Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Pengembangan Buddhisme => DhammaCitta Press => Topic started by: Indra on 21 July 2010, 06:00:21 PM

Title: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 21 July 2010, 06:00:21 PM
Thread ini berisi sutta-sutta yg terdapat dalam Majjhima Nikaya, Bagian I (Lima puluh khotbah pertama),

Kelompok Khotbah Tentang Akar (Mūlapariyāyavagga)

1  Mūlapariyāya Sutta  - Akar Segala Sesuatu
2  Sabbāsava Sutta  -  Segala noda
3  Dhammadāyāda Sutta  -  Pewaris dalam Dhamma
4  Bhayabherava Sutta  -  Kekhawatiran dan Ketakutan
5  Anangaṇa Sutta  -  Tanpa Noda
6  Ākankheyya Sutta  -  Jika Seorang Bhikkhu Menghendaki
7  Vatthūpama Sutta  -  Perumpamaan Kain
8  Sallekha Sutta  -  Pemurnian
9  Sammādiṭṭhi Sutta  -  Pandangan Benar
10  Satipaṭṭhāna Sutta  -  Landasan-landasan Perhatian

Kelompok Auman Singa (Sīhanādavagga)

11  Cūḷasīhanāda Sutta  -  Khotbah pendek tentang Auman Singa
12  Mahāsīhanāda Sutta  -  Khotbah panjang tentang Auman Singa
13  Mahādukkhakkhandha Sutta  -  Khotbah Panjang tentang Kumpulan Penderitaan
14  Cūḷadukkhakkhandha Sutta  -  Khotbah Pendek tentang Kumpulan Penderitaan
15  Anumāna Sutta  -  Kesimpulan
16  Cetokhila Sutta  -  Belantara dalam Batin
17  Vanapattha Sutta  -  Hutan Belantara
18  Madhupiṇḍika Sutta  -  Bola Madu
19  Dvedhāvitakka Sutta  -  Dua Jenis Pikiran
20  Vitakkasaṇṭhāna Sutta  -  Pelenyapan Pikiran-pikiran Kacau

Kelompok Perumpamaan (Opammavagga)

21  Kakacūpama Sutta  -  Perumpamaan Gergaji
22  Alagaddūpama Sutta  -  Perumpamaan Ular
23  Vammika Sutta  -  Gundukan Sarang Semut
24  Rathavinīta Sutta  -  Barisan Kereta
25  Nivāpa Sutta  -  Umpan
26  Ariyapariyesanā Sutta  -  Pencarian Mulia
27  Cūḷahatthipadopama Sutta  -  Khotbah pendek tentang Perumpamaan Jejak Kaki Gajah
28  Mahāhatthipadopama Sutta  -  Khotbah panjang tentang Perumpamaan Jejak Kaki Gajah
29  Mahāsāropama Sutta  -  Khotbah panjang tentang  Perumpamaan Inti Kayu
30  Cūḷasāropama Sutta  -  Khotbah pendek tentang Perumpamaan Inti Kayu

Kelompok Panjang Berpasangan (Mahāyamakavagga)

31  Cūḷagosinga Sutta  -  Khotbah Pendek di Gosinga
32  Mahāgosinga Sutta  -  Khotbah Panjang di Gosinga
33  Mahāgopālaka Sutta  -  Khotbah Panjang tentang Penggembala Sapi
34  Cūḷagopālaka Sutta  -  Khotbah Pendek tentang Penggembala Sapi
35  Cūḷasaccaka Sutta  -  Khotbah Pendek kepada Saccaka
36  Mahāsaccaka Sutta  -  Khotbah Panjang kepada Saccaka
37  Cūḷataṇhāsankhaya Sutta  -  Khotbah Pendek tentang Hancurnya Keinginan
38  Mahātaṇhāsankhaya Sutta  -  Khotbah Panjang tentang Hancurnya Keinginan
39  Mahā-Assapura Sutta  -  Khotbah Panjang di Assapura
40  Cūḷa-Assapura Sutta  -  Khotbah Pendek di Assapura

Kelompok Pendek Berpasangan (Cūḷayamakavagga)

41  Sāleyyaka Sutta - Brahmana Sālā
42  Verañjaka Sutta  -  Brahmana Verañja
43  Mahāvedalla Sutta  -  Rangkaian panjang Tanya-Jawab
44  Cūḷavedalla Sutta  -  Rangkaian pendek Tanya-Jawab
45  Cūḷadhammasamādāna Sutta  -  Khotbah Pendek tentang Cara-Cara  Melaksanakan Segala    Sesuatu
46  Mahādhammasamādāna Sutta  -  Khotbah Panjang tentang Cara-Cara Melaksanakan Segala Sesuatu
47  Vīmaṁsaka Sutta  -  Penyelidik
48  Kosambiya Sutta  -  Orang-Orang Kosambi
49  Brahmanimantanika Sutta  -  Undangan Brahmā
50  Māratajjanīya Sutta  - Teguran kepada Māra



Thread ini saya lock demi kerapian, jika ada di antara teman-teman yang ingin mendiskusikan atau mengomentari silahkan di http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17307.0.html (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17307.0.html)

























Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 21 July 2010, 06:25:57 PM
1  Mūlapariyāya Sutta
Akar Segala Sesuatu



[1] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Ukkaṭṭhā di Hutan Subhaga di bawah pohon sāla besar. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”  – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan sebuah khotbah kepada kalian tentang akar dari segala sesuatu.  Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(ORANG BIASA)

3. “Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terpelajar,  yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, memahami tanah sebagai tanah.  Setelah memahami tanah sebagai tanah, ia menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia menganggap [dirinya] dalam tanah, ia menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam tanah.  Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

4. “Ia memahami air sebagai air. Setelah memahami air sebagai air, ia menganggap [dirinya sebagai] air, ia menganggap [dirinya] dalam air, ia menganggap [dirinya terpisah] dari air, ia menganggap air sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam air. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

5. “Ia memahami api sebagai api. Setelah memahami api sebagai api, ia menganggap [dirinya sebagai] api, ia menganggap [dirinya] dalam api, ia menganggap [dirinya terpisah] dari api, ia menganggap api sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam api. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

6. “Ia memahami udara sebagai udara. Setelah memahami udara sebagai udara, ia menganggap [dirinya sebagai] udara, ia menganggap [dirinya] dalam udara, ia menganggap [dirinya terpisah] dari udara, ia menganggap udara sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam udara. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan. [2]

7. “Ia memahami makhluk-makhluk sebagai makhluk-makhluk.  Setelah memahami makhluk-makhluk sebagai makhluk-makhluk, ia membayangkan makhluk-makhluk, ia menganggap [dirinya] dalam makhluk-makhluk, ia menganggap [dirinya terpisah] dari makhluk-makhluk, ia menganggap makhluk-makhluk sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam makhluk-makhluk. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

8. “Ia memahami dewa-dewa sebagai dewa-dewa.  Setelah memahami dewa-dewa sebagai dewa-dewa, ia membayangkan dewa-dewa, ia menganggap [dirinya] dalam dewa-dewa, ia menganggap [dirinya terpisah] dari dewa-dewa, ia menganggap dewa-dewa sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam dewa-dewa. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

9. “Ia memahami Pajāpati sebagai Pajāpati.  Setelah memahami Pajāpati sebagai Pajāpati, ia membayangkan Pajāpati, ia menganggap [dirinya] dalam Pajāpati, ia menganggap [dirinya terpisah] dari Pajāpati, ia menganggap Pajāpati sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam Pajāpati. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

10. “Ia memahami Brahmā sebagai Brahmā.  Setelah memahami Brahmā sebagai Brahmā, ia membayangkan Brahmā, ia menganggap [dirinya] dalam Brahmā, ia menganggap [dirinya terpisah] dari Brahmā, ia menganggap Brahmā sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam Brahmā. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

11. “Ia memahami para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai para dewa dengan Cahaya Gemerlap.  Setelah memahami para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia membayangkan para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia menganggap [dirinya] dalam para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia menganggap [dirinya terpisah] dari para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia menganggap para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam para dewa dengan Cahaya Gemerlap. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

12. “Ia memahami para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai para dewa dengan Keagungan Gemilang.  Setelah memahami para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia membayangkan para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia menganggap [dirinya] dalam para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia menganggap [dirinya terpisah] dari para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia menganggap para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam para dewa dengan Keagungan Gemilang. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

13. “Ia memahami para dewa dengan Buah Besar sebagai para dewa dengan Buah Besar.  Setelah memahami para dewa dengan Buah Besar sebagai para dewa dengan Buah Besar, ia membayangkan para dewa dengan Buah Besar, ia menganggap [dirinya] dalam para dewa dengan Buah Besar, ia menganggap [dirinya terpisah] dari para dewa dengan Buah Besar, ia menganggap para dewa dengan Buah Besar sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam para dewa dengan Buah Besar. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

14. “Ia memahami raja sebagai raja.  Setelah memahami raja sebagai raja, ia membayangkan raja, ia menganggap [dirinya] dalam raja, ia menganggap [dirinya terpisah] dari raja, ia menganggap raja sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam raja. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

15. “Ia memahami landasan ruang tanpa batas sebagai landasan ruang tanpa batas.  Setelah memahami landasan ruang tanpa batas sebagai landasan ruang tanpa batas,  ia menganggap [dirinya sebagai] landasan ruang tanpa batas, ia menganggap [dirinya] dalam landasan ruang tanpa batas, ia menganggap [dirinya terpisah] dari landasan ruang tanpa batas, ia menganggap landasan ruang tanpa batas sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam landasan ruang tanpa batas. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

16. “Ia memahami landasan kesadaran tanpa batas sebagai landasan kesadaran tanpa batas. Setelah memahami landasan kesadaran tanpa batas sebagai landasan kesadaran tanpa batas,  [3] ia menganggap [dirinya sebagai] landasan kesadaran tanpa batas, ia menganggap [dirinya] dalam landasan kesadaran tanpa batas, ia menganggap [dirinya terpisah] dari landasan kesadaran tanpa batas, ia menganggap landasan kesadaran tanpa batas sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam landasan kesadaran tanpa batas. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

17. “Ia memahami landasan kekosongan sebagai landasan kekosongan. Setelah memahami landasan kekosongan sebagai landasan kekosongan, ia menganggap [dirinya sebagai] landasan kekosongan, ia menganggap [dirinya] dalam landasan kekosongan, ia menganggap [dirinya terpisah] dari landasan kekosongan, ia menganggap landasan kekosongan sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam landasan kekosongan. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

18. “Ia memahami landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sebagai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Setelah memahami landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sebagai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap [dirinya sebagai] landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap [dirinya] dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap [dirinya terpisah] dari landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

19. “Ia memahami yang terlihat sebagai yang terlihat.  Setelah memahami yang terlihat sebagai yang terlihat, ia menganggap [dirinya sebagai] yang terlihat, ia menganggap [dirinya] dalam yang terlihat, ia menganggap [dirinya terpisah] dari yang terlihat, ia menganggap yang terlihat sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam yang terlihat. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

20. “Ia memahami yang terdengar sebagai yang terdengar. Setelah memahami yang terdengar sebagai yang terdengar, ia menganggap [dirinya sebagai] yang terdengar, ia menganggap [dirinya] dalam yang terdengar, ia menganggap [dirinya terpisah] dari yang terdengar, ia menganggap yang terdengar sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam yang terdengar. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

21. “Ia memahami yang tercerap sebagai yang tercerap. Setelah memahami yang tercerap sebagai yang tercerap, ia menganggap [dirinya sebagai] yang tercerap, ia menganggap [dirinya] dalam yang tercerap, ia menganggap [dirinya terpisah] dari yang tercerap, ia menganggap yang tercerap sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam yang tercerap. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

22. “Ia memahami yang dikenali sebagai yang dikenali. Setelah memahami yang dikenali sebagai yang dikenali, ia menganggap [dirinya sebagai] yang dikenali, ia menganggap [dirinya] dalam yang dikenali, ia menganggap [dirinya terpisah] dari yang dikenali, ia menganggap yang dikenali sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam yang dikenali. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

23. “Ia memahami kesatuan sebagai kesatuan.  Setelah memahami kesatuan sebagai kesatuan, ia menganggap [dirinya sebagai] kesatuan, ia menganggap [dirinya] dalam kesatuan, ia menganggap [dirinya terpisah] dari kesatuan, ia menganggap kesatuan sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam kesatuan. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

24. “Ia memahami keberagaman sebagai keberagaman. Setelah memahami keberagaman sebagai keberagaman, ia menganggap [dirinya sebagai] keberagaman, ia menganggap [dirinya] dalam keberagaman, ia menganggap [dirinya terpisah] dari keberagaman, ia menganggap keberagaman sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam keberagaman. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

25. “Ia memahami keseluruhan sebagai keseluruhan.  Setelah memahami keseluruhan sebagai keseluruhan, ia menganggap [dirinya sebagai] keseluruhan, [4] ia menganggap [dirinya] dalam keseluruhan, ia menganggap [dirinya terpisah] dari keseluruhan, ia menganggap keseluruhan sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam keseluruhan. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

26. “Ia memahami Nibbāna sebagai Nibbāna.  Setelah memahami Nibbāna sebagai Nibbāna, ia menganggap [dirinya sebagai] Nibbāna, ia menganggap [dirinya] dalam Nibbāna, ia menganggap [dirinya terpisah] dari Nibbāna, ia menganggap Nibbāna sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam Nibbāna. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

(SISWA DALAM LATIHAN YANG LEBIH TINGGI)

27. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang sedang dalam latihan yang lebih tinggi,  yang pikirannya masih belum mencapai tujuan, dan yang masih bercita-cita untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah.  Setelah mengetahui tanah sebagai tanah, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia seharusnya tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia seharusnya tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Agar ia dapat memahaminya sepenuhnya, Aku katakan.

28-49. “Ia secara langsung mengetahui air sebagai air … Ia secara langsung mengetahui keseluruhan sebagai keseluruhan.

50. “Ia secara langsung mengetahui Nibbāna sebagai Nibbāna. Setelah mengetahui Nibbāna sebagai Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya sebagai] Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya] dalam Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya terpisah] dari Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap Nibbāna sebagai ‘milikku,’ ia seharusnya tidak bersenang dalam Nibbāna. Mengapakah? Agar ia dapat memahaminya sepenuhnya, Aku katakan.

(ARAHANT – I)

51. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant dengan noda-noda telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sesungguhnya, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir,  ia juga secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena ia telah memahami sepenuhnya, Aku katakan.
`
52-74. “Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia telah memahami sepenuhnya, Aku katakan.

(ARAHANT – II)

75. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant … sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir, [5] secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari nafsu melalui hancurnya nafsu.

76-98. “Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari nafsu melalui hancurnya nafsu.

(ARAHANT – III)

99. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant … sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari kebencian melalui hancurnya kebencian.

100-122. “Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari kebencian melalui hancurnya kebencian.

(ARAHANT – IV)

123. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant … sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari kebodohan melalui hancurnya kebodohan

124-146. “Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari kebodohan melalui hancurnya kebodohan.

(TATHĀGATA – I)

147. “Para bhikkhu, Sang Tathāgata juga,  yang sempurna dan tercerahkan sepenuhnya, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, Beliau tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ Beliau tidak bersenang dalam tanah. [6] Mengapakah? Karena Beliau telah memahami sepenuhnya hingga akhir, Aku katakan.

148-170. “Beliau juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena Beliau telah memahami sepenuhnya hingga akhir, Aku katakan.

(TATHĀGATA – II)

171. “Para bhikkhu, Sang Tathāgata juga, yang sempurna dan tercerahkan sepenuhnya, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, Beliau tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ Beliau tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena Beliau telah memahami bahwa kegembiraan adalah akar penderitaan, dan bahwa dengan penjelmaan [sebagai kondisi] maka ada kelahiran, dan bahwa dengan apapun yang terlahir itu, maka ada penuaan dan kematian.  Oleh karena itu, para bhikkhu, melalui kehancuran, peluruhan, pelenyapan, penghentian, dan pelepasan keinginan sepenuhnya, Sang Tathāgata telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tertinggi, Aku katakan.

172-194. “Beliau juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena Beliau telah memahami bahwa kegembiraan adalah akar penderitaan, dan bahwa dengan penjelmaan [sebagai kondisi] maka ada kelahiran, dan bahwa dengan apapun yang terlahir itu, maka ada penuaan dan kematian. Oleh karena itu, para bhikkhu, melalui kehancuran, peluruhan, pelenyapan, penghentian, dan pelepasan keinginan sepenuhnya, Sang Tathāgata telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tertinggi, Aku katakan.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Tetapi para bhikkhu itu tidak bergembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 21 July 2010, 06:27:04 PM
2  Sabbāsava Sutta
Segala noda


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian sebuah khotbah tentang pengendalian segala noda.  [7] Dengarkanlah dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(RINGKASAN)

3. “Para Bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda adalah untuk seorang yang mengetahui dan melihat, bukan untuk seorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat. Yang mengetahui dan melihat apakah? Perhatian bijaksana dan perhatian tidak bijaksana.  Ketika seseorang memperhatikan dengan tidak bijaksana, noda-noda yang belum muncul menjadi muncul dan noda-noda yang telah muncul menjadi bertambah. Ketika seseorang memperhatikan dengan bijaksana, noda-noda yang belum muncul tidak akan muncul dan noda-noda yang telah muncul ditinggalkan.

4. “Para bhikkhu, ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menggunakan. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menahankan. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menghindari. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MELIHAT)

5. “Apakah noda-noda, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan melihat?  Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terpelajar, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, tidak memahami hal-hal apa yang layak diperhatikan dan hal-hal apa yang tidak layak diperhatikan. Oleh karena itu, ia memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan ia tidak memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan.

6. “Apakah hal-hal yang tidak layak untuk diperhatikan yang ia perhatikan? Yaitu hal-hal yang ketika ia memperhatikannya, maka noda-noda keinginan indria yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda keinginan indria yang telah muncul menjadi bertambah, noda-noda penjelmaan yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda penjelmaan yang telah muncul menjadi bertambah, noda-noda kebodohan yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya, dan noda-noda kebodohan yang telah muncul menjadi bertambah. Ini adalah hal-hal yang tidak layak diperhatikan yang ia perhatikan.  Dan apakah hal-hal yang layak untuk diperhatikan yang tidak ia perhatikan? Yaitu hal-hal yang ketika ia memperhatikannya, maka noda-noda keinginan indria yang belum muncul tidak menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda keinginan indria yang telah muncul ditinggalkan, noda-noda penjelmaan yang belum muncul tidak menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda penjelmaan yang telah muncul ditinggalkan, noda-noda kebodohan yang belum muncul tidak menjadi muncul dalam dirinya, dan noda-noda kebodohan yang telah muncul ditinggalkan. Ini adalah hal-hal yang layak diperhatikan yang tidak ia perhatikan. [8] Dengan memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan dengan tidak memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan, maka noda-noda yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda yang telah muncul menjadi bertambah.

7. “Ini adalah bagaimana ia memperhatikan dengan tidak bijaksana: ‘Apakah aku ada di masa lampau? Apakah aku tidak ada di masa lampau? Apakah aku di masa lampau? Bagaimanakah aku di masa lampau? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa lampau? Apakah aku akan ada di masa depan? Apakah aku akan tidak ada di masa depan? Akan menjadi apakah aku di masa depan? Akan bagaimanakah aku di masa depan? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa depan? Atau kalau tidak demikian, ia kebingungan sehubungan dengan masa sekarang sebagai berikut: ‘Apakah aku ada? Apakah aku tidak ada? Apakah aku? Bagaimanakah aku? Dari manakah makhluk ini datang? Kemanakah makhluk ini akan pergi?’

8. “Ketika ia memperhatikan dengan tidak bijaksana seperti ini, satu dari enam pandangan muncul dalam dirinya.  Pandangan ‘ada diri bagiku’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau pandangan ‘tidak ada diri bagiku’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau pandangan ‘aku melihat diri dengan diri’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau pandangan ‘aku melihat bukan-diri dengan diri’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau pandangan ‘aku melihat diri dengan bukan-diri’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau kalau tidak demikian, ia memiliki beberapa pandangan sebagai berikut ini: ‘adalah diriku ini yang berbicara dan merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan baik dan buruk; tetapi diriku ini adalah kekal, tetap ada, abadi, tidak tunduk pada perubahan, dan akan bertahan selamanya.’  Pandangan spekulatif ini, para bhikkhu, disebut rimba pandangan, belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. Terbelenggu oleh belenggu-belenggu pandangan, seorang biasa yang tidak terpelajar tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

9. “Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih baik, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, memahami hal-hal apa yang layak diperhatikan dan hal-hal apa yang tidak layak diperhatikan. Oleh karena itu, [9] ia tidak memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan ia memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan.

10. “Apakah hal-hal yang tidak layak diperhatikan yang tidak ia perhatikan? Yaitu hal-hal yang ketika ia memperhatikannya, noda-noda keinginan indria yang belum muncul menjadi muncul … (seperti §6) … dan noda-noda kebodohan yang telah muncul menjadi bertambah. Ini adalah hal-hal yang tidak layak diperhatikan yang tidak ia perhatikan. Dan apakah hal-hal yang layak diperhatikan yang ia perhatikan? Yaitu hal-hal yang ketika ia memperhatikannya, noda-noda keinginan indria yang belum muncul tidak menjadi muncul … (seperti §6) … dan noda-noda kebodohan yang telah muncul ditinggalkan. Ini adalah hal-hal yang layak diperhatikan yang ia perhatikan. Dengan tidak memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan dengan memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan, noda-noda yang belum muncul tidak menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda yang telah muncul ditinggalkan.

11. “Ia memperhatikan dengan bijaksana: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memperhatikan dengan bijaksana: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia memperhatikan dengan bijaksana: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia memperhatikan dengan bijaksana: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’  Ketika ia memperhatikan dengan bijaksana seperti ini, tiga belenggu ditinggalkan dalam dirinya: pandangan akan diri, keragu-raguan, dan keterikatan pada ritual dan upacara. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MENGENDALIKAN)

12. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan?  Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, berdiam dengan indria mata terkendali. Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang berdiam dengan indria mata tidak terkendali, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang berdiam dengan indria mata terkendali.  Merenungkan dengan bijaksana, ia berdiam dengan indria telinga terkendali … dengan indria hidung terkendali … dengan indria lidah terkendali … dengan indria badan terkendali … dengan indria pikiran terkendali … Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang berdiam dengan indria-indria tidak terkendali, [10] sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang berdiam dengan indria-indria terkendali. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MENGGUNAKAN)

13. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan menggunakan?  Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menggunakan jubah hanya untuk perlindungan dari dingin, untuk perlindungan dari panas, untuk perlindungan dari kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata, dan hanya bertujuan untuk menutupi bagian tubuh yang pribadi.

14. “Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan dana makanan bukan untuk kenikmatan juga bukan untuk kemabukan juga bukan demi kecantikan  dan kemenarikan fisik, tetapi hanya untuk ketahanan dan kelangsungan badan ini, untuk mengakhiri ketidaknyamanan, dan untuk mendukung kehidupan suci, dengan pertimbangan: ‘Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan sebelumnya tanpa memunculkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan dapat hidup dengan nyaman.’

15. “Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan tempat bernaung hanya untuk perlindungan dari dingin, untuk perlindungan dari panas, untuk perlindungan dari kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata, dan hanya bertujuan untuk menangkis bahaya iklim dan untuk menikmati latihan.

16. “Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan obat-obatan hanya untuk perlindungan dari penyakit yang telah muncul dan demi kesehatan

17. “Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang tidak menggunakan benda-benda kebutuhan seperti demikian, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang menggunakannya seperti demikian. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menggunakan.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MENAHANKAN)

18. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan menahankan? Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menahankan dingin dan panas, lapar dan haus, kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata; ia menahankan kata-kata kasar dan tidak ramah dan perasaan jasmani yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, tidak menyenangkan, menyusahkan, dan mengancam kehidupan yang timbul. Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang tidak menahankan hal-hal demikian, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang menahankan hal-hal demikian. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menahankan.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MENGHINDARI)

19. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan menghindari? Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menghindari gajah liar, kuda liar, sapi liar, anjing liar, ular, tunggul pohon, [11] semak berduri, jurang, ngarai, lubang kakus, saluran pembuangan. Merenungkan dengan bijaksana, ia menghindari duduk di tempat yang tidak sesuai, menghindari bepergian ke tempat yang tidak sesuai,  dan menghindari bergaul dengan teman-teman yang tidak baik, karena jika ia melakukan hal itu maka teman-teman bijaksana dalam kehidupan suci akan mencurigainya berperilaku buruk. Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang tidak menghindari hal-hal demikian, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang menghindari hal-hal demikian. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menghindari.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MELENYAPKAN)

20. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan? Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, tidak mentolerir pikiran keinginan indria yang muncul; ia meninggalkannya, melenyapkannya, mengusirnya, dan membasminya. Ia tidak mentolerir pikiran berniat buruk yang muncul … Ia tidak mentolerir pikiran kejam yang muncul … Ia tidak mentolerir kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat; ia meninggalkannya, melenyapkannya, mengusirnya, dan membasminya.  Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang tidak melenyapkan pikiran-pikiran ini, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang melenyapkannya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MENGEMBANGKAN)

21. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan? Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, mengembangkan faktor pencerahan perhatian, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan. Ia mengembangkan faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi … faktor pencerahan kegigihan … faktor pencerahan kegembiraan … faktor pencerahan ketenangan … faktor pencerahan konsentrasi … faktor pencerahan keseimbangan, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan.  Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang tidak mengembangkan faktor-faktor pencerahan ini, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang mengembangkannya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan.

(KESIMPULAN)

22. “Para bhikkhu, ketika bagi seorang bhikkhu noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat telah ditinggalkan dengan melihat, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan telah ditinggalkan dengan mengendalikan, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menggunakan telah ditinggalkan dengan menggunakan, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menahankan telah ditinggalkan dengan menahankan, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menghindari [12] telah ditinggalkan dengan menghindari, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan telah ditinggalkan dengan melenyapkan, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan telah ditinggalkan dengan mengembangkan – maka ia disebut seorang bhikkhu yang berdiam dengan terkendali oleh pengendalian segala noda. Ia telah memutuskan keinginan, menghancurkan belenggu-belenggu, dan dengan sepenuhnya menembus keangkuhan ia telah mengakhiri penderitaan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 21 July 2010, 06:28:13 PM
3  Dhammadāyāda Sutta
Pewaris dalam Dhamma

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”  – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir: ‘Bagaimanakah agar para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi?’ Jika kalian menjadi pewarisKu dalam benda-benda materi, bukan menjadi pemwarisKu dalam Dhamma, maka kalian akan dicela sebagai berikut: ‘para siswa Sang Guru hidup sebagai pewarisNya dalam benda-benda materi, bukan sebagai pewaris dalam Dhamma’; dan Aku akan dicela sebagai berikut: ‘para siswa Sang Guru hidup sebagai pewarisNya dalam benda-benda materi, bukan sebagai pewarisNya dalam Dhamma.’

“Jika kalian menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi, maka kalian tidak akan dicela [karena akan dikatakan]: ‘Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewarisNya dalam Dhamma, bukan sebagai pewarisNya dalam benda-benda materi’; dan Aku tidak akan dicela [karena akan dikatakan]: ‘Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewarisNya dalam Dhamma, bukan sebagai pewarisNya dalam benda-benda materi.’ Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir: ‘Bagaimanakah agar para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi?’

3. “Sekarang, para bhikkhu, misalkan aku telah makan, menolak makanan tambahan, sudah kenyang, selesai, sudah cukup, telah memakan apa yang Kubutuhkan, dan ada makanan tersisa dan akan dibuang. Kemudian dua orang bhikkhu tiba [13] lapar dan lemah, dan Aku berkata kepada mereka: ‘Para bhikkhu, aku telah makan … telah memakan apa yang Kubutuhkan, tetapi masih ada makanan tersisa dan akan dibuang. Makanlah jika kalian menginginkan; jika kalian tidak memakannya maka Aku akan membuangnya ke mana tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air di mana tidak ada kehidupan.’ Kemudian seorang bhikkhu berpikir: ‘Sang Bhagavā telah makan … telah memakan apa yang Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan dibuang; jika kami tidak memakannya maka Sang Bhagavā akan membuangnya … Tetapi hal ini telah dikatakan oleh Sang Bhagavā: “Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi.” Sekarang, makanan ini adalah salah satu benda materi. Bagaimana jika seandainya tanpa memakan makanan ini aku melewatkan malam dan hari ini dalam keadaan lapar dan lemah.’  Dan tanpa memakan makanan itu ia melewatkan malam dan hari itu dalam keadaan lapar dan lemah. Kemudian bhikkhu ke dua berpikir: ‘Sang Bhagavā telah makan … telah memakan apa yang Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan dibuang … Bagaimana jika seandainya aku memakan makanan ini dan melewatkan malam dan hari ini tanpa merasa lapar dan lemah. Dan setelah memakan makanan itu ia melewatkan malam dan hari itu tanpa  merasa lapar dan lemah. Sekarang walaupun bhikkhu itu dengan memakan makanan itu melewatkan malam dan hari itu tanpa merasa lapar dan lemah, namun bhikkhu pertama lebih terhormat dan dipuji olehKu. Mengapakah? Karena hal itu dalam waktu lama akan berdampak pada keinginannya yang sedikit, kepuasan, pemurnian, kemudahan dalam disokong, dan membangkitkan kegigihannya.  Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir: ‘Bagaimanakah agar para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi?’”

4. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal tersebut, Yang Sempurna bangkit dari dudukNya dan masuk ke kediamanNya. Segera setelah Beliau pergi, Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu.” – “Teman,” mereka menjawab. [14] Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

5. “Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Dan dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan?”

“Sesungguhnya, teman, kami datang dari jauh untuk mempelajari makna pernyataan ini dari Yang Mulia Sāriputta. Baik sekali jika Yang Mulia Sāriputta sudi menjelaskan makna pernyataan ini. Setelah mendengarkannya darinya para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka, teman-teman, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan kukatakan.”

“Baik, Teman,” para bhikkhu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

6. “Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Di sini para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan; mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru beritahukan kepada mereka untuk ditinggalkan; mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan.

“Dalam hal ini para bhikkhu senior dicela untuk tiga alasan.  Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka tidak berlatih dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan pertama ini. Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dicela untuk alasan ke dua ini. Mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu senior dicela untuk tiga alasan ini.

“Dalam hal ini para bhikkhu menengah dicela untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka tidak berlatih dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan pertama ini. Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dicela untuk alasan ke dua ini. Mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu menengah dicela untuk tiga alasan ini.

“Dalam hal ini para bhikkhu junior dicela untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka tidak berlatih dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan pertama ini. Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dicela untuk alasan ke dua ini. Mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu junior dicela untuk tiga alasan ini.

“Adalah dalam cara ini para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan.

7. “Dalam cara bagaimanakah, teman-teman, para siswa Sang Guru yang hidup terasing [15] berlatih dalam keterasingan? Di sini para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan; mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan; mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai, mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.

“Dalam hal ini para bhikkhu senior dipuji untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka berlatih dalam keterasingan: mereka dipuji untuk alasan pertama ini. Mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dipuji untuk alasan ke dua ini. Mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai; mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.: mereka dipuji untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu senior dipuji untuk tiga alasan ini.

“Dalam hal ini para bhikkhu menengah dipuji untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka berlatih dalam keterasingan: mereka dipuji untuk alasan pertama ini. Mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dipuji untuk alasan ke dua ini. Mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai; mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.: mereka dipuji untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu menengah dipuji untuk tiga alasan ini.

“Dalam hal ini para bhikkhu junior dipuji untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka berlatih dalam keterasingan: mereka dipuji untuk alasan pertama ini. Mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dipuji untuk alasan ke dua ini. Mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai; mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.: mereka dipuji untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu junior dipuji untuk tiga alasan ini.

“Dalam cara inilah para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan.

8. “Teman-teman, kejahatan di sini adalah keserakahan dan kebencian.  Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan keserakahan dan kebencian, menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Dan apakah Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.

9-15. “Kejahatan di sini adalah kemarahan dan kekesalan … sikap meremehkan dan congkak … iri hati dan ketamakan … kecurangan dan penipuan … sifat keras kepala [16]  dan persaingan … keangkuhan dan kesombongan … kepongahan dan kelalaian. Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan kepongahan dan kelalaian, menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Dan apakah Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 21 July 2010, 06:30:04 PM
4  Bhayabherava Sutta
Kekhawatiran dan Ketakutan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian Brahmana Jāṇussoṇi  mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Guru Gotama, ketika para anggota keluarga meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah karena berkeyakinan pada Guru Gotama, apakah mereka mereka menjadikan Guru Gotama sebagai pemimpin mereka, penolong mereka, dan penuntun mereka? Dan apakah orang-orang ini mengikuti teladan Guru Gotama?”

“Begitulah, Brahmana, begitulah. ketika para anggota keluarga meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah karena berkeyakinan padaKu, mereka mereka menjadikan Aku sebagai pemimpin mereka, penolong mereka, dan penuntun mereka. Dan orang-orang ini mengikuti teladanKu.”

“Tetapi, Guru Gotama, tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan adalah sulit ditahankan, keterasingan adalah sulit dilatih, dan adalah sulit untuk menikmati kesunyian. Seseorang akan berpikir hutan pasti akan merampas pikiran seorang bhikkhu, jika ia tidak memiliki konsentrasi.” [17]

“Begitulah, Brahmana, begitulah. tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan adalah sulit ditahankan, keterasingan adalah sulit dilatih, dan adalah sulit untuk menikmati kesunyian. Seseorang akan berpikir hutan pasti akan merampas pikiran seorang bhikkhu, jika ia tidak memiliki konsentrasi.

3. “Sebelum pencerahanKu, Sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku juga mempertimbangkan demikian: “Tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan adalah sulit ditahankan … hutan pasti akan merampas pikiran seorang bhikkhu, jika ia tidak memiliki konsentrasi.”

4. “Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ketika para petapa atau brahmana yang tidak murni dalam perbuatan jasmani mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan, maka karena cacat dari ketidak-murnian perbuatan jasmani mereka, para petapa dan brahmana yang baik ini akan memunculkan kekhawatiran dan ketakutan yang tidak bermanfaat. Tetapi aku tidak mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan dengan perbuatan jasmani yang tidak murni. Aku murni dalam hal perbuatan jasmani. Aku mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan sebagai satu di antara para mulia dengan perbuatan jasmani yang murni.’ Melihat kemurnian perbuatan jasmani ini dalam diriKu, Aku menemukan penghiburan besar dalam menetap di dalam hutan.

5-7. “Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ketika para petapa atau brahmana yang tidak murni dalam ucapan … tidak murni dalam pikiran … tidak murni dalam penghidupan mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan …mereka memunculkan kekhawatiran dan ketakutan yang tidak bermanfaat. Tetapi … Aku murni dalam hal penghidupan. Aku mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan sebagai satu di antara para mulia dengan penghidupan yang murni.’ Melihat kemurnian penghidupan ini dalam diriKu, Aku menemukan penghiburan besar dalam menetap di dalam hutan.

8. “Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ketika para petapa atau brahmana yang tamak dan penuh nafsu … Aku tidak tamak …’ [18]

9. “’ … dengan pikiran berniat buruk dan kehendak membenci … Aku memiliki pikiran cinta kasih …’

10. “’ … dikuasai oleh kelambanan dan ketumpulan … Aku adalah tanpa kelambanan dan ketumpulan …’

11. “’ … dikuasai oleh kegelisahan dan pikiran yang tidak tenang … Aku memiliki pikiran yang tenang …’

12. “’ … kebimbangan dan keraguan … Aku telah melampaui keraguan …’

13. “’[19]… memuji diri sendiri dan menghina orang lain … Aku tidak memuji diri sendiri dan tidak menghina orang lain …’

14. “’ … tunduk pada ketakutan dan teror … Aku bebas dari kegentaran …’

15. “’ … menginginkan perolehan, penghormatan, dan kemasyhuran … Aku memiliki sedikit keinginan …’

16. “’ … malas dan kekurangan kegigihan … Aku bersemangat …’

17. “’ … [20] tanpa perhatian dan tidak waspada … Aku kokoh dalam perhatian …’

18. “’ … tidak terkonsentrasi dan dengan pikiran mengembara … Aku memiliki konsentrasi …’

19. “Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ketika para petapa atau brahmana yang tanpa kebijaksanaan, bodoh dengan air liur menetes, mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan, maka karena cacat dari ketiadaan kebijaksanaan, bodoh dengan air liur menetes, para petapa dan brahmana yang baik ini akan memunculkan kekhawatiran dan ketakutan yang tidak bermanfaat. Tetapi aku tidak mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan dengan ke-tiada-an kebijaksanaan, tidak bodoh dengan air liur menetes. Aku memiliki kebijaksanaan.  Aku mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan sebagai satu di antara para mulia yang memiliki kebijaksanaan.’ Melihat kebijaksanaan ini dalam diriKu, Aku menemukan penghiburan besar dalam menetap di dalam hutan.

20. “Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ada malam-malam yang secara khusus sangat baik yaitu tanggal empat belas, tanggal lima belas, dan tanggal delapan setiap setengah bulan.  Sekarang bagaimana jika, pada malam-malam itu, Aku berdiam di tempat-tempat keramat, menakutkan seperti altar-altar di kebun, altar-altar di hutan, dan altar-altar pohon? Mungkin Aku akan menemui kekhawatiran dan ketakutan itu.’ Dan kemudian, pada malam-malam yang sangat baik itu yaitu tanggal empat belas, tanggal lima belas, dan tanggal delapan setiap setengah bulan, Aku berdiam di tempat-tempat keramat, menakutkan seperti altar-altar di kebun, altar-altar dihutan, dan altar-altar pohon. Dan sewaktu Aku berdiam di sana, seekor binatang buas akan muncul, atau seekor burung merak [21] akan mematahkan dahan, atau angin meniup dedaunan sehingga menimbulkan bunyi mendesau. Aku berpikir: ‘Bagaimana sekarang jika kekhawatiran dan ketakutan itu datang?’ Aku berpikir: ‘Mengapa Aku berdiam dengan selalu mengharapkan kekhawatiran dan ketakutan? Bagaimana jika Aku menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu sambil mempertahankan postur yang sama dengan ketika ia mendatangiKu?’

“Sewaktu Aku berjalan, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berdiri atau duduk atau berbaring hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu. Ketika Aku berdiri, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berjalan atau duduk atau berbaring hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu. Ketika Aku duduk, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berjalan atau berdiri atau berbaring hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu. Ketika Aku berbaring, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berjalan atau berdiri atau duduk hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu.

21. “Terdapat, Brahmana, beberapa petapa dan brahmana yang melihat siang pada malam hari dan melihat malam pada siang hari. Aku katakan bahwa di pihak mereka ini adalah kediaman dalam khayalan. Tetapi aku melihat malam pada malam hari dan siang pada siang hari. Sebenarnya, jika dikatakan sehubungan dengan seseorang: ‘Makhluk yang tidak tunduk pada khayalan telah muncul di dunia demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia,’ sesungguhnya adalah sehubungan dengan Aku ucapan benar itu diucapkan.

22. “Kegigihan tanpa lelah muncul dalam diriKu dan perhatian tanpa kendur ditegakkan, tubuhku tenang dan tidak terganggu, pikiranku terkonsentrasi dan terpusat.

23. “Dengan cukup terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.

24. “Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran [22] tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi.

25. “Dengan meluruhnya kegembiraan, Aku berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan waspada penuh, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang sehubungan dengannya para mulia mengatakan: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’

26. “Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

27. “Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan ingatan kehidupan lampau.  Aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penyusutan-dunia, banyak kappa pengembangan-dunia, banyak kappa penyusutan-dan-pengembangan-dunia: ‘Di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di tempat lain; dan di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di sini.’ Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya Aku mengingat banyak kehidupan lampau.

28. “Ini adalah pengetahuan sejati pertama yang dicapai olehKu pada jaga pertama malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh.

29. “Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk.  Dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka: ‘Makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, pencela para mulia, keliru dalam pandangan, memberikan dampak pandangan salah dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam rendah, dalam kehancuran, bahkan di dalam neraka; tetapi makhluk-makhluk ini, yang berperilaku baik dalam jasmani, [23] ucapan, dan pikiran, bukan pencela para mulia, berpandangan benar, memberikan dampak pandangan benar dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam yang baik, bahkan di alam surga.’ Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka.

30. “Ini adalah pengetahuan sejati ke dua yang dicapai olehKu pada jaga ke dua malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh.

31. “Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

32. “Ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, pikiranKu terbebas dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘terbebaskan.’  Aku secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

33. “Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang dicapai olehKu pada jaga ke tiga malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh.

34. “Sekarang, Brahmana, engkau mungkin berpikir: ‘Mungkin Petapa Gotama belum terbebas dari nafsu, kebencian, dan kebodohan bahkan sampai hari ini, sehingga Beliau masih mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan.’ Tetapi engkau jangan berpikir demikian. Adalah karena Aku melihat dua manfaat maka Aku masih mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan: Aku melihat kediaman yang menyenangkan bagi diriKu di sini dan saat ini, dan Aku berbelas kasih pada generasi mendatang.”

35. “Tentu saja, adalah karena Guru Gotama adalah seorang yang sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sepenuhnya, maka Beliau berbelas kasihan pada generasi mendatang. [24] Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan pada mereka yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang pengikut awam yang telah menerima perlindungan dari Beliau seumur hidupku.”

Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 21 July 2010, 06:33:35 PM
5  Anangaṇa Sutta
Tanpa Noda

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu.” – “Teman,” mereka menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

2. “Teman-teman, terdapat empat jenis orang yang ada di dunia ini.  Apakah empat ini? Di sini beberapa orang dengan noda tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku memiliki noda dalam diriku.’ Di sini beberapa orang dengan noda memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku memiliki noda dalam diriku.’ Di sini beberapa orang tanpa noda tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku tidak memiliki noda dalam diriku.’ Di sini beberapa orang tanpa noda memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku tidak memiliki noda dalam diriku.’

“Di sini, orang dengan noda yang tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku memiliki noda dalam diriku’ disebut yang hina di antara kedua jenis orang dengan noda. Di sini, orang dengan noda yang memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku memiliki noda dalam diriku’ disebut yang mulia di antara kedua jenis orang dengan noda ini.

“Di sini, orang tanpa noda [25] yang tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku tidak memiliki noda’ disebut yang hina di antara kedua jenis orang tanpa noda. Di sini, orang tanpa noda yang memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku tidak memiliki noda’ disebut yang mulia di antara kedua jenis orang tanpa noda ini.

3. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahā Moggallāna bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sahabat Sāriputta, apakah penyebab dan alasan mengapa, di antara kedua jenis orang dengan noda ini, satu disebut orang hina dan satu disebut orang mulia? Apakah penyebab dan alasan mengapa, di antara kedua jenis orang tanpa noda ini, satu disebut orang hina dan satu disebut orang mulia?

4. “Di sini, Sahabat, ketika seorang dengan noda tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan bahwa ia tidak akan membangkitkan semangat, tidak berusaha, atau tidak memicu kegigihan untuk meninggalkan noda itu, dan bahwa ia akan mati dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan, dengan noda, dengan pikiran yang kotor. Misalkan sebuah piring perunggu dibawa dari sebuah toko atau dari bengkel pandai besi dan piring itu berdebu dan ternoda, dan pemiliknya tidak menggunakannya juga tidak membersihkannya melainkan meletakkannya di sudut yang berdebu. Apakah piring perunggu itu akan semakin kotor dan ternoda?” – “Benar, Sahabat.” – “Demikian pula, Sahabat, ketika seorang dengan noda tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: Aku memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan … bahwa ia akan mati … dengan pikiran yang kotor.

5. “Di sini, Sahabat, ketika seorang dengan noda memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan bahwa ia akan membangkitkan semangat, berusaha, dan memicu kegigihan untuk meninggalkan noda itu, dan bahwa ia akan mati tanpa nafsu, kebencian, dan kebodohan, tanpa noda, dengan pikiran yang bersih. Misalkan sebuah piring perunggu dibawa dari sebuah toko atau dari bengkel pandai besi dan piring itu berdebu dan ternoda, dan pemiliknya telah menggunakannya dan membersihkannya dan tidak meletakkannya di sudut yang berdebu. [26] Apakah piring perunggu itu akan semakin bersih dan cemerlang?” – “Benar, Sahabat.” – “Demikian pula, Sahabat, ketika seorang dengan noda memahami sebagaimana adanya bahwa: Aku memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan … bahwa ia akan mati … dengan pikiran yang bersih.
 
6. “Di sini, Sahabat, ketika seorang yang tanpa noda tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku tidak memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan bahwa ia akan memperhatikan gambaran keindahan,  bahwa dengan melakukan demikian maka nafsu akan menjangkiti pikirannya, dan bahwa ia akan mati dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan, dengan noda, dengan pikiran yang kotor. Misalkan sebuah piring perunggu dibawa dari sebuah toko atau dari bengkel pandai besi dan piring itu bersih dan cemerlang, dan pemiliknya tidak menggunakannya juga tidak membersihkannya melainkan meletakkannya di sudut yang berdebu. Apakah piring perunggu itu akan semakin kotor dan ternoda?” – “Benar, Sahabat.” – “Demikian pula, Sahabat, ketika seorang yang tanpa noda tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: Aku tidak memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan bahwa ia akan mati … dengan pikiran yang kotor.

7. “Di sini, Sahabat, ketika seorang yang tanpa noda memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku tidak memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan bahwa ia tidak akan memperhatikan gambaran keindahan, bahwa dengan tidak melakukan demikian maka nafsu tidak akan menjangkiti pikirannya, dan bahwa ia akan mati dengan keadaan tanpa nafsu, kebencian, dan kebodohan, tanpa noda, dengan pikiran yang bersih. Misalkan sebuah piring perunggu dibawa dari sebuah toko atau dari bengkel pandai besi dan piring itu bersih dan cemerlang, dan pemiliknya menggunakannya dan membersihkannya dan tidak meletakkannya di sudut yang berdebu. Apakah piring perunggu itu akan semakin bersih dan cemerlang?” – “Benar, Sahabat.” – “Demikian pula, Sahabat, ketika seorang yang tanpa noda memahami sebagaimana adanya bahwa: Aku tidak memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan … bahwa ia akan mati … dengan pikiran yang bersih. [27]

8. “Ini adalah penyebab dan alasan mengapa, di antara kedua jenis orang dengan noda ini, satu disebut orang hina dan satu disebut orang mulia. Ini adalah penyebab dan alasan mengapa, di antara kedua jenis orang tanpa noda ini, satu disebut orang hina dan satu disebut orang mulia.

9. “’Noda, noda,’ dikatakan, Sahabat, tetapi istilah untuk apakah kata ‘noda’ ini? ‘Noda,’ Sahabat, adalah istilah untuk bidang keinginan buruk yang tidak bermanfaat.

10. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Jika aku melakukan pelanggaran, semoga para bhikkhu tidak mengetahui bahwa aku telah melakukan pelanggaran.’ Dan adalah mungkin bahwa para bhikkhu ternyata mengetahui bahwa bhikkhu itu melakukan pelanggaran. Sehingga ia menjadi marah dan tidak senang: ‘Para bhikkhu mengetahui bahwa aku telah melakukan pelanggaran.’ Kemarahan dan ketidak-senangan itu keduanya adalah noda.

11. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Jika aku melakukan pelanggaran. Para bhikkhu sebaiknya menegurku secara pribadi, bukan di tengah-tengah Saṅgha.’ Dan adalah mungkin bahwa para bhikkhu menegur bhikkhu itu di tengah-tengah Saṅgha, dan bukan secara pribadi. Sehingga ia menjadi marah dan tidak senang: ‘Para bhikkhu menegurku di tengah-tengah Saṅgha, bukan secara pribadi’ Kemarahan dan ketidak-senangan itu keduanya adalah noda.

12. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Aku melakukan pelanggaran. Seseorang yang setara denganku yang seharusnya menegurku, bukan seseorang yang tidak setara denganku.’ Dan adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang tidak setara dengannya menegurnya, bukan seseorang yang setara dengannya. Sehingga ia menjadi marah dan tidak senang: ‘Seseorang yang tidak setara denganku menegurku, bukan seseorang yang setara denganku.’ Kemarahan dan ketidak-senangan itu keduanya adalah noda.

13. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu dengan mengajukan serangkaian pertanyaan dariku, bukan dari bhikkhu lain!’ Dan adalah mungkin bahwa Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu dengan mengajukan serangkaian pertanyaan dari bhikkhu lain, [28] bukan dari bhikkhu itu. Sehingga ia menjadi marah dan tidak senang: ‘Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu dengan mengajukan serangkaian pertanyaan dari bhikkhu lain, bukan dariku.’ Kemarahan dan ketidak-senangan itu keduanya adalah noda.

14. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga para bhikkhu memasuki desa untuk mengumpulkan dana makanan dengan menempatkanku di barisan paling depan, bukan bhikkhu lain!’  Dan adalah mungkin bahwa para bhikkhu memasuki desa untuk mengumpulkan dana makanan dengan menempatkan bhikkhu lain di barisan paling depan, bukan bhikkhu itu. Sehingga ia menjadi marah dan tidak senang: ‘para bhikkhu memasuki desa untuk mengumpulkan dana makanan dengan menempatkan bhikkhu lain di barisan paling depan, bukan aku.’ Kemarahan dan ketidak-senangan itu keduanya adalah noda.

15. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga aku memperoleh tempat duduk terbaik, air terbaik, makanan terbaik di ruang makan, bukan bhikkhu lain!’ Dan adalah mungkin bahwa bhikkhu lain memperoleh tempat duduk terbaik …

16. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga aku yang memberikan berkah di ruang makan setelah makan, bukan bhikkhu lain!’ Dan adalah mungkin bahwa bhikkhu lain yang memberikan berkah …

17-20. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga aku yang mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu … semoga aku yang mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhunī … umat awam laki-laki … umat awam perempuan yang berkunjung ke vihara, bukan bhikkhu lain!’ Dan adalah mungkin bahwa bhikkhu lain yang mengajarkan Dhamma [29] …

21-24. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga para bhikkhu … para bhikkhunī … umat awam laki-laki … umat awam perempuan … menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan aku, bukan bhikkhu lain!’ Dan adalah mungkin bahwa mereka menghormati … bhikkhu lain.

25-28. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga Aku adalah orang yang menerima jubah yang baik, [30] … makanan yang baik … tempat tinggal yang baik … obat-obatan yang baik … bukan bhikkhu lain!’ Dan adalah mungkin bahwa bhikkhu lain yang menerima obat-obatan yang baik, bukan bhikkhu itu. Sehingga ia menjadi marah dan tidak senang: ‘Bhikkhu lain yang menerima obat-obatan yang baik, bukan aku.’ Kemarahan dan ketidak-senangan itu keduanya adalah noda.

“‘Noda,’ Sahabat, adalah istilah untuk bidang keinginan buruk yang tidak bermanfaat.

29. “Jika bidang keinginan buruk yang tidak bermanfaat ini terlihat dan terdengar sebagai belum ditinggalkan dalam diri seorang bhikkhu, maka apakah ia adalah seorang penghuni hutan, sering bepergian ke tempat-tempat terpencil, seorang yang memakan dana makanan, yang berkunjung dari rumah ke rumah, pemakai jubah dari kain yang dibuang, pemakai jubah kasar,  namun temannya dalam kehidupan suci tetap tidak akan menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakannya. Mengapakah? Karena bidang keinginan buruk yang tidak bermanfaat ini terlihat dan terdengar sebagai belum ditinggalkan dalam diri yang mulia tersebut.

“Misalkan sebuah mangkuk perunggu dibawa dari toko atau dari pengrajin besi dalam keadaan bersih dan cemerlang; dan pemiliknya meletakkan mayat ular atau anjing atau manusia ke dalamnya, dan menutupnya dengan sebuah mangkuk lainnya, berjalan ke pasar; orang-orang yang melihatnya berkata: ‘Apakah yang sedang engkau bawa bagaikan harta berharga?’ kemudian ia membuka penutupnya dan membukanya, mereka melihat ke dalam, dan segera setelah mereka melihatnya mereka menjadi terpengaruh oleh benda yang memuakkan, menjijikkan yang bahkan mereka yang sedang merasa lapar menjadi tidak ingin makan, apalagi yang sudah kenyang.

“Demikian pula, jika bidang keinginan buruk yang tidak bermanfaat ini terlihat dan terdengar sebagai belum ditinggalkan dalam diri seorang bhikkhu, maka apakah ia adalah seorang penghuni hutan … [31] … belum ditinggalkan dalam diri yang mulia tersebut.

30. “Jika bidang keinginan buruk dan tidak bermanfaat ini terlihat dan terdengar sebagai telah ditinggalkan dalam diri seorang bhikkhu, maka apakah ia adalah seorang penghuni desa, penerima undangan, pemakai jubah yang dipersembahkan oleh perumah tangga,  namun temannya dalam kehidupan suci tetap akan menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakannya. Mengapakah? Karena bidang keinginan buruk yang tidak bermanfaat ini terlihat dan terdengar sebagai telah ditinggalkan dalam diri yang mulia tersebut.

“Misalkan sebuah mangkuk perunggu dibawa dari toko atau dari pengrajin besi dalam keadaan bersih dan cemerlang; dan pemiliknya meletakkan nasi yang bersih dan berbagai sop dan kuah ke dalamnya, dan menutupnya dengan sebuah mangkuk lainnya, berjalan ke pasar; orang-orang yang melihatnya berkata: ‘Apakah yang sedang engkau bawa bagaikan harta berharga?’ kemudian ia membuka penutupnya dan membukanya, mereka melihat ke dalam, dan segera setelah mereka melihatnya mereka menjadi terpengaruh oleh rasa suka, berselera, dan menikmati yang bahkan mereka yang sudah merasa kenyang menjadi ingin makan, apalagi yang masih lapar.

“Demikian pula, Sahabat, jika bidang keinginan buruk yang tidak bermanfaat ini terlihat dan terdengar sebagai telah ditinggalkan dalam diri seorang bhikkhu, maka apakah ia adalah seorang penghuni desa … telah ditinggalkan dalam diri yang mulia tersebut.

31. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahā Moggallāna berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sebuah perumpamaan terpikirkan olehku, Sahabat Sāriputta.” – “Katakanlah, Sahabat Moggallāna.” – “Pada suatu ketika, Sahabat, aku sedang menetap di Bukit Benteng di Rājagaha. Pada suatu pagi, Aku merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarku, Aku memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan. Pada saat itu Samīti si putera pembuat kereta sedang menghaluskan bagian lingkaran roda dan Ājīvaka Paṇḍuputta, putera pembuat kereta sebelumnya, berdiri di dekat sana.  kemudian pemikiran ini muncul dalam pikiran Ājīvaka Paṇḍuputta: ‘Oh semoga Samīti si putera pembuat kereta ini dapat menghaluskan lengkungan ini, pilinan ini, kerusakan ini, dari lingkaran roda ini sehingga tanpa lengkungan, pilinan, atau cacat, dan menjadi hanya terdiri dari inti kayu yang murni saja.’ [32] Dan persis ketika pemikiran itu terlintas dalam pikirannya, pada saat yang sama Samitī si putera pembuat kereta menghaluskan lengkungan itu, pilinan itu, cacat itu, dari lingkaran roda itu. Kemudian Ājīvaka Paṇḍuputta, putera pembuat kereta sebelumnya, gembira dan ia mengungkapkan kegembiraannya: ‘Ia menghaluskannya seolah-olah ia mengetahui pikiranku dengan pikirannya!’

32. “Demikian pula, Sahabat, ada orang-orang yang tidak berkeyakinan dan telah meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah bukan karena keyakinan melainkan untuk mencari penghidupan, yang curang, pendusta, pengkhianat, angkuh, kosong, pongah, berbicara kasar, berbicara lepas, indria-indria yang tidak terjaga, makan berlebihan, tidak menekuni keawasan, mengabaikan pertapaan, tidak menghargai latihan, hidup mewah, lengah, pemimpin dalam kemunduran, melalaikan keterasingan, malas, kekurangan kegigihan, tidak penuh perhatian, tidak penuh kewaspadaan, tanpa kebijaksanaan, bodoh dengan air liur menetes. Yang Mulia Sāriputta dengan khotbahnya tentang Dhamma menghaluskan cacat-cacat mereka seolah-oleh ia mengetahui pikiranku dengan pikirannya!

“Tetapi terdapat para anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, yang tidak curang, bukan pendusta, bukan pengkhianat, tidak angkuh, tidak kosong, tidak pongah, tidak berbicara kasar, dan tidak berbicara lepas; yang indria-indrianya terjaga, makan secukupnya, menekuni keawasan, mementingkan pertapaan, sangat menghargai latihan, tidak hidup mewah, waspada, tekun menghindari kemunduran, pemimpin dalam keterasingan, bersemangat, teguh, kokoh dalam perhatian, waspada sepenuhnya, terkonsentrasi, dengan pikiran terpusat, memiliki kebijaksanaan, tidak bodoh dengan air liur menetes. Orang-orang ini, setelah mendengarkan khotbah dari Yang Mulia Sāriputta tentang Dhamma, meminumnya dan memakannya, sebagaimana seharusnya, melalui kata dan pikiran. Sungguh baik bahwa ia telah membantu teman-temannya dalam kehidupan suci untuk keluar dari kondisi tidak bermanfaat dan mengokohkan mereka dalam kondisi yang bermanfaat.

33. “Seperti halnya seorang perempuan – atau seorang laki-laki – muda, belia, menyukai hiasan, setelah mencuci kepalanya, setelah menerima kalung bunga teratai, melati, atau mawar, akan mengambilnya dengan kedua tangan dan meletakkannya di kepala, demikian pula terdapat para anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan … tidak bodoh dengan air liur menetes. Orang-orang ini, setelah mendengarkan khotbah dari Yang Mulia Sāriputta tentang Dhamma, meminumnya dan memakannya, sebagaimana seharusnya, melalui kata dan pikiran. Sungguh baik bahwa ia telah membantu teman-temannya dalam kehidupan suci untuk keluar dari kondisi tidak bermanfaat dan mengokohkan mereka dalam kondisi yang bermanfaat.”

Demikianlah kedua orang besar itu saling bergembira mendengarkan kata-kata baik satu sama lain.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 21 July 2010, 06:34:50 PM
6  Ākankheyya Sutta
Jika Seorang Bhikkhu Menghendaki

[33] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, berdiamlah dengan memiliki moralitas, memiliki Pātimokkha, terkendali dengan pengendalian Pātimokkha, sempurna dalam perbuatan dan tempat-tempat yang dikunjungi, dan melihat dengan takut bahkan pada pelanggaran terkecil, berlatih dengan menjalankan aturan-aturan latihan.

3. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku disayangi dan disenangi oleh teman-temanku dalam kehidupan suci, dihormati dan dihargai oleh mereka,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan, menekuni ketenangan pikiran internal, tidak mengabaikan meditasi, memiliki pandangan terang, dan berdiam dalam gubuk-gubuk kosong.

4. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

5. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga pelayanan dari mereka yang mempersembahkan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan kepadaku menghasilkan buah dan manfaat besar bagi mereka,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

6. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Ketika kerabat dan sanak saudaraku yang telah meninggal dunia mengingatku dengan penuh keyakinan dalam pikiran mereka, semoga hal itu menghasilkan buah dan manfaat besar bagi mereka,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

7. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku menjadi penakluk ketidak-puasan dan kenikmatan, dan semoga ketidak-puasan tidak menaklukkan aku; semoga aku berdiam dengan melampaui ketidak-puasan kapanpun munculnya,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

8. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku menjadi penakluk kekhawatiran dan ketakutan, dan semoga kekhawatiran dan ketakutan tidak menaklukkan aku, semoga aku berdiam melampaui kekhawatiran dan ketakutan kapanpun munculnya’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

9. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku menjadi seorang yang mencapai, tanpa kesulitan dan kesusahan, empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan memberikan kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini ,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

10. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku mengalami dengan tubuhku dan berdiam dalam kebebasan yang damai dan tanpa materi, melampaui bentuk-bentuk,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan … [34]

11. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku, dengan hancurnya tiga belenggu, menjadi seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada kesengsaraan, pasti [mencapai kebebasan], menuju pencerahan,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

12. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku, dengan hancurnya tiga belenggu dan dengan melemahkan nafsu, kebencian, dan kebodohan, menjadi seorang yang-kembali-sekali, hanya kembali satu kali ke dunia ini untuk mengakhiri penderitaan,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

13. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku, dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, menjadi yang terlahir kembali secara spontan [di alam murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir, tanpa pernah kembali dari alam itu,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

14. “Jika seorang bhikkhu menghendaki:  ‘Semoga aku mampu mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu menjadi banyak; dari banyak menjadi satu, semoga aku muncul dan lenyap; semoga aku mampu bepergian tanpa terhalangi oleh dinding, menembus tembok, menembus gunung seolah-olah menembus ruang kosong; semoga aku mampu menyelam masuk dan keluar dari tanah seolah-olah di dalam air; semoga aku mampu berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; duduk bersila, semoga aku mampu bepergian di angkasa seperti burung; dengan tanganku semoga aku mampu menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; semoga aku mampu mengerahkan kekuatan jasmani, hingga sejauh alam-Brahma,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

15. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku, dengan unsur telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

16. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku memahami pikiran makhluk-makhluk lain, orang-orang lain, dengan melingkupi pikiran mereka dengan pikiranku. Semoga aku memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai tidak terpengaruh nafsu; semoga aku memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai tidak terpengaruh kebencian; semoga aku memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai tidak terpengaruh kebodohan; semoga aku memahami pikiran yang mengerut sebagai mengerut dan pikiran yang kacau sebagai kacau; semoga aku memahami pikiran luhur sebagai luhur dan pikiran tidak luhur sebagai tidak luhur; semoga aku memahami pikiran yang terbatas sebagai terbatas dan pikiran tidak terbatas sebagai tidak terbatas; semoga aku memahami pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi [35] dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi; semoga aku memahami pikiran yang terbebaskan sebagai terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

17. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku mampu mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 4, §27) … Demikianlah beserta aspek-aspek dan ciri-cirinya semoga aku mengingat banyak kehidupan lampau,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

18. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku, dengan mata dewa yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, semoga aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka: ‘ …(seperti Sutta 4, §29) …,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

19. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku, dengan menembus bagi diriku sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini memasuki dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda, ’ [36] maka ia harus memenuhi aturan-aturan, menekuni ketenangan pikiran internal, tidak mengabaikan meditasi, memiliki pandangan terang, dan berdiam dalam gubuk-gubuk kosong.

20. “Adalah merujuk pada hal ini maka dikatakan: ‘Para bhikkhu, berdiamlah dengan memiliki moralitas, memiliki Pātimokkha, terkendali dengan pengendalian Pātimokkha, sempurna dalam perbuatan dan tempat-tempat yang dikunjungi, dan melihat dengan takut bahkan pada pelanggaran terkecil, berlatih dengan menjalankan aturan-aturan latihan.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengarkan kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 21 July 2010, 06:36:01 PM
7  Vatthūpama Sutta
Perumpamaan Kain

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, misalkan sehelai kain yang kotor dan bernoda, dan seorang pencelup mencelupnya ke dalam pewarna, apakah biru atau kuning atau merah atau merah muda; kain itu akan terlihat dicelup dengan tidak baik dan warnanya tidak murni. Mengapakah? Karena ketidak-murnian kain tersebut. Demikian pula, ketika pikiran kotor, maka alam tujuan yang tidak bahagialah yang dapat diharapkan.  Para bhikkhu, misalkan sehelai kain yang bersih dan cemerlang, dan seorang pencelup mencelupnya ke dalam pewarna, apakah biru atau kuning atau merah atau merah muda; kain itu akan terlihat dicelup dengan baik dan warnanya murni. Mengapakah? Karena kemurnian kain tersebut. Demikian pula, ketika pikiran bersih, maka alam tujuan yang bahagialah yang dapat diharapkan.

3. “Apakah, para bhikkhu, ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran?  Ketamakan dan keserakahan yang tidak baik adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran.  Niat buruk … kemarahan … kekesalan … sikap meremehkan … kecongkakan … iri hati … ketamakan  … menipu …kecurangan … sifat keras kepala … persaingan … keangkuhan … kesombongan … kepongahan … [37] … kelalaian adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran.

4. “Mengetahui bahwa ketamakan dan keserakahan yang tidak baik adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran, maka seorang bhikkhu meninggalkannya.  Mengetahui bahwa niat buruk … kelengahan adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran, maka seorang bhikkhu meninggalkannya.

5. “Ketika seorang bhikkhu telah mengetahui bahwa ketamakan dan keserakahan yang tidak baik adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran dan telah meninggalkannya; Ketika seorang bhikkhu telah mengetahui bahwa niat buruk … kelengahan adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran dan telah meninggalkannya, ia memperoleh keyakinan sempurna dalam Sang Buddha sebagai berikut:  ‘Sang Buddha adalah sempurna, telah mencapai penerangan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, maha mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, yang tercerahkan, terberkahi.’

6. “Ia memperoleh keyakinan dalam Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dinyatakan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, terlihat di sini dan saat ini, efektif segera, mengundang untuk diselidiki, mengarah menuju kemajuan, untuk dialami oleh para bijaksana untuk diri mereka sendiri.’

7. “Ia memperoleh keyakinan dalam Sangha sebagai berikut: ‘Sangha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan sejati, mempraktikkan jalan yang benar, yaitu, empat pasang makhluk, delapan jenis individu; Sangha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada bandingnya di dunia.’

8. “Ketika ia telah menghentikan, mengusir, membuang, meninggalkan, dan melepaskan [ketidak-sempurnaan pikiran] secara sebagian,  ia mempertimbangkan: ‘Aku memiliki keyakinan tak-tergoyahkan pada Sang Buddha,’ dan ia memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma,  memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia gembira, sukacita muncul dalam dirinya; dalam diri seorang yang bersukacita, jasmaninya menjadi tenang; seorang yang jasmaninya tenang akan merasakan kenikmatan; dalam diri seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi.

9. “Ia mempertimbangkan: ‘Aku memiliki keyakinan tak-tergoyahkan dalam Dhamma,’ dan ia memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia gembira … pikirannya menjadi terkonsentrasi. [38]

10. “Ia mempertimbangkan: ‘Aku memiliki keyakinan tak-tergoyahkan dalam Sangha,’ dan ia memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia gembira, … pikirannya menjadi terkonsentrasi.

11. “Ia mempertimbangkan: ‘[Ketidak-sempurnaan pikiran] telah dihentikan, diusir, dibuang, ditinggalkan dan dilepaskan olehku,’ dan ia memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia gembira, sukacita muncul dalam dirinya; dalam diri seorang yang bersukacita, jasmaninya menjadi tenang; seorang yang jasmaninya tenang akan merasakan kenikmatan; dalam diri seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi.

12. “Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu yang memiliki kualitas moralitas demikian, keadaan [konsentrasi] demikian, dan kebijaksanaan demikian  memakan makanan yang terdiri dari nasi pilihan bersama dengan berbagai kuah dan kari, bahkan hal itu tidak akan menjadi rintangan baginya.  Bagaikan sehelai kain yang kotor dan ternoda menjadi bersih dan cemerlang dengan bantuan air bersih, atau bagaikan emas yang menjadi murni dan cemerlang dengan bantuan pembakaran, demikian pula, jika seorang bhikkhu yang memiliki kualitas moralitas demikian … memakan makanan … hal itu tidak akan menjadi rintangan baginya.

13. “Ia berdiam dengan melingkupi satu arah dengan pikiran cinta kasih,  demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

14-16. “Ia berdiam dengan melingkupi satu arah dengan pikiran belas kasihan … dengan pikiran kegembiraan altruistis … dengan pikiran seimbang,  demikian pula  arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran seimbang, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

17. “Ia memahami bahwa: ‘Ada ini, ada yang rendah, ada yang mulia, dan melampaui ini ada jalan membebaskan diri dari keseluruhan bidang persepsi ini.’

18. “Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ [39] Para bhikkhu, bhikkhu ini disebut seorang yang mandi dengan mandi pikiran.”

19. Pada saat itu Brahmana Sundarika Bhāradvāja sedang duduk tidak jauh dari Sang Bhagavā. Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Tetapi apakah Guru Gotama pergi ke sungai Bāhukā untuk mandi?”

“Mengapa, brahmana, pergi ke sungai Bāhukā? Apa yang dapat dilakukan oleh sungai Bāhukā?”

“Guru Gotama, sungai Bāhukā dianggap oleh banyak orang dapat memberikan kebebasan, sungai itu dianggap oleh banyak orang dapat memberikan kebaikan, dan banyak yang mencuci perbuatan jahat mereka di sungai Bāhukā.”

20. Kemudian Sang Bhagavā menjawab Brahmana Sundarika Bhāradvāja dalam syair:

   “Bāhukā dan Adhikakkā,
   Gayā dan Sundarikā juga,
   Payāga dan Sarassatī,
   Dan arus Bahumatī -
   Si dungu boleh saja mandi selamanya di sana
   Namun tidak akan menyucikan perbuatan gelap mereka.

   Apakah yang dapat dibersihkan  oleh Sundarikā?
   Dan Payāga? Dan Bāhukā?
   Sungai-sungai itu tidak dapat memurnikan pelaku-kejahatan
   Seorang yang telah melakukan perbuatan-perbuatan kejam dan kasar

   Seseorang yang murni dalam pikiran selamanya memiliki
   Pesta musim semi, Hari Suci,
   Seorang yang baik dalam tindakan, seorang yang murni dalam pikiran
   Mengarahkan moralitasnya menuju kesempurnaan.

   Adalah di sini, brahmana, engkau harus mandi,
   Untuk menjadikan dirimu, sebuah perlindungan bagi semua makhluk.
   Dan jika engkau tidak mengucapkan kebohongan
   Juga tidak bekerja dengan mencelakai makhluk-makhluk hidup,
   Juga tidak mengambil apa yang tidak diberikan,
   Dengan keyakinan dan bebas dari kekikiran,
   Mengapa engkau perlu pergi ke Gayā?
   Karena sumur apapun akan menjadi sungai Gayā bagimu.”

21. Ketika ini dikatakan, brahmana Sundarika Bhāradvāja berkata: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan pada mereka yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, aku memohon penahbisan penuh.”

22. Dan Brahmana Sundarika Bhāradvāja menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, dan ia menerima penahbisan penuh. [40] dan segera, tidak lama setelah ia menerima penahbisan penuh, dengan berdiam sendirian, mengasingkan diri, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, Yang Mulia Bhāradvāja, dengan menembus bagi dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini memasuki dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.” Dan Yang Mulia Bhāradvāja menjadi satu di antara para Arahant.

Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 21 July 2010, 06:37:49 PM
8  Sallekha Sutta
Pemurnian

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Mahā Cunda bangkit dari meditasi dan mendatangi Sang Bhagavā. Setelah bersujud pada Sang Bhagavā ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:

3. “Yang Mulia, berbagai pandangan muncul di dunia berkaitan dengan doktrin-doktrin tentang diri atau doktrin-doktrin tentang dunia.  Sekarang apakah meninggalkan dan melepaskan pandangan-pandangan itu terjadi dalam diri seorang bhikkhu yang memperhatikan hanya pada bagian permulaan [dari latihan meditasinya]?”

“Cunda, sehubungan dengan berbagai pandangan muncul di dunia yang berkaitan dengan doktrin-doktrin tentang diri atau doktrin-doktrin tentang dunia: jika [obyek]  yang sehubungan dengannya pandangan-pandangan itu muncul, di mana pandangan-pandangan itu berlandaskan, dan di mana pandangan-pandangan itu diterapkan  dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku,’ maka meninggalkan dan melepaskan pandangan-pandangan itu terjadi.


(DELAPAN PENCAPAIAN)

4. “Adalah mungkin di sini, Cunda, bahwa dengan cukup terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ia mungkin berpikir bahwa: ‘Aku berdiam dalam pemurnian.’ Tetapi bukan pencapaian-pencapaian ini yang disebut ‘pemurnian’ dalam Disiplin Yang Mulia: ini disebut ‘kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini’ [41] dalam Disiplin Yang Mulia.

5. “Adalah mungkin di sini bahwa dengan diamnya awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu di sini masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ia mungkin berpikir bahwa: ‘Aku berdiam dalam pemurnian.’ Tetapi .. ini disebut ‘kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini’ dalam Disiplin Yang Mulia.

6. “Adalah mungkin di sini bahwa dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu di sini masuk dan berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang sehubungan dengannya para mulia menyatakan: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Ia mungkin berpikir bahwa: ‘Aku berdiam dalam pemurnian.’ Tetapi .. ini disebut ‘kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini’ dalam Disiplin Yang Mulia.

7. “Adalah mungkin di sini bahwa dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāṅa ke empat, yang tanpa kesakitan juga tanpa kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ia mungkin berpikir bahwa: ‘Aku berdiam dalam pemurnian.’ Tetapi bukan pencapaian-pencapaian ini yang disebut ‘pemurnian’ dalam Disiplin Yang Mulia: ini disebut ‘kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini’ dalam Disiplin Yang Mulia.

8. “Adalah mungkin di sini bahwa dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu di sini masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ia mungkin berpikir bahwa: ‘Aku berdiam dalam pemurnian.’ Tetapi bukan pencapaian-pencapaian ini yang disebut ‘pemurnian’ dalam Disiplin Yang Mulia: ini disebut ‘kediaman yang damai’ dalam Disiplin Yang Mulia.

9. “Adalah mungkin di sini bahwa dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu di sini masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Ia mungkin berpikir bahwa: ‘Aku berdiam dalam pemurnian.’ Tetapi … ini disebut ‘kediaman yang damai’ dalam Disiplin Yang Mulia.

10. “Adalah mungkin di sini bahwa dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu di sini masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ia mungkin berpikir bahwa: ‘Aku berdiam dalam pemurnian.’ Tetapi … ini disebut ‘kediaman yang damai’ dalam Disiplin Yang Mulia.

11. “Adalah mungkin di sini bahwa dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bhikkhu di sini masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ia mungkin berpikir bahwa: ‘Aku berdiam dalam pemurnian.’ [42] Tetapi bukan pencapaian-pencapaian ini yang disebut ‘pemurnian’ dalam Disiplin Yang Mulia: ini disebut ‘kediaman yang damai’ dalam Disiplin Yang Mulia.

(PEMURNIAN)

12. Sekarang, Cunda, di sini pemurnian harus engkau praktikkan:

(1) ‘Orang lain akan bertindak kejam; kita tidak akan bertindak kejam di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(2) ‘Orang lain akan membunuh makhluk-makhluk hidup; kita harus menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup di sini’; pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(3) ‘Orang lain akan mengambil apa yang tidak diberikan; kita harus menghindari tindakan mengambil apa yang tidak diberikan di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(4) ‘Orang lain tidak selibat; kita harus selibat di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(5)  ‘Orang lain akan mengatakan kebohongan; kita harus menghindari kebohongan di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(6)  ‘Orang lain akan mengucapkan fitnah; kita harus menghindari mengucapkan fitnah di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(7) ‘Orang lain akan berkata-kata kasar; kita harus menghindari berkata-kata kasar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(8) ‘Orang lain akan bergosip; kita harus menghindari gosip di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(9) ‘Orang lain akan tamak; kita tidak boleh tamak di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(10) ‘Orang lain akan memiliki niat buruk; kita harus tanpa niat buruk di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(11) ‘Orang lain akan memiliki pandangan salah; kita harus memiliki pandangan benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(12) ‘Orang lain akan memiliki kehendak salah; kita harus memiliki kehendak benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(13) ‘Orang lain akan memiliki ucapan salah; kita harus memiliki ucapan benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(14) ‘Orang lain akan memiliki perbuatan salah; kita harus memiliki perbuatan benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(15) ‘Orang lain akan memiliki penghidupan salah di sini; kita harus memiliki penghidupan benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(16) ‘Orang lain akan memiliki usaha salah; kita harus memiliki usaha benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(17) ‘Orang lain akan memiliki perhatian salah; kita harus memiliki perhatian benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(18) ‘Orang lain akan memiliki konsentrasi salah; kita harus memiliki konsentrasi benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(19) ‘Orang lain akan memiliki pengetahuan salah; kita harus memiliki pengetahuan benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(20) ‘Orang lain akan memiliki kebebasan salah; kita harus memiliki kebebasan benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(21) ‘Orang lain akan dikuasai oleh kelambanan dan ketumpulan; kita harus terbebas dari kelambanan dan ketumpulan di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(22) ‘Orang lain akan gelisah; kita tidak boleh gelisah di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(23) ‘Orang lain akan merasa ragu-ragu; kita harus melampaui keragu-raguan di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(24) ‘Orang lain akan marah; kita tidak boleh marah di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(25) ‘Orang lain akan kesal; kita tidak boleh kesal di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian. [43]
(26) ‘Orang lain akan bersikap meremehkan; kita tidak boleh bersikap meremehkan’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(27) ‘Orang lain akan congkak; kita tidak boleh congkak di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(28) ‘Orang lain akan merasa iri; kita tidak boleh iri di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(29) ‘Orang lain akan bersifat tamak; kita tidak boleh tamak di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(30) ‘Orang lain akan curang; kita tidak boleh curang di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(31) ‘Orang lain akan menipu; kita tidak boleh menipu di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(32) ‘Orang lain akan keras-kepala; kita tidak boleh keras-kepala di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(33) ‘Orang lain akan angkuh; kita tidak boleh angkuh di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(34) ‘Orang lain akan sulit dinasihati; kita harus mudah dinasihati di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(35) ‘Orang lain akan memiliki teman-teman jahat; kita harus memiliki teman-teman baik di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(36) ‘Orang lain akan lalai; kita harus rajin di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(37) ‘Orang lain akan tidak berkeyakinan; kita harus berkeyakinan di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(38) ‘Orang lain akan tidak memiliki rasa malu; kita harus memiliki rasa malu di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(39) ‘Orang lain akan tidak memiliki rasa takut melakukan perbuatan salah; kita harus takut melakukan perbuatan salah di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(40) ‘Orang lain akan sedikit belajar; kita harus banyak belajar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(41) ‘Orang lain akan malas; kita harus bersemangat di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(42) ‘Orang lain akan tanpa perhatian; kita harus kokoh dalam perhatian di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(43) ‘Orang lain akan tidak memiliki kebijaksanaan; kita harus memiliki kebijaksanaan di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(44) ‘Orang lain akan terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah;  kita tidak boleh terikat pada pandangan-pandangan kita sendiri atau menggenggamnya erat-erat, melainkan harus melepaskannya dengan mudah’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.

(KECONDONGAN PIKIRAN)

13. “Cunda, Aku katakan bahwa bahkan kecondongan pikiran pada kondisi-kondisi bermanfaat adalah bermanfaat besar, apalagi tindakan-tindakan perbuatan dan ucapan yang selaras [dengan keadaan pikiran demikian]?  Oleh Karena itu, Cunda:
(1) Pikiran harus condong pada: ‘Orang lain akan kejam; kita tidak boleh kejam di sini.’
(2) Pikiran harus condong pada: ‘Orang lain akan membunuh makhluk-makhluk hidup; kita harus menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup di sini.
(3)-(43) Pikiran harus condong pada: …
(44) Pikiran harus condong pada: ‘Orang lain akan terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah; kita tidak boleh terikat pada pandangan-pandangan kita sendiri atau menggenggamnya erat-erat, melainkan harus melepaskannya dengan mudah.’

(PENGHINDARAN)

14. “Cunda, misalkan terdapat jalan setapak yang tidak rata dan ada jalan setapak lainnya yang rata untuk menghindari jalan setapak yang tidak rata; dan misalkan terdapat penyeberangan yang tidak rata dan ada penyeberangan lain yang rata untuk menghindari penyeberangan yang tidak rata. [44] demikian pula:

(1) Seseorang yang terbiasa kejam memiliki ketidak-kejaman untuk menghindarinya.
(2) Seseorang yang terbiasa membunuh makhluk-makhluk hidup memiliki penghindaran dari pembunuhan untuk menghindarinya.
(3) Seseorang yang terbiasa mengambil apa yang tidak diberikan memiliki penghindaran dari mengambil apa yang tidak diberikan untuk menghindarinya.
(4) Seorang yang tidak selibat memiliki selibat untuk menghindarinya.
(5) Seorang yang terbiasa berbohong memiliki penghindaran dari berbohong untuk menghindarinya.
(6) Seorang yang terbiasa mengucapkan fitnah memiliki penghindaran dari mengucapkan fitnah untuk menghindarinya.
(7) Seorang yang terbiasa berkata kasar memiliki penghindaran dari berkata kasar untuk menghindarinya.
(8) Seorang yang terbiasa bergosip memiliki penghindaran dari bergosip untuk menghindarinya.
(9) Seorang yang terbiasa tamak memiliki sifat tidak tamak untuk menghindarinya.
(10) Seorang yang terbiasa berniat buruk memiliki tanpa niat buruk untuk menghindarinya.
(11) Seorang yang terbiasa berpandangan salah memiliki pandangan benar untuk menghindarinya.
(12) Seorang yang terbiasa berkehendak salah memiliki kehendak benar untuk menghindarinya.
(13) Seorang yang terbiasa berucapan salah memiliki ucapan benar untuk menghindarinya.
(14) Seorang yang terbiasa berperbuatan salah memiliki perbuatan benar untuk menghindarinya.
(15) Seorang yang terbiasa berpenghidupan salah memiliki penghidupan benar untuk menghindarinya.
(16) Seorang yang terbiasa berusaha salah memiliki usaha benar untuk menghindarinya.
(17) Seorang yang terbiasa berperhatian salah memiliki perhatian benar untuk menghindarinya.
(18) Seorang yang terbiasa berkonsentrasi salah memiliki konsentrasi benar untuk menghindarinya.
(19) Seorang yang terbiasa berpengetahuan salah memiliki pengetahuan benar untuk menghindarinya.
(20) Seorang yang terbiasa berkebebasan salah memiliki kebebasan benar untuk menghindarinya.
(21) Seorang yang terbiasa dengan kelambanan dan ketumpulan memiliki kebebasan dari kelambanan dan ketumpulan untuk menghindarinya.
(22) Seorang yang terbiasa dengan kegelisahan memiliki ketidak-gelisahan untuk menghindarinya.
(23) Seorang yang terbiasa dengan keragu-raguan memiliki keadaan yang melampaui keragu-raguan untuk menghindarinya.
(24) Seorang yang terbiasa dengan kemarahan memiliki ketidak-marahan untuk menghindarinya.
(25) Seorang yang terbiasa dengan kekesalan memiliki ketidak-kesalan untuk menghindarinya.
(26) Seorang yang terbiasa bersikap meremehkan memiliki sikap tidak-meremehkan orang lain untuk menghindarinya.
(27) Seorang yang terbiasa bersikap congkak memiliki sikap tidak congkak untuk menghindarinya.
(28) Seorang yang terbiasa iri memiliki ketidak-irian untuk menghindarinya.
(29) Seorang yang terbiasa tamak memiliki ketidak-tamakan untuk menghindarinya.
(30) Seorang yang terbiasa curang memiliki ketidak-curangan untuk menghindarinya.
(31) Seorang yang terbiasa menipu memiliki sikap tidak-menipu untuk menghindarinya.
(32) Seorang yang terbiasa bersifat keras-kepala memiliki ketidak-keras-kepalaan untuk menghindarinya.
(33) Seorang yang terbiasa bersifat angkuh memiliki ketidak-angkuhan untuk menghindarinya.
(34) Seorang yang terbiasa sulit dinasihati memiliki sifat mudah dinasihati untuk menghindarinya.
(35)  Seorang yang terbiasa bergaul dengan teman-teman jahat memiliki pergaulan dengan teman-teman baik untuk menghindarinya.
(36) Seorang yang terbiasa lalai memiliki kerajinan untuk menghindarinya.
(37) Seorang yang terbiasa tidak berkeyakinan memiliki keyakinan untuk menghindarinya.
(38) Seorang yang terbiasa tidak merasa malu memiliki rasa malu untuk menghindarinya.
(39) Seorang yang terbiasa merasa tidak takut melakukan perbuatan salah memiliki rasa takut melakukan perbuatan salah untuk menghindarinya.
(40) Seorang yang terbiasa sedikit belajar memiliki banyak belajar untuk menghindarinya.
(41) Seorang yang terbiasa malas memiliki pembangkitan semangat untuk menghindarinya.
(42)  Seorang yang terbiasa tanpa perhatian memiliki kekokohan perhatian untuk menghindarinya.
(43) Seorang yang terbiasa tanpa kebijaksanaan memiliki perolehan kebijaksanaan untuk menghindarinya.
(44) Seorang yang terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri, yang menggenggamnya erat-erat dan melepaskannya dengan susah-payah, memiliki ketidak-terikatan pada pandangan-pandangannya sendiri, tidak menggenggamnya erat-erat dan melepaskannya dengan mudah, untuk menghindarinya.

(JALAN YANG MENGARAH KE ATAS)

15. “Cunda, seperti halnya semua kondisi-kondisi tidak bermanfaat mengarah ke bawah dan semua kondisi-kondisi bermanfaat mengarah ke atas, demikian pula:

(1) Seseorang yang terbiasa kejam memiliki ketidak-kejaman untuk mengarahkannya ke atas
(2) Seseorang yang terbiasa membunuh makhluk-makhluk hidup memiliki penghindaran dari pembunuhan untuk mengarahkannya ke atas.
(3-43) Seseorang yang terbiasa … untuk mengarahkannya ke atas
(44) Seorang yang terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri, yang menggenggamnya erat-erat [45] dan melepaskannya dengan susah-payah, memiliki ketidak-terikatan pada pandangan-pandangannya sendiri, tidak menggenggamnya erat-erat dan melepaskannya dengan mudah, untuk mengarahkannya ke atas.

(JALAN UNTUK MEMADAMKAN)

16. “Cunda, bahwa seseorang yang tenggelam dalam lumpur harus menarik seorang lainnya yang tenggelam dalam lumpur adalah tidak mungkin; bahwa seseorang yang tidak tenggelam dalam lumpur harus menarik seorang lainnya yang tenggelam dalam lumpur adalah mungkin. Bahwa seorang yang tidak jinak, tidak disiplin, [dengan kekotoran] belum padam, harus menjinakkan orang lain, mendisiplinkannya, dan membantunya memadamkan [kekotorannya] adalah tidak mungkin; Bahwa seorang yang jinak,  disiplin, [dengan kekotoran] telah padam, harus menjinakkan orang lain, mendisiplinkannya, dan membantunya memadamkan [kekotorannya] adalah mungkin.  Demikian pula:

(1) Seseorang yang terbiasa kejam memiliki ketidak-kejaman untuk memadamkannya.
(2) Seseorang yang terbiasa membunuh makhluk-makhluk hidup memiliki penghindaran dari pembunuhan untuk memadamkannya.
(3-43) Seseorang yang terbiasa … [46] … untuk memadamkannya.
(44) Seorang yang terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri, yang menggenggamnya erat-erat dan melepaskannya dengan susah-payah, memiliki ketidak-terikatan pada pandangan-pandangannya sendiri, tidak menggenggamnya erat-erat dan melepaskannya dengan mudah, untuk memadamkannya.

(PENUTUP)

17. “Maka, Cunda, jalan pemurnian telah diajarkan olehKu, jalan kecondongan pikiran telah diajarkan olehKu, jalan penghindaran telah diajarkan olehKu, jalan pemadaman telah diajarkan olehKu.

18. “Apa yang harus dilakukan untuk para siswaNya demi belas kasih seorang guru yang mengusahakan kesejahteraan mereka dan memiliki belas kasihan pada mereka, telah Aku lakukan untukmu, Cunda.  Ada bawah pepohonan ini, gubuk-gubuk kosong ini. Bermeditasilah, Cunda, jangan menunda atau engkau akan menyesalinya kelak. Ini adalah instruksi kami kepadamu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Mahā Cunda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 21 July 2010, 06:40:14 PM
9  Sammādiṭṭhi Sutta
Pandangan Benar



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu.” – “Teman,” mereka menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

2. “’Seorang yang berpandangan benar, seorang yang berpandangan benar,’ dikatakan, teman-teman. Dalam cara bagaimanakah seorang siswa mulia berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati?”

“Sesungguhnya, teman, kami datang dari jauh untuk mempelajari makna pernyataan ini dari Yang Mulia Sāriputta. Baik sekali jika Yang Mulia Sāriputta sudi menjelaskan makna pernyataan ini. Setelah mendengarkannya darinya para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka, teman-teman, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan kukatakan.”

“Baik, Teman,” para bhikkhu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

(YANG BERMANFAAT DAN YANG TIDAK BERMANFAAT)

3. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami yang tidak bermanfaat dan akar dari yang tidak bermanfaat, yang bermanfaat dan akar dari yang bermanfaat, [47] dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

4. “Dan apakah, teman-teman, yang tidak bermanfaat, apakah akar dari yang tidak bermanfaat, apakah yang bermanfaat, apakah akar dari yang bermanfaat? Membunuh makhluk-makhluk hidup adalah tidak bermanfaat; mengambil apa yang tidak diberikan adalah tidak bermanfaat; perilaku salah dalam kenikmatan indria adalah tidak bermanfaat; kebohongan adalah tidak bermanfaat; mengucapkan fitnah adalah tidak bermanfaat; berkata-kata kasar adalah tidak bermanfaat; bergosip adalah tidak bermanfaat; ketamakan adalah tidak bermanfaat; niat buruk adalah tidak bermanfaat; pandangan salah adalah tidak bermanfaat. Ini disebut dengan yang tidak bermanfaat.

5. “Dan apakah akar dari yang tidak bermanfaat? Keserakahan adalah akar dari yang tidak bermanfaat; kebencian adalah akar dari yang tidak bermanfaat; kebodohan adalah akar dari yang tidak bermanfaat. Ini disebut dengan akar dari yang tidak bermanfaat.

