hal ini, memahami hal ini sebagaimana adanya, si bijaksana tidak melatihnya dan menghindarinya; karena ia melakukan hal itu, maka hal-hal yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan berkurang baginya dan hal-hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan bertambah. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang melihat.

11. (2) “Sekarang, para bhikkhu, seorang yang bijaksana, dengan mengetahui cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan, memahami sebagaimana adanya: ‘Cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.’ Karena mengetahui hal ini, memahami hal ini sebagaimana adanya, si bijaksana tidak melatihnya dan menghindarinya; karena ia melakukan hal itu, maka hal-hal yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan berkurang baginya dan hal-hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan bertambah. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang melihat.

12. (3) “Sekarang, para bhikkhu, seorang yang bijaksana, dengan mengetahui cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan, memahami sebagaimana adanya: ‘Cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.’ Karena mengetahui hal ini, memahami hal ini sebagaimana adanya, si bijaksana tidak menghindarinya, melainkan melatihnya; karena ia melakukan hal itu, maka hal-hal yang tidak diharapkan ... berkurang baginya dan hal-hal yang diharapkan ... bertambah. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang melihat.

13. (4) “Sekarang, para bhikkhu, seorang yang bijaksana, dengan mengetahui cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan, memahami sebagaimana adanya: ‘Cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.’ Karena mengetahui hal ini, memahami hal ini sebagaimana adanya, si bijaksana tidak menghindarinya, melainkan melatihnya; karena ia melakukan hal itu, maka hal-hal yang tidak diharapkan ... berkurang baginya dan hal-hal yang diharapkan ... bertambah. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang melihat. [313]

(EMPAT CARA)

14. (1) “Apakah, para bhikkhu, cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan? Di sini, para bhikkhu, seseorang dalam kesakitan dan kesedihan membunuh makhluk-makhluk hidup, dan ia mengalami kesakitan dan kesedihan dengan membunuh makhluk-makhluk hidup sebagai kondisi. Dalam kesakitan dan kesedihan ia mengambil apa yang tidak diberikan ... berperilaku salah dalam kenikmatan indria ... mengucapkan kebohongan ... mengucapkan fitnah ... berkata-kata kasar ... gosip ... tamak ... memendam pikiran berniat buruk ... menganut pandangan salah, dan ia mengalami kesakitan dan kesedihan dengan pandangan salah sebagai kondisi. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan dalam neraka. Ini disebut cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.

15. (2) “Apakah, para bhikkhu, cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan? Di sini, para bhikkhu, seseorang dalam kenikmatan dan kegembiraan membunuh makhluk-makhluk hidup, dan ia mengalami kenikmatan dan kegembiraan dengan membunuh makhluk-makhluk hidup sebagai kondisi. Dalam kenikmatan dan kegembiraan ia mengambil apa yang tidak diberikan ... [314] ... menganut pandangan salah, dan ia mengalami kenikmatan dan kegembiraan dengan pandangan salah sebagai kondisi. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan dalam neraka. Ini disebut cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.

16. (3) “Apakah, para bhikkhu, cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan? Di sini, para bhikkhu, seseorang dalam kesakitan dan kesedihan menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup, dan ia mengalami kesakitan dan kesedihan dengan menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup sebagai kondisi. Dalam kesakitan dan kesedihan ia menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan ... menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria ... menghindari kebohongan ... menghindari mengucapkan fitnah ... menghindari kata-kata kasar ...menghindari gosip ... ia tidak tamak ... ia tidak memendam pikiran berniat buruk ... [315] ... ia menganut pandangan benar, dan ia mengalami kesakitan dan kesedihan dengan pandangan benar sebagai kondisi. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Ini disebut cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.

17. (4) “Apakah, para bhikkhu, cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan? Di sini, para bhikkhu, seseorang dalam kenikmatan dan kegembiraan menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup, dan ia mengalami kenikmatan dan kegembiraan dengan menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup sebagai kondisi. Dalam kenikmatan dan kegembiraan ia menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan ... ia menganut pandangan benar, dan ia mengalami kenikmatan dan kegembiraan dengan pandangan benar sebagai kondisi. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Ini disebut cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.

(PERUMPAMAAN)

18. (1) “Para bhikkhu, misalkan terdapat sebutir labu pahit yang dicampur dengan racun, dan seseorang datang yang menginginkan kehidupan, bukan kematian, yang menginginkan kenikmatan dan menghindari kesakitan, dan mereka memberitahunya: ‘Tuan, labu pahit ini telah dicampur dengan racun. Minumlah jika engkau menginginkan; [316] ketika engkau meminumnya, warna, bau, dan rasanya tidak akan menyenangkan bagimu, dan setelah meminumnya, engkau akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan.’ Kemudian ia meminumnya tanpa merenungkan dan tidak melepaskannya. Ketika ia meminumnya, warna, bau, dan rasanya tidak menyenangkan baginya, dan setelah meminumnya, ia mengalami kematian atau penderitaan mematikan. Serupa dengan ini, Aku katakan, adalah cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.