6. “Dan apakah yang bermanfaat? Menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup adalah bermanfaat; menghindari mengambil apa yang tidak diberikan adalah bermanfaat; menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria adalah bermanfaat; menghindari kebohongan adalah bermanfaat; menghindari mengucapkan fitnah adalah bermanfaat; menghindari berkata-kata kasar adalah bermanfaat; menghindari bergosip adalah bermanfaat; ketidak-tamakan adalah bermanfaat; tidak berniat-buruk adalah bermanfaat; pandangan benar adalah bermanfaat. Ini disebut dengan yang bermanfaat.

7. “Dan apakah akar dari yang  bermanfaat? Ketidak-serakahan adalah akar dari yang bermanfaat; ketidak-bencian adalah akar dari yang bermanfaat; ketidak-bodohan adalah akar dari yang bermanfaat. Ini disebut dengan akar dari yang bermanfaat.

8. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami yang tidak bermanfaat dan akar dari yang tidak bermanfaat, yang bermanfaat dan akar dari yang bermanfaat,  maka ia sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu, ia menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada ketidak-senangan, ia memadamkan kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan ‘Aku,’ dan dengan meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejati ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan.  Dengan cara ini juga seorang siswa mulia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(MAKANAN)

9. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” – “Ada, teman-teman.

10. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami makanan, asal-mula makanan, lenyapnya makanan dan jalan menuju lenyapnya makanan. Dengan cara itulah ia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada [48] Dhamma sejati ini.

11. “Dan apakah makanan, apakah asal-mula makanan, apakah lenyapnya makanan, apakah jalan menuju lenyapnya makanan? Ada empat jenis makanan untuk memelihara makhluk-makhluk yang telah terlahir dan untuk menyokong mereka yang mencari kehidupan baru. Apakah empat ini? Yaitu: makanan fisik sebagai makanan, kasar atau halus; kontak sebagai yang ke dua; kehendak pikiran sebagai yang ke tiga; dan kesadaran sebagai yang ke empat.  Dengan munculnya keinginan maka muncul pula makanan. Dengan lenyapnya keinginan maka lenyap pula makanan. Jalan menuju lenyapnya makanan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

12. “Ketika seorang siswa mulia memahami makanan, asal-mula makanan, lenyapnya makanan dan jalan menuju lenyapnya makanan, maka ia sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada keserakahan, ia menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada kebencian, ia memadamkan kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan ‘Aku,’ dan dengan meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejati ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara ini juga seorang siswa mulia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(EMPAT KEBENARAN MULIA)

13. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” – “Ada, teman-teman.

14. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami penderitaan, asal-mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan, dengan cara inilah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

15. “Dan apakah penderitaan, apakah asal-mula penderitaan, apakah lenyapnya penderitaan, apakah jalan menuju lenyapnya penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan; penuaan adalah penderitaan; sakit adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan adalah penderitaan; tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan adalah penderitaan. Ini disebut penderitaan.

16. “Dan apakah asal-mula penderitaan? Yaitu keinginan, yang memperbarui penjelmaan, disertai oleh kenikmatan dan nafsu, dan kenikmatan akan ini dan itu; yaitu, keinginan akan kenikmatan indria [49], keinginan untuk menjelma, dan keinginan untuk tidak menjelma. Ini disebut asal-mula penderitaan.

17. “Dan apakah lenyapnya penderitaan? Yaitu peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya, dihentikannya, dilepaskannya, ditinggalkannya, dan ditolaknya keinginan yang sama itu. Ini disebut lenyapnya penderitaan.

18. “Dan apakah jalan menuju lenyapnya penderitaan? Yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar. Ini disebut jalan menuju lenyapnya penderitaan.

19. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami penderitaan, asal-mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(PENUAAN DAN KEMATIAN)

20. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” – “Ada, teman-teman.

21. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami penuaan dan kematian, asal-mula penuaan dan kematian, lenyapnya penuaan dan kematian, dan jalan menuju lenyapnya penuaan dan kematian, dengan cara itulah ia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

22. “Dan apakah penuaan dan kematian, apakah asal-mula penuaan dan kematian, apakah lenyapnya penuaan dan kematian, apakah jalan menuju lenyapnya penuaan dan kematian? Penuaan makhluk-makhluk dalam berbagai urutan penjelmaan, usia tua, gigi tanggal, rambut memutih, kulit keriput, kemunduran kehidupan, indria-indria melemah – ini disebut penuaan. Berlalunya makhluk-makhluk dalam berbagai urutan makhluk-makhluk, kematiannya, terputusnya, lenyapnya, sekarat, selesainya waktu, hancurnya kelompok-kelompok unsur kehidupan,  terbaringnya tubuh – ini disebut kematian. Maka penuaan ini dan kematian ini adalah apa yang disebut dengan penuaan dan kematian. Dengan munculnya kelahiran maka muncul pula penuaan dan kematian. Dengan lenyapnya kelahiran maka lenyap pula penuaan dan kematian. Jalan menuju lenyapnya penuaan dan kematian adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

23. “Ketika seorang siswa mulia memahami penuaan dan kematian, asal-mula penuaan dan kematian, lenyapnya penuaan dan kematian, dan jalan menuju lenyapnya penuaan dan kematian … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(KELAHIRAN)

24. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  [50] “Ada, teman-teman.

25. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami kelahiran, asal-mula kelahiran, lenyapnya kelahiran, dan jalan menuju lenyapnya kelahiran, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

26. “Dan apakah kelahiran, apakah asal-mula kelahiran, apakah lenyapnya kelahiran, apakah jalan menuju lenyapnya kelahiran? Kelahiran makhluk-makhluk adalah berbagai urutan penjelmaan, akan terlahir, berdiam [dalam rahim], pembentukan, perwujudan kelompok-kelompok unsur kehidupan, memperoleh landasan-landasan kontak  - ini disebut kelahiran. Dengan munculnya penjelmaan maka muncul pula kelahiran. Dengan lenyapnya penjelmaan maka lenyap pula kelahiran. Jalan menuju lenyapnya kelahiran adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

27. “Ketika seorang siswa mulia memahami kelahiran, asal-mula kelahiran, lenyapnya kelahiran, dan jalan menuju lenyapnya kelahiran … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(PENJELMAAN)

28. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

29. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami penjelmaan, asal-mula penjelmaan, lenyapnya penjelmaan, dan jalan menuju lenyapnya penjelmaan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

30. “Dan apakah penjelmaan, apakah asal mula penjelmaan, apakah lenyapnya penjelmaan, apakah jalan menuju lenyapnya penjelmaan? Terdapat tiga jenis penjelmaan ini: penjelmaan alam indria, penjelmaan bermateri halus, dan penjelmaan tanpa materi.  Dengan munculnya kemelekatan maka muncul pula penjelmaan. Dengan lenyapnya kemelekatan maka lenyap pula penjelmaan. Jalan menuju lenyapnya penjelmaan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

31. “Ketika seorang siswa mulia memahami penjelmaan, asal-mula penjelmaan, lenyapnya penjelmaan, dan jalan menuju lenyapnya penjelmaan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(KEMELEKATAN)

32. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

33. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami kemelekatan, asal-mula kemelekatan, lenyapnya kemelekatan, dan jalan menuju lenyapnya kemelekatan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

34. “Dan apakah kemelekatan, apakah asal-mula kemelekatan, apakah lenyapnya kemelekatan, apakah jalan menuju lenyapnya kemelekatan? Terdapat empat [51] jenis kemelekatan ini: kemelekatan pada kenikmatan indria, kemelekatan pada pandangan-pandangan, kemelekatan pada ritual dan upacara, dan kemelekatan pada doktrin diri.  Dengan munculnya keinginan maka muncul pula kemelekatan. Dengan lenyapnya keinginan maka lenyap pula kemelekatan. Jalan menuju lenyapnya kemelekatan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

35. “Ketika seorang siswa mulia memahami kemelekatan, asal-mula kemelekatan, lenyapnya kemelekatan, dan jalan menuju lenyapnya kemelekatan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(KEINGINAN)

36. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

37. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami keinginan, asal-mula keinginan, lenyapnya keinginan, dan jalan menuju lenyapnya keinginan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

38. “Dan apakah keinginan, apakah asal-mula keinginan, apakah lenyapnya keinginan, apakah jalan menuju lenyapnya keinginan? Terdapat enam kelompok keinginan ini: keinginan akan bentuk-bentuk, keinginan akan suara-suara, keinginan akan bau-bauan, keinginan akan rasa kecapan, keinginan akan obyek-obyek sentuhan, keinginan akan obyek-obyek pikiran.  Dengan munculnya perasaan maka muncul pula keinginan. Dengan lenyapnya perasaan maka lenyap pula keinginan. Jalan menuju lenyapnya keinginan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

39. “Ketika seorang siswa mulia memahami keinginan, asal-mula keinginan, lenyapnya keinginan, dan jalan menuju lenyapnya keinginan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(PERASAAN)

40. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

41. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami perasaan, asal-mula perasaan, lenyapnya perasaan, dan jalan menuju lenyapnya perasaan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

42. “Dan apakah perasaan, apakah asal-mula perasaan, apakah lenyapnya perasaan, apakah jalan menuju lenyapnya perasaan? Terdapat enam kelompok perasaan ini: perasaan yang muncul dari kontak-mata, perasaan yang muncul dari kontak-telinga, perasaan yang muncul dari kontak-hidung, perasaan yang muncul dari kontak-lidah, perasaan yang muncul dari kontak-badan, perasaan yang muncul dari kontak-pikiran. Dengan munculnya kontak maka muncul pula perasaan. Dengan lenyapnya kontak maka lenyap pula perasaan. Jalan menuju lenyapnya perasaan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar. [52]

43. “Ketika seorang siswa mulia memahami perasaan, asal-mula perasaan, lenyapnya perasaan, dan jalan menuju lenyapnya perasaan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(KONTAK)

44. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

45. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami kontak, asal-mula kontak, lenyapnya kontak, dan jalan menuju lenyapnya kontak, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

46. “Dan apakah kontak, apakah asal-mula kontak, apakah lenyapnya kontak, apakah jalan menuju lenyapnya kontak? Terdapat enam kelompok kontak ini: kontak-mata, kontak-telinga, kontak-hidung, kontak-lidah, kontak-badan, kontak-pikiran.  Dengan munculnya enam landasan maka muncul pula kontak. Dengan lenyapnya enam landasan maka lenyap pula kontak. Jalan menuju lenyapnya kontak adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

47. “Ketika seorang siswa mulia memahami kontak, asal-mula kontak, lenyapnya kontak, dan jalan menuju lenyapnya kontak … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(ENAM LANDASAN)

48. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

49. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami enam landasan, asal-mula enam landasan, lenyapnya enam landasan, dan jalan menuju lenyapnya enam landasan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

50. “Dan apakah enam landasan, apakah asal-mula enam landasan, apakah lenyapnya enam landasan, apakah jalan menuju lenyapnya enam landasan? Terdapat enam landasan ini: landasan-mata, landasan-telinga, landasan-hidung, landasan-lidah, landasan-badan, landasan-pikiran.  Dengan munculnya batin-jasmani maka muncul pula enam landasan. Dengan lenyapnya batin-jasmani maka lenyap pula enam landasan. Jalan menuju lenyapnya enam landasan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

51. “Ketika seorang siswa mulia memahami enam landasan, asal-mula enam landasan, lenyapnya enam landasan, dan [53] jalan menuju lenyapnya enam landasan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 21 July 2010, 06:41:30 PM
(BATIN-JASMANI)

52. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

53. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami batin-jasmani, asal-mula batin-jasmani, lenyapnya batin-jasmani, dan jalan menuju lenyapnya batin-jasmani, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

54. “Dan apakah batin-jasmani, apakah asal-mula batin-jasmani, apakah lenyapnya batin-jasmani, apakah jalan menuju lenyapnya batin-jasmani? Perasaan, persepsi, kehendak, kontak, dan perhatian – ini disebut batin. Empat unsur utama dan bentuk materi yang diturunkan dari empat unsur utama – ini disebut jasmani. Maka batin ini dan jasmani ini adalah apa yang disebut batin-jasmani. Dengan munculnya kesadaran maka muncul pula batin-jasmani. Dengan lenyapnya kesadaran maka lenyap pula batin-jasmani. Jalan menuju lenyapnya batin-jasmani adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

55. “Ketika seorang siswa mulia memahami batin-jasmani, asal-mula batin-jasmani, lenyapnya batin-jasmani, dan jalan menuju lenyapnya batin-jasmani … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(KESADARAN)

56. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

57. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami kesadaran, asal-mula kesadaran, lenyapnya kesadaran, dan jalan menuju lenyapnya kesadaran, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

58. “Dan apakah kesadaran, apakah asal-mula kesadaran, apakah lenyapnya kesadaran, apakah jalan menuju lenyapnya kesadaran? Terdapat enam kelompok kesadaran ini: kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, kesadaran-pikiran.  Dengan munculnya bentukan-bentukan maka muncul pula kesadaran. Dengan lenyapnya bentukan-bentukan maka lenyap pula kesadaran. Jalan menuju lenyapnya kesadaran adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

59. “Ketika seorang siswa mulia memahami kesadaran, asal-mula kesadaran, lenyapnya kesadaran, dan jalan menuju lenyapnya kesadaran [54] … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(BENTUKAN-BENTUKAN)

60. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

61. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami bentukan-bentukan, asal-mula bentukan-bentukan, lenyapnya bentukan-bentukan, dan jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

62. “Dan apakah bentukan-bentukan, apakah asal-mula bentukan-bentukan, apakah lenyapnya bentukan-bentukan, apakah jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan? Terdapat tiga jenis bentukan-bentukan ini: bentukan jasmani, bentukan ucapan, bentukan pikiran.  Dengan munculnya kebodohan maka muncul pula bentukan-bentukan. Dengan lenyapnya kebodohan maka lenyap pula bentukan-bentukan. Jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

63. “Ketika seorang siswa mulia memahami bentukan-bentukan, asal-mula bentukan-bentukan, lenyapnya bentukan-bentukan, dan jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(KEBODOHAN)

64. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

65. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami kebodohan, asal-mula kebodohan, lenyapnya kebodohan, dan jalan menuju lenyapnya kebodohan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

66. “Dan apakah kebodohan, apakah asal-mula kebodohan, apakah lenyapnya kebodohan, apakah jalan menuju lenyapnya kebodohan? Tidak mengetahui penderitaan, tidak mengetahui asal-mula penderitaan, tidak mengetahui lenyapnya penderitaan, tidak mengetahui jalan menuju lenyapnya penderitaan – ini disebut kebodohan. Dengan munculnya noda-noda maka muncul pula kebodohan. Dengan lenyapnya noda-noda maka lenyap pula bentukan kebodohan. Jalan menuju lenyapnya kebodohan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

67. “Ketika seorang siswa mulia memahami kebodohan, asal-mula kebodohan, lenyapnya kebodohan, dan jalan menuju lenyapnya kebodohan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(NODA-NODA)

68. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara [55] lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

69. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami noda-noda, asal-mula noda-noda, lenyapnya noda-noda, dan jalan menuju lenyapnya noda-noda, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

70. “Dan apakah noda-noda, apakah asal-mula noda-noda, apakah lenyapnya noda-noda, apakah jalan menuju lenyapnya noda-noda? Ada tiga noda ini: noda keinginan indria, noda penjelmaan, dan noda kebodohan. Dengan munculnya kebodohan maka muncul pula noda-noda.  Dengan lenyapnya kebodohan maka lenyap pula noda-noda. Jalan menuju lenyapnya noda-noda adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

71. “Ketika seorang siswa mulia memahami noda-noda, asal-mula noda-noda, lenyapnya noda-noda, dan jalan menuju lenyapnya noda-noda,  maka ia sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu, ia menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada ketidak-senangan, ia memadamkan kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan ‘Aku,’ dan dengan meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejati ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara ini juga seorang siswa mulia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 21 July 2010, 06:42:37 PM
10  Satipaṭṭhāna Sutta
Landasan-landasan Perhatian


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Kuru di sebuah kota Kuru bernama Kammāsadhamma.  Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, ini adalah jalan langsung  untuk pemurnian makhluk-makhluk [56], untuk mengatasi dukacita dan ratapan, untuk lenyapnya kesakitan dan kesedihan, untuk pencapaian jalan sejati, untuk penembusan Nibbāna – yaitu, empat landasan perhatian.

3. “Apakah empat ini? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu  berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, dengan penuh kewaspadaan, dan pernuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia.  Ia berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, tekun, dengan penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, tekun, dengan penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran, tekun, dengan penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia.

(PERENUNGAN JASMANI)

(1. Perhatian pada Pernafasan)

4. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani? Di sini, seorang bhikkhu, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke sebuah gubuk kosong, duduk; setelah duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, penuh perhatian ia menarik nafas, penuh perhatian ia mengembuskan nafas. Menarik nafas panjang, ia memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’; atau mengembuskan nafas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas panjang.’ Menarik nafas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik nafas pendek’; atau mengembuskan nafas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas pendek.’  Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami keseluruhan tubuh’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami keseluruhan tubuh.’  Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menenangkan bentukan jasmani’; Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan jasmani.’  Bagaikan seorang pekerja bubut yang terampil atau muridnya, ketika melakukan putaran panjang, memahami: ‘Aku melakukan putaran panjang’; atau ketika melakukan putaran pendek, memahami: ‘Aku melakukan putaran pendek’; demikian pula, menarik nafas panjang, seorang bhikkhu memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’ … ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan jasmani.’

(PANDANGAN TERANG)

5. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal dan eksternal.  Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam jasmani.  Atau penuh perhatian bahwa “ada jasmani” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian.  Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

(2. Empat Postur)

6. “Kemudian, para bhikkhu, ketika berjalan, seorang bhikkhu memahami: ‘Aku sedang berjalan’; ketika berdiri, ia memahami: ‘Aku sedang berdiri’; ketika duduk, [57] ia memahami: ‘Aku sedang duduk’; ketika berbaring, ia memahami: ‘Aku sedang berbaring’; atau ia memahami sebagaimana adanya bagaimanapun tubuhnya berposisi.

7. “Dengan cara ini ia berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, eksternal, dan secara internal dan eksternal … dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

(3. Kewaspadaan Penuh)

8. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan maju atau mundur;  yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika melihat ke depan atau ke belakang; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika menunduk atau menegakkan badannya; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika mengenakan jubahnya dan membawa jubah luar dan mangkuknya; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika makan, minum, mengunyah makanan, dan mengecap; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika buang air besar dan buang air kecil; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan, berdiri, duduk, tidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri.

9. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

(4. Kejijikan – Bagian-bagian Tubuh)

10. ‘Kemudian, seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini dari telapak kaki ke atas dan dari ujung rambut ke bawah, terbungkus oleh kulit, sebagai dipenuhi kotoran: ‘Di dalam jasmani ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus, selaput pengikat organ dalam tubuh, isi perut, tinja, empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, dan air kencing.’  Bagaikan ada sebuah karung, yang terbuka di kedua ujungnya, penuh dengan berbagai jenis biji-bijian seperti beras-gunung, beras merah, kacang buncis, kacang polong, milet, dan beras putih, dan seorang yang berpenglihatan baik membuka karung itu dan memeriksanya:’ Ini adalah beras-gunung, Ini adalah beras-merah, Ini adalah kacang buncis, Ini adalah kacang polong, Ini adalah milet, ini adalah beras putih’, demikian pula seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini ... sebagai dipenuhi kotoran: “Di dalam jasmani ini terdapat rambut kepala … dan air kencing.’

11. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

(5. Unsur-unsur)

12. ‘Kemudian, seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini, bagaimanapun ia berada, bagaimanapun posisinya, sebagai terdiri dari unsur-unsur: ‘Dalam jasmani ini terdapat unsur tanah, unsur-air, unsur-api, unsur-udara.’  [58] Bagaikan seorang tukang daging yang terampil atau muridnya, setelah menyembelih seekor sapi, duduk di persimpangan jalan dengan daging yang telah dipotong dalam beberapa bagian; demikian pula seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini … sebagai terdiri dari unsur-unsur: ‘Dalam jasmani ini terdapat unsur tanah, unsur-air, unsur-api, unsur-udara.’

13. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

(6-14. Perenungan Sembilan Tanah Pekuburan)

14. “Kemudian, para bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, satu, dua atau tiga hari setelah meninggal dunia, membengkak, memucat, dengan cairan menetes, seorang bhikkhu membandingkan jasmani yang sama ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’

15. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

16. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, dimakan oleh burung gagak, elang, nasar, anjing, serigala, atau berbagai jenis ulat, seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’

17. “ … Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

18-24. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, kerangka tulang dengan daging dan darah, yang terangkai oleh urat … kerangka tulang tanpa daging yang berlumuran darah, yang terangkai oleh urat … kerangka tulang tanpa daging dan darah, yang terangkai oleh urat … tulang belulang yang tercerai berai berserakan ke segala arah – di sini tulang lengan, di sana tulang kaki, di sini tulang kering, di sana tulang paha, di sini tulang pinggul, di sana tulang punggung, di sini tulang rusuk, di sana tulang dada, di sini tulang lengan, di sana tulang bahu, di sini tulang leher, di sana tulang rahang, di sini gigi, di sana tengkorak - seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’

25. “ … Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

26-30. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, tulangnya memutih, berwarna seperti kulit-kerang … tulang-belulangnya menumpuk … tulang-belulang yang lebih dari setahun … tulang-belulangnya hancur dan remuk menjadi debu [59], seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: “Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’


(PANDANGAN TERANG)

31. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam jasmani. Atau penuh perhatian bahwa “ada jasmani” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.


(PERENUNGAN PERASAAN)

32. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan?  Di sini, ketika merasakan suatu perasaan menyenangkan, seorang bhikkhu memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyenangkan’; ketika merasakan perasaan menyakitkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyakitkan’; ketika merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan.’ Ketika merasakan perasaan duniawi yang menyenangkan, ia memahami: ‘Aku memahami perasaan duniawi yang menyenangkan’; Ketika merasakan perasaan non-duniawi yang menyenangkan, ia memahami: ‘Aku memahami perasaan non-duniawi yang menyenangkan’; ketika merasakan perasaan duniawi yang menyakitkan, ia memahami: ‘Aku memahami perasaan duniawi yang menyakitkan’; ketika merasakan perasaan non-duniawi yang menyakitkan, ia memahami: ‘Aku memahami perasaan non-duniawi yang menyakitkan’; ketika merasakan perasaan duniawi yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Aku memahami perasaan duniawi yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan’; ketika merasakan perasaan non-duniawi yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Aku memahami perasaan non-duniawi yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan.’

(PANDANGAN TERANG)

33. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan secara internal, atau ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam perasaan, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam perasaan, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam perasaan.  Atau penuh perhatian bahwa “ada perasaan” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan.

(PERENUNGAN PIKIRAN)

34. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran?  Di sini seorang bhikkhu memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai pikiran yang terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai pikiran yang tidak terpengaruh nafsu. Ia memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai pikiran yang terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai pikiran yang tidak terpengaruh kebencian. Ia memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai pikiran yang terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan. Ia memahami pikiran yang mengerut sebagai pikiran yang mengerut dan pikiran yang kacau sebagai pikiran yang kacau. Ia memahami pikiran yang luhur sebagai pikiran yang luhur dan pikiran yang tidak luhur sebagai pikiran yang tidak luhur. Ia memahami pikiran yang terbatas sebagai pikiran yang terbatas dan pikiran yang tidak terbatas sebagai pikiran yang tidak terbatas. Ia memahami pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi. Ia memahami pikiran yang terbebaskan sebagai pikiran yang terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai pikiran yang tidak terbebaskan.

(PANDANGAN TERANG)

35. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran secara internal, atau ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam pikiran, [60] atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam pikiran.  Atau penuh perhatian bahwa “ada pikiran” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran.

(PERENUNGAN OBYEK-OBYEK PIKIRAN)

(1. Lima Rintangan)

36. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran?  Di sini seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan lima rintangan.  Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan lima rintangan? Di sini, jika muncul keinginan indria dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Terdapat keinginan indria dalam diriku’; atau jika tidak ada keinginan indria dalam dirinya, ia memahami: ‘Tidak ada keinginan indria dalam diriku’; dan ia juga memahami bagaimana kemunculan keinginan indria yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan keinginan indria yang telah muncul, dan bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari keinginan indria yang telah ditinggalkan.’

“Jika terdapat niat buruk dalam dirinya … Jika terdapat kelambanan dan ketumpulan dalam dirinya … Jika terdapat kegelisahan dan penyesalan dalam dirinya … Jika terdapat keragu-raguan dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Terdapat keragu-raguan dalam diriku’; atau jika tidak ada keragu-raguan dalam dirinya, ia memahami: ‘Tidak ada keragu-raguan dalam diriku’; dan ia memahami bagaimana kemunculan keragu-raguan yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan keragu-raguan yang telah muncul, dan bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari keragu-raguan yang telah ditinggalkan.’

(PANDANGAN TERANG)

37. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran secara internal, atau ia berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam obyek-obyek pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam obyek-obyek pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam obyek-obyek pikiran. Atau penuh perhatian bahwa “ada obyek-obyek pikiran” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan kelima rintangan.

(2. Kelima kelompok Unsur Kehidupan)

38. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran [61] sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan.  Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan? Di sini seorang bhikkhu memahami: ‘Demikianlah bentuk materi, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah persepsi, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah bentukan-bentukan, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah kesadaran, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya.’
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 21 July 2010, 06:43:46 PM
39. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan.

(3. Enam Landasan)

40. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan enam landasan internal dan eksternal.  Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan enam landasan internal dan eksternal? Di sini seorang bhikkhu memahami mata, ia memahami bentuk-bentuk, dan ia memahami belenggu-belenggu yang muncul dengan bergantung pada keduanya; dan ia juga memahami bagaimana munculnya belenggu yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan belenggu yang telah muncul, dan bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari belenggu yang telah ditinggalkan.

“Ia memahami telinga, ia memahami suara-suara … Ia memahami hidung, ia memahami bau-bauan … Ia memahami lidah, ia memahami rasa kecapan … Ia memahami badan, ia memahami obyek-obyek sentuhan … Ia memahami pikiran, ia memahami obyek-obyek pikiran, dan ia memahami belenggu-belenggu yang muncul dengan bergantung pada keduanya; dan ia juga memahami bagaimana munculnya belenggu yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan belenggu yang telah muncul, dan bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari belenggu yang telah ditinggalkan.

41. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan enam landasan indria internal dan eksternal.

(4. Tujuh Faktor Pencerahan)

42. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan ketujuh faktor pencerahan.  Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan ketujuh faktor pencerahan? Di sini, jika ada faktor pencerahan perhatian dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Ada faktor pencerahan perhatian dalam diriku’; atau jika tidak ada faktor pencerahan perhatian dalam dirinya, ia memahami: [62] ‘Tidak ada faktor pencerahan perhatian dalam diriku’; dan ia juga memahami bagaimana munculnya faktor pencerahan perhatian yang belum muncul, dan bagaimana faktor pencerahan perhatian terpenuhi melalui pengembangan.

“Jika ada faktor pencerahan penyelidikan-kondisi-kondisi dalam dirinya  … Jika ada faktor pencerahan kegigihan dalam dirinya … Jika ada faktor pencerahan kegembiraan dalam dirinya … Jika ada faktor pencerahan ketenangan dalam dirinya … Jika ada faktor pencerahan konsentrasi dalam dirinya … Jika ada faktor pencerahan keseimbangan dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Ada faktor pencerahan keseimbangan dalam diriku’; atau jika tidak ada faktor pencerahan keseimbangan dalam dirinya, ia memahami: ‘Tidak ada faktor pencerahan keseimbangan dalam diriku’; dan ia juga memahami bagaimana munculnya faktor pencerahan keseimbangan yang belum muncul, dan bagaimana faktor pencerahan keseimbangan terpenuhi melalui pengembangan.

43. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan ketujuh faktor pencerahan.

(5. Empat Kebenaran Mulia)

44. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia.  Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia? Di sini seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’

(PANDANGAN TERANG)

45. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran secara internal, atau ia berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya obyek-obyek pikiran dalam obyek-obyek pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya obyek-obyek pikiran dalam obyek-obyek pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya obyek-obyek pikiran dalam obyek-obyek pikiran. Atau penuh perhatian bahwa “ada obyek-obyek pikiran” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia.

(PENUTUP)

46. “Para bhikkhu, jika siapapun juga mengembangkan keempat landasan perhatian ini dengan cara demikian selama tujuh tahun, maka satu dari dua buah dapat diharapkan untuknya: pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika masih ada kemelekatan yang tersisa, tidak-kembali-lagi.

“Jangankan tujuh tahun, para bhikkhu. [63] Jika siapapun juga mengembangkan keempat landasan perhatian ini dengan cara demikian selama enam tahun … selama lima tahun … selama empat tahun …selama tiga tahun … selama dua tahun … selama satu tahun, maka satu dari dua buah dapat diharapkan untuknya: pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika masih ada kemelekatan yang tersisa, tidak-kembali-lagi.

“Jangankan satu tahun, para bhikkhu. Jika siapapun juga mengembangkan keempat landasan perhatian ini dengan cara demikian selama tujuh bulan … selama enam bulan … selama lima bulan … selama empat bulan …selama tiga bulan … selama dua bulan … selama satu bulan … selama setengah bulan, maka satu dari dua buah dapat diharapkan untuknya: pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika masih ada kemelekatan yang tersisa, tidak-kembali-lagi.

“Jangankan setengah bulan, para bhikkhu. Jika siapapun juga mengembangkan keempat landasan perhatian ini dengan cara demikian selama tujuh hari, maka satu dari dua buah dapat diharapkan untuknya: pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika masih ada kemelekatan yang tersisa, tidak-kembali-lagi.

47. “Adalah dengan merujuk pada hal inilah maka dikatakan: ‘Para bhikkhu, ini adalah jalan langsung untuk pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, untuk lenyapnya kesakitan dan kesedihan, untuk pencapaian jalan sejati, untuk penembusan Nibbāna – yaitu, empat landasan perhatian.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengarkan kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 12:51:47 AM
11  Cūḷasīhanāda Sutta
Khotbah pendek tentang Auman Singa

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, hanya di sini terdapat seorang petapa, hanya di sini terdapat petapa ke dua, hanya di sini terdapat petapa ke tiga, hanya di sini terdapat petapa ke empat. Doktrin-doktrin dari yang lain adalah kosong [64] dari petapa: itu adalah bagaimana kalian dapat dengan benar mengaumkan auman singa kalian.

3. “Adalah mungkin, para bhikkhu, bahwa para pengembara sekte lain menanyakan: ‘Tetapi atas kekuatan [argumen] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah Yang Mulia berkata demikian?’ Para petapa sekte lain yang bertanya demikian dapat dijawab dengan cara ini: ‘Teman-teman, empat hal telah dinyatakan kepada kami oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna; setelah melihat hal ini dalam diri kami, kami mengatakan: “hanya di sini terdapat seorang petapa, hanya di sini terdapat petapa ke dua, hanya di sini terdapat petapa ke tiga, hanya di sini terdapat petapa ke empat. Doktrin-doktrin dari yang lain adalah kosong dari petapa.” Apakah empat ini? Kami memiliki keyakinan pada Sang Guru, kami memiliki keyakinan pada Dhamma, kami telah memenuhi aturan-aturan moral, dan teman-teman kami dalam Dhamma menyayangi dan menyenangi kami apakah mereka umat awam atau mereka yang telah meninggalkan keduniawian. Ini adalah empat hal yang dinyatakan kepada kami oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, ketika melihatnya dalam diri kami, kami mengatakan apa yang kami lakukan.’

4. “Adalah mungkin, para bhikkhu, para pengembara sekte lain akan berkata sebagai berikut: ‘Teman-teman, kami juga memiliki keyakinan pada Sang Guru, yaitu, pada Guru Kami; kami juga memiliki keyakinan pada Dhamma, yaitu, pada Dhamma kami, kami juga telah memenuhi aturan-aturan moral, yaitu aturan-aturan kami; dan teman-teman kami dalam Dhamma juga menyayangi dan menyenangi kami apakah mereka umat awam atau mereka yang telah meninggalkan keduniawian. Apakah bedanya di sini, sahabat-sahabat, apakah perbedaan antara kalian dan kami?’

5. “Para pengembara dari sekte lain yang bertanya demikian dapat dijawab seperti ini: ‘Bagaimanakah, teman-teman, apakah tujuannya satu atau banyak?’ jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuannya adalah satu bukan banyak.’  – ‘Tetapi, teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang terpengaruh oleh nafsu atau bebas dari nafsu?’ Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang bebas dari nafsu, bukan untuk seorang yang terpengaruh oleh nafsu.’ - ‘Tetapi, teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang terpengaruh oleh kebencian atau bebas dari kebencian?’ Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang bebas dari kebencian, bukan untuk seorang yang terpengaruh oleh kebencian.’ - ‘Tetapi, teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang terpengaruh oleh kebodohan atau bebas dari kebodohan?’ Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang bebas dari kebodohan, bukan untuk seorang yang terpengaruh oleh kebodohan.’ - ‘Tetapi, teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang terpengaruh oleh keinginan atau bebas dari keinginan?’ [65] Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang bebas dari keinginan, bukan untuk seorang yang terpengaruh oleh keinginan.’ - ‘Tetapi, teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang terpengaruh oleh kemelekatan atau bebas dari kemelekatan?’ Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang bebas dari kemelekatan, bukan untuk seorang yang terpengaruh oleh kemelekatan.’ - ‘Tetapi, teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang memiliki penglihatan atau tanpa penglihatan?’ Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang memiliki penglihatan, bukan untuk seorang yang tanpa penglihatan.’ - ‘Tetapi, teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang menyukai dan menolak, atau untuk seorang yang tidak menyukai dan tidak menolak?’ Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang tidak menyukai dan tidak menolak, bukan untuk seorang yang menyukai atau menolak.’  - ‘Tetapi, teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang bergembira dan menikmati proliferasi, atau untuk seorang yang tidak bergembira dalam dan tidak menikmati proliferasi?’ Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang tidak bergembira dalam dan tidak menikmati proliferasi, bukan untuk seorang yang menyenangi dan menikmati proliferasi.’

6. “Para bhikkhu, terdapat dua pandangan ini: pandangan penjelmaan dan pandangan tanpa penjelmaan. Petapa atau brahmana manapun yang menganut pandangan penjelmaan, mengadopsi pandangan penjelmaan, menerima pandangan penjelmaan, adalah berlawanan dengan pandangan tanpa penjelmaan. Petapa atau brahmana manapun yang menganut pandangan tanpa penjelmaan, mengadopsi pandangan tanpa penjelmaan, menerima pandangan tanpa penjelmaan, adalah berlawanan dengan pandangan  penjelmaan.

7. “Petapa atau brahmana manapun yang tidak memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri  sehubungan dengan kedua pandangan ini adalah terpengaruh oleh nafsu, terpengaruh oleh kebencian, terpengaruh oleh kebodohan, terpengaruh oleh keinginan, terpengaruh oleh kemelekatan, tanpa penglihatan, terbiasa menyukai dan menolak, dan mereka bergembira dalam dan menikmati proliferasi. Mereka tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; mereka tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

8. “Petapa atau brahmana manapun yang memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kedua pandangan ini adalah tanpa nafsu, tanpa kebencian, tanpa kebodohan, tanpa keinginan, tanpa kemelekatan, memiliki penglihatan, tidak terbiasa menyukai atau menolak, dan mereka tidak bergembira dalam dan tidak menikmati proliferasi. Mereka terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; mereka terbebas dari penderitaan, Aku katakan. [66]

9. “Para bhikkhu, terdapat empat jenis kemelekatan. Apakah empat ini? Kemelekatan pada segala jenis kenikmatan, kemelekatan pada pandangan, kemelekatan pada ritual dan upacara, dan kemelekatan pada doktrin diri.

10. “Walaupun para petapa dan brahmana tertentu mengaku mampu mengemukakan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan, mereka tidak sepenuhnya menggambarkan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan.  Mereka menggambarkan hanya pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria tanpa menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada pandangan, kemelekatan pada ritual dan upacara, dan kemelekatan pada doktrin diri. Mengapakah? Para petapa dan brahmana baik itu tidak memahami ketiga jenis kemelekatan ini sebagaimana adanya. Oleh karena itu, walaupun para petapa dan brahmana tertentu mengaku mampu mengemukakan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan, mereka tidak sepenuhnya menggambarkan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan, mereka menggambarkan hanya pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria tanpa menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada pandangan, kemelekatan pada ritual dan upacara, dan kemelekatan pada doktrin diri.

11. “Walaupun para petapa dan brahmana tertentu mengaku mampu mengemukakan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan … mereka menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria dan kemelekatan pada pandangan tanpa menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada ritual dan upacara dan kemelekatan pada doktrin diri. Mengapakah? Karena mereka tidak memahami kedua jenis kemelekatan ini … oleh karena itu mereka menggambarkan hanya pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria dan kemelekatan pada pandangan tanpa menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada ritual dan upacara dan kemelekatan pada doktrin diri.

12. “Walaupun para petapa dan brahmana tertentu mengaku mampu mengemukakan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan … mereka menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria dan kemelekatan pada pandangan dan  kemelekatan pada ritual dan upacara tanpa menggambarkan pemahaman penuh  atas kemelekatan pada doktrin diri. Mereka tidak memahami satu jenis kemelekatan ini … oleh karena itu mereka menggambarkan hanya pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria dan kemelekatan pada pandangan dan kemelekatan pada ritual dan upacara tanpa menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada doktrin diri.

13. “Para bhikkhu, dalam Dhamma dan Disiplin demikian, jelas bahwa keyakinan pada Sang Guru tidak diarahkan dengan benar, bahwa keyakinan pada Dhamma tidak diarahkan dengan benar, bahwa pemenuhan aturan-aturan moral tidak diarahkan dengan benar, dan bahwa kasih sayang di antara teman-teman dalam Dhamma tidak diarahkan dengan benar. Mengapakah? Karena itu adalah bagaimana ketika Dhamma dan Disiplin [67] dinyatakan dengan buruk dan dibabarkan dengan buruk, tidak membebaskan, tidak mendukung kedamaian, dibabarkan oleh seorang yang tidak tercerahkan sempurna.

14. “Para bhikkhu, ketika seorang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, mengaku mampu mengemukakan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan, Beliau secara lengkap menggambarkan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan: beliau menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria, kemelekatan pada pandangan, kemelekatan pada ritual dan upacara, dan kemelekatan pada doktrin diri.

15. “Para bhikkhu, dalam Dhamma dan Disiplin demikian, jelas bahwa keyakinan pada Sang Guru diarahkan dengan benar, bahwa keyakinan pada Dhamma diarahkan dengan benar, bahwa pemenuhan aturan-aturan moral diarahkan dengan benar, dan bahwa kasih sayang di antara teman-teman dalam Dhamma diarahkan dengan benar. Mengapakah? Karena itu adalah bagaimana ketika Dhamma dan Disiplin dinyatakan dengan baik dan dibabarkan dengan baik, membebaskan, mendukung kedamaian, dibabarkan oleh seorang yang tercerahkan sempurna.

16. “Sekarang empat jenis kemelekatan ini memiliki apakah sebagai sumbernya, apakah sebagai asal-mulanya, dari apakah ditimbulkan dan dihasilkan? Empat jenis kemelekatan ini memiliki keinginan sebagai sumbernya, keinginan sebagai asal-mulanya, ditimbulkan dan dihasilkan dari keinginan.  Keinginan memiliki apakah sebagai sumbernya …? Keinginan memiliki perasaan sebagai sumbernya … Perasaan memiliki apakah sebagai sumbernya …? Perasaan memiliki kontak sebagai sumbernya … Kontak memiliki apakah sebagai sumbernya …? Kontak memiliki enam landasan sebagai sumbernya … Enam landasan memiliki apakah sebagai sumbernya …? Enam landasan memiliki batin-jasmani sebagai sumbernya … Batin-jasmani memiliki apakah sebagai sumbernya …? Batin-jasmani memiliki kesadaran sebagai sumbernya … Kesadaran memiliki apakah sebagai sumbernya …? Kesadaran memiliki bentukan-bentukan sebagai sumbernya … Bentukan-bentukan  memiliki apakah sebagai sumbernya …? Bentukan-bentukan memiliki kebodohan sebagai sumbernya, kebodohan sebagai asal-mulanya, timbul dan dihasilkan dari kebodohan.

17. “Para bhikkhu, ketika kebodohan ditinggalkan dan pengetahuan sejati muncul dalam diri seorang bhikkhu, maka dengan meluruhnya kebodohan dan munculnya pengetahuan sejati ia tidak lagi melekat pada kenikmatan indria, tidak lagi melekat pada pandangan, tidak lagi melekat pada ritual dan upacara, tidak lagi melekat pada doktrin diri.  Ketika ia tidak melekat, ia tidak gelisah. Ketika ia tidak gelisah, maka ia oleh dirinya sendiri mencapai Nibbāna. Ia memahami: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.” [68]

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 12:54:59 AM
12  Mahāsīhanāda Sutta
Khotbah panjang tentang Auman Singa

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di hutan di sebelah barat kota.

2. Pada saat itu Sunakkhatta, putera Licchavi, baru saja meninggalkan Dhamma dan Disiplin ini.  Ia mengemukakan pernyataan di hadapan sekumpulan penduduk Vesālī: “Petapa Gotama tidak memiliki kondisi yang melampaui manusia, tidak memiliki keluhuran dalam hal pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.  Petapa Gotama mengajarkan Dhamma [hanya sekadar] menggunakan logika, mengikuti jalur pencarianNya sendiri saat muncul dalam diriNya, dan ketika Beliau mengajarkan Dhamma kepada orang lain, Dhamma itu menuntunnya ,jika ia mempraktikkannya, menuju kehancuran total penderitaan.”

3. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan. Kemudian ia mendengar Sunakkhatta, putera Licchavi, mengemukakan pernyataan di hadapan sekumpulan penduduk Vesālī. Ketika ia telah menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Sang Bhagavā tentang apa yang dikatakan oleh Sunakkhatta.

4. [Sang Bhagavā berkata:] “Sāriputta, orang sesat Sunakkhatta sedang marah dan kata-katanya diucapkan karena marah. Dengan berniat untuk mendiskreditkan Sang Tathāgata, sebaliknya ia malah memuji Beliau; [69] karena adalah pujian terhadap Sang Tathāgata dengan mengatakan tentang Beliau: ‘Ketika Beliau mengajarkan Dhamma kepada orang lain, Dhamma itu menuntunnya, jika ia mempraktikkannya, menuju kehancuran total penderitaan.’

5. “Sāriputta, orang sesat Sunakkhatta tidak akan pernah berpendapat tentangKu sesuai dengan Dhamma: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah sempurna, tercerahkan sepenuhnya, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal segenap alam, pemimpin yang tanpa bandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’

6. “Dan ia tidak akan pernah berpendapat tentangKu sesuai dengan Dhamma: ‘Bahwa Sang Bhagavā menikmati berbagai jenis kekuatan batin: dari satu Beliau menjadi banyak; dari banyak Beliau menjadi satu, Beliau muncul dan lenyap; Beliau bepergian tanpa terhalangi oleh dinding, menembus tembok, menembus gunung seolah-olah menembus ruang kosong; Beliau menyelam masuk dan keluar dari tanah seolah-olah di dalam air; Beliau berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; duduk bersila, Beliau bepergian di angkasa seperti burung; dengan tanganNya Beliau menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; Beliau mengerahkan kekuatan jasmani, hingga sejauh alam-Brahma.’

7. “Dan ia tidak akan pernah berpendapat tentangKu sesuai dengan Dhamma: ‘Dengan unsur telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, Sang Bhagavā mendengar kedua jenis suara, suara surgawi dan suara manusia, yang jauh maupun dekat.’

8. “Dan ia tidak akan pernah berpendapat tentangKu sesuai dengan Dhamma: ‘Bahwa Sang Bhagavā melingkupi pikiran makhluk-makhluk lain, orang-orang lain dengan pikiranNya. Beliau memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai tidak terpengaruh nafsu; Beliau memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai tidak terpengaruh kebencian; Beliau memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai tidak terpengaruh kebodohan; Beliau memahami pikiran yang mengerut sebagai mengerut dan pikiran yang kacau sebagai kacau; Beliau memahami pikiran luhur sebagai luhur dan pikiran tidak luhur sebagai tidak luhur; Beliau memahami pikiran yang terbatas sebagai terbatas dan pikiran tidak terbatas sebagai tidak terbatas; Beliau memahami pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi; Beliau memahami pikiran yang terbebaskan sebagai terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan.’

(SEPULUH KEKUATAN SEORANG TATHĀGATA)

9. “Sāriputta, Sang Tathāgata memiliki sepuluh kekuatan ini, yang dengan memilikinya Beliau diakui sebagai pemimpin kelompok, mengaumkan auman singa di dalam kelompok-kelompok, dan memutar Roda Brahmā.  Apakah sepuluh ini?

10. (1) “Di sini, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya yang mungkin sebagai mungkin dan yang tidak mungkin sebagai tidak mungkin.  Dan itu [70] adalah kekuatan seorang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau diakui sebagai pemimpin kelompok, mengaumkan auman singa di dalam kelompok-kelompok, dan memutar Roda Brahmā.

11. (2) “Kemudian, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan, di masa lalu, di masa depan, dan di masa sekarang, dengan kemungkinan-kemungkinan dan penyebab-penyebabnya. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata …

12. (3) “Kemudian, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya Jalan yang mengarah menuju semua alam tujuan kelahiran kembali. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata …

13. (4) “Kemudian, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya dunia dengan banyak unsur yang berbeda-beda. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata …

14. (5) “Kemudian, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya bagaimana makhluk-makhluk memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata …

15. (6) “Kemudian, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya watak dari indria makhluk-makhluk lain, orang-orang lain. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata …

16. (7) “Kemudian, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya kekotoran, pemurnian, dan kemunculan sehubungan dengan jhāna, kebebasan, konsentrasi, dan pencapaian. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata …

17. (8) “Kemudian, Sang Tathāgata mengingat banyak kehidupan lampaunya, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 4, §27) … Demikianlah beserta aspek dan ciri-cirinya Beliau mengingat banyak kehidupan lampau. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata …

18. (9) “Kemudian, Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Sang Tathāgata melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin … (seperti Sutta 4, §29) … [71] … dan Beliau memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata …

19. (10) “Kemudian, dengan menembusnya bagi diriNya sendiri dengan pengetahuan langsung, Sang Tathāgata di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau diakui sebagai pemimpin kelompok, mengaumkan auman singa di dalam kelompok-kelompok, dan memutar Roda Brahmā.

20. “Sang Tathāgata memiliki sepuluh kekuatan ini, yang dengan memilikinya Beliau diakui sebagai pemimpin kelompok, mengaumkan auman singa di dalam kelompok-kelompok, dan memutar Roda Brahmā.

21. “Sāriputta, ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, jika siapapun juga mengatakan tentangKu: ‘Petapa Gotama tidak memiliki kondisi yang melampaui manusia, tidak memiliki keluhuran dalam hal pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Petapa Gotama mengajarkan Dhamma [hanya sekadar] menggunakan logika, mengikuti jalur pencarianNya sendiri saat muncul dalam diriNya’ – jika ia tidak meninggalkan  pernyataan itu dan kondisi pikiran itu dan melepaskan pandangan itu, maka [seolah-olah] ia dibawa dan diletakkan di sana ia pasti akan berakhir di neraka.  Bagaikan seorang bhikkhu yang memiliki moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan akan menikmati pengetahuan akhir di sini dan saat ini, demikian pula akan terjadi dalam kasus ini, Aku katakan, bahwa jika ia tidak meninggalkan  pernyataan itu dan kondisi pikiran itu dan melepaskan pandangan itu, maka [seolah-olah] ia dibawa dan diletakkan di sana ia pasti akan berakhir di neraka.

(EMPAT JENIS KEBERANIAN)

22. “Sāriputta, Sang Tathāgata memiliki empat jenis keberanian ini, yang dengan memilikinya Beliau diakui sebagai pemimpin kelompok, mengaumkan auman singa di dalam kelompok-kelompok, dan memutar Roda Brahmā. Apakah empat ini?

23. “Di sini, Aku tidak melihat dasar yang dengannya petapa atau brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmā atau siapapun juga di dunia ini mampu, sesuai dengan Dhamma, menuduhKu sebagai berikut: ‘Walaupun Engkau mengaku telah mencapai Pencerahan Sempurna, namun Engkau tidak tercerahkan sempurna sehubungan dengan hal-hal tertentu.’ [72] Dan melihat tidak ada dasar untuk itu, Aku berdiam dengan aman, tanpa ketakutan, dan dengan berani.

24. “Aku tidak melihat dasar yang dengannya petapa … atau siapapun juga dapat menuduhKu sebagai berikut: ‘Walaupun Engkau mengaku telah menghancurkan noda-noda, namun noda-noda ini belum Engkau hancurkan.’ Dan melihat tidak ada dasar untuk itu, Aku berdiam dengan aman, tanpa ketakutan, dan dengan berani.

25. “Aku tidak melihat dasar yang dengannya petapa … atau siapapun juga dapat menuduhKu sebagai berikut: ‘Hal-hal yang Engkau sebut sebagai rintangan tidak mampu menghalangi seseorang yang menikmatinya.’ Dan melihat tidak ada dasar untuk itu, Aku berdiam dengan aman, tanpa ketakutan, dan dengan berani.

26. “Aku tidak melihat dasar yang dengannya petapa … atau siapapun juga dapat menuduhKu sebagai berikut: ‘Ketika Engkau mengajarkan Dhamma kepada seseorang, Dhamma itu tidak menuntunnya pada kehancuran total penderitaan ketika ia mempraktikkannya.’ Dan melihat tidak ada dasar untuk itu, Aku berdiam dengan aman, tanpa ketakutan, dan dengan berani.

27. “Seorang Tathāgata memiliki empat jenis keberanian ini, yang dengan memilikinya Beliau diakui sebagai pemimpin kelompok, mengaumkan auman singa di dalam kelompok-kelompok, dan memutar Roda Brahmā.

28. “Sāriputta, ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, jika siapapun juga mengatakan tentangKu … ia pasti akan berakhir di neraka.

(DELAPAN KELOMPOK)

29. “Sāriputta, terdapat delapan kelompok ini. Apakah delapan ini? Kelompok para mulia, kelompok para brahmana, kelompok para perumah tangga, kelompok para petapa, kelompok para dewa di alam surga Empat Raja Dewa, kelompok para dewa di alam surga Tiga Puluh Tiga, kelompok para pengikut Māra, kelompok para Brahmā. Dengan memiliki empat jenis keberanian ini, Sang Tathāgata mendekati dan memasuki delapan kelompok ini.

30. “Aku ingat pernah mendekati ratusan kelompok para mulia … ratusan kelompok para brahmana … ratusan kelompok para perumah tangga … ratusan kelompok para petapa … ratusan kelompok para dewa di alam surga Empat Raja Dewa … ratusan kelompok para dewa di alam surga Tiga Puluh Tiga, … ratusan kelompok para pengikut Māra … ratusan  kelompok para Brahmā. Dan Aku pernah duduk bersama mereka di sana dan berbicara dengan mereka dan berbincang-bincang dengan mereka, namun Aku melihat tidak ada dasar untuk berpikir bahwa ketakutan atau rasa segan akan menghampiriKu. Dan melihat tidak adanya dasar untuk itu, Aku berdiam dengan aman, tanpa ketakutan, dan dengan berani. [73]

31. “Sariputta, ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, jika siapapun juga mengatakan tentangKu … ia pasti akan berakhir di neraka.

(EMPAT JENIS KETURUNAN)

32. “Sāriputta, terdapat empat jenis keturunan ini. Apakah empat ini? Keturunan yang terlahir dari telur, keturunan yang terlahir dari rahim, keturunan yang terlahir dari kelembaban, dan keturunan yang terlahir spontan.

33. “Apakah keturunan yang terlahir dari telur? Terdapat makhluk-makhluk ini yang terlahir dengan memecahkan cangkang sebutir telur: ini disebut keturunan yang terlahir dari telur. Apakah keturunan yang terlahir dari rahim? Terdapat makhluk-makhluk ini yang terlahir dengan memecahkan selaput pembungkus janin: ini disebut keturunan yang terlahir dari rahim. Apakah keturunan yang terlahir dari kelembaban? Terdapat makhluk-makhluk ini yang terlahir di dalam  ikan busuk, di dalam mayat busuk, di dalam bubur busuk, di dalam lubang kakus, atau di dalam saluran air: ini disebut keturunan yang terlahir dari kelembaban. Apakah keturunan yang terlahir spontan? Terdapat para dewa dan para penghuni neraka dan manusia-manusia tertentu dan beberapa makhluk di alam rendah: ini disebut keturunan yang terlahir spontan. Ini adalah empat jenis keturunan.

34. “Sariputta, ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, jika siapapun juga mengatakan tentangKu … ia pasti akan berakhir di neraka.

(LIMA ALAM TUJUAN KELAHIRAN DAN NIBBĀNA)

35. “Sāriputta, terdapat lima alam tujuan kelahiran ini. Apakah lima ini? Neraka, alam binatang, alam hantu, alam manusia, dan dewa.

36. (1) “Aku memahami neraka, dan jalan dan cara yang mengarah menuju neraka. Dan Aku juga memahami bagaimana seseorang yang telah memasuki jalan ini akan, setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam rendah, dalam kesengsaraan, dalam neraka.

(2) “Aku memahami alam binatang, dan jalan dan cara yang mengarah menuju alam binatang. Dan Aku juga memahami bagaimana seseorang yang telah memasuki jalan ini akan, setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam binatang.

(3) “Aku memahami alam hantu, dan jalan dan cara yang mengarah menuju alam hantu. Dan Aku juga memahami bagaimana seseorang yang telah memasuki jalan ini akan, setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam hantu.
 
(4) “Aku memahami alam manusia, dan jalan dan cara yang mengarah menuju alam manusia. Dan Aku juga memahami bagaimana seseorang yang telah memasuki jalan ini akan, setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di antara manusia.

(5) “Aku memahami alam dewa, dan jalan dan cara yang mengarah menuju alam dewa. Dan Aku juga memahami bagaimana seseorang yang telah memasuki jalan ini akan, setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam bahagia, di alam surga.

(6) “Aku memahami Nibbāna, dan jalan dan cara yang mengarah menuju NIbbāna. [74] Dan Aku juga memahami bagaimana seseorang yang telah memasuki jalan ini akan, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda

37. (1) “Dengan melingkupi pikiran dengan pikiran Aku memahami orang tertentu sebagai berikut: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini sehingga setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tujuan yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, di neraka.’ Dan kemudian setelah itu, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat bahwa setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tujuan yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, di neraka, dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk yang luar biasa. Misalkan terdapat sebuah lubang membara yang lebih dalam daripada tinggi manusia yang penuh dengan bara tanpa api atau asap; dan kemudian seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang melalui jalan satu arah yang mengarah menuju lubang membara tersebut. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik ketika melihatnya akan berkata: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini sehingga ia akan sampai ke lubang membara ini’; dan kemudian setelah itu, ia melihat bahwa orang itu terjatuh ke dalam lubang membara itu dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk yang luar biasa. Demikian pula, dengan melingkupi pikiran dengan pikiran … perasaan menusuk.

38. (2) “Dengan melingkupi pikiran dengan pikiran Aku memahami orang tertentu sebagai berikut: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini sehingga setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam binatang.’ Dan kemudian setelah itu, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat bahwa setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam binatang, dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk yang luar biasa. Misalkan terdapat sebuah lubang kakus yang lebih dalam daripada tinggi manusia yang penuh dengan kotoran; dan kemudian seseorang [75] yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang melalui jalan satu arah yang mengarah menuju lubang kakus tersebut. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik ketika melihatnya akan berkata: ‘Orang ini berkelakuan begini … sehingga ia akan sampai ke lubang kakus ini’; dan kemudian setelah itu, ia melihat bahwa orang itu terjatuh ke dalam lubang kakus itu dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk yang luar biasa. Demikian pula, dengan melingkupi pikiran dengan pikiran … perasaan menusuk.

39. (3) “Dengan melingkupi pikiran dengan pikiran Aku memahami orang tertentu sebagai berikut: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini sehingga setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam hantu.’ Dan kemudian setelah itu … Aku melihat bahwa … ia muncul kembali di alam hantu, dan mengalami perasaan yang sangat menyakitkan. Misalkan terdapat sebatang pohon yang tumbuh di atas tanah yang tidak datar dengan sedikit dedauan yang menghasilkan bayangan yang tidak penuh; dan kemudian seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang melalui jalan satu arah yang mengarah menuju pohon tersebut. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik ketika melihatnya akan berkata: ‘Orang ini berkelakuan begini … sehingga ia akan sampai ke pohon ini’; dan kemudian setelah itu, ia melihat bahwa orang itu duduk atau berbaring dalam bayangan pohon itu dan mengalami perasaan yang sangat menyakitkan. Demikian pula, dengan melingkupi pikiran dengan pikiran … perasaan yang sangat menyakitkan.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 10:42:26 AM
40. (4) “Dengan melingkupi pikiran dengan pikiran Aku memahami orang tertentu sebagai berikut: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini sehingga setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di antara manusia.’ Dan kemudian setelah itu … Aku melihat bahwa … ia muncul kembali di antara manusia, dan mengalami perasaan yang sangat menyenangkan. Misalkan terdapat sebatang pohon yang tumbuh di atas tanah datar dengan dedauan yang lebat menghasilkan bayangan yang penuh; dan kemudian seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang melalui jalan satu arah yang mengarah menuju pohon tersebut. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik ketika melihatnya akan berkata: ‘Orang ini berkelakuan begini … sehingga ia akan sampai ke pohon ini’; dan kemudian setelah itu, ia melihat bahwa orang itu duduk atau berbaring dalam bayangan pohon itu dan mengalami perasaan yang sangat menyenangkan. Demikian pula, dengan melingkupi pikiran dengan pikiran … perasaan yang sangat menyenangkan. [76]

41. (5) “Dengan melingkupi pikiran dengan pikiran Aku memahami orang tertentu sebagai berikut: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini sehingga setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam tujuan yang bahagia, di alam surga.’ Dan kemudian setelah itu … Aku melihat bahwa … ia muncul kembali di alam tujuan yang bahagia, di alam surga, dan mengalami perasaan yang sangat menyenangkan. Misalkan terdapat sebuah istana, dan istana itu memiliki kamar atas yang di-plester bagian luar dan dalamnya, terkunci, diperkokoh dengan teralis, dengan jendela tertutup, dan di dalamnya terdapat sebuah dipan berlapiskan permadani, selimut dan alas dipan, dengan penutup dipan dari kulit rusa, lengkap dengan kanopi serta bantal merah di kedua ujungnya [kepala dan kaki]; dan kemudian seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang melalui jalan satu arah yang mengarah menuju istana tersebut. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik ketika melihatnya akan berkata: ‘Orang ini berkelakuan begini … sehingga ia akan sampai ke istana ini’; dan kemudian setelah itu, ia melihat bahwa orang itu duduk atau berbaring di dalam kamar atas di dalam istana itu mengalami perasaan yang sangat menyenangkan. Demikian pula, dengan melingkupi pikiran dengan pikiran … perasaan yang sangat menyenangkan.

42. (6) “Dengan melingkupi pikiran dengan pikiran Aku memahami orang tertentu sebagai berikut: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini sehingga dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.’ Dan kemudian setelah itu Aku melihat bahwa dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda, dan mengalami perasaan yang sangat menyenangkan.  Misalkan terdapat sebuah kolam, dengan air yang jernih, sejuk menyenangkan, bening, dengan tepian yang landai, indah, dan dekat dengan hutan; dan kemudian seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang melalui jalan satu arah yang mengarah menuju kolam tersebut. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik ketika melihatnya akan berkata: ‘Orang ini berkelakuan begini … sehingga ia akan sampai ke kolam ini’; dan kemudian setelah itu, ia melihat bahwa orang itu telah masuk ke dalam kolam, mandi, minum, dan melepaskan segala kepenatan, kelelahan, dan telah keluar lagi dan sedang duduk atau berbaring di dalam hutan [77] mengalami perasaan yang sangat menyenangkan. Demikian pula, dengan melingkupi pikiran dengan pikiran … perasaan yang sangat menyenangkan. Ini adalah lima alam tujuan kelahiran.

43. “Sāriputta, ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, jika siapapun juga mengatakan tentangKu: ‘Petapa Gotama tidak memiliki kondisi yang melampaui manusia, tidak memiliki keluhuran dalam hal pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Petapa Gotama mengajarkan Dhamma [hanya sekadar] menggunakan logika, mengikuti jalur pencarianNya sendiri saat muncul dalam diriNya’ – jika ia tidak meninggalkan  pernyataan itu dan kondisi pikiran itu dan melepaskan pandangan itu, maka [seolah-olah] ia dibawa dan diletakkan di sana ia pasti akan berakhir di neraka. Bagaikan seorang bhikkhu yang memiliki moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan akan menikmati pengetahuan akhir di sini dan saat ini, demikian pula akan terjadi dalam kasus ini, Aku katakan, bahwa jika ia tidak meninggalkan  pernyataan itu dan kondisi pikiran itu dan melepaskan pandangan itu, maka [seolah-olah] ia dibawa dan diletakkan di sana, ia pasti akan berakhir di neraka.

(PRAKTIK KERAS SANG BODHISATTA)

44.  “Sāriputta, Aku ingat telah menjalani kehidupan suci yang memiliki empat faktor. Aku telah mempraktikkan pertapaan – pertapaan sangat keras; Aku telah mempraktikkan kekasaran – sangat kasar; Aku telah mempraktikkan kehati-hatian – sangat hati-hati; Aku telah mempraktikkan keterasingan – sangat terasing.

45. “Beginilah pertapaanKu, Sāriputta, bahwa Aku bepergian dengan telanjang, menolak kebiasaan-kebiasaan, menjilat tanganKu, tidak datang ketika dipanggil, tidak berhenti ketika diminta; Aku tidak menerima makanan yang dibawa atau makanan yang secara khusus dipersiapkan atau suatu undangan makan; Aku tidak menerima dari kendi, dari mangkuk, melintasi ambang pintu, terhalang tongkat kayu, terhalang alat penumbuk, dari dua orang yang sedang makan bersama, dari perempuan hamil, dari perempuan yang sedang menyusui, dari perempuan yang sedang berbaring bersama laki-laki, dari mana terdapat pengumuman pembagian makanan, dari mana seekor anjing sedang menunggu, dari mana lalat beterbangan; Aku tidak menerima ikan atau daging, Aku tidak meminum minuman keras, anggur, atau minuman fermentasi. Aku mendatangi satu rumah, satu suap; aku mendatangi dua [78] rumah, dua suap; … Aku mendatangi tujuh rumah, tujuh suap. Aku makan satu mangkuk sehari, dua mangkuk sehari … tujuh mangkuk sehari; Aku makan sekali dalam sehari, sekali dalam  dua hari … sekali dalam tujuh hari, dan seterusnya hingga sekali setiap dua minggu; aku berdiam menjalani praktik makan pada interval waktu yang telah ditentukan. Aku adalah pemakan sayur-sayuran dan padi-padian atau beras kasar atau kulit kupasan buah atau lumut atau kulit padi atau sekam atau tepung wijen atau rumput atau kotoran sapi. Aku hidup dari akar-akaran dan buah-buahan di hutan; Aku memakan buah-buahan yang jatuh. Aku mengenakan pakaian terbuat dari rami, dari rami dan kain, dari kain pembungkus mayat, dari selimut yang dibuang, dari kulit pohon, dari kulit rusa, dari cabikan kulit rusa, dari kain rumput kusa, dari kain kulit kayu, dari kain serutan kayu, dari kain rambut, dari kain bulu binatang, dari bulu sayap burung hantu. Aku adalah seorang yang mencabut rambut dan janggut, menjalani praktik mencabut rambut dan janggut. Aku adalah seorang yang berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk. Aku adalah seorang yang berjongkok terus-menerus, senantiasa mempertahankan posisi jongkok. Aku adalah seorang yang menggunakan alas tidur paku; Aku menjadikan alas tidur paku sebagai tempat tidurKu. Aku berdiam dengan menjalani praktik mandi tiga kali sehari termasuk malam hari. Demikianlah dalam berbagai cara Aku berdiam dengan menjalani praktik menyiksa dan menghukum diri. Demikianlah pertapaanKu.

46. “Beginilah kekasaranKu, Sāriputta, bagaikan batang pohon Tindukā, yang terkumpul selama bertahun-tahun, menempel dan mengelupas, demikian pula, debu dan daki, yang terkumpul selama bertahun-tahun, menempel di tubuhKu dan mengelupas. Tidak pernah terpikir olehKu: ‘Oh, Aku akan menggosok debu dan daki ini dengan tanganKu, atau membiarkan orang lain menggosok debu dan daki ini dengan tangannya’ – tidak pernah terpikirkan olehKu demikian. Demikianlah kekasaranKu.

47. “Beginilah kehati-hatianKu, Sāriputta, bahwa Aku senantiasa penuh perhatian dalam melangkah maju dan melangkah mundur. Aku selalu berbelas kasihan bahkan pada [makhluk-makhluk] dalam setetes air sebagai berikut: ‘Semoga Aku tidak menyakiti makhluk-makhluk kecil dalam celah tanah ini.’  Demikianlah kehati-hatianKu.

48. “Beginilah keterasinganKu, Sāriputta, bahwa [79] Aku akan memasuki hutan dan berdiam di sana. Dan ketika Aku melihat seorang penggembala sapi atau seorang penggembala domba atau seseorang yang sedang mengumpulkan rumput atau kayu, atau seorang pekerja hutan, Aku akan pergi dari hutan ke hutan, dari belantara ke belantara, dari lembah ke lembah, dari bukit ke bukit. Mengapakah? Agar mereka tidak melihatKu atau agar Aku tidak melihat mereka. Bagaikan seekor rusa yang lahir di dalam hutan, ketika melihat manusia, akan lari dari hutan ke hutan, dari belantara ke belantara, dari lembah ke lembah, dari bukit ke bukit, demikian pula, ketika Aku melihat seorang penggembala sapi atau seorang penggembala domba … Demikianlah keterasinganKu.

49. “Aku akan bepergian dengan keempat tangan dan kakiKu menuju kandang sapi ketika sapi-sapi telah pergi dan si penggembala meninggalkannya, dan Aku akan memakan kotoran sapi-sapi muda. Selama kotoran dan air kencingKu masih ada, Aku akan memakan kotoran dan air kencingKu sendiri. Demikianlah praktik kerasKu dalam hal memakan kotoran.

50.  “Aku akan pergi ke hutan-hutan yang menakutkan dan berdiam di sana – hutan yang begitu menakutkan sehingga umumnya akan membuat seseorang merinding jika ia tidak terbebas dari nafsu. Pada malam-malam musim dingin selama ‘delapan hari interval beku,’ Aku akan berdiam di ruang terbuka dan siang harinya di dalam hutan.  Dalam bulan terakhir musim panas Aku akan berdiam di ruang terbuka pada siang hari dan di dalam hutan pada malam hari. Dan di sana secara spontan muncul dalam diriKu syair ini yang belum pernah terdengar sebelumnya:

   ‘Kedinginan di malam hari dan terpanggang di siang hari,
   Sendirian di dalam hutan yang menakutkan,
   Telanjang, tidak ada api untuk duduk di dekatnya,
   Namun Sang Petapa tetap melanjutkan pencariannya.’

51. “Aku membuat tempat tidur di tanah pekuburan dengan tulang-belulang orang mati sebagai bantal. Dan anak-anak penggembala datang dan meludahiKu, mengencingiKu, melemparkan tanah kepadaKu, dan menusukkan kayu ke dalam telingaKu. Namun Aku tidak ingat bahwa Aku pernah membangkitkan pikiran jahat [kebencian] terhadap mereka. Demikianlah kediamanKu dalam keseimbangan. [80]

52.  “Sāriputta, ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui makanan.’  Mereka mengatakan: ‘Ayo kita hidup dari memakan buah kola,’ dan mereka memakan buah kola, mereka memakan tepung kola, mereka meminum air buah kola, dan mereka membuat berbagai jenis ramuan buah kola. Sekarang Aku ingat pernah memakan satu buah kola sehari. Sāriputta, engkau mungkin berpikir bahwa buah kola pada masa itu lebih besar, namun engkau tidak boleh menganggapnya demikian; buah kola pada masa itu berukuran sama seperti sekarang. Karena memakan satu buah kola sehari, tubuhKu menjadi sangat kurus. Karena makan begitu sedikit anggota-anggota tubuhku menjadi seperti tanaman merambat atau batang bambu. Karena makan begitu sedikit punggungku menjadi seperti kuku unta. Karena makan begitu sedikit tonjolan tulang punggungku menonjol bagaikan untaian tasbih. Karena makan begitu sedikit tulang rusukKu menonjol karena kurus seperti kasau dari sebuah lumbung tanpa atap. Karena makan begitu sedikit bola mataKu masuk jauh ke dalam lubang mata, terlihat seperti kilauan air yang jauh di dalam sumur yang dalam. Karena makan begitu sedikit kulit kepalaKu mengerut dan layu bagaikan buah labu pahit yang mengerut dan layu oleh angin dan matahari. Karena makan begitu sedikit kulit perutku menempel pada tulang punggungKu; sedemikian sehingga jika Aku menyentuh kulit perutKu maka akan tersentuh tulang punggungKu, dan jika Aku menyentuh tulang punggungKu maka akan tersentuh kulit perutKu. Karena makan begitu sedikit, jika Aku mencoba menyamankan diriKu dengan memijat badanKu dengan tanganKu, maka bulunya, tercabut pada akarnya, berguguran dari badanKu ketika Aku menggosoknya.

53-55. “Sāriputta, ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui makanan.’ Mereka mengatakan: ‘Ayo kita hidup dari memakan kacang,’ ... ‘Ayo kita hidup dari memakan wijen,’ ... ‘Ayo kita hidup dari memakan nasi,’ dan mereka memakan nasi, mereka memakan tepung beras, [81] mereka meminum air beras, dan mereka membuat berbagai jenis ramuan beras. Sekarang Aku ingat pernah memakan satu butir nasi sehari. Sāriputta, engkau mungkin berpikir bahwa butiran nasi pada masa itu lebih besar, namun engkau tidak boleh menganggapnya demikian; butiran nasi pada masa itu berukuran sama seperti sekarang. Karena memakan satu butir nasi sehari, tubuhKu menjadi sangat kurus. Karena makan begitu sedikit ... maka bulunya, tercabut pada akarnya, berguguran dari badanKu ketika Aku menggosoknya.

56. “Akan tetapi, Sāriputta, dengan melakukan demikian, dengan praktik demikian, dengan melakukan pertapaan keras demikian, Aku tidak mencapai kondisi yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Mengapakah? Karena Aku belum mencapai kebijaksanaan mulia yang ketika tercapai maka menjadi mulia dan membebaskan dan menuntun seseorang yang mempraktikkannya menuju kehancuran total penderitaan.

57. “Sāriputta, Ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui lingkaran kelahiran kembali.’ Tetapi tidaklah mudah menemukan alam dalam lingkaran ini di mana Aku belum pernah [82] melaluinya dalam perjalanan yang panjang ini, kecuali sebagai para dewa di Alam Murni; dan jika Aku terlahir kembali sebagai dewa di Alam Murni, maka Aku tidak akan kembali ke dunia ini.

58. “Ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui [beberapa jenis] kelahiran tertentu.’ Tetapi adalah tidak mungkin menemukan jenis kelahiran kembali yang mana Aku belum pernah terlahirkan kembali dalam perjalanan yang panjang ini, kecuali sebagai para dewa di Alam Murni ...

59. “Ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui [beberapa jenis] alam kehidupan tertentu.’ Tetapi adalah tidak mungkin menemukan jenis alam di mana Aku belum pernah berdiam di dalamnya ... kecuali sebagai para dewa di alam murni ...

60. “Ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui pengorbanan.’ Tetapi adalah tidak mungkin menemukan jenis pengorbanan yang belum pernah Kupersembahkan dalam perjalanan yang panjang ini, ketika aku menjadi seorang raja mulia atau seorang brahmana yang makmur.

61. “Ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui pemujaan api.’ Tetapi adalah tidak mungkin menemukan jenis api yang belum pernah Kusembah dalam perjalanan yang panjang ini, ketika aku menjadi seorang raja mulia atau seorang brahmana yang makmur.

62. “Sāriputta, ada petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Selama orang baik ini masih muda, seorang pemuda berambut hitam dengan berkah kemudaannya, dalam tahap utama kehidupannya, maka selama itu ia sempurna dalam kebijaksanaan cerahnya. Tetapi ketika orang baik ini tua, berusia lanjut, terbebani tahun demi tahun, jompo, dan sampai pada tahap akhir, berumur delapan puluh, Sembilan puluh, atau seratus tahun, maka kecemerlangan kebijaksanaannya hilang.’ Tetapi jangan beranggapan demikian. Aku sekarang sudah tua, berusia lanjut, terbebani tahun demi tahun, jompo, dan sampai pada tahap akhir: umurku sudah delapan puluh tahun. Misalkan Aku memiliki empat siswa dengan umur kehidupan seratus tahun, sempurna dalam perhatian, daya ingat, ingatan, dan kebijaksanaan cemerlang.  Bagaikan seorang pemanah terampil, terpelajar, terlatih, dan teruji, mampu dengan mudah menembakkan anak panah menembus bayangan sebatang pohon palem, misalkan mereka sempurna dalam perhatian, memiliki daya ingat yang kuat, [83] dan kebijaksanaan cemerlang. Misalkan mereka terus-menerus menanyakan kepadaKu tentang Empat Landasan Perhatian dan Aku menjawab mereka ketika ditanya dan bahwa mereka mengingat semua jawabanKu dan tidak pernah mengajukan pertanyaan lanjutan atau berhenti bertanya kecuali untuk makan, minum, mengunyah, mengecap, buang air, dan beristirahat untuk menghilangkan kantuk dan keletihan. Namun selagi pembabaran Dhamma oleh Sang Tathāgata, penjelasanNya tentang faktor-faktor Dhamma, dan jawabanNya atas pertanyaan-pertanyaan itu masih belum berakhir, tetapi sementara itu keempat siswaKu yang memiliki umur kehidupan seratus tahun akan meninggal dunia di akhir seratus tahun itu. Sāriputta, bahkan jika engkau harus membawaku pergi ke mana-mana di atas tempat tidur, namun tidak akan ada perubahan dalam kecerahan kebijaksanaan Sang Tathāgata.

63. “Sebenarnya, jika dikatakan tentang seseorang: ‘Suatu makhluk yang tidak tunduk pada kebodohan telah muncul di dunia ini demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, dan demi kebahagiaan para dewa dan manusia,’ Adalah padaKu ucapan benar itu seharusnya ditujukan.

64. Pada saat itu Yang Mulia Nāgasamāla sedang berdiri di belakang Sang Bhagavā mengipasi Beliau.  Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Sungguh mengagumkan, Yang Mulia, sungguh menakjubkan! Sewaktu aku mendengarkan khotbah Dhamma ini, bulu badanku berdiri. Yang Mulia, apakah nama dari khotbah Dhamma ini?”

“Sehubungan dengan hal ini, engkau boleh mengingat khotbah Dhamma ini sebagai: ‘Khotbah yang menegakkan bulu badan.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Nāgasamāla merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 10:44:24 AM
13  Mahādukkhakkhandha Sutta
Khotbah Panjang tentang Kumpulan Penderitaan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, pada pagi harinya, sejumlah bhikkhu merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luar mereka, [84] memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Kemudian mereka berpikir: “Masih terlalu pagi untuk pergi menerima dana makanan. Bagaimana jika kami pergi ke taman para pengembara sekte lain.” Maka mereka pergi ke taman para pengembara sekte lain dan saling bertukar sapa dengan para pengembara. Setelah ramah-tamah itu berakhir, mereka duduk di satu sisi. Para pengembara itu berkata kepada mereka:

3. “Teman-teman, Petapa Gotama menjelaskan pemahaman penuh pada kenikmatan indria, dan kami juga demikian; Petapa Gotama menjelaskan pemahaman penuh pada bentuk materi, dan kami juga demikian; Petapa Gotama menjelaskan pemahaman penuh pada perasaan, dan kami juga demikian. Kalau begitu, apakah perbedaannya di sini,  antara ajaran Petapa Gotama akan Dhamma dan ajaran kami, antara instruksi-instruksi Beliau dan instruksi-instruksi kami?”

4. kemudian para bhikkhu itu tidak menyetujui juga tidak membantah kata-kata para pengembara itu. Dengan tanpa melakukan kedua hal itu mereka bangkit dari duduk dan pergi, dengan berpikir: “Kami akan memahami makna dari kata-kata ini di hadapan Sang Bhagavā.”

5. Ketika mereka telah pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahukan apa yang telah terjadi. [Sang Bhagavā berkata:] [85]
 
6. “Para bhikkhu, para pengembara sekte lain yang berkata demikian harus ditanya sebagai berikut: “Tetapi, teman-teman, apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria? Apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi? Apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan?’ dengan ditanya demikian, para pengembara sekte lain tidak akan mampu menjelaskan hal itu, dan lebih jauh lagi, mereka akan mengalami kesulitan. Mengapakah? Karena hal ini bukanlah bidang mereka. Para bhikkhu, Aku tidak melihat satupun di dunia ini bersama para dewa, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini dengan para petapa dan brahmana, dengan para raja dan rakyatnya, yang mampu memuaskan pikiran dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, kecuali Sang Tathāgata atau para siswaNya yang telah mempelajarinya dari Beliau.

(KENIKMATAN INDRIA)

7. (i) “Dan apakah, para bhikkhu, kepuasan sehubungan dengan kenikmatan indria? Para bhikkhu, terdapat lima utas kenikmatan indria ini. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria. kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada kelima utas kenikmatan indria ini adalah kepuasan sehubungan dengan kenikmatan indria.

8. (ii) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria? Di sini, para bhikkhu, sehubungan dengan keterampilan yang dengannya seorang anggota keluarga mencari nafkah – apakah juru periksa atau akuntan atau juru hitung atau petani atau pedagang atau peternak atau pemanah atau pegawai kerajaan, atau keterampilan apapun – ia harus mengalami dingin, ia harus mengalami panas, ia terluka oleh kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata; ia terancam kematian oleh lapar dan haus. Ini adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan, dengan kenikmatan indria sebagai sumbernya, kenikmatan indria sebagai dasarnya, [86] penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

9. “Jika tidak ada harta yang didapat oleh anggota keluarga sewaktu ia bekerja dan berjuang dan berusaha demikian, maka ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan, mengeluhkan: ‘Pekerjaanku sia-sia, usahaku tidak membuahkan hasil!’ Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini ... penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

10. “Jika ada harta yang didapat oleh anggota keluarga sewaktu ia bekerja dan berjuang dan berusaha demikian, ia mengalami kesakitan dan kesedihan dalam menjaganya: ‘Bagaimana agar raja atau pencuri tidak merampas hartaku, juga agar api tidak membakarnya, juga agar air tidak menghanyutkannya, juga agar pewaris yang penuh kebencian tidak merampasnya?’ Dan ketika ia menjaga dan melindunginya, raja atau pencuri merampasnya, atau api membakarnya, atau air menghanyutkannya, atau pewaris yang penuh kebencian merampasnya. Dan ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan, mengeluhkan: ‘Apa yang kumiliki sudah tidak ada lagi!’ Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini ... penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

11. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria, raja berselisih dengan raja, para mulia berselisih dengan para mulia, brahmana berselisih dengan brahmana, perumah tangga berselisih dengan perumah tangga, ibu berselisih dengan anak, anak berselisih dengan ibu, ayah berselisih dengan anak, anak berselisih dengan ayah, saudara laki-laki berselisih dengan saudara laki-laki, saudara laki-laki berselisih dengan saudara perempuan, saudara perempuan berselisih dengan saudara laki-laki, teman berselisih dengan teman. Dan di sini dalam perselisihan, percekcokan, pertengkaran, mereka saling menyerang satu sama lain dengan tinju, bongkahan tanah, tongkat kayu, atau pisau, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini ... penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

12. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab ... orang-orang mengambil pedang dan perisai dan mengikatkan busur dan tempat anak panah, dan dalam peperangan dalam barisan belapis ganda mereka menyerang dengan anak-anak panah dan tombak beterbangan dan pedang berkelebatan; dan di sana mereka terluka oleh anak-anak panah dan tombak, dan kepala mereka terpenggal oleh pedang, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini ... penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

13. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab ... orang-orang mengambil pedang dan perisai dan mengikatkan busur dan tempat anak panah, mereka menyerang benteng, dengan anak-anak panah dan tombak beterbangan [87] dan pedang berkelebatan; dan di sana mereka terluka oleh anak-anak panah dan tombak dan tersiram cairan mendidih dan digilas benda berat, dan kepala mereka terpenggal oleh pedang, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini ... penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

14. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab ... orang-orang mendobrak masuk ke rumah-rumah, merampas harta, melakukan perampokan, menyergap di jalan-jalan, menggoda istri orang lain, dan ketika mereka tertangkap, raja menjatuhkan berbagai hukuman pada mereka. Raja memerintahkan untuk mencambuk mereka, memukul dengan rotan, memukul dengan pentungan, memotong tangan mereka, memotong kaki mereka, memotong tangan dan kaki mereka, memotong telinga mereka, memotong hidung mereka, memotong telinga dan hidung mereka; mereka dikenai siksaan ‘panci bubur,’ ‘cukuran kulit kerang yang digosok,’ ‘mulut Rāhu,’ ‘lingkaran api,’ ‘ tangan menyala,’ ‘helai rumput,’ ‘pakaian kulit kayu,’ ‘kijang,’ ‘kail daging,’ ‘kepingan uang,’ ‘cairan asin,’ ‘tusukan berporos’, ‘gulungan jerami’;   dan mereka disiram dengan minyak mendidih, dan mereka dibuang agar dimangsa oleh anjing-anjing, dan mereka dalam keadaan hidup ditusuk dengan kayu pancang, dan kepala mereka dipenggal dengan pedang - yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini ... penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

15. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria, orang-orang melakukan perilaku salah dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran. Setelah melakukan demikian, saat hancurnya jasmani, setelah kematian, mereka muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di dalam neraka. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan dalam kehidupan mendatang,  dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

16 (iii) “Dan apakah, para bhikkhu, jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria? Yaitu lenyapnya keinginan dan nafsu, melepaskan keinginan dan nafsu akan kenikmatan indria.  Ini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria.

17. “Bahwa para petapa dan brahmana yang tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, dapat memahami sepenuhnya kenikmatan indria oleh mereka sendiri atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya kenikmatan indria – itu adalah tidak mungkin. Bahwa para petapa dan brahmana yang memahami sebagaimana adanya [88] kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, dapat memahami sepenuhnya kenikmatan indria oleh mereka sendiri atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya kenikmatan indria – itu adalah mungkin.

(BENTUK MATERI)

18. (i) “Dan apakah, para bhikkhu, kepuasan sehubungan dengan bentuk materi? Misalkan terdapat seorang gadis dari kasta ksatria atau kasta brahmana atau perumah tangga, berusia lima belas atau enam belas tahun, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, tidak terlalu kurus juga tidak terlalu gemuk, kulitnya tidak terlalu gelap juga tidak terlalu cerah. Apakah kecantikan dan kemenarikannya sedang berada pada puncaknya?” – “Benar, Yang Mulia.” – “kenikmatan dan kegembiraan yang bergantung pada kecantikan dan kemenarikan itu adalah kepuasan sehubungan dengan bentuk materi.

19. (ii) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya sehubungan dengan bentuk materi? Kemudian seseorang melihat perempuan yang sama di sini pada usia delapan puluh, Sembilan puluh, atau seratus tahun, tua, bungkuk seperti kerangka atap, terlipat, ditopang oleh tongkat, berjalan terhuyung-huyung, lemah, kemudaannya sirna, giginya tanggal, rambutnya memutih, rambutnya rontok, gundul, keriput, dengan seluruh tubuh berbisulan. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

20. “Kemudian lagi, seseorang melihat perempuan yang sama ini sakit, menderita, dan sakit keras, berbaring dengan dikotori oleh kotoran dan air kencingnya sendiri, diangkat oleh beberapa orang dan dibaringkan oleh orang lain. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini juga adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

21. “Kemudian lagi, seseorang melihat perempuan yang sama ini sebagai mayat yang dibuang di pekuburan, satu, dua, tiga hari setelah kematian, membengkak, memucat, dan cairan menetes. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini juga adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

22-29. “Kemudian lagi, seseorang melihat perempuan yang sama ini sebagai mayat yang dibuang di pekuburan, dimangsa oleh burung gagak, burung elang, burung nasar, anjing, serigala, atau berbagai jenis belatung ... [89] tulang-belulang dengan daging dan darah, terangkai oleh urat ... tulang-belulang tanpa daging berlumuran darah, terangkai oleh urat ... tulang-belulang yang tercerai-berai di segala penjuru – di sini tulang lengan, di sana tulang kaki, di sini tulang paha, di sana tulang rusuk, di sini tulang pinggul, di sana tulang punggung, di sini tengkorak ... tulang-belulang yang memutih, berwarna seperti kulit kerang ... tulang-belulang menumpuk, lebih dari setahun ... tulang-belulang membusuk dan remuk menjadi debu. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini juga adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

30. (iii) “Dan apakah, para bhikkhu, jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi? Yaitu pelenyapan keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan bentuk materi. Ini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi.

31. “Bahwa para petapa dan brahmana yang tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi, dapat memahami sepenuhnya bentuk materi oleh mereka sendiri atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya bentuk materi – itu adalah tidak mungkin. Bahwa para petapa dan brahmana yang memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi, dapat memahami sepenuhnya bentuk materi oleh mereka sendiri atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya bentuk materi – itu adalah mungkin.

(PERASAAN)

32. (i) “Dan apakah, para bhikkhu, kepuasan sehubungan dengan perasaan? Di sini, para bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.  Pada saat itu ia tidak menghendaki  penderitaannya sendiri, atau penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya. [90] pada saat itu ia hanya merasakan perasaan yang bebas dari penderitaan. Kepuasan tertinggi sehubungan dengan perasaan adalah kebebasan dari penderitaan, Aku katakan.

33-35. “Kemudian lagi, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... dengan meluruhnya kegembiraan ... ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ... Pada saat itu ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, atau penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya. Pada saat itu ia hanya merasakan perasaan yang bebas dari penderitaan. Kepuasan tertinggi sehubungan dengan perasaan adalah kebebasan dari penderitaan, Aku katakan.

36. (ii) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya sehubungan dengan perasaan? Perasaan adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan. Ini adalah bahaya sehubungan dengan perasaan.

37. (iii) “Dan apakah, para bhikkhu, jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan? Yaitu pelenyapan keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan perasaan. Ini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan.

38. “Bahwa para petapa dan brahmana yang tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan, dapat memahami sepenuhnya perasaan oleh mereka sendiri atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya perasaan – itu adalah tidak mungkin. Bahwa para petapa dan brahmana yang memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan, dapat memahami sepenuhnya perasaan oleh mereka sendiri atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya perasaan – itu adalah mungkin.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 01:26:58 PM
14  Cūḷadukkhakkhandha Sutta
Khotbah Pendek tentang Kumpulan Penderitaan

[91] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.

2. Kemudian Mahānāma orang Sakya  mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, aku telah memahami Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Keserakahan adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran, kebencian adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori oleh mereka sendiri, kebodohan adalah adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori oleh mereka sendiri.’ Namun walaupun aku memahami Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā demikian, sering kali kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, dan kebodohan menguasai pikiranku dan menetap di sana. Aku bertanya-tanya, Yang Mulia, kondisi yang manakah yang masih belum ditinggalkan olehku secara internal, karena apakah sering kali kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, dan kebodohan menguasai pikiranku dan menetap di sana.”

3. “Mahānāma, masih ada satu kondisi yang belum engkau tinggalkan secara internal, yang karenanya sering kali kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, dan kebodohan menguasai pikiranmu dan menetap di sana; karena jika kondisi itu telah ditinggalkan olehmu secara internal maka engkau tidak akan menjalani kehidupan rumah tangga, engkau tidak akan menikmati kenikmatan indria.  Adalah karena kondisi itu belum engkau tinggalkan secara internal maka engkau menjalani kehidupan rumah tangga dan menikmati kenikmatan indria.

4. “Bahkan walaupun seorang siswa mulia telah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi, selama ia masih belum mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau belum mencapai sesuatu yang lebih damai dari itu, maka ia masih tertarik pada kenikmatan indria.  Tetapi ketika seorang siswa mulia telah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi, dan ia mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau mencapai sesuatu yang lebih damai dari itu, maka ia tidak lagi tertarik pada kenikmatan indria. [92]

5. “Sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku juga dengan jelas melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi, tetapi selama Aku masih belum mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau belum mencapai sesuatu yang lebih damai daripada itu, Aku menyadari bahwa Aku masih dapat tertarik pada kenikmatan indria. Tetapi ketika Aku dengan jelas melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi, dan Aku telah mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau telah mencapai sesuatu yang lebih damai daripada itu, Aku menyadari bahwa Aku tidak lagi tertarik pada kenikmatan indria.

6-14. “Dan apakah kepuasan sehubungan dengan kenikmatan indria? Mahānāma, ada lima utas kenikmatan indria ini ... (seperti Sutta 13, §§7-15) ... Ini adalah juga bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan dalam kehidupan mendatang, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

15. “Sekarang, Mahānāma, pada suatu ketika Aku sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Pada saat itu sejumlah Nigaṇṭha yang sedang menetap di Batu Hitam di lereng Isigili sedang mempraktikkan latihan berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk, dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha itu.