19. (2) “Misalkan terdapat sebuah cangkir perunggu berisi minuman yang berwarna indah, berbau harum, dan rasa lezat, tetapi telah dicampur dengan racun, dan seseorang datang yang menginginkan kehidupan, bukan kematian, yang menginginkan kenikmatan dan menghindari kesakitan, dan mereka memberitahunya: ‘Tuan, cangkir perunggu ini berisi minuman yang berwarna indah, berbau harum, dan rasa lezat, tetapi telah dicampur dengan racun. Minumlah jika engkau menginginkan; ketika engkau meminumnya, warna, bau, dan rasanya akan menyenangkan bagimu, tetapi setelah meminumnya, engkau akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan.’ Kemudian ia meminumnya tanpa merenungkan dan tidak melepaskannya. Ketika ia meminumnya, warna, bau, dan rasanya menyenangkan baginya, tetapi setelah meminumnya, ia mengalami kematian atau penderitaan mematikan. Serupa dengan ini, Aku katakan, adalah cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.

20 (3) “Misalkan terdapat air kencing yang telah meragi dicampur dengan berbagai obat-obatan, dan seseorang yang menderita penyakit kuning datang, dan mereka memberitahunya: ‘Tuan, air kencing yang telah meragi ini dicampur dengan berbagai obat-obatan. Minumlah jika engkau menginginkan; ketika engkau meminumnya, warna, bau, dan rasanya tidak akan menyenangkan bagimu, tetapi setelah meminumnya, engkau akan sembuh.’ Kemudian ia meminumnya setelah merenungkan, dan tidak melepaskannya. ketika ia meminumnya, warna, bau, dan rasanya tidak menyenangkan baginya, tetapi setelah meminumnya, ia menjadi sembuh. Serupa dengan ini, Aku katakan, adalah cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.

21 (4) “Misalkan terdapat dadih susu, madu, ghee, dan sirop yang dicampur menjadi satu, dan seseorang yang menderita penyakit disentri datang, dan mereka memberitahunya: ‘Tuan, [317] ini adalah dadih susu, madu, ghee, dan sirop yang dicampur menjadi satu. Minumlah jika engkau menginginkan; ketika engkau meminumnya, warna, bau, dan rasanya akan menyenangkan bagimu, dan setelah meminumnya, engkau akan sembuh.’ Kemudian ia meminumnya setelah merenungkan, dan tidak melepaskannya. ketika ia meminumnya, warna, bau, dan rasanya menyenangkan baginya, dan setelah meminumnya, ia menjadi sembuh. Serupa dengan ini, Aku katakan, adalah cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.

22. “Bagaikan, di musim gugur, di bulan terakhir musim hujan, ketika langit cerah dan tanpa awan, matahari terbit di atas bumi menyingkirkan segala kegelapan dari angkasa dengan sinar dan cahayanya, demikian pula, cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan, dengan sinar dan cahayanya menghalau doktrin-doktrin apapun dari para petapa dan brahmana biasa.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:37:28 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #59 on: 25 July 2010, 06:50:17 PM »
47  Vīmaṁsaka Sutta
Penyelidik

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang penyelidik, yang tidak mengetahui bagaimana mengukur pikiran orang lain,  seharusnya menyelidiki pikiran Sang Tathāgata untuk mengetahui apakah Beliau tercerahkan sempurna atau tidak.”

3. “Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari kata-kata ini. Setelah mendengarkan dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, para bhikkhu, dan perhatikanlah pada [318] apa yang akan Kukatakan.”

“Baik, Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

4. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang penyelidik, tidak mengetahui bagaimana mengukur pikiran orang lain, seharusnya menyelidiki pikiran Sang Tathāgata sehubungan dengan dua kondisi, kondisi yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga sebagai berikut: ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata, kondisi apapun yang mengotori yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’  Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi apapun yang mengotori yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga yang dapat ditemukan pada Sang Tathāgata.’

5. “Ketika ia mengetahui hal ini, ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata kondisi campuran apapun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’  Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi campuran apapun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga yang dapat ditemukan pada Sang Tathāgata.’

6. “Ketika ia mengetahui hal ini, ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata kondisi bersih apapun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’ Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Kondisi bersih yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga  terdapat pada Sang Tathāgata.’

7. “Ketika ia mengetahui hal ini, ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia ini telah mencapai kondisi bermanfaat ini sejak waktu yang lama atau apakah ia baru saja mencapainya?’ Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Yang Mulia ini telah mencapai kondisi bermanfaat ini sejak waktu yang lama; ia bukan baru saja mencapainya.’

8. “Ketika ia mengetahui hal ini, ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia ini telah memiliki reputasi dan mencapai kemasyhuran, sehingga bahaya [yang berhubungan dengan reputasi dan kemasyhuran] terdapat padanya?’ Karena, para bhikkhu, selama seorang bhikkhu belum memiliki reputasi dan belum mencapai kemasyhuran, maka bahaya [yang berhubungan dengan reputasi dan kemasyhuran] tidak terdapat padanya; tetapi ketika ia telah memiliki reputasi dan mencapai kemasyhuran, maka bahaya-bahaya itu terdapat padanya.  Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Yang Mulia ini telah memiliki reputasi dan mencapai kemasyhuran, tetapi bahaya [yang berhubungan dengan reputasi dan kemasyhuran]  tidak terdapat padanya.’