16. “Kemudian, pada malam harinya, Aku bangkit dari meditasi dan mendatangi para Nigaṇṭha di sana. Aku bertanya kepada mereka: ‘Teman-teman, mengapa kalian mempraktikkan latihan berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk, dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha itu?’

17. “Ketika hal ini Kukatakan, mereka menjawab: ‘Teman, Nigaṇṭha Nātaputta maha tahu dan maha melihat dan mengaku memiliki pengetahuan dan penglihatan sempurna sebagai berikut: “Apakah aku sedang berjalan atau berdiri atau tertidur atau terjaga, [93] pengetahuan dan penglihatan yang terus-menerus dan tanpa terputus hadir padaku.” Ia berkata sebagai berikut: “Para Nigaṇṭha, kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau; padamkanlah dengan melaksanakan praktik keras yang menyiksa. Dan ketika kalian di sini dan saat ini terkendali dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran, itu berarti tidak melakukan perbuatan jahat di masa depan. Dengan memusnahkan perbuatan masa lampau dengan pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada konsekuensi di masa depan. Dengan tidak ada konsekuensi di masa depan, maka itu adalah kehancuran perbuatan. Dengan hancurnya perbuatan, maka hancur pula penderitaan. Dengan hancurnya penderitaan, maka hancur pula perasaan. Dengan hancurnya perasaan, maka semua penderitaan padam.” Ini adalah [doktrin] yang kami setujui dan kami terima, dan kami puas dengan ajaran ini.’

18. “Ketika hal ini dikatakan, Aku berkata kepada mereka: ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian ada di masa lampau, dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak ada?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu?’ - ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini?’ – ‘Tidak, Teman.’

19. “Jadi, teman-teman, sepertinya kalian tidak mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada; atau bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya; atau bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu; atau seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam; atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu,  mereka yang adalah para pembunuh, para pelaku kejahatan dengan tangan berdarah di dunia ini, ketika mereka terlahir kembali di antara manusia, meninggalkan keduniawian menuju kehidupan tanpa rumah sebagai para Nigaṇṭha.’

20. “Teman Gotama, kenikmatan tidak diperoleh melalui kenikmatan; kenikmatan harus diperoleh melalui kesakitan. [94] Karena jika kenikmatan diperoleh melalui kenikmatan, maka Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha pasti memperoleh kenikmatan, karena ia berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar daripada Yang Mulia Gotama.’

“’Tentu saja Yang Mulia para Nigaṇṭha telah mengucapkan kata-kata ini dengan terburu-buru dan tanpa pertimbangan. Adalah Aku yang seharusnya bertanya: “Siapakah yang berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar, Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha atau Yang Mulia Gotama?”’

“’Tentu saja, Teman Gotama, kami mengucapkan kata-kata itu dengan terburu-buru dan tanpa pertimbangan. Tetapi biarlah demikian. Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Gotama: Siapakah yang berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar, Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha atau Yang Mulia Gotama?’

21. “’Maka, teman-teman, Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan sebagai balasan. Jawablah sesuai apa yang kalian anggap benar. Bagaimana menurut kalian, teman-teman? Dapatkah Raja Seniya dari Magadha berdiam tanpa menggerakkan tubuhnya atau mengucapkan sepatah kata pun, mengalami puncak kenikmatan selama tujuh hari tujuh malam?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Dapatkah Raja Seniya dari Magadha berdiam tanpa menggerakkan tubuhnya atau mengucapkan sepatah kata pun, mengalami puncak kenikmatan selama enam, lima, empat, tiga, atau dua hari dua malam? ... selama sehari semalam?’ – ‘Tidak, Teman.’

22. “’Tetapi, teman-teman, Aku dapat berdiam tanpa menggerakkan tubuhKu atau mengucapkan sepatah kata pun, mengalami puncak kenikmatan selama sehari semalam ... selama dua, tiga, empat, lima, dan enam hari enam malam ... selama tujuh hari tujuh malam.  Bagaimana menurut kalian, teman-teman? Dengan demikian, siapakah yang berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar, Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha atau Aku?’

“Kalau begitu, [95] maka Yang Mulia Gotama berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar daripada Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Mahānāma orang Sakya merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 01:29:49 PM
15  Anumāna Sutta
Kesimpulan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Yang Mulia Mahā Moggallāna sedang menetap di Negeri Bhagga di Suṁsumāragira di Hutan Bhesakalā, Taman Rusa. Di sana ia memanggil para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu.” – “Teman,” mereka menjawab. Yang Mulia Mahā Moggallāna berkata sebagai berikut:

2. “Teman-teman, walaupun seorang bhikkhu berkata sebagai berikut: ‘Semoga Para Mulia menasihati Aku,  Aku ingin dinasihati oleh para mulia,’ namun jika ia sulit dinasihati dan memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya sulit dinasihati, jika ia tidak sabar dan tidak menerima instruksi dengan benar, maka teman-temannya dalam kehidupan suci berpikir bahwa ia seharusnya tidak dinasihati atau tidak diberikan instruksi, mereka menganggapnya sebagai seorang yang tidak dapat dipercaya.

3. “Kualitas-kualitas apakah yang membuatnya sulit dinasihati?
(1) Di sini seorang bhikkhu memiliki keinginan-keinginan jahat dan dikuasai oleh keinginan-keinginan jahat;  ini adalah kualitas yang membuatnya sulit dinasihati.
(2) Kemudian, seorang bhikkhu memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain; ini adalah kualitas yang membuatnya sulit dinasihati.
(3) Kemudian, seorang bhikkhu marah dan dikuasai oleh kemarahan; ini adalah kualitas …
(4) Kemudian, seorang bhikkhu marah, dan kesal karena kemarahan …
(5) Kemudian, seorang bhikkhu marah, dan keras kepala karena kemarahan …
(6) Kemudian, seorang bhikkhu marah, dan ia mengucapkan kata-kata yang berbatasan dengan kemarahan …
(7) Kemudian, seorang bhikkhu ditegur, dan ia menentang si penegur …
(8) Kemudian, seorang bhikkhu ditegur, dan ia menjatuhkan reputasi  si penegur …
(9) Kemudian, [96] seorang bhikkhu ditegur, dan ia balik menegur si penegur …
(10) Kemudian, seorang bhikkhu ditegur, dan ia berbicara berputar-putar, mengarahkan pembicaraan ke hal lain, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan …
(11) Kemudian, seorang bhikkhu ditegur, dan ia tidak memperbaiki perilakunya …
(12) Kemudian, seorang bhikkhu meremehkan orang lain dan congkak …
(13) Kemudian, seorang bhikkhu iri dan tamak …
(14) Kemudian, seorang bhikkhu curang dan menipu …
(15) Kemudian, seorang bhikkhu keras kepala dan angkuh …
(16) Kemudian, seorang bhikkhu melekat pada pandangan-pandangannya sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah; ini adalah kualitas yang membuatnya sulit dinasihati.

“Teman-teman, ini disebut kualitas-kualitas yang membuatnya sulit dinasihati.

4. Teman-teman, walaupun seorang bhikkhu tidak berkata sebagai berikut: ‘Semoga Para Mulia menasihati Aku, Aku ingin dinasihati oleh para mulia,’ namun jika ia mudah dinasihati dan memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya mudah dinasihati, jika ia sabar dan menerima instruksi dengan benar, maka teman-temannya dalam kehidupan suci berpikir bahwa ia seharusnya dinasihati atau diberikan instruksi, mereka menganggapnya sebagai seorang yang dapat dipercaya.

5. “Kualitas-kualitas apakah yang membuatnya mudah dinasihati?
(1) Di sini seorang bhikkhu tidak memiliki keinginan jahat dan tidak dikuasai oleh keinginan jahat; ini adalah kualitas yang membuatnya mudah dinasihati.
(2) Kemudian, seorang bhikkhu tidak memuji dirinya sendiri dan tidak mencela orang lain; ini adalah kualitas …
(3) Ia tidak marah dan tidak membiarkan kemarahan menguasainya …
(4) Ia tidak marah dan tidak kesal karena kemarahan …
(5) Ia tidak marah dan tidak keras kepala karena kemarahan …
(6) Ia tidak marah, dan ia tidak  mengucapkan kata-kata yang berbatasan dengan kemarahan …
(7) Ia ditegur, dan ia tidak menentang si penegur …
(8) Ia ditegur, dan ia tidak menjatuhkan reputasi  si penegur … [97]
(9) Ia ditegur, dan ia tidak balik menegur si penegur …
(10) Ia ditegur, dan ia tidak berbicara berputar-putar, tidak mengarahkan pembicaraan ke hal lain, dan tidak menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan …
(11) Ia ditegur, dan ia  memperbaiki perilakunya …
(12) Ia tidak meremehkan orang lain dan tidak congkak …
(13) Ia tidak iri-hati dan tidak tamak …
(14) Ia tidak curang dan tidak menipu …
(15) Ia tidak keras kepala dan tidak angkuh …
(16) Kemudian, seorang bhikkhu tidak melekat pada pandangan-pandangannya sendiri atau menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan mudah; ini adalah kualitas yang membuatnya sulit dinasihati.

6. “Sekarang, teman-teman, seorang bhikkhu seharusnya berpendapat mengenai dirinya sebagai berikut:
(1) ‘Seseorang yang memiliki keinginan jahat dan dikuasai oleh keinginan jahat adalah tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Jika aku memiliki keinginan jahat dan dikuasai oleh keinginan jahat, maka aku akan menjadi tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain.’ Seorang bhikkhu yang mengetahui ini seharusnya memunculkan dalam pikirannya sebagai berikut: ‘Aku tidak akan memiliki keinginan jahat dan tidak akan dikuasai oleh keinginan jahat.’
(2-16) ‘Seseorang yang memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain … [98] … Seseorang yang melekat pada pandangan-pandangannya sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah adalah tidak menyenangkan dan tidak disukai olehku. Jika aku melekat pada pandangan-pandanganku sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah, maka aku akan menjadi tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh orang lain.’ Seorang bhikkhu yang mengetahui ini seharusnya memunculkan dalam pikirannya sebagai berikut: ‘Aku tidak akan melekat pada pandangan-pandanganku sendiri, tidak menggenggamnya erat-erat, dan aku akan melepaskannya dengan mudah.’

7. “sekarang, teman-teman, seorang bhikkhu harus memeriksa dirinya sebagai berikut:
(1) ‘Apakah aku memiliki keinginan jahat dan apakah aku dikuasai oleh keinginan jahat?’ jika, ketika ia memeriksa dirinya, ia mengetahui: ‘Aku memiliki keinginan jahat, aku dikuasai oleh keinginan jahat,’ maka ia harus berusaha untuk meninggalkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat itu. Tetapi jika, ketika ia memeriksa dirinya, ia mengetahui: ‘Aku tidak memiliki keinginan jahat, aku tidak dikuasai oleh keinginan jahat,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

(2-16) Kemudian, seorang bhikkhu harus memeriksa dirinya sebagai berikut: ‘Apakah aku memuji diri sendiri dan mencela orang lain?’ … [99] … ‘Apakah aku melekat pada pandangan-pandanganku, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah?’ Jika, ketika ia memeriksa dirinya, ia mengetahui: ‘Aku melekat pada pandangan-pandanganku …,’ maka [100] ia harus berusaha untuk meninggalkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat itu. Tetapi jika, ketika ia memeriksa dirinya, ia mengetahui: ‘Aku tidak melekat pada pandangan-pandanganku …,’ maka ia dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

8. “Teman-teman, ketika seorang bhikkhu memeriksa dirinya sendiri demikian, jika ia melihat bahwa kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat ini belum ditinggalkan olehnya, maka ia harus berusaha untuk meninggalkannya seluruhnya. Tetapi jika, ketika ia memeriksa dirinya sendiri demikian, jika ia melihat bahwa kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat ini telah seluruhnya ditinggalkan olehnya, maka ia dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.

“Seperti halnya ketika seorang perempuan – atau laki-laki – muda, belia, menyukai hiasan, ketika melihat bayangan wajahnya di cermin yang bersih atau dalam semangkuk air, melihat noda atau kotoran di sana, maka ia berusaha untuk membersihkannya, tetapi jika ia melihat tidak ada noda atau kotoran di sana, maka ia menjadi gembira dengan pikiran: ‘Sungguh suatu keberuntungan bagiku bahwa wajahku bersih’; demikian pula ketika seorang bhikkhu memeriksa dirinya sendiri demikian … maka ia dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Mahā Moggallāna. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Mahā Moggallāna.

Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 06:21:04 PM
16  Cetokhila Sutta
Belantara dalam Batin

[101] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, bahwa bhikkhu manapun yang belum meninggalkan lima belantara dalam pikiran dan belum mematahkan lima belenggu dalam pikiran dapat berkembang, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin – itu adalah tidak mungkin.

3. “Apakah, para bhikkhu, lima belantara dalam pikiran yang belum ia tinggalkan? Di sini seorang bhikkhu penuh keraguan, ketidak-pastian, kebimbangan, dan ketidak-yakinan pada Sang Guru, dan dengan demikian pikirannya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika pikirannya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belantara pertama dalam pikiran yang belum ia tinggalkan.

4. “Kemudian, seorang bhikkhu penuh keraguan, ketidak-pastian, kebimbangan, dan ketidak-yakinan pada Dhamma  … Ketika pikirannya tidak condong pada semangat … itu adalah belantara ke dua dalam pikiran yang belum ia tinggalkan.

5. “Kemudian, seorang bhikkhu penuh keraguan, ketidak-pastian, kebimbangan, dan ketidak-yakinan pada Sangha … Ketika pikirannya tidak condong pada semangat … itu adalah belantara ke tiga dalam pikiran yang belum ia tinggalkan.

6. “Kemudian, seorang bhikkhu penuh keraguan, ketidak-pastian, kebimbangan, dan ketidak-yakinan pada latihan … Ketika pikirannya tidak condong pada semangat … itu adalah belantara ke empat dalam pikiran yang belum ia tinggalkan.

7. “Kemudian, seorang bhikkhu marah dan tidak senang dengan teman-temannya dalam kehidupan suci, penuh kekesalan dan tidak berperasaan terhadap mereka, dan dan dengan demikian pikirannya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika pikirannya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belantara ke lima dalam pikiran yang belum ia tinggalkan.

“Ini adalah lima belantara dalam pikiran yang belum ia tinggalkan.

8. “Apakah, para bhikkhu, lima belenggu dalam pikiran yang belum ia patahkan? Di sini seorang bhikkhu tidak terbebas dari nafsu, kegemaran, cinta, dahaga, dan keinginan akan kenikmatan indria, dan dengan demikian pikirannya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika pikirannya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belenggu pertama dalam pikiran yang belum ia patahkan.

9. “Kemudian, seorang bhikkhu tidak terbebas dari nafsu, kegemaran, cinta, dahaga, dan keinginan akan badan jasmani  Ketika pikirannya tidak condong pada semangat … itu adalah belenggu ke dua dalam pikiran yang belum ia patahkan. [102]

10. “Kemudian, seorang bhikkhu tidak terbebas dari nafsu, kegemaran, cinta, dahaga, dan keinginan akan bentuk. Ketika pikirannya tidak condong pada semangat … itu adalah belenggu ke tiga dalam pikiran yang belum ia patahkan.

11. “Kemudian, seorang bhikkhu makan sebanyak yang ia inginkan hingga perutnya kekenyangan dan menyukai kenikmatan tidur, bermalasan, dan mengantuk … Ketika pikirannya tidak condong pada semangat … itu adalah belenggu ke empat dalam pikiran yang belum ia patahkan.

12. “Kemudian, seorang bhikkhu menjalani kehidupan suci karena bercita-cita untuk bergabung dengan komunitas para dewa: ‘Dengan moralitas atau pelaksanaan atau pertapaan atau kehidupan suci, semoga aku menjadi dewa [mulia] atau dewa [yang lebih rendah],’ dan dengan demikian pikirannya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika pikirannya tidak condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belenggu kelima dalam pikiran yang belum ia patahkan.

“Ini adalah lima belenggu dalam pikiran yang belum ia patahkan.

13. “Para bhikkhu, bahwa bhikkhu manapun yang belum meninggalkan lima belantara dalam pikiran dan belum mematahkan lima belenggu dalam pikiran dapat berkembang, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin – itu adalah tidak mungkin.

14. “Para bhikkhu, bahwa bhikkhu manapun yang telah meninggalkan lima belantara dalam pikiran dan telah mematahkan lima belenggu dalam pikiran dapat berkembang, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin – itu adalah mungkin.

15. “Apakah, para bhikkhu, lima belantara dalam pikiran yang telah ia tinggalkan? Di sini seorang bhikkhu adalah tanpa keraguan, tanpa ketidak-pastian, tanpa kebimbangan, dan tanpa ketidak-yakinan pada Sang Guru, dan dengan demikian pikirannya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika pikirannya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belantara pertama dalam pikiran yang telah ia tinggalkan.

16. “Kemudian, seorang bhikkhu adalah tanpa keraguan, tanpa ketidak-pastian, tanpa kebimbangan, dan tanpa ketidak-yakinan pada Dhamma … Ketika pikirannya condong pada semangat … itu adalah belantara ke dua dalam pikiran yang telah ia tinggalkan.

17. “Kemudian, seorang bhikkhu adalah tanpa keraguan, tanpa ketidak-pastian, tanpa kebimbangan, dan tanpa ketidak-yakinan pada Sangha … Ketika pikirannya condong pada semangat … itu adalah belantara ke tiga dalam pikiran yang telah ia tinggalkan.

18. “Kemudian, seorang bhikkhu adalah tanpa keraguan, tanpa ketidak-pastian, tanpa kebimbangan, dan tanpa ketidak-yakinan pada latihan … Ketika pikirannya condong pada semangat … itu adalah belantara ke empat dalam pikiarn yang telah ia tinggalkan.

19. “Kemudian, seorang bhikkhu tidak marah dan tidak tidak-senang dengan teman-temannya dalam kehidupan suci, tidak kesal dan tidak tanpa-perasaan terhadap mereka, dan dengan demikian pikirannya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. [103] Ketika pikirannya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belantara ke lima dalam pikiran yang telah ia tinggalkan.

“Ini adalah lima belantara dalam pikiran yang telah ia tinggalkan.

20. “Apakah, para bhikkhu, lima belenggu dalam pikiran yang telah ia patahkan? Di sini seorang bhikkhu terbebas dari nafsu, kegemaran, cinta, dahaga, dan keinginan akan kenikmatan indria, dan dengan demikian pikirannya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika pikirannya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belenggu pertama dalam pikiran yang telah ia patahkan.

21. “Kemudian, seorang bhikkhu terbebas dari nafsu, kegemaran, cinta, dahaga, dan keinginan akan badan jasmani. Ketika pikirannya condong pada semangat … itu adalah belenggu ke dua dalam pikiran yang telah ia patahkan.

22. “Kemudian, seorang bhikkhu terbebas dari nafsu, kegemaran, cinta, dahaga, dan keinginan akan bentuk. Ketika pikirannya condong pada semangat … itu adalah belenggu ke tiga dalam pikiran yang telah ia patahkan.

23. “Kemudian, seorang bhikkhu tidak makan sebanyak yang ia inginkan hingga perutnya kekenyangan dan tidak menyukai kenikmatan tidur, bermalasan, atau mengantuk … Ketika pikirannya condong pada semangat … itu adalah belenggu ke empat dalam pikiran yang telah ia patahkan.

24. “Kemudian, seorang bhikkhu bukan menjalani kehidupan suci karena bercita-cita untuk bergabung dengan komunitas para dewa: ‘Dengan moralitas atau pelaksanaan atau pertapaan atau kehidupan suci, semoga aku menjadi dewa [mulia] atau dewa [yang lebih rendah],’ dan dengan demikian pikirannya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha. Ketika pikirannya condong pada semangat, ketekunan, kegigihan, dan usaha, itu adalah belenggu kelima dalam pikiran yang telah ia patahkan.

“Ini adalah lima belenggu dalam pikiran yang telah ia patahkan.

25. “Para bhikkhu, bahwa bhikkhu manapun yang telah meninggalkan lima belantara dalam pikiran dan telah mematahkan lima belenggu dalam pikiran dapat berkembang, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin – itu adalah mungkin.

26.  “Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang berasal dari kemauan dan tekad berusaha; ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang berasal dari kegigihan dan tekad berusaha; ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang berasal dari [kemurnian] pikiran dan tekad berusaha; ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang berasal dari penyelidikan dan tekad berusaha. Dan semangat sebagai yang ke lima.

27. “Seorang bhikkhu yang memiliki lima belas faktor demikian termasuk semangat adalah [104] mampu mendobrak, mampu mencapai pencerahan, mampu mencapai keamanan tertinggi dari belenggu.

“Misalkan seekor ayam betina memiliki delapan, sepuluh, atau dua belas butir telur, yang ia lindungi, erami, dan pelihara dengan baik. Walaupun ia tidak menghendaki: ‘Oh, semoga anak-anakku mampu memecahkan cangkangnya dengan cakar dan paruhnya dan menetas keluar dengan selamat!’ namun anak-anak ayam itu akan mampu memecahkan cangkangnya dengan cakar dan paruhnya dan menetas keluar dengan selamat.  Demikian pula, seorang bhikkhu yang memiliki lima belas faktor demikian termasuk semangat adalah mampu mendobrak, mampu mencapai pencerahan, mampu mencapai keamanan tertinggi dari belenggu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 06:22:17 PM
17  Vanapattha Sutta
Hutan Belantara

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian khotbah tentang hutan belantara. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu menetap di hutan belantara.  Sewaktu menetap di sana perhatiannya yang belum kokoh tidak menjadi kokoh, pikirannya yang tidak terkonsentrasi tidak menjadi terkonsentrasi, noda-nodanya yang belum dihancurkan juga tidak terhancurkan, ia tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai; dan juga kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian – jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan – sulit diperoleh. Bhikkhu itu [105] harus mempertimbangkan: ‘Aku menetap di hutan belantara ini. Sewaktu menetap di sini perhatianku yang belum kokoh tidak menjadi kokoh … aku tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai; dan juga kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … sulit diperoleh.’ Setelah merenungkan demikian bhikkhu itu harus meninggalkan hutan belantara itu pada malam itu juga atau pada hari itu juga; ia seharusnya tidak terus menetap di sana.

4. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu menetap di hutan belantara. Sewaktu menetap di sana perhatiannya yang belum kokoh tidak menjadi kokoh, pikirannya yang tidak terkonsentrasi tidak menjadi terkonsentrasi, noda-nodanya yang belum dihancurkan juga tidak terhancurkan, ia tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai; namun kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … mudah diperoleh. Bhikkhu itu harus mempertimbangkan: ‘Aku menetap di hutan belantara ini. Sewaktu menetap di sini perhatianku yang belum kokoh tidak menjadi kokoh … aku tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai; namun  kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … mudah diperoleh. Akan tetapi, aku tidak meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah demi jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Terlebih lagi, Sewaktu menetap di sini perhatianku yang belum kokoh tidak menjadi kokoh … aku tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai.’ Setelah merenungkan demikian bhikkhu itu harus pergi dari hutan belantara itu; ia seharusnya tidak terus menetap di sana.

5. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu menetap di hutan belantara. Sewaktu menetap di sana perhatiannya yang belum kokoh menjadi kokoh, pikirannya yang tidak terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi terhancurkan, ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu; namun kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … sulit diperoleh. Bhikkhu itu harus mempertimbangkan: [106] ‘Aku menetap di hutan belantara ini. Sewaktu menetap di sini perhatianku yang belum kokoh menjadi kokoh … aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu; namun  kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … sulit diperoleh. Akan tetapi, aku tidak meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah demi jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Terlebih lagi, Sewaktu menetap di sini perhatianku yang belum kokoh menjadi kokoh … aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai.’ Bhikkhu itu harus terus menetap di hutan belantara itu; ia seharusnya tidak pergi.

6. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu menetap di hutan belantara. Sewaktu menetap di sana perhatiannya yang belum kokoh menjadi kokoh, pikirannya yang tidak terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi terhancurkan, ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu; dan juga kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian – jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan – mudah diperoleh. Bhikkhu itu harus mempertimbangkan: ‘Aku menetap di hutan belantara ini. Sewaktu menetap di sini perhatianku yang belum kokoh menjadi kokoh … aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu; dan juga  kebutuhan hidup … mudah diperoleh.’ Bhikkhu itu harus terus menetap di hutan belantara itu seumur hidupnya; ia seharusnya tidak pergi.

7-10. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada sebuah desa tertentu …

11-14. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada sebuah pemukiman tertentu …

15-18. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada sebuah kota tertentu …

19-22. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada sebuah negeri tertentu …

23. Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada seseorang tertentu … (seperti pada §3) … [107] … Bhikkhu itu harus meninggalkan orang itu tanpa pamit; ia seharusnya tidak terus-menerus mengikutinya.

24. Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada seseorang tertentu … (seperti pada §4) … Setelah merenungkan demikian, bhikkhu itu harus meninggalkan orang itu setelah pamit;  ia seharusnya tidak terus-menerus mengikutinya.

25. Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada seseorang tertentu … (seperti pada §5) … Setelah merenungkan demikian, bhikkhu itu harus terus-menerus mengikuti orang itu; ia seharusnya tidak meninggalkannya.

26. Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada seseorang tertentu … (seperti pada §6) [108]  … Setelah merenungkan demikian, bhikkhu itu harus terus-menerus mengikuti orang itu seumur hidupnya; ia seharusnya tidak meninggalkannya, bahkan jika diminta untuk pergi.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 06:23:16 PM
18  Madhupiṇḍika Sutta
Bola Madu

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.

2. Pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarNya, memasuki Kapilavatthu untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah berjalan menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau pergi ke Hutan Besar untuk melewatkan hari itu, dan setelah memasuki Hutan Besar, duduk di bawah anak pohon bilva untuk melewatkan hari itu.

3. Daṇḍapāni orang Sakya, sewaktu berjalan dan berkeliling untuk berolah-raga, juga memasuki Hutan Besar, dan ketika ia telah memasuki Hutan Besar, ia berjalan menuju anak pohon bilva di mana Sang Bhagavā berada dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah itu berakhir, ia berdiri di satu sisi dengan bersandar pada tongkatnya dan bertanya kepada Sang Bhagavā: “Apakah yang Sang Petapa nyatakan, apakah yang Beliau ajarkan?”

4. “Teman, Aku menegaskan dan menyatakan [ajaranKu] sedemikian sehingga seseorang tidak bertengkar dengan siapapun di dunia ini dengan para dewa, Māra, dan brahmana, dalam generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya; sedemikian sehingga persepsi tidak lagi mendasari, sehingga brahmana yang berdiam di sana terlepas dari kenikmatan indria, tanpa kebingungan, memotong kekhawatiran, bebas dari keinginan akan segala jenis penjelmaan.”

5. “Ketika hal ini dikatakan, Daṇḍapāni orang Sakya menggelengkan kepalanya, [109] menjulurkan lidahnya, dan mengangkat alis matanya hingga keningnya berkerut dalam tiga garis.  Kemudian ia pergi, dengan bersandar pada tongkatnya.

6. kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasi dan berjalan menuju Taman Nigrodha, di mana Beliau duduk di tempat yang telah disediakan untukNya dan memberitahukan kepada para bhikkhu tentang apa yang telah terjadi. Kemudian seorang bhikkhu bertanya kepada Sang Bhagavā:

7. “Tetapi, Yang Mulia, apakah [ajaran] yang Sang Bhagavā nyatakan sedemikian sehingga seseorang tidak bertengkar dengan siapapun di dunia ini dengan para dewa, Māra, dan brahmana, dalam generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya? Dan, Yang Mulia, bagaimanakah bahwa persepsi tidak lagi mendasari Sang Bhagavā, sehingga brahmana yang berdiam di sana terlepas dari kenikmatan indria, tanpa kebingungan, memotong kekhawatiran, bebas dari keinginan akan segala jenis penjelmaan?”

8. “Para bhikkhu, sehubungan dengan sumber melalui mana persepsi dan gagasan  [yang muncul dari] proliferasi pikiran yang menyerang seseorang: jika tidak ada apapun di sana yang menggembirakan, yang disambut dan digenggam, maka ini adalah akhir dari kecenderungan tersembunyi pada nafsu, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada ketidak-senangan, [110] akhir dari kecenderungan tersembunyi pada pandangan-pandangan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada keragu-raguan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada penjelmaan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada kebodohan; ini adalah akhir dari penggunaan tongkat pemukul dan senjata, akhir dari pertengkaran, percekcokan, perselisihan, tuding-menuding, fitnah, dan kebohongan; di sini kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa.”

9. Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Sempurna bangkit dari dudukNya dan masuk ke dalam kediamanNya.

10.  Kemudian, segera setelah Sang Bhagavā pergi, para bhikkhu berpikir: “Sekarang, teman-teman, Sang Bhagavā telah bangkit dari dudukNya dan masuk ke dalam kediamanNya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan makna terperinci. Sekarang siapakah yang akan menjelaskan secara terperinci?” Kemudian mereka berpikir: “Yang Mulia Mahā Kaccāna dipuji oleh Sang Guru dan dihargai oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci.  Ia mampu menjelaskan maknanya secara terperinci. Bagaimana jika kita mendatanginya dan menanyakan makna dari hal ini.”

11. Kemudian para bhikkhu mendatangi Yang Mulia Mahā Kaccāna dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, mereka duduk di satu sisi dan memberitahunya tentang apa yang telah terjadi, [111] dan menambahkan: “Sudilah Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskannya kepada kami.”

12. [Yang Mulia Mahā Kaccāna menjawab:] “Teman-teman, ini seperti seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, berpikir bahwa inti kayu harus dicari di antara dahan dan dedaunan dari sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, setelah ia melewatkan akar dan batang. Dan demikian pula dengan kalian, para mulia, bahwa kalian berpikir bahwa aku dapat ditanya tentang makna dari hal ini, setelah kalian melewati Sang Bhagavā ketika kalian berhadapan dengan Sang Guru. Dalam hal mengetahui, Sang Bhagavā tahu; dalam hal melihat, Beliau melihat; Beliau adalah penglihatan, Beliau adalah pengetahuan, Beliau adalah Dhamma, Beliau adalah yang suci;  Beliau adalah yang mengucapkan, yang menyatakan, pembabar makna, pemberi Keabadian, Raja Dhamma, Sang Tathāgata. Itu adalah waktunya ketika kalian seharusnya menanyakan maknanya kepada Sang Bhagavā. Sebagaimana Beliau menjelaskan, demikianlah kalian harus mengingatnya.”

13. “Tentu saja, teman Kaccāna, Dalam hal mengetahui, Sang Bhagavā mengetahui; dalam hal melihat, Beliau melihat; Beliau adalah penglihatan … Sang Tathāgata. Itu adalah waktunya ketika kami seharusnya menanyakan maknanya kepada Sang Bhagavā. Sebagaimana Beliau menjelaskan, demikianlah kami harus mengingatnya. Namun Yang Mulia Mahā Kaccāna dipuji oleh Sang Guru dan dihargai oleh teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci. Yang Mulia Mahā Kaccāna mampu menjelaskan makna secara terperinci dari ringkasan singkat yang diberikan oleh Sang Bhagavā tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci. Sudilah Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskannya tanpa menganggapnya merepotkan.”

14. “Maka dengarkanlah, teman-teman, dan perhatikanlah pada apa yang akan kukatakan.” – “Baiklah, teman,” para bhikkhu menjawab. Yang Mulia Mahā Kaccāna berkata sebagai berikut:

15. “Teman-teman, ketika Sang Bhagavā bangkit dari duduknya dan memasuki kediamanNya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, yaitu: ‘Para bhikkhu, sehubungan dengan sumber melalui mana persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran yang menyerang seseorang: jika tidak ada apapun di sana yang menggembirakan, yang disambut dan digenggam, maka ini adalah akhir dari kecenderungan tersembunyi pada nafsu … ini adalah akhir dari penggunaan tongkat dan senjata … di sini kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa,’ aku memahami maknanya secara terperinci sebagai berikut:

16. “Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, maka muncul kesadaran-mata. Pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi maka ada perasaan. Apa yang ia rasakan, itulah yang ia kenali. [112] Apa yang ia kenali, itulah yang ia pikirkan. Apa yang ia pikirkan, itulah yang diproliferasikan oleh pikiran. Dengan apa yang ia proliferasikan secara pikiran sebagai sumber, persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran menyerang seseorang sehubungan dengan bentuk-bentuk masa lampau, masa depan dan masa sekarang yang dikenali melalui mata.

“Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara … Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan … Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan … Dengan bergantung pada badan dan obyek-obyek sentuhan … Dengan bergantung pada pikiran dan obyek-obyek pikiran, maka muncul kesadaran-pikiran. Pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi maka ada perasaan. Apa yang ia rasakan, itulah yang ia kenali. Apa yang ia kenali, itulah yang ia pikirkan. Apa yang ia pikirkan, itulah yang diproliferasikan oleh pikiran. Dengan apa yang ia proliferasikan secara pikiran sebagai sumber, persepsi dan gagasan yang [muncul dari] proliferasi pikiran menyerang seseorang sehubungan dengan obyek-obyek pikiran masa lampau, masa depan dan masa sekarang yang dikenali melalui pikiran.

17. “Ketika ada mata, bentuk, dan kesadaran-mata, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi kontak.  Ketika ada manifestasi kontak, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi perasaan. Ketika ada manifestasi perasaan, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi persepsi. Ketika ada manifestasi persepsi, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi pemikiran. Ketika ada manifestasi pemikiran, maka adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi penyerangan oleh persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran.

“Ketika ada telinga, suara, dan kesadaran-telinga … Ketika ada hidung, bau-bauan, dan kesadaran-hidung … Ketika ada lidah, rasa kecapan, dan kesadaran-lidah … Ketika ada badan, obyek sentuhan, dan kesadaran-badan … Ketika ada pikiran, obyek pikiran, dan kesadaran-pikiran … adalah mungkin untuk menunjukkan manifestasi penyerangan oleh persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran.

18. “Ketika tidak ada mata, tidak ada bentuk, dan tidak ada kesadaran-mata, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi kontak. Ketika tidak ada manifestasi kontak, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi perasaan. Ketika tidak ada manifestasi perasaan, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi persepsi. Ketika tidak ada manifestasi persepsi, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi pemikiran. Ketika tidak ada manifestasi pemikiran, maka adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi penyerangan oleh persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran.

“Ketika tidak ada telinga, tidak ada suara, dan tidak ada kesadaran-telinga … Ketika tidak ada hidung, tidak ada bau-bauan, dan tidak ada kesadaran-hidung … Ketika tidak ada lidah, tidak ada rasa kecapan, dan tidak ada kesadaran-lidah … Ketika tidak ada badan, tidak ada obyek sentuhan, dan tidak ada kesadaran-badan … Ketika tidak ada pikiran, tidak ada obyek pikiran, dan tidak ada kesadaran-pikiran … adalah tidak mungkin untuk menunjukkan manifestasi penyerangan oleh persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran.

19. “Teman-teman, ketika Sang Bhagavā [113] bangkit dari duduknya dan memasuki kediamanNya setelah memberikan ringkasan singkat tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci, yaitu: ‘Para bhikkhu, sehubungan dengan sumber melalui mana persepsi dan gagasan [yang muncul dari] proliferasi pikiran yang menyerang seseorang: jika tidak ada apapun di sana yang menggembirakan, yang disambut dan digenggam, maka ini adalah akhir dari kecenderungan tersembunyi pada nafsu, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada ketidak-senangan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada pandangan-pandangan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada keragu-raguan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada penjelmaan, akhir dari kecenderungan tersembunyi pada kebodohan; ini adalah akhir dari penggunaan tongkat pemukul dan senjata, akhir dari pertengkaran, percekcokan, perselisihan, tuding-menuding, fitnah, dan kebohongan; di sini kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa,’ aku memahami makna terperinci dari ringkasan itu seperti demikian. Sekarang, teman-teman, jika kalian menginginkan, pergilah menghadap Sang Bhagavā dan tanyakan kepadaNya tentang makna dari hal ini. Sebagaimana Sang Bhagavā menjelaskan, demikianlah kalian harus mengingatnya.”

20. Kemudian para bhikkhu, setelah dengan senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Mahā Kaccāna, bangkit dari duduk mereka dan menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberi tahu Sang Bhagavā mengenai apa yang telah terjadi setelah Beliau pergi, dan menambahkan: “Kemudian, Yang Mulia, kami mendatangi Yang Mulia Mahā Kaccāna dan menanyakan kepadanya tentang makna ini. [114] Yang Mulia Mahā Kaccāna menjelaskan makna ini kepada kami dengan kata-kata, kalimat-kalimat, dan frasa-frasa ini.”

21. “Mahā Kaccāna adalah seorang bijaksana, para bhikkhu, Mahā Kaccāna memiliki kebijaksanaan luas. Jika kalian menanyakan kepadaKu tentang makna dari hal ini, Aku akan menjelaskannya dengan cara yang sama seperti Mahā Kaccāna menjelaskannya. Demikianlah makna dari hal ini, dan kalian harus mengingatnya.”

22. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, bagaikan seseorang yang keletihan dan lemah karena lapar dan menemukan bola madu,  pada saat memakannya ia akan menemukan rasa yang manis dan lezat; demikian pula, Yang Mulia, bhikkhu manapun yang penuh perhatian, pada saat menyelidiki dengan kebijaksanaan atas makna dari khotbah Dhamma ini, akan merasa puas dan berkeyakinan dalam batin. Yang mulia, apakah nama dari khotbah Dhamma ini?

“Kalau begitu, Ānanda, engkau dapat mengingat khotbah Dhamma ini sebagai ‘Khotbah Bola Madu.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 06:24:38 PM
19  Dvedhāvitakka Sutta
Dua Jenis Pikiran

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku membagi pikiran-pikiranKu dalam dua kelompok.’  Kemudian Aku mengelompokkan ke satu sisi pikiran-pikiran keinginan indria, pikiran-pikiran berniat buruk, dan pikiran-pikiran kekejaman, dan Aku mengelompokkan ke sisi yang lain pikiran-pikiran pelepasan keduniawian, pikiran-pikiran tanpa niat buruk, dan pikiran-pikiran tanpa-kekejaman.

3. “Sewaktu Aku berdiam demikian, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, [115] suatu pikiran keinginan indria muncul dalam diriKu. Aku memahaminya sebagai: ‘Pikiran keinginan indria ini telah muncul dalam diriKu. Ini mengarah pada penderitaanKu, pada penderitaan orang lain, dan pada penderitaan keduanya; pikiran ini menghalangi kebijaksanaan, menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menjauhkan dari Nibbāna.’ Ketika aku merenungkan: ‘Ini mengarah pada penderitaanKu,’ maka pikiran itu mereda dari dalam diriKu, ketika aku merenungkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan orang lain,’ maka pikiran itu mereda dari dalam diriKu, ketika aku merenungkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan keduanya,’ maka pikiran itu mereda dari dalam diriKu, ketika Aku merenungkan: ‘pikiran ini menghalangi kebijaksanaan, menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menjauhkan dari Nibbāna,’ maka pikiran itu mereda dari dalam diriKu. Kapanpun pikiran keinginan indria muncul dalam diriKu, Aku meninggalkannya, melenyapkannya, mengusirnya.

4-5. “Sewaktu Aku berdiam demikian, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, suatu pikiran berniat buruk muncul dalam diriKu ... suatu pikiran kekejaman muncul dalam diriKu. Aku memahaminya sebagai: ‘Pikiran kekejaman ini telah muncul dalam diriKu. Ini mengarah pada penderitaanKu, pada penderitaan orang lain, dan pada penderitaan keduanya; pikiran ini menghalangi kebijaksanaan, menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menjauhkan dari Nibbāna.’ Ketika aku merenungkan … maka pikiran itu mereda dari dalam diriKu. Kapanpun pikiran kekejaman muncul dalam diriKu, Aku meninggalkannya, melenyapkannya, mengusirnya.

6. “Para bhikkhu, apapun yang sering dipikirkan dan direnungkan oleh seorang bhikkhu, maka itu akan menjadi kecenderungan pikirannya. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran-pikiran keinginan indria, maka ia telah meninggalkan pikiran pelepasan keduniawian dan mengembangkan pikiran keinginan indria, dan kemudian pikirannya condong pada pikiran keinginan indria. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran berniat buruk … pikiran kekejaman, maka ia telah meninggalkan pikiran tanpa-kekejaman dan mengembangkan pikiran kekejaman, dan kemudian pikirannya condong pada kekejaman.

7. “Bagaikan pada bulan terakhir musim hujan, pada musim gugur, ketika panen berlimpah, seorang penggembala sapi menjaga sapi-sapinya dengan secara terus-menerus menepuk dan menyodok sapi-sapinya dan dengan tongkat mengawasi dan mengekang sapi-sapi itu. Mengapakah? Karena ia melihat bahwa ia akan dicambuk, dikurung, dihukum, atau disalahkan [jika ia membiarkan sapi-sapi itu berkeliaran ke dalam wilayah panen]. Demikian pula Aku melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat dan berkah pelepasan keduniawian, aspek pemurnian dalam kondisi-kondisi bermanfaat. [116]

8. “Sewaktu Aku berdiam demikian, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, suatu pikiran pelepasan keduniawian muncul dalam diriKu. Aku memahaminya sebagai: ‘Pikiran pelepasan keduniawian ini telah muncul dalam diriKu. Ini tidak mengarah pada penderitaanKu, atau pada penderitaan orang lain, atau pada penderitaan keduanya; pikiran ini mendukung kebijaksanaan, tidak menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menuntun menuju Nibbāna.’ Jika Aku memikirkan dan merenungkan pikiran ini bahkan selama semalam, bahkan selama sehari, bahkan selama sehari semalam, Aku tidak melihat apapun yang menakutkan di dalamnya. Tetapi dengan terlalu memikirkan dan merenungkan Aku dapat melelahkan tubuhKu, dan jika tubuhKu lelah, pikiran menjadi terganggu, dan ketika pikiran terganggu, maka itu berarti jauh dari konsentrasi.’ Maka Aku mengokohkan pikiranKu secara internal, menenangkannya, membawanya menuju keterpusatan, dan mengkonsentrasikannya. Mengapakah? Agar pikiranKu tidak terganggu.

9-10. “Sewaktu Aku berdiam demikian, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, suatu pikiran tanpa niat buruk muncul dalam diriKu ...  pikiran tanpa-kekejaman muncul dalam diriKu. Aku memahaminya sebagai: ‘Pikiran tanpa-kekejaman ini telah muncul dalam diriKu. Ini tidak mengarah pada penderitaanKu, atau pada penderitaan orang lain, atau pada penderitaan keduanya; pikiran ini mendukung kebijaksanaan, tidak menyebabkan kesulitan-kesulitan, dan menuntun menuju Nibbāna.’ Jika Aku memikirkan dan merenungkan pikiran ini bahkan selama semalam, bahkan selama sehari, bahkan selama sehari semalam, Aku tidak melihat apapun yang menakutkan di dalamnya. Tetapi dengan terlalu memikirkan dan merenungkan Aku dapat melelahkan tubuhKu, dan jika tubuhKu lelah, pikiran menjadi terganggu, dan ketika pikiran terganggu, maka itu berarti jauh dari konsentrasi.’ Maka Aku mengokohkan pikiranKu secara internal, menenangkannya, membawanya menuju keterpusatan, dan mengkonsentrasikannya. Mengapakah? Agar pikiranKu tidak terganggu.

11. “Para bhikkhu, apapun yang sering dipikirkan dan direnungkan oleh seorang bhikkhu, maka itu akan menjadi kecenderungan pikirannya. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran-pikiran pelepasan keduniawian, maka ia telah meninggalkan pikiran keinginan indria dan mengembangkan pikiran pelepasan keduniawian, dan kemudian pikirannya condong pada pikiran pelepasan keduniawian. Jika ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran tanpa niat buruk … pikiran tanpa-kekejaman, maka ia telah meninggalkan pikiran kekejaman dan mengembangkan pikiran tanpa-kekejaman, dan kemudian pikirannya condong pada tanpa-kekejaman.

12. “Bagaikan pada bulan terakhir musim panas, ketika semua hasil panen telah dibawa ke dalam desa-desa, [117] seorang penggembala sapi menjaga sapi-sapinya sambil duduk di bawah sebatang pohon atau di ruang terbuka, karena ia hanya perlu memperhatikan bahwa sapi-sapinya ada di sana; demikian pula, aku hanya perlu memperhatikan bahwa kondisi-kondisi itu ada di sana.

13.  “Kegigihan tanpa lelah muncul dalam diriKu dan perhatian tanpa henti menjadi kokoh, tubuhKu tenang dan tidak terganggu, pikiranKu terkonsentrasi dan terpusat.

14-23. “Dengan cukup terasing dari keinginan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku memasuki dan berdiam dalam jhāna pertama (seperti Sutta 4, §§23-32) … Aku secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

24. “Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang Kucapai pada jaga ke tiga malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh.

25. “Misalkan, para bhikkhu, bahwa di dalam sebuah hutan terdapat rawa-rawa yang luas di dekat sekumpulan rusa yang menetap di sana. Kemudian seseorang datang menginginkan kehancuran, bahaya, dan belenggu bagi rusa-rusa itu, dan ia menutup jalan yang baik dan aman yang mengarah menuju kebahagiaan rusa-rusa itu, dan ia membuka jalan palsu, dan ia meletakkan umpan dan memasang benda-benda tiruan sehingga kumpulan rusa itu akan mengalami bencana, malapetaka, dan kehancuran. Tetapi seorang lainnya datang menginginkan kebaikan, kesejahteraan, dan perlindungan bagi rusa-rusa itu, dan ia membuka kembali jalan yang baik dan aman yang mengarah menuju kebahagiaan rusa-rusa itu, dan ia menutup jalan palsu, dan ia membuang umpan dan menghancurkan benda-benda tiruan, sehingga kumpulan rusa itu dapat berkembang, bertambah dan berlimpah.

26. “Para bhikkhu, Aku memberikan perumpamaan ini untuk menyampaikan maknanya. [118] Maknanya adalah sebagai berikut: ‘Rawa-rawa yang luas’ adalah sebutan bagi kenikmatan indria. ‘Sekumpulan rusa’ adalah sebutan bagi makhluk-makhluk. ‘Seseorang yang datang menginginkan kehancuran, bahaya, dan belenggu’ adalah sebutan bagi Māra si Jahat. ‘Jalan Palsu’ adalah sebutan bagi jalan palsu berunsur delapan, yaitu: pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, perbuatan salah, penghidupan salah, usaha salah, perhatian salah, dan konsentrasi salah. ‘Umpan’ adalah sebutan bagi kenikmatan dan nafsu. ‘Benda-benda tiruan’ adalah sebutan bagi kebodohan. ‘Seorang lainnya yang datang menginginkan kebaikan, kesejahteraan, dan perlindungan’ adalah sebutan bagi Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. ‘Jalan yang baik dan aman yang mengarah menuju kebahagiaan rusa-rusa itu’ adalah sebutan bagi Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

“Demikianlah, para bhikkhu, jalan yang baik dan aman yang mengarah menuju kebahagiaan telah dibuka kembali olehKu, jalan palsu telah ditutup, umpan telah dibuang, benda-benda tiruan telah dihancurkan.

27. “Apa yang harus dilakukan untuk para siswaNya demi belas kasih seorang guru yang mengusahakan kesejahteraan dan memiliki belas kasih terhadap mereka, telah Kulakukan untuk kalian, para bhikkhu. Terdapat bawah pepohonan ini, gubuk-gubuk kosong ini. Bermeditasilah, para bhikkhu, jangan menunda atau kalian akan menyesalinya kelak. Ini adalah instruksi kami kepada kalian.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 08:25:39 PM
20  Vitakkasaṇṭhāna Sutta
Pelenyapan Pikiran-pikiran Kacau

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” [119] mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu sedang mengejar pikiran yang lebih tinggi, dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan lima gambaran.  Apakah lima ini?

3. (i) “Di sini, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan beberapa gambaran, dan karena gambaran itu muncul dalam dirinya pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, maka ia harus memperhatikan gambaran lain yang berhubungan dengan apa yang bermanfaat.  Ketika ia memperhatikan gambaran lain yang bermanfaat, maka pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang tukang kayu terampil atau muridnya dapat menghancurkan, menghilangkan, dan mencabut pasak besar dengan menggunakan pasak kecil, demikian pula … ketika seorang bhikkhu memperhatikan gambaran lain yang berhubungan dengan apa yang bermanfaat … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.

4. (ii) “Jika, sewaktu ia sedang memperhatikan gambaran lain yang berhubungan dengan apa yang bermanfaat, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, maka ia harus memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut sebagai berikut: ‘Pikiran-pikiran ini tidak bermanfaat, tercela, berakibat pada penderitaan.’  Ketika ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang laki-laki atau perempuan, muda, belia, dan menyukai hiasan, akan ketakutan, malu, dan jijik jika mayat seekor ular atau seekor anjing atau manusia [120] digantungkan dilehernya, demikian pula … ketika seorang bhikkhu memeriksa pikiran-pikiran ini … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.

5. (iii) “Jika, sewaktu ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, maka ia harus berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memperhatikannya.  Ketika ia berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memperhatikannya, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seseorang dengan mata yang baik, yang tidak ingin melihat bentuk-bentuk yang ada dalam jarak pandanganya akan menutup matanya atau menatap ke arah lain, demikian pula … Ketika seorang bhikkhu berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memperhatikannya … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.

6. (iv) “Jika, sewaktu ia berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memperhatikannya, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, maka ia harus mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut.  Ketika ia mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seseorang yang berjalan cepat akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku berjalan cepat? Bagaimana jika aku berjalan lambat?’ dan ia akan berjalan lambat; kemudian ia akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku berjalan lambat? Bagaimana jika aku berdiri?’ dan ia akan berdiri; kemudian ia akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku berdiri? Bagaimana jika aku duduk?’ dan ia akan duduk; kemudian ia akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku duduk? Bagaimana jika aku berbaring?’ dan ia akan berbaring. Dengan melakukan hal tersebut ia akan menggantikan setiap postur kasar dengan yang lebih halus. Demikian pula … Ketika seorang bhikkhu mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.

7. (v) “Jika, sewaktu ia mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, maka dengan mengertakkan giginya dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, ia harus menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran.  [121] Ketika, dengan mengertakkan giginya dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, ia menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang kuat yang menangkap seorang yang lebih lemah di kepala atau bahu dan menekannya, mendesaknya, dan menggilasnya, demikian pula … ketika, dengan mengertakkan giginya dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, seorang bhikkhu menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.

8. “Para bhikkhu,  ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan beberapa gambaran, dan karena gambaran itu muncul dalam dirinya pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan kebodohan, kemudian ketika ia memperhatikan gambaran lain yang bermanfaat, maka pikiran jahat yang tidak bermanfaat ditinggalkan dalam dirinya dan mereda, dan dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Ketika ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut … Ketika ia berusaha melupakan pikiran-pikiran tersebut dan tidak memperhatikannya … Ketika, dengan mengertakkan giginya dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, ia menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, [122] menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bhikkhu ini dapat disebut seorang guru dalam perjalanan pikiran. Ia akan memikirkan pikiran apapun yang ingin ia pikirkan dan ia tidak akan memikirkan pikiran apapun yang tidak ingin ia pikirkan. Ia telah mematahkan keinginan, membuang belenggu-belenggu, dan dengan sepenuhnya menembus keangkuhan ia mengakhiri penderitaan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 08:27:46 PM
21  Kakacūpama Sutta
Perumpamaan Gergaji

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu Yang Mulia Moliya Phagguna bergaul terlalu akrab dengan para bhikkhunī.  Ia begitu akrab dengan para bhikkhunī sehingga jika ada bhikkhu yang mencela para bhikkhunī itu di hadapannya, maka ia akan menjadi marah dan tidak senang dan akan menegurnya; dan jika ada bhikkhu yang mencela Yang Mulia Moliya Phagguna di hadapan para bhikkhunī itu, maka mereka akan menjadi marah dan tidak senang dan akan menegurnya. Demikianlah pergaulan akrab Yang Mulia Moliya Phagguna dengan para bhikkhunī.

3. Kemudian seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Sang Bhagavā tentang apa yang sedang terjadi.

4. Kemudian Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu sebagai berikut: “Ke sinilah, [123] Bhikkhu, beritahu Bhikkhu Moliya Phagguna atas namaKu bahwa Sang Guru memanggilnya.” – “Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan ia mendatangi Yang Mulia Moliya Phagguna dan memberitahunya: “Sang Guru memanggilmu, Teman Phagguna.” – “Baik, Teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepadanya:

5. “Phagguna, benarkah bahwa engkau bergaul terlalu akrab dengan para bhikkhunī. Bahwa engkau begitu akrab dengan para bhikkhunī sehingga jika ada bhikkhu yang mencela para bhikkhunī itu di hadapanmu, maka engkau akan menjadi marah dan tidak senang dan akan menegurnya; dan jika ada bhikkhu yang mencela engkau di hadapan para bhikkhunī itu, maka mereka akan menjadi marah dan tidak senang dan akan menegurnya? Apakah engkau bergaul terlalu akrab dengan para bhikkhunī seperti yang terlihat?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Phagguna, bukankah engkau adalah seorang anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah?” – “Benar, Yang Mulia.”

6. “Phagguna, tidaklah selayaknya bagimu, seorang anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, bergaul terlalu akrab dengan para bhikkhunī. Oleh karena itu, jika seseorang mencela para bhikkhunī itu di hadapanmu, maka engkau harus meninggalkan segala keinginan dan pikiran yang berlandaskan pada kehidupan rumah tangga. Dan di sini engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiranku tidak akan terpengaruh, dan aku tidak akan mengucapkan kata-kata kasar; aku akan berdiam dengan berbelas kasih demi kesejahteraannya, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih, Phagguna.

“Jika seseorang menyerang para bhikkhunī itu dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau di hadapanmu, maka engkau harus meninggalkan segala keinginan dan pikiran yang berlandaskan pada kehidupan rumah tangga. Dan di sini engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiranku tidak akan terpengaruh …’ Jika seseorang mencela di hadapanmu, maka engkau harus meninggalkan segala keinginan dan pikiran yang berlandaskan pada kehidupan rumah tangga. Dan di sini engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiranku tidak akan terpengaruh …’ Jika seseorang menyerangmu itu dengan tangan, dengan bongkahan tanah, dengan tongkat, atau dengan pisau [124], maka engkau harus meninggalkan segala keinginan dan pikiran yang berlandaskan pada kehidupan rumah tangga. Dan di sini engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiranku tidak akan terpengaruh, dan aku tidak akan mengucapkan kata-kata kasar; aku akan berdiam dengan berbelas kasih demi kesejahteraannya, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran.’ Demikianlah engkau harus berlatih, Phagguna.

7. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, pernah terjadi suatu peristiwa di mana para bhikkhu memuaskan pikiranKu. Di sini Aku berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, Aku makan sekali sehari. Dengan melakukan hal itu, Aku terbebas dari penyakit dan penderitaan, dan Aku menikmati kesehatan, kekuatan, dan kediaman yang nyaman. Ayo, para bhikkhu, makanlah sekali sehari. Dengan melakukan hal itu, kalian akan terbebas dari penyakit dan penderitaan, dan kalian akan menikmati kesehatan, kekuatan, dan kediaman yang nyaman.’ Dan Aku tidak perlu terus-menerus memberikan instruksi kepada para bhikkhu itu; Aku hanya perlu membangkitkan perhatian dalam diri mereka.  Misalkan ada sebuah kereta di tanah yang datar di persimpangan jalan, ditarik oleh kuda-kuda berdarah murni, menunggu dengan tongkat kendali siap untuk digunakan, sehingga seorang pelatih terampil, seorang kusir dari kuda-kuda yang harus dijinakkan, dapat menaikinya, dan memegang tali kekang dengan tangan kirinya dan tongkat kendali di tangan kanannya, dapat menjalankannya maju dan mundur melalui jalan manapun yang ia sukai. Demikian pula, Aku tidak perlu terus-menerus memberikan instruksi kepada para bhikkhu itu; Aku hanya perlu membangkitkan perhatian dalam diri mereka.

8. “Oleh karena itu, para bhikkhu, tinggalkanlah apa yang tidak bermanfaat dan tekunilah kondisi-kondisi yang bermanfaat, karena itu adalah bagaimana kalian akan mengalami kemajuan, peningkatan dan pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini. Misalkan terdapat hutan besar pepohonan sāla di dekat sebuah desa atau kota, dan hutan itu terganggu oleh rerumputan jarak, dan seseorang datang menginginkan kebaikan, kesejahteraan, dan perlindungan. Ia akan menebang dan menyingkirkan anak-anak pohon yang bengkok yang merampas getah, dan ia akan membersihkan bagian dalam hutan dan memelihara anak-anak pohon yang lurus dan berbentuk baik, sehingga, hutan pohon-sāla itu akan mengalami kemajuan, peningkatan dan pemenuhan. Demikian pula, para bhikkhu, tinggalkanlah apa yang tidak bermanfaat dan tekunilah kondisi-kondisi yang bermanfaat, [125] karena itu adalah bagaimana kalian akan mengalami kemajuan, peningkatan dan pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini.

9. “Sebelumnya, para bhikkhu, di Sāvatthī yang sama ini terdapat seorang ibu rumah tangga bernama Vedehikā. Dan berita baik sehubungan dengan Nyonya Vedehikā telah menyebar sebagai berikut: ‘Nyonya Vedehikā adalah orang yang baik, Nyonya Vedehikā adalah orang yang lembut, Nyonya Vedehikā adalah orang yang cinta damai.’ Nyonya Vedehikā memiliki seorang pembantu bernama Kālī, yang cerdas, gesit, dan rapi dalam pekerjaannya. Kālī si pembantu berpikir: ‘berita baik sehubungan dengan majikanku telah menyebar sebagai berikut: “Nyonya Vedehikā adalah orang yang baik, Nyonya Vedehikā adalah orang yang lembut, Nyonya Vedehikā adalah orang yang cinta damai.” Bagaimanakah sekarang, walaupun ia tidak memperlihatkan kemarahan, tetapi apakah saat ini ada kemarahan dalam dirinya atau tidak ada? Atau kalau tidak demikian, apakah karena pekerjaanku rapi maka majikanku tidak memperlihatkan kemarahan walaupun ada kemarahan dalam dirinya? Bagaimana jika aku menguji majikanku.’

“Maka Kālī si pembantu bangun terlambat. Nyonya Vedehikā berkata: ‘Hei, Kālī!’ – ‘Ada apa, Nyonya?’ – ‘Ada apa denganmu sehingga bangun terlambat?’ – ‘Tidak ada apa-apa, Nyonya.’ – ‘Tidak ada apa-apa, engkau perempuan nakal, namun engkau bangun terlambat!’ Dan ia marah dan tidak senang. Kemudian Kālī si pembantu berpikir: ‘Kenyataannya adalah walaupun majikanku tidak memperlihatkan kemarahan, namun kemarahan ada dalam dirinya, bukan tidak ada; dan adalah karena pekerjaanku rapi maka majikanku tidak memperlihatkan kemarahan walaupun kemarahan ada dalam dirinya, bukan tidak ada. Bagaimana jika aku menguji majikanku lebih jauh lagi.’

“Maka Kālī si pembantu bangun terlambat di siang hari. Nyonya Vedehikā berkata: ‘Hei, Kālī!’ – ‘Ada apa, Nyonya?’ – ‘Ada apa denganmu sehingga bangun terlambat di siang hari?’ – ‘Tidak ada apa-apa, Nyonya.’ – ‘Tidak ada apa-apa, engkau perempuan nakal, namun engkau bangun terlambat di siang hari!’ Dan ia marah dan tidak senang dan ia mengucapkan kata-kata ketidak-senangan. Kemudian Kālī si pembantu berpikir: ‘Kenyataannya adalah walaupun majikanku tidak memperlihatkan kemarahan, namun kemarahan ada dalam dirinya, bukan tidak ada. Bagaimana jika aku menguji majikanku lebih jauh lagi.’

“Maka Kālī si pembantu bangun lebih terlambat lagi di siang hari. Nyonya Vedehikā [126] berkata: ‘Hei, Kālī!’ – ‘Ada apa, Nyonya?’ – ‘Ada apa denganmu sehingga bangun lebih terlambat di siang hari?’ – ‘Tidak ada apa-apa, Nyonya.’ – ‘Tidak ada apa-apa, engkau perempuan nakal, namun engkau bangun lebih terlambat lagi di siang hari!’ Dan ia marah dan tidak senang, dan ia mengambil penggilingan dan memukulnya di kepalanya, dan melukai kepalanya.

“Kemudian Kālī si pembantu, dengan darah menetes dari kepalanya yang terluka, mengadukan majikannya kepada para tetangga: ‘Lihat, nyonya-nyonya, perbuatan nyonya yang baik! Lihat, nyonya-nyonya, perbuatan nyonya yang lembut! Lihat, nyonya-nyonya, perbuatan nyonya yang cinta damai! Bagaimana mungkin ia menjadi marah dan tidak senang pada pembantu satu-satunya karena bangun terlambat? Bagaimana mungkin ia mengambil penggilingan, memukulnya di kepala, dan melukai kepalanya?’ kemudian berita buruk sehubungan dengan Nyonya Vedehikā menyebar sebagai berikut: “Nyonya Vedehikā adalah orang yang kasar, Nyonya Vedehikā adalah orang yang kejam, Nyonya Vedehikā adalah orang yang tanpa belas kasihan.”

10. “Demikian pula, para bhikkhu, seorang bhikkhu sangat baik, sangat lembut, sangat cinta damai, selama ucapan-ucapan yang tidak menyenangkan tidak menyentuhnya. Tetapi ketika ucapan-ucapan yang tidak menyenangkan menyentuhnya maka dapat diketahui apakah bhikkhu itu sungguh-sungguh baik, lembut, dan cinta damai. Aku tidak mengatakan seorang bhikkhu mudah dinasihati pada ia yang mudah dinasihati dan membuatnya mudah dinasihati hanya demi mendapatkan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Mengapakah? Karena bhikkhu itu tidak mudah dinasihati dan tidak membuat dirinya mudah dinasihati ketika ia tidak memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Tetapi ketika seorang bhikkhu mudah dinasihati dan membuat dirinya mudah dinasihati karena ia menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi Dhamma, ia Kukatakan mudah dinasihati. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan mudah dinasihati dan membuat diri kami mudah dinasihati karena kami menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi Dhamma.’ Demikianlah kalian harus berlatih, para bhikkhu.

11. “Para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini yang digunakan oleh orang lain ketika berbicara dengan kalian: ucapan mereka tepat atau tidak tepat pada waktunya, benar atau tidak benar, halus atau kasar, berhubungan dengan kebaikan atau dengan kejahatan, diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam pikiran. Ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin tepat atau tidak tepat pada waktunya; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin benar atau tidak benar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin halus atau kasar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin berhubungan dengan kebaikan [127] atau dengan keburukan; ketika orang lain berbicara dengan kalian,  ucapan mereka mungkin diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam pikiran. Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh, dan kami tidak akan mengucapkan kata-kata jahat; kami akan berdiam dengan penuh belas kasihan demi kesejahteraan mereka, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran. Kami akan berdiam dengan melingkupi orang itu dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih; dan dimulai dengan dirinya,  kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

12. “Para bhikkhu, misalkan seseorang datang dengan membawa cangkul dan keranjang dan berkata: ‘Aku akan mengosongkan bumi ini dari tanah.’ Ia akan menggali di sana-sini, menebarkan tanah di sana-sini, meludah di sana-sini, buang air di sana-sini, sambil berkata: ‘jadilah tanpa tanah, jadilah tanpa tanah!’ Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Dapatkah orang itu mengosongkan bumi ini dari tanah?” – “Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena bumi ini sungguh dalam dan besar; tidak mungkin dapat dikosongkan dari tanah. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

13. “Demikian pula, para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini … (seperti pada §11) … Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh … dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

14. “Para bhikkhu, misalkan seseorang datang dengan membawa pewarna merah, jingga, nila, atau merah tua dan berkata: ‘Aku akan melukis gambar yang muncul dari ruang kosong.’ Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, dapatkah orang itu melukis gambar yang muncul dari ruang kosong?” – “Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena ruang kosong adalah tanpa bentuk dan tidak terlihat; ia tidak mungkin dapat melukis gambar yang muncul dari sana. [128] Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

15. “Demikian pula, para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini … Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh … dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

16. “Para bhikkhu, misalkan seseorang datang dengan membawa obor dari rumput yang menyala dan berkata: ‘Aku akan memanaskan dan membakar sungai Gangga dengan obor rumput menyala ini.’ Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, dapatkah orang itu memanaskan dan membakar sungai Gangga dengan obor rumput menyala itu?” – “Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena sungai Gangga dalam dan sangat besar; tidak mungkin dapat dipanaskan dan dibakar dengan obor rumput menyala. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

17. “Demikian pula, para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini … Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh … dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

18. “Para bhikkhu, misalkan terdapat sebuah tas kulit kucing yang telah digosok, digosok dengan baik, digosok dengan sangat baik, lembut, halus, bebas dari bunyi gesekan, bebas dari bunyi gemerisik, dan seseorang datang dengan membawa tongkat atau pecahan tembikar dan berkata: ‘Terdapat tas kulit kucing ini yang telah digosok … bebas dari bunyi gesekan, bebas dari bunyi gemerisik. Aku akan membuatnya berbunyi gesekan dan bergemerisik.’ Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Dapatkah orang itu membuatnya berbunyi gesekan dan bergemerisik dengan menggunakan tongkat atau pecahan tembikar?” – “Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena tas kulit kucing ini yang telah digosok … bebas dari bunyi gesekan, bebas dari bunyi gemerisik, tidak mungkin dapat dibuat berbunyi gesekan atau berbunyi gemerisik dengan menggunakan tongkat atau pecahan tembikar. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

19. “Demikian pula, para bhikkhu, terdapat lima ucapan ini yang digunakan oleh orang lain ketika berbicara dengan kalian: ucapan mereka tepat [129] atau tidak tepat pada waktunya, benar atau tidak benar, halus atau kasar, berhubungan dengan kebaikan atau dengan kejahatan, diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam pikiran. Ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin tepat atau tidak tepat pada waktunya; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin benar atau tidak benar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin halus atau kasar; ketika orang lain berbicara dengan kalian, ucapan mereka mungkin berhubungan dengan kebaikan atau dengan keburukan; ketika orang lain berbicara dengan kalian,  ucapan mereka mungkin diucapkan dengan pikiran cinta kasih atau kebencian dalam pikiran. Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh, dan kami tidak akan mengucapkan kata-kata jahat; kami akan berdiam dengan penuh belas kasihan demi kesejahteraan mereka, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran. Kami akan berdiam dengan melingkupi orang itu dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih; dan dimulai dengan dirinya, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

20. “Para bhikkhu, bahkan jika para penjahat memotong kalian dengan kejam bagian demi bagian tubuh dengan gergaji bergagang ganda, ia yang memendam pikiran benci terhadap mereka berarti tidak melaksanakan ajaranKu. Di sini, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan tetap tidak terpengaruh, dan kami tidak akan mengucapkan kata-kata jahat; kami akan berdiam dengan penuh belas kasihan demi kesejahteraan mereka, dengan pikiran cinta kasih, tanpa kebencian dalam pikiran. Kami akan berdiam dengan melingkupi mereka dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih; dan dimulai dengan diri mereka, kami akan berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, yang berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

21. “Para bhikkhu, jika kalian terus-menerus mengingat nasihat tentang perumpamaan gergaji ini, apakah kalian melihat ada ucapan, halus atau kasar, yang tidak dapat kalian terima?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus terus-menerus mengingat nasihat tentang perumpamaan gergaji ini. Hal ini akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan kalian untuk waktu yang lama.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 08:29:21 PM
22  Alagaddūpama Sutta
Perumpamaan Ular

(SITUASI)

[130] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu suatu pandangan salah telah muncul dalam diri seorang bhikkhu bernama Ariṭṭha, seorang mantan pemburu nasar, sebagai berikut: “Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.”

3. Beberapa bhikkhu, setelah mendengar hal ini, mendatangi Bhikkhu Ariṭṭha dan bertanya kepadanya: “Teman Ariṭṭha, benarkah bahwa suatu pandangan salah telah muncul dalam dirimu?”

“Demikianlah, teman-teman. Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.”

Kemudian para bhikkhu ini, berniat untuk melepaskannya dari pandangan salah itu, menekan dan mempertanyakan dan mendebatnya sebagai berikut: “Teman Ariṭṭha, jangan berkata demikian. Jangan salah memahami Sang Bhagavā; tidaklah baik engkau salah memahami Sang Bhagavā. Sang Bhagavā tidak berkata seperti itu. Karena dalam banyak khotbah Sang Bhagavā telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya. Sang Bhagavā telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi. Dengan perumpamaan tulang-belulang … dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan obor rumput … dengan perumpamaan lubang bara api … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan benda-benda yang dipinjam … dengan perumpamaan buah-buahan di pohon … dengan perumpamaan pisau daging dan balok pemotongan … dengan perumpamaan pedang pancang … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagavā telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi.”

Namun walaupun ditekan, dipertanyakan, dan didebat oleh mereka dengan cara ini, Bhikkhu Ariṭṭha, mantan pemburu nasar, masih tetap bersikeras melekati pandangan salah itu dan mempertahankannya.

4. Karena para bhikkhu tidak mampu melepaskannya [131] dari pandangan salah itu, mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahukan semua yang telah terjadi, dan menambahkan: “Yang Mulia, karena kami tidak mampu melepaskan Bhikkhu Ariṭṭha, mantan pemburu nasar, dari pandangan salah ini, maka kami melaporkan persoalan ini kepada Sang Bhagavā.”

5. Kemudian Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu sebagai berikut: “Ke sinilah, Bhikkhu, beritahu Bhikkhu Ariṭṭha, mantan pemburu nasar,  atas namaKu bahwa Sang Guru memanggilnya.” – [132] “Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan ia mendatangi Bhikkhu Ariṭṭha dan memberitahunya: “Sang Guru memanggilmu, Teman Ariṭṭha.”

“Baik, Teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepadanya: “Ariṭṭha, benarkah bahwa pandangan salah berikut ini telah muncul dalam dirimu: ‘Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.’?”

“Demikianlah, Yang Mulia. Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.”

6. “Orang sesat, dari siapakah engkau mendengar bahwa Aku mengajarkan Dhamma seperti itu? Orang sesat, dalam banyak khotbah bukankah Aku telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya? Aku telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi. Dengan perumpamaan tulang-belulang … dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan obor rumput … dengan perumpamaan lubang bara api menyala … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan benda-benda yang dipinjam … dengan perumpamaan buah-buahan di pohon … dengan perumpamaan pisau daging dan balok pemotongan … dengan perumpamaan pedang pancang … dengan perumpamaan kepala ular, Aku telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi. Tetapi engkau, orang sesat, telah salah memahami kami dengan pandangan salahmu dan melukai dirimu sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaanmu untuk waktu yang lama.”

7. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah Bhikkhu Ariṭṭha ini, mantan pemburu nasar, telah menyalakan bahkan sepercikan kebijaksanaan dalam Dhamma dan Disiplin ini?”

“Bagaimana mungkin, Yang Mulia? Tidak, Yang Mulia.”

Ketika hal ini dikatakan, Bhikkhu Ariṭṭha, mantan pemburu nasar, duduk diam, cemas, dengan bahu terkulai dan kepala menunduk, muram dan tidak bereaksi. Kemudian, mengetahui hal ini, Sang Bhagavā memberitahunya: “Orang sesat, engkau akan dikenal dengan pandangan salahmu sendiri. Aku akan menanyai para bhikkhu sehubungan dengan hal ini.”

8. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, [133] apakah kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti yang dipahami oleh Bhikkhu Ariṭṭha ini, si mantan pemburu nasar, ketika ia salah memahami kita dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan?”

“Tidak, Yang Mulia. Karena dalam banyak khotbah Sang Bhagavā telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya. Sang Bhagavā telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi. Dengan perumpamaan tulang-belulang … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagavā telah mengatakan … bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi.”

“Bagus, para bhikkhu, bagus sekali bahwa kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti demikian. Karena dalam banyak khotbah Aku telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya. Aku telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan betapa besarnya bahaya di dalamnya. Dengan perumpamaan tulang-belulang … dengan perumpamaan kepala ular, Aku telah mengatakan … betapa besarnya bahaya di dalamnya. Tetapi Bhikkhu Ariṭṭha ini, yang dulunya adalah seorang pemburu nasar, salah memahami kita dengan dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaan orang sesat ini untuk waktu yang lama.

9. “Para bhikkhu, bahwa seseorang dapat menekuni kenikmatan indria tanpa keinginan indria, tanpa persepsi keinginan indria, tanpa pikiran keinginan indria – itu adalah tidak mungkin.

(PERUMPAMAAN ULAR)

10. “Di sini, para bhikkhu, beberapa orang sesat mempelajari Dhamma – khotbah, syair, penjelasan, bait-bait, ungkapan kegembiraan, sabda-sabda, kisah-kisah kelahiran, keajaiban-keajaiban, dan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan – tetapi setelah mempelajari Dhamma, mereka tidak memeriksa makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan. Tanpa memeriksa makna-makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan, mereka tidak memperoleh penerimaan mendalam akan ajaran-ajaran itu. Sebaliknya mereka mempelajari Dhamma hanya demi untuk mengkritik orang lain dan untuk memenangkan perdebatan, dan mereka tidak mengalami kebaikan yang karenanya mereka mempelajari Dhamma. Ajaran-ajaran itu, karena secara keliru dipahami oleh mereka, akan mengakibatkan bencana dan penderitaan untuk waktu yang lama.  Mengapakah? Karena menggenggam secara keliru pada ajaran-ajaran itu.

“Misalkan seseorang yang memerlukan seekor ular, mencari seekor ular, mengembara untuk mencari seekor ular, melihat seekor ular besar dan menangkap gulungannya atau ekornya, ular itu akan berbalik dan menggigit tangannya atau lengannya atau anggota tubuh lainnya. [134] dan karena itu ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan. Mengapakah? Karena ia menangkap ular itu dengan cara yang salah. Demikian pula, di sini beberapa orang sesat mempelajari Dhamma … Mengapakah? Karena menggenggam secara keliru pada ajaran-ajaran itu.

11. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga mempelajari Dhamma – khotbah, syair … jawaban-jawaban atas pertanyaan – dan setelah mempelajari Dhamma, mereka memeriksa makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan. Dengan memeriksa makna-makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan, mereka memperoleh penerimaan mendalam akan ajaran-ajaran itu. Mereka bukan mempelajari Dhamma demi untuk mengkritik orang lain dan bukan untuk memenangkan perdebatan, dan mereka mengalami kebaikan yang karenanya mereka mempelajari Dhamma. Ajaran-ajaran itu, karena secara benar dipahami oleh mereka, akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.

“Misalkan seseorang yang memerlukan seekor ular, mencari seekor ular, mengembara untuk mencari seekor ular, melihat seekor ular besar dan menangkapnya dengan benar menggunakan tongkat penjepit, dan setelah itu, mencengkeramnya tepat di lehernya. Kemudian walaupun ular itu akan membelit tangannya atau lengannya atau bagian tubuh lainnya, tetapi ia tidak akan mengalami kematian atau penderitaan yang mematikan karena belitan itu. Mengapakah? Karena cengkeramannya yang benar pada ular itu. Demikian pula, di sini beberapa anggota keluarga mempelajari Dhamma … Mengapakah? Karena menggenggam secara benar pada ajaran-ajaran itu.

12. “Oleh karena itu, para bhikkhu, ketika kalian memahami makna dari pernyataanKu, ingatlah itu; dan ketika kalian tidak memahami makna dari pernyataanKu, maka bertanyalah kepadaKu atau kepada para bhikkhu yang bijaksana.

(PERUMPAMAAN RAKIT)

13. “Para bhikkhu, Aku akan menunjukkan kepada kalian bagaimana Dhamma itu serupa dengan rakit, karena berguna untuk menyeberang, bukan untuk dilekati.  Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, misalkan seseorang dalam suatu perjalanannya menjumpai hamparan air yang luas, yang mana di pantai sebelah sini berbahaya dan menakutkan dan di pantai seberang aman dan bebas dari ketakutan, tetapi tidak ada perahu penyeberangan atau jembatan menuju pantai seberang. [135] Kemudian ia berpikir: ‘Hamparan air ini sungguh luas, yang mana di pantai sebelah sini berbahaya dan menakutkan dan di pantai seberang aman dan bebas dari ketakutan, tetapi tidak ada perahu penyeberangan atau jembatan menuju pantai seberang. Bagaimana jika aku mengumpulkan rerumputan, ranting, dahan, dan dedaunan, dan mengikatnya menjadi satu sehingga menjadi rakit, dan dengan didukung oleh rakit itu dan berusaha dengan tangan dan kaki, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang.’ Dan kemudian orang itu mengumpulkan rerumputan, ranting, dahan, dan dedaunan, dan mengikatnya menjadi satu sehingga menjadi rakit, dan dengan didukung oleh rakit itu dan berusaha dengan tangan dan kaki, ia dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Kemudian, ketika ia telah menyeberang dan telah sampai di pantai seberang, ia mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Rakit ini telah sangat berguna bagiku, karena dengan didukung oleh rakit ini dan berusaha dengan tangan dan kakiku, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Bagaimana jika aku mengangkatnya di atas kepalaku atau memikulnya di bahuku, dan kemudian aku pergi kemanapun yang kuinginkan.’ Sekarang, para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Dengan melakukan hal itu, apakah orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Dengan melakukan apakah maka orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu? Di sini, para bhikkhu, ketika orang itu telah menyeberang dan telah sampai di pantai seberang, ia mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Rakit ini telah sangat berguna bagiku, karena dengan didukung oleh rakit ini dan berupaya dengan tangan dan kakiku, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Bagaimana jika aku menariknya ke daratan atau menghanyutkannya di air, dan kemudian aku pergi kemanapun yang kuinginkan.’ Sekarang, para bhikkhu, adalah dengan melakukan hal itu maka orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu. Demikianlah Aku telah menunjukkan kepada kalian bagaimana Dhamma itu serupa dengan rakit, karena berguna untuk menyeberang, bukan untuk dilekati.

14. “Para bhikkhu, ketika kalian mengetahui bahwa Dhamma serupa dengan rakit, maka kalian bahkan harus meninggalkan ajaran-ajaran, apalagi hal-hal yang berlawanan dengan ajaran.

(SUDUT PANDANG BAGI PANDANGAN-PANDANGAN)

15. “Para bhikkhu, terdapat enam sudut pandang bagi pandangan-pandangan ini.  Apakah enam ini? seorang biasa yang tidak terpelajar, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’  Ia menganggap perasaan sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Ia menganggap persepsi sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Ia menganggap bentukan-bentukan sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Ia menganggap apa yang terlihat, terdengar, tercerap, dikenali, dijumpai, dicari, direnungkan sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’  Dan sudut pandang ini bagi pandangan ini: ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia, setelah kematian aku akan kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak berubah; [136] aku akan bertahan selamanya’ – ini juga ia anggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’

16. “Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terpelajar, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap perasaan sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap persepsi sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap bentukan-bentukan sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap apa yang terlihat, terdengar, tercerap, dikenali, dijumpai, dicari, direnungkan sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Dan sudut pandang ini bagi pandangan: ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia, setelah kematian aku akan kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak berubah; aku akan bertahan selamanya’ – ini juga ia anggap sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

17. “Karena ia beranggapan demikian, maka ia tidak terganggu dengan apa yang tidak ada.”

(GANGGUAN)

18. Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu bertanya kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, dapatkah muncul gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal?”

“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, bhikkhu, beberapa orang berpikir: ‘aduh, aku memilikinya! Aduh, aku tidak lagi memilikinya! Aduh, semoga aku memilikinya! Aduh, aku tidak mendapatkannya!’ Kemudian ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Demikianlah bagaimana kemunculan gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal.”

19. “Yang Mulia, dapatkah tidak muncul gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal?”

“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, bhikkhu, beberapa orang tidak berpikir: ‘aduh, aku memilikinya! Aduh, aku tidak lagi memilikinya! Aduh, semoga aku memilikinya! Aduh, aku tidak mendapatkannya!’ Kemudian ia tidak berdukacita, tidak bersedih, dan tidak meratap, ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Demikianlah bagaimana ketidak-munculan gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal.”

20. “Yang Mulia, dapatkah muncul gangguan terhadap apa yang tidak ada secara internal?”

“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, bhikkhu, seseorang berpandangan: ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia, setelah kematian aku akan kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak berubah; aku akan bertahan selamanya.’ Ia mendengar Sang Tathāgata atau siswa Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma demi untuk melenyapkan segala sudut pandangan, keputusan, godaan, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi, untuk menenangkan segala bentukan, untuk melepaskan segala kemelekatan, untuk menghancurkan keinginan, demi kebosanan, demi lenyapnya, demi Nibbāna. Ia [137] berpikir sebagai berikut: ‘Maka aku akan musnah! Maka aku akan binasa! Maka aku akan tidak ada lagi!’ Kemudian ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Demikianlah bagaimana kemunculan gangguan terhadap apa yang tidak ada secara internal.”
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 08:30:21 PM
21. “Yang Mulia, dapatkah tidak muncul gangguan terhadap apa yang tidak ada secara internal?”

“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, bhikkhu, seseorang tidak berpandangan: ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia … aku akan bertahan selamanya.’ Ia mendengar Sang Tathāgata atau siswa Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma demi untuk melenyapkan segala sudut pandangan, keputusan, godaan, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi, untuk menenangkan segala bentukan, untuk melepaskan segala kemelekatan, untuk menghancurkan keinginan, demi kebosanan, demi lenyapnya, demi Nibbāna. Ia tidak berpikir sebagai berikut: ‘Maka aku akan musnah! Maka aku akan binasa! Maka aku akan tidak ada lagi!’ Kemudian ia tidak berdukacita, tidak bersedih, dan tidak meratap, ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Demikianlah bagaimana ketidak-munculan gangguan terhadap apa yang tidak ada secara internal.”

(KETIDAK-KEKALAN DAN TANPA DIRI)
 
22. “Para bhikkhu, kalian mungkin berusaha memperoleh suatu kepemilikan yang kekal, bertahan lama, abadi, tidak mengalami perubahan, dan dapat bertahan selamanya.  Tetapi apakah kalian melihat ada kepemilikan demikian, para bhikkhu?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Bagus, para bhikkhu. Aku juga tidak melihat adanya kepemilikan yang kekal, bertahan lama, abadi, tidak mengalami perubahan, dan dapat bertahan selamanya.

23. “Para bhikkhu, kalian mungkin berusaha melekati doktrin diri yang tidak memunculkan dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan dalam diri seseorang yang melekatinya.  Tetapi apakah kalian melihat ada doktrin diri yang demikian?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Bagus, para bhikkhu, Aku juga tidak melihat adanya doktrin diri yang tidak memunculkan dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan dalam diri seseorang yang melekatinya.

24. “Para bhikkhu, kalian mungkin berusaha menjadikan sebagai pendukung pandangan yang tidak memunculkan dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan dalam diri seseorang yang menjadikannya sebagai pendukung.  Tetapi apakah kalian melihat adanya pendukung pandangan demikian, para bhikkhu?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Bagus, para bhikkhu. Aku juga tidak melihat adanya pendukung pandangan [138] yang tidak memunculkan dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan dalam diri seseorang yang menjadikannya sebagai pendukung.

25. “Para bhikkhu, jika ada diri, maka apakah ada yang menjadi milik dirin bagiku?”  – “Ada, Yang Mulia.” – “Atau, jika ada yang menjadi milik diri, maka apakah diri padaku?” - “Ada, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, karena diri dan apa yang menjadi milik diri tidak dipahami sebagai benar dan pasti, maka sudut pandang atas pandangan ini, yaitu, ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia, setelah kematian aku akan kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak berubah; aku akan bertahan selamanya.’ – bukankah ini jelas adalah ajaran yang sepenuhnya dungu?”

“Bagaimana mungkin sebaliknya, Yang Mulia? Itu jelas adalah ajaran yang sepenuhnya dungu.”

26. “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah bentuk materi kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” -  “Apakah yang tidak kekal, penderitaan dan mengalami perubahan, layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?” – “Tidak, Yang Mulia.”

“Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah perasaan … apakah persepsi … apakah bentukan-bentukan … apakah kesadaran kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” -  “Apakah yang tidak kekal, penderitaan dan mengalami perubahan, layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?” – “Tidak, Yang Mulia.”

27. “Oleh karena itu, para bhikkhu, segala jenis bentuk materi apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, [139] kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, semua bentuk materi harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Segala jenis perasaan apapun … Segala jenis persepsi apapun … Segala jenis bentukan apapun … Segala jenis kesadaran apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, semua kesadaran harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

28. “Dengan melihat demikian, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi kecewa dengan bentuk materi, kecewa dengan perasaan, kecewa dengan persepsi, kecewa dengan bentukan-bentukan, kecewa dengan kesadaran.

29. “Karena kecewa, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [pikirannya] terbebaskan.  Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami : ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

(ARAHANT)

30. “Para bhikkhu, bhikkhu ini disebut seorang yang palang penghalangnya telah diangkat, yang paritnya telah ditutup, yang tiangnya telah dicabut, seseorang yang tanpa pasak, seorang mulia yang panjinya telah diturunkan, yang bebannya telah diturunkan, yang tidak terbelenggu.

31. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang yang palang penghalangnya telah diangkat? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan kebodohan, telah memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, telah mengakhirinya, sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang yang palang penghalangnya telah diangkat.

32. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang yang paritnya telah ditutup? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan lingkaran kelahiran yang menimbulkan penjelmaan baru, telah memotongnya di akar … sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang yang paritnya telah ditutup.

33. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang yang tiangnya telah dicabut? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan keinginan, telah memotongnya di akar … sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang yang tiangnya telah dicabut.

34. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang yang tanpa pasak? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan lima belenggu yang lebih rendah, telah memotongnya di akar … sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang yang tanpa pasak.

35. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang mulia yang panjinya telah diturunkan, yang bebannya telah diturunkan, yang tidak terbelenggu? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan keangkuhan ‘Aku’, telah memotongnya di akar [140] … sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang mulia yang panjinya telah diturunkan, yang bebannya telah diturunkan, yang tidak terbelenggu.

36. “Para bhikkhu, ketika para dewa bersama dengan Indra, dengan Brahmā dan dengan Pajāpati mencari seorang bhikkhu yang terbebaskan dalam pikiran seperti demikian, mereka tidak menemukan [apapun yang dengannya mereka dapat mengatakan]: ‘Kesadaran dari ia yang telah pergi demikian didukung oleh ini.’ Mengapakah? Seorang yang pergi demikian, Aku katakan, tidak dapat dilacak di sini dan saat ini.

(SALAH MEMAHAMI SANG TATHĀGATA)

37. “Dengan mengatakan demikian, dengan mengajarkan demikian, Aku telah dengan tanpa dasar, dengan sia-sia, dengan keliru, dan salah dipahami oleh beberapa petapa dan brahmana sebagai berikut: ‘Petapa Gotama adalah seorang yang mengajarkan kesesatan; Beliau mengajarkan pemusnahan, kehancuran, pembinasaan makhluk.’  Karena Aku tidak demikian, karena Aku tidak mengajarkan demikian, maka Aku telah dengan tanpa dasar, dengan sia-sia, dengan keliru, dan salah dipahami oleh beberapa petapa dan brahmana sebagai berikut: ‘Petapa Gotama adalah seorang yang mengajarkan kesesatan; Beliau mengajarkan pemusnahan, kehancuran, pembinasaan makhluk.’

38. “Para bhikkhu, dari dulu hingga saat ini apa yang Kuajarkan adalah penderitaan dan lenyapnya penderitaan.  Jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang Sang Tathāgata karena hal itu, Sang Tathāgata tidak merasa terganggu, benci, atau kesal dalam batin karena hal itu. Dan jika orang lain menghormati, menghargai, memuji, dan memuliakan Sang Tathāgata karena hal itu, Sang Tathāgata tidak merasa senang, gembira, atau girang dalam pikiran karena hal itu. Jika orang lain menghormati, menghargai, memuji, dan memuliakan Sang Tathāgata karena hal itu, Sang Tathāgata akan berpikir sebagai berikut: ‘Mereka melakukan pelayanan seperti ini demi apa yang sebelumnya telah dipahami sepenuhnya.’

39.  “Oleh Karena itu, para bhikkhu, jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang kalian, kalian tidak boleh merasa terganggu, benci, atau kesal dalam batin karena hal itu. Dan jika orang lain menghormati, menghargai, memuji, dan memuliakan kalian karena hal itu, kalian tidak boleh merasa senang, gembira, atau girang dalam pikiran karena hal itu. Jika orang lain menghormati, menghargai, memuji, dan memuliakan kalian karena hal itu, kalian seharusnya berpikir sebagai berikut: ‘Mereka melakukan pelayanan seperti ini demi apa yang sebelumnya telah dipahami sepenuhnya.’

(BUKAN MILIKMU)

40. “Oleh karena itu, para bhikkhu, apapun yang bukan milikmu, tinggalkanlah; jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Apakah yang bukan milik kalian? Bentuk materi bukan milik kalian. Tinggalkanlah. Jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Perasaan bukan milik kalian. [141] Tinggalkanlah. Jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Persepsi bukan milik kalian. Tinggalkanlah. Jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Bentukan-bentukan bukan milik kalian. Tinggalkanlah. Jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Kesadaran bukan milik kalian. Tinggalkanlah. Jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.

41. “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Jika orang-orang mengambil rumput, kayu, dahan, dan dedaunan di Hutan Jeta ini, atau membakarnya, atau melakukan apapun yang mereka inginkan terhadap benda-benda itu. Akankah kalian berpikir bahwa: ‘Orang-orang mengambil kami atau membakar kami atau melakukan apapun yang mereka inginkan terhadap kami’?” – “Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena benda-benda itu bukan diri kami juga bukan milik kami.” – “Demikian pula, para bhikkhu, apapun yang bukan milik kalian, tinggalkanlah; jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Apakah yang bukan milik kalian? Bentuk materi bukan milik kalian … Perasaan bukan milik kalian … Persepsi bukan milik kalian … Bentukan-bentukan bukan milik kalian … Kesadaran bukan milik kalian. Tinggalkanlah. Jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.

(DALAM DHAMMA INI)

42. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan.  Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan, tidak ada manifestasi dari lingkaran [masa depan] sehubungan dengan para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir.

43. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas … bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas … bebas dari tambalan, para bhikkhu yang telah meninggalkan lima belenggu yang lebih rendah semuanya pasti muncul kembali secara spontan di [Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir, tanpa pernah kembali dari alam itu

44. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas … bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas … bebas dari tambalan, para bhikkhu yang telah meninggalkan tiga belenggu yang lebih rendah dan melemahkan nafsu, kebencian, dan kebodohan, semuanya adalah yang-kembali-sekali, hanya kembali satu kali ke dunia ini untuk mengakhiri penderitaan.

45. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas … bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas … bebas dari tambalan, para bhikkhu yang telah meninggalkan tiga belenggu, semuanya adalah pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir di alam neraka, [142] pasti [mencapai kebebasan] dan menuju pencerahan.

46. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas … bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas … bebas dari tambalan, para bhikkhu yang adalah para pengikut-Dhamma atau pengikut-keyakinan semuanya menuju pencerahan.

47. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan, para bhikkhu yang memiliki cukup keyakinan padaKu, cukup cinta kasih terhadapKu, semuanya menuju alam surga.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 08:31:34 PM
23  Vammika Sutta
Gundukan Sarang Semut

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.  Pada saat itu Yang Mulia Kumāra Kassapa sedang menetap di Hutan Orang Buta.

Kemudian, pada larut malam, sesosok dewa dengan penampilan memesona yang menerangi seluruh Hutan Orang Buta mendatangi Yang Mulia Kumāra Kassapa dan berdiri di satu sisi.  Sambil berdiri, dewa itu berkata kepadanya:

2. “Bhikkhu, bhikkhu, gundukan sarang semut ini berasap pada malam hari dan menyala pada siang hari.

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Setelah Menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sebuah palang: ‘Sebuah palang, O Yang Mulia.’

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Buanglah palang itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat seekor kodok: ‘Seekor kodok, O Yang Mulia.’

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Buanglah kodok itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sebuah garpu: ‘Sebuah garpu, O Yang Mulia.’

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Buanglah garpu itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sebuah saringan: ‘Sebuah saringan, O Yang Mulia.’

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: [143] ‘Buanglah saringan itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat seekor kura-kura: ‘Seekor kura-kura, O Yang Mulia.’

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Buanglah kura-kura itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sebuah parang dan balok pemotong: ‘Sebuah parang dan balok pemotong, O Yang Mulia.’

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Buanglah parang dan balok pemotong itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat sepotong daging: ‘Sepotong daging, O Yang Mulia.’

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Buanglah sepotong daging itu; galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Setelah menggali dengan pisau, sang bijaksana melihat seekor ular Nāga: ‘Seekor ular Nāga, O Yang Mulia.’

“Brahmana itu berkata sebagai berikut: ‘Biarkan ular Nāga itu; jangan melukai ular Nāga, hormatilah ular Nāga.’

“Bhikkhu, engkau harus menghadap Sang Bhagavā dan menanyakan tentang teka-teki ini. Sebagaimana Sang Bhagavā menjelaskan, demikianlah engkau harus mengingatnya. Bhikkhu, selain Sang Tathāgata atau siswa Sang Tathāgata yang telah mempelajarinya dari Beliau, aku tidak melihat seorangpun di dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, yang mampu menjelaskan teka-teki ini dengan memuaskan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh dewa itu, yang kemudian lenyap seketika.

3.  Kemudian, ketika malam telah berlalu, Yang Mulia Kumāra Kassapa menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Sang Bhagavā tentang apa yang telah terjadi. Kemudian ia bertanya: “Yang Mulia, apakah gundukan sarang semut? Apakah berasap di malam hari, apakah menyala di siang hari? Siapakah brahmana itu, siapakah sang bijaksana? Apakah pisau, apakah menggali, apakah palang, apakah kodok, apakah garpu, apakah saringan, apakah kura-kura, apakah parang dan balok pemotong, apakah sepotong daging, apakah ular Nāga?” [144]

4. “Bhikkhu, gundukan sarang semut adalah perumpamaan bagi jasmani ini, terbuat dari bentuk materi, terdiri dari empat unsur utama, dihasilkan oleh ibu dan ayah, dibangun oleh nasi dan bubur,  dan tunduk pada ketidak-kekalan, pada keusangan, pada kehancuran.

“Apa yang seseorang pikirkan dan renungkan pada malam hari berdasarkan pada perbuatannya di siang hari adalah ‘berasap di malam hari.’

“Perbuatan yang dilakukan pada siang hari oleh jasmani, ucapan, dan pikiran setelah memikirkan dan merenungkan pada malam hari adalah ‘menyala di siang hari.’

“Brahmana adalah perumpamaan bagi Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Sang bijaksana adalah perumpamaan bagi seorang bhikkhu dalam latihan yang lebih tinggi. Pisau adalah perumpamaan bagi kebijaksanaan mulia. Menggali adalah perumpamaan bagi pengerahan kegigihan.

“Palang adalah perumpamaan bagi kebodohan.  ‘Buanglah palang itu: tinggalkanlah kebodohan. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Ini adalah maknanya.

“Kodok adalah perumpamaan bagi keputus-asaan karena kemarahan: ‘Buanglah kodok itu: tinggalkanlah keputus-asaan karena kemarahan. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Ini adalah maknanya.

“Garpu adalah perumpamaan bagi keragu-raguan.  ‘Buanglah garpu itu: tinggalkanlah keragu-raguan. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Ini adalah maknanya.

“Saringan adalah perumpamaan bagi kelima rintangan, yaitu, rintangan keinginan indria, rintangan niat buruk, rintangan kelambanan dan ketumpulan, rintangan kegelisahan dan penyesalan, dan rintangan keragu-raguan. ‘Buanglah saringan itu: tinggalkanlah kelima rintangan. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Ini adalah maknanya.

“Kura-kura adalah perumpamaan bagi kelima kelompok unsur kehidupan yang dipengaruhi oleh kemelekatan.  Yaitu, kelompok bentuk materi yang dipengaruhi oleh kemelekatan, kelompok perasaan yang dipengaruhi oleh kemelekatan, kelompok persepsi yang dipengaruhi oleh kemelekatan, kelompok bentukan-bentukan yang dipengaruhi oleh kemelekatan, kelompok kesadaran yang dipengaruhi oleh kemelekatan. ‘Buanglah kura-kura itu: tinggalkanlah kelima kelompok unsur kehidupan yang dipengaruhi oleh kemelekatan. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Ini adalah maknanya.

“Parang dan balok pemotong adalah perumpamaan bagi kelima utas kenikmatan indria  - bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan disukai, berhubungan dengan keinginan indria, dan merangsang nafsu; suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan disukai, berhubungan dengan keinginan indria, [145] dan merangsang nafsu. ‘Buanglah parang dan balok pengganjal itu: tinggalkanlah kelima utas kenikmatan indria. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Ini adalah maknanya.

“Sepotong daging adalah perumpamaan bagi kenikmatan dan nafsu.  ‘Buanglah sepotong daging itu: tinggalkanlah kenikmatan dan nafsu. Galilah dengan pisau, wahai engkau yang bijaksana.’ Ini adalah maknanya.

“Ular Nāga adalah perumpamaan bagi seorang bhikkhu yang telah menghancurkan noda-noda.  ‘Biarkanlah ular Nāga itu; jangan melukai ular Nāga; hormatilah ular Nāga.’ Ini adalah maknanya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Kumāra Kassapa merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 08:32:27 PM
24  Rathavinīta Sutta
Barisan Kereta

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Kemudian sejumlah bhikkhu yang berasal dari negeri asal [Sang Bhagavā],  yang melewatkan musim hujan di sana, menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepada mereka: ‘Para bhikkhu, siapakah yang di negeri asal[Ku] yang dihormati oleh para bhikkhu si sana, oleh teman-temannya dalam kehidupan suci, sebagai berikut: ‘Memiliki sedikit keinginan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang keinginan yang sedikit; puas terhadap dirinya sendiri, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang kepuasan; hidup terasing, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang keterasingan; jauh dari pergaulan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang menjauhi pergaulan; bersemangat, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang membangkitkan semangat; mencapai moralitas, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian moralitas; mencapai konsentrasi, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian konsentrasi; mencapai kebijaksanaan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian kebijaksanaan; mencapai kebebasan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian kebebasan; mencapai pengetahuan dan penglihatan kebebasan, ia berbicara kepada para bhikkhu tentang pencapaian pengetahuan dan penglihatan kebebasan;  ia adalah seorang yang menasihati, memberitahu, memberi instruksi, mendesak, [146] membangkitkan, dan mendorong teman-temannya dalam kehidupan suci’?”

“Yang Mulia, Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta sangat dihormati di negeri asal [Sang Bhagavā] oleh para bhikkhu di sana, oleh teman-temannya dalam kehidupan suci.”

3. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta sedang duduk di dekat Sang Bhagavā. Kemudian Yang Mulia Sāriputta berpikir: “Suatu keuntungan bagi Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, suatu keuntungan besar baginya bahwa teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci memujinya dalam segala hal di hadapan Sang Guru. Mungkin suatu saat kami dapat bertemu dengan Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta dan berbincang-bincang dengannya.”

4. Kemudian, ketika Sang Bhagavā telah menetap di Rājagaha selama yang Beliau inginkan, Beliau melakukan perjalanan secara bertahap menuju Sāvatthī. Dengan mengembara secara bertahap, Beliau akhirnya sampai di Sāvatthī, dan di sana Beliau menetap di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

5. Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta mendengar: “Sang Bhagavā telah tiba di Sāvatthī dan menetap di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.” Kemudian Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta merapikan tempat kediamannya, dan membawa jubah luar dan mangkuknya, melakukan perjalanan secara bertahap menuju Sāvatthī. Dengan melakukan perjalanan secara bertahap, ia akhirnya sampai di Sāvatthī dan pergi ke Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika, untuk menjumpai Sang Bhagavā. Setelah bersujud pada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan Sang Bhagavā memberikan instruksi, menasihati, membangkitkan semangat, dan mendorongnya dengan khotbah Dhamma. Kemudian Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, setelah menerima instruksi, dinasihati, dibangkitkan semangatnya, dan didorong oleh khotbah Dhamma dari Sang Bhagavā, senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud pada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi ke Hutan Orang Buta untuk melewatkan hari itu.

6. Kemudian seorang bhikkhu mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan berkata kepadanya: “Teman Sāriputta, Bhikkhu Puṇṇa Mantāṇiputta yang sering engkau puji [147] baru saja diberi instruksi, dinasihati, dibangkitkan semangatnya, dan didorong oleh Sang Bhagavā dengan khotbah Dhamma; setelah senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, ia bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud pada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi ke Hutan Orang Buta untuk melewatkan hari.

7. Kemudian Yang Mulia Sāriputta segera mengambil alas duduk dan mengikuti persis di belakang Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, dengan tetap mempertahankan kepalanya dalam jarak pandangan. Kemudian Yang Mulia Puṇna Mantāṇiputta memasuki Hutan Orang Buta dan duduk  di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari. Yang Mulia Sāriputta juga memasuki Hutan Orang Buta dan duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.

8. Kemudian, Pada malam harinya, Yang Mulia Sāriputta bangkit dari meditasi, mendatangi Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta, dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah tamah itu berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta:

9. “Apakah kehidupan suci dijalankan di bawah Sang Bhagavā kita, teman?” – “Benar, teman.” – “Tetapi, teman, apakah demi pemurnian moralitas maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah demi pemurnian pikiran maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” - “Kalau begitu apakah demi pemurnian pandangan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” -  “Kalau begitu apakah demi pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” - “Kalau begitu apakah demi pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” - “Kalau begitu apakah demi pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” - “Kalau begitu apakah demi pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?” – “Bukan, teman.” 

10. “Teman, ketika ditanya: ‘Tetapi, teman, apakah demi pemurnian moralitas maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?’ engkau menjawab: ‘Bukan, teman.’ Ketika ditanya: ‘Kalau begitu apakah demi pemurnian pikiran … pemurnian pandangan  … pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?’ engkau menjawab: ‘Bukan, teman.’ Kalau begitu demi apakah, teman [148] kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā?”

“Teman, adalah demi Nibbāna akhir yang tanpa kemelekatan maka kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā.”

11. “Tetapi, teman, apakah pemurnian moralitas adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian pikiran adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian pandangan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?” – “Bukan, teman.” – “Tetapi, teman, apakah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan dicapai tanpa kondisi-kondisi ini?” – “Tidak, teman.”

12. “Ketika ditanya: ‘Tetapi, teman, apakah pemurnian moralitas adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?’ engkau menjawab: ‘Bukan, teman.’ Ketika ditanya: ‘Kalau begitu apakah pemurnian pikiran … pemurnian pandangan … pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan?’ engkau menjawab: ‘Bukan, teman.’ Tetapi bagaimanakah, teman, makna dari pernyataan-pernyataan ini dipahami?”

13. “Teman, jika Sang Bhagavā menjelaskan pemurnian moralitas sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan, maka Beliau juga menjelaskan apa yang masih disertai dengan kemelekatan sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan. Jika Sang Bhagavā menjelaskan pemurnian pikiran … pemurnian pandangan … pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan … pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan, maka Beliau juga menjelaskan apa yang masih disertai dengan kemelekatan sebagai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan.  Dan jika Nibbāna akhir tanpa kemelekatan dicapai tanpa kondisi-kondisi ini, maka seorang biasa juga mencapai Nibbāna akhir, karena orang biasa tidak memiliki kondisi-kondisi ini.

14. “Sehubungan dengan hal tersebut, teman, aku akan memberikan sebuah perumpamaan, karena orang-orang bijaksana memahami makna dari suatu pernyataan melalui perumpamaan. Misalkan bahwa Raja Pasenadi dari Kosala sewaktu menetap di Sāvatthī [149] menghadapi suatu urusan yang harus diselesaikan segera di Sāketa, dan bahwa antara Sāvatthī dan Sāketa tujuh kereta telah dipersiapkan untuknya. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala, meninggalkan Sāvatthī melalui pintu istana dalam, menaiki kereta pertama, dan dengan mengendarai kereta pertama ia akan tiba di kereta ke dua; kemudian ia akan turun dari kereta pertama dan naik ke kereta ke dua, dan dengan mengendarai kereta ke dua, ia akan tiba di kereta ke tiga … dengan mengendarai kereta ke tiga, ia akan tiba di kereta ke empat … dengan mengendarai kereta ke empat, ia akan tiba di kereta ke lima … dengan mengendarai kereta ke lima, ia akan tiba di kereta ke enam … dengan mengendarai kereta ke enam, ia akan tiba di kereta ke tujuh, dan dengan mengendarai kereta ke tujuh, ia akan tiba di pintu istana dalam di Sāketa. Kemudian, ketika ia telah sampai di pintu istana dalam, teman-teman dan kenalannya, kerabat dan sanak saudaranya, akan bertanya: ‘Baginda, apakah engkau datang dari Sāvatthī dengan mengendarai kereta ini?’ Bagaimanakah seharusnya Raja Pasenadi dari Kosala menjawabnya dengan benar?”

“Untuk menjawab dengan benar, teman, ia harus menjawab sebagai berikut: ‘Di sini, sewaktu menetap di Sāvatthī aku menghadapi suatu urusan yang harus diselesaikan segera di Sāketa, dan antara Sāvatthī dan Sāketa tujuh kereta telah dipersiapkan untukku. Kemudian, meninggalkan Sāvatthī melalui pintu istana dalam, aku menaiki kereta pertama, dan dengan mengendarai kereta pertama aku tiba di kereta ke dua; kemudian aku turun dari kereta pertama dan naik ke kereta ke dua, dan dengan mengendarai kereta ke dua, aku tiba di kereta ke tiga … ke empat … ke lima … ke enam … kereta ke tujuh, dan dengan mengendarai kereta ke tujuh, aku tiba di pintu istana dalam di Sāketa.’ Untuk menjawabnya dengan benar ia harus menjawab demikian.”

15. “Demikian pula, teman, pemurnian moralitas adalah demi untuk mencapai pemurnian pikiran; pemurnian pikiran adalah demi untuk mencapai pemurnian pandangan; pemurnian pandangan adalah demi untuk mencapai pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan; pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan [150] adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan adalah demi untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan. Adalah demi untuk  mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan inilah kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā.”

16. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta bertanya kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta: “Siapakah nama Yang Mulia, dan bagaimanakah teman-temannya dalam kehidupan suci mengenali Yang Mulia?”

“Namaku adalah Puṇṇa, teman, dan teman-temanku dalam kehidupan suci mengenalku sebagai Mantāṇiputta.”

“Sungguh menakjubkan, teman, sungguh mengagumkan! Semua pertanyaan yang mendalam telah dijawab, pokok demi pokok, oleh Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta sebagai seorang siswa terpelajar yang memahami Ajaran Sang Guru dengan benar. Suatu keuntungan bagi teman-temannya dalam kehidupan suci, suatu keuntungan besar bagi mereka bahwa mereka berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta. Bahkan jika dengan membawa Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta di atas alas duduk di atas kepala mereka agar teman-temannya dalam kehidupan suci memperoleh kesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepadanya, itu adalah keuntungan bagi mereka, keuntungan besar bagi mereka. Dan adalah keuntungan bagi kami, keuntungan besar bagi kami bahwa kami berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta.”

17. Ketika ini dikatakan, Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta: “Siapakah nama Yang Mulia, dan bagaimanakah teman-temannya dalam kehidupan suci mengenali Yang Mulia?”

“Namaku adalah Upatissa, teman, dan teman-temanku dalam kehidupan suci mengenalku sebagai Sāriputta.”

“Sungguh, teman, kami tidak mengetahui bahwa kami sedang berbicara dengan Yang Mulia Sāriputta, siswa yang menyamai Sang Guru sendiri.  Jika kami mengetahui sebelumnya bahwa engkau adalah Yang Mulia Sāriputta, maka kami tidak akan berbicara begitu banyak. Sungguh menakjubkan, teman, sungguh mengagumkan! Semua pertanyaan yang mendalam telah diajukan, pokok demi pokok, oleh Yang Mulia Sāriputta sebagai seorang siswa terpelajar yang memahami Ajaran Sang Guru dengan benar. Suatu keuntungan bagi teman-temannya dalam kehidupan suci, suatu keuntungan besar bagi mereka bahwa mereka berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Sāriputta. Bahkan jika dengan membawa Yang Mulia Sāriputta di atas alas duduk di atas kepala mereka agar teman-temannya dalam kehidupan suci memperoleh kesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepadanya, [151] itu adalah keuntungan bagi mereka, keuntungan besar bagi mereka. Dan adalah keuntungan bagi kami, keuntungan besar bagi kami bahwa kami berkesempatan untuk bertemu dan memberi hormat kepada Yang Mulia Sāriputta.”

Demikianlah kedua manusia agung itu bergembira mendengar kata-kata baik masing-masing.

Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 08:46:53 PM
25  Nivāpa Sutta
Umpan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, pemburu rusa tidak meletakkan umpan bagi kelompok-kelompok rusa dengan niat: ‘Semoga kelompok-kelompok rusa itu menikmati umpan yang kuletakkan ini dan dengan demikian dapat berumur panjang dan indah dan bertahan lama.’ Pemburu rusa meletakkan umpan bagi kelompok-kelompok rusa dengan niat: ‘kelompok-kelompok rusa itu akan memakan makanan ini dengan tanpa kewaspadaan dengan langsung mendatangi umpan yang telah kuletakkan ini; dengan melakukan hal itu, rusa-rusa itu akan menjadi mabuk; ketika mabuk, rusa-rusa itu akan menjadi lengah; ketika lengah, aku dapat melakukan apapun yang kuinginkan terhadap mereka berkat umpan ini.’

3. “Sekarang rusa kelompok pertama memakan makanan itu dengan tanpa kewaspadaan dengan langsung mendatangi umpan yang telah diletakkan oleh pemburu rusa itu; dengan melakukan hal itu, rusa-rusa itu menjadi mabuk; ketika mabuk, rusa-rusa itu menjadi lengah; ketika lengah, pemburu rusa itu melakukan apapun yang ia inginkan terhadap mereka berkat umpan ini. Demikianlah bagaimana rusa kelompok pertama itu tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu.

4. “Sekarang rusa kelompok ke dua memperhitungkan: ‘Rusa kelompok pertama, karena bertindak tanpa kewaspadaan, [152] tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Bagaimana jika kami semuanya menghindari makanan umpan itu; dengan menghindari kenikmatan yang menakutkan itu, kami akan pergi ke dalam hutan belantara dan menetap di sana.’ dan mereka melakukan hal itu. Tetapi pada bulan terakhir musim panas ketika rerumputan dan air sudah habis, badan mereka menjadi sangat kurus; mereka kehilangan kekuatan dan tenaga mereka; ketika mereka telah kehilangan tenaga dan kekuatan, mereka kembali ke umpan yang sama yang diletakkan oleh si pemburu rusa. Mereka memakan makanan itu dengan tanpa kewaspadaan dengan langsung mendatangi umpan itu; dengan melakukan hal itu, rusa-rusa itu menjadi mabuk; ketika mabuk, rusa-rusa itu menjadi lengah; ketika lengah, pemburu rusa itu melakukan apapun yang ia inginkan terhadap mereka berkat umpan ini. Demikianlah bagaimana rusa kelompok ke dua itu tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu.

5. “Sekarang rusa kelompok ke tiga memperhitungkan: ‘Rusa kelompok pertama, karena bertindak tanpa kewaspadaan, tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Rusa kelompok ke dua, setelah memperhitungkan kegagalan rusa kelompok pertama, dan dengan perencanaan hati-hati untuk menetap di dalam hutan belantara, juga gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Bagaimana jika kami bertempat tinggal di dekat umpan pemburu itu. [153] Kemudian, setelah melakukan hal itu, kami akan memakan makanan dengan waspada dan tidak langsung mendatangi umpan yang diletakkan oleh pemburu rusa itu; dengan melakukan demikian kami tidak akan menjadi mabuk; jika kami tidak mabuk, kami tidak akan menjadi lengah; jika kami tidak lengah, pemburu rusa itu tidak akan dapat melakukan apa yang ia inginkan terhadap kami berkat umpan itu.’ Dan mereka melakukannya.

“Tetapi kemudian pemburu rusa itu dan para pengikutnya mempertimbangkan: ‘Rusa-rusa kelompok ke tiga ini licik dan cerdik bagaikan tukang sihir. Mereka memakan umpan yang diletakkan tanpa kita mengetahui bagaimana mereka datang dan pergi. Bagaimana jika kami mengelilingi umpan ini lebih luas dengan pagar dari dahan-dahan; kemudian mungkin kami dapat menemukan tempat tinggal rusa kelompok ke tiga ini, ke mana mereka bersembunyi.’ Demikianlah mereka melakukan hal itu, dan mereka melihat tempat tinggal rusa kelompok ke tiga, ke mana mereka bersembunyi. Dan demikianlah bagaimana rusa kelompok ke tiga itu tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu.

6. “Sekarang rusa kelompok ke empat memperhitungkan: ‘Rusa kelompok pertama, karena bertindak tanpa kewaspadaan, tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Rusa kelompok ke dua, setelah memperhitungkan kegagalan rusa kelompok pertama, dan dengan perencanaan hati-hati untuk menetap di dalam hutan belantara, juga gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Dan rusa dari kelompok ke tiga, setelah memperhitungkan kegagalan rusa kelompok pertama [154] dan juga kegagalan rusa kelompok ke dua, dan dengan perencanaan hati-hati untuk bertempat tinggal di dekat umpan, juga gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Bagaimana jika kami bertempat tinggal di tempat di mana pemburu rusa dan para pengikutnya tidak dapat mendatanginya. Kemudian, setelah melakukan hal itu, kami akan memakan makanan dengan waspada dan tidak langsung mendatangi umpan yang diletakkan oleh pemburu rusa itu; dengan melakukan demikian kami tidak akan menjadi mabuk; jika kami tidak mabuk, kami tidak akan menjadi lengah; jika kami tidak lengah, [155] pemburu rusa itu tidak akan dapat melakukan apa yang ia inginkan terhadap kami berkat umpan itu.’ Dan mereka melakukannya.

“Tetapi kemudian pemburu rusa itu dan para pengikutnya mempertimbangkan: ‘Rusa-rusa kelompok ke empat ini licik dan cerdik bagaikan tukang sihir. Mereka memakan umpan yang diletakkan tanpa kita mengetahui bagaimana mereka datang dan pergi. Bagaimana jika kami mengelilingi umpan ini lebih luas dengan pagar dari dahan-dahan; kemudian mungkin kami dapat menemukan tempat tinggal rusa kelompok ke tiga ini, ke mana mereka bersembunyi.’ Demikianlah mereka melakukan hal itu, tetapi mereka tidak menemukan tempat tinggal rusa kelompok ke empat, ke mana mereka bersembunyi. Kemudian si pemburu rusa dan para pengikutnya mempertimbangkan: ‘Jika kami menakuti rusa kelompok ke empat ini, karena ketakutan mereka akan memperingatkan yang lain, dan karenanya kelompok-kelompok rusa akan meninggalkan umpan yang telah kami letakkan. Bagaimana jika kami membiarkan rusa kelompok ke empat ini.’ Mereka melakukan hal itu. Dan demikianlah bagaimana rusa kelompok ke empat itu berhasil terbebaskan dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu.

7. “Para bhikkhu, Aku memberikan perumpamaan ini untuk menyampaikan sebuah makna. Maknanya adalah sebagai berikut: ‘Umpan’ adalah sebutan bagi kelima utas kenikmatan indria. ‘Pemburu rusa’ adalah sebutan bagi Māra si Jahat. ‘Para pengikut pemburu rusa’ adalah sebutan bagi para pengikut Māra. ‘Kelompok rusa’ adalah sebutan bagi para petapa dan brahmana.

8. “Sekarang para petapa dan brahmana jenis pertama memakan makanan dengan tanpa kewaspadaan dan langsung mendatangi umpan dan benda-benda materi duniawi yang diletakkan oleh Māra; [156] dengan melakukan hal itu mereka menjadi mabuk, mereka menjadi lengah; ketika mereka lengah, Māra melakukan apa yang ia inginkan terhadap mereka berkat umpan dan benda-benda materi duniawi tersebut. Demikianlah bagaimana para petapa dan brahmana jenis pertama gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Para petapa dan brahmana itu, Aku katakan, adalah serupa dengan rusa-rusa kelompok pertama.

9. “Sekarang para petapa dan brahmana jenis ke dua memperhitungkan: ‘Para petapa dan brahmana jenis pertama, karena bertindak tanpa kewaspadaan, gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Bagaimana jika kami sepenuhnya menghindari umpan makanan dan benda-benda materi duniawi; dengan menghindari kenikmatan yang menakutkan itu, kami akan masuk ke hutan belantara dan menetap di sana.’ dan mereka melakukan hal itu. Mereka adalah pemakan sayur-sayuran dan milet atau beras kasar atau kulit kupasan buah atau lumut atau kulit padi atau sekam atau tepung wijen atau rumput atau kotoran sapi. Mereka hidup dari akar-akaran dan buah-buahan di hutan, mereka memakan buah-buahan yang jatuh.

“Tetapi pada bulan terakhir musim panas ketika rerumputan dan air sudah habis, badan mereka menjadi sangat kurus; mereka kehilangan kekuatan dan tenaga mereka; ketika mereka telah kehilangan tenaga dan kekuatan, mereka menjadi kehilangan kebebasan pikiran ;  dengan hilangnya kebebasan pikiran, mereka kembali ke umpan yang sama yang diletakkan oleh Māra dan benda-benda materi duniawi itu; mereka memakan makanan dengan tanpa kewaspadaan dengan langsung mendatangi umpan itu; dengan melakukan hal itu, mereka menjadi mabuk; ketika mabuk, mereka menjadi lengah; ketika lengah, Māra melakukan apapun yang ia inginkan terhadap mereka berkat umpan dan benda-benda materi duniawi itu. Demikianlah bagaimana para petapa dan brahmana jenis ke dua itu tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. [157] Para petapa dan brahmana itu, Aku katakan, adalah serupa dengan rusa-rusa kelompok ke dua.

10. “Sekarang para petapa dan brahmana jenis ke tiga memperhitungkan: ‘para petapa dan brahmana jenis pertama, karena bertindak tanpa kewaspadaan, tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Para petapa dan brahmana jenis ke dua, setelah memperhitungkan kegagalan para petapa dan brahmana jenis pertama, dan dengan perencanaan hati-hati untuk menetap di dalam hutan belantara, juga gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Bagaimana jika kami bertempat tinggal di dekat umpan yang diletakkan Māra dan benda-benda materi duniawi. Kemudian, setelah melakukan hal itu, kami akan memakan makanan dengan waspada dan tidak langsung mendatangi umpan yang diletakkan Māra dan benda-benda materi duniawi; dengan melakukan demikian kami tidak akan menjadi mabuk; jika kami tidak mabuk, kami tidak akan menjadi lengah; jika kami tidak lengah, Māra tidak akan dapat melakukan apa yang ia inginkan terhadap kami berkat umpan dan benda-benda materi duniawi itu.’ Dan mereka melakukannya.

“Tetapi kemudian mereka menganut pandangan-pandangan seperti ‘dunia adalah abadi’ dan ‘dunia adalah tidak abadi’ dan ‘dunia adalah terbatas’ dan ‘dunia adalah tidak terbatas’ dan ‘jiwa dan badan adalah sama’ dan ‘ jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’ dan ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian.’  [158] Demikianlah bagaimana para petapa dan brahmana jenis ke tiga itu tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan pemburu rusa itu. Para petapa dan brahmana itu, Aku katakan, adalah serupa dengan rusa-rusa kelompok ke tiga.

11. “Sekarang para petapa dan brahmana jenis ke empat memperhitungkan: ‘para petapa dan brahmana jenis pertama, karena bertindak tanpa kewaspadaan, tidak berhasil membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Para petapa dan brahmana jenis ke dua, setelah memperhitungkan kegagalan para petapa dan brahmana jenis pertama, dan dengan perencanaan hati-hati untuk menetap di dalam hutan belantara, juga gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Dan para petapa dan brahmana jenis ke tiga, setelah memperhitungkan kegagalan para petapa dan brahmana jenis pertama dan juga kegagalan para petapa dan brahmana jenis ke dua, dan dengan perencanaan hati-hati untuk bertempat tinggal di dekat umpan yang diletakkan Māra dan benda-benda materi duniawi, juga gagal membebaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Bagaimana jika kami bertempat tinggal di tempat di mana Māra dan para pengikutnya tidak dapat mendatanginya. Kemudian, setelah melakukan hal itu, kami akan memakan makanan dengan waspada dan tidak langsung mendatangi umpan yang diletakkan oleh Māra dan benda-benda materi duniawi; dengan melakukan demikian kami tidak akan menjadi mabuk; jika kami tidak mabuk, kami tidak akan menjadi lengah; jika kami tidak lengah, Māra tidak akan dapat melakukan apa yang ia inginkan terhadap kami karena umpan dan benda-benda materi duniawi itu.’ Dan mereka melakukannya. [159] Dan demikianlah bagaimana para petapa dan brahmana itu berhasil terbebas dari kekuatan dan kekuasaan Māra. Para petapa dan brahmana itu, Aku katakan, adalah serupa dengan rusa-rusa kelompok ke empat.

12. “Dan di manakah Māra dan pengikutnya tidak dapat mendatangi? Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra, menjadi tidak terlihat oleh si Jahat dengan mencabut mata Māra dari kesempatannya.

13.  “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

14. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia berdiam dalam kenyamanan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

15. “Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan kesakitan juga bukan kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

16. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

17. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

18. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [160] menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

19. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra, menjadi tidak terlihat oleh si Jahat dengan mencabut mata Māra dari kesempatannya.

20. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Dan noda-nodanya dihancurkan melalui penglihatannya dengan kebijaksanaan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra, menjadi tidak terlihat oleh si Jahat dengan mencabut mata Māra dari kesempatannya, dan telah menyeberang melampaui kemelekatan terhadap dunia.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 08:48:18 PM
26  Ariyapariyesanā Sutta
Pencarian Mulia

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarNya, pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Yang Mulia Ānanda dan berkata kepadanya: “Teman Ānanda, telah lama sejak kami mendengar Dhamma dari mulut Sang Bhagavā. Baik sekali jika kami dapat mendengar khotbah demikian, teman Ānanda.” – ‘Kalau begitu, silahkan para mulia pergi ke pertapaan brahmana Rammaka. Mungkin kalian akan mendengarkan khotbah Dhamma dari mulut Sang Bhagavā sendiri.” – “Baik, teman,” mereka menjawab.

3. Kemudian, ketika Sang Bhagavā telah menerima dana makanan di Sāvatthī dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan ia berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, mari kita pergi ke Taman Timur, ke Istana ibunya Migāra, untuk melewatkan hari.” – “Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Ānanda menjawab. [161] Kemudian Sang Bhagavā pergi bersama Yang Mulia Ānanda ke Taman Timur, Istana ibunya Migāra, untuk melewatkan hari.

Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, mari kita pergi ke Pemandian Timur untuk mandi.” – “Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Ānanda menjawab. Kemudian Sang Bhagavā pergi bersama Yang Mulia Ānanda ke Pemandian Timur untuk mandi. Ketika Beliau telah selesai, Beliau keluar dari air dan berdiri dengan mengenakan satu jubah mengeringkan badanNya. Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, pertapaan Brahmana Rammaka ada di dekat sini. Pertapaan itu indah dan menyenangkan. Yang Mulia, baik sekali jika Sang Bhagavā pergi ke sana demi belas kasihNya.” Sang Bhagavā menyetujui dengan berdiam diri.

4. Kemudian Sang Bhagavā pergi menuju pertapaan Brahmana Rammaka. Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang duduk bersama di pertapaan itu mendiskusikan Dhamma. Sang Bhagavā berdiri di luar pintu menunggu diskusi mereka berakhir. Ketika Beliau mengetahui bahwa diskusi itu telah berakhir, Beliau berdehem dan mengetuk, dan para bhikkhu membuka pintu untuk Beliau. Sang Bhagavā masuk, duduk di tempat duduk yang telah disediakan, dan berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, apakah yang kalian diskusikan saat kalian duduk bersama di sini saat ini? Dan apakah yang sedang kalian diskusikan yang terhenti?”

“Yang Mulia, diskusi kami yang terhenti adalah tentang Sang Bhagavā sendiri. Kemudian Sang Bhagavā datang.”

“Bagus, para bhikkhu. Adalah selayaknya bagi kalian para anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah untuk duduk bersama dan mendiskusikan Dhamma. Ketika kalian berkumpul bersama, para bhikkhu, kalian harus melakukan salah satu dari dua hal ini: berdiskusi Dhamma atau berdiam dalam keheningan mulia.

(DUA JENIS PENCARIAN)

5. “Para bhikkhu, ada dua jenis pencarian ini: pencarian mulia dan pencarian tidak mulia. Dan apakah pencarian tidak mulia? Di sini seorang yang tunduk pada kelahiran mencari apa yang juga tunduk pada kelahiran; dengan dirinya tunduk pada penuaan, [162] ia mencari apa yang juga tunduk pada penuaan; dengan dirinya tunduk pada penyakit, ia mencari apa yang juga tunduk pada penyakit; dengan dirinya tunduk pada kematian, ia mencari apa yang juga tunduk pada kematian; dengan dirinya tunduk pada dukacita, ia mencari apa yang juga tunduk pada dukacita; dengan dirinya tunduk pada kekotoran, ia mencari apa yang juga tunduk pada kekotoran.

6. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada kelahiran? Istri dan anak-anak tunduk pada kelahiran, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina, emas dan perak adalah tunduk pada kelahiran. Perolehan-perolehan ini  tunduk pada kelahiran; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada kelahiran, mencari apa yang juga tunduk pada kelahiran.

7. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada penuaan? Istri dan anak-anak tunduk pada penuaan, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina, emas dan perak adalah tunduk pada penuaan. Perolehan-perolehan ini tunduk pada penuaan; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada penuaan, mencari apa yang juga tunduk pada penuaan.

8. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada penyakit? Istri dan anak-anak tunduk pada penyakit, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina adalah tunduk pada penyakit. Perolehan-perolehan ini tunduk pada penyakit; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada penyakit, mencari apa yang juga tunduk pada penyakit.

9. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada kematian? Istri dan anak-anak tunduk pada kematian, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina adalah tunduk pada kematian. Perolehan-perolehan ini tunduk pada kematian; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada kematian, mencari apa yang juga tunduk pada kematian.

10. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada dukacita? Istri dan anak-anak tunduk pada dukacita, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina adalah tunduk pada dukacita. Perolehan-perolehan ini tunduk pada dukacita; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada dukacita, mencari apa yang juga tunduk pada dukacita.

11. “Dan apakah yang dikatakan sebagai tunduk pada kekotoran? Istri dan anak-anak tunduk pada kekotoran, budak-budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina, emas dan perak adalah tunduk pada kekotoran. Perolehan-perolehan ini tunduk pada kekotoran; dan seseorang yang terikat pada hal-hal ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dengan dirinya tunduk pada kekotoran, mencari apa yang juga tunduk pada kekotoran. Ini adalah pencarian tidak mulia.

12. “Dan apakah pencarian mulia? Di sini seseorang yang tunduk pada kelahiran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kelahiran, [163] mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada penuaan, setelah setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan,  mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada penyakit, setelah setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penyakit,  mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penyakit, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada kematian, setelah setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kematian,  mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kematian, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada dukacita, setelah setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada dukacita,  mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa dukacita, Nibbāna; dengan dirinya tunduk pada kekotoran, setelah setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kekotoran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kekotoran, Nibbāna. Ini adalah pencarian mulia.

(PENCARIAN PENCERAHAN)

13. “Para bhikkhu, sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku juga, dengan diriKu yang tunduk pada kelahiran, mencari apa yang juga tunduk pada kelahiran; dengan diriKu yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Aku mencari apa yang juga tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran. Kemudian Aku merenungkan: ‘Mengapa, dengan diriku sendiri tunduk pada kelahiran, Aku mencari apa yang juga tunduk pada kelahiran? Mengapa, dengan diriKu sendiri yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Aku mencari apa yang juga tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran? Bagaimana jika, dengan diriKu sendiri tunduk pada kelahiran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kelahiran, Aku mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, Nibbāna. Bagaimana jika, dengan diriKu sendiri yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Aku mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Nibbāna.’

14. “Kemudian, sewaktu Aku masih muda, seorang pemuda berambut hitam memiliki berkah kemudaan, dalam tahap kehidupan utama, walaupun ibu dan ayahku menginginkan sebaliknya dan menangis dengan wajah basah oleh air mata, Aku mencukur rambut dan janggutKu, mengenakan jubah kuning, dan pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.

15. “Setelah meninggalkan keduniawian, para bhikkhu, dalam mencari apa yang bermanfaat, mencari kondisi tertinggi dari kedamaian tertinggi, Aku mendatangi Āḷāra Kālāma dan berkata kepadanya: ‘Teman Kālāma, Aku ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini.’ Āḷāra Kālāma menjawab: ‘Yang Mulia boleh menetap di sini. Dhamma ini adalah sedemikian sehingga seorang bijaksana [164] dapat segera memasuki dan berdiam di dalamnya, menembus doktrin gurunya sendiri untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung.’ Aku dengan segera mempelajari Dhamma itu. Sejauh hanya mengulangi dan melafalkan ajarannya melalui mulut, Aku dapat mengatakan dengan pengetahuan dan kepastian, dan Aku mengakui, ‘Aku mengetahui dan melihat’ – dan ada orang-orang lain yang juga melakukan demikian.

“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya sekadar keyakinan saja maka Āḷāra Kālāma menyatakan: “Dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung, Aku memasuki dan berdiam dalam Dhamma ini.” Āḷāra Kālāma pasti berdiam dengan mengetahui dan melihat Dhamma ini.’ Kemudian Aku mendatangi Āḷāra Kālāma dan bertanya: ‘Teman Kālāma, dalam cara bagaimanakah engkau menyatakan bahwa dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung engkau masuk dan berdiam dalam Dhamma ini?’ sebagai jawaban ia menyatakan landasan kekosongan.

“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya Āḷāra Kālāma yang memiliki keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Aku juga memiliki keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Bagaimana jika Aku berjuang untuk menembus Dhamma yang dinyatakan oleh Āḷāra Kālāma bahwa ia telah memasuki dan berdiam dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung?’

“Aku dengan cepat memasuki dan berdiam dalam Dhamma dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Kemudian Aku mendatangi Āḷāra Kālāma dan bertanya: ‘Teman Kālāma, apakah dengan cara ini engkau menyatakan bahwa engkau masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung?’ – ‘Demikianlah, teman.’ – ‘Adalah dengan cara ini, teman, bahwa Aku juga masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.’ – ‘Suatu keuntungan bagi kita, teman, suatu keuntungan besar bagi kita bahwa kita memiliki seorang mulia demikian bagi teman-teman kita dalam kehidupan suci. jadi Dhamma yang kunyatakan telah kumasuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung adalah juga Dhamma yang engkau masuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung. [165] Dan Dhamma yang engkau masuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung adalah Dhamma yang kunyatakan telah aku masuki dan berdiam di dalamnya dengan menembusnya untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung. Jadi Engkau mengetahui Dhamma yang kuketahui dan aku mengetahui Dhamma yang Engkau ketahui. Sebagaimana aku, demikian pula Engkau; sebagaimana Engkau, demikian pula aku. Marilah, teman, mari kita memimpin komunitas ini bersama-sama.

“Demikianlah Āḷāra Kālāma, guruKu, menempatkan Aku, muridnya, setara dengan dirinya dan menganugerahi diriku dengan penghormatan tertinggi. Tetapi aku berpikir: ‘Dhamma ini tidak menuntun menuju kekecewaan, tidak menuntun menuju kebosanan, tidak menuntun menuju lenyapnya, tidak menuntun menuju kedamaian, tidak menuntun menuju pengetahuan langsung, tidak menuntun menuju Nibbāna, tetapi hanya menuntun menuju kemunculan kembali dalam landasan kekosongan.’  Karena tidak puas dengan Dhamma itu, Aku pergi dan meninggalkan tempat itu.

16. “Masih dalam pencarian, para bhikkhu, terhadap apa yang bermanfaat, mencari kondisi tertinggi dari kedamaian tertinggi, Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan berkata kepadanya: ‘Teman, Aku ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini.’  Uddaka Rāmaputta menjawab: ‘Yang Mulia boleh menetap di sini. Dhamma ini adalah sedemikian sehingga seorang bijaksana dapat segera memasuki dan berdiam di dalamnya, menembus doktrin gurunya sendiri untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung.’ Aku dengan segera mempelajari Dhamma itu. Sejauh hanya mengulangi dan melafalkan ajarannya melalui mulut, Aku dapat mengatakan dengan pengetahuan dan kepastian, dan Aku mengakui, ‘Aku mengetahui dan melihat’ – dan ada orang-orang lain yang juga melakukan demikian.

“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya sekadar keyakinan saja maka Rāma menyatakan: “Dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung, Aku memasuki dan berdiam dalam Dhamma ini.” Rāma pasti berdiam dengan mengetahui dan melihat Dhamma ini.’ Kemudian Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan bertanya: ‘Teman, dalam cara bagaimanakah Rāma menyatakan bahwa dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung ia masuk dan berdiam dalam Dhamma ini?’ sebagai jawaban ia menyatakan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.

“Aku merenungkan: ‘Bukan hanya Rāma yang memiliki keyakinan, [166] kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Aku juga memiliki keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Bagaimana jika Aku berjuang untuk menembus Dhamma yang dinyatakan oleh Rāma bahwa ia telah memasuki dan berdiam dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung?’

“Aku dengan cepat memasuki dan berdiam dalam Dhamma dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Kemudian Aku mendatangi Uddaka Rāmaputta dan bertanya: ‘Teman, apakah dengan cara ini Rāma menyatakan bahwa ia masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung?’ – ‘Demikianlah, teman.’ – ‘Adalah dengan cara ini, teman, bahwa Aku juga masuk dan berdiam dalam Dhamma ini dengan menembusnya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.’ – ‘Suatu keuntungan bagi kita, teman, suatu keuntungan besar bagi kita bahwa kita memiliki seorang mulia demikian bagi teman-teman kita dalam kehidupan suci. jadi Dhamma yang dinyatakan oleh Rāma telah ia masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung adalah juga Dhamma yang engkau masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung. Dan Dhamma yang engkau masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirimu sendiri dengan pengetahuan langsung adalah Dhamma yang dinyatakan oleh Rāma telah ia masuki dan diami di dalamnya dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung. Jadi Engkau mengetahui Dhamma yang diketahui oleh Rāma dan Rāma mengetahui Dhamma yang Engkau ketahui. Sebagaimana Rāma, demikian pula Engkau; sebagaimana Engkau, demikian pula Rāma. Marilah, teman, mari kita memimpin komunitas ini bersama-sama.

“Demikianlah Uddaka Rāmaputta, temanKu dalam kehidupan suci, menempatkan Aku dalam posisi seorang guru dan menganugerahi diriku dengan penghormatan tertinggi. Tetapi aku berpikir: ‘Dhamma ini tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju Nibbāna, tetapi hanya menuju kemunculan kembali dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Karena tidak puas dengan Dhamma itu, Aku pergi dan meninggalkan tempat itu.

17. “Masih dalam pencarian, para bhikkhu, terhadap apa yang bermanfaat, mencari kondisi tertinggi dari kedamaian tertinggi, Aku mengembara secara bertahap melewati Negeri Magadha hingga akhirnya Aku sampai di Senānigama di dekat Uruvelā. [167] di sana Aku melihat sepetak tanah yang nyaman, hutan yang indah dengan aliran sungai yang jernih dengan pantai yang halus dan menyenangkan dan di dekat sana terdapat sebuah desa sebagai sumber dana makanan. Aku merenungkan: ‘Ini adalah sepetak tanah yang nyaman, ini adalah hutan yang indah dengan aliran sungai yang jernih dengan pantai yang halus dan menyenangkan dan di dekat sana terdapat sebuah desa sebagai sumber dana makanan. Ini akan membantu usaha seseorang yang bersungguh-sungguh untuk berusaha.’ Dan Aku duduk di sana berpikir: ‘Ini akan membantu usaha.’
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 08:51:12 PM
(PENCERAHAN)

18. “Kemudian, para bhikkhu, dengan diriku sendiri tunduk pada kelahiran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kelahiran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, Nibbāna; dengan diriku sendiri tunduk pada penuaan, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, Nibbāna; dengan diriku sendiri tunduk pada penyakit, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penyakit, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penyakit, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penyakit, Nibbāna; dengan diriku sendiri tunduk pada kematian, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kematian, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kematian, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kematian, Nibbāna; dengan diriku sendiri tunduk pada dukacita, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada dukacita, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa dukacita, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa dukacita, Nibbāna; dengan diriku sendiri tunduk pada kekotoran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kekotoran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kekotoran, Nibbāna, Aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tanpa kekotoran, Nibbāna. Pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu: ‘KebebasanKu tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiranKu yang terakhir; sekarang tidak ada lagi penjelmaan makhluk yang baru.’

19. “Aku merenungkan: ‘Dhamma ini yang telah Kucapai sungguh mendalam, sulit dilihat dan sulit dipahami, damai dan luhur, tidak dapat dicapai hanya dengan pemikiran logis, halus, untuk dialami oleh para bijaksana.  Tetapi generasi ini menyenangi keduniawian, bergembira dalam keduniawian, bersukacita dalam keduniawian.  Adalah sulit bagi generasi demikian untuk melihat kebenaran ini, yaitu, kondisionalitas spesifik, kemunculan bergantungan. Dan adalah sulit untuk melihat kebenaran ini, yaitu, tenangnya segala bentukan, lepasnya segala kemelekatan, hancurnya keinginan, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna. [168] Jika Aku harus mengajarkan Dhamma, orang-orang lain tidak akan memahamiKu, dan itu akan melelahkan dan menyusahkan bagiKu.’ Setelah itu muncullah padaKu secara spontan syair-syair ini yang tidak pernah didengar sebelumnya:

‘Cukuplah dengan mengajarkan Dhamma
   Yang bahkan Kuketahui sulit untuk dicapai;
   Karena tidak akan pernah dilihat
   Oleh mereka yang hidup dalam nafsu dan kebencian.

   Mereka yang tenggelam dalam nafsu, terselimuti dalam kegelapan
   Tidak akan pernah melihat Dhamma yang mendalam ini
   Yang mengalir melawan arus duniawi.
   Halus, dalam, dan sulit dilihat.’

Dengan pertimbangan demikian, batinKu lebih condong pada tidak melakukan apa-apa daripada mengajarkan Dhamma.

20. “Kemudian, para bhikkhu, Brahmā Sahampati dengan pikirannya mengetahui pikiranKu dan ia mempertimbangkan: ‘Dunia akan musnah, dunia akan binasa, karena pikiran Sang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, lebih condong pada tidak berbuat apa-apa daripada mengajarkan Dhamma.’ Kemudian secepat seorang kuat merentangkan tangannya yang tertekuk atau menekuk tangannya yang terentang, Brahmā Sahampati lenyap dari alam Brahmā dan muncul di hadapanKu. Ia merapikan jubah atasnya di satu bahunya, dan merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepadaKu, dan berkata: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma, sudilah Yang Sempurna mengajarkan Dhamma. Ada makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka yang tersia-sia karena tidak mendengarkan Dhamma. Akan ada di antara mereka yang akan memahami Dhamma.’ Brahmā Sahampati berkata demikian, dan kemudian ia berkata lebih lanjut:

   ‘Di Magadha telah muncul hingga sekarang
   Ajaran tidak murni yang diajarkan oleh mereka yang masih ternoda.
   Bukalah pintu menuju Keabadian! Biarkan mereka mendengar
   Dhamma yang ditemukan oleh Yang Tanpa Noda.

   Bagaikan seseorang yang berdiri di sebuah puncak gunung
   Dapat melihat ke bawah, orang-orang di segala penjuru,
   Maka, O Yang Bijaksana, Yang Maha-Melihat,
   Naiklah ke istana Dhamma
   Sudilah Yang Tanpa Dukacita mengamati keturunan manusia ini,
   Diliputi oleh dukacita, dikuasai oleh kelahiran dan usia tua. [169]

   Bangkitlah, pahlawan pemenang, pemimpin pengembara,
   Yang tanpa kewajiban, dan mengembaralah di dunia.
   Sudilah Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma,
   Akan ada di antara mereka yang dapat memahami Dhamma.’

21. “Kemudian Aku mendengarkan permohonan Brahmā, dan demi belas kasihan kepada makhluk-makhluk Aku memeriksa dunia dengan mata Buddha. Dengan memeriksa dunia dengan mata Buddha, Aku melihat makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka dan dengan banyak debu di mata mereka, dengan indria tajam dan dengan indria tumpul, dengan kualitas-kualitas baik dan dengan kualitas-kualitas buruk, mudah diajar dan sulit diajar, dan beberapa yang berdiam melihat dengan takut pada kejahatan dan pada dunia lain. Bagaikan dalam sebuah kolam teratai biru atau merah atau putih, beberapa teratai lahir dan tumbuh dalam air berkembang dalam air tanpa keluar dari air, dan beberapa teratai lain lahir dan berkembang dalam air dan berdiam di permukaan air, dan beberapa teratai lainnya lahir dan berkembang dalam air keluar dari air dan berdiri dengan bersih, tidak dibasahi oleh air; demikian pula, dengan memeriksa dunia ini dengan mata Buddha, Aku melihat makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka dan dengan banyak debu di mata mereka, dengan indria tajam dan dengan indria tumpul, dengan kualitas-kualitas baik dan dengan kualitas-kualitas buruk, mudah diajar dan sulit diajar, dan beberapa yang berdiam melihat dengan takut pada kejahatan dan pada dunia lain. Kemudian Aku menjawab Brahmā Sahampati dalam syair ini:

‘Terbukalah bagi mereka pintu menuju Keabadian,
Semoga mereka yang memiliki telinga menunjukkan keyakinan mereka.
Karena berpikir akan menyusahkan, O Brahmā,
Aku tidak membabarkan Dhamma yang halus dan luhur.’

Kemudian Brahmā Sahampati berpikir: ‘Sang Bhagavā telah memenuhi permohonanku untuk mengajarkan Dhamma.’ Dan setelah memberi hormat kepadaKu, dengan aku tetap di sisi kanannya, ia seketika lenyap dari sana.

22. “Aku merenungkan: ‘Kepada siapakah pertama kali Aku mengajarkan Dhamma? Siapakah yang akan memahami Dhamma ini dengan cepat?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Āḷāra Kālāma bijaksana, cerdas, dan dapat melihat; ia telah lama memiliki sedikit debu di matanya. Bagaimana jika Aku [170] mengajarkan Dhamma pertama kali kepada Āḷāra Kālāma. Ia akan memahaminya dengan cepat.’ Kemudian para dewa mendatangiKu dan berkata: ‘Yang Mulia, Āḷāra Kālāma meninggal dunia tujuh hari yang lalu.’ Dan pengetahuan dan penglihatan muncul padaku: ‘Āḷāra Kālāma meninggal dunia tujuh hari yang lalu.’ Aku berpikir: ‘Kerugian Āḷāra Kālāma sungguh besar. Jika ia mendengarkan Dhamma ini, ia akan memahaminya dengan cepat.’

23. “Aku merenungkan: ‘Kepada siapakah pertama kali Aku mengajarkan Dhamma? Siapakah yang akan memahami Dhamma ini dengan cepat?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Uddaka Rāmaputta bijaksana, cerdas, dan dapat melihat; ia telah lama memiliki sedikit debu di matanya. Bagaimana jika Aku mengajarkan Dhamma pertama kali kepada Uddaka Rāmaputta. Ia akan memahaminya dengan cepat.’ Kemudian para dewa mendatangiKu dan berkata: ‘Yang Mulia, Uddaka Rāmaputta meninggal dunia kemarin malam.’ Dan pengetahuan dan penglihatan muncul padaku: ‘Uddaka Rāmaputta meninggal dunia kemarin malam.’ Aku berpikir: ‘Kerugian Uddaka Rāmaputta sungguh besar. Jika ia mendengarkan Dhamma ini, ia akan memahaminya dengan cepat.’

24. “Aku merenungkan: ‘Kepada siapakah pertama kali Aku mengajarkan Dhamma? Siapakah yang akan memahami Dhamma ini dengan cepat?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Para bhikkhu dari kelompok lima yang melayaniKu sewaktu aku menjalani usahaku telah sangat membantu.  Bagaimana jika Aku mengajarkan Dhamma pertama kali kepada mereka.’ Kemudian Aku berpikir: ‘Di manakah para bhikkhu dari kelompok lima itu menetap?’ Dan dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat bahwa mereka sedang menetap di Benares di Taman Rusa di Isipatana.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 08:53:25 PM
(PENGAJARAN DHAMMA)

25. “Kemudian, para bhikkhu, ketika Aku telah menetap di Uruvelā selama yang Aku inginkan, Aku melakukan perjalanan secara bertahap menuju Benares. Antara Gayā dan tempat pencerahan, Ājīvaka Upaka melihatKu dalam perjalanan itu dan berkata: ‘Teman, indriaMu cerah, warna kulitMu bersih dan cemerlang. Di bawah siapakah engkau meninggalkan keduniawian, teman? Siapakah guruMu? Dhamma siapakah yang Engkau [171] anut? Aku menjawab Ājīvaka Upaka dalam syair:

   ‘Aku adalah seorang yang telah melampaui segalanya, pengenal segalanya,
   Tidak ternoda di antara segalanya, meninggalkan segalanya,
   Terbebaskan dalam lenyapnya keinginan. Setelah mengetahui semua ini
   Bagi diriKu, siapakah yang harus Kutunjuk sebagai guru?

   Aku tidak memiliki guru, dan seseorang yang setara denganKu
   Tidak ada di segala alam
   Bersama dengan semua dewanya, karena Aku tidak memiliki
   Siapapun yang dapat menandingiKu.

   Aku adalah Yang Sempurna di dunia ini,
   Aku adalah Guru Tertinggi.
   Aku sendiri adalah seorang Yang Tercerahkan Sempurna
   Yang api-apinya telah padam.

   Aku pergi sekarang menuju kota Kāsi
   Untuk memutar Roda Dhamma.
   Dalam dunia yang telah buta
   Aku pergi untuk menabuh tambur Keabadian.’

   ‘Dengan pengakuanMu, teman, engkau pasti adalah Pemenang Segalanya.’

   ‘Para pemenang adalah mereka yang sepertiKu
   Yang telah memenangkan penghancuran noda-noda.
   Aku telah menaklukkan segala kondisi jahat,
   Oleh karena itu, Upaka, Aku adalah pemenang.’

“Ketika ini dikatakan, Ājīvaka Upaka berkata: ‘Semoga demikian, teman.’ Dengan menggelengkan kepala, ia berjalan melalui jalan kecil dan pergi.

26. “Kemudian, para bhikkhu, dengan berjalan secara bertahap, Aku akhirnya sampai di Benares, Taman Rusa di Isipatana, dan Aku mendekati para bhikkhu dari kelompok lima. Dari jauh Para bhikkhu melihatKu mendekat, dan mereka sepakat: ‘Teman-teman, telah datang Petapa Gotama yang hidup dalam kemewahan, yang telah meninggalkan usahaNya, dan kembali kepada kemewahan. Kita tidak perlu memberi hormat kepadanya atau bangkit menyambutnya atau menerima mangkuk dan jubah luarNya. Tetapi sebuah tempat duduk boleh disediakan untukNya. Jika Ia menginginkan, Ia boleh duduk.’ Akan tetapi, ketika Aku mendekat, para bhikkhu itu tidak dapat mempertahankan kesepakatan mereka. Salah seorang datang menyambutKu dan mengambil mangkuk dan jubah luarKu, yang lain menyiapkan tempat duduk, dan yang lain lagi menyediakan air untuk membasuh kakiKu; akan tetapi mereka menyapaKu dengan nama dan sebagai ‘teman.’

27. “Kemudian Aku memberitahu mereka: ‘Para bhikkhu, jangan menyapa Sang Tathāgata dengan nama dan sebagai “teman.” Sang Tathāgata adalah seorang yang sempurna, [172] seorang Yang Tercerahkan Sempurna. Dengarkanlah, para bhikkhu, Keabadian telah dicapai. Aku akan memberikan instruksi kepada kalian, Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian. Dengan mempraktikkan sesuai yang diinstruksikan, dengan menembusnya untuk kalian sendiri di sini dan saat ini melalui pengetahuan langsung, kalian akan segera memasuki dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.’

“Ketika hal ini dikatakan, para bhikkhu dari kelompok lima itu menjawabKu sebagai berikut: ‘Teman Gotama, dengan perilaku, praktik, dan pelaksanaan pertapaan keras yang Engkau jalani, Engkau tidak mencapai kondisi apapun yang melampaui manusia, tidak mencapai keluhuran apapun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.  Karena sekarang Engkau hidup dalam kemewahan, telah meninggalkan usahaMu dan kembali kepada kemewahan, bagaimana mungkin Engkau telah mencapai kondisi apapun yang melampaui manusia, telah mencapai keluhuran apapun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia?’ Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahu mereka: ‘Sang Tathāgata tidak hidup dalam kemewahan, juga tidak meninggalkan usahaNya dan tidak kembali kepada kemewahan. Sang Tathāgata adalah Yang Sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna. Dengarkanlah, para bhikkhu, Keabadian telah dicapai ... dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.’

“Untuk ke dua kalinya para bhikkhu dari kelompok lima itu berkata kepadaKu: ‘Teman Gotama ... bagaimana mungkin Engkau telah mencapai kondisi apapun yang melampaui manusia, telah mencapai keluhuran apapun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia?’ Untuk ke dua kalinya Aku memberitahu mereka: Sang Tathāgata tidak hidup dalam kemewahan ... dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.’ Untuk ke tiga kalinya para bhikkhu dari kelompok lima itu berkata kepadaKu: ‘Teman Gotama ... bagaimana mungkin Engkau telah mencapai kondisi apapun yang melampaui manusia, telah mencapai keluhuran apapun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia?’

28. “Ketika hal ini dikatakan Aku bertanya kepada mereka: ‘Para bhikkhu, pernahkah kalian mendengar Aku berkata seperti ini sebelumnya?’ – ‘Tidak, Yang Mulia.’  – ‘Para bhikkhu, Sang Tathāgata adalah seorang yang sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna. Dengarkanlah, para bhikkhu, Keabadian telah dicapai. Aku akan memberikan instruksi kepada kalian, Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian. Dengan mempraktikkan sesuai yang diinstruksikan, dengan menembusnya untuk kalian sendiri di sini dan saat ini melalui pengetahuan langsung, kalian akan segera memasuki dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.’ [173]

29. “Aku berhasil meyakinkan para bhikkhu dari kelompok lima.  Kemudian Aku kadang-kadang memberikan instruksi kepada dua bhikkhu sementara tiga lainnya mengumpulkan dana makanan, dan kami berenam bertahan hidup dari apa yang dibawa kembali oleh ketiga bhikkhu dari perjalanan mereka menerima dana makanan. kadang-kadang Aku memberikan instruksi kepada tiga bhikkhu sementara dua lainnya mengumpulkan dana makanan, dan kami berenam bertahan hidup dari apa yang dibawa kembali oleh kedua bhikkhu dari perjalanan mereka menerima dana makanan.

30. “Kemudian para bhikkhu dari kelompok lima, setelah diajari dan diberikan instruksi olehKu, dengan diri mereka sendiri tunduk pada kelahiran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kelahiran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, yaitu Nibbāna; mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, yaitu Nibbāna; dengan diri mereka sendiri tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, yaitu Nibbāna, mereka mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, yaitu Nibbāna. Pengetahuan dan penglihatan muncul pada mereka: ‘Kebebasan kami tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiran kami yang terakhir; sekarang tidak ada lagi penjelmaan makhluk yang baru.’

(KENIKMATAN INDRIA)

31. “Para bhikkhu, terdapat lima utas kenikmatan indria ini.  Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan disukai, berhubungan dengan keinginan indria, dan merangsang nafsu. suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan disukai, berhubungan dengan keinginan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria.

32. “Sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang terikat dengan kelima utas kenikmatan indria ini, tergila-gila pada hal-hal ini, dan menyerah total pada hal-hal ini, dan yang menggunakannya tanpa melihat bahaya di dalam hal-hal ini atau tidak memahami jalan membebaskan diri dari hal-hal ini, dapat dipahami bahwa: ‘Mereka telah menemui bencana, menemui kemalangan, Yang Jahat dapat melakukan apapun yang ia sukai terhadap mereka.’ Misalkan seekor rusa hutan yang terbaring terikat di atas tumpukan jerat; dapat dipahami bahwa: ‘Ia telah menemui bencana, ia telah menemui kemalangan, pemburu dapat melakukan apapun yang ia sukai terhadap rusa itu, dan ketika pemburu itu datang rusa itu tidak mampu pergi ke manapun yang ia inginkan.’ Demikian pula, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang terikat dengan kelima utas kenikmatan indria ini … dapat dipahami bahwa: ‘Mereka telah menemui bencana, menemui kemalangan, Yang Jahat dapat melakukan apapun yang ia sukai terhadap mereka.’

33. “Sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang tidak terikat dengan kelima utas kenikmatan indria ini, tidak tergila-gila pada hal-hal ini, dan tidak menyerah total pada hal-hal ini, dan yang menggunakannya dengan melihat bahaya di dalam hal-hal ini dan memahami jalan membebaskan diri dari hal-hal ini, [174] dapat dipahami bahwa: ‘Mereka tidak menemui bencana, tidak menemui kemalangan, Yang Jahat tidak dapat melakukan apapun yang ia sukai terhadap mereka.’  Misalkan seekor rusa hutan yang tidak terbaring terikat di atas tumpukan jerat; dapat dipahami bahwa: ‘Ia tidak menemui bencana, ia tidak menemui kemalangan, pemburu tidak dapat melakukan apapun yang ia sukai terhadap rusa itu, dan ketika pemburu itu datang rusa itu mampu pergi ke manapun yang ia inginkan.’ Demikian pula, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang tidak terikat dengan kelima utas kenikmatan indria ini … dapat dipahami bahwa: ‘Mereka tidak menemui bencana, tidak menemui kemalangan, Yang Jahat tidak dapat melakukan apapun yang ia sukai terhadap mereka.’

34. “Misalkan seekor rusa hutan sedang mengembara di hutan belantara: ia berjalan tanpa takut, berdiri tanpa takut, duduk tanpa takut, berbaring tanpa takut. Mengapakah? Karena ia berada di luar jangkauan pemburu. Demikian pula, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra, menjadi tidak terlihat oleh si Jahat dengan mencabut mata Māra dari kesempatannya.

35. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

36. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan waspada penuh, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang sehubungan dengannya para mulia mengatakan: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

37. “Kemudian dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu memasuki dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan juga bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

38. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

39. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

40. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra …

41. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, [175] seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra, menjadi tidak terlihat oleh si Jahat dengan mencabut mata Māra dari kesempatannya.

42. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Dan noda-nodanya dihancurkan dengan melihat dengan kebijaksanaan. Bhikkhu ini dikatakan telah membutakan Māra, menjadi tidak terlihat oleh si Jahat dengan mencabut mata Māra dari kesempatannya, dan telah menyeberang melampaui kemelekatan pada dunia.  Ia berjalan tanpa takut, berdiri tanpa takut, duduk tanpa takut, berbaring tanpa takut. Mengapakah? Karena ia berada di luar jangkauan si Jahat.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 08:54:17 PM
27  Cūḷahatthipadopama Sutta
Khotbah pendek tentang Perumpamaan
Jejak Kaki Gajah

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu Brahmana Jāṇussoṇi sedang berkendara keluar dari Sāvatthī di siang hari dengan mengendarai kereta yang putih seluruhnya yang ditarik oleh kuda-kuda betina putih. Dari jauh ia melihat pengembara Pilotika datang dan bertanya kepadanya: “Dari manakah Guru Vacchāyana datang di siang hari ini?”

“Tuan, aku datang dari hadapan Petapa Gotama.”

“Bagaimanakah menurut Guru Vacchāyana sehubungan dengan kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama? Apakah Beliau bijaksana atau tidak?”

“Tuan, Siapakah aku yang dapat mengetahui kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama? Hanya seorang yang setara dengan Beliau yang dapat mengetahui kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama.”

“Guru Vacchāyana memuji Petapa Gotama dengan sangat tinggi.”

“Tuan, siapakah aku yang dapat memuji Petapa Gotama? Petapa Gotama dipuji oleh pujian sebagai yang terbaik di antara para dewa dan manusia.”

“Apakah alasan yang Guru Vacchāyana lihat hingga ia memiliki keyakinan demikian pada Petapa Gotama?”

3. “Tuan, misalkan seorang pemburu gajah yang cerdas memasuki hutan gajah dan melihat di dalam hutan itu [176] jejak kaki gajah yang besar, panjang dan lebar. Ia akan berkesimpulan: ‘Sungguh, ini adalah gajah yang besar.’ Demikian pula, ketika aku melihat empat jejak kaki Petapa Gotama, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna, Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’ Apakah empat ini?

4. “Tuan, aku telah melihat di sini para mulia terpelajar tertentu yang cerdas, memiliki pengetahuan tentang ajaran-ajaran lain, setajam para penembak pembelah rambut; mereka mengembara, sebagaimana seharusnya, meruntuhkan pandangan-pandangan lain dengan ketajaman kecerdasan mereka. Ketika mereka mendengar: ‘Petapa Gotama akan mengunjungi desa-desa atau kota itu,’ mereka menyusun pertanyaan sebagai berikut: ‘Kami akan menemui Petapa Gotama dan mengajukan pertanyaan ini kepada Beliau. Jika ia ditanya seperti ini, maka Beliau akan menjawab seperti ini, dan kemudian kami akan menbantah ajarannya dengan cara ini; dan jika ia ditanya seperti itu, maka Beliau akan menjawab seperti itu, dan kemudian kami akan menbantah ajarannya dengan cara itu.’

“Mereka mendengar: ‘Petapa Gotama telah datang mengunjungi desa atau kota itu.’ Mereka pergi menemui Petapa Gotama, dan Petapa Gotama memberikan instruksi, menasihati, membangkitkan semangat, dan mendorong mereka dengan khotbah Dhamma. Setelah mereka menerima instruksi, dinasihati, dibangkitkan semangatnya, dan didorong oleh Petapa Gotama dengan khotbah Dhamma, mereka tidak jadi mengajukan pertanyaan kepada Beliau, jadi bagaimana mereka dapat membantah ajaran Beliau? Dalam kenyataannya, mereka malah menjadi siswa-siswa Beliau. Ketika aku melihat jejak kaki pertama Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna, Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’

5. “Kemudian, aku telah melihat para brahmana terpelajar tertentu yang cerdas ... Dalam kenyataannya, mereka malah menjadi siswa-siswa Beliau. Ketika aku melihat jejak kaki ke dua Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna ...’

6. “Kemudian, aku telah melihat para perumah tangga terpelajar tertentu yang cerdas ... [177] ... Dalam kenyataannya, mereka malah menjadi siswa-siswa Beliau. Ketika aku melihat jejak kaki ke tiga Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna ...’

7. “Kemudian, aku telah melihat para petapa terpelajar tertentu yang cerdas ... mereka tidak jadi mengajukan pertanyaan kepada Beliau, jadi bagaimana mereka dapat membantah ajaran Beliau? Dalam kenyataannya, mereka malah memohon agar Petapa Gotama mengizinkan mereka meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan Beliau memberikan pelepasan keduniawian kepada mereka. Tidak lama setelah mereka meninggalkan keduniawian, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung mereka di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan kehidupan tanpa rumah menuju kehidupan rumah tangga. Mereka berkata sebagai berikut: ‘Kami hampir saja musnah, kami hampir saja binasa, karena sebelumnya kami mengaku bahwa kami adalah para petapa walaupun kami bukanlah para petapa yang sesungguhnya; kami mengaku bahwa kami adalah para brahmana walaupun kami bukanlah para brahmana yang sesungguhnya; kami mengaku bahwa kami adalah para Arahant walaupun kami bukanlah para Arahant yang sesungguhnya. Tetapi sekarang kami adalah para petapa, sekarang kami adalah para brahmana, sekarang kami adalah para Arahant.’ Ketika aku melihat jejak kaki ke empat Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna ...

“Ketika aku melihat empat jejak kaki Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna, Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’”

8. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Jāṇussoṇi turun dari kereta putihnya yang ditarik oleh kuda-kuda betina putih, dan merapikan jubah atasnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangannya sebagai penghormatan ke arah Sang Bhagavā dan mengucapkan seruan itu tiga kali: “Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna! Mungkin suatu saat atau di saat lainnya [178] kami dapat bertemu dengan Guru Gotama dan berbincang-bincang dengan Beliau.”

9. Kemudian Brahmana Jāṇussoṇi mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah itu berakhir, ia duduk di satu sisi dan menceritakan kepada Sang Bhagavā tentang seluruh percakapannya dengan Pengembara Pilotika. Setelah itu Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Pada titik ini, brahmana, perumpamaan jejak kaki gajah itu belum sepenuhnya selesai secara terperinci. Sehubungan dengan bagaimana menyelesaikannya secara terperinci, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.” – ‘Baik, Yang Mulia,” Brahmana Jāṇussoṇi menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

10. “Brahmana, misalkan seorang pemburu gajah yang cerdas memasuki hutan gajah dan melihat di dalam hutan itu jejak kaki gajah yang besar, panjang dan lebar. Ia tidak akan langsung berkesimpulan: ‘Sungguh, ini adalah gajah jantan yang besar.’ Mengapakah? Karena dalam suatu hutan gajah terdapat gajah-gajah betina kecil yang meninggalkan jejak kaki yang besar, dan ini mungkin salah satu jejaknya. Ia mengikuti jejak itu dan melihat di hutan gajah itu terdapat sebuah jejak kaki gajah besar, panjang dan lebar, dan beberapa guratan tinggi. Seorang pemburu gajah yang cerdas tidak akan langsung berkesimpulan: ‘Sungguh, ini adalah gajah jantan yang besar.’ Mengapakah? Karena dalam suatu hutan gajah terdapat gajah-gajah betina yang tinggi dan memiliki gigi yang panjang dan meninggalkan jejak-jejak yang besar, dan ini mungkin salah satu jejaknya. Ia mengikuti jejak itu lebih jauh dan melihat di hutan gajah itu terdapat sebuah jejak kaki gajah besar, panjang dan lebar, dan beberapa guratan tinggi dan tanda yang berasal dari goresan gading. Seorang pemburu gajah yang cerdas tidak akan langsung berkesimpulan: ‘Sungguh, ini adalah gajah jantan yang besar.’ Mengapakah? Karena dalam suatu hutan gajah terdapat gajah-gajah betina yang tinggi dan memiliki gading dan meninggalkan jejak-jejak yang besar, dan ini mungkin salah satu jejaknya. Ia mengikuti jejak itu lebih jauh dan melihat di hutan gajah itu terdapat sebuah jejak kaki gajah besar, panjang dan lebar, dan beberapa geuratan tinggi dan tanda yang berasal dari goresan gading, dan dahan-dahan yang patah. Dan ia melihat gajah jantan itu di bawah sebatang pohon atau di tempat terbuka, berjalan, duduk, atau berbaring. Ia sampai pada kesimpulan: ‘Ini adalah gajah jantan besar itu.’

11. “Demikian pula, [179] Brahmana, di sini Seorang Tathāgata muncul di dunia, sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, mulia, pengenal segala alam, pemimpin yang tanpa bandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi. Beliau menyatakan pada dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, pada generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, yang telah Beliau tembus oleh dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna.

12.  “Seorang perumah tangga atau putera perumah tangga atau seseorang yang terlahir dalam salah satu kasta lainnya mendengar Dhamma itu. Setelah mendengar Dhamma ia memperoleh keyakinan pada Sang Tathāgata. Dengan memiliki keyakinan itu, ia merenungkan sebagai berikut: ‘Kehidupan rumah tangga ramai dan berdebu; kehidupan meninggalkan keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi hidup dalam rumah, menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna seperti kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.’  Kemudian pada kesempatan lainnya, dengan meninggalkan keuntungan kecil atau besar, dengan meninggalkan lingkaran keluarga kecil atau besar, ia mencukur rambut dan janggut, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.

13. “Setelah meninggalkan keduniawian dan memiliki latihan dan gaya hidup kebhikkhuan, meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, ia menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat pemukul dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelas kasih pada semua makhluk. Dengan meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan; mengambil hanya apa yang diberikan, menerima hanya apa yang diberikan, dengan tidak mencuri ia berdiam dalam kemurnian. Meninggalkan kehidupan tidak-selibat, ia melaksanakan hidup selibat, hidup terpisah, menghindari praktik vulgar hubungan seksual.

“Dengan meninggalkan ucapan salah, ia menghindari ucapan salah; ia mengatakan kebenaran, terikat pada kebenaran, dapat dipercaya dan dapat diandalkan, seorang yang bukan penipu dunia. Dengan menghindari ucapan fitnah, ia menghindari ucapan fitnah; ia tidak mengulangi di tempat lain apa yang telah ia dengar di sini dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini, juga tidak mengulangi pada orang-orang ini apa yang telah ia dengar di tempat lain dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia menjadi seorang yang merukunkan mereka yang terpecah-belah, seorang penganjur persahabatan, yang menikmati kerukunan, bergembira dalam kerukunan, senang dalam kerukunan, pengucap kata-kata yang menganjurkan kerukunan. Dengan meninggalkan ucapan kasar, ia menghindari ucapan kasar; ia mengucapkan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, dan indah, ketika masuk dalam pikiran, sopan, disukai banyak orang [180] dan menyenangkan banyak orang. Dengan meninggalkan gosip, ia menghindari gosip; ia berbicara pada saat yang tepat, mengatakan apa yang sebenarnya, mengatakan apa yang baik, membicarakan Dhamma dan Disiplin; pada saat yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang layak dicatat, yang logis, selayaknya, dan bermanfaat.

“Ia menghindari merusak benih dan tanaman. Ia berlatih makan hanya dalam satu bagian siang hari, menghindari makan di malam hari dan di luar waktu yang selayaknya.  Ia menghindari menari, menyanyi, musik, dan pertunjukan hiburan. Ia menghindari mengenakan kalung bunga, mengharumkan dirinya dengan wewangian, dan menghias dirinya dengan salep. Ia menghindari dipan yang tinggi dan besar. Ia menghindari menerima emas dan perak. Ia menghindari menerima beras mentah. Ia menghindari menerima daging mentah. Ia menghindari menerima perempuan-perempuan dan gadis-gadis. Ia menghindari menerima budak laki-laki dan perempuan. Ia menghindari menerima kambing dan domba. Ia menghindari menerima unggas dan babi. Ia menghindari menerima gajah, sapi, kuda jantan, dan kuda betina. Ia menghindari menerima ladang dan tanah. Ia menghindari menjadi pesuruh dan penyampai pesan. Ia menghindari membeli dan menjual. Ia menghindari timbangan salah, logam palsu, dan ukuran salah. Ia menghindari kecurangan, penipuan, penggelapan, dan muslihat. Ia menghindari melukai, membunuh, mengikat, merampok, menjarah, dan kekerasan.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 08:55:20 PM
14. “Ia puas dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan dengan dana makanan untuk memelihara perutnya, dan ke manapun ia pergi, ia pergi dengan hanya membawa benda-benda ini. Bagaikan seekor burung, ke manapun ia pergi, ia terbang hanya dengan sayapnya sebagai beban satu-satunya, demikian pula bhikkhu itu puas dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan dengan dana makanan untuk memelihara perutnya, dan ke manapun ia pergi, ia pergi dengan hanya membawa benda-benda ini. Dengan memiliki kelompok moralitas mulia ini, ia mengalami dalam dirinya suatu kebahagiaan yang tanpa cela.

15. “Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, ia tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menguasainya, ia berlatih cara pengendaliannya, ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata.  Ketika mendengar suatu suara dengan telinga ... Ketika mencium suatu bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah ... Ketika menyentuh suatu obyek sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali suatu obyek-pikiran dengan pikiran, ia tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menguasainya, ia berlatih cara pengendaliannya, [181] ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Dengan memiliki pengendalian mulia akan indria-indria ini, ia mengalami dalam dirinya suatu kebahagiaan yang tanpa noda.

16. “Ia menjadi seorang yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan maju maupun mundur; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika melihat ke depan maupun ke belakang; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika menunduk maupun menegakkan badan; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika mengenakan jubahnya dan membawa jubah luar dan mangkuknya; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika makan, minum, mengunyah makanan, dan mengecap; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika buang air besar maupun buang air kecil; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika berjalan, berdiri, duduk, jatuh tertidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri.

17. “Dengan memiliki kelompok moralitas mulia ini, dan pengendalian mulia atas indria-indria ini, dan memiliki perhatian mulia dan kewaspadaan mulia ini, ia mencari tempat tinggal yang terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, hutan belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.

18.  “Setelah kembali dari menerima dana makanan, setelah makan ia duduk bersila, menegakkan badannya, dan menegakkan perhatian di depannya. Dengan meninggalkan ketamakan akan dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari ketamakan; ia memurnikan pikirannya dari ketamakan.  Dengan meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari niat buruk, berbelas kasihan bagi kesejahteraan semua makhluk hidup; ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Dengan meninggalkan kelambanan dan ketumpulan, ia berdiam dengan terbebas dari kelambanan dan ketumpulan, seorang yang mempersepsikan cahaya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan; ia memurnikan pikirannya dari kelambanan dan ketumpulan. Dengan meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam dengan tanpa kegelisahan dengan pikiran yang damai; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. Dengan meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam setelah melampaui keragu-raguan, tanpa kebingungan akan kondisi-kondisi bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

19. “Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, ketidak-murnian pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ini, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang diguratkan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata, tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’

20. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia [182] belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ...’

21. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ...’

22. “Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang tanpa kesakitan juga tanpa kenikmatan dan memiliki kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ...’

23. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penyusutan-dunia, banyak kappa pengembangan-dunia, banyak kappa penyusutan-dan-pengembangan-dunia: … (seperti Sutta 4, §27) … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ...’ [183]

24. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk. Dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. Ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka … (seperti Sutta 4, §29) …  Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ...’

25. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; … ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’ … ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’; … ‘Ini adalah noda-noda’; … ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’ … ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang diguratkan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata, tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’ Tetapi, ia masih dalam proses menuju pada kesimpulan ini.

26. “Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebas dari noda keinginan indria, [184] bebas dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

“Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang diguratkan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata. Pada titik ini seorang siswa mulia telah sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’  Dan pada titik ini, Brahmana, perumpamaan jejak kaki gajah itu selesai secara terperinci.

27. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Jāṇussoṇi berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan pada mereka yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang pengikut awam yang telah menerima perlindungan dari Beliau seumur hidupku.”
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 08:56:26 PM
28  Mahāhatthipadopama Sutta
Khotbah panjang tentang Perumpamaan
Jejak Kaki Gajah

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu: ‘Teman-teman, para bhikkhu.” – “Teman.” Mereka menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

2. “Teman-teman, bagaikan jejak kaki makhluk hidup apapun juga yang berjalan dapat masuk ke dalam jejak kaki gajah, dan dengan demikian jejak kaki gajah dinyatakan sebagai pemimpinnya karena ukurannya yang besar; demikian pula, semua kondisi-kondisi bermanfaat dalam dimasukkan dalam Empat Kebenaran Mulia.  Dalam empat apakah? Dalam kebenaran mulia tentang penderitaan, [185] dalam kebenaran mulia tentang asal-mula penderitaan, dalam kebenaran mulia lenyapnya penderitaan, dan dalam kebenaran mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan.

3. “Dan apakah kebenaran mulia tentang penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan, penuaan adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan adalah penderitaan; tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan adalah penderitaan.

4. “Dan apakah kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan? Yaitu: kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan, dan kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan.

5. “Dan apakah kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan? Yaitu empat unsur utama dan bentuk materi yang diturunkan dari empat unsur utama. Dan apakah empat unsur utama ini? Yaitu unsur tanah, unsur air, unsur api, dan unsur udara.

(UNSUR TANAH)

6. “Apakah, teman, unsur tanah? Unsur tanah dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur tanah internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan dilekati; yaitu rambut-kepala, bulu-badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sum-sum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus, selaput pengikat organ dalam tubuh, isi perut, kotoran, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan dilekati: ini disebut unsur tanah internal.  Sekarang baik unsur tanah internal maupun unsur tanah eksternal adalah unsur tanah.  Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur tanah dan menjadikan pikirannya bosan terhadap unsur tanah.

7. “Sekarang ada saatnya ketika unsur tanah itu terganggu dan kemudian unsur tanah eksternal lenyap.  Jika bahkan unsur tanah eksternal ini, yang begitu dahsyat, terlihat sebagai tidak kekal, tunduk pada kehancuran, kelenyapan, dan perubahan, apalagi jasmani ini, yang dilekati oleh keinginan dan bertahan hanya sebentar? Tidak ada yang dapat dianggap sebagai ‘aku’ atau ‘milikku’ atau ‘diriku.’

8. “Maka dari itu, jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang seorang bhikkhu [yang telah melihat unsur ini sebagaimana adanya], ia memahami:  ‘Perasaan menyakitkan ini yang muncul dari kontak-telinga telah muncul padaku. Yang bergantung, bukan tidak bergantung. Bergantung pada apakah? [186] Bergantung pada kontak.’  Kemudian ia melihat bahwa kontak adalah tidak kekal, bahwa perasaan adalah tidak kekal, dan bahwa kesadaran adalah tidak kekal. Dan pikirannya, setelah menjadikan suatu unsur sebagai obyek pendukungnya, masuk ke dalam [obyek pendukung yang baru itu] dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan keteguhan.

9. “Sekarang, jika orang lain menyerang bhikkhu itu dalam cara yang tidak diinginkan, tidak disukai, dan tidak menyenangkan, melalui kontak dengan kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau, ia memahami: ‘Jasmani ini memiliki sifat bahwa kontak dengan kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau akan menyerangnya.  Tetapi telah dikatakan oleh Sang Bhagavā dalam “nasihat tentang perumpamaan gergaji”: “Para bhikkhu, bahkan jika para penjahat memotong kalian dengan kejam bagian demi bagian tubuh dengan gergaji bergagang ganda, ia yang memendam pikiran benci terhadap mereka berarti tidak melaksanakan ajaranKu.”  Maka kegigihan tanpa lelah akan dibangkitkan dalam diriku dan perhatian tanpa kendur terbentuk, tubuhku tenang dan tidak terganggu, pikiranku terkonsentrasi dan terpusat. Dan sekarang biarlah kontak dengan kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau akan menyerang jasmani ini; karena ini adalah bagaimana ajaran para Buddha dipraktikkan.’

10. “Ketika bhikkhu itu merenungkan Buddha, Dhamma, dan Sangha, jika keseimbangan yang didukung oleh hal-hal yang bermanfaat tidak terbentuk dalam dirinya, maka ia membangkitkan dorongan sebagai berikut: ‘Adalah kerugian bagiku, bukan keberuntungan, adalah keburukan bagiku, bukan kebaikan, bahwa ketika aku merenungkan Buddha, Dhamma, dan Sangha, keseimbangan yang didukung oleh hal-hal yang bermanfaat tidak terbentuk dalam diriku.’  Seperti halnya ketika seorang menantu-perempuan melihat ayah mertuanya, ia membangkitkan dorongan [untuk menyenangkannya], demikian pula, ketika bhikkhu itu merenungkan Buddha, Dhamma, dan Sangha, jika keseimbangan yang didukung oleh hal-hal yang bermanfaat tidak terbentuk dalam dirinya, maka ia membangkitkan dorongan. Tetapi jika, ketika ia merenungkan Buddha, Dhamma, dan Sangha, jika keseimbangan yang didukung oleh hal-hal yang bermanfaat  terbentuk dalam dirinya, [187] maka ia menjadi puas dengannya. Pada titik ini, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

(UNSUR AIR)

11. “Apakah, teman, unsur air? Unsur air dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur air internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati; yaitu cairan empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati: ini disebut unsur air internal. Sekarang baik unsur air internal maupun unsur air eksternal adalah unsur air. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur air dan pikirannya bosan terhadap unsur air.

12. “Sekarang ada saatnya ketika unsur air eksternal terganggu. Air menghanyutkan desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah, dan negeri-negeri. Ada saatnya ketika air di samudera surut seratus liga, dua ratus liga, tiga ratus liga, empat ratus liga, lima ratus liga, enam ratus liga, tujuh ratus liga. Ada saatnya ketika air di samudera sedalam tujuh pohon palem, sedalam enam pohon palem … sedalam dua pohon palem, hanya sedalam satu pohon palem. Ada saatnya ketika air di samudera sedalam tujuh depa, sedalam enam depa … sedalam dua depa, hanya sedalam satu depa. Ada saatnya ketika air di samudera sedalam setengah depa, hanya setinggi pinggang, hanya selutut, hanya semata kaki. Ada saatnya ketika air di samudera tidak mencukupi bahkan hanya untuk membasahi sendi jari tangan. Ketika bahkan unsur air eksternal ini, yang begitu dahsyat, [188] terlihat sebagai tidak kekal, tunduk pada kehancuran, kelenyapan, dan perubahan, apalagi jasmani ini, yang dilekati oleh keinginan dan bertahan hanya sebentar? Tidak ada yang dapat dianggap sebagai ‘aku’ atau ‘milikku’ atau ‘diriku.’

13-15. “Maka dari itu, jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang seorang bhikkhu [yang telah melihat unsur ini sebagaimana adanya], ia memahami: … (ulangi §§8-10) … Pada titik ini juga, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

(UNSUR API)

16. “Apakah, teman, unsur api? Unsur api dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur api internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati; yaitu yang dengannya seseorang menjadi hangat, menua, dan terhabiskan, dan yang dengannya apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap sepenuhnya dicerna, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati: ini disebut unsur api internal. Sekarang baik unsur api internal maupun unsur api eksternal adalah unsur api. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur api dan menjadikan pikirannya bosan terhadap unsur api.

17. “Sekarang ada saatnya ketika unsur api eksternal terganggu. Api membakar desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah, dan negeri-negeri. Api itu padam karena habisnya bahan bakar hanya ketika api itu mencapai rumput hijau, atau jalan, atau batu, atau air, atau ruang terbuka. Ada saatnya ketika mereka menyalakan api bahkan dengan bulu ayam dan kulit kupasan buah. Ketika bahkan unsur api eksternal ini, yang begitu dahsyat,  terlihat sebagai tidak kekal, tunduk pada kehancuran, kelenyapan, dan perubahan, apalagi jasmani ini, yang dilekati oleh keinginan dan bertahan hanya sebentar? Tidak ada yang dapat dianggap sebagai ‘aku’ atau ‘milikku’ atau ‘diriku.’