9. “Ketika ia mengetahui hal ini, [319] ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia ini terkendali tanpa ketakutan, bukan terkendali oleh ketakutan, dan apakah ia menghindari perbuatan yang melibatkan diri dalam kenikmatan indria karena ia adalah tanpa nafsu melalui hancurnya nafsu?’ Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Yang Mulia ini terkendali tanpa ketakutan, bukan terkendali oleh ketakutan, dan ia menghindari perbuatan yang melibatkan diri dalam kenikmatan indria karena ia adalah tanpa nafsu melalui hancurnya nafsu.’

10 “Sekarang, para bhikkhu, jika orang lain bertanya kepada bhikkhu itu sebagai berikut: ‘Apakah alasan yang mulia dan apakah buktinya sehingga ia mengatakan: “Yang Mulia itu terkendali tanpa ketakutan, bukan terkendali oleh ketakutan, dan ia menghindari perbuatan yang melibatkan diri dalam kenikmatan indria karena ia adalah tanpa nafsu melalui hancurnya nafsu.”?’ – jika menjawab dengan benar, bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia itu bersama dengan Sangha atau sendirian, sementara terdapat beberapa orang yang berperilaku baik dan beberapa orang berperilaku buruk dan beberapa orang mengajarkan kepada suatu kelompok,  sementara beberapa orang di sini mementingkan benda-benda materi dan beberapa orang tidak ternoda oleh benda-benda materi, namun Yang Mulia itu tidak merendahkan siapapun karena hal tersebut.  Dan aku telah mendengar dan mengetahui hal ini dari mulut Sang Bhagavā: ‘Aku terkendali tanpa ketakutan, bukan terkendali oleh ketakutan, dan Aku menghindari perbuatan yang melibatkan diri dalam kenikmatan indria karena Aku adalah tanpa nafsu melalui hancurnya nafsu.’”

11. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, harus ditanya lebih jauh mengenai hal ini sebagai berikut: ‘Apakah terdapat atau tidak terdapat pada Sang Tathāgata kondisi apapun yang mengotori yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’ Sang Tathāgata akan menjawab: ‘Tidak ada kondisi apapun yang mengotori yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga terdapat pada Sang Tathāgata.’

12. “Jika ditanya, ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata kondisi campuran apapun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’S Sang Tathāgata akan menjawab: ‘Tidak ada kondisi campuran apapun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga yang dapat ditemukan pada Sang Tathāgata.’

13. “Jika ditanya, ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata kondisi bersih apapun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’ Sang Tathāgata akan menjawab: ‘Kondisi bersih yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga  terdapat pada Sang Tathāgata. Itu adalah jalanKu dan wilayahKu, namun Aku tidak mengidentifikasikan dengannya.’

14. “Para bhikkhu, seorang siswa seharusnya mendatangi Sang Guru yang mengajarkan demikian untuk mendengarkan Dhamma. Sang Guru mengajarkan kepadanya Dhamma dengan tingkat yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, dengan tingkat yang lebih luhur dan lebih luhur lagi, dan pasangan-pasangan gelap dan cerahnya. Ketika Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu dengan cara ini, melalui pengetahuan langsung terhadap suatu ajaran tertentu di sini dalam Dhamma itu, [320] bhikkhu itu sampai pada kesimpulan mengenai ajaran-ajaran.  Ia berkeyakinan pada Sang Guru sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’

15. “Sekarang jika orang lain bertanya kepada bhikkhu itu sebagai berikut: ‘Apakah alasan yang mulia dan apakah buktinya sehingga ia mengatakan: “Sang Bhagavā telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.”?’ – jika menjawab dengan benar, bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Di sini, teman, aku mendatangi Sang Bhagavā untuk mendengarkan Dhamma. Sang Bhagavā mengajarkan kepadaku Dhamma dengan tingkat yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, dengan tingkat yang lebih luhur dan lebih luhur lagi, dan pasangan-pasangan gelap dan cerahnya. Ketika Sang Guru mengajarkan Dhamma kepadaku dengan cara ini, melalui pengetahuan langsung terhadap suatu ajaran tertentu di sini dalam Dhamma itu, aku sampai pada kesimpulan mengenai ajaran. Aku berkeyakinan pada Sang Guru sebagai berikut: “Sang Bhagavā telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.”

16. “Para bhikkhu, ketika keyakinan siapapun telah ditanam, berakar, dan kokoh dalam Sang Tathāgata melalui alasan-alasan, kata-kata, dan frasa-frasa ini, keyakinannya dikatakan sebagai didukung oleh alasan-alasan, berakar dalam penglihatan, kokoh;  tidak terkalahkan oleh petapa atau brahmana manapun atau dewa atau Māra atau Brahmā atau siapapun di dunia ini. Itulah, para bhikkhu, bagaimana terdapat suatu penyelidikan terhadap Sang Tathāgata sesuai Dhamma, dan itulah bagaimana Sang Bhagavā diselidiki dengan baik sesuai Dhamma.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 03:38:16 PM by ryu »

 

anything