18-20. “Maka dari itu, jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang seorang bhikkhu [yang telah melihat unsur ini sebagaimana adanya], ia memahami: … (ulangi §§8-10) … Pada titik ini juga, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

(UNSUR UDARA)

21. “Apakah, teman, unsur udara? Unsur udara dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur udara internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati; yaitu udara yang naik ke atas, udara yang turun ke bawah, udara dalam perut, udara dalam usus, udara yang mengalir melalui bagian-bagian tubuh, nafas masuk, nafas keluar, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati: ini disebut unsur udara internal. Sekarang baik unsur udara internal maupun unsur udara eksternal adalah unsur udara. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur udara dan menjadikan pikirannya bosan terhadap unsur udara. [189]

22. “Sekarang ada saatnya ketika unsur udara eksternal terganggu. Angin menyapu desa-desa, kota-kota, wilayah-wilayah, dan negeri-negeri. Ada saatnya di bulan terakhir musim panas ketika mereka membuat angin dengan menggunakan kipas atau tiupan dan bahkan rumbai jerami di tepi atap jerami tidak bergerak. Ketika bahkan unsur udara eksternal ini, yang begitu dahsyat,  terlihat sebagai tidak kekal, tunduk pada kehancuran, kelenyapan, dan perubahan, apalagi jasmani ini, yang dilekati oleh keinginan dan bertahan hanya sebentar? Tidak ada yang dapat dianggap sebagai ‘aku’ atau ‘milikku’ atau ‘diriku.’

23-25. “Maka dari itu, jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang seorang bhikkhu [yang telah melihat unsur ini sebagaimana adanya], ia memahami: … [190] (ulangi §§8-10) … Pada titik ini, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

26. “Teman-teman, seperti halnya ketika suatu ruang dikelilingi oleh kayu dan tanaman menjalar, rumput, dan tanah liat, maka itu disebut ‘rumah,’ demikian pula, ketika suatu ruang dikelilingi oleh tulang dan urat, daging dan kulit, maka itu disebut ‘bentuk materi.’

27. “Jika, teman-teman, secara internal mata dalam kondisi baik dan lengkap tetapi tidak ada bentuk-bentuk eksternal dalam jangkauan pandangan, dan tidak ada [kesadaran] yang bersesuaian bereaksi, maka tidak ada manifestasi dari kelompok kesadaran yang bersesuaian.  Jika, secara internal mata dalam kondisi baik dan lengkap dan ada bentuk-bentuk eksternal dalam jangkauan pandangan, tetapi tidak ada [kesadaran] yang bersesuaian bereaksi, maka tidak ada manifestasi dari kelompok kesadaran yang bersesuaian. Tetapi jika secara internal mata dalam kondisi baik dan lengkap dan ada bentuk-bentuk eksternal dalam jangkauan pandangan, dan ada [kesadaran] yang bersesuaian bereaksi , maka ada manifestasi dari kelompok kesadaran yang bersesuaian.

28. “Bentuk materi dalam apa yang telah muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur materi yang terpengaruh oleh kemelekatan.  Perasaan dalam apa yang telah muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Persepsi dalam apa yang telah muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan. Bentukan-bentukan dalam apa yang telah muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Kesadaran dalam apa yang telah muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan. Ia memahami sebagai berikut: ‘Sungguh, ini adalah bagaimana terjadinya kebersamaan, pertemuan, dan berkumpulnya hal-hal ke dalam lima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini. Sekarang ini telah dikatakan oleh Sang Bhagavā: “Seorang yang melihat [191] kemunculan bergantungan melihat Dhamma; seorang yang melihat Dhamma melihat kemunculan bergantungan melihat Dhamma.”  Dan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan adalah muncul bergantungan. Keinginan, kegemaran, kecenderungan, dan cengkeraman yang berdasarkan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini adalah asal-mula penderitaan.  Lenyapnya keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Pada titik ini juga, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

29-30. “Jika, teman-teman, secara internal telinga dalam kondisi baik dan lengkap tetapi tidak ada suara-suara dalam jangkauan pendengaran (seperti pada §§27-28) … Pada titik ini juga, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

31-32. “Jika, teman-teman, secara internal hidung dalam kondisi baik dan lengkap tetapi tidak ada bau-bauan dalam jangkauan penciuman … Pada titik ini juga, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

33-34. “Jika, teman-teman, secara internal lidah dalam kondisi baik dan lengkap tetapi tidak ada rasa kecapan dalam jangkauan pengecapan … Pada titik ini juga, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

35-36. “Jika, teman-teman, secara internal badan dalam kondisi baik dan lengkap tetapi tidak ada obyek-obyek sentuhan dalam jangkauan sentuhan … Pada titik ini juga, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.

37. “Jika, teman-teman, secara internal pikiran dalam kondisi baik dan lengkap tetapi tidak ada obyek-obyek pikiran eksternal dalam jangkauan pikiran, dan tidak ada [kesadaran] yang bersesuaian bereaksi, maka tidak ada manifestasi dari kelompok kesadaran yang bersesuaian.  Jika, secara internal pikiran dalam kondisi baik dan lengkap dan ada obyek-obyek pikiran eksternal dalam jangkauan pikiran, tetapi tidak ada [kesadaran] yang bersesuaian bereaksi, maka tidak ada manifestasi dari kelompok kesadaran yang bersesuaian.  Tetapi jika secara internal pikiran dalam kondisi baik dan lengkap dan ada obyek-obyek pikiran eksternal dalam jangkauan pikiran, dan ada [kesadaran] yang bersesuaian bereaksi, maka ada manifestasi dari kelompok kesadaran yang bersesuaian.

38. “Bentuk materi dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur materi yang terpengaruh oleh kemelekatan. Perasaan dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Persepsi dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan. Bentukan-bentukan dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Kesadaran dalam apa yang muncul demikian adalah termasuk dalam kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan. Ia memahami sebagai berikut: ‘Sungguh, ini adalah bagaimana terjadinya kebersamaan, pertemuan, dan berkumpulnya hal-hal ke dalam lima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini.’ Sekarang ini telah dikatakan oleh Sang Bhagavā: “Seorang yang melihat kemunculan bergantungan melihat Dhamma; seorang yang melihat Dhamma melihat kemunculan bergantungan melihat Dhamma.” Dan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan adalah muncul bergantungan. Keinginan, kegemaran, kecenderungan, dan cengkeraman yang berdasarkan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini adalah asal-mula penderitaan. Lenyapnya keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Pada titik ini juga, teman-teman, banyak yang telah dilakukan oleh bhikkhu itu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta.

Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 22 July 2010, 08:57:28 PM
29  Mahāsāropama Sutta
Khotbah panjang tentang
Perumpamaan Inti Kayu

[192] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar; tidak lama setelah Devadatta pergi.  Di sana, dengan merujuk pada Devadatta, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya terpenuhi. Dan karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku memiliki keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran, tetapi para bhikkhu lain ini tidak terkenal, tidak berharga.’ Ia menjadi mabuk dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, ia sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan… [193] … ia hidup dalam penderitaan. Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa ranting dan dedaunan kehidupan suci dan berhenti di sana.

3. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal-hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu dan tujuannya tercapai.  Dan karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku adalah orang yang bermoral, berkarakter baik, tetapi para bhikkhu lain ini tidak bermoral, berkarakter buruk.’ Ia menjadi mabuk dengan pencapaian moralitas itu, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya dan kulit dalamnya, ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu .. ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan… ia hidup dalam penderitaan. [194] Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa kulit luar kehidupan suci dan berhenti di sana.

4. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan pencapaian moralitas itu; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu dan tujuannya terpenuhi.  Dan karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku terkonsentrasi, pikiranku terpusat, tetapi para bhikkhu lain ini tidak terkonsentrasi dan pikiran mereka mengembara.’ Ia menjadi mabuk dengan pencapaian konsentrasi itu, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya dan kayu lunaknya, ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu .. ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan … ia hidup dalam penderitaan. [195] Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa kulit dalam kehidupan suci dan berhenti di sana.

5. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia tidak senang akan pencapaian moralitas itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi.  Ia tidak, karena hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan pencapaian konsentrasi itu; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai pengetahuan dan penglihatan.  Ia senang dengan pengetahuan dan penglihatan tersebut dan tujuannya terpenuhi. Karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku hidup dengan mengetahui dan melihat, tetapi para bhikkhu lain ini tidak mengetahui dan tidak melihat.’ Ia menjadi mabuk dengan pengetahuan dan penglihatan itu, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu .. ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ [196] Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan … ia hidup dalam penderitaan. Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa kayu lunak kehidupan suci dan berhenti di sana.

6. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi.  Karena rajin, ia mencapai pengetahuan dan penglihatan. Ia senang akan pengetahuan dan penglihatan itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi.  Ia tidak, karena hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan pengetahuan dan penglihatan itu; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai kebebasan terus-menerus. Dan adalah tidak mungkin bagi bhikkhu itu untuk terjatuh dari kebebasan terus-menerus itu.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan hanya memotong inti kayunya, ia akan membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini mengenali inti kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, [197] ia sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan hanya memotong inti kayunya, ia membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya akan terlaksana.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan … Karena ia rajin, maka ia mencapai kebebasan terus-menerus. Dan adalah tidak mungkin bagi bhikkhu itu untuk terjatuh dari kebebasan terus-menerus itu.

7. “Demikian pula kehidupan suci ini, para bhikkhu, bukan memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran sebagai manfaatnya, atau pencapaian moralitas sebagai manfaatnya, atau pencapaian konsentrasi sebagai manfaatnya, atau pengetahuan dan penglihatan sebagai manfaatnya. Melainkan kebebasan pikiran  yang tak tergoyahkan yang merupakan tujuan kehidupan suci, inilah inti kayunya, dan inilah akhirnya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 23 July 2010, 01:59:36 PM
30  Cūḷasāropama Sutta
Khotbah pendek tentang
Perumpamaan Inti Kayu

[198] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian Brahmana Pingalakoccha mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Guru Gotama, ada para petapa dan brahmana, masing-masing adalah pemimpin suatu aliran, pemimpin kelompok, guru kelompok, pendiri yang terkenal dan termasyhur dari suatu sekte yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci – seperti, Pūraṇa Kassapa, Makkhali Gosāla, Ajita Kesakambalin, Pakudha Kaccāyana, Sañjaya Belaṭṭhiputta, dan Nigaṇṭha Nātaputta.  Apakah mereka semuanya telah memiliki pengetahuan langsung seperti yang pengakuan mereka, atau tidak seorangpun di antara mereka yang memiliki pengetahuan langsung, atau apakah sebagian dari mereka memiliki pengetahuan langsung dan sebagian tidak memiliki?”

“Cukup, Brahmana! Biarlah demikian! – ‘Apakah mereka semuanya telah memiliki pengetahuan langsung seperti yang pengakuan mereka, atau tidak seorangpun di antara mereka yang memiliki pengetahuan langsung, atau apakah sebagian dari mereka memiliki pengetahuan langsung dan sebagian tidak memiliki?’ Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu, Brahmana. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Brahmana Pingalakoccha menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Misalkan, Brahmana, seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, ia sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’

4. “Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya [199] dan kulit dalamnya, ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu .. ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’

5. “Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya dan kayu lunaknya, ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu .. ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’

6. “Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu .. ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’

7. “Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan hanya memotong inti kayunya, ia akan membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini mengenali inti kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, ia sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan hanya memotong inti kayunya, [200] ia membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya akan terlaksana.’

8. “Demikian pula, Brahmana, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya terpenuhi. Dan karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku memiliki keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran, tetapi para bhikkhu lain ini tidak terkenal, tidak berharga.’ Maka ia tidak membangkitkan keinginan untuk bertindak, ia tidak berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran; ia enggan untuk maju dan mengendur.  Aku katakan bahwa orang ini seperti orang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu; dan apapun yang ingin ia lakukan dengan inti kayu itu, tujuannya tidak akan terlaksana.

9. “Di sini, Brahmana, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal-hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia membangkitkan keinginan untuk bertindak dan berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran; ia tidak enggan untuk maju dan tidak mengendur. Ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu dan tujuannya tercapai.  Dan karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku adalah orang yang bermoral, berkarakter baik, tetapi para bhikkhu lain ini tidak bermoral, berkarakter buruk.’ Maka ia tidak membangkitkan keinginan untuk bertindak, ia tidak berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pencapaian moralitas; [201] ia enggan untuk maju dan mengendur. Aku katakan bahwa orang ini seperti orang yang memerlukan inti kayu … Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya dan kulit dalamnya ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu; dan apapun yang ingin ia lakukan dengan inti kayu itu, tujuannya tidak akan terlaksana.

10. ‘Di sini, Brahmana, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi. Ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia membangkitkan keinginan untuk bertindak dan berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pencapaian moralitas; ia tidak enggan untuk maju dan tidak mengendur. Ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu dan tujuannya terpenuhi. Karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku terkonsentrasi, pikiranku terpusat, tetapi para bhikkhu lain ini tidak terkonsentrasi dan pikiran mereka mengembara.’ Maka ia tidak membangkitkan keinginan untuk bertindak, ia tidak berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pencapaian konsentrasi; ia enggan untuk maju dan mengendur. Aku katakan bahwa orang ini seperti orang yang memerlukan inti kayu … Dengan melewatkan inti kayunya dan kayu lunaknya, ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu; dan apapun yang ingin ia lakukan dengan inti kayu itu, tujuannya tidak akan terlaksana.

11. “Di sini, Brahmana, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, [202] korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Ia mencapai pencapaian moralitas. Ia tidak senang akan pencapaian moralitas itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi.  Ia tidak, karena hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia membangkitkan keinginan untuk bertindak dan berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pencapaian konsentrasi; ia tidak enggan untuk maju dan tidak mengendur. Ia mencapai pencapaian pengetahuan dan penglihatan dan tujuannya terpenuhi. Karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku hidup dengan mengetahui dan melihat, tetapi para bhikkhu lain ini tidak mengetahui dan tidak melihat.’ Maka ia tidak membangkitkan keinginan untuk bertindak, ia tidak berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan; ia enggan untuk maju dan mengendur. Aku katakan bahwa orang ini seperti orang yang memerlukan inti kayu … Dengan melewatkan inti kayunya, ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu; dan apapun yang ingin ia lakukan dengan inti kayu itu, tujuannya tidak akan terlaksana.

12. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, [203] ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi … Ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi.  Ia mencapai pengetahuan dan penglihatan. Ia senang akan pengetahuan dan penglihatan itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. Ia membangkitkan keinginan untuk bertindak dan berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi lain yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan; ia tidak enggan untuk maju dan tidak mengendur.

“Tetapi apakah, Brahmana, kondisi-kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan?

13. “Di sini, Brahmana, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ini adalah suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

14. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

15. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan waspada penuh, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang sehubungan dengannya para mulia mengatakan: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Ini adalah [204] juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

16. “Kemudian dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu memasuki dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan juga bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

17. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

18. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

19. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

20. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

21. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Dan noda-nodanya dihancurkan dengan melihat dengan kebijaksanaan. Ini adalah juga suatu kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada pengetahuan dan penglihatan.

22. “Aku katakan bahwa orang ini, Brahmana, adalah seperti seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, yang sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan memotong inti kayunya, ia membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu; dan apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya akan terlaksana.’

23. “Demikian pula kehidupan suci ini, Brahmana, bukan memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran sebagai manfaatnya, atau pencapaian moralitas sebagai manfaatnya, atau pencapaian konsentrasi sebagai manfaatnya, atau pengetahuan dan penglihatan sebagai manfaatnya. Melainkan [205] kebebasan pikiran  yang tak tergoyahkan yang merupakan tujuan kehidupan suci, inilah inti kayunya, dan inilah akhirnya.”

24. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Pingalakoccha berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan pada mereka yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang pengikut awam yang telah menerima perlindungan dari Beliau seumur hidupku.”
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 23 July 2010, 02:00:49 PM
31  Cūḷagosinga Sutta
Khotbah Pendek di Gosinga

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Nandikā di Rumah Bata.

2. Pada saat itu Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila sedang menetap di Taman Hutan pohon Sāla Gosinga.

3. Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasi dan pergi ke Taman Hutan pohon Sāla Gosinga. Dari jauh penjaga taman melihat kedatangan Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau: “Jangan memasuki taman ini, Petapa. Ada tiga anggota keluarga di sini mencari kebaikan mereka. Jangan mengganggu mereka.”

4. Yang Mulia Anuruddha mendengar penjaga taman itu berbicara dengan Sang Bhagavā dan memberitahunya: “Teman penjaga taman, jangan membiarkan Sang Bhagavā di luar. Beliau adalah Guru kami, Sang Bhagavā, yang telah datang.” Kemudian Yang Mulia Anuruddha mendatangi Yang Mulia Nandiya dan Yang Mulia Kimbila dan berkata: “Keluarlah, Yang Mulia, keluarlah! Guru kita, [206] Sang Bhagavā, telah datang.”

5. Kemudian ketiganya pergi menjumpai Sang Bhagavā. Satu orang mengambil mangkuk dan jubah luarNya, satu orang mempersiapkan tempat duduk, dan satu orang mengambil air untuk mencuci kaki. Sang Bhagavā duduk di tempat duduk yang telah disediakan dan mencuci kakiNya. Kemudian ketiga yang mulia itu bersujud pada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Ketika mereka telah duduk, Sang Bhagavā berkata kepada mereka: “Aku harap kalian semuanya dalam keadaan baik, Anuruddha, Aku harap kalian semuanya cukup nyaman, Aku harap kalian tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana makanan.”

“Kami dalam keadaan baik, Sang Bhagavā, kami cukup nyaman, dan tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan dana makanan.”

6. “Aku harap, Anuruddha, bahwa kalian hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

“Tentu saja, Yang Mulia, kami hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

“Tetapi, Anuruddha, bagaimanakah kalian hidup demikian?”

7. “Yang Mulia, sehubungan dengan hal itu, aku berpikir: ‘adalah suatu keuntungan bagiku, adalah keuntungan besar bagiku, bahwa aku hidup bersama dengan teman-teman demikian dalam kehidupan suci.’ Aku mempertahankan perbuatan jasmani cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi; Aku mempertahankan ucapan cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi; Aku mempertahankan pikiran cinta kasih terhadap para mulia itu baik secara terbuka maupun secara pribadi.  Aku mempertimbangkan: ‘Mengapa Aku tidak [207] mengesampingkan apa yang ingin kulakukan dan melakukan apa yang para mulia ini ingin lakukan?’ kemudian aku mengesampingkan apa yang ingin kulakukan dan melakukan apa yang para mulia ini ingin lakukan. Kami berbeda secara jasmani, Yang Mulia, tetapi kami satu dalam pikiran.”

Yang Mulia Nandiya dan Yang Mulia Kimbila masing-masing mengatakan hal yang sama, dan menambahkan: “Itu adalah bagaimana, Yang Mulia, kami hidup dalam kerukunan, saling menghargai, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling menatap dengan tatapan ramah.”

8. “Bagus, bagus, Anuruddha. Aku harap kalian semua berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

“Tentu saja, Yang Mulia, kami berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

“Tetapi, Anuruddha, bagaimanakah kalian berdiam demikian?”

9. “Yang Mulia, sehubungan dengan hal itu, siapapun dari kami yang kembali pertama kali dari desa dengan membawa dana makanan akan menyiapkan tempat duduk, menyediakan air minum dan air untuk mencuci, dan meletakkan tempat sampah di tempatnya. Siapapun dari kami yang kembali terakhir kali akan memakan makanan apapun yang tersisa, jika ia menginginkan; kalau tidak ia akan membuangnya di tempat di mana tidak ada tanaman atau membuangnya ke air yang mana tidak terdapat kehidupan. Ia menyingkirkan tempat duduk dan air minum dan air untuk mencuci. Ia menyimpan tempat sampah setelah mencucinya, dan ia menyapu ruang makan. Siapapun yang melihat kendi air minum, air untuk mencuci, atau kakus sudah hampir habis atau sudah habis maka ia akan melakukan apa yang harus ia lakukan. Jika terlalu berat baginya, maka ia akan memanggil seorang lainnya dengan isyarat tangan dan mereka bersama-sama memindahkannya, tetapi hal ini tidak membuat kami terlibat dalam percakapan. Tetapi setiap lima hari kami duduk bersama sepanjang malam mendiskusikan Dhamma. Itu adalah bagaimana kami berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

10. “Bagus, bagus, Anuruddha. Tetapi ketika kalian berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh demikian, apakah kalian telah mencapai kondisi apapun yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, suatu kediaman yang menyenangkan?”

“Mengapa tidak, Yang Mulia? Di sini, Yang Mulia, kapanpun kami menghendaki, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, kami masuk dan berdiam dalam jhāna pertama yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Yang Mulia, ini adalah kondisi melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, kediaman yang menyenangkan, yang kami capai ketika berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

11-13. “Bagus, bagus, Anuruddha. Tetapi adakah kondisi lainnya yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, kediaman yang menyenangkan, yang kalian capai dengan melampaui kediaman itu, [208] dengan meredakan kediaman itu?”
 
“Mengapa tidak, Yang Mulia? Di sini, Yang Mulia, kapanpun kami menghendaki, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, kami masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua  … Dengan meluruhnya kegembiraan … kami masuk dan berdiam dalam jhāṅa ke tiga … Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … kami masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Yang Mulia, ini adalah kondisi lain yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, yang kami capai dengan melampaui kediaman sebelumnya, dengan meredakan kediaman itu.”

14. “Bagus, bagus, Anuruddha. Tetapi adakah kondisi lainnya yang melampaui manusia … yang kalian capai dengan melampaui kediaman itu, dengan meredakan kediaman itu?”

“Mengapa tidak, Yang Mulia? Di sini, Yang Mulia, kapanpun kami menghendaki, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ [209] kami masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Yang Mulia, ini adalah kondisi lain yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, yang kami capai dengan melampaui kediaman sebelumnya, dengan meredakan kediaman itu.”

15-17. “Bagus, bagus, Anuruddha. Tetapi adakah kondisi lainnya yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, kediaman yang menyenangkan, yang kalian capai dengan melampaui kediaman itu, dengan meredakan kediaman itu?”

“Mengapa tidak, Yang Mulia? Di sini, Yang Mulia, kapanpun kami menghendaki, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ kami masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas … Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ kami masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan … Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, kami masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Yang Mulia, ini adalah kondisi lain yang melampaui manusia … yang kami capai dengan melampaui kediaman sebelumnya, dengan meredakan kediaman itu.”

18. “Bagus, bagus, Anuruddha. Tetapi adakah kondisi lainnya yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, kediaman yang menyenangkan, yang kalian capai dengan melampaui kediaman itu, dengan meredakan kediaman itu?”

“Mengapa tidak, Yang Mulia? Di sini, Yang Mulia, kapanpun kami menghendaki, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, kami masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Dan noda-noda kami dihancurkan dengan melihat dengan kebijaksanaan. Yang Mulia, ini adalah kondisi lain yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, yang kami capai dengan melampaui kediaman sebelumnya, dengan meredakan kediaman itu. Dan, Yang Mulia, kami tidak melihat ada kediaman lain yang lebih menyenangkan atau lebih mulia daripada yang itu.”

“Bagus, bagus, Anuruddha. Tidak ada kediaman lain yang lebih menyenangkan atau lebih mulia daripada yang itu.”

19. Kemudian, ketika Sang Bhagavā telah memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila dengan khotbah Dhamma, Beliau bangkit dari duduknya dan pergi.

20. Setelah mereka menyertai Sang Bhagavā, hingga jarak tertentu dan kembali lagi, Yang Mulia [210] Nandiya dan Yang Mulia Kimbila bertanya kepada Yang Mulia Anuruddha: “Pernahkah kami melaporkan kepada Yang Mulia Anuruddha bahwa kami telah mencapai kediaman dan pencapaian itu yang oleh Yang Mulia Anuruddha, di hadapan Sang Bhagavā, katakan berasal dari kami hingga pada hancurnya noda-noda?”

“Para Mulia tidak pernah melaporkan kepadaku bahwa mereka telah mencapai kediaman dan pencapaian itu. Namun dengan melingkupi pikiran para mulia dengan pikiranku, Aku mengetahui bahwa mereka telah mencapai kediaman dan pencapaian itu. Dan dewa juga telah melaporkan kepadaku: ‘Para mulia ini telah mencapai kediaman dan pencapaian itu.’ Maka aku mengatakannya ketika secara langsung ditanya oleh Sang Bhagavā.”

21. Kemudian Yakkha Dīgha Parajana  mendatangi Sang Bhagavā. Setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, ia berdiri di satu sisi dan berkata: “Adalah suatu keuntungan bagi penduduk Vajji, Yang Mulia, keuntungan besar bagi penduduk Vajji bahwa Sang Tathāgata, Yang Sempurna, dan Tercerahkan Sempurna, berdiam bersama mereka dan ketiga orang ini, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, Yang Mulia Kimbila!” mendengar seruan Yakkha Dīgha Parajana, para dewa bumi berseru: “Adalah suatu keuntungan bagi penduduk Vajji, Yang Mulia, keuntungan besar bagi penduduk Vajji bahwa Sang Tathāgata, Yang Sempurna, dan Tercerahkan Sempurna, berdiam bersama mereka dan ketiga orang ini, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, Yang Mulia Kimbila!” mendengar seruan para dewa bumi, para dewa dari alam surga Empat Raja Dewa … para dewa dari alam surga Tiga Puluh Tiga … para dewa Yāma … para dewa dari alam surga Tusita … para dewa yang bergembira dalam penciptaan … para dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain … para dewa pengikut Brahmā berseru: “Adalah suatu keuntungan bagi penduduk Vajji, Yang Mulia, keuntungan besar bagi penduduk Vajji bahwa Sang Tathāgata, Yang Sempurna, dan Tercerahkan Sempurna, berdiam bersama mereka dan ketiga orang ini, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, Yang Mulia Kimbila!” Demikianlah dalam sekejap, pada saat itu, para mulia itu dikenal hingga ke alam Brahmā.

22. [Sang Bhagavā berkata:] “Demikianlah, Dīgha, demikianlah! Dan jika suku dari mana ketiga orang itu meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah mengingat mereka dengan penuh keyakinan, maka hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan suku itu untuk waktu yang lama. Dan jika para pengikut suku dari mana ketiga orang itu meninggalkan keduniawian [211] … desa dari mana mereka meninggalkan keduniawian … pemukiman dari mana mereka meninggalkan keduniawian … kota dari mana mereka meninggalkan keduniawian … negeri dari mana mereka meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah mengingat mereka dengan penuh keyakinan, maka hal itu akan mengarah pada menuju kesejahteraan dan kebahagiaan negeri itu untuk waktu yang lama. Jika semua para mulia mengingat ketiga orang ini dengan penuh keyakinan, maka hal itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan para mulia itu untuk waktu yang lama. Jika semua brahmana … semua pedagang … semua pekerja mengingat mereka dengan penuh keyakinan, maka hal itu akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan para pekerja itu untuk waktu yang lama. Jika dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā dan orang-orangnya, generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, mengingat mereka dengan penuh keyakinan, maka hal itu akan mengarah pada menuju kesejahteraan dan kebahagiaan dunia untuk waktu yang lama. Lihatlah, Dīgha, bagaimana ketiga orang ini berlatih demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak orang, demi belas kasih pada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan manusia.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yakkha Dīgha Parajana merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 23 July 2010, 02:02:49 PM
32  Mahāgosinga Sutta
Khotbah Panjang di Gosinga

[212] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di di Taman Hutan pohon Sāla Gosinga bersama dengan sejumlah siswa terkenal – Yang Mulia Sāriputta, Yang Mulia Mahā Moggallāna, Yang Mulia Mahā Kassapa, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Revata, Yang Mulia Ānanda, dan para siswa terkenal lainnya.

2. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Mahā Moggallāna bangkit dari meditasinya, mendatangi Yang Mulia Mahā Kassapa, dan berkata kepadanya: “Teman, Kassapa, mari kita mendatangi Yang Mulia Sāriputta untuk mendengarkan Dhamma.” – “Baik, teman,” Yang Mulia Mahā Kassapa menjawab. Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna, Yang Mulia Mahā Kassapa, dan Yang Mulia Anuruddha mendatangi Yang Mulia Sāriputta untuk mendengarkan Dhamma.

3. Yang Mulia Ānanda melihat mereka mendatangi Yang Mulia Sāriputta untuk mendengarkan Dhamma. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Revata dan berkata kepadanya: “Teman Revata, orang-orang mulia itu mendatangi Yang Mulia Sāriputta untuk mendengarkan Dhamma. Mari kita juga mendatangi Yang Mulia Sāriputta untuk mendengarkan Dhamma.” – “Baik, teman,” Yang Mulia Revata menjawab. Kemudian Yang Mulia Revata dan Yang Mulia Ānanda mendatangi Yang Mulia Sāriputta untuk mendengarkan Dhamma.

4. Dari jauh Yang Mulia Sāriputta melihat kedatangan Yang Mulia Revata dan Yang Mulia Ānanda dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Silahkan Yang Mulia Ānanda datang, selamat datang kepada Yang Mulia Ānanda, pelayan Sang Bhagavā, yang selalu mendampingi Sang Bhagavā. Teman Ānanda, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah, malam ini bulan bercahaya, pepohonan sāla semuanya bermekaran, dan keharuman surgawi menguar di udara. Bhikkhu seperti apakah, teman Ānanda, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?”

“Di sini, teman [213] Sāriputta, seorang bhikkhu yang telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan menggabungkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, dan yang mengokohkan kehidupan suci yang murni dan sempurna – ajaran-ajaran seperti ini telah banyak ia pelajari, dan ia ingat, ia kuasai secara verbal, ia selidiki dengan pikiran, dan ia tembus dengan baik melalui pandangan. Dan ia mengajarkan Dhamma kepada empat kelompok dengan kalimat-kalimat dan kata-kata yang benar dan masuk akal untuk melenyapkan kecenderungan tersembunyi.  Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

5. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Revata: “Teman Revata, Yang Mulia Ānanda telah mengungkapkan sesuai inspirasinya.  Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Revata: teman Revata, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah, malam ini bulan bercahaya, pepohonan sāla semuanya bermekaran, dan keharuman surgawi menguar di udara. Bhikkhu seperti apakah, teman Revata, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?”

“Di sini, teman Sāriputta, seorang bhikkhu bergembira dalam meditasi terasing dan senang dalam meditasi terasing; ia menekuni ketenangan pikiran internal, tidak mengabaikan meditasi, memiliki pandangan terang, dan berdiam dalam gubuk kosong.  Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

6.  Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Anuruddha: “Teman Anuruddha, Yang Mulia Revata telah mengungkapkan sesuai inspirasinya. Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Anuruddha: teman Anuruddha, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah … Bhikkhu seperti apakah, teman Anuruddha, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?”

“Di sini, teman Sāriputta, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, seorang bhikkhu mengamati seribu dunia. Seperti halnya seseorang yang memiliki penglihatan yang baik, ketika ia naik ke kamar atas istana, dapat mengamati seribu roda kereta, demikian pula, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, seorang bhikkhu mengamati seribu dunia.  Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

7.  Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Mahā Kassapa: “Teman Kassapa, Yang Mulia Anuruddha telah mengungkapkan sesuai inspirasinya. Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Mahā Kassapa: teman Kassapa, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah … Bhikkhu seperti apakah, teman Kassapa, [214] yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?”

“Di sini, teman Sariputta, seorang bhikkhu adalah penghuni hutan dan memuji kediaman di dalam hutan; ia adalah seorang yang memakan makanan yang didanakan dan memuji perbuatan memakan makanan yang didanakan; ia adalah seorang pemakai jubah dari kain yang dibuang dan memuji perbuatan mengenakan jubah dari kain yang dibuang; ia adalah seorang yang mengenakan tiga jubah dan memuji perbuatan mengenakan tiga jubah;  ia memiliki keinginan yang sedikit dan memuji keinginan yang sedikit; ia merasa puas dan memuji kepuasan; ia mengasingkan diri dan memuji keterasingan; ia jauh dari pergaulan dan memuji perbuatan menjauhi pergaulan; ia bersemangat dan memuji perbuatan membangkitkan semangat: ia telah mencapai moralitas dan memuji pencapaian moralitas; ia telah mencapai konsentrasi dan memuji pencapaian konsentrasi; ia telah mencapai kebijaksanaan dan memuji pencapaian kebijaksanaan; ia telah mencapai kebebasan dan memuji pencapaian pkebebasan; ia telah mencapai pengetahuan dan penglihatan akan kebebasan dan memuji pencapaian pengetahuan dan penglihatan akan pkebebasan. Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

8. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Mahā Moggallāna: “Teman Moggallāna, Yang Mulia Mahā Kassapa telah mengungkapkan sesuai inspirasinya. Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Mahā Moggallāna: teman Moggallāna, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah … Bhikkhu seperti apakah, teman Moggallāna, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?”

“Di sini, teman Sāriputta, dua orang bhikkhu terlibat dalam pembicaraan mengenai Dhamma yang lebih tinggi  dan saling mempertanyakan satu sama lain, dan masing-masing ditanya oleh jawaban pihak lain tanpa menjatuhkan, dan pembicaraan mereka berlanjut sesuai dengan Dhamma. Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

9. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahā Moggallāna berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Teman Sāriputta, kami semua telah mengungkapkan sesuai inspirasi kami. Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta: teman Sāriputta, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah, malam ini bulan bercahaya, pepohonan sāla semuanya bermekaran, dan keharuman surgawi menguar di udara. Bhikkhu seperti apakah, teman Sāriputta, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?”

“Di sini, teman Moggallāna, seorang bhikkhu menguasai pikirannya, ia tidak membiarkan pikirannya menguasainya. Di pagi hari ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apapun yang ingin ia [215] diami selama pagi hari; di siang hari ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apapun yang ingin ia diami selama siang hari; di malam hari ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apapun yang ingin ia diami selama malam hari. Misalkan seorang raja atau menteri raja memiliki selemari penuh pakaian beraneka warna. Di pagi hari ia akan mengenakan pakaian apapun yang ingin ia kenakan di pagi hari; di siang hari ia akan mengenakan pakaian apapun yang ingin ia kenakan di siang hari; di malam hari ia akan mengenakan pakaian apapun yang ingin ia kenakan di malam hari. Demikian pula, seorang bhikkhu menguasai pikirannya, ia tidak membiarkan pikirannya menguasainya. Di pagi hari … di siang hari … di malam hari ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apapun yang ingin ia diami selama malam hari. Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

10. Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para mulia itu: “Teman-teman, kita semua telah mengungkapkan sesuai inspirasi kita. Mari kita menghadap Sang Bhagavā dan melaporkan persoalan ini kepada Beliau. Sebagaimana Sang Bhagavā menjawab, demikianlah kita harus mengingatnya.” – “Baik, teman,” mereka menjawab. Kemudian para mulia itu menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi. Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā.

11. “Yang Mulia, Yang Mulia Revata dan Yang Mulia Ānanda mendatangiku untuk mendengarkan Dhamma. Dari jauh aku melihat mereka datang dan [216] berkata kepada Yang Mulia Ānanda: ‘Silahkan Yang Mulia Ānanda datang, selamat datang kepada Yang Mulia Ānanda … Teman Ānanda, Hutan pohon Sāla Gosinga sungguh indah … Bhikkhu seperti apakah, teman Ānanda, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?’ ketika ditanya demikian, Yang Mulia, Yang Mulia Ānanda menjawab: ‘Di sini, teman Sāriputta, seorang bhikkhu telah banyak belajar … (seperti pada §4) … Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.’”

“Bagus, bagus, Sāriputta. Sesungguhnya, Ānanda memang harus berkata seperti yang ia katakan. Karena Ānanda telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan menggabungkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, dan yang mengokohkan kehidupan suci yang murni dan sempurna – ajaran-ajaran seperti ini telah banyak ia pelajari, dan ia ingat, ia kuasai secara verbal, ia selidiki dengan pikiran, dan ia tembus dengan baik melalui pandangan. Dan ia mengajarkan Dhamma kepada empat kelompok dengan kalimat-kalimat dan kata-kata yang benar dan masuk akal untuk melenyapkan kecenderungan tersembunyi.”

12. “Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia, Aku berkata kepada Yang Mulia Revata: ‘Teman Revata … Bhikkhu seperti apakah, yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?’ dan Yang Mulia Revata menjawab: ‘Di sini, teman Sāriputta, seorang bhikkhu bergembira dalam meditasi terasing … (seperti pada §5) … Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.

“Bagus, bagus, Sāriputta. Sesungguhnya, Revata memang harus berkata seperti yang ia katakan. Karena Revata bergembira dalam meditasi terasing, senang dalam meditasi terasing, menekuni ketenangan pikiran internal, tidak mengabaikan meditasi, memiliki pandangan terang, dan berdiam dalam gubuk kosong.” [217]

13. “Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia, Aku berkata kepada Yang Mulia Anuruddha: ‘Teman Anuruddha … Bhikkhu seperti apakah yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?’ dan Yang Mulia Anuruddha menjawab: ‘Di sini, teman Sāriputta, dengan mata dewa … (seperti pada §6) … Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.’”

“Bagus, bagus, Sāriputta. Sesungguhnya, Anuruddha memang harus berkata seperti yang ia katakan. Karena dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Anuruddha mengamati seribu dunia.”

14. “Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia, Aku berkata kepada Yang Mulia Mahā Kassapa: ‘Teman Kassapa … Bhikkhu seperti apakah yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?’ dan Yang Mulia Mahā Kassapa menjawab: ‘Di sini, teman Sāriputta, seorang bhikkhu adalah penghuni hutan … (seperti pada §7) … Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.’” [218]

“Bagus, bagus, Sāriputta. Sesungguhnya, Kassapa memang harus berkata seperti yang ia katakan. Karena Kassapa adalah seorang penghuni hutan dan memuji kediaman di dalam hutan … ia telah mencapai pengetahuan dan penglihatan akan kebebasan dan memuji pencapaian pengetahuan dan penglihatan akan kebebasan.”

15. “Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia, Aku berkata kepada Yang Mulia Mahā Moggallāna: ‘Teman Moggallāna … Bhikkhu seperti apakah yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?’ dan Yang Mulia Mahā Moggallāna menjawab: ‘Di sini, teman Sāriputta, dua orang bhikkhu terlibat dalam pembicaraan mengenai Dhamma yang lebih tinggi … (seperti pada §8) … Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.’”

“Bagus, bagus, Sāriputta. Sesungguhnya, Moggallāna memang harus berkata seperti yang ia katakan. Karena Moggallāna adalah seorang yang membicarakan Dhamma.”

16. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahā Moggallāna memberitahu Sang Bhagavā: “Kemudian, Yang Mulia, aku berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: ‘Teman Sāriputta … Bhikkhu seperti apakah yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga?’ dan Yang Mulia Sāriputta menjawab: ‘Di sini, teman Moggallāna, seorang bhikkhu menguasai pikirannya … [219] (seperti pada §9) … Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.’”

“Bagus, bagus, Moggallāna. Sesungguhnya, Sāriputta memang harus berkata seperti yang ia katakan. Karena Sāriputta menguasai pikirannya, ia tidak membiarkan pikirannya memguasainya. Di pagi hari ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apapun yang ingin ia diami selama pagi hari; di siang hari ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apapun yang ingin ia diami selama siang hari; di malam hari ia berdiam dalam kediaman atau pencapaian apapun yang ingin ia diami selama malam hari.”

17. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta bertanya kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, yang manakah di antara kami yang telah berkata dengan benar?”

“Kalian semua telah berkata dengan benar, Sāriputta, masing-masing dengan caranya masing-masing. Dengarkanlah juga dariKu bhikkhu seperti apakah yang dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga. Di sini, Sāriputta, ketika seorang bhikkhu telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ia duduk bersila, menegakkan badan, dan menegakkan perhatian di depannya, bertekad: ‘Aku tidak akan bangkit dari posisi duduk ini hingga batinku terbebas dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.’ Bhikkhu seperti itu dapat menerangi Hutan pohon Sāla Gosinga.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para mulia itu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 23 July 2010, 02:04:10 PM
33  Mahāgopālaka Sutta
Khotbah Panjang tentang Penggembala Sapi

[220] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, jika seorang penggembala sapi memiliki sebelas faktor, ia tidak akan mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi. Apakah sebelas ini? Di sini seorang penggembala sapi tidak memiliki pengetahuan akan bentuk, ia tidak terampil dalam hal karakteristik, ia gagal menyingkirkan telur lalat, ia gagal merawat luka, ia gagal mengasapi kandang, ia tidak mengetahui penyeberangan sungai, ia tidak mengetahui apa yang harus diminumkan, ia tidak mengetahui jalan, ia tidak terampil dalam hal padang rumput, ia memerah susu sampai kering, dan ia tidak menghormati para sapi yang merupakan induk dan pemimpin kelompok. Jika seorang penggembala memiliki sebelas faktor ini, ia tidak akan mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi.

3. “Demikian pula, para bhikkhu, jika seorang bhikkhu memiliki sebelas kualitas ini, maka ia tidak akan mampu tumbuh, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini. Apakah sebelas ini? Di sini seorang bhikkhu tidak memiliki pengetahuan akan bentuk, ia tidak terampil dalam hal karakteristik, ia gagal menyingkirkan telur lalat, ia gagal merawat luka, ia gagal mengasapi kandang, ia tidak mengetahui penyeberangan sungai, ia tidak mengetahui apa yang harus diminumkan, ia tidak mengetahui jalan, ia tidak terampil dalam hal padang rumput, ia memerah susu sampai kering, dan ia tidak menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha.

4. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak memiliki pengetahuan akan bentuk? Di sini seorang bhikkhu tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Segala bentuk materi dari jenis apapun terdiri dari empat unsur utama dan bentuk materi itu diturunkan dari empat unsur utama.’ Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak memiliki pengetahuan akan bentuk.

5. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal karakteristik? Di sini seorang bhikkhu tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Seorang dungu dikarakteristikkan oleh perbuatannya; seorang bijaksana dikarakteristikkan oleh perbuatannya.’ Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal karakteristik.

6. “Bagaimanakah seorang bhikkhu gagal menyingkirkan telur lalat? Di sini, ketika suatu pikiran keinginan indria muncul, seorang bhikkhu menerimanya; ia tidak meninggalkannya, tidak melenyapkannya, tidak menyingkirkannya, dan tidak memusnahkannya. Ketika suatu pikiran berniat buruk muncul ... ketika suatu pikiran kekejaman muncul ... ketika kondisi-kondisi tidak bermanfaat muncul,  seorang bhikkhu menerimanya; [221] ia tidak meninggalkannya, tidak melenyapkannya, tidak menyingkirkannya, dan tidak memusnahkannya.’ Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu gagal menyingkirkan telur lalat.

7. “Bagaimanakah seorang bhikkhu gagal merawat luka? Di sini, ketika melihat bentuk dengan mata, seorang bhikkhu menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Walaupun, ketika ia membiarkan indria mata tanpa terjaga, kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan mungkin menguasainya, ia tidak melatih jalan pengendalian, ia tidak menjaga indria mata, ia tidak menjalankan pengendalian indria mata. Ketika mendengar suara dengan telinga ... Ketika mencium bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap rasa dengan lidah ... Ketika menyentuh obyek-sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali obyek-pikiran dengan pikiran, ia menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Walaupun, ketika ia membiarkan indria pikiran tanpa terjaga, kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan mungkin menguasainya, ia tidak melatih jalan pengendalian, ia tidak menjaga indria pikiran, ia tidak menjalankan pengendalian indria pikiran. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu gagal merawat luka.

8. “Bagaimanakah seorang bhikkhu gagal mengasapi kandang? Di sini seorang bhikkhu tidak mengajarkan orang lain secara terperinci tentang Dhamma yang telah ia pelajari dan kuasai. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu gagal mengasapi kandang.

9. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak mengetahui penyeberangan sungai? Di sini seorang bhikkhu tidak dari waktu ke waktu mengunjungi para bhikkhu yang telah banyak belajar, yang menguasai tradisi, yang memelihara Dhamma, Disiplin, dan Peraturan,  dan ia tidak mempertanyakan dan tidak mengajukan pertanyaan: ‘Bagaimanakah ini, Yang Mulia, apakah artinya ini?’ para mulia ini tidak mengungkapkan kepadanya apa yang belum diungkapkan, tidak menjelaskan kepadanya apa yang belum jelas, atau tidak melenyapkan keragu-raguannya mengenai banyak hal yang ia ragukan. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak mengetahui sungai.

10. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak mengetahui apa yang harus diminumkan? Di sini, ketika Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, seorang bhikkhu tidak memperoleh inspirasi dalam makna, tidak memperoleh inspirasi dalam Dhamma, tidak memperoleh kegembiraan sehubungan dengan Dhamma.  Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak mengetahui apa yang harus diminumkan.

11. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak mengetahui jalan? Di sini seorang bhikkhu tidak memahami Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak mengetahui jalan.

12. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal padang rumput? Di sini seorang bhikkhu tidak memahami Empat Landasan Perhatian sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana [222] seorang bhikkhu tidak terampil dalam hal padang rumput.

13. “Bagaimanakah seorang bhikkhu memerah susu sampai kering? Di sini, ketika seorang perumah tangga yang berkeyakinan mengundang seorang bhikkhu untuk menerima jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan sebanyak yang ia inginkan, bhikkhu itu tidak mengetahui jumlah yang cukup dalam menerima. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu memerah susu sampai kering

14.  “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha? Di sini seorang bhikkhu tidak menjaga perbuatan jasmani cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap para bhikkhu senior; ia tidak menjaga ucapan cinta kasih terhadap mereka baik secara terbuka maupun secara pribadi; ia tidak menjaga pikiran cinta kasih terhadap mereka baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha.

“Jika seorang bhikkhu memiliki sebelas kualitas ini, maka ia tidak akan mampu tumbuh, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini.

15. “Para bhikkhu, jika seorang penggembala sapi memiliki sebelas faktor, ia akan mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi. Apakah sebelas ini? Di sini seorang penggembala sapi memiliki pengetahuan akan bentuk, ia terampil dalam hal karakteristik, ia menyingkirkan telur lalat, ia merawat luka, ia mengasapi kandang, ia mengetahui penyeberangan sungai, ia mengetahui apa yang harus diminumkan, ia mengetahui jalan, ia terampil dalam hal padang rumput, ia tidak memerah susu sampai kering, dan ia menghormati para sapi yang merupakan induk dan pemimpin kelompok. Jika seorang penggembala memiliki sebelas faktor ini, ia akan mampu menjaga dan menggiring sekelompok sapi.

16. “Demikian pula, para bhikkhu, jika seorang bhikkhu memiliki sebelas kualitas ini, maka ia akan mampu tumbuh, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini. Apakah sebelas ini? Di sini seorang bhikkhu memiliki pengetahuan akan bentuk, ia terampil dalam hal karakteristik, ia menyingkirkan telur lalat, ia merawat luka, ia mengasapi kandang, ia mengetahui penyeberangan sungai, ia mengetahui apa yang harus diminumkan, ia mengetahui jalan, ia terampil dalam hal padang rumput, ia tidak memerah susu sampai kering, dan ia menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha.

17. “Bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki pengetahuan akan bentuk? Di sini seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Segala bentuk materi dari jenis apapun terdiri dari empat [223] unsur utama dan bentuk materi itu diturunkan dari empat unsur utama.’ Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu memiliki pengetahuan akan bentuk.

18. “Bagaimanakah seorang bhikkhu terampil dalam hal karakteristik? Di sini seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Seorang dungu dikarakteristikkan oleh perbuatannya; seorang bijaksana dikarakteristikkan oleh perbuatannya.’ Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu terampil dalam hal karakteristik.

19. “Bagaimanakah seorang bhikkhu menyingkirkan telur lalat? Di sini, ketika suatu pikiran keinginan indria muncul, seorang bhikkhu tidak menerimanya; ia meninggalkannya, melenyapkannya, menyingkirkannya, dan memusnahkannya. Ketika suatu pikiran berniat buruk muncul ... ketika suatu pikiran kekejaman muncul ... ketika kondisi-kondisi tidak bermanfaat muncul, seorang bhikkhu menerimanya; ia meninggalkannya, melenyapkannya, menyingkirkannya, dan memusnahkannya.’ Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu menyingkirkan telur lalat.

20. “Bagaimanakah seorang bhikkhu merawat luka? Di sini, ketika melihat bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena jika ia membiarkan indria mata tanpa terjaga, kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan mungkin menguasainya, ia melatih jalan pengendalian, ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Ketika mendengar suara dengan telinga ... Ketika mencium bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap rasa dengan lidah ... Ketika menyentuh obyek-sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali obyek-pikiran dengan pikiran, ia tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena jika ia membiarkan indria pikiran tanpa terjaga, kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan mungkin menguasainya, ia melatih jalan pengendalian, ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu merawat luka.

21. “Bagaimanakah seorang bhikkhu mengasapi kandang? Di sini seorang bhikkhu mengajarkan orang lain secara terperinci tentang Dhamma yang telah ia pelajari dan kuasai. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengasapi kandang.

22. “Bagaimanakah seorang bhikkhu mengetahui penyeberangan sungai? Di sini seorang bhikkhu dari waktu ke waktu mengunjungi para bhikkhu yang telah banyak belajar, yang menguasai tradisi, yang memelihara Dhamma, Disiplin, dan Peraturan, dan ia mempertanyakan dan mengajukan pertanyaan: ‘Bagaimanakah ini, Yang Mulia, apakah artinya ini?’ para mulia ini mengungkapkan kepadanya apa yang belum diungkapkan, menjelaskan kepadanya apa yang belum jelas, dan melenyapkan keragu-raguannya mengenai banyak hal yang ia ragukan. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengetahui sungai.

23. “Bagaimanakah [224] seorang bhikkhu mengetahui apa yang harus diminumkan? Di sini, ketika Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, seorang bhikkhu memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan sehubungan dengan Dhamma.  Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengetahui apa yang harus diminumkan.

24. “Bagaimanakah seorang bhikkhu mengetahui jalan? Di sini seorang bhikkhu memahami Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengetahui jalan.

25. “Bagaimanakah seorang bhikkhu terampil dalam hal padang rumput? Di sini seorang bhikkhu memahami Empat Landasan Perhatian sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu terampil dalam hal padang rumput.

26. “Bagaimanakah seorang bhikkhu tidak memerah susu sampai kering? Di sini, ketika seorang perumah tangga yang berkeyakinan mengundang seorang bhikkhu untuk menerima jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan sebanyak yang ia inginkan, bhikkhu itu mengetahui jumlah secukupnya dalam menerima. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu tidak memerah susu sampai kering

27.  “Bagaimanakah seorang bhikkhu menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha? Di sini seorang bhikkhu menjaga perbuatan jasmani cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap para bhikkhu senior; ia menjaga ucapan cinta kasih terhadap mereka baik secara terbuka maupun secara pribadi; ia menjaga pikiran cinta kasih terhadap mereka baik secara terbuka maupun secara pribadi. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu menghormati para bhikkhu senior yang telah lama meninggalkan keduniawian, para ayah dan pemimpin Sangha.

“Jika seorang bhikkhu memiliki sebelas kualitas ini, maka ia akan mampu tumbuh, meningkat, dan mencapai pemenuhan dalam Dhamma dan Disiplin ini.
 
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 23 July 2010, 02:06:45 PM
34  Cūḷagopālaka Sutta
Khotbah Pendek tentang Penggembala Sapi

[225] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Vajji di Ukkācelā di tepi sungai Gangga. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, suatu ketika ada seorang penggembala sapi dari Magadha yang dungu yang, pada bulan terakhir musim hujan, musim gugur, tanpa memeriksa pantai sini atau pantai seberang sungai Gangga, menggiring sapi-sapinya menyeberang ke pantai seberang di negeri Videha pada tempat di mana tidak ada penyeberangan. Kemudian sapi-sapi itu terjebak dalam arus di tengah sungai Gangga, dan sapi-sapi itu menemui kemalangan dan bencana. Mengapakah? Karena penggembala sapi dari Magadha yang dungu itu, pada bulan terakhir musim hujan, musim gugur, tanpa memeriksa pantai sini atau pantai seberang sungai Gangga, menggiring sapi-sapinya menyeberang ke pantai seberang di negeri Videha pada tempat di mana tidak ada penyeberangan.

3. “Demikian pula, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana, yang tidak terampil dalam dunia ini dan dunia lain, tidak terampil dalam alam Māra dan apa yang di luar alam Māra, tidak terampil dalam alam Kematian dan apa yang di luar alam Kematian – itu akan menuntun menuju bencana dan penderitaan untuk waktu yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka seharusnya mendengarkan mereka dan berkeyakinan pada mereka.

4. “Para bhikkhu, suatu ketika ada seorang penggembala sapi dari Magadha yang bijaksana yang, pada bulan terakhir musim hujan, musim gugur, setelah memeriksa pantai sini dan pantai seberang sungai Gangga, menggiring sapi-sapinya menyeberang ke pantai seberang di negeri Videha pada tempat di mana terdapat penyeberangan. Ia menggiring sapi jantan, ayah dan pemimpin kelompok itu, masuk ke air pertama kali, dan mereka menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang. Berikutnya ia menggiring sapi yang kuat dan sapi yang harus dijinakkan, dan mereka juga menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang. Berikutnya ia menggiring sapi-sapi muda jantan dan betina, dan mereka juga menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang. Berikutnya ia menggiring anak-anak sapi dan sapi-sapi kecil yang lemah, dan mereka juga menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang. Pada saat itu terdapat seekor bayi sapi yang baru dilahirkan, dan dengan didorong oleh lenguhan induknya, bayi sapi itu juga menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang. Mengapakah? Karena penggembala sapi dari Magadha yang bijaksana itu, [226] pada bulan terakhir musim hujan, musim gugur, setelah memeriksa pantai sini dan pantai seberang sungai Gangga, menggiring sapi-sapinya menyeberang ke pantai seberang di negeri Videha pada tempat di mana terdapat penyeberangan.

5. “Demikian pula, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana, yang  terampil dalam dunia ini dan dunia lain, terampil dalam alam Māra dan apa yang di luar alam Māra, terampil dalam alam Kematian dan apa yang di luar alam Kematian – itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka seharusnya mendengarkan mereka dan berkeyakinan pada mereka.

6. “Para bhikkhu, seperti halnya sapi-sapi jantan, para ayah dan pemimpin kelompok, menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang, demikian pula, para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan akhir, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – dengan menyongsong arus Māra mereka telah dengan selamat sampai di pantai seberang.

7. “Bagaikan sapi yang kuat dan sapi yang harus dijinakkan menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang, demikian pula para bhikkhu yang, dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul secara spontan [di Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu - dengan menyongsong arus Māra mereka akan dengan selamat sampai di pantai seberang.

8. “Bagaikan sapi-sapi muda jantan dan betina menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang, demikian pula, para bhikkhu yang, dengan hancurnya tiga belenggu yang lebih rendah dan lemahnya nafsu, kebencian, dan kebodohan, adalah yang-kembali-sekali, dengan kembali satu kali lagi ke alam ini akan mengakhiri penderitaan - dengan menyongsong arus Māra mereka juga akan dengan selamat sampai di pantai seberang.

9. “Bagaikan anak-anak sapi dan sapi-sapi kecil yang lemah menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang, demikian pula, para bhikkhu yang, dengan hancurnya tiga belenggu yang lebih rendah, adalah para pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir di alam sengsara, pasti [mencapai kebebasan], mengarah menuju pencerahan - dengan menyongsong arus Māra mereka juga akan dengan selamat sampai di pantai seberang.

10. “Bagaikan bayi sapi yang baru dilahirkan, didorong oleh lenguhan induknya, bayi sapi itu juga menyongsong arus sungai Gangga dan dengan selamat sampai pantai seberang, demikian pula, para bhikkhu yang, adalah para pengikut-Dhamma dan pengikut-keyakinan - dengan menyongsong arus Māra mereka juga akan dengan selamat sampai di pantai seberang.

11. “Para bhikkhu, Aku [227] terampil dalam dunia ini dan dunia lain, terampil dalam alam Māra dan apa yang di luar alam Māra, terampil dalam alam Kematian dan apa yang di luar alam Kematian. Itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama bagi mereka yang berpikir bahwa mereka seharusnya mendengarkan Aku dan berkeyakinan padaKu.”

12. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Ketika Yang Sempurna telah mengatakan itu, Sang Guru berkata lebih lanjut:

   “Baik dunia ini maupun dunia lain
   Telah dijelaskan dengan baik oleh Beliau yang mengetahui,
   Dan apa yang masih dalam jangkauan Māra
   Dan apa yang di luar jangkauan Kematian.
 
   Secara langsung mengetahui semua dunia,
   Yang Tercerahkan yang memahami
   Membuka pintu menuju kondisi tanpa-kematian
   Yang melalui pintu itu Nibbāna dapat dicapai dengan selamat;

   Karena arus Māra telah disongsong sekarang,
   Arusnya dihentikan, buluh-buluhnya disingkirkan;
   Bergembiralah, para bhikkhu, dengan bersemangat
   Dan kokohkan pikiran kalian di mana keamanan berada.”
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 23 July 2010, 02:07:44 PM
35  Cūḷasaccaka Sutta
Khotbah Pendek kepada Saccaka

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip.

2. Pada saat itu Saccaka putera Nigaṇṭha sedang menetap Di Vesālī, seorang pendebat dan pembicara cerdas yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci.  ia membuat pernyataan di hadapan kumpulan orang-orang Vesālī: “Aku tidak melihat ada petapa atau brahmana, pemimpin suatu aliran, pemimpin suatu kelompok, guru dari suatu kelompok, bahkan seorang yang mengaku telah sempurna dan tercerahkan sempurna, yang tidak terguncang, menggigil, dan gemetar, dan ketiaknya berkeringat jika ia terlibat dalam perdebatan denganku. Bahkan jika aku berdebat dengan tiang yang mati, tiang itu akan terguncang, menggigil, dan gemetar jika tiang terlibat dalam perdebatan denganku, apalagi manusia?”

3. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Assaji merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan.  Ketika Saccaka putera Nigaṇṭha sedang berjalan sambil berolah raga di Vesālī, [228] dari jauh ia melihat kedatangan Yang Mulia Assaji dan mendatanginya dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, Saccaka putera Nigaṇṭha berdiri di satu sisi dan berkata kepadanya:

4. “Guru Assaji, bagaimanakah Petapa Gotama mendisiplinkan para siswaNya? Dan bagaimanakah instruksi Petapa Gotama biasanya disampaikan kepada para siswaNya?”

“Beginilah Sang Bhagavā mendisiplinkan para siswaNya, Aggivessana, dan beginilah instruksi Sang Bhagavā biasanya disampaikan kepada para siswaNya: ‘Para bhikkhu, bentuk materi adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal, persepsi adalah tidak kekal, bentukan-bentukan adalah tidak kekal, kesadaran adalah tidak kekal. Para bhikkhu, bentuk materi adalah bukan-diri, perasaan adalah bukan-diri, persepsi adalah bukan-diri, bentukan-bentukan adalah bukan-diri, kesadaran adalah bukan-diri. Segala bentukan adalah tidak kekal; segala sesuatu adalah bukan-diri.;  demikianlah Sang Bhagavā mendisiplinkan para siswaNya, dan demikianlah instruksi Sang Bhagavā biasanya disampaikan kepada para siswaNya.”

“Jika itu adalah apa yang Petapa Gotama tegaskan, kami sungguh telah mendengar apa yang tidak menyenangkan. Mungkin suatu saat kami dapat bertemu dengan Guru Gotama dan berdiskusi dengan Beliau. Mungkin kami dapat melepaskanNya dari pandangan sesat itu.”

5. Pada saat itu lima ratus Licchavi berkumpul di dalam sebuah aula pertemuan untuk suatu urusan. Kemudian Saccaka putera Nigaṇṭha mendatangi mereka dan berkata: “Marilah, para Licchavi yang baik, datanglah! Hari ini akan ada suatu perdebatan antara aku dan Petapa Gotama. Jika Petapa Gotama mempertahankan di depanku apa yang telah dipertahankan di depanku oleh salah satu siswa terkenalNya, bhikkhu bernama Assaji, maka bagaikan seorang kuat dapat mencengkeram seekor domba jantan berbulu lebat pada bulunya dan menariknya berputar, demikian pula dalam perdebatan itu aku akan menarik Petapa Gotama ke sana dan menarik Beliau ke sini dan menariknya berputar. Bagaikan seorang pembuat minuman keras yang kuat dapat melemparkan sebuah panci minuman besar ke dalam tangki air yang dalam, dan dengan memegang salah satu ujungnya, menariknya ke sana dan menariknya ke sini dan menariknya berputar, demikian pula dalam perdebatan itu aku akan menarik Petapa Gotama ke sana dan menarik Beliau ke sini dan menariknya berputar. Bagaikan seorang pengaduk minuman keras yang kuat [229] dapat memegang tepi saringan dan mengguncangnya ke bawah dan mengguncangnya ke atas dan mengguncangnya ke segala arah, demikian pula dalam perdebatan itu aku akan mengguncang Petapa Gotama ke atas dan mengguncang Beliau ke bawah dan mengguncang Beliau ke segala arah. Dan bagaikan seekor gajah berumur enam puluh tahun mencebur ke dalam kolam dan menikmati permainan mencuci rami, demikian pula aku akan menikmati permainan mencuci rami dengan Petapa Gotama.  Marilah, para Licchavi yang baik, datanglah! Hari ini akan ada suatu perdebatan antara aku dan Petapa Gotama.”

6. Kemudian beberapa Licchavi berkata: “Siapakah Petapa Gotama yang mampu membantah pernyataan Saccaka putera Nigaṇṭha? Sebaliknya, Saccaka putera Nigaṇṭha akan membantah pernyataan Petapa Gotama.” Dan beberapa Licchavi berkata: “Siapakah Saccaka putera Nigaṇṭha yang mampu membantah pernyataan Petapa Gotama? Sebaliknya, Petapa Gotama akan membantah pernyataan Saccaka putera Nigaṇṭha.” Kemudian Saccaka putera Nigaṇṭha pergi dengan lima ratus Licchavi menuju Aula Beratap Lancip.

7. Pada saat itu sejumlah bhikkhu sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Kemudian Saccaka putera Nigaṇṭha mendatangi mereka dan bertanya: “Di manakah Guru Gotama menetap saat ini, tuan-tuan? Kami ingin bertemu dengan Guru Gotama.”

“Sang Bhagavā telah pergi ke Hutan Besar, Aggivessana, dan sedang duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.”

8. Kemudian Saccaka putera Nigaṇṭha, bersama dengan banyak pengikut dari Licchavi, memasuki Hutan Besar dan menjumpai Sang Bhagavā. Ia bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, dan setelah ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi. Beberapa Licchavi bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan terhadap Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya menyebutkan nama dan suku mereka di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya berdiam diri dan duduk di satu sisi.

9. Ketika Saccaka putera Nigaṇṭha telah duduk, ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku ingin mengajukan pertanyaan kepada Guru Gotama mengenai hal tertentu, jika Guru Gotama berkenan menjawab pertanyaan ini.”

“Tanyakanlah apa yang engkau ingin tanyakan, Aggivessana.” [230]

“Bagaimanakah Guru Gotama mendisiplinkan para siswaNya? Dan bagaimanakah instruksi Guru Gotama biasanya disampaikan kepada para siswaNya?”

“Beginilah Aku mendisiplinkan para siswaKu, Aggivessana, dan beginilah instruksiKu biasanya disampaikan kepada para siswaKu: ‘Para bhikkhu, bentuk materi adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal, persepsi adalah tidak kekal, bentukan-bentukan adalah tidak kekal, kesadaran adalah tidak kekal. Para bhikkhu, bentuk materi adalah bukan-diri, perasaan adalah bukan-diri, persepsi adalah bukan-diri, bentukan-bentukan adalah bukan-diri, kesadaran adalah bukan-diri. Segala bentukan adalah tidak kekal; segala sesuatu adalah bukan-diri; demikianlah Aku mendisiplinkan para siswaKu, dan demikianlah instruksiKu  biasanya disampaikan kepada para siswaKu.”

10. “Sebuah perumpamaan muncul padaku, Guru Gotama.”

“Jelaskanlah, Aggivessana,” Sang Bhagavā berkata.

“Seperti halnya ketika benih dan tanaman, apapun jenisnya, tumbuh, berkembang, dan matang, semuanya terjadi dengan bergantung pada tanah, berlandaskan pada tanah; dan seperti halnya pekerjaan keras, apapun jenisnya, yang dilakukan, semua dilakukan dengan bergantung pada tanah, berlandaskan pada tanah – demikian pula, Guru Gotama, seseorang memiliki bentuk materi sebagai diri, dan berlandaskan pada bentuk materi itu ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki perasaan sebagai diri, dan berlandaskan pada perasaan ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki persepsi sebagai diri, dan berlandaskan pada persepsi ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki bentukan=bentukan sebagai diri, dan berlandaskan pada bentukan-bentukan ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki kesadaran sebagai diri, dan berlandaskan pada kesadaran ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan.”

11. “Aggivessana, apakah engkau mengatakan bahwa: ‘Bentuk materi adalah diriku, perasaan adalah diriku, persepsi adalah diriku, bentukan-bentukan adalah diriku, kesadaran adalah diriku.’

“Aku mengatakan demikian, Guru Gotama: ‘Bentuk materi adalah diriku, perasaan adalah diriku, persepsi adalah diriku, bentukan-bentukan adalah diriku, kesadaran adalah diriku.’ Dan demikian pula dengan banyak orang ini?”

“Apakah hubungannya banyak orang ini denganmu, Aggivessana? Mohon batasi pernyataanmu hanya pada dirimu sendiri.”

“Kalau begitu, Guru Gotama, aku mengatakan: ‘Bentuk materi adalah diriku, perasaan adalah diriku, persepsi adalah diriku, bentukan-bentukan adalah diriku, kesadaran adalah diriku.’”

12. “Maka, Aggivessana, aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai jawaban. Jawablah dengan apa yang menurutmu benar. [231] Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Apakah seorang raja agung yang sah – misalnya, Raja Pasenadi dari Kosala atau Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha – akan menjalankan kekuasaannya untuk mengeksekusi mereka yang harus dieksekusi, menghukum mereka yang harus dihukum, dan mengusir mereka yang harus diusir?”

“Guru Gotama, seorang raja agung yang sah – misalnya, Raja Pasenadi dari Kosala atau Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha – akan menjalankan kekuasaannya untuk mengeksekusi mereka yang harus dieksekusi, menghukum mereka yang harus dihukum, dan mengusir mereka yang harus diusir. Karena bahkan komunitas [oligarki]  seperti para Vajji ini para Malla menjalankan menjalankan kekuasaannya untuk mengeksekusi mereka yang harus dieksekusi, menghukum mereka yang harus dihukum, dan mengusir mereka yang harus diusir; apalagi raja mulia yang sah seperti Raja Pasenadi dari Kosala atau Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha. Ia akan menjalankannya, Guru Gotama, dan ia selayaknya menjalankannya.”

13. “Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Bentuk materi adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas bentuk materi itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah bentukku seperti demikian; biarlah bentukku tidak seperti demikian’?”  ketika hal ini dikatakan, Saccaka putera Nigaṇṭha berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya Sang Bhagavā mengajukan pertanyaan yang sama, dan untuk ke dua kalinya Saccaka putera Nigaṇṭha berdiam diri. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Aggivessana, jawablah sekarang. Sekarang bukan waktunya untuk berdiam diri. Jika siapapun, ketika ditanya dengan pertanyaan yang sewajarnya oleh Sang Tathāgata untuk ke tiga kalinya, masih tidak menjawab, maka kepalanya akan pecah menjadi tujuh keping pada saat itu dan di tempat itu juga.”

14. Pada saat itu sesosok makhluk bersenjatakan halilintar memegang sebuah halilintar besi yang terbakar, menyala dan berpijar, muncul di udara di atas Saccaka putera Nigaṇṭha, dengan berpikir: “Jika Saccaka putera Nigaṇṭha ini, ketika ditanya dengan pertanyaan yang sewajarnya oleh Sang Bhagavā sampai tiga kali, masih tidak menjawab, maka aku akan memecahkan kepalanya menjadi tujuh keping di sini dan saat ini.”  Sang Bhagavā melihat makhluk bersenjatakan halilintar itu dan demikian pula dengan Saccaka putera Nigaṇṭha. Kemudian Saccaka putera Nigaṇṭha ketakutan, gelisah, dan ngeri. [232] Untuk mencari naungan, suaka, dan perlindungan dari Sang Bhagavā, ia berkata: “Tanyakanlah padaku, Guru Gotama, aku akan menjawab.”

15. “Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Bentuk materi adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas bentuk materi itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah bentukku seperti demikian; biarlah bentukku tidak seperti demikian’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

16. “Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya, juga apa yang engkau katakan sesudahnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Perasaan adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas perasaan itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah perasaanku seperti demikian; biarlah perasaanku tidak seperti demikian’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

17. “Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya, juga apa yang engkau katakan sesudahnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Persepsi adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas persepsi itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah persepsiku seperti demikian; biarlah persepsiku tidak seperti demikian’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

18. “Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya, juga apa yang engkau katakan sesudahnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Bentukan-bentukan adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas bentukan-bentukan itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah bentukan-bentukanku seperti demikian; biarlah bentukan-bentukanku tidak seperti demikian’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

19. “Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya, juga apa yang engkau katakan sesudahnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Kesadaran adalah diriku,’ apakah engkau menjalankan kekuasaan apapun atas kesadaran itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah kesadaranku seperti demikian; biarlah kesadaranku tidak seperti demikian’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

20. “Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya, juga apa yang engkau katakan sesudahnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana, apakah bentuk materi adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Guru Gotama.” – “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Guru Gotama.” – “Apakah yang merupakan penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap: ‘Ini milikku, ini aku, [233] ini diriku’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

“Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Apakah perasaan kekal atau tidak kekal? ... Apakah persepsi kekal atau tidak kekal? ... Apakah bentukan-bentukan kekal atau tidak kekal? ... Apakah kesadaran kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Guru Gotama.” – “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Guru Gotama.” – “Apakah yang merupakan penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

21. “Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika seseorang terikat pada penderitaan, mendatangi penderitaan, menggenggam penderitaan, dan menganggap penderitaan sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Dapatkah ia sepenuhnya memahami penderitaan oleh dirinya sendiri atau berdiam dengan penderitaan yang dihancurkan secara total?”

“Bagaimana mungkin, Guru Gotama? Tidak, Guru Gotama.”

*“Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Kalau begitu, apakah engkau tidak terikat pada penderitaan, mendatangi penderitaan, menggenggam penderitaan, dan menganggap penderitaan sebagai: ‘ini milikku, ini aku, ini diriku.’

“Bagaimana aku tidak, Guru Gotama? Benar, Guru Gotama.”*

22. “Ini seperti seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, membawa kapak tajam dan memasuki hutan, dan di sana ia melihat sebatang pohon pisang besar, lurus, muda, tanpa tandan buah. Kemudian ia menebangnya pada akarnya, memotong pucuknya, dan mengelupas pelepah daunnya; tetapi ketika ia terus mengelupasi pelepah daunnya, ia tidak menemukan bahkan kayu lunaknya, apalagi inti kayu. Demikian pula, Aggivessana, ketika engkau ditekan, ditanya, dan didebat olehKu mengenai pernyataanmu sendiri, engkau terbukti, kosong, hampa, dan keliru. Tetapi adalah engkau yang membuat pernyataan ini di depan para penduduk Vesālī: ‘Aku tidak melihat ada petapa atau brahmana, pemimpin suatu aliran, pemimpin suatu kelompok, guru dari suatu kelompok, bahkan seorang yang mengaku telah sempurna dan tercerahkan sempurna, yang tidak terguncang, menggigil, dan gemetar, dan ketiaknya berkeringat jika ia terlibat dalam perdebatan denganku. Bahkan jika aku berdebat dengan tiang yang mati, tiang itu akan terguncang, menggigil, dan gemetar jika tiang terlibat dalam perdebatan denganku, apalagi manusia?’ sekarang ada butiran keringat di keningmu dan keringat itu telah membasahi jubah atasmu dan menetes ke tanah. Tetapi tidak ada keringat pada tubuhKu saat ini.” Dan Sang Bhagavā membuka tubuhnya yang berwarna keemasan di depan kelompok itu. [234] Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putera Nigaṇṭha duduk diam, dengan bahu terkulai dan kepala tertunduk, muram, dan tanpa reaksi.

23. Kemudian Dummukha, putera Licchavi, melihat Saccaka putera Nigaṇṭha dalam keadaan demikian, berkata kepada Sang Bhagavā: “Sebuah perumpamaan muncul padaku, Guru Gotama.”

“Jelaskanlah, Dummukha.”

“Misalkan, Yang Mulia, tidak jauh dari sebuah desa atau pemukiman terdapat sebuah kolam dengan seekor kepiting di dalamnya. Dan kemudian sekelompok anak-anak laki-laki dan perempuan pergi dari pemukiman atau desa itu menuju kolam tersebut, masuk ke air, dan menarik kepiting itu keluar dari air dan meletakkannya di atas tanah kering. Dan ketika kepiting itu menjulurkan kakinya, mereka memotongnya, mematahkannya, dan memukulnya dengan tongkat dan batu, sehingga kepiting itu dengan semua kakinya putus, patah, dan hancur, tidak mampu kembali ke kolam seperti sebelumnya. Demikian pula, semua dalih, geliat, dan kebimbangan Saccaka putera Nigaṇṭha telah diputuskan, dipatahkan, dan dihancurkan oleh Sang Bhagavā, dan sekarang ia tidak mampu berada di dekat Sang Bhagavā lagi untuk berdebat.”

24. Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putera Nigaṇṭha berkata kepadanya: “Tunggu, Dummukha, tunggu! Kami tidak berbicara denganmu, di sini kami sedang berbicara dengan Guru Gotama.”

[Kemudian ia berkata:] “Biarlah pembicaraan kita, Guru Gotama. Seperti halnya para petapa dan brahmana biasa, hanya sekadar obrolan santai, aku pikir. Tetapi bagaimanakah seorang siswa Petapa Gotama menjadi seorang yang melaksanakan instruksi Beliau, yang menanggapi nasihat Beliau, yang telah melampaui keragu-raguan, menjadi bebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada orang lain dalam Pengajaran Sang Guru?”

“Di sini, Aggivessana, segala jenis bentuk materi apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang siswaKu melihat segala bentuk materi sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ [235] Segala jenis perasaan apapun ... Segala jenis persepsi apapun ... Segala jenis bentukan-bentukan apapun ... Segala jenis kesadaran apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang siswaKu melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Dengan cara inilah seorang siswaKu menjadi seorang yang melaksanakan instruksiKu, yang menanggapi nasihatKu, yang telah melampaui keragu-raguan, menjadi bebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada orang lain dalam Pengajaran Sang Guru.”

Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 24 July 2010, 01:43:44 PM
25. “Guru Gotama, Bagaimanakah seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan, seorang yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir?”

“Di sini, Aggivessana, segala jenis bentuk materi apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang bhikkhu telah melihat segala bentuk materi sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Dan melalui ketidak-melekatan ia terbebaskan. Segala jenis perasaan apapun ... Segala jenis persepsi apapun ... Segala jenis bentukan-bentukan apapun ... Segala jenis kesadaran apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang bhikkhu telah melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Dan melalui ketidak-melekatan ia terbebaskan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan, seorang yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir.

26. “Ketika pikiran seorang bhikkhu terbebaskan demikian, ia memiliki tiga kualitas yang tidak terlampaui: penglihatan yang tidak terlampaui, praktik sang jalan yang tidak terlampaui, dan kebebasan yang tidak terlampaui.  Ketika seorang bhikkhu terbebaskan demikian, ia masih menghormati, menghargai, dan memuliakan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā telah tercerahkan dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk mencapai pencerahan. Sang Bhagavā telah jinak dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk menjinakkan diri sendiri. Sang Bhagavā dalam kondisi damai dan Beliau mengajarkan Dhamma demi kedamaian. Sang Bhagavā telah menyeberang dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk menyeberang. Sang Bhagavā telah mencapai Nibbāna dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk mencapai Nibbāna.’”

27. Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putera Nigaṇṭha [236] menjawab: “Guru Gotama, kami sungguh berani dan lancang berpikir bahwa kami dapat menyerang Guru Gotama dalam perdebatan. Seseorang dapat menyerang seekor gajah gila dan selamat, namun ia tidak dapat menyerang Guru Gotama dan selamat. Seseorang dapat menyerang kobaran api yang menyala-nyala dan selamat, namun ia tidak dapat menyerang Guru Gotama dan selamat. Seseorang dapat menyerang seekor ular berbisa yang mengerikan dan selamat, namun ia tidak dapat menyerang Guru Gotama dan selamat. kami sungguh berani dan lancang berpikir bahwa kami dapat menyerang Guru Gotama dalam perdebatan.

“Sudilah Sang Bhagavā bersama dengan Sangha para bhikkhu menyetujui untuk menerima persembahan makanan dariku besok.” Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri.

28. Kemudian, mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah menyetujui, Saccaka putera Nigaṇṭha berkata kepada para Licchavi: “Dengarkan aku, para Licchavi. Petapa gotama bersama dengan Sangha para bhikkhu telah menerima undanganku untuk makan besok. Kalian boleh membawa kepadaku apapun yang kalian anggap layak untuk Beliau.”

29. Kemudian, ketika malam berakhir, para Licchavi membawa lima ratus hidangan upacara berupa nasi susu sebagai persembahan makanan. Kemudian Saccaka putera Nigaṇṭha mempersiapkan makanan-makanan baik berbagai jenis di tamannya sendiri dan pada waktunya mengumumkan kepada Sang Bhagavā: “Sudah waktunya, Guru Gotama, makanan telah siap.”

30. Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubahnya, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarNya, Beliau pergi bersama Sangha para bhikkhu menuju taman Saccaka putera Nigaṇṭha dan duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Saccaka putera Nigaṇṭha melayani dan memuaskan Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Bhagavā dengan berbagai jenis makanan baik. Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menggeser mangkuknya ke samping, Saccaka putera Nigaṇṭha mengambil tempat duduk yang rendah, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, semoga jasa dan buah kebajikan dari persembahan ini adalah demi kebahagiaan si pemberi.”

“Aggivessana, apapun yang dihasilkan dari tindakan memberi kepada penerima seperti engkau – seorang yang belum terbebas dari nafsu, belum terbebas dari kebencian, belum terbebas dari kebodohan – [237] itu adalah untuk si pemberi. Dan apapun yang dihasilkan dari tindakan memberi kepada penerima seperti Aku – seorang yang telah terbebas dari nafsu, terbebas dari kebencian, terbebas dari kebodohan – itu adalah untuk engkau.”
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 24 July 2010, 01:45:08 PM
36  Mahāsaccaka Sutta
Khotbah Panjang kepada Saccaka

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip.

2. Pada saat itu, di pagi hari, Sang Bhagavā telah merapikan jubah dan telah mengambil mangkuk dan jubah luarnya, hendak memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan.

3. Kemudian, ketika Saccaka putera Nigaṇṭha sedang berjalan sambil berolah-raga, ia tiba di Aula Beratap Lancip di Hutan Besar.  Dari jauh Yang Mulia Ānanda melihat kedatangannya dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Saccaka putera Nigaṇṭha, seorang pendebat dan pembicara yang cerdas yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci, sedang datang ke sini. Ia ingin mendiskreditkan Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Baik sekali jika Bhagavā sudi duduk sebentar demi belas kasihan.”  Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Saccaka putera Nigaṇṭha mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

4. “Guru Gotama, terdapat beberapa petapa dan brahmana yang berdiam dengan menjalani pengembangan jasmani, tetapi bukan pengembangan batin.  Mereka tersentuh oleh perasaan sakit jasmani. Di masa lalu, jika seseorang tersentuh oleh perasaan sakit jasmani, maka pahanya menjadi kaku, jantungnya pecah, darah panas menyembur dari mulutnya, dan ia akan menjadi gila, kehilangan akal sehatnya. Karenanya batin tunduk pada jasmani, jasmani menguasai batin. Mengapakah? [238] Karena batin tidak dikembangkan. Tetapi terdapat beberapa petapa dan brahmana yang berdiam dengan menjalani pengembangan batin, tetapi bukan pengembangan jasmani. Mereka tersentuh oleh perasaan sakit batin. Di masa lalu, jika seseorang tersentuh oleh perasaan sakit batin, maka pahanya menjadi kaku, jantungnya pecah, darah panas menyembur dari mulutnya, dan ia akan menjadi gila, kehilangan akal sehatnya. Karenanya jasmani tunduk pada batin, batin menguasai jasmani. Mengapakah? Karena jasmani tidak dikembangkan. Guru Gotama, aku berpikir: ‘Para siswa Guru Gotama pasti berdiam dengan menjalani pengembangan batin, tetapi bukan pengembangan jasmani.’”

5. “Tetapi, Aggivessana, apakah yang telah engkau pelajari tentang pengembangan jasmani?”

“Ada, misalnya, Nanda Vaccha, Kisa Sankicca, Makkhali Gosāla.  Mereka bepergian dengan telanjang, melanggar kebiasaan, menjilat tangan mereka, tidak datang ketika diminta, tidak berhenti ketika diminta; mereka tidak menerima makanan yang diserahkan atau tidak menerima makanan yang secara khusus dipersiapkan dan tidak menerima undangan makan; mereka tidak menerima dari kendi, dari mangkuk, melintasi ambang pintu, terhalang tongkat kayu, terhalang alat penumbuk, dari dua orang yang sedang makan bersama, dari perempuan hamil, dari perempuan yang sedang menyusui, dari perempuan yang sedang berbaring bersama laki-laki, dari mana terdapat pengumuman pembagian makanan, dari mana seekor anjing sedang menunggu, dari mana lalat beterbangan; mereka tidak menerima ikan atau daging, mereka tidak meminum minuman keras, anggur, atau minuman fermentasi. Mereka mendatangi satu rumah, satu suap; mereka mendatangi dua rumah, dua suap; … mereka mendatangi tujuh rumah, tujuh suap. Mereka makan satu mangkuk sehari, dua mangkuk sehari … tujuh mangkuk sehari. Mereka makan sekali dalam sehari, sekali dalam  dua hari … sekali dalam tujuh hari, dan seterusnya hingga sekali setiap dua minggu; mereka berdiam dengan menjalani praktik makan pada interval waktu yang telah ditentukan.”

6. “Tetapi apakah mereka bertahan hidup dengan sedemikian sedikit, Aggivessana?”

“Tidak, Guru Gotama, kadang-kadang mereka memakan makanan padat yang baik, memakan makanan lunak yang baik, mengecap makanan-makanan lezat, meminum minuman-minuman yang baik. Karenanya mereka memperoleh kembali kesehatan mereka, memperkuat mereka, dan menjadi gemuk.”

“Apa yang mereka tinggalkan sebelumnya, Aggivessana, belakangan mereka kumpulkan lagi. Itu adalah bagaimana terdapat peningkatan dan penurunan dalam jasmani ini. Tetapi apakah engkau sudah mempelajari tentang pengembangan batin?” [239]

Ketika Saccaka putera Nigaṇṭha ditanya oleh Sang Bhagavā tentang pengembangan batin, ia tidak mampu menjawab.

7. Kemudian Sang Bhagavā memberitahunya: “Apa yang baru saja engkau katakan sebagai pengembangan jasmani, Aggivessana, bukanlah pengembangan jasmani menurut Dhamma dalam Disiplin Yang Mulia. Karena engkau tidak mengetahui apakah pengembangan jasmani itu, bagaimana mungkin engkau mengetahui apakah pengembangan batin itu? Meskipun demikian, sehubungan dengan bagaimana seseorang tidak yang terkembang dalam jasmani dan tidak terkembang dalam batin, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia,” Saccaka putera Nigaṇṭha menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

8. “Bagaimanakah, Aggivessna, seorang yang tidak terkembang dalam jasmani dan tidak terkembang dalam batin? Di sini, Aggivessana, perasaan menyenangkan muncul dalam diri seorang biasa yang tidak terpelajar. Tersentuh oleh perasaan menyenangkan itu, ia menginginkan kesenangan itu dan terus-menerus menginginkan kesenangan itu. Perasaan menyenangkan itu lenyap. Dengan lenyapnya perasaan menyenangkan itu, perasaan menyakitkan muncul. Tersentuh oleh perasaan menyakitkan itu, ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ketika perasaan menyenangkan itu muncul, perasaan itu menyerbu pikirannya dan menetap di sana karena jasmaninya tidak terkembang. Dan ketika perasaan menyakitkan itu muncul, perasaan itu menyerbu pikirannya dan menetap di sana karena batinnya tidak terkembang. Siapapun yang dalam dirinya, dalam kedua kasus ini, perasaan menyenangkan yang muncul menyerbu pikirannya dan menetap di sana karena jasmaninya tidak terkembang, dan perasaan menyakitkan yang muncul menyerbu pikirannya dan menetap di sana karena batinnya tidak terkembang, demikianlah yang disebut tidak terkembang dalam jasmani dan tidak terkembang dalam batin.

9. “Dan bagaimanakah, Aggivessana, seorang yang terkembang dalam jasmani dan terkembang dalam batin? Di sini, Aggivessana, perasaan menyenangkan muncul dalam diri seorang siswa mulia yang terpelajar. Tersentuh oleh perasaan menyenangkan itu, ia tidak menginginkan kesenangan itu atau tidak terus-menerus menginginkan kesenangan itu. Perasaan menyenangkan itu lenyap. Dengan lenyapnya perasaan menyenangkan itu, perasaan menyakitkan muncul. Tersentuh oleh perasaan menyakitkan itu, ia tidak berdukacita, tidak bersedih, dan tidak meratap, ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ketika perasaan menyenangkan itu muncul, perasaan itu tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana karena jasmaninya terkembang. Dan ketika perasaan menyakitkan itu muncul, perasaan itu tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana karena batinnya  terkembang. Siapapun yang dalam dirinya, dalam kedua kasus ini, perasaan menyenangkan yang muncul [240] tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana karena jasmaninya terkembang, dan perasaan menyakitkan yang muncul tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana karena batinnya terkembang, demikianlah yang disebut terkembang dalam jasmani dan terkembang dalam batin.”

10. “Aku berkeyakinan pada Guru Gotama sebagai berikut: ‘Guru Gotama terkembang dalam jasmani dan terkembang dalam batin.’”

“Aggivessana, kata-katamu menyindir dan kasar, namun Aku akan tetap menjawabnya. Sejak Aku mencukur rambut dan janggutKu, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, tidaklah mungkin perasaan menyenangkan yang muncul dapat menyerbu pikiranKu dan menetap di sana atau perasaan menyakitkan yang muncul dapat menyerbu pikiranKu dan menetap di sana.”

11. “Tidak pernahkah muncul pada Guru Gotama suatu perasaan yang begitu menyenangkan sehingga dapat menyerbu pikiran Beliau dan menetap di sana? Tidak pernahkah muncul pada Guru Gotama suatu perasaan yang begitu menyakitkan sehingga dapat menyerbu pikiran Beliau dan menetap di sana? “

12. “Mengapa tidak, Aggivessana?  Di sini, Aggivessana, sebelum pencerahanKu, ketika Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang tidak tercerahkan, Aku berpikir: ‘Kehidupan rumah tangga ramai dan berdebu; kehidupan meninggalkan keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi menjalani kehidupan rumah tangga, juga menjalankan kehidupan suci yang sempurna dan murni bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika Aku mencukur rambut dan janggutKu, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.’

13-16. “Kemudian, selagi masih mudah, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam tahap utama kehidupan ... (seperti pada Sutta 26, §§14-17) ... Dan Aku duduk di sana berpikir: ‘Ini akan membantu usaha.’

17. “Sekarang ketiga perumpamaan ini muncul padaKu secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya. Misalkan terdapat sebatang kayu basah terletak di dalam air, dan seseorang datang dengan sebatang kayu-api, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.’ Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkan kayu api dengan kayu basah yang terletak di dalam air?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapa tidak? Karena kayu itu adalah kayu basah, [241] dan terletak di dalam air. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang masih belum hidup dengan jasmani yang terasing dari kenikmatan indria, dan yang keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria belum sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal, bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi; dan bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu tidak merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi. Ini adalah perumpamaan pertama yang muncul padaku secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya.

18. “Kemudian, Aggivessana, perumpamaan ke dua muncul padaKu secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya. Misalkan terdapat sebatang kayu basah terletak di atas tanah kering yang jauh dari air, dan seseorang datang dengan sebatang kayu-api, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.’ Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkan kayu api dengan kayu basah yang terletak di atas tanah kering yang jauh dari air?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapa tidak? Karena kayu itu adalah kayu basah, bahkan walaupun kayu itu terletak di atas tanah kering yang jauh dari air. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang masih hidup dengan jasmani yang terasing dari kenikmatan indria,  tetapi keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria belum sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal, bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi; dan bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu tidak merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi. Ini adalah perumpamaan ke dua yang muncul padaku secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya.

19. “Kemudian, Aggivessana, perumpamaan ke tiga muncul padaKu [242] secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya. Misalkan terdapat sebatang kayu kering terletak di atas tanah kering yang jauh dari air, dan seseorang datang dengan sebatang kayu-api, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.’ Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkan kayu api dengan kayu kering yang terletak di atas tanah kering yang jauh dari air?”

“Dapat, Guru Gotama. Mengapa? Karena kayu itu adalah kayu kering, dan kayu itu terletak di atas tanah kering yang jauh dari air.”

“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang masih hidup dengan jasmani yang terasing dari kenikmatan indria, dan yang keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria telah sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal, bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi; dan bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu tidak merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi.  Ini adalah perumpamaan ke tiga yang muncul padaku secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya. Ini adalah tiga perumpamaan yang muncul padaku secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya.

20.  “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika, dengan mengertakkan gigiku dan menekan lidahku ke langit-langit mulutku, aku menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran.’ Maka dengan gigiku dikertakkan dan lidahku menekan langit-langit mulut, aku menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran. Sewaktu aku melakukan demikian, keringat menetes dari ketiakKu. Bagaikan seorang kuat mampu mencengkeram seorang yang lebih lemah pada kepala atau bahunya dan menekannya, mendesaknya, dan menggilasnya, demikian pula, gigiku terkatup dan lidahku menekan langit-langit mulut, aku menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran, dan keringat menetes dari ketiakKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhku kelelahan [243] dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.

21. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut dan hidungKu. Sewaktu Aku melakukan demikian, terdengar suara angin yang keras menerobos keluar dari lubang telingaKu. Bagaikan suara keras yang terdengar ketika pipa pengembus pandai besi ditiup, demikian pula, sewaktu aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui hidup dan telingaKu, terdengar suara angin yang keras menerobos keluar dari lubang telingaKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.

22. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas lebih jauh lagi.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku. Ketika Aku melakukan demikian, angin kencang menembus kepalaKu. Seolah-olah seorang kuat memecahkan kepalaKu dengan pedang tajam, demikian pula, sewaktu Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku. Angin kencang menembus kepalaKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.

23. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas lebih jauh lagi.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku. Ketika Aku melakukan demikian, Aku merasakan kesakitan luar biasa di kepalaKu. Seolah-olah seorang kuat [244] mengencangkan tali kulit di kepalaku sebagai ikat kepala, demikian pula, ketika Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku, Aku merasakan kesakitan luar biasa di kepalaKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.

24. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas lebih jauh lagi.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku. Ketika Aku melakukan demikian, angin kencang menerobos keluar melalui perutKu. Bagaikan seorang tukang daging yang terampil atau muridnya membelah perut seekor sapi dengan pisau daging yang tajam, demikian pula, sewaktu Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku, angin kencang menerobos keluar melalui perutKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.

25. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas lebih jauh lagi.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku. Ketika Aku melakukan demikian, Aku merasakan kebakaran hebat di seluruh tubuhKu. Bagaikan dua orang kuat mencengkeram seseorang yang lebih lemah pada kedua lengannya dan memanggangnya di atas lubang membara, demikian pula, sewaktu Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku, Aku merasakan kebakaran hebat di seluruh tubuhKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 24 July 2010, 01:47:18 PM
26. “Ketika [245] para dewa melihatKu, beberapa berkata: ‘Petapa Gotama telah mati.’ Beberapa dewa lain berkata: ‘Petapa Gotama tidak mati, Beliau sekarat.’ Dan para dewa lainnya lagi berkata: ‘Petapa Gotama tidak mati  ataupun sekarat; Beliau adalah seorang Arahant, karena demikianlah cara para Arahant berdiam.’

27. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika aku berlatih sepenuhnya tidak makan.’ Kemudian para dewa mendatangiKu dan berkata: ‘Tuan, jangan berlatih sepenuhnya tidak makan. Jika Engkau melakukan hal itu, kami akan memasukkan makanan surgawi ke dalam pori-pori kulitMu dan Engkau akan hidup dengan itu.’ Aku mempertimbangkan: ‘Jika Aku mengaku sepenuhnya tidak makan sementara para dewa ini memasukkan makan-makanan surgawi ke dalam pori-pori kulitku dan Aku akan hidup dengan itu, maka artinya Aku berbohong.’ Maka aku mengusir para dewa itu, dan berkata: ‘Tidak perlu.’

28. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku memakan sangat sedikit makanan, segenggam setiap kalinya, apakah sop kacang atau sop kacang tanah atau sop kacang hijau atau sop kacang polong.’ Maka Aku memakan sangat sedikit makanan segenggam setiap kalinya, apakah sop kacang atau sop kacang tanah atau sop kacang hijau atau sop kacang polong. Sewaktu Aku melakukan demikian, tubuhKu menjadi sangat kurus. Karena makan begitu sedikit anggota-anggota tubuhku menjadi seperti tanaman merambat atau batang bambu. Karena makan begitu sedikit punggungku menjadi seperti kuku onta. Karena makan begitu sedikit tonjolan tulang punggungku menonjol bagaikan untaian tasbih. Karena makan begitu sedikit tulang rusukKu menonjol karena kurus seperti kasau dari sebuah lumbung tanpa atap. Karena makan begitu sedikit bola mataKu masuk jauh ke dalam lubang mata, terlihat seperti kilauan air yang jauh di dalam sumur yang dalam. Karena makan begitu sedikit kulit kepalaKu mengerut dan layu bagaikan [246] buah labu pahit yang mengerut dan layu oleh angin dan matahari. Karena makan begitu sedikit kulit perutku menempel pada tulang punggungKu; sedemikian sehingga jika Aku menyentuh kulit perutKu maka akan tersentuh tulang punggungKu, dan jika Aku menyentuh tulang punggungKu maka akan tersentuh kulit perutKu. Karena makan begitu sedikit, jika Aku mencoba menyamankan diriKu dengan memijat badanKu dengan tanganKu, maka bulunya, tercabut pada akarnya, berguguran dari badanKu ketika Aku menggosoknya.

29. “Saat itu ketika orang-orang melihatKu, beberapa berkata: ‘Petapa Gotama hitam.’ Orang lain berkata: ‘Petapa Gotama tidak hitam, Beliau cokelat. Orang lain lagi berkata: ‘Petapa Gotama bukan hitam juga bukan cokelat, ia berkulit keemasan.’ Kulitku yang bersih dan cerah menjadi sangat kusam karena makan sangat sedikit.

30. “Aku berpikir: ‘Para petapa atau brahmana manapun di masa lampau telah mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk Karena usaha ini, ini adalah yang terjauh, tidak ada yang melampaui ini. Dan para petapa atau brahmana manapun di masa depan akan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk Karena usaha ini, ini adalah yang terjauh, tidak ada yang melampaui ini. Dan para petapa atau brahmana manapun di masa sekarang mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk Karena usaha ini, ini adalah yang terjauh, tidak ada yang melampaui ini. Tetapi melalui latihan keras yang menyiksa ini Aku tidak mencapai kondisi melampaui manusia apapun, keluhuran apapun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Apakah ada jalan lain menuju pencerahan?”

31. “Aku mempertimbangkan: ‘Aku ingat ketika ayahKu orang Sakya yang berkuasa, sewaktu Aku sedang duduk di keteduhan pohon jambu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.  Mungkinkah itu adalah jalan menuju pencerahan?’ kemudian, dengan mengikuti ingatan itu, muncullah pengetahuan: ‘Itu adalah jalan menuju pencerahan.’

32. “Aku berpikir: ‘Mengapa [247] Aku takut pada kenikmatan itu yang tidak berhubungan dengan kenikmatan indria dan kondisi-kondisi tidak bermanfaat?’ Aku berpikir: ‘Aku tidak takut pada kenikmatan itu karena tidak berhubungan dengan kenikmatan indria dan kondisi-kondisi tidak bermanfaat.’

33. “Aku mempertimbangkan: ‘Tidaklah mudah untuk mencapai kenikmatan demikian dengan badan yang sangat kurus. Bagaimana jika Aku memakan sedikit makanan padat – sedikit nasi dan bubur.’ Dan Aku memakan sedikit makanan padat – sedikit nasi dan bubur. Pada saat itu lima bhikkhu melayaniku, dengan berpikir: ‘Jika Petapa Gotama kita mencapai kondisi yang lebih tinggi, Beliau akan memberitahu kita.’ Tetapi ketika Aku memakan nasi dan bubur, kelima bhikkhu itu menjadi jijik dan meninggalkan Aku, dengan berpikir: ‘Petapa Gotama sekarang hidup dalam kemewahan; ia telah meninggalkan usahaNya dan kembali pada kemewahan.’

34. “Ketika Aku telah memakan sedikit makanan padat dan memperoleh kembali kekuatanKu, maka dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu pikiranku dan tidak menetap di sana.

35-37. “Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... Dengan meluruhnya kegembiraan ... Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Dengan  meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ... Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu pikiranku dan tidak menetap di sana.

38. “Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, [248] Aku mengarahkannya pada pengetahuan perenungan kehidupan lampau. Aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 4, §27) … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya Aku mengingat banyak kehidupan lampau.

39. “Ini adalah pengetahuan sejati pertama yang dicapai olehKu pada jaga pertama malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu pikiranku dan tidak menetap di sana.

40. “Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk  … (seperti Sutta 4, §29) … Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka.

41. “Ini adalah pengetahuan sejati ke dua yang dicapai olehKu pada jaga ke dua malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, [249] kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu pikiranku dan tidak menetap di sana.

42. “Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

43. “Ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, pikiranKu terbebas dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘terbebaskan.’ Aku secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

44. “Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang dicapai olehKu pada jaga ke tiga malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu pikiranku dan tidak menetap di sana.

45. “Aggivessana, Aku ingat pernah mengajarkan Dhamma kepada ratusan kelompok. Mungkin tiap-tiap orang berpikir: ‘Petapa Gotama sedang mengajarkan Dhamma secara khusus untukku.’ Tetapi jangan dianggap demikian; Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepada orang lain hanya untuk memberikan pengetahuan kepada mereka. Ketika pembabaran itu selesai, Aggivessana, kemudian Aku mengokohkan pikiranKu secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengkonsentrasikannya pada gambaran yang sama dengan gambaran konsentrasi sebelumnya, yang mana Aku berdiam di dalamnya secara terus-menerus.”

“Ini adalah suatu hal yang mana Guru Gotama dapat dipercaya, karena Beliau adalah Yang Sempurna dan Tercerahkan Sempurna. Tetapi apakah Guru Gotama ingat pernah tertidur di siang hari?”

46. “Aku ingat, Aggivessana, di bulan terakhir musim panas, ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan Aku menggelar jubah luarku yang dilipat empat, dan berbaring pada sisi kananKu, Aku jatuh tertidur dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan.”

“Beberapa petapa dan brahmana menyebutnya kediaman dalam kebodohan, Guru Gotama.” [250]

“Bukanlah demikian seseorang itu bodoh atau tidak bodoh, Aggivessana. Sehubungan dengan bagaimana seseorang itu bodoh atau tidak bodoh, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia.” Saccaka putera Nigaṇṭha menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

47. “Ia Kusebut bodoh, Aggivessana, yang belum meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, yang memberikan kesulitan, yang matang dalam kesengsaraan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; karena adalah dengan tidak-meninggalkan noda-noda maka seseorang menjadi bodoh. Ia Kusebut tidak bodoh, yang telah meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, yang memberikan kesulitan, yang matang dalam kesengsaraan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; karena adalah dengan meninggalkan noda-noda maka seseorang menjadi tidak bodoh. Sang Tathāgata, Aggivessana, telah meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, yang memberikan kesulitan, yang matang dalam kesengsaraan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, telah menyingkirkannya sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan. Seperti halnya sebatang pohon palem yang pucuknya dipotong tidak akan mampu tumbuh lagi, demikian pula, Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-noda yang mengotori ... menyingkirkannya sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan.”

 48. Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putera Nigaṇṭha berkata: “Sungguh menakjubkan, Guru Gotama, sungguh mengagumkan bagaimana ketika Guru Gotama menerima kata-kata sindiran lagi dan lagi, diserang oleh ucapan yang tidak sopan, warna kulitNya menjadi cerah dan raut wajahnya jernih, seperti yang seharusnya diharapkan dari seorang yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Aku ingat, Guru Gotama, ketika terlibat perdebatan dengan Pūraṇa Kassapa, dan kemudian ia berbicara berbelit-belit, mengalihkan permbicaraan, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Tetapi ketika Guru Gotama menerima kata-kata sindiran lagi dan lagi, diserang oleh ucapan yang tidak sopan, warna kulitNya menjadi cerah dan raut wajahnya jernih, seperti yang seharusnya diharapkan dari seorang yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Aku ingat, Guru Gotama, ketika terlibat perdebatan dengan Makkhali Gosāla ... Ajita Kesakambalin ... Pakudha Kaccāyana ... Sañjaya Belaṭṭhiputta ... Nigaṇṭha Nātaputta, [251] dan berbicara berbelit-belit, mengalihkan permbicaraan, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Tetapi ketika Guru Gotama menerima kata-kata sindiran lagi dan lagi, diserang oleh ucapan yang tidak sopan, warna kulitNya menjadi cerah dan raut wajahnya jernih, seperti yang seharusnya diharapkan dari seorang yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Dan sekarang, Guru Gotama, kami pergi. Kami sibuk dan banyak hal yang harus kami lakukan.”

“Sekarang adalah waktunya, Aggivessana, untuk melakukan apa yang engkau anggap baik.”

Kemudian Saccaka putera Nigaṇṭha, dengan merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya dan pergi.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 24 July 2010, 01:49:32 PM
37  Cūḷataṇhāsankhaya Sutta
Khotbah Pendek tentang
Hancurnya Keinginan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Taman Timur, di Istana ibunya Migāra.

2. Kemudian Sakka, penguasa para dewa, mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah memberi hormat kepada Beliau, ia berdiri di satu sisi dan bertanya: “Yang Mulia, bagaimanakah secara ringkas seorang bhikkhu terbebaskan dalam hancurnya keinginan, seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, keamanan tertinggi dari belenggu, kehidupan suci tertinggi, tujuan tertinggi, seorang yang terkemuka di antara para dewa dan manusia?”

3. “Di sini, penguasa para dewa, seorang bhikkhu telah mendengar bahwa tidak ada yang layak dilekati. Ketika seorang bhikkhu telah mendengar bahwa tidak ada yang layak dilekati, ia secara langsung sepenuhnya mengetahui segala sesuatu; setelah sepenuhnya mengetahui segala sesuatu, ia sepenuhnya memahami segala sesuatu; setelah sepenuhnya memahami segala sesuatu, apapun perasaan yang ia rasakan, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam perasaan-perasaan itu, merenungkan peluruhannya, merenungkan lenyapnya, merenungkan pelepasannya. Dengan merenungkan demikian, ia tidak melekat pada apapun di dunia. Ketika ia tidak melekat, ia tidak terganggu. Ketika ia tidak terganggu, ia secara pribadi mencapai Nibbāna.  [252] Ia memahami: ‘’Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Secara ringkas, dengan cara inilah, penguasa para dewa, bahwa seorang bhikkhu terbebaskan dalam hancurnya keinginan, seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, keamanan tertinggi dari belenggu, kehidupan suci tertinggi, tujuan tertinggi, seorang yang terkemuka di antara para dewa dan manusia.

4. Kemudian Sakka, penguasa para dewa, merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dan dengan Beliau di sisi kanannya, ia lenyap seketika.

5. Pada saat itu Yang Mulia Mahā Moggallāna sedang duduk tidak jauh dari Sang Bhagavā. Kemudian ia mempertimbangkan: “Apakah makhluk itu menembus makna dari kata-kata Sang Bhagavā ketika ia bergembira, ataukah tidak? Bagaimana jika aku mencari tahu apakah ia memahami atau tidak.”

6. Kemudian, bagaikan seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Yang Mulia Mahā Moggallāna lenyap dari Istana ibunya Migāra di Taman Timur dan muncul di antara para dewa Tiga Puluh Tiga.

7. Pada saat itu Sakka, penguasa para dewa, memiliki seratus yang terdiri dari lima jenis musik surgawi, dan ia sedang menikmatinya di Taman Rekreasi Teratai Tunggal. Ketika dari jauh ia melihat kedatangan Yang Mulia Mahā Moggallāna, ia membubarkan musiknya, mendatangi Yang Mulia Mahā Moggallāna, dan berkata kepadanya: “Marilah, Tuan Moggallāna, karena engkau berkesempatan untuk datang ke sini. Silahkan duduk, Tuan Moggallāna; tempat duduk telah disiapkan.”

Yang Mulia Mahā Moggallāna duduk di tempat yang telah disediakan, dan Sakka mengambil tempat duduk yang rendah dan duduk di satu sisi. Yang Mulia Mahā Moggallāna kemudian bertanya kepadanya:

8. “Kosiya,  bagaimanakah Sang Bhagavā menjelaskan kepadamu secara ringkas mengenai kebebasan dalam hancurnya keinginan? Baik sekali jika kami juga mendengarkan pernyataan itu.”

“Tuan Moggallāna yang baik, kami sangat sibuk, kami harus melakukan banyak urusan, tidak hanya dengan urusan kami, tetapi juga dengan urusan para dewa Tiga Puluh Tiga. Selain itu, Tuan Moggallāna, apa yang telah didengar, diketahui, [253] diperhatikan, diingat, telah lenyap seketika. Tuan Moggallāna, pernah terjadi perang antara para dewa dan para raksasa.  Dalam peperangan itu para dewa menang dan para raksasa kalah. Ketika aku telah memenangkan perang itu dan kembali dari sana sebagai penakluk, aku membangun Istana Vejayanta. Tuan Moggallāna yang baik, Istana Vejayanta memiliki seratus menara, dan tiap-tiap menara memiliki tujuh ratus kamar, dan masing-masing kamar dihuni oleh tujuh bidadari, dan tiap-tiap bidadari memiliki tujuh pelayan. Sudikah engkau melihat Istana Vejayanta yang indah ini, Tuan Moggallāna yang baik?” Yang Mulia Mahā Moggallāna menyetujui dengan berdiam diri.

9. Kemudian Sakka, penguasa para dewa, dan Raja Dewa Vessavaṇa  berjalan menuju Istana Vejayanta, mempersilahkan Yang Mulia Mahā Moggallāna berjalan di depan. Ketika dari jauh para palayan Sakka melihat kedatangan Yang Mulia Mahā Moggallāna, mereka menjadi malu dan masuk ke kamarnya masing-masing. Seperti halnya seorang menantu perempuan yang malu ketika melihat ayah mertuanya, demikian pula, para pelayan Sakka ketika melihat kedatangan Yang Mulia Mahā Moggallāna, mereka menjadi malu dan masuk ke kamarnya masing-masing.

10. Kemudian Sakka, penguasa para dewa, dan Raja Dewa Vessavaṇa mempersilahkan Yang Mulia Mahā Moggallāna berjalan dan menjelajahi Istana Vejayanta: “Lihatlah, Tuan Moggallāna yang baik, Istana Vejayanta yang indah ini! Lihatlah, Tuan Moggallāna yang baik, Istana Vejayanta yang indah ini!!”

“Itu adalah pujian kepada Yang Mulia Kosiya sebagai seseorang yang sebelumnya telah melakukan jasa; dan ketika manusia melihat apapun yang indah, mereka mengatakan: Tuan, itu adalah pujian kepada para dewa Tiga Puluh Tiga!’ itu adalah pujian kepada Yang Mulia Kosiya sebagai seseorang yang sebelumnya telah melakukan jasa.”

11. Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna mempertimbangkan sebagai berikut: “Makhluk-makhluk ini hidup dengan sangat lalai. Bagaimana jika aku membangkitkan dorongan spiritual dalam dirinya?” kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna melakukan keajaiban dengan kekuatan batinnya sehingga dengan ujung jari kakinya ia membuat Istana Vejayanta bergoyang, berguncang dan bergetar.  [254] Sakka dan Raja Dewa Vessavaṇa dan para dewa Tiga Puluh Tiga merasa kagum dan takjub, dan mereka berkata: “Tuan, sungguh mengagumkan, sungguh menakjubkan, kekuatan apakah yang dimiliki oleh petapa itu, sehingga dengan ujung jari kakinya ia membuat Istana alam surga ini, berguncang dan bergetar!”

12. Ketika Yang Mulia Mahā Moggallāna mengetahui bahwa Sakka, penguasa para dewa, telah tergerak oleh dorongan spiritual dengan bulu badannya berdiri, ia bertanya kepadanya: “Kosiya, bagaimanakah Sang Bhagavā menjelaskan kepadamu secara ringkas mengenai kebebasan dalam hancurnya keinginan? Baik sekali jika kami juga mendengarkan pernyataan itu.”

“Tuan Moggallāna yang baik, aku mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah memberi hormat kepada Beliau, aku berdiri di satu sisi dan berkata: ‘Yang Mulia, … [seperti pada §2] … para dewa dan manusia?’ Ketika hal ini dikatakan, Tuan Moggallāna yang baik, Sang Bhagavā memberitahuku: ‘Di sini, penguasa para dewa … [seperti pada §3] … para dewa dan manusia.’ Demikianlah bagaimana Sang Bhagavā menjelaskan kepadaku secara ringkas mengenai kebebasan dalam hancurnya keinginan, Tuan Moggallāna.”

13. Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sakka, penguasa para dewa. [255] Kemudian, bagaikan seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, ia lenyap dari antara para dewa Tiga Puluh Tiga dan muncul di Taman Timur di Istana ibunya Migāra.

14. Kemudian, segera setelah Yang Mulia Mahā Moggallāna pergi, para pelayan Sakka, penguasa para dewa, bertanya kepadanya: “Tuan, apakah itu gurumu, Sang Bhagavā?” – “Bukan, Teman-teman, itu bukan guruku, Sang Bhagavā. Dia adalah temanku dalam kehidupan suci, Yang Mulia Mahā Moggallāna.”  – “Tuan, suatu keuntungan bagimu bahwa temanmu dalam kehidupan suci memiliki kekuatan dan kesaktian seperti tu. Oh, betapa lebih saktinya Sang Bhagavā, gurumu!”

15. Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Beliau: “Yang Mulia, apakah Bhagavā ingat pernah menjelaskan secara ringkas – kepada makhluk dewa terkenal yang memiliki banyak pengikut – mengenai kebebasan dalam hancurnya keinginan?”

“Aku ingat, Moggallāna, di sini Sakka, penguasa para dewa mendatangiKu, dan setelah memberi hormat kepadaKu, ia berdiri di satu sisi dan bertanya: ‘Yang Mulia, bagaimanakah secara ringkas seorang bhikkhu terbebaskan dalam hancurnya keinginan, seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, keamanan tertinggi dari belenggu, kehidupan suci tertinggi, tujuan tertinggi, seorang yang terkemuka di antara para dewa dan manusia?’ Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahunya: ‘Di sini, penguasa para dewa, seorang bhikkhu telah mendengar bahwa tidak ada yang layak dilekati. Ketika seorang bhikkhu telah mendengar bahwa tidak ada yang layak dilekati, ia secara langsung sepenuhnya mengetahui segala sesuatu; setelah sepenuhnya mengetahui segala sesuatu, ia sepenuhnya memahami segala sesuatu; setelah sepenuhnya memahami segala sesuatu, apapun perasaan yang ia rasakan, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam perasaan-perasaan itu, merenungkan peluruhannya, merenungkan lenyapnya, merenungkan pelepasannya. Dengan merenungkan demikian, ia tidak melekat pada apapun di dunia. Ketika ia tidak melekat, ia tidak terganggu. Ketika ia tidak terganggu, ia secara pribadi mencapai Nibbāna. Ia memahami: ‘‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, [256] apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Secara ringkas, dengan cara inilah, penguasa para dewa, bahwa seorang bhikkhu terbebaskan dengan hancurnya keinginan, seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, keamanan tertinggi dari belenggu, kehidupan suci tertinggi, tujuan tertinggi, seorang yang terkemuka di antara para dewa dan manusia.” Demikianlah Aku ingat pernah menjelaskan secara ringkas kepada Sakka, penguasa para dewa, mengenai kebebasan dalam hancurnya keinginan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Mahā Moggallāna merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 24 July 2010, 01:50:46 PM
38  Mahātaṇhāsankhaya Sutta
Khotbah Panjang tentang
Hancurnya Keinginan

(SITUASI)

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di  Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu suatu pandangan sesat telah muncul pada seorang bhikkhu bernama Sāti, putera seorang nelayan, sebagai berikut: “Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.” 

3. Beberapa bhikkhu, setelah mendengar hal ini, mendatangi Bhikkhu Sāti dan bertanya kepadanya: “Teman Sāti, benarkah bahwa suatu pandangan sesat telah muncul padamu?”

“Demikianlah, teman-teman. Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.”

Kemudian para bhikkhu itu, berniat untuk melepaskannya dari pandangan sesat itu, menekan dan mempertanyakan dan mendebatnya sebagai berikut: “Teman Sati, jangan berkata seperti itu. Jangan salah memahami Sang Bhagavā. Tidaklah baik salah memahami Sang Bhagavā. Sang Bhagavā tidak mengatakan demikian. Karena dalam banyak khotbah Sang Bhagavā telah menjelaskan bahwa kesadaran adalah muncul bergantungan, [257] jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran.”

Namun walaupun ditekan dan dipertanyakan dan didebat oleh para bhikkhu ini, Bhikkhu Sāti, putera seorang nelayan, masih dengan keras kepala melekat pada pandangan sesat itu dan terus mempertahankannya.

4. Karena para bhikkhu tidak mampu melepaskannya dari pandangan sesat itu, mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud, mereka duduk di satu sisi dan memberitahukan semua yang telah terjadi, dan menambahkan: “Yang Mulia, karena kami tidak mampu melepaskan Bhikkhu Sāti, putera seorang nelayan, dari pandangan sesatnya, maka kami melaporkan persoalan ini kepada Sang Bhagavā.”

5. Kemudian Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu: “Pergilah, [258] bhikkhu, beritahu BHikkhu Sāti, putera seorang nelayan atas namaKu bahwa Sang Guru memanggilnya.” – “Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan ia mendatangi Bhikkhu Sāti dan memberitahunya: Sang Guru memanggilmu, Teman Sāti.”

“Baik, teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā kemudian bertanya kepadanya: “Sāti, benarkah bahwa suatu pandangan sesat telah muncul padamu: ‘Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.”

“Demikianlah, Yang Mulia. Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.”

“Apakah kesadaran itu, Sāti?”

“Yang Mulia, itu adalah apa yang berbicara dan merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk.”

“Orang sesat, dari siapakah engkau pernah mengetahui bahwa Aku mengajarkan Dhamma seperti itu? Orang sesat, dalam banyak khotbah bukankah Aku menjelaskan bahwa kesadaran adalah muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran? Tetapi engkau, orang sesat, telah salah memahami kami dengan pandangan salahmu dan melukai dirimu sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaanmu untuk waktu yang lama.”

6. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah Bhikkhu Sāti, putera seorang nelayan, telah menyalakan bahkan sepercik kebijaksanaan dalam Dhamma dan Disiplin ini?”

“Bagaimana mungkin, Yang Mulia? Tidak, Yang Mulia.”

Ketika hal ini dikatakan, Bhikkhu Sāti, putera seorang nelayan, duduk diam, cemas, dengan bahu terkulai dan kepala menunduk, muram dan tidak bereaksi. Kemudian, mengetahui hal ini, Sang Bhagavā memberitahunya: “Orang sesat, engkau akan dikenal dengan pandangan salahmu sendiri. Aku akan menanyai para bhikkhu sehubungan dengan hal ini.”

7. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, apakah kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti yang dipahami oleh Bhikkhu Sāti ini, [259] putera seorang nelayan, ketika ia salah memahami kita dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan?”

“Tidak, Yang Mulia. Karena dalam banyak khotbah Sang Bhagavā telah menyebutkan bahwa kesadaran muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran.”

“Bagus, para bhikkhu, bagus sekali bahwa kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti demikian. Karena dalam banyak khotbah Aku telah menyebutkan bahwa kesadaran muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran. Tetapi Bhikkhu Sāti ini, putera seorang nelayan, salah memahami kita dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaan orang sesat ini untuk waktu yang lama.

(KONDISIONALITAS KESADARAN)

8. “Para bhikkhu, kesadaran dikenali dengan kondisi tertentu yang dengan bergantung padanya maka kesadaran muncul. Ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, maka dikenal sebagai kesadaran-mata; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, maka dikenal sebagai kesadaran-telinga; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, [260] maka dikenal sebagai kesadaran-hidung; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, maka dikenal sebagai kesadaran-lidah; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada badan dan obyek-sentuhan, maka dikenal sebagai kesadaran-badan; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada pikiran dan obyek-obyek pikiran, maka dikenal sebagai kesadaran-pikiran. Seperti halnya api yang dikenali dengan kondisi tertentu yang dengan bergantung padanya maka api itu membakar – ketika api membakar dengan bergantung pada kayu gelondongan, maka dikenal sebagai api kayu gelondongan; ketika api membakar dengan bergantung pada kayu bakar, maka dikenal sebagai api kayu bakar; ketika api membakar dengan bergantung pada rumput, maka dikenal sebagai api rumput; ketika api membakar dengan bergantung pada kotoran sapi, maka dikenal sebagai api kotoran sapi; ketika api membakar dengan bergantung pada sekam, maka dikenal sebagai api sekam; ketika api membakar dengan bergantung pada sampah, maka dikenal sebagai api sampah – demikian pula, kesadaran dikenali dengan kondisi tertentu yang dengan bergantung padanya maka kesadaran muncul.  Ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, maka dikenal sebagai kesadaran-mata … ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada pikiran dan obyek-obyek pikiran, maka dikenal sebagai kesadaran-pikiran.

(PERTANYAAN UMUM TENTANG PENJELMAAN)

9. “Para bhikkhu, apakah kalian melihat: ‘Ini telah muncul’?”  – “Ya, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, apakah kalian melihat: ‘asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?” – “Ya, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, apakah kalian melihat: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apa yang telah muncul itu juga akan lenyap’?” – “Ya, Yang Mulia.”

10. “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan muncul jika seseorang tidak meyakini: ‘Apakah ini telah muncul?” - “Ya, Yang Mulia.” - “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan muncul jika seseorang tidak meyakini: ‘Apakah asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?” - “Ya, Yang Mulia.” - “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan muncul jika seseorang tidak meyakini: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apakah yang telah muncul itu juga akan lenyap’?” - “Ya, Yang Mulia.”

11. “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan ditinggalkan pada seseorang yang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Ini telah muncul’?” - “Ya, Yang Mulia.” - “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan ditinggalkan pada seseorang yang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?” – “Ya, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan ditinggalkan pada seseorang yang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka yang telah muncul itu juga akan lenyap’?” – “Ya, Yang Mulia.”

12. “Para bhikkhu, apakah kalian bebas dari keragu-raguan di sini: ‘Ini telah muncul’?” - “Ya, Yang Mulia.” - “Para bhikkhu, apakah kalian bebas dari keragu-raguan di sini: ‘asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?” – “Ya, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, apakah kalian bebas dari keragu-raguan di sini: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apa yang telah muncul itu juga akan lenyap’?” – “Ya, Yang Mulia.”

13. “Para bhikkhu, apakah telah terlihat jelas sebagaimana adanya oleh kalian dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘Ini telah muncul’?” - “Ya, Yang Mulia.” - “Para bhikkhu, apakah telah terlihat jelas sebagaimana adanya oleh kalian dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘asal mulanya muncul dengan itu sebagai makanan’?” – “Ya, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, apakah telah terlihat jelas sebagaimana adanya oleh kalian dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apa yang telah muncul itu juga akan lenyap’?” – “Ya, Yang Mulia.”

14. “Para bhikkhu, sungguh murni dan cerah pandangan ini, jika kalian melekat padanya, memujanya, sangat menghargainya, dan memperlakukannya sebagai harta, maka apakah kalian dapat memahami Dhamma yang telah Kuajarkan dalam perumpamaan rakit, sebagai bertujuan untuk menyeberang, bukan bertujuan untuk digenggam?”  – “Tidak, Yang Mulia.” - “Para bhikkhu, sungguh murni dan cerah pandangan ini, [261] jika kalian tidak melekat padanya, tidak memujanya, tidak sangat menghargainya, dan tidak memperlakukannya sebagai harta, maka apakah kalian dapat memahami Dhamma yang telah Kuajarkan dalam perumpamaan rakit, sebagai bertujuan untuk menyeberang, bukan bertujuan untuk digenggam?” – “Ya, Yang Mulia.”

(MAKANAN DAN KEMUNCULAN BERGANTUNGAN)

15. “Para bhikkhu, terdapat empat jenis makanan ini untuk memelihara makhluk-makhluk yang telah muncul dan untuk menyokong mereka yang sedang mencari kehidupan baru. Apakah empat ini? Yaitu: makanan fisik sebagai makanan, kasar atau halus; kontak sebagai yang ke dua; kehendak pikiran sebagai yang ke tiga; dan kesadaran sebagai yang ke empat.

16. “Sekarang, para bhikkhu, keempat jenis makanan ini memiliki apakah sebagai sumbernya, apakah sebagai asal-mulanya, dari apakah munculnya dan dihasilkan? Keempat jenis makanan ini memiliki keinginan sebagai sumbernya, keinginan sebagai asal-mulanya; muncul dan dihasilkan dari keinginan. Dan keinginan ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Keinginan memiliki perasaan sebagai sumbernya … Dan perasaan ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Perasaan memiliki kontak sebagai sumbernya … Dan kontak ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Kontak  memiliki enam landasan sebagai sumbernya … Dan enam landasan ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Enam landasan memiliki batin-jasmani sebagai sumbernya … Dan batin-jasmani memiliki apakah sebagai sumbernya …? Batin-jasmani memiliki kesadaran sebagai sumbernya … Dan kesadaran ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Kesadaran memiliki bentukan-bentukan sebagai sumbernya … Dan bentukan-bentukan ini memiliki apakah sebagai sumbernya, apakah sebagai asal-mulanya, dari apakah munculnya and dihasilkan? Bentukan-bentukan memiliki kebodohan sebagai sumbernya, kebodohan sebagai asal-mulanya; muncul dan dihasilkan dari kebodohan.

(PENJELASAN TENTANG KEMUNCULAN DALAM URUTAN MAJU)

17, “Maka, para bhikkhu, dengan kebodohan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan [muncul]; dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani; dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan; dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan; dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan, kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

(PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG MUNCULNYA DALAM URUTAN MUNDUR)

18. “’Dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah penuaan dan kematian memiliki kelahiran sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Penuaan dan kematian memiliki kelahiran sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian.’”

“’Dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah kelahiran memiliki penjelmaan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Kelahiran memiliki penjelmaan sebagai kondisi, [262] Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran.’”

“’Dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah penjelmaan memiliki kemelekatan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Penjelmaan memiliki kemelekatan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan.’”

“’Dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah kemelekatan memiliki keinginan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Kemelekatan memiliki keinginan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan.’”

“’Dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah keinginan memiliki perasaan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Keinginan memiliki perasaan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan.’”

“’Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah perasaan memiliki kontak sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Perasaan memiliki kontak sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan.’”

“’Dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah kontak memiliki enam landasan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Kontak memiliki enam landasan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak.’”

“’Dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah enam landasan memiliki batin-jasmani sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Enam landasan memiliki batin-jasmani sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan.’”

“’Dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah batin-jasmani memiliki kesadaran sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Batin-jasmani memiliki kesadaran sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani.’”

“’Dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah kesadaran memiliki bentukan-bentukan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Kesadaran memiliki bentukan-bentukan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran.’”

“’Dengan kebodohan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah bentukan-bentukan memiliki kebodohan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Bentukan-bentukan memiliki kebodohan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kebodohan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan.’”

(KESIMPULAN TENTANG MUNCULNYA)

19. “Bagus, para bhikkhu, kalian mengatakan demikian, dan Aku juga mengatakan demikian: ‘Dengan adanya ini, maka itu ada; [263] dengan munculnya ini, maka muncul pula itu.’  Yaitu, dengan kebodohan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan [muncul]; dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani; dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan; dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan; dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

(PENJELASAN TENTANG LENYAPNYA DALAM URUTAN MAJU)

20. “Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya kebodohan maka lenyap pula bentukan-bentukan; dengan lenyapnya bentukan-bentukan, lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, lenyap pula batin-jasmani; dengan lenyapnya batin-jasmani, lenyap pula enam landasan; dengan lenyapnya enam landasan, lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, lenyap pula keinginan; dengan lenyapnya keinginan, lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 24 July 2010, 01:52:55 PM
(PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG LENYAPNYA DALAM URUTAN MUNDUR)

21. “’Dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah penuaan dan kematian lenyap dengan lenyapnya kelahiran atau tidak, atau begaimanakah kalian memahaminya dalam  kasus ini?”

“Penuaan dan kematian lenyap dengan lenyapnya kelahiran, Yang Mulia. Demikianlah kami memahaminya dalam kasus ini:’Dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian.’”

“’Dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran’ … ‘Dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan’ … ‘Dengan lenyapnya keinginan, maka lenyap pula kemelekatan’ … Dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula keinginan’ … ‘Dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan’ [264] … ‘Dengan lenyapnya enam landasan, maka lenyap pula kontak’ … ‘Dengan lenyapnya batin-jasmani, maka lenyap pula enam landasan’ … ‘Dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula batin-jasmani’ … ‘Dengan lenyapnya bentukan-bentukan, maka lenyap pula kesadaran’ … ’Dengan lenyapnya kebodohan, maka lenyap pula bentukan-bentukan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, para bhikkhu, apakah bentukan-bentukan lenyap dengan lenyapnya kebodohan atau tidak, atau begaimanakah kalian memahaminya dalam  kasus ini?”

“Bentukan-bentukan lenyap dengan lenyapnya kebodohan, Yang Mulia. Demikianlah kami memahaminya dalam kasus ini:’Dengan lenyapnya kebodohan, maka lenyap pula bentukan-bentukan.’”

(KESIMPULAN TENTANG LENYAPNYA)

22. “Bagus, para bhikkhu, kalian mengatakan demikian, dan Aku juga mengatakan demikian: ‘Dengan tidak adanya ini, maka itu tidak ada; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu.’ Yaitu, dengan lenyapnya kebodohan, maka lenyap pula bentukan-bentukan; dengan lenyapnya bentukan-bentukan, maka lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula batin-jasmani; dengan lenyapnya batin-jasmani, maka lenyap pula enam landasan; dengan lenyapnya enam landasan, maka lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula keinginan; dengan lenyapnya keinginan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

(PENGETAHUAN PRIBADI)

23. “Para bhikkhu, dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, [265] akankah kalian kembali ke masa lampau sebagai berikut: ‘Apakah kami ada di masa lampau? Apakah kami tidak ada di masa lampau? Apakah kami di masa lampau? Bagaimanakah kami di masa lampau? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah kami di masa lampau?’?” – “Tidak, Yang Mulia.” - “Dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian pergi ke masa depan sebagai berikut: ‘Apakah kami akan ada di masa depan? Apakah kami akan tidak ada di masa depan? Apakah kami di masa depan? Bagaimanakah kami di masa depan? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah kami di masa depan?’?” – “Tidak, Yang Mulia.” - “Dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian kebingungan dalam batin mengenai masa sekarang sebagai berikut: ‘Adakah aku? Tidak adakah aku? Apakah aku? Bagaimanakah aku? Dari mana makhluk ini datang? Kemanakah makhluk ini akan pergi?’?” – “Tidak, Yang Mulia.”

24. “Para bhikkhu, dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian mengatakan sebagai berikut: ‘Kami menghormati Sang Guru. Kami berbicara sesuai apa yang kami lakukan demi hormat kami kepada Sang Guru’?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian mengatakan sebagai berikut: ‘Petapa itu mengatakan hal ini, dan kami mengatakan demikian sesuai perintah petapa itu’?”  – “Tidak, Yang Mulia.” – “Dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian kembali pada pelaksanaan, perdebatan, dan tanda-tanda keberuntungan dari para petapa dan brahmana biasa, menganggapnya sebagai inti [dari kehidupan suci]?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Apakah kalian mengatakan hanya apa yang kalian telah ketahui, telah lihat, dan telah pahami bagi diri kalian sendiri?” – “Ya, Yang Mulia.”

25. “Bagus, para bhikkhu. Maka kalian telah dituntun olehKu dengan Dhamma, yang terlihat di sini dan saat ini, efektif segera, mengundang untuk diselidiki, mengarah maju, untuk dialami oleh para bijaksana untuk diri mereka sendiri. Karena sehubungan dengan hal ini telah dikatakan: ‘Para bhikkhu, Dhamma ini terlihat di sini dan saat ini,  efektif segera, mengundang untuk diselidiki, mengarah maju, untuk dialami oleh para bijaksana untuk diri mereka sendiri.’

(LINGKARAN KEHIDUPAN: KEHAMILAN HINGGA DEWASA)

26. “Para bhikkhu, kehamilan janin dalam rahim terjadi melalui perpaduan tiga hal.  Di sini, ada perpaduan ibu dan ayah, tetapi saat itu bukan musim kesuburan ibu, dan tidak ada kehadiran gandhabba  - dalam kasus ini tidak ada [266] kehamilan janin dalam rahim. Di sini, ada perpaduan ibu dan ayah, dan saat itu adalah musim kesuburan ibu, tetapi tidak ada kehadiran gandhabba - dalam kasus ini juga tidak ada kehamilan janin dalam rahim. Tetapi jika ada perpaduan ibu dan ayah, dan saat itu adalah musim kesuburan ibu, dan ada kehadiran gandhabba, melalui perpaduan ketiga hal ini  maka kehamilan janin dalam rahim terjadi.

27. “Sang ibu kemudian memelihara janin dalam rahimnya selama sembilan atau sepuluh bulan dengan banyak kesusahan, sebagai beban berat. Kemudian, di akhir sembilan atau sepuluh bulan, sang ibu melahirkan dengan banyak kesusahan, sebagai beban berat. Kemudian, ketika si anak lahir, sang ibu memberinya makan dengan darahnya sendiri; karena susu ibu disebut darah dalam Disiplin Yang Mulia.

28. “Ketika anak itu tumbuh dan indrianya matang, anak itu memainkan permainan-permainan seperti alat membajak mainan, melempar kayu, berjungkir-balik, kincir angin mainan, alat ukur mainan, kereta mainan, dan busur dan anak panah mainan.

29. “Ketika anak itu tumbuh dan indrianya matang [lebih jauh lagi], pemuda itu menikmati lima utas kenikmatan indria, dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu.

(KELANJUTAN LINGKARAN)

30. “Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, ia menginginkannya jika bentuk itu menyenangkan; ia tidak menginginkannya jika bentuk itu tidak menyenangkan. Ia berdiam dengan perhatian pada jasmani tidak ditegakkan, dengan pikiran terbatas, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan di mana kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa. Masuk ke dalam apa yang disukai maupun tidak disukai, apapun perasaan yang ia rasakan – apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – ia bergembira dalam perasaan itu, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya.  Sewaktu ia melakukan hal itu, kegembiraan muncul dalam dirinya. Sekarang kegembiraan dalam perasaan adalah kemelekatan. Dengan kemelekatannya sebagai kondisi, maka penjelmaan [muncul]; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Ketika mendengar suatu suara dengan telinga … Ketika mencium suatu bau dengan hidung … Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Ketika menyentuh suatu obyek sentuhan dengan badan … Ketika mengenali suatu obyek pikiran dengan pikiran, [267] ia menginginkannya jika obyek pikiran itu menyenangkan; ia tidak menginginkannya jika obyek pikiran itu tidak menyenangkan … Sekarang kegembiraan dalam perasaan adalah kemelekatan. Dengan kemelekatannya sebagai kondisi, maka penjelmaan [muncul]; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

(AKHIR DARI LINGKARAN: LATIHAN BERTAHAP)

31-38. “Di sini, para bhikkhu, seorang Tathāgata muncul di dunia ini, sempurna, tercerahkan sempurna … (seperti Sutta 27, §§11-18) [268-69] … ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan. [270]

39. “Setelah meninggalkan kelima rintangan ini demikian, ketidak-sempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama ... Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... Dengan meluruhnya kegembiraan ... ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ... ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ... yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan- kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

(AKHIR DARI LINGKARAN: LENYAP SEPENUHNYA)

40. “Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, ia tidak menginginkannya jika bentuk itu menyenangkan; ia tidak menolaknya jika bentuk itu tidak menyenangkan. Ia berdiam dengan perhatian pada jasmani ditegakkan, dengan pikiran tanpa batas, dan ia memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan di mana kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa.  Setelah meninggalkan apa yang disukai maupun tidak disukai, apapun perasaan yang ia rasakan – apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – ia tidak bergembira dalam perasaan itu, tidak menyambutnya, dan tidak terus-menerus menggenggamnya.  Karena ia tidak melakukan hal itu, kegembiraan dalam perasaan lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kegembiraan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Ketika mendengar suatu suara dengan telinga … Ketika mencium suatu bau dengan hidung … Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Ketika menyentuh suatu obyek sentuhan dengan badan … Ketika mengenali suatu obyek pikiran dengan pikiran, ia tidak menginginkannya jika obyek pikiran itu menyenangkan; ia tidak menolaknya jika obyek-pikiran itu tidak menyenangkan … Dengan lenyapnya kegembiraan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

(PENUTUP)

41. “Para bhikkhu, ingatlah kebebasan dalam hancurnya keinginan ini seperti yang diajarkan secara ringkas olehKu ini. Tetapi Bhikkhu Sāti ini, [271] putera seorang nelayan, terjebak dalam jaring besar keinginan, jala keinginan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 24 July 2010, 01:53:54 PM
39  Mahā-Assapura Sutta
Khotbah Panjang di Assapura

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di  Negeri Anga di pemukiman Anga bernama Assapura. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “’Petapa, petapa,’ para bhikkhu, itu adalah bagaimana orang-orang mengenali kalian. Dan jika kalian ditanya, ‘Apakah kalian?’, maka kalian mengaku bahwa kalian adalah para petapa. Karena itu adalah sebutan bagi kalian dan apa yang kalian akui, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan melaksanakan dan melatih hal-hal yang membuat seseorang menjadi seorang petapa, yang membuat seseorang menjadi seorang brahmana,  sehingga sebutan kami menjadi benar dan pengakuan kami benar, dan sehingga pelayanan dari mereka yang jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatannya kami gunakan akan memberikan buah dan manfaat besar bagi mereka, dan sehingga pelepasan keduniawian kami tidak sia-sia melainkan subur dan berbuah.’

(PERILAKU DAN PENGHIDUPAN)

3. “Dan apakah, para bhikkhu, hal-hal yang membuat seseorang menjadi seorang petapa, yang membuat seseorang menjadi seorang brahmana? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah.’  Sekarang, para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah. Itu sudah cukup, itu sudah dilakukan, tujuan pertapaan telah dicapai, tidak ada lagi yang harus kami lakukan’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

4. “Apakah lagi yang harus dilakukan? [272] Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Perilaku jasmani kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain karena kemurnian perilaku jasmani itu.’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan perilaku jasmani kami telah dimurnikan. Itu sudah cukup, itu sudah dilakukan, tujuan pertapaan telah dicapai, tidak ada lagi yang harus kami lakukan’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

5. “Apakah lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Perilaku ucapan kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain karena kemurnian perilaku ucapan itu.’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan perilaku jasmani kami telah dimurnikan dan perilaku ucapan kami telah dimurnikan. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

6. “Apakah lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Perilaku pikiran kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain karena kemurnian perilaku pikiran itu.’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan perilaku jasmani dan perilaku ucapan kami telah dimurnikan dan perilaku pikiran kami telah dimurnikan. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

7. “Apakah lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Penghidupan kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain karena kemurnian penghidupan itu.’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan perilaku jasmani, perilaku ucapan, dan perilaku pikiran kami telah dimurnikan dan penghidupan kami telah dimurnikan. [273] Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

(PENGENDALIAN INDRIA)

8. “Apakah lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menjaga pintu-pintu indria kami. Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, kami tidak akan menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika kami membiarkan indria mata tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menyerbu kami, kami akan berlatih cara pengendaliannya, kami akan menjaga indria mata, kami akan menjalankan pengendalian indria mata. Ketika mendengar suara dengan telinga ... Ketika mencium bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap rasa kecapan dengan lidah ... Ketika menyentuh obyek sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali obyek-pikiran dengan pikiran, kami tidak akan menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika kami membiarkan indria pikiran tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menyerbu kami, kami akan berlatih cara pengendaliannya, kami akan menjaga indria mata, kami akan menjalankan pengendalian indria.’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan perilaku jasmani, perilaku ucapan,  perilaku pikiran, dan penghidupan kami telah dimurnikan, dan kami menjaga pintu-pintu indria kami. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

(MAKAN SECUKUPNYA)

9. “Apakah lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan makan secukupnya. Merenungkan dengan bijaksana, kami akan memakan makanan bukan untuk kenikmatan juga bukan untuk mabuk juga bukan demi kecantikan dan kemenarikan fisik, tetapi hanya untuk ketahanan dan kelangsungan tubuh ini, untuk mengakhiri ketidak-nyamanan, untuk menunjang kehidupan suci, dengan mempertimbangkan: “Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan lama tanpa membangkitkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan dapat hidup dalam kenyamanan.”’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan perilaku jasmani, perilaku ucapan, perilaku pikiran, dan penghidupan kami telah dimurnikan, kami menjaga pintu-pintu indria kami, dan kami makan secukupnya. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

(KEAWASAN)

10. “Apakah lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menekuni keawasan. Pada siang hari, sewaktu berjalan mondar-mandir dan duduk, kami akan memurnikan pikiran kami dari pikiran-pikiran dengan kondisi-kondisi yang merintangi. Pada jaga pertama malam hari, [274] sewaktu berjalan mondar-mandir dan duduk, kami akan memurnikan pikiran kami dari pikiran-pikiran dengan kondisi-kondisi yang merintangi. Pada jaga pertengahan malam hari, kami akan berbaring pada sisi kanan dalam posisi singa dengan satu kaki di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, setelah mencatat dalam batin waktu untuk terjaga. Setelah terjaga, pada jaga ke tiga malam hari, sewaktu berjalan mondar-mandir dan duduk, kami akan memurnikan pikiran kami dari pikiran-pikiran dengan kondisi-kondisi yang merintangi.’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan perilaku jasmani, perilaku ucapan,  perilaku pikiran, dan penghidupan kami telah dimurnikan, kami menjaga pintu-pintu indria kami, kami makan secukupnya, dan kami menekuni keawasan. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

(PERHATIAN DAN KEWASPADAAN PENUH)

11. “Apakah lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memiliki perhatian dan kewaspadaan penuh. Kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika berjalan maju dan mundur; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika melihat ke depan dan melihat ke belakang; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika membungkuk dan meregangkan badan; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkuk; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika makan, minum, mengunyah, dan mengecap; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika buang air besar dan buang air kecil; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika berjalan, berdiri, duduk, jatuh tertidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri.’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan perilaku jasmani, perilaku ucapan,  perilaku pikiran, dan penghidupan kami telah dimurnikan, kami menjaga pintu-pintu indria kami, kami makan secukupnya, kami menekuni keawasan, dan kami memiliki perhatian dan kewaspadaan penuh. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

(MENINGGALKAN RINTANGAN-RINTANGAN)

12. “Apakah lagi yang harus dilakukan? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu mendatangi tempat tinggal terpencil: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, hutan belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.

13. “Ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan ia duduk bersila, menegakkan badan dan menegakkan perhatian di depannya. Dengan meninggalkan ketamakan pada dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari ketamakan; ia memurnikan pikirannya dari ketamakan. Dengan meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari niat buruk, berbelas kasihan demi kesejahteraan semua makhluk; [275] ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Dengan meninggalkan kelambanan dan ketumpulan, ia berdiam bebas dari kelambanan dan ketumpulan, mempersepsikan cahaya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan; ia memurnikan pikirannya dari kelambanan dan ketumpulan. Dengan meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam tanpa kegelisahan dengan kedamaian dalam batin; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. Dengan meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam melampaui keragu-raguan, tanpa kebingungan sehubungan dengan kondisi-kondisi bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

14. “Para bhikkhu, misalkan seseorang meminjam uang dan menjalankan usahanya dan usahanya itu berhasil sehingga ia mampu mengembalikan uang pinjamannya sebelumnya dan masih tersisa cukup untuk memelihara seorang istri; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang yang sedang sakit, menderita, sakit keras, dan makanannya tidak cocok baginya dan tubuhnya tidak memiliki kekuatan, tetapi kemudian ia sembuh dari penyakitnya dan makanannya cocok baginya dan tubuhnya memperoleh kembali kekuatannya; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang yang terkurung dalam penjara, tetapi kemudian ia dibebaskan, selamat dan aman, tanpa kehilangan hartanya; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang adalah budak, tidak bergantung pada diri sendiri melainkan bergantung pada orang lain, tidak dapat pergi ke manapun yang ia inginkan, tetapi kemudian ia dibebaskan dari perbudakan, bergantung pada diri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, seorang bebas yang dapat pergi ke manapun yang ia inginkan; maka dengan mempertimbangkan hal ini, [276] ia akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang yang membawa harta kekayaannya berjalan di jalan yang melintasi gurun pasir, tetapi kemudian ia berhasil menyeberangi gurun pasir itu, selamat dan aman, tanpa kehilangan harta kekayaannya; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Demikian pula, para bhikkhu, ketika kelima rintangan ini belum ditinggalkan dalam dirinya, seorang bhikkhu melihatnya berturut-turut sebagai pinjaman, penyakit, penjara, perbudakan, dan jalan yang melintasi gurun pasir. Tetapi ketika kelima rintangan ini telah ditinggalkan dalam dirinya, ia melihat hal itu sebagai kebebasan dari pinjaman, kesehatan, kebebasan dari penjara, kebebasan dari perbudakan, dan tanah keselamatan.

Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 24 July 2010, 01:54:50 PM
(EMPAT JHĀNA)

15. “Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, ketidak-sempurnaan batin yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. Bagaikan seorang petugas pemandian atau murid petugas pemandian menumpuk bubuk mandi dalam baskom logam dan, secara perlahan memerciknya dengan air, meremasnya hingga kelembaban membasahi bola bubuk mandi tersebut, membasahinya, dan meliputinya di dalam dan di luar, namun bola itu sendiri tidak meneteskan air; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu.

16. “Kemudian, para bhikkhu, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Bagaikan sebuah danau yang airnya berasal dari mata air di dasarnya [277] dan tidak ada aliran masuk dari timur, barat, utara, atau selatan, dan tidak ditambah dari waktu ke waktu dengan curahan hujan, kemudian mata air sejuk memenuhi danau itu dan membuat air sejuk itu membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi seluruh danau itu, sehingga tidak ada bagian danau itu yang tidak terliputi oleh air sejuk itu; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi.

17. “Kemudian, para bhikkhu, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Ia membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu. Bagaikan, dalam sebuah kolam teratai biru atau merah atau putih, beberapa teratai tumbuh dan berkembang dalam air tanpa keluar dari air, dan air sejuk membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi teratai-teratai itu dari pucuk hingga ke akarnya, sehingga tidak ada bagian dari teratai-teratai itu yang tidak terliputi oleh air sejuk; demikian pula, seorang bhikkhu, membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu.

18. “Kemudian, para bhikkhu, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ia duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah. Bagaikan seorang yang duduk dan ditutupi dengan kain putih dari kepala ke bawah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya [278] yang tidak tertutupi oleh kain putih itu; demikian pula, seorang bhikkhu duduk dengan dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu.

(TIGA PENGETAHUAN SEJATI)

19. “Ketika konsentrasi pikirannya sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan pada pengetahuan perenungan kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (Seperti Sutta 4, §27) … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Bagaikan seseorang yang pergi dari desa tempat tinggalnya ke desa lain dan kemudian kembali lagi ke desanya, ia berpikir: ‘Aku pergi dari desaku ke desa itu, dan di sana aku berdiri demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri demikian; dan dari desa itu aku pergi ke desa lain, dan di sana aku berdiri demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri demikian; dan dari desa itu aku kembali lagi ke desaku.’ Demikian pula, seorang bhikkhu mengingat banyak kehidupan lampau … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau.

20. “Ketika konsentrasi pikirannya sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … (Seperti Sutta 4, §29) [279] …  Demikianlah dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Bagaikan terdapat dua rumah dengan pintu-pintu dan seseorang yang berpenglihatan baik berdiri di antara kedua rumah itu melihat orang-orang memasuki dan keluar dari rumah itu silih berganti, demikian pula, dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, seorang bhikkhu melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali … dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka.

21. “Ketika konsentrasi pikirannya sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; … ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; … ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’; … ‘Ini adalah noda-noda’; … ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; … ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

“Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebas dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

“Bagaikan terdapat sebuah danau pada sebuah ceruk di gunung, bersih, jernih, dan tidak terganggu, sehingga seseorang dengan penglihatan yang baik yang berdiri di tepinya dapat melihat kerang, kerikil, dan koral, dan juga kawanan ikan yang berenang kesana kemari  dan beristirahat, ia berpikir: ‘Danau ini bersih, jernih, dan tidak terganggu, dan terdapat [280] kerang, kerikil, dan koral ini, dan juga kawanan ikan yang berenang kesana kemari dan beristirahat.’ Demikian pula, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’ ... Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

(ARAHANT)

22. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang demikian disebut seorang petapa, seorang brahmana, seorang yang telah dicuci, seorang yang telah mencapai pengetahuan, seorang terpelajar suci, seorang mulia, seorang Arahant.

23. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang petapa? Ia telah menenangkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, yang memberikan kesulitan, yang matang dalam kesengsaraan, dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang petapa.

24. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang brahmana? Ia telah menyingkirkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang brahmana.

25. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang telah dicuci?  Ia telah mencuci kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang yang telah dicuci.

26. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang telah mencapai pengetahuan? Ia telah mengetahui kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang yang telah mencapai pengetahuan.

27. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang terpelajar suci?  Kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan, telah mengalir keluar dari dirinya. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang terpelajar suci.

28. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang mulia? Kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan, jauh dari dirinya. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang mulia.

29. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang Arahant? Kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, yang memberikan kesulitan, yang matang dalam kesengsaraan, dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan, jauh dari dirinya. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang Arahant.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 25 July 2010, 06:02:29 PM
40  Cūḷa-Assapura Sutta
Khotbah Pendek di Assapura

[281] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di  Negeri Anga di pemukiman penduduk Anga bernama Assapura. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “’Petapa, petapa,’ para bhikkhu, itu adalah bagaimana orang-orang mengenali kalian. Dan jika kalian ditanya, ‘Apakah kalian?’, maka kalian mengaku bahwa kalian adalah para petapa. Karena itu adalah sebutan bagi kalian dan apa yang kalian akui, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan melatih jalan benar selayaknya bagi  seorang petapa  sehingga sebutan kami menjadi benar dan pengakuan kami benar, dan sehingga pelayanan dari mereka yang jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatannya kami gunakan akan memberikan buah dan manfaat besar bagi mereka, dan sehingga pelepasan keduniawian kami tidak sia-sia melainkan subur dan berbuah.’

3. “Bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu tidak melatih jalan benar selayaknya bagi  seorang petapa? Selama seorang bhikkhu yang tamak belum meninggalkan ketamakan, yang memiliki pikiran berniat buruk belum meninggalkan niat buruk, yang penuh kemarahan belum meninggalkan kemarahan, yang penuh kekesalan belum meninggalkan kekesalan, yang bersikap meremehkan belum meninggalkan sikap meremehkan, yang bersikap congkak belum meninggalkan kecongkakan, yang iri-hati belum meninggalkan keiri-hatian, yang kikir belum meninggalkan kekikiran, yang curang belum meninggalkan kecurangan, yang menipu belum meninggalkan penipuan, yang memiliki keinginan jahat belum meninggalkan keinginan jahat, yang berpandangan salah belum meninggalkan pandangan salah,  selama ia tidak melatih jalan benar selayaknya bagi petapa, Aku katakan, karena kegagalannya dalam meninggalkan noda-noda bagi petapa ini, cacat bagi petapa ini, sampah bagi petapa ini, yang merupakan landasan bagi kelahiran kembali dalam kondisi sengsara dan yang akibat-akibatnya akan dialami di alam yang tidak berbahagia.

4. “Misalkan senjata yang disebut mataja, terasah dengan baik pada kedua sisinya, tertutup dan tersimpan dalam sarung kain. Aku katakan bahwa pelepasan keduniawian bhikkhu itu adalah seperti senjata itu.

5. “Aku tidak mengatakan bahwa status petapa datang dari pemakai jubah bertambalan hanya karena mengenakan jubah bertambalan, juga bukan dari seorang petapa telanjang hanya karena ketelanjangannya, juga bukan dari seorang yang berlumuran tanah dan debu hanya karena berlumuran tanah dan debu, juga bukan dari seorang pelaku ritual mandi hanya karena melakukan ritual mandi, juga bukan dari seorang penghuni bawah pohon hanya karena [282] menetap di bawah pohon, juga bukan seorang yang menetap di ruang terbuka hanya karena menetap di ruang terbuka, juga bukan dari seorang praktisi yang berlatih terus-menerus berdiri hanya karena terus-menerus berdiri, juga bukan dari seorang yang makan dalam interval waktu yang telah ditentukan hanya karena makan dalam interval waktu yang telah ditentukan, juga bukan dari seorang pembaca mantera hanya karena membaca mantera; Aku juga tidak mengatakan bahwa status petapa datang dari seorang petapa berambut kusut hanya karena berambut kusut.

6. “Para bhikkhu, jika dengan hanya mengenakan jubah bertambalan seorang pemakai jubah bertambalan yang tamak meninggalkan ketamakan, yang memiliki pikiran berniat buruk meninggalkan niat buruk ... yang berpandangan salah meninggalkan pandangan salah, maka teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan menjadikannya seorang pemakai jubah bertambalan segera setelah ia dilahirkan dan menyuruhnya menjalani praktik mengenakan jubah bertambalan sebagai berikut: ‘Marilah, sayangku, jadilah seorang pemakai jubah bertambalan agar, sebagai seorang pemakai jubah bertambalan maka, ketika engkau tamak engkau akan meninggalkan ketamakan, ketika engkau memiliki pikiran berniat buruk engkau akan meninggalkan niat buruk ... ketika engkau berpandangan salah engkau akan meninggalkan pandangan salah.’ Tetapi Aku melihat di sini seorang pemakai jubah bertambalan yang tamak, yang memiliki pikiran berniat buruk ... yang berpandangan salah; dan itulah sebabnya mengapa Aku tidak mengatakan bahwa status petapa datang dari pemakai jubah bertambalan hanya karena mengenakan jubah bertambalan.

“Jika dengan ketelanjangan seorang petapa telanjang yang tamak meninggalkan ketamakan ... Jika dengan berlumuran tanah dan debu ... Jika dengan melakukan ritual mandi... Jika dengan menetap di bawah pohon ... Jika dengan menetap di ruang terbuka ... jika dengan terus-menerus berdiri ... Jika dengan makan pada interval waktu yang telah ditentukan ... Jika dengan membaca mantera ... Jika dengan berambut kusut ... [283] ... dan itulah sebabnya mengapa Aku tidak mengatakan bahwa status petapa datang dari seorang petapa berambut kusut hanya karena berambut kusut.

7. “Bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu melatih jalan benar selayaknya bagi  seorang petapa? Ketika seorang bhikkhu yang tamak telah meninggalkan ketamakan, yang memiliki pikiran berniat buruk telah meninggalkan niat buruk, yang penuh kemarahan telah meninggalkan kemarahan, yang penuh kekesalan telah meninggalkan kekesalan, yang bersikap meremehkan telah meninggalkan sikap meremehkan, yang bersikap congkak telah meninggalkan kecongkakan, yang iri-hati telah meninggalkan keiri-hatian, yang kikir telah meninggalkan kekikiran, yang curang telah meninggalkan kecurangan, yang menipu telah meninggalkan penipuan, yang memiliki keinginan jahat telah meninggalkan keinginan jahat, yang berpandangan salah telah meninggalkan pandangan salah, maka ia melatih jalan benar selayaknya bagi seorang petapa, Aku katakan, adalah karena dengan meninggalkan noda-noda bagi petapa ini, cacat bagi petapa ini, sampah bagi petapa ini, yang merupakan landasan bagi kelahiran kembali dalam kondisi sengsara dan yang akibat-akibatnya akan dialami di alam yang tidak berbahagia.

8. “Ia melihat dirinya murni dari kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat ini, ia melihat dirinya terbebas dari kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat ini. Ketika ia melihat ini, kegembiraan muncul dalam dirinya. Ketika ia gembira, sukacita muncul dalam dirinya; dalam diri seorang yang bersukacita, jasmaninya menjadi tenang; seseorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan; dalam diri seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi.

9. “Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala arah, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

10-12. “Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan belas kasihan ... dengan pikiran yang penuh dengan kegembiraan altruistis ... dengan pikiran yang penuh dengan keseimbangan ... berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

13. “Misalkan terdapat sebuah kolam, dengan air yang jernih, sejuk menyenangkan, bening, dengan tepian yang landai, indah, dan dekat dengan hutan. [284] Jika seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang dari arah timur atau dari arah barat atau dari arah utara atau dari arah selatan atau dari manapun kalian inginkan, setelah mendatangi kolam itu ia akan memuaskan dahaganya dan demam cuaca-panasnya. Demikian pula, para bhikkhu, jika siapapun dari kasta para mulia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah menemukan Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, mengembangkan cinta kasih, belas kasihan, kegembiraan altruistis, dan keseimbangan, dan karenanya memperoleh kedamaian internal, maka karena kedamaian internal itu ia melatih jalan benar selayaknya seorang petapa, Aku katakan. Jika siapapun dari kasta brahmana meninggalkan keduniawian … jika siapapun dari kasta pedagang meninggalkan keduniawian … jika siapapun dari kasta pekerja meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah menemukan Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, mengembangkan cinta kasih, belas kasihan, kegembiraan altruistis, dan keseimbangan, dan karenanya memperoleh kedamaian internal, maka karena kedamaian internal itu ia melatih jalan benar selayaknya seorang petapa, Aku katakan.

14. “Para bhikkhu, jika siapapun dari kasta para mulia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan dengan menembus untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda, maka ia telah menjadi seorang petapa karena hancurnya noda-noda itu.  Dan jika siapapun dari kasta brahmana meninggalkan keduniawian … Jika siapapun dari kasta pedagang meninggalkan keduniawian … Jika siapapun dari kasta pekerja meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan dengan menembus untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda, maka ia telah menjadi seorang petapa karena hancurnya noda-noda itu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 25 July 2010, 06:03:33 PM
41  Sāleyyaka Sutta
Brahmana Sālā

[285] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara secara bertahap di Negeri Kosala bersama banyak Sangha para bhikkhu, dan akhirnya Beliau tiba di desa brahmana Kosala bernama Sālā.

2. para brahmana perumah tangga dari Sālā mendengar: “Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengunjungi negeri Kosala bersama banyak Sangha para bhikkhu dan telah tiba di Sālā. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia. Beliau menyatakan dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā,  generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, yang telah Beliau tembus oleh diriNya sendiri dengan pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna sepenuhnya.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

3. Kemudian para brahmana perumah tangga dari Sālā mendatangi Sang Bhagavā. Beberapa bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya menyebutkan nama dan suku mereka di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya hanya berdiam diri dan duduk di satu sisi.

4. Ketika mereka telah duduk, mereka berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, apakah penyebab dan kondisi mengapa beberapa makhluk di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan dalam neraka? Dan apakah penyebab dan kondisi mengapa beberapa makhluk di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga?”

5. “Para perumah tangga, adalah dengan alasan perilaku yang tidak sesuai dengan Dhamma, dengan alasan perilaku tidak baik maka beberapa makhluk di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan dalam neraka. Adalah dengan alasan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, dengan alasan perilaku yang baik maka beberapa makhluk di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.” [286]

6. “Kami tidak memahami makna secara terperinci dari ucapan Guru Gotama, yang telah Beliau ucapkan secara ringkas tanpa menjelaskan maknanya secara terperinci. Baik sekali jika Guru Gotama sudi mengajarkan Dhamma kepada kami sehingga kami dapat memahami makna terperinci dari ucapan Beliau.”

“Maka, para perumah tangga, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.”

“Baik, Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

7. “Para perumah tangga, terdapat tiga jenis perilaku jasmani yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku yang tidak baik. Terdapat empat jenis perilaku ucapan yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku yang tidak baik. Terdapat tiga jenis perilaku pikiran yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku yang tidak baik.

8. “Dan bagaimanakah, para perumah tangga, tiga jenis perilaku jasmani yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku tidak baik? Di sini seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup; ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup. Ia mengambil apa yang tidak diberikan; ia mengambil harta dan kekayaan orang lain di desa atau hutan dengan cara mencuri. Ia melakukan perbuatan salah dalam kenikmatan indria; ia melakukan hubungan seksual dengan perempuan-perempuan yang dilindungi oleh ibu, ayah, ibu dan ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, atau sanak saudara mereka, yang memiliki suami, yang dilindungi oleh hukum, dan bahkan dengan mereka yang mengenakan kalung bunga sebagai tanda pertunangan. Itu adalah tiga jenis perilaku jasmani yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku tidak baik.

9. Dan bagaimanakah, para perumah tangga, empat jenis perilaku ucapan yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku tidak baik? Di sini seseorang mengucapkan kebohongan; ketika dipanggil oleh pengadilan, atau dalam suatu pertemuan, atau di depan sanak saudaranya, atau oleh perkumpulannya, atau di depan anggota keluarga kerajaan, dan ditanya sebagai seorang saksi sebagai berikut: ‘Baiklah, tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ tidak mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu,’; tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat’; dengan penuh kesadaran ia mengatakan kebohongan demi keselamatan dirinya sendiri, atau demi keselamatan orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi. Ia mengucapkan fitnah; ia mengulangi di tempat lain apa yang telah ia dengar di sini dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini, atau ia mengulangi kepada orang-orang ini apa yang telah ia dengar di tempat lain dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia adalah seorang yang memecah-belah mereka yang rukun, seorang pembuat perpecahan, yang menikmati perselisihan, bergembira dalam perselisihan, bersukacita dalam perselisihan, pengucap kata-kata yang menciptakan perselisihan. Ia berkata kasar; ia mengucapkan kata-kata yang kasar, keras, menyakiti orang lain, menghina orang lain, berbatasan dengan kemarahan, tidak menunjang konsentrasi. [287] Ia adalah seorang penggosip; ia berbicara di waktu yang salah, mengatakan apa yang bukan fakta, mengatakan hal yang tidak berguna, mengatakan yang berlawanan dengan Dhamma dan Disiplin; pada waktu yang salah ia mengucapkan kata-kata yang tidak berguna, tidak masuk akal, melampaui batas, dan tidak bermanfaat. Ini adalah empat jenis perilaku ucapan yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku tidak baik.

10. “Dan bagaimanakah, para perumah tangga, tiga jenis perilaku pikiran yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku tidak baik? Di sini seseorang bersifat tamak; ia tamak pada kekayaan dan kemakmuran orang lain sebagai berikut: ‘oh, semoga apa yang menjadi milik orang lain menjadi milikku!’ Atau ia memiliki pikiran berniat buruk dan niat membenci sebagai berikut: ‘Semoga makhluk-makhluk ini dibunuh dan disembelih, semoga mereka dipotong, musnah, atau dibasmi!’ Atau ia memiliki pandangan salah, penglihatan menyimpang, sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan, tidak ada yang dikorbankan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’  Ini adalah tiga jenis perilaku pikiran yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku tidak baik. Jadi, para perumah tangga, adalah dengan alasan perilaku yang tidak sesuai dengan Dhamma demikian, dengan alasan perilaku tidak baik demikian maka beberapa makhluk di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan dalam neraka.

11. “Para perumah tangga, terdapat tiga jenis perilaku jasmani yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik. Terdapat empat jenis perilaku ucapan yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik. Terdapat tiga jenis perilaku pikiran yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik.

12. “Dan bagaimanakah, para perumah tangga, tiga jenis perilaku jasmani yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik? Di sini seseorang, dengan meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, ia menghindari pembunuhan makhluk hidup, dengan tongkat pemukul dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelas kasihan kepada semua makhluk hidup. Dengan meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan; ia tidak mengambil harta dan kekayaan orang lain di desa atau hutan dengan cara mencuri. Dengan meninggalkan perbuatan salah dalam kenikmatan indria, ia menghindari perbuatan salah dalam kenikmatan indria; ia tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan-perempuan yang dilindungi oleh ibu, ayah, ibu dan ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, atau sanak saudara mereka, yang memiliki suami, yang dilindungi oleh hukum, atau dengan mereka yang mengenakan kalung bunga sebagai tanda pertunangan. Itu adalah tiga jenis perilaku jasmani yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik. [288]

13. Dan bagaimanakah, para perumah tangga, empat jenis perilaku ucapan yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik? Di sini seseorang, dengan meninggalkan kebohongan, menghindari ucapan salah; ketika dipanggil oleh pengadilan, atau dalam suatu pertemuan, atau di depan sanak saudaranya, atau oleh perkumpulannya, atau di depan anggota keluarga kerajaan, dan ditanya sebagai seorang saksi sebagai berikut: ‘Baiklah, tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ tidak mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu,’; tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat’; ia tidak dengan penuh kesadaran mengatakan kebohongan demi keselamatan dirinya sendiri, atau demi keselamatan orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi. Dengan meninggalkan ucapan fitnah, ia menghindari ucapan fitnah; ia tidak mengulangi di tempat lain apa yang telah ia dengar di sini dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini, juga ia tidak mengulangi kepada orang-orang ini apa yang telah ia dengar di tempat lain dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia adalah seorang yang merukunkan mereka yang terpecah-belah, seorang penganjur persahabatan, yang menikmati kerukunan, bergembira dalam kerukunan, bersukacita dalam kerukunan, pengucap kata-kata yang menciptakan kerukunan. Dengan meninggalkan ucapan kasar, ia menghindari ucapan kasar; ia mengucapkan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, dan indah, ketika masuk dalam batin, sopan, disukai banyak orang dan menyenangkan banyak orang. Dengan meninggalkan gosip, ia menghindari gosip; ia berbicara pada saat yang tepat, mengatakan apa yang sebenarnya, mengatakan apa yang baik, membicarakan Dhamma dan Disiplin; pada saat yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang layak dicatat, yang logis, selayaknya, dan bermanfaat. Ini adalah empat jenis perilaku ucapan yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik.

14. “Dan bagaimanakah, para perumah tangga, tiga jenis perilaku pikiran yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik? Di sini seseorang tidak bersifat tamak; ia tidak tamak pada kekayaan dan kemakmuran orang lain sebagai berikut: ‘oh, semoga apa yang menjadi milik orang lain menjadi milikku!’ Pikirannya tanpa niat buruk dan ia memiliki kehendak yang bebas dari kebencian sebagai berikut: ‘Semoga makhluk-makhluk ini bebas dari permusuhan, penderitaan, dan ketakutan! Semoga mereka hidup berbahagia!’ Ia memiliki pandangan benar, penglihatan yang tidak menyimpang, sebagai berikut: ‘Ada yang diberikan, ada yang dipersembahkan, ada yang dikorbankan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini, ada dunia lain; ada ibu, ada ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Ini adalah tiga jenis perilaku pikiran yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik. Jadi, para perumah tangga, adalah dengan alasan perilaku yang sesuai dengan Dhamma demikian, dengan alasan perilaku yang baik demikian maka beberapa makhluk di sini, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. [289]

15. “Jika, para perumah tangga, seseorang yang melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik, berkehendak: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, aku muncul kembali di tengah-tengah para mulia yang kaya!’ itu adalah mungkin, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di tengah-tengah para mulia yang kaya. Mengapakah? Karena ia melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik.

16-17. “Jika, para perumah tangga, seseorang yang melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik, berkehendak: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, aku muncul kembali di tengah-tengah para brahmana yang kaya! ... di tengah-tengah para perumah tangga kaya!’ Itu adalah mungkin, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di tengah-tengah para perumah tangga kaya. Mengapakah? Karena ia melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik.

18-42. “Jika, para perumah tangga, seseorang yang melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik, berkehendak: ‘Oh, semoga ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, aku muncul kembali di tengah-tengah para dewa di alam surga Empat Raja Dewa! ... di tengah-tengah para dewa di alam surga Tiga Puluh Tiga ... para dewa Yāma ... para dewa di alam surga Tusita ... para dewa yang bergembira dalam penciptaan ... para dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain ... para dewa pengikut Brahmā ... para dewa bercahaya ’ ... para dewa dengan cahaya terbatas ... para dewa dengan cahaya tanpa batas ... para dewa dengan cahaya gemerlap ... para dewa Agung ... para dewa dengan Keagungan terbatas ... para dewa dengan Keagungan tanpa batas ... para dewa dengan Keagungan gemilang ... para dewa berbuah besar ... para dewa Aviha ... para dewa Atappa ... para dewa Sudassa ... para dewa Sudassī ... para dewa Akaniṭṭha ... para dewa di alam landasan ruang tanpa batas ... para dewa di alam landasan kesadaran tanpa batas ... para dewa di alam landasan kekosongan ... para dewa di alam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi!’ itu adalah mungkin, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di tengah-tengah para dewa di alam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Mengapakah? Karena ia melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik.

43. “Jika, para perumah tangga, seseorang yang melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik, berkehendak: ‘Oh, bahwa dengan menembus untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung, semoga aku dapat di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda!’ Adalah mungkin bahwa, dengan menembus untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia dapat di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Mengapakah? Karena ia melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik.”  [290]

44. Ketika hal ini dikatakan, para brahmana perumah tangga dari Sālā berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi seseorang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan bagi mereka yang memiliki penglihatan agar dapat melihat bentuk-bentuk. Kami berlindung pada Guru Gotama dan Dhamma dan Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama menerima kami sebagai pengikut awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 25 July 2010, 06:05:04 PM
42  Verañjaka Sutta
Brahmana Verañja

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu beberapa brahmana perumah tangga dari Verañja sedang mengunjungi Sāvatthī untuk suatu urusan. [291]

3-44. [Teks dari sutta ini sama dengan teks pada sutta 41, kecuali pada bagian di mana sutta sebelumnya disampaikan sehubungan dengan “perilaku yang tidak sesuai dengan Dhamma, perilaku yang tidak baik” (§§7-10) dan “perilaku yang sesuai dengan Dhamma, perilaku yang baik” (§§11-14), sutta ini disampaikan sehubungan dengan “seorang yang tidak melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, seorang yang berperilaku tidak baik” dan “seorang yang melaksanakan perilaku yang sesuai dengan Dhamma, seorang yang berperilaku baik”; ganti kata “Sālā” dengan “Verañja” di sepanjang sutta.]

Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 25 July 2010, 06:05:51 PM
43  Mahāvedalla Sutta
Rangkaian Panjang Tanya-Jawab


[292] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

“Kemudian, pada malam hari, Yang Mulia Mahā Koṭṭhita bangkit dari meditasinya, mendatangi Yang Mulia Sāriputta, dan saling bertukar sapa dengannya.  Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Sāriputta:

(KEBIJAKSANAAN)

2. “’Seorang yang tidak bijaksana, seorang yang tidak bijaksana’ dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan, ’seorang yang tidak bijaksana’?”

“’Seorang yang tidak dengan bijaksana memahami, seorang yang tidak dengan bijaksana memahami,’ teman; itulah mengapa dikatakan, ‘seorang yang tidak bijaksana.’ Dan apakah yang seseorang tidak dengan bijaksana memahami? Ia tidak dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah penderitaan’; ia tidak dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia tidak dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia tidak dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ ‘Seorang yang tidak dengan bijaksana memahami, seorang yang tidak dengan bijaksana memahami,’ teman; itulah mengapa dikatakan, ‘seorang yang tidak bijaksana.’

Dengan mengatakan “Bagus, teman,’ Yang Mulia Mahā Koṭṭhita senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian ia mengajukan pertanyaan lebih lanjut:

3. “’Seorang yang bijaksana, seorang yang bijaksana’ dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan, ’seorang yang bijaksana’?”

“’Seorang yang dengan bijaksana memahami, seorang yang dengan bijaksana memahami,’ teman; itulah mengapa dikatakan, ‘seorang yang bijaksana.’ Dan apakah yang seseorang dengan bijaksana memahami? Ia dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah penderitaan’; ia dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ ‘Seorang yang dengan bijaksana memahami, seorang yang dengan bijaksana memahami,’ teman; itulah mengapa dikatakan, ‘seorang yang bijaksana.’

(KESADARAN)

4. “’Kesadaran, kesadaran’ dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah ‘kesadaran’ dikatakan?”

“’Kesadaran menyadari, kesadaran menyadari,’ teman; itulah mengapa ‘kesadaran’ dikatakan.  Apakah yang dikenali? Kesadaran menyadari ‘[Ini] menyenangkan’; kesadaran menyadari: ‘[Ini] menyakitkan’; kesadaran menyadari: ‘[Ini] bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.’; “’Kesadaran menyadari, kesadaran menyadari,’ teman; itulah mengapa ‘kesadaran’ dikatakan.

5. “Kebijaksanaan dan kesadaran, teman – apakah kondisi-kondisi ini tergabung atau terpisah? Dan apakah mungkin memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara keduanya?”

“Kebijaksanaan dan kesadaran, teman – kondisi-kondisi ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara keduanya. Karena apa yang seseorang pahami dengan bijaksana, maka itulah yang ia sadari, dan apa yang ia sadari, maka itulah yang ia pahami dengan bijaksana. [293] Itulah mengapa kondisi-kondisi ini tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara keduanya.”

6. “Apakah perbedaannya, teman, antara kebijaksanaan dan kesadaran, kondisi-kondisi ini yang tergabung, bukan terpisah?”

“Perbedaannya, teman, antara kebijaksanaan dan kesadaran, kondisi-kondisi ini yang tergabung, bukan terpisah, adalah: kebijaksanaan harus dikembangkan, kesadaran harus dipahami sepenuhnya.”

(PERASAAN)

7. “’Perasaan, perasaan’ dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah ‘perasaan’ dikatakan?”

“’Perasaan merasakan, perasaan merasakan,’ teman; itulah mengapa ‘perasaan’ dikatakan. Apakah yang dirasakan? Perasaan merasakan kenikmatan, perasaan merasakan kesakitan, perasaan merasakan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.’ ’Perasaan merasakan, perasaan merasakan,’ teman; itulah mengapa ‘perasaan’ dikatakan.

(PERSEPSI)

8. “Persepsi, persepsi dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah ‘persepsi’ dikatakan?”

“Persepsi mempersepsikan, persepsi mempersepsikan,’ teman; itulah mengapa ‘persepsi’ dikatakan. Apakah yang dipersepsikan? Persepsi mempersepsikan biru, persepsi mempersepsikan kuning, persepsi mempersepsikan merah, dan persepsi mempersepsikan putih. ’Persepsi mempersepsikan, persepsi mempersepsikan,’ teman; itulah mengapa ‘persepsi’ dikatakan.

9. “Perasaan, persepsi, dan kesadaran, teman - apakah kondisi-kondisi ini tergabung atau terpisah? Dan apakah mungkin memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara ketiganya?”

“Perasaan, persepsi, dan kesadaran, teman - kondisi-kondisi ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara ketiganya. Karena apa yang seseorang rasakan, itulah yang ia persepsikan; dan apa yang ia persepsikan, itulah yang ia sadari. Itulah mengapa kondisi-kondisi ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara ketiganya.”

(MENGETAHUI HANYA MELALUI PIKIRAN)

10. “Teman, apakah yang dapat diketahui oleh kesadaran-pikiran yang dimurnikan yang terbebas dari kelima indria?”

“Teman, melalui kesadaran-pikiran yang dimurnikan yang terbebas dari kelima indria maka landasan ruang tanpa batas dapat diketahui sebagai berikut: ‘Ruang adalah tanpa batas’; landasan kesadaran tanpa batas dapat diketahui sebagai berikut: ‘Kesadaran adalah tanpa batas’; dan landasan kekosongan dapat diketahui sebagai berikut: ‘Tidak ada apa-apa.’”

11. “Teman, dengan apakah seseorang memahami suatu kondisi yang dapat diketahui?”

“Teman, seseorang memahami suatu kondisi yang dapat diketahui dengan mata kebijaksanaan.”

12. “Teman, apakah kegunaan kebijaksanaan?”

“Kegunaan kebijaksanaan, teman, adalah pengetahuan langsung, gunanya adalah pemahaman sepenuhnya, gunanya adalah melepaskan.”
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 25 July 2010, 06:07:58 PM
(PANDANGAN BENAR)

[294] 13. “Teman, berapakah kondisi bagi munculnya pandangan benar?”

“Teman, ada dua kondisi bagi munculnya pandangan benar: kata-kata orang lain dan perhatian bijaksana. Ini adalah dua kondisi bagi munculnya pandangan benar.”

14.  “Teman, oleh berapakah faktor pandangan benar dibantu ketika memiliki kebebasan pikiran  sebagai buahnya, kebebasan pikiran  sebagai buah dan manfaatnya, ketika memiliki kebebasan  melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan  melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya?”

“Teman, pandangan benar dibantu oleh lima faktor ketika memiliki kebebasan pikiran  sebagai buahnya, kebebasan pikiran  sebagai buah dan manfaatnya, ketika memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan  melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya. Di sini, teman, pandangan benar dibantu oleh moralitas, pembelajaran, diskusi, ketenangan, dan pandangan terang. Pandangan benar dibantu oleh lima faktor ketika memiliki kebebasan pikiran  sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya; memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan  melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya.”

(PENJELMAAN)

15. “Teman, berapakah jenis penjelmaan?”

“Ada tiga jenis penjelmaan ini, teman: penjelmaan alam-indria, penjelmaan alam bermateri halus, dan penjelmaan alam tanpa materi.”

16. “Teman, bagaimanakah penjelmaan baru di masa depan dihasilkan?”

“Teman, penjelmaan baru di masa depan dihasilkan melalui kegembiraan dalam ini dan itu di pihak makhluk-makhluk yang dirintangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan.”

17. “Teman, bagaimanakah penjelmaan baru di masa depan tidak dihasilkan?”

“Teman, dengan meluruhnya kebodohan, dengan munculnya pengetahuan sejati, dan dengan lenyapnya keinginan, maka penjelmaan baru di masa depan tidak dihasilkan.”

(JHĀNA PERTAMA)

18. “Teman, apakah jhāna pertama?”

“Di sini, teman, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ini disebut jhāna pertama.”

19. “Teman, berapakah faktor yang dimiliki jhāna pertama?”

“Teman, jhāna pertama memiliki lima faktor. Di sini, ketika seorang bhikkhu telah masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, di sana muncul awal pikiran, kelangsungan pikiran, kegembiraan, kenikmatan, dan keterpusatan pikiran. Ini adalah bagaimana jhāna pertama memiliki lima faktor.”

20. “Teman, berapakah faktor yang ditinggalkan dalam jhāna pertama dan berapakah faktor yang dimiliki?”

“Teman, dalam jhāna pertama lima faktor ditinggalkan dan lima faktor dimiliki. Di sini, ketika seorang bhikkhu telah masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, keinginan indria ditinggalkan, niat buruk ditinggalkan, kelambanan dan ketumpulan ditinggalkan, kekhawatiran dan penyesalan [295] ditinggalkan, dan keragu-raguan ditinggalkan; dan di sana muncul awal pikiran, kelangsungan pikiran, kegembiraan, kenikmatan, dan keterpusatan pikiran. Ini adalah bagaimana dalam jhāna pertama lima faktor ditinggalkan dan lima faktor dimiliki.”

(LIMA INDRIA)

21. “Teman, lima indria ini masing-masing memiliki bidang terpisah, wilayah terpisah, dan tidak saling mengalami bidang dan wilayah lainnya, yaitu, indria mata, indria telinga, indria hidung, indria lidah, dan indria badan. Sekarang dari kelima indria ini yang masing-masing memiliki bidang terpisah, wilayah terpisah, dan tidak saling mengalami bidang dan wilayah lainnya, apakah penentunya, apakah yang mengalami bidang dan wilayahnya?”

“Teman, kelima indria ini masing-masing memiliki bidang terpisah, wilayah terpisah, dan tidak saling mengalami bidang dan wilayah lainnya, yaitu, indria mata, indria telinga, indria hidung, indria lidah, dan indria badan. Sekarang dari kelima indria ini yang masing-masing memiliki bidang terpisah, wilayah terpisah, dan tidak saling mengalami bidang dan wilayah lainnya, memiliki pikiran sebagai penentunya, dan pikiran mengalami bidang dan wilayahnya.”

22. “Teman, sehubungan dengan kelima indria ini - yaitu, indria mata, indria telinga, indria hidung, indria lidah, dan indria badan – bergantung pada apakah kelima indria ini berdiri?”

“Teman, sehubungan dengan kelima indria ini - yaitu, indria mata, indria telinga, indria hidung, indria lidah, dan indria badan – kelima indria ini berdiri dengan bergantung pada vitalitas.”

“Teman, bergantung pada apakah vitalitas berdiri?”

“Vitalitas berdiri dengan bergantung pada panas.”

“Teman, bergantung pada apakah panas berdiri?”

“Panas berdiri dengan bergantung pada vitalitas.”

“Tadi, teman, kami memahami Yang Mulia Sāriputta mengatakan: ‘Vitalitas berdiri dengan bergantung pada panas.’; dan sekarang kami memahami ia mengatakan: ‘Panas berdiri dengan bergantung pada vitalitas.’ Bagaimanakah makna dari kedua pernyataan ini dipahami?”

“Dalam hal ini, teman, aku akan memberikan sebuah perumpamaan, karena beberapa orang bijaksana di sini memahami makna suatu pernyataan melalui perumpamaan. Seperti halnya ketika sebuah lampu minyak menyala, cahayanya terlihat dengan bergantung pada apinya dan apinya terlihat dengan bergantung pada cahayanya; demikian pula, vitalitas berdiri dengan bergantung pada panas dan panas berdiri dengan bergantung pada vitalitas.”

(BENTUKAN-BENTUKAN VITAL)

23. “Teman, apakah bentukan-bentukan vital adalah kondisi perasaan atau apakah bentukan-bentukan vital adalah satu hal dan kondisi perasaan adalah hal lainnya?” [296]

“Bentukan-bentukan vital, teman, bukanlah kondisi perasaan.  Jika bentukan-bentukan vital adalah kondisi perasaan, maka ketika seorang bhikkhu telah memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan, ia tidak terlihat keluar dari sana. Karena bentukan-bentukan vital adalah satu hal dan kondisi perasaan adalah hal lainnya, maka ketika seorang bhikkhu telah memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan, ia dapat terlihat keluar dari sana.”

24. “Teman, ketika jasmani ini kehilangan berapa kondisikah maka jasmani ini dilepaskan dan ditinggalkan, dibiarkan mati bagaikan balok kayu?”

“Teman, ketika jasmani ini kehilangan tiga kondisi – vitalitas, panas, dan kesadaran – maka jasmani ini dilepaskan dan ditinggalkan, dibiarkan mati bagaikan balok kayu.”

25. “Teman, apakah perbedaan antara seseorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, dan seorang bhikkhu yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan?”

“Teman, dalam hal seorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, bentukan-bentukan jasmaninya telah memudar dan sirna, bentukan-bentukan ucapannya telah memudar dan sirna; bentukan-bentukan pikirannya telah memudar dan sirna, vitalitasnya padam, panasnya berhamburan, dan indria-indrianya hancur seluruhnya. Dalam hal seorang bhikkhu yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan,  bentukan-bentukan jasmaninya telah memudar dan sirna, bentukan-bentukan ucapannya telah memudar dan sirna, tetapi vitalitasnya tidak padam, panasnya tidak berhamburan, dan indria-indrianya menjadi sangat jernih.  Ini adalah perbedaan antara seseorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, dan seorang bhikkhu yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan.”

(KEBEBASAN PIKIRAN )

26. “Teman, berapakah kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran  bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”

“Teman, ada empat kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran  bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan: di sini, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan lenyapnya sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini adalah empat kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran  bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”

27. “Teman, berapakah kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran  tanpa gambaran?”

“Teman, ada dua kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran  tanpa gambaran: tanpa-perhatian pada segala gambaran dan perhatian pada unsur tanpa-gambaran. Ini adalah dua kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran  tanpa gambaran.”

28. “Teman, berapakah kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran  tanpa gambaran yang terus-menerus?”

“Teman, ada tiga kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran  tanpa gambaran yang terus-menerus: [297] tanpa-perhatian pada segala gambaran, perhatian pada unsur tanpa-gambaran, dan tekad sebelumnya [atas durasinya]. Ini adalah tiga kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran  tanpa gambaran yang terus-menerus.”

29. “Teman, berapakah kondisi untuk keluar dari  kebebasan pikiran  tanpa gambaran?”

“Teman, ada dua kondisi untuk keluar dari pencapaian kebebasan pikiran  tanpa gambaran: perhatian pada segala gambaran dan tanpa-perhatian pada unsur tanpa-gambaran. Ini adalah kondisi untuk keluar dari  kebebasan pikiran  tanpa gambaran.”

30. “Teman, kebebasan pikiran  yang tanpa batas, kebebasan pikiran  melalui kekosongan, kebebasan pikiran  melalui kehampaan, dan kebebasan pikiran  tanpa gambaran: apakah kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam sebutan, atau bermakna sama dan hanya berbeda dalam sebutan?”

“Teman, kebebasan pikiran  yang tanpa batas, kebebasan pikiran  melalui kekosongan, kebebasan pikiran  melalui kehampaan, dan kebebasan pikiran  tanpa gambaran: ada cara di mana kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam sebutan, dan ada cara di mana kondisi-kondisi ini bermakna sama  dan hanya berbeda dalam sebutan.

31. “Apakah, teman, cara di mana kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam sebutan? Di sini seorang bhikkhu meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala arah, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasihan ... Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh kegembiraan altruistis ... Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh keseimbangan, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala arah, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ini disebut kebebasan pikiran  yang tanpa batas.

32. “Dan apakah, teman, kebebasan pikiran  melalui kekosongan?” Di sini, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ini disebut kebebasan pikiran  melalui kekosongan.

33. “Dan apakah, teman, kebebasan pikiran  melalui kehampaan? Di sini seorang bhikkhu, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, merenungkan sebagai berikut: ‘Ini hampa dari diri atau apa yang menjadi milik diri.’ [298] Ini disebut kebebasan pikiran  melalui kehampaan.

34. “Dan apakah, teman, kebebasan pikiran  tanpa gambaran? Di sini, dengan tanpa-perhatian pada segala gambaran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran tanpa-gambaran. Ini disebut kebebasan pikiran  tanpa gambaran.  Ini adalah cara di mana kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam sebutan

35. “Dan apakah, teman, cara di mana kondisi-kondisi ini bermakna sama dan hanya berbeda dalam sebutan? Nafsu adalah pembuat penilaian, Kebencian adalah pembuat penilaian, kebodohan adalah pembuat penilaian.  Dalam diri seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah hancur, hal-hal ini telah ditinggalkan, dipotong pada akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, tersingkirkan sehingga tidak dapat muncul lagi di masa depan. Di antara semua jenis kebebasan pikiran  yang tanpa batas, kebebasan pikiran  yang tidak tergoyahkan adalah yang terbaik. Sekarang kebebasan pikiran  yang tidak tergoyahkan itu hampa dari nafsu, hampa dari kebencian, hampa dari kebodohan.

36. “Nafsu adalah satu hal, kebencian adalah satu hal, kebodohan adalah satu hal.  Dalam diri seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah hancur, hal-hal ini telah ditinggalkan, dipotong pada akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, tersingkirkan sehingga tidak dapat muncul lagi di masa depan. Di antara semua jenis kebebasan pikiran  melalui kekosongan, kebebasan pikiran  yang tidak tergoyahkan adalah yang terbaik.  Sekarang kebebasan pikiran  yang tidak tergoyahkan itu hampa dari nafsu, hampa dari kebencian, hampa dari kebodohan.

37. “Nafsu adalah pembuat gambaran, kebencian adalah pembuat gambaran, kebodohan adalah pembuat gambaran.  Dalam diri seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah hancur, hal-hal ini telah ditinggalkan, dipotong pada akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, tersingkirkan sehingga tidak dapat muncul lagi di masa depan. Di antara semua jenis kebebasan pikiran  tanpa gambaran, kebebasan pikiran  yang tidak tergoyahkan adalah yang terbaik.  Sekarang kebebasan pikiran  yang tidak tergoyahkan itu hampa dari nafsu, hampa dari kebencian, hampa dari kebodohan. Ini adalah cara di mana kondisi-kondisi ini bermakna sama dan hanya berbeda dalam sebutan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Yang Mulia Mahā Koṭṭhita merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 25 July 2010, 06:09:53 PM
44  Cūḷavedalla Sutta
Rangkaian pendek Tanya-Jawab

[299] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian umat awam Visākha mendatangi Bhikkhunī Dhammadinnā,  dan setelah bersujud kepadanya, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepadanya:

(IDENTITAS)

2. “Yang Mulia, ‘identitas, identitas’ dikatakan. Apakah yang disebut identitas oleh Sang Bhagavā?

“Teman Visākha, kelima kelompok unsur kehidupan ini yang terpengaruh oleh kemelekatan disebut sebagai identitas oleh Sang Bhagavā; yaitu, kelompok unsur bentuk materi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur perasaan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur persepsi yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan yang terpengaruh oleh kemelekatan, kelompok unsur kesadaran yang terpengaruh oleh kemelekatan. Kelima kelompok unsur kehidupan ini disebut identitas oleh Sang Bhagavā.”

Dengan mengatakan, “Bagus sekali, Yang Mulia,” umat awam Visākha senang dan gembira mendengar kata-kata Bhikkhunī Dhammadinnā. Kemudian ia mengajukan pertanyaan lebih lanjut:

3. “Yang Mulia, ‘asal-mula identitas, asal-mula identitas’ dikatakan. Apakah yang disebut asal-mula identitas oleh Sang Bhagavā?”

“Teman Visākha, adalah keinginan, yang membawa penjelmaan baru, yang disertai dengan kesenangan dan nafsu, dan senang akan ini dan itu; yaitu, keinginan akan kenikmatan indria, keinginan akan penjelmaan, dan keinginan akan tanpa-penjelmaan. Ini disebut asal-mula identitas oleh Sang Bhagavā.”

4. “Yang Mulia, ‘lenyapnya identitas, lenyapnya identitas’ dikatakan. Apakah yang disebut lenyapnya identitas oleh Sang Bhagavā?”

“Teman Visākha, adalah peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya, menghentikan, melepaskan, membiarkan dan menolak keinginan yang sama itu. Ini disebut lenyapnya identitas oleh Sang Bhagavā.”

5. “Yang Mulia, ‘jalan menuju lenyapnya identitas, jalan menuju lenyapnya identitas’ dikatakan. Apakah yang disebut jalan menuju lenyapnya identitas oleh Sang Bhagavā?”

“Teman Visākha, adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.”

6. “Yang Mulia, apakah kemelekatan itu sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini, atau kemelekatan adalah sesuatu yang terpisah dari kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan?”

“Teman Visākha, kemelekatan itu bukan sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan [300] juga kemelekatan bukan sesuatu yang terpisah dari kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Adalah keinginan dan nafsu sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan yang menjadi kemelekatan di sana.”


(PANDANGAN ATAS IDENTITAS)

7. “Yang Mulia, bagaimanakah pandangan atas identitas muncul?”

“Di sini, teman Visākha, seorang biasa yang tidak terpelajar, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Ia menganggap perasaan sebagai diri, atau diri sebagai memiliki perasaan, atau perasaan sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam perasaan. Ia menganggap persepsi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki persepsi, atau persepsi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam persepsi. Ia menganggap bentukan-bentukan sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentukan-bentukan, atau bentukan-bentukan sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentukan-bentukan. Ia menganggap kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Ini adalah bagaimana pandangan atas identitas muncul”

8. “Yang Mulia, bagaimanakah pandangan atas identitas tidak muncul?”

“Di sini, teman Visākha, seorang mulia yang terpelajar, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri, atau diri sebagai memiliki perasaan, atau perasaan sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam perasaan. Ia tidak menganggap persepsi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki persepsi, atau persepsi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam persepsi. Ia tidak menganggap bentukan-bentukan sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentukan-bentukan, atau bentukan-bentukan sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentukan-bentukan. Ia tidak menganggap kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Ini adalah bagaimana pandangan atas identitas tidak muncul”

(JALAN MULIA BERUNSUR DELAPAN)

9. “Yang Mulia, apakah Jalan Mulia Berunsur Delapan?”

“Teman Visākha, adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.”

10. “Yang Mulia, apakah Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah terkondisi atau tidak terkondisi?”

“Teman, Visākha, Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah [301] terkondisi.”

11. “Yang Mulia, apakah tiga kelompok termasuk dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan, atau Jalan Mulia Berunsur Delapan termasuk dalam tiga kelompok?”

“Tiga kelompok bukan termasuk dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan, teman Visākha, tetapi Jalan Mulia Berunsur Delapan termasuk dalam ketiga kelompok. Ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar – kondisi-kondisi ini termasuk dalam kelompok moralitas. Usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar – kondisi-kondisi ini termasuk dalam kelompok konsentrasi. Pandangan benar dan kehendak benar – kondisi-kondisi ini termasuk dalam kelompok kebijaksanaan.”

(KONSENTRASI)

12. “Yang Mulia, apakah konsentrasi? Apakah landasan konsentrasi? Apakah perlengkapan konsentrasi? Apakah pengembangan konsentrasi?”

“Keterpusatan pikiran, teman Visākha, adalah konsentrasi; Empat Landasan Perhatian adalah landasan konsentrasi; Empat Usaha Benar adalah perlengkapan konsentrasi; pengulangan, pengembangan, dan pelatihan atas hal-hal ini adalah kondisi yang sama dengan pengembangan konsentrasi.”

(BENTUKAN-BENTUKAN)

13. “Yang Mulia, ada berapakah bentukan-bentukan itu?”

“Ada tiga bentukan ini, teman Visākha: bentukan jasmani, bentukan ucapan, dan bentukan pikiran.”

14. “Tetapi, Yang Mulia, apakah bentukan jasmani? apakah bentukan ucapan? apakah bentukan pikiran?”

“Nafas-masuk dan nafas-keluar, teman Visākha, adalah bentukan jasmani; awal pikiran dan kelangsungan pikiran adalah bentukan ucapan; persepsi dan perasaan adalah bentukan pikiran.”

15. “Tetapi, Yang Mulia, mengapa nafas-masuk dan nafas-keluar adalah bentukan jasmani? Mengapa awal pikiran dan kelangsungan pikiran adalah bentukan ucapan? Mengapa persepsi dan perasaan adalah bentukan pikiran?

“Teman, Visākha nafas-masuk dan nafas-keluar adalah jasmani, kondisi-kondisi ini terikat dengan jasmani; itulah sebabnya mengapa nafas-masuk dan nafas-keluar adalah bentukan jasmani. Pertama-tama seseorang mulai berpikir dan mempertahankan pikiran, dan selanjutnya ia mengungkapkannya melalui ucapan; itulah sebabnya mengapa awal-pikiran dan kelangsungan pikiran adalah bentukan ucapan. Persepsi dan perasaan adalah pikiran, kondisi-kondisi ini terikat dengan pikiran; itulah sebabnya mengapa persepsi dan perasaan adalah bentukan pikiran.”

(PENCAPAIAN LENYAPNYA)

16. “Yang Mulia, bagaimanakah pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan terjadi?”

“Teman Visākha, ketika seorang bhikkhu mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan, ia tidak berpikir: ‘Aku akan mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan,’ atau ‘Aku sedang mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan,’ atau ‘Aku telah mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan’; melainkan pikirannya telah dikembangkan sebelumnya sedemikian sehingga mengarahkannya pada kondisi tersebut.”  [302]

17. “Yang Mulia, ketika seorang bhikkhu sedang mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan, kondisi manakah yang pertama lenyap dalam dirinya: bentukan jasmani, bentukan ucapan, atau bentukan pikiran?”

“Teman Visākha, ketika seorang bhikkhu sedang mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan, pertama-tama bentukan ucapan lenyap, kemudian bentukan jasmani, kemudian bentukan pikiran.”

18. “Yang Mulia, bagaimanakah keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan terjadi?”

“Teman Visākha, ketika seorang bhikkhu keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, ia tidak berpikir: ‘Aku akan keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan,’ atau ‘Aku sedang keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan,’ atau ‘Aku telah keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan’; melainkan pikirannya telah dikembangkan sebelumnya sedemikian sehingga mengarahkannya pada kondisi tersebut.”

19. “Yang Mulia, ketika seorang bhikkhu keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, kondisi manakah yang pertama muncul dalam dirinya: bentukan jasmani, bentukan ucapan, atau bentukan pikiran?”

“Teman Visākha, ketika seorang bhikkhu keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, pertama-tama bentukan pikiran muncul, kemudian bentukan jasmani, kemudian bentukan ucapan.”

20. “Yang Mulia, ketika seorang bhikkhu telah keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, ada berapakah kontak yang menyentuhnya?”

“Teman Visākha, ketika seorang bhikkhu telah keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, tiga jenis kontak menyentuhnya: kontak kehampaan, kontak tanpa-gambaran, kontak tanpa-keinginan.”

21. “Yang Mulia, ketika seorang bhikkhu telah keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, kepada apakah pikirannya condong, kepada apakah pikirannya bersandar, kepada apakah pikirannya mengarah?”

“Teman Visākha, ketika seorang bhikkhu telah keluar dari pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, pikirannya condong kepada keterasingan, bersandar pada keterasingan, mengarah pada keterasingan.”

(PERASAAN)

22. “Yang Mulia, ada berapakah jenis perasaan?”

“Teman Visākha, ada tiga jenis perasaan: perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, dan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”

23. “Tetapi, Yang Mulia, apakah perasaan menyenangkan? apakah perasaan menyakitkan? dan apakah perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”

“Teman Visākha, perasaan apapun yang dirasakan secara jasmani atau secara batin yang menyenangkan dan menyejukkan adalah perasaan menyenangkan. Perasaan apapun yang dirasakan secara jasmani atau secara batin yang menyakitkan dan melukai adalah perasaan menyakitkan. Perasaan apapun yang dirasakan secara jasmani atau secara batin yang tidak menyejukkan juga tidak melukai [303] adalah perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”

24. “Yang Mulia, apakah menyenangkan dan apakah menyakitkan sehubungan dengan perasaan menyenangkan? Apakah menyakitkan dan apakah menyenangkan sehubungan dengan perasaan menyakitkan? Apakah menyenangkan dan apakah menyakitkan sehubungan dengan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?

“Teman Visākha, perasaan menyenangkan adalah menyenangkan selama perasaan itu berlangsung dan menyakitkan ketika perasaan itu berubah. Perasaan menyakitkan adalah menyakitkan selama perasaan itu berlangsung dan menyenangkan ketika perasaan itu berubah. Perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan adalah menyenangkan jika ada pengetahuan [atas perasaan itu] dan menyakitkan jika tidak ada pengetahuan [atas perasaan itu].”

(KECENDERUNGAN TERSEMBUNYI)

25. “Yang Mulia, kecenderungan tersembunyi apakah yang mendasari perasaan menyenangkan? kecenderungan tersembunyi apakah yang mendasari perasaan menyakitkan? kecenderungan tersembunyi apakah yang mendasari perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”

“Teman Visākha, kecenderungan tersembunyi pada nafsu mendasari perasaan menyenangkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebencian mendasari perasaan menyakitkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebodohan mendasari perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”

26. “Yang Mulia, apakah kecenderungan tersembunyi pada nafsu mendasari semua perasaan menyenangkan? Apakah kecenderungan tersembunyi pada kebencian mendasari semua perasaan menyakitkan? Apakah kecenderungan tersembunyi pada kebodohan mendasari semua perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”

“Teman Visākha, kecenderungan tersembunyi pada nafsu tidak mendasari semua perasaan menyenangkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebencian tidak mendasari semua perasaan menyakitkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebodohan tidak mendasari semua perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”

27. “Yang Mulia, apakah yang harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan menyenangkan? apakah yang harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan menyakitkan? apakah yang harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”

“Teman Visākha, kecenderungan tersembunyi pada nafsu harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan menyenangkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebencian harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan menyakitkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebodohan harus ditinggalkan sehubungan dengan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”

28. “Yang Mulia, apakah kecenderungan tersembunyi pada nafsu harus ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan menyenangkan? Apakah kecenderungan tersembunyi pada kebencian harus ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan menyakitkan? Apakah kecenderungan tersembunyi pada kebodohan harus ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”

“Teman Visākha, kecenderungan tersembunyi pada nafsu tidak harus ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan menyenangkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebencian tidak harus ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan menyakitkan. Kecenderungan tersembunyi pada kebodohan tidak harus ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.

“Di sini, teman Visākha, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Dengan itu ia meninggalkan nafsu, dan kecenderungan tersembunyi pada nafsu tidak mendasari itu.

“Di sini seorang bhikkhu mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kapankah aku harus masuk dan berdiam dalam landasan yang dimasuki dan didiami oleh para mulia sekarang?’ Dalam diri seorang yang memunculkan kerinduan akan kebebasan tertinggi itu, [304] kesedihan muncul bersama kerinduan itu sebagai kondisi. Dengan itu ia meninggalkan kebencian, dan kecenderungan tersembunyi pada kebencian tidak mendasari itu.

“Di sini, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Dengan itu ia meninggalkan kebodohan, dan kecenderungan tersembunyi pada kebodohan tidak mendasari itu.”

(PASANGAN)

29. “Yang Mulia, apakah pasangan dari perasaan menyenangkan?”

“Teman Visākha, perasaan menyakitkan adalah pasangan dari perasaan menyenangkan.”

“Apakah pasangan dari perasaan menyakitkan?”

“Perasaan menyenangkan adalah pasangan dari perasaan menyakitkan.”

“Apakah pasangan dari perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan

“Kebodohan adalah pasangan dari perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”

“Apakah pasangan dari kebodohan?”

“Pengetahuan sejati adalah pasangan dari kebodohan.”

“Apakah pasangan dari pengetahuan sejati?”

“Kebebasan adalah pasangan dari pengetahuan sejati.”

“Apakah pasangan dari kebebasan?”

“Nibbāna adalah pasangan dari kebebasan.”

“Yang Mulia, apakah pasangan dari Nibbāna?”

“Teman Visākha, engkau melewati batas mengajukan pertanyaan terlalu jauh, engkau tidak mampu menangkap batasan pertanyaan-pertanyaan.  Karena kehidupan suci, teman Visākha, berlandaskan dpada Nibbāna, memuncak dalam Nibbāna, berakhir dalam Nibbāna. Jika engkau menghendaki, teman Visākha, temuilah Sang Bhagavā dan tanyakan kepada Beliau mengenai makna ini. Sebagaimana Sang Bhagavā menjelaskan kepadamu, demikianlah engkau harus mengingatnya.”

(PENUTUP)

30. Kemudian umat awam Visākha, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Bhikkhunī Dhammadinnā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepadanya, dengan Bhikkhunī Dhammadinnā di sisi kanannya, ia pergi menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Sang Bhagavā seluruh percakapannya dengan Bhikkhunī Dhammadinnā. Ketika ia selesai berbicara, Sang Bhagavā memberitahunya:

31. Bhikkhunī Dhammadinnā bijaksana, Visākha, Bhikkhunī Dhammadinnā memiliki kebijaksanaan luas. Jika engkau menanyakan makna dari hal ini, Aku juga akan menjelaskan kepadamu [305] dengan cara yang sama seperti yang telah dijelaskan oleh Bhikkhunī Dhammadinnā. Demikianlah maknanya, dan engkau harus mengingatnya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Umat awam Visākha merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 25 July 2010, 06:48:05 PM
45  Cūḷadhammasamādāna Sutta
Khotbah Pendek tentang Cara-Cara
Melaksanakan Segala Sesuatu

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, ada empat cara melaksanakan segala sesuatu. Apakah empat ini? Ada cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan. Ada cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan. Ada cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan. Ada cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.

3. “Apakah, para bhikkhu, cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan? Para bhikkhu, ada para petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya sebagai berikut: ‘Tidak ada bahaya dalam kenikmatan indria.’ Mereka menelan kenikmatan indria dan bersenang-senang dengan para pengembara perempuan yang mengikat rambut mereka dengan sanggul. Mereka berkata: ‘Masa depan yang bagaimanakah yang dilihat oleh para petapa dan brahmana baik ini ketika mereka mengajarkan meninggalkan kenikmatan indria dan menjelaskan pemahaman sepenuhnya atas kenikmatan indria? Sungguh menyenangkan sentuhan tangan lembut dan halus dari pengembara perempuan ini!’ Demikianlah mereka menelan kenikmatan indria, dan setelah melakukan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, mereka muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Di sana mereka merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Mereka berkata: ‘Inilah Masa depan yang dilihat oleh para petapa dan brahmana baik itu dalam kenikmatan indria ini ketika mereka mengajarkan meninggalkan kenikmatan indria dan menjelaskan pemahaman sepenuhnya atas kenikmatan indria. Karena dengan alasan kenikmatan indria, [306] demi kenikmatan indria, maka kami sekarang merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.’

4. “Para bhikkhu, misalkan pada bulan terakhir musim panas sekuntum kelopak tumbuhan rambat māluva terbuka dan biji tumbuhan rambat māluva itu jatuh di bawah sebatang pohon sāla. Kemudian dewa yang menghuni pohon itu menjadi cemas, terganggu, dan ketakutan; tetapi teman-teman, sahabat, sanak saudara dan kerabat – dewa kebun, dewa taman, dewa pohon, dan para dewa yang menghuni tanaman obat, rumput dan pepohonan besar di hutan – berkumpul dan menenangkan dewa itu sebagai berikut: ‘Jangan takut, tuan, jangan takut. Mungkin seekor merak akan menelan biji tumbuhan rambat māluva itu atau seekor binatang liar akan memakannya atau kebakaran hutan akan membakarnya atau para pekerja hutan akan membawanya atau rayap akan melahapnya atau biji itu mungkin mandul.’ Tetapi tidak ada merak yang menelan biji tumbuhan rambat māluva itu, tidak ada binatang liar yang memakannya, tidak ada kebakaran hutan yang membakarnya, tidak ada pekerja hutan yang  membawanya, tidak ada rayap yang melahapnya atau biji itu ternyata tidak mandul. Kemudian, karena disiram oleh hujan dari awan pembawa hujan, biji itu akhirnya bertunas dan sulur-sulur tumbuhan rambat māluva yang lembut itu bergulung di sekeliling pohon sāla itu. Kemudian dewa yang menghuni pohon sāla itu berpikir: ‘Masa depan yang bagaimanakah yang dilihat oleh teman-teman dan sahabat, sanak saudara dan kerabatku … dalam biji tumbuhan rambat māluva itu ketika mereka berkumpul dan menenangkanku seperti yang telah mereka lakukan? Sungguh menyenangkan sentuhan sulur-sulur tumbuhan rambat māluva yang lembut ini!’ kemudian tumbuhan rambat itu membungkus pohon sāla, membuat atap di atasnya, menurunkan tirai di sekelilingnya, dan memecahkan batang pohon itu. Dewa yang menghuni pohon itu kemudian menyadari: ‘Inilah masa depan yang mereka lihat dalam biji tumbuhan rambat māluva itu. [307] Karena biji tumbuhan rambat māluva itu aku sekarang merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.’

“Demikian pula, para bhikkhu, ada para petapa dan brahmana tertentu yang doktrin dan pandangannya sebagai berikut: ‘Tidak ada bahaya dalam kenikmatan indria.’ … Mereka berkata: ‘Inilah Masa depan yang dilihat oleh para petapa dan brahmana baik itu dalam kenikmatan indria … maka kami sekarang merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.’ Ini disebut cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.

5. “Dan apakah, para bhikkhu, cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan? Di sini, para bhikkhu, seseorang bepergian dengan telanjang, menolak kebiasaan, menjilat tangannya, tidak datang ketika diminta, tidak berhenti ketika diminta … (seperti Sutta 12,§45) [308] … Ia berdiam dengan menekuni praktik mandi di air tiga kali setiap hari termasuk di malam hari. Demikianlah dalam berbagai cara ia berdiam menekuni praktik menyiksa dan menghukum tubuhnya. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ini disebut cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.

6. “Dan apakah, para bhikkhu, cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan? Di sini, para bhikkhu, seseorang secara alami memiliki nafsu yang kuat, dan ia terus-menerus mengalami kesakitan dan kesedihan yang muncul dari nafsu itu;  secara alami ia memiliki kebencian yang kuat, dan ia terus-menerus mengalami kesakitan dan kesedihan yang muncul dari kebencian itu; secara alami ia memiliki kebodohan yang kuat, dan ia terus-menerus mengalami kesakitan dan kesedihan yang muncul dari kebodohan itu. Akan tetapi dalam kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Ini disebut cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.

7. “Dan apakah, para bhikkhu, cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan? Di sini, para bhikkhu, seseorang secara alami tidak memiliki nafsu yang kuat, dan ia tidak terus-menerus mengalami kesakitan dan kesedihan yang muncul dari nafsu itu;  secara alami ia tidak memiliki kebencian yang kuat, dan ia tidak terus-menerus mengalami kesakitan dan kesedihan yang muncul dari kebencian itu; secara alami ia tidak memiliki kebodohan yang kuat, [309] dan ia tidak terus-menerus mengalami kesakitan dan kesedihan yang muncul dari kebodohan itu. Dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Dengan meluruhnya kegembiraan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Ini disebut cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan. Ini, para bhikkhu, adalah empat cara melaksanakan segala sesuatu.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 25 July 2010, 06:49:11 PM
46 Mahādhammasamādāna Sutta
Khotbah Panjang tentang Cara-Cara
Melaksanakan Segala Sesuatu

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, sebagian besar makhluk memiliki harapan, keinginan, dan kerinduan: ‘Seandainya hal-hal yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan berkurang dan hal-hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan bertambah!’ Namun walaupun makhluk-makhluk memiliki harapan, keinginan, dan kerinduan ini, tetapi hal-hal yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan bertambah bagi mereka dan hal-hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan berkurang. Sekarang, para bhikkhu, apakah menurut kalian alasan atas hal itu?”

“Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, [310] dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari kata-kata ini. Setelah mendengarkan dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, para bhikkhu, dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.”

“Baik, Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terpelajar, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, tidak mengetahui hal-hal apakah yang seharusnya dilatih dan hal-hal apakah yang seharusnya tidak dilatih, ia tidak mengetahui hal-hal apakah yang harus diikuti dan hal-hal apakah yang seharusnya tidak diikuti. Karena tidak mengetahui ini, ia melatih hal-hal yang seharusnya tidak dilatih dan tidak melatih hal-hal yang seharusnya dilatih, ia mengikuti hal-hal yang seharusnya tidak diikuti dan tidak mengikuti hal-hal yang seharusnya diikuti.  Adalah karena ia melakukan hal ini maka hal-hal yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan bertambah baginya dan hal-hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan berkurang. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang tidak melihat.

4. “Siswa mulia yang terpelajar, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, mengetahui hal-hal apakah yang seharusnya dilatih dan hal-hal apakah yang seharusnya tidak dilatih, ia mengetahui hal-hal apakah yang harus diikuti dan hal-hal apakah yang seharusnya tidak diikuti. Dengan mengetahui ini, ia melatih hal-hal yang seharusnya dilatih dan tidak melatih hal-hal yang seharusnya tidak dilatih, ia mengikuti hal-hal yang seharusnya diikuti dan tidak mengikuti hal-hal yang seharusnya tidak diikuti. Adalah karena ia melakukan hal ini maka hal-hal yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan berkurang baginya dan hal-hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan bertambah. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang melihat.

5. “Para bhikkhu, ada empat cara melaksanakan segala sesuatu. Apakah empat ini? Ada cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan. Ada [311] cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan. Ada cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan. Ada cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.

(ORANG DUNGU)

6. (1) “Sekarang, para bhikkhu, seorang yang dungu, tidak mengetahui cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan, tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.’ Karena tidak mengetahui hal ini, tidak memahami hal ini sebagaimana adanya, si dungu melatihnya dan tidak menghindarinya; karena ia melakukan hal itu, maka hal-hal yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan bertambah baginya dan hal-hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan berkurang. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang tidak melihat.

7. (2) “Sekarang, para bhikkhu, seorang yang dungu, tidak mengetahui cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan, tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.’ Karena tidak mengetahui hal ini, tidak memahami hal ini sebagaimana adanya, si dungu melatihnya dan tidak menghindarinya; karena ia melakukan hal itu, maka hal-hal yang tidak diharapkan ... bertambah baginya dan hal-hal yang diharapkan ... berkurang. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang tidak melihat.

8. (3) “Sekarang, para bhikkhu, seorang yang dungu, tidak mengetahui cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan, tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.’ Karena tidak mengetahui hal ini, tidak memahami hal ini sebagaimana adanya, si dungu tidak melatihnya melainkan menghindarinya; karena ia melakukan hal itu, maka hal-hal yang tidak diharapkan ... bertambah baginya dan hal-hal yang diharapkan ... berkurang. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang tidak melihat.

9. (4) “Sekarang, para bhikkhu, seorang yang dungu, tidak mengetahui cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan, tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.’ Karena tidak mengetahui hal ini, tidak memahami hal ini sebagaimana adanya, si dungu tidak melatihnya melainkan menghindarinya; karena ia melakukan hal itu, [312] maka hal-hal yang tidak diharapkan ... bertambah baginya dan hal-hal yang diharapkan ... berkurang. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang tidak melihat.

(ORANG BIJAKSANA)

10. (1) “Sekarang, para bhikkhu, seorang yang bijaksana, dengan mengetahui cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan, memahami sebagaimana adanya: ‘Cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.’ Karena mengetahui hal ini, memahami hal ini sebagaimana adanya, si bijaksana tidak melatihnya dan menghindarinya; karena ia melakukan hal itu, maka hal-hal yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan berkurang baginya dan hal-hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan bertambah. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang melihat.

11. (2) “Sekarang, para bhikkhu, seorang yang bijaksana, dengan mengetahui cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan, memahami sebagaimana adanya: ‘Cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.’ Karena mengetahui hal ini, memahami hal ini sebagaimana adanya, si bijaksana tidak melatihnya dan menghindarinya; karena ia melakukan hal itu, maka hal-hal yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan berkurang baginya dan hal-hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan bertambah. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang melihat.

12. (3) “Sekarang, para bhikkhu, seorang yang bijaksana, dengan mengetahui cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan, memahami sebagaimana adanya: ‘Cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.’ Karena mengetahui hal ini, memahami hal ini sebagaimana adanya, si bijaksana tidak menghindarinya, melainkan melatihnya; karena ia melakukan hal itu, maka hal-hal yang tidak diharapkan ... berkurang baginya dan hal-hal yang diharapkan ... bertambah. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang melihat.

13. (4) “Sekarang, para bhikkhu, seorang yang bijaksana, dengan mengetahui cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan, memahami sebagaimana adanya: ‘Cara melaksanakan segala sesuatu ini adalah menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.’ Karena mengetahui hal ini, memahami hal ini sebagaimana adanya, si bijaksana tidak menghindarinya, melainkan melatihnya; karena ia melakukan hal itu, maka hal-hal yang tidak diharapkan ... berkurang baginya dan hal-hal yang diharapkan ... bertambah. Mengapakah? Itu adalah apa yang terjadi pada seseorang yang melihat. [313]

(EMPAT CARA)

14. (1) “Apakah, para bhikkhu, cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan? Di sini, para bhikkhu, seseorang dalam kesakitan dan kesedihan membunuh makhluk-makhluk hidup, dan ia mengalami kesakitan dan kesedihan dengan membunuh makhluk-makhluk hidup sebagai kondisi. Dalam kesakitan dan kesedihan ia mengambil apa yang tidak diberikan ... berperilaku salah dalam kenikmatan indria ... mengucapkan kebohongan ... mengucapkan fitnah ... berkata-kata kasar ... gosip ... tamak ... memendam pikiran berniat buruk ... menganut pandangan salah, dan ia mengalami kesakitan dan kesedihan dengan pandangan salah sebagai kondisi. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan dalam neraka. Ini disebut cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.

15. (2) “Apakah, para bhikkhu, cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan? Di sini, para bhikkhu, seseorang dalam kenikmatan dan kegembiraan membunuh makhluk-makhluk hidup, dan ia mengalami kenikmatan dan kegembiraan dengan membunuh makhluk-makhluk hidup sebagai kondisi. Dalam kenikmatan dan kegembiraan ia mengambil apa yang tidak diberikan ... [314] ... menganut pandangan salah, dan ia mengalami kenikmatan dan kegembiraan dengan pandangan salah sebagai kondisi. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan dalam neraka. Ini disebut cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.

16. (3) “Apakah, para bhikkhu, cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan? Di sini, para bhikkhu, seseorang dalam kesakitan dan kesedihan menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup, dan ia mengalami kesakitan dan kesedihan dengan menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup sebagai kondisi. Dalam kesakitan dan kesedihan ia menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan ... menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria ... menghindari kebohongan ... menghindari mengucapkan fitnah ... menghindari kata-kata kasar ...menghindari gosip ... ia tidak tamak ... ia tidak memendam pikiran berniat buruk ... [315] ... ia menganut pandangan benar, dan ia mengalami kesakitan dan kesedihan dengan pandangan benar sebagai kondisi. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Ini disebut cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.

17. (4) “Apakah, para bhikkhu, cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan? Di sini, para bhikkhu, seseorang dalam kenikmatan dan kegembiraan menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup, dan ia mengalami kenikmatan dan kegembiraan dengan menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup sebagai kondisi. Dalam kenikmatan dan kegembiraan ia menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan ... ia menganut pandangan benar, dan ia mengalami kenikmatan dan kegembiraan dengan pandangan benar sebagai kondisi. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Ini disebut cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.

(PERUMPAMAAN)

18. (1) “Para bhikkhu, misalkan terdapat sebutir labu pahit yang dicampur dengan racun, dan seseorang datang yang menginginkan kehidupan, bukan kematian, yang menginginkan kenikmatan dan menghindari kesakitan, dan mereka memberitahunya: ‘Tuan, labu pahit ini telah dicampur dengan racun. Minumlah jika engkau menginginkan; [316] ketika engkau meminumnya, warna, bau, dan rasanya tidak akan menyenangkan bagimu, dan setelah meminumnya, engkau akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan.’ Kemudian ia meminumnya tanpa merenungkan dan tidak melepaskannya. Ketika ia meminumnya, warna, bau, dan rasanya tidak menyenangkan baginya, dan setelah meminumnya, ia mengalami kematian atau penderitaan mematikan. Serupa dengan ini, Aku katakan, adalah cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.

19. (2) “Misalkan terdapat sebuah cangkir perunggu berisi minuman yang berwarna indah, berbau harum, dan rasa lezat, tetapi telah dicampur dengan racun, dan seseorang datang yang menginginkan kehidupan, bukan kematian, yang menginginkan kenikmatan dan menghindari kesakitan, dan mereka memberitahunya: ‘Tuan, cangkir perunggu ini berisi minuman yang berwarna indah, berbau harum, dan rasa lezat, tetapi telah dicampur dengan racun. Minumlah jika engkau menginginkan; ketika engkau meminumnya, warna, bau, dan rasanya akan menyenangkan bagimu, tetapi setelah meminumnya, engkau akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan.’ Kemudian ia meminumnya tanpa merenungkan dan tidak melepaskannya. Ketika ia meminumnya, warna, bau, dan rasanya menyenangkan baginya, tetapi setelah meminumnya, ia mengalami kematian atau penderitaan mematikan. Serupa dengan ini, Aku katakan, adalah cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyakitkan.

20 (3) “Misalkan terdapat air kencing yang telah meragi dicampur dengan berbagai obat-obatan, dan seseorang yang menderita penyakit kuning datang, dan mereka memberitahunya: ‘Tuan, air kencing yang telah meragi ini dicampur dengan berbagai obat-obatan. Minumlah jika engkau menginginkan; ketika engkau meminumnya, warna, bau, dan rasanya tidak akan menyenangkan bagimu, tetapi setelah meminumnya, engkau akan sembuh.’ Kemudian ia meminumnya setelah merenungkan, dan tidak melepaskannya. ketika ia meminumnya, warna, bau, dan rasanya tidak menyenangkan baginya, tetapi setelah meminumnya, ia menjadi sembuh. Serupa dengan ini, Aku katakan, adalah cara melaksanakan segala sesuatu yang menyakitkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.

21 (4) “Misalkan terdapat dadih susu, madu, ghee, dan sirop yang dicampur menjadi satu, dan seseorang yang menderita penyakit disentri datang, dan mereka memberitahunya: ‘Tuan, [317] ini adalah dadih susu, madu, ghee, dan sirop yang dicampur menjadi satu. Minumlah jika engkau menginginkan; ketika engkau meminumnya, warna, bau, dan rasanya akan menyenangkan bagimu, dan setelah meminumnya, engkau akan sembuh.’ Kemudian ia meminumnya setelah merenungkan, dan tidak melepaskannya. ketika ia meminumnya, warna, bau, dan rasanya menyenangkan baginya, dan setelah meminumnya, ia menjadi sembuh. Serupa dengan ini, Aku katakan, adalah cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan.

22. “Bagaikan, di musim gugur, di bulan terakhir musim hujan, ketika langit cerah dan tanpa awan, matahari terbit di atas bumi menyingkirkan segala kegelapan dari angkasa dengan sinar dan cahayanya, demikian pula, cara melaksanakan segala sesuatu yang menyenangkan pada saat ini dan matang di masa depan sebagai menyenangkan, dengan sinar dan cahayanya menghalau doktrin-doktrin apapun dari para petapa dan brahmana biasa.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 25 July 2010, 06:50:17 PM
47  Vīmaṁsaka Sutta
Penyelidik

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang penyelidik, yang tidak mengetahui bagaimana mengukur pikiran orang lain,  seharusnya menyelidiki pikiran Sang Tathāgata untuk mengetahui apakah Beliau tercerahkan sempurna atau tidak.”

3. “Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari kata-kata ini. Setelah mendengarkan dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, para bhikkhu, dan perhatikanlah pada [318] apa yang akan Kukatakan.”

“Baik, Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

4. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang penyelidik, tidak mengetahui bagaimana mengukur pikiran orang lain, seharusnya menyelidiki pikiran Sang Tathāgata sehubungan dengan dua kondisi, kondisi yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga sebagai berikut: ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata, kondisi apapun yang mengotori yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’  Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi apapun yang mengotori yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga yang dapat ditemukan pada Sang Tathāgata.’

5. “Ketika ia mengetahui hal ini, ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata kondisi campuran apapun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’  Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi campuran apapun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga yang dapat ditemukan pada Sang Tathāgata.’

6. “Ketika ia mengetahui hal ini, ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata kondisi bersih apapun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’ Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Kondisi bersih yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga  terdapat pada Sang Tathāgata.’

7. “Ketika ia mengetahui hal ini, ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia ini telah mencapai kondisi bermanfaat ini sejak waktu yang lama atau apakah ia baru saja mencapainya?’ Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Yang Mulia ini telah mencapai kondisi bermanfaat ini sejak waktu yang lama; ia bukan baru saja mencapainya.’

8. “Ketika ia mengetahui hal ini, ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia ini telah memiliki reputasi dan mencapai kemasyhuran, sehingga bahaya [yang berhubungan dengan reputasi dan kemasyhuran] terdapat padanya?’ Karena, para bhikkhu, selama seorang bhikkhu belum memiliki reputasi dan belum mencapai kemasyhuran, maka bahaya [yang berhubungan dengan reputasi dan kemasyhuran] tidak terdapat padanya; tetapi ketika ia telah memiliki reputasi dan mencapai kemasyhuran, maka bahaya-bahaya itu terdapat padanya.  Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Yang Mulia ini telah memiliki reputasi dan mencapai kemasyhuran, tetapi bahaya [yang berhubungan dengan reputasi dan kemasyhuran]  tidak terdapat padanya.’

9. “Ketika ia mengetahui hal ini, [319] ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia ini terkendali tanpa ketakutan, bukan terkendali oleh ketakutan, dan apakah ia menghindari perbuatan yang melibatkan diri dalam kenikmatan indria karena ia adalah tanpa nafsu melalui hancurnya nafsu?’ Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Yang Mulia ini terkendali tanpa ketakutan, bukan terkendali oleh ketakutan, dan ia menghindari perbuatan yang melibatkan diri dalam kenikmatan indria karena ia adalah tanpa nafsu melalui hancurnya nafsu.’

10 “Sekarang, para bhikkhu, jika orang lain bertanya kepada bhikkhu itu sebagai berikut: ‘Apakah alasan yang mulia dan apakah buktinya sehingga ia mengatakan: “Yang Mulia itu terkendali tanpa ketakutan, bukan terkendali oleh ketakutan, dan ia menghindari perbuatan yang melibatkan diri dalam kenikmatan indria karena ia adalah tanpa nafsu melalui hancurnya nafsu.”?’ – jika menjawab dengan benar, bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia itu bersama dengan Sangha atau sendirian, sementara terdapat beberapa orang yang berperilaku baik dan beberapa orang berperilaku buruk dan beberapa orang mengajarkan kepada suatu kelompok,  sementara beberapa orang di sini mementingkan benda-benda materi dan beberapa orang tidak ternoda oleh benda-benda materi, namun Yang Mulia itu tidak merendahkan siapapun karena hal tersebut.  Dan aku telah mendengar dan mengetahui hal ini dari mulut Sang Bhagavā: ‘Aku terkendali tanpa ketakutan, bukan terkendali oleh ketakutan, dan Aku menghindari perbuatan yang melibatkan diri dalam kenikmatan indria karena Aku adalah tanpa nafsu melalui hancurnya nafsu.’”

11. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, harus ditanya lebih jauh mengenai hal ini sebagai berikut: ‘Apakah terdapat atau tidak terdapat pada Sang Tathāgata kondisi apapun yang mengotori yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’ Sang Tathāgata akan menjawab: ‘Tidak ada kondisi apapun yang mengotori yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga terdapat pada Sang Tathāgata.’

12. “Jika ditanya, ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata kondisi campuran apapun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’S Sang Tathāgata akan menjawab: ‘Tidak ada kondisi campuran apapun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga yang dapat ditemukan pada Sang Tathāgata.’

13. “Jika ditanya, ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata kondisi bersih apapun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’ Sang Tathāgata akan menjawab: ‘Kondisi bersih yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga  terdapat pada Sang Tathāgata. Itu adalah jalanKu dan wilayahKu, namun Aku tidak mengidentifikasikan dengannya.’

14. “Para bhikkhu, seorang siswa seharusnya mendatangi Sang Guru yang mengajarkan demikian untuk mendengarkan Dhamma. Sang Guru mengajarkan kepadanya Dhamma dengan tingkat yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, dengan tingkat yang lebih luhur dan lebih luhur lagi, dan pasangan-pasangan gelap dan cerahnya. Ketika Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu dengan cara ini, melalui pengetahuan langsung terhadap suatu ajaran tertentu di sini dalam Dhamma itu, [320] bhikkhu itu sampai pada kesimpulan mengenai ajaran-ajaran.  Ia berkeyakinan pada Sang Guru sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’

15. “Sekarang jika orang lain bertanya kepada bhikkhu itu sebagai berikut: ‘Apakah alasan yang mulia dan apakah buktinya sehingga ia mengatakan: “Sang Bhagavā telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.”?’ – jika menjawab dengan benar, bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Di sini, teman, aku mendatangi Sang Bhagavā untuk mendengarkan Dhamma. Sang Bhagavā mengajarkan kepadaku Dhamma dengan tingkat yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, dengan tingkat yang lebih luhur dan lebih luhur lagi, dan pasangan-pasangan gelap dan cerahnya. Ketika Sang Guru mengajarkan Dhamma kepadaku dengan cara ini, melalui pengetahuan langsung terhadap suatu ajaran tertentu di sini dalam Dhamma itu, aku sampai pada kesimpulan mengenai ajaran. Aku berkeyakinan pada Sang Guru sebagai berikut: “Sang Bhagavā telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.”

16. “Para bhikkhu, ketika keyakinan siapapun telah ditanam, berakar, dan kokoh dalam Sang Tathāgata melalui alasan-alasan, kata-kata, dan frasa-frasa ini, keyakinannya dikatakan sebagai didukung oleh alasan-alasan, berakar dalam penglihatan, kokoh;  tidak terkalahkan oleh petapa atau brahmana manapun atau dewa atau Māra atau Brahmā atau siapapun di dunia ini. Itulah, para bhikkhu, bagaimana terdapat suatu penyelidikan terhadap Sang Tathāgata sesuai Dhamma, dan itulah bagaimana Sang Bhagavā diselidiki dengan baik sesuai Dhamma.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 25 July 2010, 06:51:45 PM
48  Kosambiya Sutta
Orang-Orang Kosambi

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambī di Taman Ghosita.

 2. Pada saat itu para bhikkhu di Kosambī bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan. Mereka tidak dapat saling meyakinkan atau diyakinkan oleh yang lain; mereka juga tidak dapat saling membujuk atau dibujuk oleh yang lain.

3. Kemudian [321] seorang bhikkhu menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Beliau  tentang apa yang sedang terjadi.

4. Kemudian Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu sebagai berikut: “Pergilah, bhikkhu, katakan kepada para bhikkhu itu atas namaKu bahwa Sang Guru memanggil mereka.” – “Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan mendatangi para bhikkhu itu dan memberitahu mereka: “Sang Guru memanggil para mulia.”

“Baik, teman,” mereka menjawab, dan mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā bertanya kepada mereka: “Para bhikkhu, benarkah bahwa kalian telah bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan. Bahwa kalian tidak dapat saling meyakinkan atau diyakinkan oleh yang lain; bahwa kalian tidak dapat saling membujuk atau dibujuk oleh yang lain?”

“Benar, Yang Mulia.”

5. “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Ketika kalian bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan, apakah pada saat itu kalian memelihara perbuatan cinta kasih melalui jasmani, ucapan, dan pikiran secara terbuka dan secara pribadi terhadap teman-temanmu dalam kehidupan suci?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Demikianlah, para bhikkhu, ketika kalian bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan, maka pada saat itu kalian tidak memelihara perbuatan cinta kasih melalui jasmani, ucapan, dan pikiran secara terbuka dan secara pribadi terhadap teman-temanmu dalam kehidupan suci. Orang-orang sesat, apakah yang mungkin dapat kalian ketahui, apakah yang dapat kalian lihat, sehingga kalian bertengkar dan bercekcok dan berselisih, [322] saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan? Sehingga kalian tidak dapat saling meyakinkan atau diyakinkan oleh yang lain, sehingga kalian tidak dapat saling membujuk atau dibujuk oleh yang lain? Orang-orang sesat, hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaan kalian untuk waktu yang lama.”

6. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, terdapat enam prinsip kerukunan  yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan. Apakah enam ini?

“Di sini seorang bhikkhu memelihara perbuatan jasmani cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan ucapan cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan pikiran cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu menggunakan benda-benda bersama-sama dengan teman-teman baiknya dalam kehidupan suci; tanpa merasa keberatan, ia berbagi dengan mereka apapun jenis perolehan yang ia peroleh yang sesuai dengan Dhamma dan telah diperoleh dengan cara yang sesuai dengan Dhamma, bahkan termasuk isi mangkuknya. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal moralitas yang tidak rusak, tidak robek, tidak berbintik, tidak bercoreng, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak disalah-pahami, dan mendukung konsentrasi. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan.  Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

“Ini adalah enam prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

7. “Di antara prinsip-prinsip kerukunan ini, yang tertinggi, yang paling mendekatkan, yang paling menyatukan adalah pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan ini. Seperti halnya yang tertinggi, yang paling mendekatkan, yang paling menyatukan dari sebuah bangunan berkubah adalah kubahnya itu sendiri, demikian pula, [323] Di antara enam prinsip kerukunan ini, yang tertinggi … adalah pandangan yang mulia dan membebaskan …

8. “Dan apakah pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan ini?

“Di sini seorang bhikkhu, pergi ke hutan, atau ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, merenungkan sebagai berikut: ‘Adakah gangguan apapun yang belum ditinggalkan dalam diriku yang dapat mengganggu pikiranku sehingga aku tidak dapat mengetahui atau melihat segala sesuatu sebagaimana adanya?’ Jika seorang bhikkhu terganggu oleh nafsu indria, maka pikirannya terganggu. Jika ia terganggu oleh niat buruk, maka pikirannya terganggu. Jika ia terganggu oleh kelambanan dan ketumpulan, maka pikirannya terganggu. Jika ia terganggu oleh kegelisahan dan penyesalan, maka pikirannya terganggu. Jika ia terganggu oleh keragu-raguan, maka pikirannya terganggu. Jika seorang bhikkhu tenggelam dalam spekulasi sehubungan dengan dunia ini, maka pikirannya terganggu. Jika seorang bhikkhu tenggelam dalam spekulasi sehubungan dengan dunia lain, maka pikirannya terganggu. Jika seorang bhikkhu terlibat dalam pertengkaran, percekcokan, dan perselisihan, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan, maka pikirannya terganggu.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Tidak ada gangguan yang belum ditinggalkan dalam diriku yang dapat mengganggu pikiranku sehingga aku tidak dapat mengetahui atau melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Pikiranku siap untuk menembus kebenaran-kebenaran.’  Ini adalah pengetahuan pertama yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

9. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Ketika aku mengejar, mengembangkan, dan melatih pandangan ini, apakah aku memperoleh ketenangan internal, apakah aku secara pribadi memperoleh kepadaman?’

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Ketika aku mengejar, mengembangkan, dan melatih pandangan ini, aku secara pribadi memperoleh ketenangan, aku secara pribadi memperoleh kepadaman.’ Ini adalah pengetahuan ke dua yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

10. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Adakah petapa atau brahmana lain di luar [Pengajaran Buddha] yang memiliki pandangan seperti yang kumiliki?’

“ia memahami sebagai berikut: ‘Tidak ada petapa atau brahmana lain di luar [Pengajaran Buddha] yang memiliki pandangan [324] seperti yang kumiliki.’ Ini adalah pengetahuan ke tiga yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

11. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki karakter  dari seorang yang berpandangan benar?’ apakah karakter dari seorang yang berpandangan benar? Ini adalah karakter dari seorang yang berpandangan benar: walaupun ia mungkin melakukan beberapa jenis pelanggaran yang karenanya suatu cara rehabilitasi telah ditentukan,  begitu ia mengaku, mengungkapkan, dan memberitahukan pelanggaran itu kepada guru atau kepada teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci, dan setelah melakukan hal itu, ia memasuki pengendalian di masa depan. Seperti halnya, seorang bayi muda dan lembut yang sedang berbaring telungkup seketika mundur ketika ia meletakkan tangan atau kakinya pada bara api menyala, demikian pula karakter seseorang yang berpandangan benar.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki karakter dari seorang yang berpandangan benar.’ Ini adalah pengetahuan ke empat yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

12. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki karakter dari seorang yang berpandangan benar?’ apakah karakter dari seorang yang berpandangan benar? Ini adalah karakter dari seorang yang berpandangan benar: walaupun ia mungkin aktif dalam berbagai urusan menyangkut teman-temannya dalam kehidupan suci, namun ia memiliki perhatian kuat pada latihan moralitas yang lebih tinggi, latihan pikiran yang lebih tinggi, dan latihan kebijaksanaan yang lebih tinggi. Seperti halnya seekor sapi dengan anaknya yang baru lahir, sambil merumput sapi itu juga mengawasi anaknya, demikian pula, itu adalah karakter dari seorang yang berpandangan benar.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki karakter dari seorang yang berpandangan benar.’ Ini adalah pengetahuan ke lima yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

13. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki kekuatan dari seorang yang berpandangan benar?’ apakah kekuatan dari seorang yang berpandangan benar? Ini adalah kekuatan dari seorang yang berpandangan benar: ketika Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, ia menyimaknya, memperhatikannya, menekuninya dengan segenap pikirannya, mendengarkan Dhamma dengan sungguh-sungguh.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki kekuatan dari seorang yang berpandangan benar.’ Ini adalah pengetahuan ke enam yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa. [325]

14. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki kekuatan dari seorang yang berpandangan benar?’ apakah kekuatan dari seorang yang berpandangan benar? Ini adalah kekuatan dari seorang yang berpandangan benar: ketika Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, ia memperoleh inspirasi dalam maknanya, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan sehubungan dengan Dhamma.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki kekuatan dari seorang yang berpandangan benar.’ Ini adalah pengetahuan ke tujuh yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

15. “Jika seorang siswa mulia memiliki tujuh faktor ini, maka ia telah dengan baik menemukan karakter bagi pencapaian buah memasuki-arus. “Jika seorang siswa mulia memiliki tujuh faktor ini, maka ia memiliki buah memasuki-arus.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 25 July 2010, 06:53:00 PM
49  Brahmanimantanika Sutta
Undangan Brahmā

[326] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, pada suatu ketika Aku sedang menetap di Ukkaṭṭhā di Hutan Subhaga di bawah pohon sāla besar.  Pada saat itu suatu pandangan sesat telah muncul pada Brahmā Baka sebagai berikut: ‘Ini kekal, ini bertahan selamanya, ini abadi, ini adalah keseluruhan, ini tidak tunduk pada kematian; karena ini adalah di mana seseorang tidak terlahir atau menua atau mati atau meninggal dunia juga tidak muncul kembali, dan di luar ini tidak ada jalan membebaskan diri.’

3. “Dengan pikiranKu Aku mengetahui pikiran Brahmā Baka, maka secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Aku lenyap dari bawah pohon sāla besar di Hutan Subhaga di Ukkaṭṭhā dan muncul di alam-Brahmā. Dari jauh Brahmā Baka melihat kedatanganKu dan berkata: ‘Silahkan, Tuan! Selamat datang, Tuan! Telah lama, Tuan, sejak Engkau berkesempatan datang ke sini. Sekarang, Tuan, Ini kekal, ini bertahan selamanya, ini abadi, ini adalah keseluruhan, ini tidak tunduk pada kematian; karena ini adalah di mana seseorang tidak terlahir atau menua atau mati atau meninggal dunia juga tidak muncul kembali, dan di luar ini tidak ada jalan membebaskan diri.’

4. “Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahu Brahmā Baka: ‘Brahmā Baka Yang Agung telah tergelincir ke dalam kebodohan; ia telah tergelincir ke dalam kebodohan sehingga ia mengatakan yang tidak kekal sebagai kekal, yang sementara sebagai bertahan selamanya, yang tidak abadi sebagai abadi, yang tidak lengkap sebagai keseluruhan, yang tunduk pada kematian sebagai tidak tunduk pada kematian, yang terlahir, menua, mati, meninggal dunia, dan muncul kembali sebagai tidak terlahir juga tidak menua juga tidak mati juga tidak meninggal dunia juga tidak muncul kembali; dan ketika ada jalan membebaskan diri melampaui ini, ia mengatakan tidak ada jalan membebaskan diri melampaui ini.’

5. “Kemudian Māra si Jahat menguasai salah satu anggota kelompok Brahmā,  dan ia berkata kepadaKu: ‘Bhikkhu, bhikkhu, jangan mencelanya, jangan mencelanya; karena Brahmā ini adalah Brahmā Agung, [327] Maharaja, yang tidak terlampaui, memiliki penglihatan yang tidak mungkin keliru, maha kuasa, maha pembuat dan pencipta, Tuhan yang tertinggi, Penguasa dan Ayah dari mereka yang ada dan yang akan ada. Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat para petapa dan brahmana yang mencela tanah karena kejijikan pada tanah,  yang mencela air karena kejijikan pada air, yang mencela api karena kejijikan pada api, yang mencela udara karena kejijikan pada udara, yang mencela makhluk-makhluk karena kejijikan pada makhluk-makhluk, yang mencela dewa-dewa karena kejijikan pada dewa-dewa, yang mencela Pajāpati karena kejijikan pada Pajāpati, yang mencela Brahmā karena kejijikan pada Brahmā; dan ketika hancurnya jasmani, ketika kehidupan mereka terpotong, mereka terlahir dalam jasmani yang hina.  Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat para petapa dan brahmana yang memuji tanah karena bergembira dalam tanah,  yang memuji air karena bergembira dalam air, yang memuji api karena bergembira dalam api, yang memuji udara karena bergembira dalam udara, yang memuji makhluk-makhluk karena bergembira dalam makhluk-makhluk, yang memuji dewa-dewa karena bergembira dalam dewa-dewa, yang memuji Pajāpati karena bergembira dalam Pajāpati, yang memuji Brahmā karena bergembira dalam Brahmā; dan ketika hancurnya jasmani, ketika kehidupan mereka terpotong, mereka terlahir dalam jasmani yang mulia.  Maka, Bhikkhu, aku memberitahukan kepadaMu: Pastikan, Tuan, hanya melakukan apa yang Brahmā katakan; jangan melampaui kata-kata Brahmā. Jika Engkau melampaui kata-kata Brahmā, Bhikkhu, maka, bagaikan seseorang mengusir dewi keberuntungan ketika ia mendekat, atau bagaikan seseorang yang kehilangan pegangan tangan atau pijakan kakinya di tanah ketika ia terjatuh ke dalam jurang yang dalam, itulah yang akan menimpamu, Bhikkhu. Pastikan, Tuan, hanya melakukan apa yang Brahmā katakan; jangan melampaui kata-kata Brahmā. Tidakkah Engkau melihat kumpulan Brahmā yang duduk di sini, Bhikkhu?’ dan Māra mengalihkan perhatianKu pada kelompok Brahmā.

6. “Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahu Māra: ‘Aku mengenalmu, Sang Jahat. Jangan berpikir: “Ia tidak mengenalku.” Engkau adalah Māra, si Jahat, dan Brahmā dan kelompok Brahmā dan para pengikut Kelompok Brahmā semuanya telah jatuh ke dalam genggamanmu, mereka telah jatuh ke dalam kekuatanMu. Engkau, si Jahat, berpikir: “Yang ini juga telah jatuh ke dalam genggamanku, yang ini juga telah jatuh ke dalam kekuatanKu.”; tetapi Aku tidak jatuh ke dalam genggamanmu, Sang Jahat, Aku tidak jatuh ke dalam kekuatanmu.’

7. “Ketika hal ini dikatakan, Brahmā Baka berkata kepadaKu: ‘Tuan, aku mengatakan yang kekal sebagai kekal, [328] yang bertahan selamanya sebagai bertahan selamanya, yang abadi sebagai abadi, yang seluruhnya sebagai seluruhnya, yang tidak tunduk pada kematian sebagai tidak tunduk pada kematian, yang tidak terlahir juga tidak menua juga tidak mati juga tidak meninggal dunia juga tidak muncul kembali sebagai tidak terlahir juga tidak menua juga tidak mati juga tidak meninggal dunia juga tidak muncul kembali; dan ketika tidak ada jalan membebaskan diri dari hal-hal ini, aku mengatakan tidak ada jalan membebaskan diri dari hal-hal ini. Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat para petapa dan brahmana di dunia ini yang menjalani pertapaan seumur hidupMu. Mereka mengetahui, jika ada jalan membebaskan diri, maka ada jalan membebaskan diri, dan ketika tidak ada jalan membebaskan diri, maka tidak ada jalan membebaskan diri. Maka, Bhikkhu, aku memberitahukan kepadamu: Engkau tidak akan menemukan jalan membebaskan diri, dan akhirnya Engkau hanya akan menemui kelelahan dan kekecewaan. Jika engkau menggenggam tanah, maka engkau akan dekat denganku, dalam wilayahku, melakukan kehendakku dan menghukum untukku.  Jika engkau menggenggam air ... api ... udara ... makhluk-makhluk ... para dewa ... Pajāpati ... Brahmā, maka engkau akan dekat denganku, dalam wilayahku, melakukan kehendakku dan menghukum untukku.’

8. “’Aku juga mengetahui hal itu, Brahmā. Jika Aku menggenggam tanah, maka aku akan dekat denganmu, dalam wilayahmu, melakukan kehendakmu dan menghukum untukmu. Jika aku menggenggam air ... api ... udara ... makhluk-makhluk ... para dewa ... Pajāpati ... Brahmā, maka aku akan dekat denganmu, dalam wilayahmu, melakukan kehendakmu dan menghukum untukmu. Lebih jauh lagi, Aku memahami jangkauan dan kekuasaanmu sejauh: Brahmā Baka memiliki kekuatan sebesar ini, keperkasaan sebesar ini, pengaruh sebesar ini.’

“’Sekarang, Tuan, Berapa jauhkah engkau memahami jangkauan dan kekuasaanku ?’

9.    “’Sejauh bulan dan matahari berputar
   Bersinar dan bercahaya di langit
   Lebih dari seribu dunia
   Kekuasaanmu menjangkau.

   Dan di sana engkau mengetahui yang tinggi dan yang rendah,
   Dan mereka yang bernafsu dan yang bebas dari nafsu,
   Kondisi yang demikian dan yang sebaliknya,
   Kedatangan dan kepergian makhluk-makhluk.

Brahmā, Aku memahami jangkauan dan kekuasaanmu sejauh: Brahmā Baka memiliki kekuatan sebesar ini, keperkasaan sebesar ini, [329] pengaruh sebesar ini.

10. “’Tetapi, Brahmā, terdapat tiga tubuh lain, yang tidak engkau ketahui juga tidak engkau lihat, dan yang Aku ketahui dan Aku lihat. Ada tubuh yang disebut [para dewa] dengan Cahaya Gemerlap, yang dari mana engkau mati dan muncul kembali di sini.  Karena engkau telah berdiam di sini cukup lama, ingatanmu akan hal itu telah hilang, dan karenanya engkau tidak mengetahui atau melihatnya, tetapi Aku mengetahui dan melihatnya. Demikianlah, Brahmā, sehubungan dengan pengetahuan langsung Aku tidak hanya berdiri sama tinggi denganmu, bagaimana mungkin Aku mengetahui lebih sedikit? Sebaliknya, Aku mengetahui lebih banyak daripada engkau.

“’Terdapat, tubuh yang disebut [para dewa] dengan Keagungan Gemilang ... Terdapat tubuh yang disebut [para dewa] dengan Buah Besar. Engkau tidak mengetahui atau melihatnya, tetapi Aku mengetahui dan melihatnya. Demikianlah, Brahmā, sehubungan dengan pengetahuan langsung Aku tidak hanya berdiri sama tinggi denganmu, bagaimana mungkin Aku mengetahui lebih sedikit? Sebaliknya, Aku mengetahui lebih banyak daripada engkau.

11. “’Brahmā, setelah dengan secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, dan setelah dengan secara langsung mengetahui yang tidak menjadi bagian dari sifat tanah, Aku tidak mengaku sebagai tanah, Aku tidak mengaku ada di dalam tanah, Aku tidak mengaku terpisah dari tanah, Aku tidak mengakui tanah sebagai “milikku”, Aku tidak menegaskan tanah.  Demikianlah, Brahmā, sehubungan dengan pengetahuan langsung Aku tidak hanya berdiri sama tinggi denganmu, bagaimana mungkin Aku mengetahui lebih sedikit? Sebaliknya, Aku mengetahui lebih banyak daripada engkau.

12-23. “’Brahmā, setelah dengan secara langsung mengetahui air sebagai air ... api sebagai api ... udara sebagai udara ... makhluk-makhluk sebagai makhluk-makhluk ... para dewa sebagai para dewa ... Pajāpati sebagai Pajāpati ... Brahmā sebagai Brahmā ... para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai para dewa dengan Cahaya Gemerlap ...  para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai para dewa dengan Keagungan Gemilang ...  para dewa dengan Buah Besar sebagai para dewa dengan Buah Besar ... raja sebagai raja ... keseluruhan sebagai keseluruhan, dan setelah dengan secara langsung mengetahui apa yang tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan, Aku tidak mengaku sebagai keseluruhan, Aku tidak mengaku ada di dalam keseluruhan, Aku tidak mengaku terpisah dari keseluruhan, Aku tidak mengakui keseluruhan sebagai “milikku”, Aku tidak menegaskan keseluruhan. Demikianlah, Brahmā, sehubungan dengan pengetahuan langsung Aku tidak hanya berdiri sama tinggi denganmu, bagaimana mungkin Aku mengetahui lebih sedikit? Sebaliknya, Aku mengetahui lebih banyak daripada engkau.’

24. “’Tuan, Jika tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan, maka itu terbukti percuma dan kosong bagiMu!’

25.    “’Kesadaran yang tidak terwujud,
   Tanpa batas, menerangi segala penjuru.
   
Yang tidak menjadi bagian dari sifat tanah, yang tidak menjadi bagian dari sifat air … [330] … yang tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan.’

26. “’Tuan, aku akan menghilang dari hadapanMu.’

“Menghilanglah dari hadapanKu jika engkau mampu, Brahmā.’

“Kemudian Brahmā Baka, dengan berkata: ‘Aku akan menghilang dari hadapan Petapa Gotama, Aku akan menghilang dari hadapan Petapa Gotama,’ tidak mampu menghilang. Kemudian Aku berkata: ‘Brahmā, Aku akan menghilang dari hadapanmu.’

“Menghilanglah dari hadapanKu jika engkau mampu, Tuan.’

“Kemudian Aku mengerahkan kekuatan batin sehingga Brahmā dan kelompok Brahmā dan para pengikut kelompok Brahmā dapat mendengar suaraKu namun tidak dapat melihatKu. Setelah aku menghilang, Aku mengucapkan syair ini:

27.    “’Setelah melihat ketakutan dalam penjelmaan
   Dan [setelah melihat] bahwa penjelmaan itu akan lenyap,
   Aku tidak menyambut segala jenis penjelmaan apapun,
   Juga tidak melekat pada kesenangan.’

28. “Saat itu Brahmā dan Kelompok Brahmā dan para pengikut Kelompok Brahmā merasa takjub dan kagum, berkata: ‘Sungguh mengagumkan, Tuan, sungguh menakjubkan, kekuatan dan kesaktian Petapa Gotama! Kami belum pernah menyaksikan atau mendengar petapa atau brahmana lain yang memiliki kekuatan dan kesaktian seperti yang dimiliki Petapa Gotama ini, yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya. Tuan, walaupun hidup dalam generasi yang menikmati penjelmaan, yang menyukai penjelmaan, yang bersukacita dalam penjelmaan, Beliau telah mencabut penjelmaan bersama dengan akarnya.’

29. “Kemudian Māra si Jahat menguasai salah satu pengikut Kelompok Brahmā, dan berkata kepadaKu: ‘Tuan, jika itu adalah apa yang Engkau ketahui, jika itu adalah apa yang telah engkau temukan, janganlah Engkau menuntun para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian, janganlah Engkau mengajarkan Dhamma kepada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian, janganlah Engkau membangkitkan kerinduan pada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian. Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat para petapa dan brahmana yang mengaku sempurna dan tercerahkan sempurna, dan mereka menuntun para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; mereka mengajarkan Dhamma kepada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; mereka membangkitkan kerinduan pada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; dan ketika hancurnya jasmani, ketika kehidupan mereka terpotong, mereka terlahir dalam jasmani yang hina. Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat juga para petapa dan brahmana yang mengaku sempurna dan tercerahkan sempurna, [331] dan mereka tidak menuntun para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; mereka tidak mengajarkan Dhamma kepada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian ; mereka tidak membangkitkan kerinduan pada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; dan ketika hancurnya jasmani, ketika kehidupan mereka terpotong, mereka terlahir dalam jasmani yang mulia. Maka, Bhikkhu, aku beritahukan kepadaMu: Pastikan, Tuan, untuk berdiam secara tidak aktif, jalanilah kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini, hal ini lebih baik dibiarkan tidak dibabarkan, dan karena itu, Tuan, janganlah menasihati siapapun.’ 

30. “Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahu Māra: ‘Aku mengenalmu, Sang Jahat. Jangan berpikir: “Ia tidak mengenalku.” Engkau adalah Māra, si Jahat. Bukanlah demi belas kasihan terhadap kesejahteraan mereka maka engkau berkata demikian, melainkan adalah tanpa belas kasihan terhadap kesejahteraan mereka maka engkau berkata demikian. Engkau berpikir seperti ini, Yang Jahat: “Mereka kepada siapa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma akan membebaskan diri dari wilayahku.” Para petapa dan brahmanamu itu, Yang Jahat, yang mengaku tercerahkan sempurna, tidaklah benar-benar tercerahkan sempurna. Tetapi Aku, yang mengaku tercerahkan sempurna, adalah benar-benar tercerahkan sempurna. Jika Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepada para siswanya, Beliau tetap seorang Tathāgata, Yang Jahat, dan jika Sang Tathāgata tidak mengajarkan Dhamma kepada para siswanya, Beliau tetap seorang Tathāgata.  Jika Sang Tathāgata menuntun para siswanya, Beliau tetap seorang Tathāgata, Yang Jahat, dan jika Sang Tathāgata tidak menuntun para siswanya, Beliau tetap seorang Tathāgata. Mengapakah? Karena Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, memberikan kesusahan, yang matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; Beliau telah memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan. Seperti halnya pohon palem yang dipotong pucuknya tidak akan mampu untuk tumbuh lebih tinggi lagi, demikian pula Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-noda yang mengotoriNya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan.’”

31. Demikianlah, karena Māra tidak mampu menjawab, dan karena [diawali] dengan undangan Brahmā, maka khotbah ini dinamakan “Tentang Undangan Brahmā.”
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Indra on 25 July 2010, 06:54:26 PM
50 Māratajjanīya Sutta
Teguran kepada Māra

[332] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Yang Mulia Mahā Moggallāna sedang menetap di negeri Bhagga di Suṁsumāragira di Hutan Bhesakaḷā, Taman Rusa.

2. Pada saat itu Yang Mulia Mahā Moggallāna sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Dan pada saat itu Māra si Jahat masuk ke dalam perut Yang Mulia Mahā Moggallāna dan memasuki ususnya. Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna mempertimbangkan: “Mengapa perutku menjadi sangat berat? Seseorang akan berpikir bahwa perutku penuh kacang.” Demikianlah ia meninggalkan jalan setapak itu dan memasuki kediamannya, di mana ia duduk di tempat yang telah tersedia.

3. Ketika ia telah duduk, ia mengerahkan perhatian penuh pada dirinya, dan melihat bahwa Māra si Jahat telah memasuki perutnya dan masuk ke dalam ususnya. Ketika ia melihat ini, ia berkata: “Keluarlah, Yang Jahat! Jangan mengganggu Sang Tathāgata, jangan menganggu siswa Sang Tathāgata, atau hal ini akan membawamu ke dalam bencana dan penderitaan untuk waktu yang lama.”

4. Kemudian Māra si Jahat berpikir: ‘Petapa ini tidak mengenali aku, ia tidak melihat aku ketika ia mengatakan itu. Bahkan gurunya tidak akan mengenaliku begitu cepat, bagaimana mungkin siswa ini mengenaliku?’”

5. Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna berkata: “Meskipun demikian, aku mengenalimu, Yang Jahat. Jangan berpikir: ‘Ia tidak mengenaliku.’ Engkau adalah Māra, si Jahat, engkau berpikir: Petapa ini tidak mengenali aku, ia tidak melihat aku ketika ia mengatakan itu. Bahkan gurunya tidak akan mengenaliku begitu cepat, bagaimana mungkin siswa ini mengenaliku?’”

6. Kemudian Māra si Jahat berpikir: “Petapa ini mengenali aku, ia melihat aku ketika ia mengatakan itu,” kemudian ia [333] keluar dari mulut Yang Mulia Mahā Moggallāna dan berdiri dengan bersandar pada palang pintu.

7. Yang Mulia Mahā Moggallāna melihatnya berdiri di sana dan berkata: “Aku melihat engkau di sana juga, Yang Jahat. Jangan berpikir: ‘Ia tidak melihatku.’ Engkau sedang berdiri bersandar pada palang pintu, Yang Jahat.

8. “Pernah terjadi suatu ketika, Yang Jahat, aku adalah Māra bernama Dūsi,  dan aku memiliki saudara perempuan bernama Kāli. Engkau adalah puteranya, maka engkau adalah keponakanku,

9. “Pada saat itu Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, telah muncul di dunia.  Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memiliki sepasang siswa utama yang mulia bernama Vidhura dan Sañjiva. Di antara para siswa Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, tidak ada yang menandingi Yang Mulia Vidhura dalam hal mengajarkan Dhamma. Itulah sebabnya Yang Mulia Vidhura memperoleh nama ‘Vidhura.’  Tetapi Yang Mulia Sañjiva, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, tanpa kesulitan masuk ke dalam lenyapnya persepsi dan perasaan.

10. “Pernah terjadi pada suatu ketika, Yang Mulia Sañjiva telah duduk di bawah sebatang pohon dan memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan. Beberapa orang penggembala sapi, penggembala kambing, pembajak sawah, dan pengembara melihat Yang Mulia Sañjiva sedang duduk di bawah pohon setelah memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan, dan mereka berpikir: ‘Sungguh mengagumkan, tuan-tuan, sungguh menakjubkan! Petapa ini mati sambil duduk. Mari kita mengkremasinya.’ Kemudian para penggembala sapi, penggembala kambing, pembajak sawah, dan pengembara itu mengumpulkan rumput, kayu, dan kotoran sapi, dan setelah menumpuknya di atas tubuh Yang Mulia Sañjiva, mereka membakarnya dan pergi.

11.  “Sekarang, Yang Jahat, ketika malam telah berlalu, Yang Mulia Sañjiva keluar dari pencapaian itu.  Ia mengibaskan jubahnya, karena hari telah pagi, ia merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia memasuki desa untuk menerima dana makanan. Para penggembala sapi, penggembala kambing, pembajak sawah, dan pengembara melihat Yang Mulia Sañjiva berjalan menerima dana makanan, dan mereka berpikir: ‘Sungguh mengagumkan, tuan-tuan, sungguh menakjubkan! Petapa ini yang mati sambil duduk telah hidup kembali!’ [334] Itulah sebabnya Yang Mulia Sañjiva memperoleh nama ‘Sañjiva.’

12. “Kemudian, Yang Jahat, Māra Dūsi mempertimbangkan: ‘terdapat para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik ini, tetapi aku tidak mengetahui kedatangan dan kepergian mereka. Aku akan menguasai para brahmana perumah tangga, dengan mengatakan kepada mereka: “Marilah, caci, maki, cela, dan ganggulah para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik; dan mungkin ketika mereka dicaci, dimaki, dicela, dan digoda oleh kalian, beberapa perubahan akan terjadi dalam pikiran mereka di mana Māra Dūsi akan memperoleh kesempatan.”’

13. “Kemudian, Yang Jahat, Māra Dūsi menguasai para brahmana perumah tangga, dengan mengatakan kepada mereka: “Marilah, caci, maki, cela, dan ganggulah para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik; dan mungkin ketika mereka dicaci, dimaki, dicela, dan diganggu oleh kalian, beberapa perubahan akan terjadi dalam pikiran mereka di mana Māra Dūsi akan memperoleh kesempatan.’ Kemudian, ketika Māra Dūsi telah menguasai para brahmana perumah tangga, mereka mencaci, memaki, mencela, dan mengganggu para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik sebagai berikut:  ‘Para petapa berkepala gundul ini, budak-budak berkulit gelap keturunan kaki Leluhur,  mengaku: “Kami adalah meditator, kami adalah meditator!” dan dengan bahu membungkuk, kepala menunduk, dan seluruh tubuh lemas, mereka bermeditasi, mengulangi meditasi, melampaui meditasi, dan bermeditasi secara keliru.  Seperti halnya seekor burung hantu yang menghinggapi sebuah dahan menunggu seekor tikus, bermeditasi, mengulangi meditasi, melampaui meditasi, dan bermeditasi secara keliru, atau seperti halnya seekor serigala di tepi sungai menunggu ikan,  bermeditasi, mengulangi meditasi, melampaui meditasi, dan bermeditasi secara keliru, atau seperti halnya seekor kucing, menunggu seekor tikus di lorong atau saluran pembuangan atau tempat sampah, bermeditasi, mengulangi meditasi, melampaui meditasi, dan bermeditasi secara keliru, atau seperti halnya seekor keledai yang tanpa beban, berdiri di dekat tiang pintu atau tempat sampah atau saluran pembuangan, bermeditasi, mengulangi meditasi, melampaui meditasi, dan bermeditasi secara keliru, demikian pula, Para petapa berkepala gundul ini, budak-budak berkulit gelap keturunan kaki Leluhur, mengaku: “Kami adalah meditator, kami adalah meditator!” dan dengan bahu membungkuk, kepala menunduk, dan seluruh tubuh lemas, mereka bermeditasi, mengulangi meditasi, melampaui meditasi, dan bermeditasi secara keliru.’  Sekarang, Yang Jahat, pada masa itu sebagian besar manusia, ketika mati, muncul kembali setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, dalam kondisi buruk, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. [335]

14. “Kemudian Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, Māra Dūsi telah menguasai para brahmana perumah tangga dengan mengatakan kepada mereka: “Marilah, caci, maki, cela, dan ganggulah para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik; dan mungkin ketika mereka dicaci, dimaki, dicela, dan diganggu oleh kalian, beberapa perubahan akan terjadi dalam pikiran mereka di mana Māra Dūsi akan memperoleh kesempatan.’ Ayo, para bhikkhu, berdiamlah dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh cinta kasih, demikian pula dengan arah ke dua, demikian pula dengan arah ke tiga, demikian pula dengan arah ke empat; ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri kalian sendiri, berdiamlah dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran penuh cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa kekejaman dan tanpa niat buruk. Berdiamlah dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasihan … dengan pikiran penuh dengan kegembiraan altruistis … dengan pikiran penuh dengan keseimbangan … berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa kekejaman dan tanpa niat buruk.’

15. Maka, Yang Jahat, ketika para bhikkhu itu telah dinasihati dan diberi instruksi oleh Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, kemudian, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, mereka berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih … dengan pikiran yang penuh dengan belas kasihan … dengan pikiran yang penuh dengan kegembiraan altruistis … dengan pikiran yang penuh dengan keseimbangan … tanpa kekejaman dan tanpa niat buruk.

16. “Kemudian, si Jahat, Māra Dūsi mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Walaupun aku melakukan seperti apa yang sedang kulakukan, namun aku masih tidak mengetahui kedatangan dan kepergian para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik ini. Aku akan menguasai para brahmana perumah tangga, dengan mengatakan kepada mereka: “Marilah sekarang, hormati, hargai, sembah, dan muliakanlah para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik; [336] dan mungkin, ketika mereka dihormati, dihargai, disembah, dan dimuliakan oleh kalian, beberapa perubahan akan terjadi dalam pikiran mereka di mana Māra Dūsi akan memperoleh kesempatan.”’

17. “Kemudian, Yang Jahat, Māra Dūsi menguasai para brahmana perumah tangga, dengan mengatakan kepada mereka: ‘Marilah sekarang, hormati, hargai, sembah, dan muliakanlah para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik; dan mungkin, ketika mereka dihormati, dihargai, disembah, dan dimuliakan oleh kalian, beberapa perubahan akan terjadi dalam pikiran mereka di mana Māra Dūsi akan memperoleh kesempatan.’ Kemudian, ketika Māra Dūsi telah menguasai para brahmana perumah tangga, mereka menghormati, menghargai, menyembah, dan memuliakan para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik itu. Sekarang, Yang Jahat, pada masa itu sebagian besar manusia, ketika mati, muncul kembali setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, dalam kondisi bahagia, bahkan di alam surga.

18. “Kemudian Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, Māra Dūsi telah menguasai para brahmana perumah tangga dengan mengatakan kepada mereka: “Marilah sekarang, hormati, hargai, sembah, dan muliakanlah para bhikkhu bermoral dan berkarakter baik; dan mungkin, ketika mereka dihormati, dihargai, disembah, dan dimuliakan oleh kalian, beberapa perubahan akan terjadi dalam pikiran mereka di mana Māra Dūsi akan memperoleh kesempatan.’’ Ayo, para bhikkhu, berdiamlah dengan merenungkan kejijikan dalam jasmani, melihat kejijikan dalam makanan, merasakan kekecewaan terhadap segalanya di dunia, merenungkan ketidak-kekalan dalam segala bentukan.’

19. “Maka, Yang Jahat, ketika para bhikkhu itu telah dinasihati dan diberi instruksi oleh Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, kemudian, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, mereka berdiam dengan merenungkan kejijikan dalam jasmani, melihat kejijikan dalam makanan, merasakan kekecewaan terhadap segalanya di dunia, merenungkan ketidak-kekalan dalam segala bentukan.

20. “Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā Kakusandha, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarNya, ia pergi ke desa untuk menerima dana makanan dengan Yang Mulia Vidhura sebagai pelayanNya.

21. “Kemudian Māra Dūsi menguasai seorang anak, dan dengan mengambil sebutir batu, ia melempar Yang Mulia Vidhura di kepalanya dengan batu itu dan melukai kepalanya. Dengan darah menetes dari kepalanya yang terluka, [337] Yang Mulia Vidhura mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā Kakusandha yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Kemudian Sang Bhagavā Kakusandha yang sempurna dan tercerahkan sempurna, berbalik dan melihatnya dengan tatapan gajah: ‘Māra Dūsi ini tidak mengenal batas.’ Dan dengan tatapan itu, si Jahat, Māra Dūsi jatuh dari tempat itu dan muncul kembali di Neraka Besar.

22. “Sekarang, Yang Jahat, ada tiga sebutan bagi Neraka Besar: neraka enam landasan kontak, neraka tusukan tombak, dan neraka yang dirasakan untuk diri sendiri.  Kemudian, Yang Jahat, penjaga neraka mendatangiku dan berkata: ‘Tuan, ketika tombak bertemu tombak di jantungmu, maka engkau akan tahu: “Aku sudah terpanggang di neraka selama seribu tahun.”’

23. “Selama bertahun-tahun, Yang Jahat, selama berabad-abad, selama ribuan tahun, aku terpanggang di Neraka Besar. Selama sepuluh milenium aku terpanggang di Neraka Besar tambahan, mengalami perasaan yang disebut neraka yang muncul dari kematangan.  Tubuhku berbentuk sama dengan tubuh manusia, Yang Jahat, tetapi kepalaku menyerupai kepala ikan.

24.    “Bagaimanakah neraka dapat diperbandingkan
   Di mana Dūsi terpanggang, si penyerang
   Vidhura Sang Siswa
   Dan Sang Brahmana Kakusandha?
   Tombak-tombak baja, bahkan berjumlah seratus,
   Masing-masing diderita secara terpisah;
   Dengan inilah neraka itu dapat diperbandingkan
   Di mana Dūsi terpanggang, si penyerang
   Vidhura Sang Siswa
   Dan Sang Brahmana Kakusandha.

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita
   Dengan menyerang seorang bhikkhu demikian,
   Seorang siswa dari Yang Tercerahkan
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.

25.    “Di tengah samudera
   Terdapat istana-istana yang bertahan selama satu kappa,
   Bersinar safir, memancarkan api
   Dengan kilauan jernih dan tembus pandang,
   Di mana bidadari laut warna-warni menari
   Dalam irama yang rumit dan sulit diikuti

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita …
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.

26.   “Aku adalah seorang yang, ketika dinasihati
   Oleh Yang Tercerahkan secara pribadi,
   Mengguncang Istana Ibunya Migāra
   Dengan jari kaki, dengan disaksikan oleh Sangha.

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita …
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.

27.    “Aku adalah seorang yang, secara kokoh mengerahkan
   Kekuatan batin,
   Mengguncang seluruh Istana Vejayanta
   Dengan jari kaki untuk mendorong para dewa:  [338]

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita …
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.

28.   “Aku adalah seorang yang, di Istana itu
   Mengajukan pertanyaan ini kepada Sakka:
   ‘Tahukah engkau, teman, kebebasan
   Dalam hancurnya keinginan sepenuhnya?’
   Yang mana Sakka menjawab
   Sesuai dengan pertanyaan yang diajukan kepadanya:

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita …
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.

29.    “Aku adalah seorang yang, terpikir untuk mengajukan
   Pertanyaan ini kepada Brahmā
   Di Aula Suddhama di surga:
   ‘Masih adakah padamu, teman,
   Pandangan salah yang pernah engkau terima?
   Apakah engkau melihat cahaya
   Yang melampaui cahaya alam Brahmā?
   Kemudian Brahmā menjawab pertanyaanku
   Dengan jujur dan sesuai urutan:
   ‘Tidak ada lagi padaku,
   Tuan, pandangan salah yang pernah kugenggam;
   Sungguh aku melihat cahaya
   Yang melampaui cahaya alam Brahmā.
   Sekarang bagaimana mungkin aku mempertahankan
   Bahwa aku adalah kekal dan abadi?’:

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita …
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.

30.   “Aku adalah seorang yang, dengan kebebasan,
   Telah menyentuh puncak Gunung Sineru,
   Mengunjungi hutan Pubbavidehi
   Dan manusia manapun yang mendiami bumi.

   Yang Gelap, engkau akan sangat menderita
   Dengan menyerang seorang bhikkhu demikian,
   Seorang siswa dari Yang Tercerahkan
   Yang secara langsung mengetahui fakta ini.


31.    “Tidak pernah ada api
   Yang berniat, ‘aku akan membakar si dungu,’
   Tetapi si dungu yang menyerang api
   Membakar dirinya dengan perbuatannya sendiri
   Demikian pula engkau, O Māra:
   Dengan menyerang Sang Tathāgata,
   Bagaikan si dungu yang bermain api
   Engkau hanya akan membakar dirimu sendiri.
   Dengan menyerang Sang Tathāgata,
   Engkau menghasilkan banyak keburukan.
   Yang Jahat, apakah engkau membayangkan
   Bahwa kejahatanmu tidak akan matang?
   Dengan melakukan demikian, engkau menimbun kejahatan
   Yang akan bertahan lama, O Pembuat-Akhir!
   Māra, menjauhlah dari Yang Tercerahkan,
   Jangan lagi memainkan tipuanmu pada para bhikkhu.”

   Demikianlah bhikkhu itu menyadarkan Māra
   Dalam belantara Bhesakaḷā
   Kemudian makhluk gelap itu
   Lenyap di sana pada saat itu juga
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
Post by: Hendra Susanto on 02 August 2010, 07:03:25 PM
Majjhima Nikaya, Bagian I (Lima puluh khotbah pertama).

SELESAI
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
Post by: Indra on 18 October 2010, 01:46:49 PM
SUTTA 1

1) Untuk penjelasan lebih lengkap atas Sutta yang sulit dan penting ini, baca Bhikkhu Bodhi, Discourse on the Root of Existence. Karya ini berisikan, selain terjemahan sutta, juga sebuah analisa lengkap atas makna filosofis dan banyak kutipan dari literatur komentar yang sangat membantu yang telah ditambahkan di sana-sini. Terjemahan Ñm atas sutta ini dalam Ms sangat bersifat dugaan; dengan demikian, walaupun saya mempertahankan sebagian besar terminologi dari Ñm, namun secara sintaksis saya telah menggantikan dengan terjemahan saya untuk memberikan makna yang sesuai dengan interpretasi tradisional dan hal itu sepertinya dibenarkan oleh versi Pali Text yang asli. Kalimat-kalimat kunci seperti yang diterjemahkan oleh Ñm akan diberikan dalam catatan.

2) MA menjelaskan bahwa Sang Buddha membabarkan sutta ini untuk menaklukkan keangkuhan yang telah muncul pada lima ratus bhikkhu sehubungan dengan penguasaan pengetahuan dan intelektual atas ajaran Buddha. Para bhikkhu ini dulunya adalah para brahmana yang terpelajar dalam hal literatur Veda, dan ucapan-ucapan tersamar dari Sang Buddha mungkin dimaksudkan untuk menantang pandangan brahmanis yang mungkin masih mereka lekati.

3) Sabbadhammamūlapariyāya. MṬ menjelaskan bahwa kata “semua” (sabba) digunakan di sini dalam pengertian terbatas “segala identitas pribadi” (sakkāyasabba), yaitu, sehubungan dengan segala kondisi atau fenomena (dhammā) yang terdapat dalam kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan (baca MN 28.4). Kondisi-kondisi lokuttara – jalan, buah, dan Nibbāna tidak termasuk. “Akar segala sesuatu” – yaitu, kondisi khusus yang memelihara kelangsungan proses kelahiran berulang - MṬ menjelaskan sebagai keinginan, keangkuhan, dan pandangan (yang merupakan sumber yang mendasari “anggapan”), dan ini pada gilirannya didasari oleh kebodohan, disiratkan dalam Sutta dengan frasa “ia belum sepenuhnya memahaminya.”

4) “Orang biasa yang tidak terpelajar” (assutavā puthujjana) adalah kaum duniawi pada umumnya, yang tidak memiliki pembelajaran maupun pencapaian spiritual dalam Dhamma para mulia, dan membiarkan diri mereka dikuasai oleh banyak kekotoran dan pandangan salah. Baca Bodhi, Discourse on the Root of Existence, pp. 40-46.

5) Paṭhaviṁ paṭhavito sañjānāti. Walaupun melihat “tanah sebagai tanah” sepertinya menyiratkan melihat obyek sebagaimana adanya, tujuan dari meditasi pandangan terang Buddhis, konteksnya menjelaskan bahwa persepsi orang-orang biasa atas “tanah sebagai tanah” telah memasukkan sedikit penyimpangan atas obyek, suatu penyimpangan yang akan ditingkatkan menjadi kesalah-pahaman sepenuhnya ketika proses kognitif memasuki tahap “menganggap.” MA menjelaskan bahwa orang biasa menangkap ungkapan konvensional “ini adalah tanah,” dan menerapkannya pada obyek, melihatnya melalui suatu “penyimpangan persepsi” (saññāvipallāsa). Istilah “penyimpangan persepsi” adalah ungkapan teknis yang dijelaskan sebagai melihat apa yang tidak-kekal sebagai kekal, apa yang menyakitkan sebagai menyenangkan, apa yang bukan-diri sebagai diri, apa yang menjijikkan sebagai indah (AN 4:49/ii.52). Ñm menuliskan bentuk akhiran ablatif –to dari Pali sebagai menyiratkan turunan dan menerjemahkan frasa itu: “Dari tanah ia mendapatkan kesan tanah.”

6) Kata Pali “menganggap” (maññati), yang berasal dari akar kata man, “berpikir”, sering digunakan dalam sutta-sutta Pali untuk mengartikan pemikiran-pemikiran yang menyimpang – pikiran yang berasal dari karakteristik obyek dan suatu pemahaman yang diturunkan bukan dari obyek itu sendiri, melainkan dari imajinasi subyektif seseorang. Penyimpangan kognitif yang diusulkan oleh menganggap terdiri dari, secara singkat, pemaksaan dari persepktif egosentris ke dalam pengalaman yang telah sedikit menyimpang oleh persepsi spontan. Menurut komentar, aktivitas menganggap diatur oleh tiga kekotoran, yang muncul dalam berbagai cara manifestasinya – keinginan (taṇha), keangkuhan (māna),  dan pandangan (diṭṭhi).

MA menuliskan teks ini sebagai: “Setelah melihat tanah dengan persepsi menyimpang, orang biasa setelah itu menganggapnya – menafsirkan atau menilainya – melalui kecenderungan-kecenderungan berkembangan yang kasar (papañca) dari keinginan, keangkuhan, dan pandangan, yang disebut ‘anggapan’ … Ia memahaminya dalam beragam cara yang bertolak-belakang [dengan kenyataan].”

Empat cara menganggap (maññanā). Sang Buddha menunjukkan bahwa anggapan atas obyek apapun dapat terjadi dalam salah satu dari empat cara, diungkapkan oleh teks sebagai empat pola linguistik: akusatif, lokatif, ablatif, dan pemberian. Makna utama dari pola ini – yang juga tersamar dalam Pali – sepertinya filosofis. Saya menganggap pola itu menunjukkan beragam cara yang mana seorang biasa mencoba memberikan makna positif pada makna keegoan yang ia bayangkan dengan memposisikan, di bawah ambang bayangan, suatu hubungan antara dirinya sebagai subyek kognisi dan fenomena yang dilihat sebagai obyek. Menurut empat pola yang diberikan, hubungan ini dapat berupa salah satu dari identifikasi langsung (“ia melihat X”), atau yang mendasari (“ia membayangkan di dalam X”), atau perbedaan atau turunan (“ia membayangkan dari X”), atau hanya sekadar pemberian (“ia menganggap X sebagai ‘milikku’”).

Tetapi hati-hati dalam menginterpretasikan frasa-frasa ini. Pali tidak menyediakan obyek langsung bagi cara ke dua dan ke tiga, dan ini menyiratkan bahwa proses penganggapan berlangsung dari tingkat yang lebih dalam dan lebih umum daripada yang terlibat dalam pembentukan pandangan diri secara eksplisit, seperti yang dijelaskan misalnya pada MN 2.8 atau MN 44.7. Dengan demikian aktivitas penganggapan sepertinya terdiri dari keseluruhan wilayah kognisi yang diwarnai secara subyektif, dari impuls dan pikiran yang mana makna identitas pribadi masih belum lengkap untuk menjelaskan struktur intelektual yang telah dijelaskan secara lengkap.

Akan tetapi Ñm, memahami obyek anggapan implisit sebagai persepsi itu sendiri, dan karena itu menerjemahkan: “setelah mempersepsikan tanah dari tanah, ia menganggap [itu sebagai] tanah, ia menganggap [itu sebagai] di dalam tanah, ia menganggap [itu terpisah] dari tanah,” dan seterusnya.

Frasa ke lima, “ia bergembira di dalam X”, secara eksplisit menghubungkan penganggapan dengan keinginan, yang mana di tempat lain dikatakan “bergembira di sana-sini.” Hal ini, lebih jauh lagi, menyiratkan bahaya dalam proses pemikiran kaum duniawi, karena keinginan dikatakan oleh Sang Buddha sebagai asal-mula penderitaan.

MA memberikan banyak contoh yang mengilustrasikan segala jenis penganggapan yang berbeda, dan ini jelas menegaskan bahwa obyek penganggapan yang dimaksudkan adalah makna egoistis yang keliru.

7) MA menyebutkan bahwa seseorang yang sepenuhnya memahami tanah melakukannya melalui tiga jenis pemahaman penuh: pemahaman penuh atas apa yang diketahui (ñātapariññā) – definisi unsur tanah menurut karakteristik khusus, fungsi, manifestasi, dan penyebab terdekat; pemahaman penuh dengan menyelidiki (tīraṇapariññā) – perenungan unsur tanah melalui karakteristik umum ketidak-kekalan, penderitaan, dan tanpa-diri; dan pemahaman penuh atas pelepasan (pahānapariññā) – meninggalkan keinginan dan nafsu pada unsur tanah melalui jalan tertinggi (Kearahatan).

8 ) Bhūtā. MA mengatakan bahwa “makhluk-makhluk” di sini menyiratkan hanya makhluk hidup di bawah alam surga Empat Raja Dewa, alam terendah di antara surga alam-indria; tingkatan makhluk hidup yang lebih tinggi tercakup oleh sebutan-sebutan berikutnya. MA memberikan contoh penerapan ketiga jenis penganggapan dalam situasi ini sebagai berikut: Ketika seseorang menjadi terikat pada makhluk-makhluk sebagai akibat dari penglihatan, pendengaran, dan seterusnya, atau menginginkan kelahiran kembali dalam kelompok makhluk tertentu, ini adalah penganggapan karena keinginan. Jika ia menilai dirinya sebagai lebih tinggi, sama, atau lebih rendah dari orang lain, ini adalah penganggapan karena keangkuhan. Dan jika ia berpikir, “Makhluk-makhluk adalah kekal, stabil, abadi,” dan seterusnya, ini adalah penganggapan karena pandangan.

9) MA: Yang dimaksudkan adalah para dewa dari enam surga alam-indria, kecuali Māra dan para pengikutnya di alam para dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain. Baca penjelasan Kosmoslogi Buddhis pada Pendahuluan, pp.45-48.

10) Prajāpati, “Raja penciptaan”, adalah nama yang diberikan oleh Veda kepada Indra, Agni, dan sebagainya, sebagai yang tertinggi dalam ketuhanan Veda. Tetapi menurut MA, Pajāpati di sini adalah nama bagi Māra karena ia adalah penguasa “generasi” ini (pajā) yang terdiri dari makhluk-makhluk hidup.

11) Brahmā di sini adalah Mahābrahmā, dewa pertama yang dilahirkan pada awal siklus kosmis dan yang rentang umur kehidupannya sepanjang keseluruhan siklus – para Menteri Brahmā dan pengikut Brahmā – para dewa lain yang posisinya ditentukan melalui pencapaian jhāna pertama – juga termasuk.

12) MA: Dengan menyebutkan hal-hal ini, semua makhluk yang menempati alam jhāna ke dua – para dewa dengan cahaya terbatas dan para dewa dengan cahaya tanpa batas – harus dimasukkan, karena semuanya menempati tingkatan yang sama.

13) MA: Dengan menyebutkan hal-hal ini, semua makhluk yang menempati alam jhāna ke tiga – para dewa dengan keagungan terbatas dan para dewa dengan keagungan tanpa batas – harus dimasukkan

14) Ini adalah para dewa di alam jhāna ke empat.

15) Abhibhū. MA mengatakan kata ini adalah sebutan bagi alam tanpa-persepsi, disebut demikian karena menaklukkan (abhibhavati) empat kelompok unsur tanpa materi lainnya. Identifikasi ini sepertinya terencana, khususnya karena kata “abhibhū” adalah bentuk tunggal kelaki-lakian. Di tempat lain (MN 49.5) kata ini muncul sebagai bagian dari pangakuan ketuhanan dari Brahmā Baka, namun MA menolak identifikasi Abhibhū sebagai Brahmā di sini sebagai sesuatu yang belebihan.

16) Ini dan tiga bagian selanjutnya membahas penganggapan sehubungan dengan empat alam tanpa materi – padanan kosmologis dari pencapaian empat meditasi tanpa materi. Dengan §18 pembagian penganggapan melalui alam-alam kehidupan selesai.

17) Dalam hal empat bagian fenomena yang terdiri dari identitas pribadi yang dianggap sebagai obyek persepsi yang dikelompokkan dalam empat kelompok dilihat, didengar, dicerap, dan dikenali. Di sini, dicerap (muta) menyiratkan data bau-bauan, rasa kecapan, dan sentuhan, dikenali (viññāta) menyiratkan data introspeksi, pikiran abstrak, dan imajinasi. Obyek persepsi “dianggap” ketika dikenali dalam hal “milikku”, “aku,” dan “diri,” atau dalam cara-cara yang menghasilkan keinginan, keangkuhan, dan pandangan.

18) Dalam bagian ini dan berikutnya, fenomena yang terdiri dari identitas pribadi diperlakukan sebagai dua – melalui kesatuan dan keragaman. Penekanan pada kesatuan (ekatta), MA mengatakan, adalah karakteristik dari seorang yang mencapai jhāna-jhāna, yang mana pikiran muncul dalam modus tunggal pada obyek tunggal. Penekanan pada keragaman (nānatta) berlaku bagi yang belum mencapai yang tidak memiliki pengalaman kesatuan jhāna yang meliputi. Penganggapan-penganggapan yang menekankan pada keragaman terdapat dalam ungkapan dalam filosofi pluralis, yang menekankan pada kesatuan terdapat dalam ungkapan dalam filofosi monistis.

19) Dalam bagian ini semua fenomena identitas pribadi dikumpulkan dan ditampilkan sebagai satu. Gagasan totalitas ini dapat membentuk landasan filosofis phanteis atau monistis, tergantung pada hubungan antara diri dan seluruhnya.

20) MA memahami “Nibbāna” di sini merujuk pada lima jenis “Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini” yang termasuk dalam enam puluh dua pandangan salah dari Brahmajāla Sutta (DN 1.3.19-25/i.36-38), yaitu, Nibbāna yang diidentifikasikan dengan kenikmatan sepenuhnya pada kenikmatan indria atau dengan empat jhāna. Dengan menikmati kondisi-kondisi ini, atau merindukannya, ia membayangkannya dengan keinginan. Bangga pada dirinya ketika mencapainya, ia membayangkannya dengan keangkuhan. Menganggap Nibbāna ilusi ini sebagai kekal, dan seterusnya, ia membayangkannya dengan pandangan.

21) Sekha, siswa dalam latihan yang lebih tinggi, adalah seorang yang telah mencapai satu dari tiga alam kesucian yang  lebih rendah – memasuki arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali – tetapi masih harus berlatih lebih jauh lagi untuk mencapai tujuan, Kearahatan, keamanan tertinggi dari belenggu. MN 53 dikhususkan untuk menjelaskan latihan yang harus dilaksanakan. Arahant kadang-kadang disebut asekha,  seorang yang melampaui latihan, dalam pengertian bahwa ia telah menyelesaikan latihan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ñm menerjemahkan sekha sebagai “praktisi” dan asekha sebagai “seorang yang terampil,” yang telah berubah di sini untuk menghindari konotasi “esoteris”.

22) Harus dimengerti bahwa, sementara orang biasa dikatakan melihat masing-masing landasan, seorang yang dalam latihan yang lebih tinggi dikatakan secara langsung mengetahuinya (abhijānāti). MA menjelaskan bahwa ia mengetahuinya dengan pengetahuan luhur, mengetahuinya sesuai sifat sejatinya sebagai tidak kekal, penderitaan, dan tanpa-diri. Ñm menerjemahkan: “Dari tanah ia memiliki pengetahuan langsung atas tanah.”

23) Siswa dalam latihan yang lebih tinggi didorong oleh Sang Buddha untuk menjauhi penganggapan dan kesenangan karena kecondongan pada proses-proses batin ini masih menetap dalam dirinya. Dengan pencapaian tingkat memasuki-arus ia melenyapkan belenggu pandangan identitas dan dengan demikian tidak lagi menganggap dalam hal pandangan salah. Tetapi kekotoran-kekotoran keinginan dan keangkuhan hanya tercabut oleh jalan Kearahatan, dan dengan demikian sekha  masih rentan pada penganggapan yang karenanya anggapan-anggapan itu dapat muncul. Sementara pengetahuan langsung (abhiññā) adalah wilayah sekha dan Arahant, pemahaman sepenuhnya (pariññā) adalah wilayah Arahant secara eksklusif, karena melibatkan ditinggalkannya sepenuhnya semua kekotoran.

24) Ini adalah penggambaran umum Arahant, yang diulangi dalam banyak sutta.

25) Ketika kebodohan telah terhapuskan oleh pencapaian pemahaman penuh, kecederungan terhalus pada keinginan dan keangkuhan juga tersingkirkan. Demikianlah Arahant tidak lagi terlibat dalam penganggapan dan kesenangan.

26) Bagian ini dan dua berikutnya disebutkan untuk menunjukkan bahwa Arahant tidak menganggap, bukan hanya karena ia telah sepenuhnya memahami obyek, tetapi karena ia telah menyingkirkan ketiga akar tidak bermanfaat – nafsu (atau keserakahan), kebencian, dan kebodohan. Frasa “bebas dari nafsu melalui hancurnya nafsu” digunakan untuk menekankan bahwa Arahant tidak sekedar dalam keadaan tanpa nafsu untuk sementara, melainkan telah menghancurkannya pada tingkat yang paling mendasar. Demikian pula dengan kebencian dan kebodohan.

27) Mengenai kata ini, gelar Sang Buddha yang paling sering digunakan ketika merujuk diriNya sendiri, baca pendahuluan, p.24. Komentar memberikan etimologi yang panjang dan terperinci, berusaha untuk memampatkan keseluruhan Dhamma. Bagian itu telah diterjemahkan dalam Bhikkhu Bodhi, Discourse on the All-Embracing Net of Views, pp.331-44.

28) PAriññātantaṁ tathāgatassa. Demikianlah menurut SBJ dan MA, walaupun PTS menuliskan hanya pariññātaṁ. MA mengemas: “sepenuhnya memahami kesimpulannya, sepenuhnya memahami batasnya, sepenuhnya memahami tanpa sisa.” Ini menjelaskan bahwa sementara para Buddha dan para siswa Arahant adalah serupa dalam hal meninggalkan segala kekotoran, namun terdapat perbedaan dalam cakupan pemahaman penuh itu: sementara para siswa dapat mencapai Nibbāna setelah memahaminya dengan pandangan terang hanya sejumlah bentukan secara terbatas, para Buddha memahami sepenuhnya segala bentukan tanpa kecuali.

29) Kalimat ini memberikan pernyataan yang sangat padat atas formula sebab-akibat yang saling bergantungan (paṭicca samuppāda). Seperti diinterpretasikan oleh MA, “kesenangan” adalah keinginan dari kehidupan lampau yang memunculkan “penderitaan” dari kelima kelompok unsur kehidupan dalam kehidupan sekarang, “makhluk” aspek penentu secara kamma dari kehidupan sekarang yang menghasilkan kelahiran di masa depan, diikuti oleh penuaan dan kematian di masa depan. Paragraf ini menunjukkan penyebab lenyapnya penganggapan Sang Buddha adalah penembusan pada sebab-akibat yang saling bergantungan pada malam pencerahanNya. Penyebutan “kesenangan” (mandī) sebagai akar penderitaan menghubungkan dengan judul sutta; lebih jauh lagi, dengan merujuk pada pernyataan sebelumnya bahwa orang biasa senang dalam tanah, dan seterusnya, menujukkan bahwa penderitaan adalah akibat tertinggi dari kesenangan.

30) MA menjelaskan urutan dari gagasan-gagasan ini sebagai berikut: Sang Tathāgata tidak membayangkan tanah dan tidak bersenang-senang dalam tanah karena Beliau telah memahami bahwa kesenangan adalah akar penderitaan. Lebih jauh lagi, dengan memahami sebab-akibat yang saling bergantungan, ia telah sepenuhnya meninggalkan keinginan yang di sini disebut “kesenangan” dan telah tercerahkan pada Pencerahan sempurna yang tertinggi. Sebagai akibatnya Beliau tidak membayangkan tanah atau bersenang-senang dalam tanah.

31) Para bhikkhu tidak bergembira mendengar kata-kata Sang Buddha, jelas karena khotbah itu menggali terlalu dalam pada wilayah yang halus dari keangkuhan mereka, dan mungkin pandangan-pandangan brahmanis mereka yang masih tersisa. Belakangan, MA memberitahukan, ketika keangkuhan mereka telah mereda, Sang Buddha membabarkan Gotamaka Sutta (AN 3:123/i.276) kepada para bhikkhu yang sama ini, yang akhirnya mereka semua mencapai Kearahatan.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
Post by: Indra on 18 October 2010, 01:47:36 PM

SUTTA 2

32) Noda-noda (āsava), pengelompokan kekotoran yang terdapat pada tingkat yang paling mendasar, dibahas dalam Pendahuluan, p.38. MA menjelaskan bahwa pengendalian (saṁvara) ada lima: melalui moralitas, perhatian, pengetahuan, usaha, dan kesabaran. Dalam sutta ini, pengendalian melalui moralitas diilustrasikan dengan menghindari tempat-tempat duduk dan tempat-tempat tinggal yang tidak sesuai (§19); pengendalian melalui perhatian, dengan mengendalikan kelima indria (§12); pengendalian melalui pengetahuan, dengan mengulang-ulangi frasa “merenungkan dengan bijaksana”; pengendalian melalui usaha, dengan melenyapkan pikiran-pikiran tidak bermanfaat; dan pengendalian melalui kesabaran, dengan paragraf tentang menahankan (§18).

33) Perhatian bijaksana (yoniso manasikāra) dikemas sebagai perhatian yang merupakan cara yang benar (upāya), di jalur yang benar (patha). Ini dijelaskan sebagai perhatian pikiran, pertimbangan, atau pikiran yang sesuai dengan kebenaran, yaitu, perhatian pada ketidak-kekalan sebagai ketidak-kekalan, dan sebagainya. Perhatian tidak bijaksana (ayoniso manasikāra) adalah perhatian yang merupakan cara yang salah, di jalur yang salah (uppatha), berlawanan dengan kebenaran, yaitu, perhatian pada ketidak-kekalan sebagai kekekalan, menyakitkan sebagai menyenangkan, apa yang bukan diri sebagai diri., dan apa yang menjijikkan sebagai indah. Perhatian tidak bijaksana, MA memberitahukan, adalah akar dari lingkaran kehidupan, karena menyebabkan keinginan meningkat; perhatian bijaksana adalah akar dari kebebasan dari lingkaran, karena menuntun menuju pengembangan Jalan Mulia Berunsur Delapan. MA merangkum inti dari paragraph ini sebagai: hancurnya noda-noda adalah bagi seseorang yang mengetahui bagaimana meningkatkan perhatian bijaksana dan yang melihat sehingga perhatian tidak bijaksana tidak muncul.

34) Enam di antara ini – menghilangkan bagian noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat – disebutkan dalam tanya-jawab tentang noda-noda dalam AN 6:58/iii.387-90.

35) Kata “melihat” (dassana) di sini merujuk pada yang pertama dari empat jalann lokuttara – jalan memasuki-arus (sotāpattimagga) – disebut demikian karena memberikan penglihatan sepintas pada Nibbāna. Tiga jalan yang lebih tinggi disebut jalan pengembangan (bhāvanā) karena mengembangkan penglihatan Nibbāna hingga pada titik di mana semua kekotoran tersingkirkan.

36) MA menambahkan hal penting bahwa tidak ada ketetapan dalam segala sesuatu sehubungan dengan apakah layak atau tidak layak bagi perhatian. Perbedaannya terdapat lebih kepada modus perhatian. Bahwa modus perhatian yang menjadi landasan bagi kondisi-kondisi pikiran yang tidak bermanfaat harus dihindari, sedangkan modus perhatian yang menjadi landasan bagi kondisi-kondisi yang bermanfaat harus dikembangkan. Prinsip yang sama ini berlaku juga pada §9.

37) MA mengilustrasikan pertumbuhan noda-noda melalui perhatian tidak bijaksana sebagai berikut: Ketika ia memperhatikan kepuasan dalam lima utas kenikmatan indria, noda-noda keinginan indria muncul dan meningkat; ketika ia memperhatikan kepuasan dalam kondisi-kondisi luhur (jhāna-jhāna), noda-noda penjelmaan muncul dan meningkat; ketika ia memperhatikan hal-hal lokuttara apapun melalui empat “perlawanan” (dari kekekalan, dan sebagainya), noda-noda kebodohan muncul dan meningkat.

38) Menurut MA, paragraf ini bertujuan untuk menunjukkan noda-noda pandangan (diṭṭhāsava,  tidak disebutkan dalam khotbah) di bawah judul keragu-raguan. Akan tetapi, akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa noda-noda pandangan, yang dijelaskan oleh §8, keluar dari perhatian tidak bijaksana dalam bentuk keragu-raguan. Berbagai jenis keragu-raguan telah dipenuhi dengan pandangan salah yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya.

39) Dari keenam pandangan ini, dua pertama mewakili lawan dari eternalisme dan nihilisme; pandangan bahwa “tidak ada diri yang ada padaku” bukanlah doktrin bukan-diri dari Sang Buddha, melainkan pandangan materialis yang mengidentifikasikan seseorang sebagai jasmani dan dengan demikian menganut bahwa tidak ada kelanjutan diri setelah kematian. Tiga pandangan berikutnya dapat dimengerti muncul dari pengamatan yang secara filosofis lebih rumit bahwa pengalaman memiliki struktur reflektif yang memperbolehkan kesadaran-diri, kapasitas pikiran untuk mengenali dirinya sendiri, isinya, dan jasmani yang dengannya saling berhubungan. Menekuni pencarian “sifat sejati”nya, orang biasa yang tidak terpelajar akan mengidentifikasikan diri sebagai kedua aspek pengalaman (pandangan 3), atau sebagai hanya si pengamat (pandangan 4), atau sebagai hanya yang diamati (pandangan 5). Pandangan terakhir adalah versi lengkap dari eternalisme dengan semua batasan telah dihilangkan.

40) Diri sebagai pembicara mewakili konsep diri sebagai pelaku perbuatan; diri sebagai yang merasakan, konsep diri sebagai subyek pasif. “Di sana-sini” menyiratkan diri sebagai entitas yang berpindah yang mempertahankan identitasnya di sepanjang kelahiran yang berbeda berturut-turut. Pandangan yang sama dianut oleh Bhikkhu Sāti pada MN 38.2.

41) Ini, tentu saja, adalahh formula Empat Kebenaran Mulia, yang diperlakukan sebagai subyek perenungan dan pandangan terang. MA mengatakan bahwa hingga pencapaian jalan memasuki-arus, perhatian adalah pandangan terang (vipassanā), tetapi pada saat jalan perhatian adalah pengetahuan-jalan. Pandangan terang secara langsung memahami dua buah pertama, karena wilayah sasarannya adalah fenomena batin dan materi yang terdapat dalam dukkha  dan asal-mulanya; pandangan terang ini dapat mengetahui asal-mula hanya dengan cara menyimpulkan. Pengetahuan-jalan menjadikan kebenaran lenyapnya sebagai obyeknya, memahaminya dengan penembusan sebagai obyek (ārammaṇa). Pengetahuan-jalan melakukan empat fungsi sehubungan dengan Empat Kebenaran: memahami sepenuhnya kebenaran penderitaan, meninggalkan asal-mula penderitaan, menembus lenyapnya penderitaan, dan mengembangkan jalan menuju lenyapnya penderitaan.

42) Jalan memasuki-arus berfungsi memotong ketiga belenggu pertama yang mengikat pada saṁsāra. MA mengatakan bahwa pandangan identitas dan keterikatan pada aturan dan upacara, karena termasuk pada noda-noda pandangan, adalah noda-noda serta belenggu, sedangkan keragu-raguan (biasanya) dikelompokkan hanya sebagai belenggu; tetapi karena termasuk di sini di antara “noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat,” maka dikatakan sebagai sebuah noda.

43) Jika ditinggalkannya noda-noda dipahami dalam makna tepat sebagai kehancuran tertinggi, maka hanya dua dari tujuh metode yang disebutkan dalam sutta ini yang berdampak pada pelepasan – melihat dan mengembangkan – yang di antaranya terdapat empat jalan lokuttara. Kelima metode lainnya tidak dapat secara langsung memenuhi kehancuran noda-noda, tetapi dapat mengendalikannya selama pada tahap persiapan praktik dan karenanya memfasilitasi pembasmian pada akhirnya oleh jalan lokuttara.

44) Faktor utama yang bertanggung jawab untuk melakukan pengendalian indria ini adalah perhatian. Formula yang lebih lengkap atas pengendalian indria diberikan dalam banyak sutta lainnya – misalnya, MN 27.15 – dan dianalisa secara terperinci pada Vsm I, 53-59. MA menjelaskan “demam” (pariḷāha) dalam paragraf di atas sebagai demam kekotoran dan akibat (kamma)nya.

45) Paragraf yang mengikuti di sini telah menjadi formula standard yang digunakan oleh para bhikkhu dalam perenungan sehari-hari mereka terhadap empat kebutuhan dalam kehidupan suci. Empat ini dijelaskan secara terperinci dalam Vsm I, 85-97.

46) Tempat-tempat duduk yang tidak layak ada dua jenis disebutkan dalam Pātimokkha – duduk bersama dengan seorang perempuan di tempat duduk bertirai yang memungkinkan untuk melakukan hubungan seksual, dan duduk sendiri dengan seorang perempuan di tempat pribadi. Berbagai jenis tempat yang tidak layak disebutkan dalam Vsm I, 45,

47) Ketiga jenis pertama dari pikiran tidak bermanfaat – keinginan indria, niat buruk, dan kekejaman – merupakan pikiran salah atau kehendak salah, lawan dari faktor ke dua dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ketiga jenis pikiran salah dan lawannya ini dibahas secara lebih lengkap dalam MN 19.

48) Terdapat tujuh faktor pencerahan sempurna (satta bojjhangā) yang termasuk dalam tiga puluh tujuh persyaratan pencerahan, dan dibahas secara lebih luas di bawah pada MN 10.42 dan MN 118.29-40. Bagian ini menjelaskan tujuh faktor pencerahan sempurna secara khusus sebagai bantuan untuk mengembangkan ketiga jalan lokuttara yang lebih tinggi, yang dengannya noda-noda yang lolos dari pencabutan oleh jalan pertama akan tercabut. Kata “keterasingan” (viveka), “kebosanan” (virāga), dan “lenyapnya” (nirodha) semuanya dapat dipahami sebagai merujuk pada Nibbāna. Penggunaan kata-kata itu dalam konteks ini menyiratkan bahwa pengembangan faktor-faktor pencerahan mengarah pada Nibbāna sebagai tujuannya selama tahap-tahap persiapan sang jalan, dan sebagai obyeknya dengan pencapaian jalan lokuttara. MA menjelaskan bahwa kata vossaga, diterjemahkan sebagai “pelepasan,” memiliki dua makna “melepaskan” (pariccāga), yaitu, ditinggalkannya kekotoran, dan “memasuki” (pakkhandana), yaitu, memuncak pada Nibbāna.

49) Noda keinginan indria tercabut oleh jalan yang-tidak-kembali, noda penjelmaan dan kebodohan hanya oleh jalan terakhir, Kearahatan.

50) Sepuluh belenggu harus dihancurkan untuk mencapai kebebasan sepenuhnya telah diuraikan dalam Pendahuluan, pp.42-43. Keangkuhan, pada tingkat yang paling halus, adalah keangkuhan “aku,” yang bertahan di dalam rangkaian batin hingga pencapaian Kearahatan. “Penembusan keangkuhan” (mānābhisamaya) berarti melihat menembus keangkuhan dan meninggalkannya, yang keduanya tercapai bersamaan oleh jalan Kearahatan. Bhikkhu itu telah “mengakhiri penderitaan” dalam makna bahwa ia telah mengakhiri penderitaan dalam lingkaran saṁsāra (vaṭṭadukkha).

 
SUTTA 3

51) MA: Sang Buddha membabarkan sutta ini karena banyak bhikkhu yang menjadi gembira karena perolehan dan penghormatan yang diterima Sangha, sehingga mengabaikan latihan spiritual mereka. Sang Buddha jelas tidak mungkin menetap peraturan yang melarang penggunaan benda-benda kebutuhan, tetapi Beliau ingin menunjukkan praktik para pewaris Dhamma kepada para bhikkhu yang sungguh-sungguh ingin berlatih.

52) MA menjelaskan bahwa kelima kualitas ini secara perlahan-lahan memenuhi semua tahap praktik yang memuncak pada Kearahatan.

53) Para bhikkhu senior (thera) adalah mereka yang telah menjalani kebhikkhuan selama lebih dari sepuluh musim hujan sejak penahbisan (upasampada); bhikkhu menengah telah menjalani antara lima sampai Sembilan musim hujan; bhikkhu junior kurang dari lima musim hujan.

54) Kualitas-kualitas jahat yang disebutkan di sini, dan pada bagian berikutnya, diperkenalkan untuk menunjukkan kondisi-kondisi yang disebutkan di atas (§6) dengan pernyataan: “Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru beritahukan untuk ditinggalkan.” Kualitas-kualitas ini juga merupakan faktor-faktor yang menunjang seorang bhikkhu untuk lebih menjadi pewaris dalam hal benda-benda materi daripada pewaris Dhamma. Dalam MN 7.3 enam belas kualitas yang sama, dengan “niat buruk” menggantikan “kebencian” dirujuk sebagai “ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran” (cittass’ upakkilesā). Baca n.87 di bawah.

55) Jalan Mulia Berunsur Delapan diperkenalkan di sini untuk menunjukkan praktik yang membuat seseorang menjadi seorang “pewaris Dhamma.” Perlawanan antara kekotoran dan sang jalan menegaskan kembali, dari sudut pandang baru, perlawanan antara “pewaris dalam benda-benda materi” dan “pewaris Dhamma” yang dengannya Sang Buddha memulai sutta ini.


SUTTA 4

56) MA mengatakan bahwa Jāṇussoṇi bukanlah nama aslinya melainkan suatu gelar kehormatan yang berarti “brahmana kerajaan” (purohita) yang dianugerahkan kepadanya oleh raja. MN 27 juga ditujukan kepaada Brahmana Jāṇussoṇi.

57) Bhoto Gotamassa sā janatā diṭṭhānugatiṁ āpajjati. Ñm menerjemahkan: “Apakah orang-orang ini mengikuti makna dari pandangan Guru Gotama?” dan Horner: “orang-orang ini meniru pandangan-pandangan Gotama Mulia” (MLS 1:22). MA juga mengemas: “Orang-orang ini memiliki pandangan dan opini  yang sama dengan Guru Gotama.” Akan tetapi, akan lebih tepat dalam konteks ini untuk menuliskan diṭṭha bukan sebagai bentuk sandhi dari diṭṭhi, melainkan sebagai bentuk lampau, dan mengartikan frasa ini sebagai “mengikuti apa yang mereka lihat dari dirinya,” yaitu, teladannya. Makna ini jelas diperlukan oleh frasa yang terdapat pada SN ii.203, AN i.126, AN iii.108, 251, 422.

58) Ñm awalnya telah menerjemahkan frasa ini sebagai “sempurna dalam pemahaman,” dan frasa yang bersesuaian pada bagain sebelumnya sebagai “sempurna dalam konsentrasi.”Akan tetapi, karena sepertinya tidak tepat untuk memasangkan kesempurnaan pada samādhi dan paññā kepada Bodhisatta sebelum pencerahanNya, maka saya memilih untuk menerjemahkan akhiran sampanna di sepanjang sutta ini sebagai “memiliki.” MA menjelaskan bahwa ini bukanlah kebijaksanaan pandangan terang juga bukan kebijaksanaan sang jalan, melainkan kebijaksanaan yang mendefinisikan sifat dari obyek itu (ārammaṇavavatthānapaññā).

59) Tahun India, menurut sistem kuno yang diwarisi oleh Buddhisme, terbagi dalam tiga musim – musim dingin, musim panas, dan musim hujan – masing-masing berlangsung selama empat bulan. Empat bulan itu dibagi lagi dalam periode dua mingguan (pakkha), yang ke empat dan ke tujuh terdiri dari empat belas hari dan yang lainnya terdiri dari lima belas hari. Pada masing-masing dua mingguan, malam bulan purnama dan bulan baru (baik tanggal empat belas atau lima belas) dan malam bulan setengah (hari ke delapan) dianggap sebagai hari yang keramat. Dalam Buddhisme masa sekarang menjadi Uposatha, hari pelaksanaan aturan-aturan religius. Pada hari bulan purnama dan bulan baru para bhikkhu membacakan aturan-aturan dan umat-umat awam mengunjungi vihara untuk mendengarkan khotbah atau mempraktikkan meditasi.

60) Empat postur (iriyāpatha) yang sering disebutkan dalam teks Buddhis adalah berjalan, berdiri, duduk, dan berbaring.

61) Dimulai dari bagian ini, Sang Buddha menunjukkan perjalanan prakti yang menuntunNya menuju puncak ketidak-bodohan.

62) MA mengatakan bahwa Sang Bodhisatta mengembangkan empat jhāna menggunakan perhatian pada pernafasan sebagai subyek meditasiNya.

63) Dijelaskan secara terperinci dalam Vsm XIII, 13-71.

64) Dijelaskan secara terperinci dalam Vsm XIII, 72-101.

65) MA: Setelah menunjukkan Empat Kebenaran Mulia dalam sifat sejatinya (yaitu, dalam hal penderitaan), paragraf tentang noda-noda disebutkan untuk menunjukkan secara tidak langsung melalui kekotoran.

66) Menurut MA, frasa “Ketika aku mengetahui dan melihat demikian” merujuk pada pandangan terang dan sang jalan; yang mencapai puncaknya dalam jalan Kearahatan; frasa “batinKu terbebaskan” menunjukkan saat buah, dan frasa “muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan’” menunjukkan pengetahuan peninjauan (baca Vsm XXII, 20-21), demikian pula dengan kalimat berikutnya yang dimulai dengan “Aku secara langsung mengetahui.”

67) Ini adalah pernyataan umum Kanonis atas pencapaian pengetahuan akhir atau Kearahatan. MA menjelaskan bahwa pernyataan “Kelahiran telah dihancurkan” berarti bahwa kelahiran jenis apapun juga yang mungkin telah muncul jika sang jalan belum dikembangkan telah tidak mampu muncul lagi melalui pengembangan sang jalan. “Kehidupan suci” yang telah dijalani adalah kehidupan suci sesuai sang jalan (maggabrahmacariya). Frasa “apa yang harus dilakukan telah dilakukan” (kataṁ karaṇīyaṁ) menunjukkan empat tugas dari jalan mulia – memahami sepenuhnya penderitaan, meninggalkan asal-mulanya, menembus lenyapnya, dan mengembangkan sang jalan – telah diselesaikan seluruhnya pada masing-masing dari empat jalan lokuttara. Frasa ke empat, nāparaṁ itthattāya, dikemas oleh MA sebagai berikut: “Sekarang tidak perlu lagi bagiku untuk mengembangkan sang jalan karena ‘kondisi demikian’, yaitu, demi enam belas fungsi (dari sang jalan) atau demi hancurnya kekotoran. Atau dengan kata lain: setelah ‘kondisi demikian,’ yaitu, rangkaian kelompok-kelompok unsur kehidupan yang terjadi saat ini, tidak ada lagi rangkaian kelompok-kelompok unsur kehidupan yang lebih jauh lagi bagiku. Kelima kelompok unsur kehidupan ini, setelah dipahami sepenuhnya, berdiri bagaikan pohon yang ditebang di akarnya. Dengan lenyapnya kesadaran terakhir, kelompok-kelompok unsur kehidupan itu akan padam bagaikan api tanpa bahan bakar.” Saya telah memilih interpretasi ke dua, tetapi mengartikan itthattāya sebagai bentuk obyek tidak langsung. Kata ini, yang secara literal berarti “kondisi ini” atau “kondisi demikian,” menyiratkan manifestasi kondisi kehidupan konkrit. Ñm menerjemahkan: “Tidak ada lagi yang melampaui ini.”

68) MA: Beliau memiliki “belas kasihan kepada generasi mendatang” sejauh generasi-generasi para bhikkhu di masa depan, dengan melihat bahwa Sang Buddha mendatangi tempat-tempat tinggal di dalam hutan, akan mengikuti teladanNya dan dengan demikian mempercepat kemajuan mereka menuju akhir penderitaan.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
Post by: Indra on 18 October 2010, 01:48:51 PM


SUTTA 5

69) MA, mengutip penggunaan kata “orang” (puggala) oleh Yang Mulia Sāriputta, menjelaskan bahwa Sang Buddha memiliki dua ajaran – ajaran konvensional (sammutidesanā) yang diungkapkan sehubungan dengan orang, makhluk, perempuan, dan laki-laki dan sebagainya,. Dan ajaran mutlak (paramatthadesanā) yang diungkapkan hanya seubungan dengan apa yang memiliki validitas filosofis tertinggi, seperti kelompok-kelompok unsur kehidupan, unsur-unsur, landasan-landasan indria, ketidak-kekalan, penderitaan, bukan-diri, dan sebagainya. Sang Buddha membabarkan ajaranNya dengan cara yang sesuai untuk membantu si pendengar menembus maknanya, menyingkirkan kebodohan, dan mencapai kemuliaan. Oleh karena itu penggunaan kata “orang,” tidak menyiratkan kekeliruan dalam arti orang sebagai diri.

70) Subhanimitta: suatu obyek yang menarik yang menjadi landasan bagi nafsu. Sang Buddha mengatakan bahwa perhatian tidak bijaksana pada gambaran keindahan adalah makanan (āhāra) bagi munculnya keinginan indria yang belum muncul dan bagi berkembangnya keinginan indria yang telah muncul (SN 46:2/v.64)

71) Ini adalah praktik pertapaan keras, penghuni hutan, pemakan makanan yang didanakan, berkunjung dari rumah ke rumah, pemakai jubah dari kain yang dibuang dijelaskan dalam Vsm II.

72) Ini adalah praktik “yang lebih lunak” daripada yang disebutkan pada §29, umumnya dianggap sebagai gambaran komitmen usaha yang kurang kuat demi mencapai tujuan.

73) Para Ājīvaka atau Ājīvika, adalah aliran saingan yang ajarannya menekankan pada praktik keras berdasarkan pada filosofi yang berbatasan dengan fatalisme. Baca Basham, History and Doctrines of the Ājivikas.

74) Kata ganti milik mensyaratkan bahwa hati tidak terdapat dalam Pali, tetapi makna frasa ini harus dipahami dengan mempertimbangkan perumpamaan. Seperti halnya Samīti menghaluskan cacat dari lingkaran roda seolah-olah ia mengetahui hati Paṇḍuputta dengan hatinya, demikian pula Sāriputta menghaluskan cacat dari para bhikkhu seolah-olah ia mengetahui keinginan Moggallāna yang ingin melenyapkannya. MLS (1:40) kehilangan maknanya dengan menerjemahkan: “karena ia mengetahui hati mereka dengan hatinya,” menganggap rujukan pertama adalah kepada para bhikkhu bukan kepada YM. Moggallāna.

75) Mahānāga. Nāga adalah kelompok makhluk yang menyerupai naga dalam mitologi India yang dipercaya menghuni wilayah bawah tanah dan menjadi penjaga harta tersembunyi. Kata ini muncul mewakili makhluk-makhluk besar dan perkasa, seperti gajah bergading atau kobra dan, dengan memperluasnya, seorang bhikkhu Arahant. Baca Dhp, ch.23, Nāgavagga.


SUTTA 6

76) MA mengatakan bahwa ungkapan sampannasīlā, yang diterjemahkan di sini sebagai “memiliki moralitas,” dapat bermakna “sempurna dalam moralitas” (paripuṇṇasīlā) atau “memiliki moralitas” (sīlasamangino). Pātimokkha adalah aturan disiplin monastik, yang dalam versi Pali terdiri dari 227 aturan,.  Gocara menyiratkan tempat yang sesuai untuk menerima dana makanan, walaupun kata ini juga dapat berarti penampilan selayaknya dari seorang bhikkhu, ketenangannya dan pengendalian dirinya. Kata kunci dalam paragraf ini dianalisa dalam Vsm I, 43-52.

77) MA: paragraf yang dimulai dengan “maka ia harus memenuhi aturan-aturan,” diulangi pada tiap-tiap bagian berikutnya hingga akhir sutta, terdiri dari keseluruhan tiga latihan. Frasa mengenai memenuhi aturan-aturan menyiratkan latihan dalam moralitas yang lebih tinggi (adhisīlasikkhā); frasa “menekuni ketenangan pikiran internal, tidak mengabaikan meditasi” menyiratkan latihan dalam konsentrasi yang lebih tinggi (adhicittasikkhā); dan frasa “memiliki pandangan terang” merujuk pada latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi (adhipaññāsikkhā). Frasa “berdiam dalam gubuk kosong” menggabungkan kedua latihan yang terakhir, karena seseorang mendatangi gubuk kosong bertujuan untuk mengembangkan ketenangan dan pandangan terang.

78) Yaitu, jika sanak saudara yang telah terlahir kembali di alam hantu atau di alam dewa yang rendah mengingat moralitas bhikkhu dengan penuh keyakinan, maka keyakinan itu akan menjadi sumber kebajikan bagi mereka, melindungi mereka dari kelahiran kembali yang buruk dan menjadi kondisi positif untuk mencapai Nibbāna.

79) Ini adalah empat pencapaian tanpa materi yang mana formula lengkapnya terdapat dalam MN 8.8-11, MN 25.16-19, dan sebagainya. MA mengemas “tubuh” sebagai “tubuh batin” (nāmakāya).

80) Tiga belenggu yang dihancurkan oleh pemasuk-arus adalah pandangan identitas, keragu-raguan, dan keterikatan pada aturan dan upacara, seperti disebutkan pada MN 2.11.

81) Sebagai tambahan pada tiga belenggu pertama, yang-tidak-kembali menghancurkan dua “belenggu yang lebih rendah” lainnya, yaitu, keinginan-indria dan niat buruk. Yang-tidak-kembali terlahir kembali di wilayah khusus di alam Brahmā yang disebut dengan Alam Murni, dan mengakhiri penderitaan di sana.

82) §§140-19 menyajikan enam belas pengetahuan langsung (abhiññā). Baca Pendahuluan, p.37; untuk penjelasan lebih lengkap, baca Vsm XII dan XVIII.

83) MA: Dalam paragraf ini “pikiran” dan “kebijaksanaan” berturut-turut menyiratkan, konsentrasi dan kebijaksanaan yang berhubungan dengan Buah Kearahatan. Konsentrasi disebut “kebebasan pikiran” (cetovimutti) karena terbebaskan dari nafsu; kebijaksanaan disebut “kebebasan melalui kebijaksanaan” (paññāvimutti) karena terbebas dari kebodohan. Kebebasan pikiran biasanya adalah hasil dari ketenangan, kebebasan melalui kebijaksanaan biasanya adalah hasil dari pandangan terang. Tetapi ketika digabungkan dan digambarkan sebagai tanpa-noda (anāsava), secara bersama-sama merupakan hasil dari hancurnya noda-noda melalui jalan lokuttara Kearahatan.


SUTTA 7

84) Untuk penjelasan yang lebih lengkap atas sutta ini dan sutta berikutnya, dengan pendahuluan yang sangat membantu dan penjelasan panjang pada catatan kaki, baca Nyanaponika Thera, The Simile of the Colth and The Discourse of Effacement.

85) Alam tujuan kelahiran yang buruk (duggati) adalah kelahiran kembali di tiga alam sengsara- neraka, alam binatang, dan alam hantu. Alam tujuan kelahiran yang bahagia (sugati), yang disebutkan persis di bawahnya, adalah kelahiran kembali di antara manusia, dan di alam-alam surga.

86) Cittassa upakkilesā. Kata upakkilesā kadang-kadang digunakan dalam makna tanpa noda atau ketidak-sempurnaan konsentrasi meditatif, seperti pada MN 128:27, 30; kadang-kadang dalam makna noda atau ketidak-sempurnaan pandangan terang, seperti pada Vsm XX, 106; dan kadang-kadang menyiratkan kekotoran minor yang muncul dari ketiga akar tidak bermanfaat – keserakahan, kebencian, dan kebodohan – apakah sebagai modusnya atau cabangnya. Di sini digunakan dalam makna ke tiga, tetapi mempertahankan hubungan dengan kedua penggunaan pertama, diterjemahkan oleh frasa “ketidak-sempurnaan yang mengotori batin.”

87) MA memberikan beberapa perbedaan sementara antara ketamakan (abhijjhā) dan perbuatan tidak baik (visamalobha), tetapi kemudian karena, dari sudut pandang latihan yang lebih tinggi, semua keserakahan adalah tidak baik, maka kedua kata ini dapat dipahami sebagai hanya perbedaan sebutan untuk faktor batin yang sama, keserakahan atau nafsu. Di sini saya menuliskan penjelasan MA atas beberapa kekotoran batin lainnya: Kekesalan (upanāha) terbentuk setelah kemarahan berulang-ulang menyelimuti pikiran. Meremehkan (makkha) adalah penurunan manfaat atas seseorang oleh orang lain. Kecongkakan (paḷāsa) adalah dugaan (yugaggāha) yang muncul ketika seseorang menempatkan dirinya setara dengan orang lain yang memiliki kualitas lebih. Kecemburuan (issā) adalah kekesalan terhadap penghormatan, dan lain-lain yang diterima orang lain.; kekikiran (macchariya) adalah keengganan untuk membagi miliknya dengan orang lain. Sifat keras kepala (thambha) adalah ketidak-lenturan, kekakuan, kesukaran, bagaikan pipa pengembus yang penuh dengan angin. Persaingan (sārambha)  adalah usaha untuk mengalahkan orang lain, terdorong untuk melampaui pencapaian orang lain. Beberapa dari kekotoran ini juga didefinisikan pada Vbh §§45-46, 891-94.

88) MA mengatakan bahwa meninggalkan yang dibicarakan di sini harus dipahami sebagai “meninggalkan melalui pemberantasan” (samucchedappahāna), yaitu, mencabut secara total melalui jalan lokuttara. Enam belas kekotoran ditinggalkan oleh jalan mulia dalam urutan sebagai berikut:
1.   Jalan memasuki-arus meninggalkan: meremehkan, kepongahan, kecemburuan, kekikiran, penipuan, kecurangan
2.   Jalan yang-tidak-kembali meninggalkan: niat buruk, kemarahan, kekesalan, kelengahan.
3.   Jalan Kearahatan meninggalkan: ketamakan dan keserakahan yang tidak baik, kekeras-kepalaan, persaingan, keangkuhan, kesombongan, kebanggaan.

MA mempertahankan, dengan referensi pada sumber penafsiran kuno, bahwa paragraf ini menjelaskan jalan yang-tidak-kembali. Oleh karena itu kita harus memahami bahwa kekotoran-kekotoran yang harus ditinggalkan sepenuhnya melalui jalan Kearahatan pada titik ini hanya ditinggalkan sebagian, melalui manifestasinya yang lebih kasar.

89) Keyakinan yang tidak tergoyahkan (aveccappasāda) pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha adalah atribut seorang siswa mulia pada minimal seorang pemasuk-arus, yang keyakinannya sempurna karena ia telah melihat kebenaran Dhamma itu oleh dirinya sendiri. Formula perenungan Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha dijelaskan secara lengkap dalam Vsm VII.

90) Terjemahan ini mengikuti tulisan yatodhi dan penjelasan MA atas kata ini sebagai meninggalkan sebagian kekotoran melalui tiga jalan pertama, berlawanan dengan total (anodhi) kekotoran yang harus ditinggalkan oleh jalan ke empat atau terakhir. Ñm, mengikuti tulisan yatodhi, menerjemahkan: “Dan apapun [dari ketidak-sempurnaan itu] yang telah, menurut batasan [yang ditetapkan tiga jalan pertama yang manapun yang telah ia capai], dihentikan, dijatuhkan [selamanya], dibiarkan berlalu, ditinggalkan, dilepaskan.” Kedua variasi ini sepertinya berasal dari zaman dulu karena keduanya dikenali oleh MA.

91) Labhati atthavedaṁ labhati dhammavedaṁ.  YM. Nyanaponika menerjemahkan: “Ia memperoleh antusiasme pada tujuan,  ia memperoleh antusiasme pada Dhamma.” MA menjelaskan veda sebagai bermakna kegembiraan dan pengetahuan yang berhubungan dengan kegembiraan itu, dan mengatakan: “Atthaveda adalah inspirasi yang muncul dalam diri seseorang yang merenungkan ditinggalkannya kekotoran secara sebagian, penyebab keyakinan yang tidak tergoyahkan.”

92) Padanan dalam Pali, dalam bentuk kata benda, atas kata dalam rangkaian ini adalah: pāmojja, kegembiraan; piti, kegembiraan meluap; passaddhi, ketenangan; samādhi, konsentrasi.  Ketenangan, dengan melenyapkan ganguan-gangguan batin dan jasmani yang halus yang berhubungan dengan kegembiraan dan kegembiraan meluap, membawa kenikmatan tenang dan mempersiapkan pikiran untuk konsentrasi yang semakin mendalam.

93) Kata dalam Pali adalah: evaṁsīlo evaṁdhammo evaṁpañño. Kata yang di tengah, dalam konteks ini, jelas merujuk pada tahap ke dua dari tiga latihan, yaitu, konsentrasi, walupun cukup mengherankan mengapa kata samādhiī tidak digunakan. Komentar MN 123.2 mengemas sebuah ungkapan paralel dengan samādhi-pakkha-dhammā, “kondisi-kondisi yang diperlukan oleh konsentrasi.”

94) Pernyataan ini menggaris-bawahi pencapaian tingkat yang-tidak-kembali. Karena yang-tidak-kembali telah melenyapkan keinginan indria, maka makanan lezat tidak dapat merintanginya dalam perjalanannya menuju jalan dan buah terakhir.

95) §§13-16 menyajikan formula-formula sutta standard mengenai empat “kediaman Brahma” (brahmavihāra). Secara singkat, cinta kasih (mettā) adalah keinginan akan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk-makhluk lain; belas kasihan (karuṇā), empati kepada mereka yang menderita; kegembiraan altruistik (muditā), bergembira atas kebajikan dan keberhasilan mereka; dan keseimbangan (upekkha), sikap tidak-membeda-bedakan yang bebas terhadap makhluk-makhluk (bukan ketidak-pedulian atau ketidak-acuhan). Untuk penjelasan lebih lengkap, baca Vsm IX.

96) MA: Bagian ini menunjukkan praktik meditasi pandangan terang dari yang-tidak-kembali yang ditujukan pada Kearahatan dan bagian berikutnya menunjukkan pencapaian Kearahatannya. Frasa “Ada ini” menyiratkan kebenaran penderitaan; “ada yang rendah,” asal-mula penderitaan; “ada yang mulia,” kebenaran sang jalan; dan “ada jalan membebaskan diri dari keseluruhan bidang persepsi ini” adalah Nibbāna, lenyapnya penderitaan.

97) MA: Sang Buddha menggunakan frasa ini untuk membangkitkan perhatian Brahmana Sundarika Bhāradvāja, yang berada dalam kumpulan itu dan mempercayai pemurnian melalui ritual mandi. Sang Buddha meramalkan bahwa brahmana itu akan terinspirasi dan menerima penahbisan di bawah Beliau dan akan mencapai Kearahatan.

98) Ini adalah sungai-sungai dan penyeberangan yang dipercaya dapat memurnikan.

99) Kata Pali adalah phaggu, satu hari untuk pemurnian brahmana di bulan Phagguna (Februari-Maret), dan uposatha, hari pelaksanaan religius yang diatur dalam penanggalan lunar. Baca n.59.

100) Pelepasan keduniawian (pabbajja) adalah penahbisan resmi untuk menjalani kehidupan tanpa rumah sebagai sāmaṇera; penahbisan penuh (upasampadā) memberikan status bhikkhu, anggota penuh dari Sangha.


SUTTA 8

101) Baca n.84

102) Pandangan-pandangan yang berhubungan dengan doktrin diri (attavādapaṭisaṁyuttā), menurut MA, ada dua puluh jenis pandangan identitas yang diuraikan pada MN 44.7, walaupun pandangan-pandangan itu juga dapat dipahami memasukkan doktrin yang lebih luas tentang diri yang dibahas dalam MN 102. pandangan-pandangan yang berhubungan dengan doktrin tentang dunia (lokavādapaṭisaṁyutta) ada delapan pandangan; dunia adalah abadi, tidak abadi, keduanya, atau bukan keduanya; dunia adalah terbatas, tidak terbatas, keduanya, atau bukan keduanya. Baca MN 63 dan MN 72 mengenai penolakan Sang Buddha atas pandangan-pandangan ini.

103) MA: Pertanyaan ini merujuk pada seseorang yang telah mencapai hanya tahap awal dari meditasi pandangan terang tanpa mencapai tingkat memasuki-arus, jenis pelepasan yang dibahas adalah melepaskan melalui pencabutan, yang hanya dapat terjadi pada jalan memasuki-arus. YM. Mahā Cunda mengajukan pertanyaan ini karena beberapa meditator terlalu meninggikan pencapaian mereka, menganggap bahwa mereka telah meninggalkan pandangan-pandangan itu sementara mereka belum benar-benar melenyapkannya.

104) MA menjelaskan bahwa kata “muncul” (uppajjanti) di sini merujuk pada munculnya pandangan-pandangan yang belum muncul sebelumnya; “berlandaskan” (anusenti) pada kekuatannya yang terkumpul melalui keterikatan terus-menerus pada pandangan-pandangan itu; dan “diterapkan” (samudācaranti) pada perbutan jasmani atau ucapan mereka. “Obyek” di mana pandangan-pandangan itu berlandaskan adalah kelima kelompok unsur kehidupan (khandha) yang merupakan sesosok orang atau makhluk hidup – bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan batin, dan kesadaran.

105) Dengan pernyataan ini Sang Buddha menunjukkan cara yang dengannya pandangan-pandangan tercabut: perenungan pada kelima kelompok unsur kehidupan sebagai “bukan milikku”, dan seterusnya, dengan kebijaksanaan pandangan terang yang memuncak pada jalan memasuki-arus.

106) MA menjelaskan bahwa Sang Buddha, setelah menjawab pertanyaan bhikkhu itu, sekarang membicarakan jenis orang yang terlalu meninggikan – mereka yang mencapai delapan pencapaian meditatif dan percaya bahwa mereka mempraktikkan pemurnian yang sesungguhnya (sallekha). Kata sallekha, yang berarti praktik pertapaan atau praktik keras, digunakan oleh Sang Buddha untuk menyiratkan penghapusan atau pelenyapan kekotoran secara radikal. Walaupun delapan pencapaian di tempat lain diletakkan dalam Latihan Buddhis (baca MN 25.12-19, MN 26.34-41), di sini dikatakan bahwa pencapaian itu tidak disebut sebagai pemurnian karena bhikkhu yang mencapainya tidak menggunakannya sebagai landasan bagi pandangan terang – seperti dijelaskan, misalnya, dalam MN 52 dan MN 64 – melainkan hanya sebagai alat untuk menikmati kebahagiaan dan kedamaian.

107) Empat puluh empat “cara pemurnian” yang dijelaskan, jatuh dalam beberapa kelompok ajaran sebagai berikut. Yang tidak disebutkan di sini berarti tidak termasuk dalanm kelompok manapun.
(2)-(11) adalah sepuluh perbuatan tidak bermanfaat dan perbuatan bermanfaat (kammapatha) – baca MN 9.4, 9.6;
(12)-(18) adalah tujuh faktor terakhir dari Jalan Delapan – buruk dan baik – faktor pertama identik dengan (1);
(19)-(20) kadang-kadang ditambahkan pada dua Jalan Delapan – baca MN 117.34-36;
(21)-(23) adalah tiga terakhir dari lima rintangan – baca MN 10.36 – dua yang pertama identik dengan (9) dan (10);
(24)-(33) adalah sepuluh dari enam belas ketidak-sempurnaan yang mengotori batin, yang disebutkan dalam MN 7.3;
(37)-(43) adalah tujuh kualitas buruk dan tujuh kualitas baik (saddhammā) yang disebutkan dalam MN 53.11-17.

108) MṬ: Ketidak-kejaman (avihiṁsā), yang merupakan sinonim dari belas kasihan, disebutkan pertama karena merupakan akar dari segala kebajikan, khususnya penyebab-akar dari moralitas.

109) MA: Ini adalah penjelasan dari mereka yang menggenggam erat-erat pada pandangan yang telah muncul dalam diri mereka, dengan mempercayai “Hanya inilah kebenaran”; mereka tidak melepaskannya bahkan jika disuruh oleh Sang Buddha dengan argumen yang masuk akal.

110) MA: Kecenderungan pikiran bermanfaat besar karena secara eksklusif membawa kesejahteraan dan kebahagiaan, dan karena menjadi penyebab dari perbuatan selanjutnya yang bersesuaian.

111) Kata Pali yang diterjemahkan sebagai “padam” adalah parinibbuto, yang juga dapat berarti “mencapai Nibbāna”; dan kata Pali yang diterjemahkan “membantu memadamkan” adalah parinibbāpessati, yang juga dapat berarti “membantu mencapai Nibbāna” atau “membawa menuju Nibbāna.” Kata Pali untuk ungkapan selanjutnya “yang dengannya memadamkannya,” parinibbānaya, mungkin dapat diterjemahkan “untuk mencapai Nibbāna.” Walaupun dalam seluruh tiga kasus terjemahan alternatif ini akan menjadi terlalu dipaksakan secara literal, maknanya berperan pada usulan atas makna asli dalam cara yang tidak dapat ditangkap dalam terjemahan.

112) MA menunjukkan bahwa pernyataan ini dapat dipahami dalam dua cara: (1) Seseorang yang bebas dari kekejaman dapat menggunakan ketidak-kejamannya untuk membantu memadamkan kekejaman orang lain; dan (2) seseorang yang kejam dapat mengembangkan ketidak-kejaman untuk memadamkan watak kejamnya. Seluruh kasus berikutnya harus dipahami dalam dua cara serupa.

113) MA: Tugas guru yang berbelas kasihan adalah ajaran Dhamma yang benar; di luar itu adalah praktik, yang merupakan tugas para siswa.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
Post by: Indra on 18 October 2010, 01:50:36 PM

SUTTA 9

114) MA: Pandangan benar ada dua: lokiya dan lokuttara: Pandangan benar lokiya dibagi menjadi dua lagi: pandangan bahwa kamma menghasilkan buahnya, yang dianut oleh baik para Buddhis maupun diluar Buddhis, dan pandangan yang sesuai dengan Empat Kebenaran Mulia, yang eklusif pada Ajaran Buddha. Pandangan benar lokuttara adalah pemahaman atas Empat Kebenaran Mulia yang dicapai melalui penembusan empat jalan dan buah kesucian. Pertanyaan yang diajukan oleh Yang Mulia Sāriputta adalah sehubungan dengan sekha, siswa dalam latihan yang lebih tinggi, yang memiliki pandangan benar yang satu arah menuju kebebasan. Ini disiratkan oleh frasa “keyakinan tidak tergoyahkan” dan “telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

115) Di sini yang tidak bermanfaat (akusala) dijelaskan melalui sepuluh perbuatan tidak bermanfaat. Tiga pertama berhubungan dengan perbuatan jasmani, empat berikutnya berhubungan dengan ucapan, dan tiga terakhir berhubungan dengan pikiran. Sepuluh ini dijelaskan secara lengkap pada MN 41.8-10.

116) Tiga ini disebut akar yang tidak bermanfaat karena mendorong semua perbuatan tidak bermanfaat. Untuk pembahasan yang lebih lengkap dan informatif dari faktor-faktor ini dan lawan-lawannya, baca Nyanaponika Thera, The Roots of Good and Evil.

117) Sepuluh perbuatan tidak bermanfaat ini dijelaskan dalam MN 42.12-14.

118) MA menjelaskan pemahaman siswa atas keempat hal ini melalui Empat Kebenaran Mulia adalah sebagai berikut: semua perbuatan adalah kebenaran penderitaan; akar bermanfaat dan tidak bermanfaat adalah kebenaran asal-mula; tidak terjadinya perbuatan itu dan akar-akarnya adalah kebenaran lenyapnya; dan jalan mulia yang mencapai lenyapnya adalah kebenaran sang jalan. Hingga sejauh ini seorang siswa mulia pada salah satu dari ketiga tingkat telah dijelaskan – seorang yang telah sampai pada pandangan benar lokuttara namun belum melenyapkan semua kekotoran.

119) Paragraf dari “ia sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu” hingga “ia mengakhiri penderitaan” menunjukkan tugas yang diselesaikan oleh jalan yang-tidak-kembali dan jalan Kearahatan – lenyapnya kekotoran yang paling halus dan membandel dan pencapaian pengetahuan akhir. Di sini, kecenderungan tersembunyi pada nafsu indria dan kebencian dilenyapkan melalui jalan yang-tidak-kembali, kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan “aku” dan kebodohan melalui jalan Kearahatan. MA menjelaskan bahwa ungkapan “kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan ‘aku’” (asmī ti diṭṭhimānānusaya) harus diinterpretasikan sebagai bermakna kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan yang serupa dengan pandangan karena, seperti halnya pandangan diri yang menangkap gagasan “aku ada.”

120) Di sini saya menganggap sambhavesīnam sebagai bentuk (jarang digunakan) kata kerja aktif masa depan dalam  -esin.  (baca Norman, Elders; Verses I: Theragāthā, n.527, dan Gelger, A Pali Grammar, 193A.) Para komentator, yang saya ikuti dalam edisi pertama buku ini, menganggap –esin sebagai bentuk kata sifat dari esati, mencari, dan dengan demikian menjelaskan frasa ini sebagai bermakna “mereka yang mencari kehidupan baru.” Baca juga n.514. Makanan (āhāra) di sini harus dipahami dalam makna yang luas sebagai kondisi yang menonjol bagi kelangsungan hidup individu. Makanan fisik (kabalinkāra āhāra) adalah kondisi penting bagi tubuh fisik, kontak bagi perasaan, kehendak pikiran bagi kesadaran, dan kesadaran bagi batin-jasmani, organisme yang memiliki batin dan jasmani secara keseluruhan. Keinginan disebut asal-mula makanan dalam hal bahwa keinginan dari kehidupan sebelumnya adalah sumber dari individu sekarang dengan ketergantungannya pada konsumsi terus-menerus akan empat makanan dalam kehidupan ini. Untuk kompilasi kanon yang disertai keterangan dan komentar atas makanan-makanan, baca Nyanaponika Thera, The Four Nutriments of Life.

121) Dua belas bagian selanjutnya menyajikan, dalam urutan mundur, penelaahan faktor demi faktor dari sebab-akibat yang saling bergantungan. Kata penting dari formula ini dijelaskan secara ringkas pada Pendahluan, pp.30-31. penafsiran terperinci terdapat dalam Vsm XVII. Di sini masing-masing faktor terpola menurut Empat Kebenaran Mulia.

122) Ini merujuk pada kelima kelompok unsur kehidupan. Baca MN 10.38 dan MN 44.2.

123) Enam landasan bagi kontak diuraikan pada §50 di bawah.

124) Tiga jenis penjelmaan dijelaskan dalam Pendahuluan, pp.46-48, dalam pembahasan mengenai kosmologi Buddhis. Di sini, “penjelmaan” harus dipahami baik sebagai alam kelahiran kembali yang sesungguhnya maupun jenis kamma yang menghasilkan kelahiran kembali di alam tersebut.

125) Kemelekatan pada aturan dan upacara adalah keterikatan pada pandangan bahwa pemurnian dapat dicapai dengan mengadopsi aturan eksternal tertentu atau mengikuti upacara tertentu, khususnya disiplin-diri pertapaan; kemelekatan pada doktrin diri adalah bersinonim dengan pandangan diri dalam salah satu dari dua puluh jenisnya (baca MN 44.7); kemelekatan pada pandangan adalah kemelekatan pada seluruh jenis lain pandangan kecuali dua yang disebutkan secara terpisah. Kemelekatan dalam salah satu variasinya merupakan suatu penguatan keinginan, kondisinya.

126) Keinginan akan obyek-obyek pikiran (dhammataṇhā) adalah keinginan akan segala obyek kesadaran kecuali obyek-obyek dari kelima jenis kesadaran indria. Contohnya adalah keinginan akan khayalan dan gambaran pikiran, keinginan akan gagasan-gagasan abstrak dan sistem intelektual, keinginan akan perasaan-perasaan dan kondisi-kondisi emosi, dan sebagainya.

127) Kontak (phassa) dijelaskan pada MN 18.16 sebagai pertemuan antara organ indria, obyeknya, dan kesadaran.

128) Landasan-pikiran (manāyatana) adalah kata gabungan untuk segala jenis kesadaran. Satu bagian landasan ini – “rangkaian kehidupan” (bhavanga) atau kesadaran bawah sadar – adalah “pintu” bagi munculnya kesadaran-pikiran. Baca n.130.

129) Batin-jasmani (nāma-rūpa) adalah sebuah kata yang memayungi organisme yang memiliki batin-jasmani yang secara khusus memiliki kesadaran. Kelima faktor batin yang disebutkan dalam kelompok nāma adalah tidak dapat dipisahkan dari kesadaran dan dengan demikian berhubungan dengan seluruh pengalaman kesadaran. Empat unsur utama secara nyata mewakili kualitas materi kepadatan, kohesi, panas, dan perluasan. Bentuk materi diturunkan dari unsur-unsur termasuk, menurut analisa Abhidhamma, zat sensitif kelima indria; empat obyek indria – warna, suara, bau-bauan, dan rasa kecapan. (obyek sentuhan merupakan tiga unsur tanah, api, dan udara); kemampuan hidup secara fisik, inti makanan, perbedaan jenis kelamin, dan jenis lain fenomena materi. Baca Pendahuluan, p.56.

130) Kesadaran-pikiran (manoviññāṇa) terdiri dari seluruh kesadaran kecuali lima jenis kesadaran indria yang telah disebutkan. Termasuk kesadaran dari gambaran pikiran, gagasan-gagasan abstrak, dan kondisi internal pikiran, serta kesadaran dalam merenungkan obyek-obyek indria.

131) Dalam konteks doktrin sebab-akibat yang saling bergantungan, bentukan-bentukan (sankhārā) adalah kehendak-kehendak yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat, atau, singkatnya, kamma. Bentukan jasmani adalah kehendak yang dinyatakan melalui jasmani, bentukan ucapan adalah kehendak yang dinyatakan melalui ucapan, dan bentukan batin adalah kehendak yang tetap berada di dalam tanpa berubah menjadi ungkapan jasmani atau ucapan.

132) Harus dipahami bahwa sementara kebodohan adalah kondisi bagi noda-noda, noda-noda – termasuk noda kebodohan – pada gilirannya adalah kondisi bagi kebodohan. MA mengatakan bahwa pengondisian kebodohan oleh kebodohan harus dipahami sebagai bermakna bahwa kebodohan dalam satu kehidupan dikondisikan oleh kebodohan dalam kehidupan sebelumnya. Karena itu, kesimpulan yang mengikuti adalah bahwa tidak ada titik awal yang dapat ditemukan bagi kebodohan, dan dengan demikian maka saṁsāra adalah tanpa awal yang dapat diketahui.



Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
Post by: Indra on 18 October 2010, 01:51:04 PM
SUTTA 10

133) Ini adalah salah satu terpenting dalam Kanon Pali, berisikan pernyataan yang paling luas dari jalan paling langsung pada pencapaian tujuan Buddhis. Sebenarnya sutta serupa juga terdapat pada DN 22, walaupun dengan tambahan analisa yang diperluas pada Empat Kebenaran Mulia, yang menjadikannya lebih panjang. Sutta ini, komentarnya, dan kutipan-kutipannya telah disajikan berserta terjemahannya oleh Soma Thera dalam The Way of Mindfulness. Suatu terjemahan atas sutta ini yang sangat mudah dibaca, dengan komentarnya yang jelas dan mendalam, dapat ditemukan dalam Nyanaponika Thera, The Heart of Buddhist Meditation.

134) Pemukiman ini dikatakan oleh beberapa terpelajar berlokasi di sekitar Delhi Modern.

135) Dalam Pali tertulis ekāyano ayaṁ bhikkhave maggo, yang hampir semua penerjemah memahaminya sebagai suatu pernyataan yang menganggap satipaṭṭhāna sebagai suatu jalan yang eksklusif. Demikianlah YM. Soma menerjemahkannya: “Ini adalah jalan satu-satunya, O para bihkkhu,” dan YM. Nyanaponika: “Ini adalah jalan tunggal, para bhikkhu.” Akan tetapi, Ñm menunjukkan bahwa ekāyana magga pada MN 12.37-42 memiliki makna yang tidak membingungkan sebagai “jalan satu arah,” dan demikianlah ia menerjemahkan frasa ini dalam paragraf ini. Ungkapan yang digunakan di sini, “jalan langsung,” adalah suatu usaha untuk melestarikan makna yang lebih luwes. MA menjelaskan ekāyana magga sebagai jalan tunggal, bukan jalan bercabang; sebagai jalan yang harus dijalani oleh diri sendiri, tanpa pendamping; dan merupakan jalan yang menuju ke satu tujuan, Nibbāna. Walaupun tidak ada dasar Kanonis atau komentar atas pandangan ini, namun dapat dikatakan bahwa satipaṭṭhāna disebut ekāyana magga, jalan langsung, untuk membedakannya dari pendekatan pencapaian meditatif yang melalui jhāna atau brahmavihāra. Walaupun jhāna atau brahmavihāra dapat menuntun menuju Nibbāna, namun juga dapat menyimpang, sedangkan satipaṭṭhāna pasti menuntun menuju tujuan akhir.

136) Kata satipaṭṭhāna adalah kata majemuk. Bagian pertama, sati, secara literal berarti “ingatan,” tetapi dalam penggunaan Buddhis Pali lebih sering bermakna perhatian yang diarahkan pada masa sekarang – demikianlah perubahan penerjemahan menjadi “perhatian.” Bagian ke dua dijelaskan dalam dua cara: sebagai bentuk singkat dari upaṭṭhāna,  yang berarti “menegakkan” atau “membentuk” – di sini, dalam hal perhatian; atau sebagai paṭṭhāna,  yang berarti “wilayah” atau “landasan” – sekali lagi, dalam hal perhatian. Dengan demikian empat satipaṭṭhāna dapat dipahami sebagai empat cara menegakkan perhatian atau sebagai empat wilayah obyek perhatian, yang diperkuat dalam isi sutta ini. Makna pertama sepertinya turunan yang benar secara etomologi (ditegaskan oleh Sanskrit sm tyupasthāna), tetapi para komentator Pali, walaupun menerima kedua penjelasan ini, lebih menyukai makna ke dua.

137) MA mengatakan bahwa dalam konteks ini, “bhikkhu” adalah kata yang menunjukkan seseorang yang dengan sungguh-sungguh berusaha untuk melatih ajaran: “Siapapun yang menjalankan praktik itu ... di sini termasuk dalam kata ‘bhikkhu.’”

138) Pengulangan dalam frasa “merenungkan jasmani sebagai jasmani” (kaye kāyānupassī), menurut MA, bertujuan untuk secara tepat menentukan obyek perenungan dan mengisolasi obyek tersebut dari yang lainnya yang dapat membingungkan. Dengan demikian, dalam praktik ini, jasmani harus direnungkan sebagaimana adanya, dan bukan perasaan, gagasan, atau emosi yang berhubungan dengan jasmani. Frasa ini juga bermakna bahwa jasmani harus direnungkan hanya sebagai jasmani, bukan sebagai laki-laki, perempuan, diri, atau makhluk hidup. Pertimbangan serupa berlaku pada pengulangan dalam masing-masing dari ketiga landasan perhatian lainnya. “Ketamakan dan kesedihan,” MA mengatakan, adalah keinginan indria dan niat buruk, rintangan utama yang harus diatasi agar praktik ini berhasil, diuraikan secara terpisah di bawah pada §36.

139) Struktur sutta ini sangat sederhana. Setelah pembukaan, batang tubuh khotbah ini jatuh dalam empat bagian menurut empat landasan perhatian:
I.   Perenungan jasmani, yang terdiri dari empat belas latihan: perhatian pada pernafasan; perenungan pada empat postur; kewaspadaan penuh; perhatian pada kejijikan; perhatian pada unsur-unsur; dan sembilan “perenungan tanah pekuburan” – perenungan pada mayat dalam berbagai tahap kerusakan.
II.   Perenungan perasaan, dianggap satu latihan.
III.   Perenungan Pikiran, juga satu latihan.
IV.   Perenungan Obyek-obyek pikiran, yang terdiri dari lima sub-bagian – lima rintangan; lima kelompok unsur kehidupan; tujuh faktor pencerahan; dan Empat Kebenaran Mulia.

Demikianlah sutta ini menjelaskan keseluruhan dua puluh satu latihan perenungan. Masing-masing latihan pada gilirannya memiliki dua aspek: latihan dasar, dijelaskan pertama kali, dan bagian tambahan mengenai pandangan terang (yang intinya sama untuk semua latihan), yang menunjukkan bagaimana perenungan dikembangkan untuk memperdalam pemahaman akan fenomena yang diselidiki.

Akhirnya sutta ini ditutup dengan pernyataan jaminan yang mana Sang Buddha secara pribadi menjamin efektifitas metode ini dengan menyatakan buah dari praktik yang dilakukan terus-menerus ini adalah Kearahatan atau yang-tidak-kembali,

140) Praktik perhatian pada pernafasan (ānāpānasati) tidak melibatkan usaha untuk mengatur nafas, seperti pada hatha yoga, tetapi mempertahankan usaha memusatkan kewaspadaan pada nafas sewaktu masuk dan keluar secara alami. Perhatian ditegakkan di lubang hidung atau bibir atas, di manapun sentuhan nafas paling jelas dirasakan; panjang nafas diperhatikan namun tidak dengan sengaja dikendalikan. Pengembangan meditasi ini secara lengkap dijelaskan dalam MN 118. Untuk koleksi yang lebih terstruktur atas topik ini, baca Bhikkhu Ñāṇamoli, Mindfulness of Breathing, baca juga Vsm VIII, 145-244.

141) MA menjelaskan “mengalami keseluruhan tubuh” (sabbakāyapaṭisaṁvedī) sebagai bermakna bahwa meditator mewaspadai tiap-tiap nafas masuk dan keluar melalui tiga tahap awal, pertengahan, dan akhir. Pada edisi pertama Saya mengikuti penjelasan ini dan menambahkan dalam kurung “nafas” setelah “keseluruhan tubuh.” Akan tetapi, setelah mempertimbangkan kembali, interpretasi ini sepertinya terlalu dipaksakan, dan sekarang saya lebih suka mengartikan frasa ini secara literal. Juga adalah sulit melihat bagaimana paṭisaṁvedi dapat berarti “mewaspadai,” karena kata ini didasarkan pada kata kerja yang berarti “mengalami.”

142) “Bentukan jasmani” (kāyasankhāra) didefinisikan pada MN 44.13 sebagai nafas masuk dan keluar itu sendiri. Demikianlah, seperti yang dijelaskan MA, dengan pengembangan praktik yang berhasil, nafas si meditator menjadi semakin halus, tenang, dan damai.

143) MA: “secara internal”: merenungkan nafas dalam tubuhnya sendiri. “Secara eksternal”: merenungkan nafas pada tubuh orang lain. “Secara internal dan eksternal”: merenungkan nafas dalam tubuh sendiri dan tubuh orang lain bergantian, dengan perhatian tanpa terputus. Penjelasan serupa berlaku untuk bagian pengulangan pada tiap-tiap bagian lainnya, kecuali  bahwa dalam perenungan perasaan, pikiran, dan obyek-obyek pikiran, perenungan secara eksternal, selain dari mereka yang memiliki kekuatan telepatis, harus dilakukan dengan menyimpulkan.

144) Ungkapan samudayadhammānupassi kāyasmiṁ viharati biasanya diterjemahkan “ia berdiam merenungkan faktor-faktor munculnya dalam jasmani” (seperti yang terdapat pada edisi pertama), dengan asumsi bahwa kata majemuk itu berisikan bentuk jamak, samudayadhammā. Akan tetapi, makna jamak, bukanlah keharusan, dan adalah lebih konsisten dengan penggunaan akhiran –dhamma di tempat lain dengan menganggapnya berarti “tunduk pada” atau “memiliki sifat” di sini juga. Penjelasan komentar terhadap faktor-faktor pengondisi bagi masing-masing dari keempat landasan tidak menyiratkan bahwa komentar memahami –dhamma sebagai berarti faktor-faktor pengondisi yang sebenarnya.

MA menjelaskan bahwa sifat munculnya (samudayadhammā) dari jasmani dapat diamati dalam kondisi asal-mulanya melalui kebodohan, keinginan, kamma, dan makanan, serta asal-mula saat demi saat dari fenomena materi dalam jasmani. Dalam hal perhatian pada pernafasan, suatu kondisi adalah perlengkapan pernafasan fisiologis. “Sifat lenyapnya” (vayadhammā) bagi jasmani dapat dilihat dalam lenyapnya fenomena jasmani melalui lenyapnya kondisi-kondisinya serta dalam saat demi saat lenyapnya fenomena jasmani.

145) MA: Demi pengetahuan dan perhatian yang lebih luas dan lebih tinggi.

146) Pemahaman atas postur tubuh yang dirujuk dalam latihan ini bukanlah pengetahuan alami yang biasa kita miliki sehubungan dengan aktivitas jasmani, melainkan kewaspadaan penuh dan terus-menerus terhadap jasmani dalam setiap posisi, yang disertai dengan pemeriksaan analitis yang dimaksudkan untuk melenyapkan kebodohan yang beranggapan diri sebagai pelaku gerakan jasmani.

147) Sampajañña, juga diterjemahkan sebagai “pemahaman jernih” (Soma, Nyanaponika), dianalisa dalam komentar dalam empat jenis: kewaspadaan penuh atas tujuan perbuatan, kewaspadaan penuh atas kesesuaian caranya; kewaspadaan penuh atas wilayah, yaitu, tidak meninggalkan subyek meditasi selama aktivitas rutin sehari-hari; dan kewaspadaan penuh atas kenyataan, pengetahuan bahwa di balik aktivitas seseorang tidak ada diri yang berdiam. Baca The Way of Mindfulness, pp.60-100; The Heart of Buddhist Meditation, pp. 46-55.

148) Dalam karya Pali belakangan otak ditambahkan pada daftar di atas membentuk tiga puluh dua bagian. Rincian praktik meditasi ini dijelaskan dalam Vsm VIII, 42-144.

149) Empat unsur utama ini dijelaskan oleh tradisi Buddhis sebagai atribut materi utama – kepadatan, kohesi, panas, dan perluasan. Penjelasan terperinci terdapat pada Vsm XI, 27-117.

150) Kata “seolah-olah” (seyyathāpi) menyiratkan bahwa meditasi ini, dan yang berikutnya, tidak harus berdasarkan pada penglihatan sesungguhnya pada mayat dalam kondisi rusak seperti digambarkan, tetapi dapat dilakukan dengan latihan membayangkan. “Jasmani yang sama ini” adalah, tentu saja, jasmani di meditator.

151) Masing-masing dari empat jenis mayat yang disebutkan di sini, dan tiga jenis berikutnya, dapat dianggap sebagai subyek meditasi terpisah dan mencukupi; atau keseluruhannya dapat digunakan sebagai rangkaian progresif untuk menekankan gagasan pikiran akan kesementaraan dan ketanpa-intian jasmani ini. Kemajuan berlanjut pada §§26-30. daftar tulang-belulang di sini diterjemahkan dari versi yang lebih lengkap dari edisi BBS.

152) Perasaan (vedanā) menyiratkan kualitas efektif dari pengalaman, jasmani dan batin, baik menyenangkan, menyakitkan, maupun bukan keduanya, yaitu, perasaan netral. Contoh dari bentuk-bentuk “duniawi” dan “non-duniawi” yang membentuk perasaan-perasaan ini diberikan pada MN 137.9-15 di bawah rubrik enam jenis kegembiraan, kesedihan, dan keseimbangan berdasarkan berturut-turut pada kehidupan rumah tangga dan pelepasan keduniawian.

153) Kondisi-kondisi bagi muncul dan lenyapnya perasaan adalah sama dengan kondisi-kondisi muncul dan lenyapnya jasmani (baca n.144) kecuali bahwa makanan digantikan dengan kontak, karena kontak adalah kondisi bagi perasaan (baca MN 9.42).

154) Pikiran (citta) sebagai suatu obyek perenungan merujuk pada kondisi dan tingkatan umum kesadaran. Karena kesadaran itu sendiri, secara alami, hanyalah sekadar mengetahui atau mengenali suatu obyek, kualitas kondisi pikiran apapun ditentukan oleh faktor-faktor batin tertentu, seperti nafsu, kebencian, dan kebodohan atau lawannya, seperti disebutkan dalam sutta.

155) Contoh berpasangan dari citta yang diberikan dalam paragraf ini memperlawankan kondisi pikiran yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, atau karakter yang terkembang dan tidak terkembang. Akan tetapi, suatu pengecualian, adalah pasangan “mengerut” dan “kacau”, yang keduanya adalah tidak bermanfaat, mengerut karena kelambanan dan ketumpulan, kacau karena kegelisahan dan penyesalan. MA menjelaskan “pikiran luhur” dan “pikiran yang tanpa batas” adalah pikiran yang berhubungan dengan tingkatan jhāna dan pencapaian meditatif tanpa materi, dan “pikiran tidak luhur” dan “pikiran terbatas” adalah berhubungan dengan tingkatan kesadaran alam-indria. “pikiran terbebaskan” harus dipahami sebagai pikiran yang secara sementara dan secara sebagian terbebas dari kekotoran-kekotoran melalui pandangan terang atau jhāṅa. Karena praktik satipaṭṭhāna berhubungan dengan tahap persiapan dari sang jalan yang ditujukan pada jalan kebebasan lokuttara, kategori terakhir ini jangan diartikan sebagai pikiran yang terbebas melalui pencapaian jalan lokuttara.

156) Kondisi-kondisi muncul dan lenyapnya pikiran adalah serupa dengan kondisi-kondisi muncul dan lenyapnya jasmani kecuali bahwa makanan digantikan oleh batin-jasmani, karena batin-jasmani adalah kondisi bagi kesadaran (baca DN 15.22/ii.63).

157) Kata yang diterjemahkan sebagai “obyek-obyek pikiran” adalah dhammā yang memiliki banyak makna. Dalam konteks ini dhammā dapat dipahami sebagai terdiri dari segala fenomena yang dikelompokkan melalui pengkategorian Dhamma, Ajaran Sang Buddha tentang kenyataan. Perenungan ini mencapai puncaknya pada penembusan ajaran ke dalam jantung Dhamma – Empat Kebenaran Mulia.

158) Lima rintangan (pañcanīvaraṇā) adalah halangan batin utama pada pengembangan konsentrasi dan pandangan terang. Keinginan indria muncul melalui perhatian yang tidak bijaksana pada kemenarikan obyek indria dan ditinggalkan melalui meditasi pada obyek menjijikkan (seperti dalam §10 dan §§14-30); niat buruk muncul melalui perhatian yang tidak bijaksana pada obyek yang menjijikkan dan ditinggalkan melalui pengembangan cinta kasih; kelambanan dan ketumpulan muncul karena menyerah pada kebosanan dan kemalasan dan ditinggalkan dengan membangkitkan semangat; kegelisahan dan penyesalan muncul melalui perenungan yang tidak bijaksana pada pikiran-pikiran yang mengganggu dan ditinggalkan melalui perenungan yang bijaksana pada ketenangan; keragu-raguan muncul melalui perenungan yang tidak bijaksana pada hal-hal yang meragukan dan ditinggalkan melalui pembelajaran, penyelidikan, dan bertanya. Rintangan-rintanagn ini dilenyapkan sepenuhnya hanya melalui jalan lokuttara. Untuk pembahasan lebih lengkap, baca The Way of Mindfulness, pp.119-130; Nyanaponika Thera, The Five Mental Hindrances; dan juga MN 27.18 dan MN 39.13-14 di bawah.

159) Kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan (pañc’ upādānakkhandhā) adalah lima kelompok faktor yang menyusun individu personal. Kelompok-kelompok unsur kehidupan ini dibahas dalam Pendahuluan, p.26, dan dianalisa serta dijelaskan dalam hal asal-mula dan lenyapnya pada MN 109.9.

160) Landasan-landasan internal adalah, seperti ditunjukkan, enam organ indria; landasan-landasan eksternal adalah obyek-obyeknya masing-masing. Belenggu yang muncul dengan bergantung pada pasangan ini dapat dipahami melalui sepuluh belenggu yang dijelaskan dalam Pendahuluan, pp.42-43, atau secara lebih sederhana sebagai ketertarikan (keserakahan), ketidak-senangan (kebencian), dan kebodohan yang mendasari.

161) Bagaimana ketujuh faktor pencerahan ini terungkap dalam urutan bertahap dijelaskan pada MN 118.29-40. Untuk pembahasan lebih terperinci, baca Piyadassi Thera, The Seven Faktor of Enlightenment.

162) “Penyelidikan kondisi-kondisi” (dhammavicaya) berarti meneliti fenomena batin dan jasmani yang muncul dalam pikiran meditator melalui perhatian.

163) Komentar menjelaskan secara terperinci kondisi-kondisi yang mendukung kematangan faktor-faktor pencerahan. Baca The Way of Mindfulness, pp.134-149.

164) Dalam bagian ini, perenungan dhammā sebagai obyek-obyek pikiran memuncak pada pemahaman Dhamma dalam formula inti sebagai Empat Kebenaran Mulia. Mahāsatipaṭṭhāna Sutta yang lebih panjang dalam Dīgha Nikāya memberikan definisi dan penjelasan yang lebih luas pada masing-masing kebenaran.

165) Pengetahuan akhir, aññā, adalah pengetahuan kebebasan akhir seorang Arahant. Tidak Kembali (anāgāmitā) tentu saja adalah kondisi yang-tidak-kembali, yang terlahir kembali di alam yang lebih tinggi di mana ia mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali ke alam manusia.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
Post by: Indra on 18 October 2010, 01:51:42 PM

SUTTA 11

166) Frasa “hanya di sini” berarti hanya dalam Pengajaran Buddha. Empat petapa (samaṇa) merujuk pada empat tingkat siswa ariya – pemasuk-arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali, dan Arahant. “Auman singa” (sīhanāda), menurut MA, adalah auman keunggulan dan tanpa ketakutan, auman yang tidak dapat dibantah. Sehubungan dengan pernyataan Sang Buddha ini, baca juga khotbahNya kepada Subhadda dalam Mahāparinibbāna Sutta (DN 16:5.27/ii.151-52).

167) MA: Walaupun para pengikut sekte lain semuanya menyatakan Kearahatan – yang dipahami secara umum sebagai kesempurnaan spiritual – sebagai tujuan, namun mereka menunjukkan pencapaian lain sebagai tujuan sesuai dengan pandangan mereka. Demikianlah para brahmana menyatakan alam-Brahma sebagai tujuan, para petapa menyatakan dewa dengan Cahaya Gemerlap, para pengembara menyatakan dewa dengan Keagungan Gemilang, dan para Ājīvaka menyatakan kondisi tanpa-persepsi, yang mereka bayangkan sebagai “pikiran yang tanpa batas.”

168) “Menyukai dan menolak” (anurodhapaṭivirodha) berarti bereaksi dengan ketertarikan melalui nafsu dan dengan ketidak-senangan melalui kebencian.

169) Proliferasi (papañca), menurut MA, ini adalah aktivitas pikiran yang diatur oleh keinginan dan pandangan. Penjelasan lebih lanjut sehubungan dengan kata penting ini, baca n.229.

170) Pandangan penjelmaan (bhavadiṭṭhi) adalah eternalisme, kepercayaan akan diri yang abadi; pandangan tanpa-penjelmaan (vibhadiṭṭhi)  adalah nihilisme, penyangkalan pada prinsip kelangsungan sebagai suatu landasan bagi kelahiran kembali dan pembalasan kamma. Pengadopsian salah satu pandangan merupakan penolakan pada pandangan lainnya yang berhubungan dengan pernyataan sebelumnya bahwa tujuan itu adalah untuk seorang yang tidak menyukai dan tidak menolak.

171) Sehubungan dengan asal-mula (samudaya) dari pandangan-pandangan ini, MA menyebutkan delapan kondisi: kelima kelompok unsur kehidupan, kebodohan, kontak, persepsi, pikiran, perhatian tidak bijaksana, teman-teman yang buruk, dan kata-kata orang lain. Lenyapnya (atthangama) pandangan-pandangan ini adalah jalan memasuki-arus, yang melenyapkan semua pandangan salah. Kepuasan (assāda)  dapat dipahami sebagai kepuasan pada kebutuhan psikologis yang diberiken oleh pandangan-pandangan itu; bahaya (ādīnava) adalah belenggu yang terus-menerus yang dibawa oleh pandangan-pandangan itu; jalan membebaskan diri (nissaraṇa) dari pandangan-pandangan itu adalah Nibbāna.

172) MA mengemas pemahaman penuh (pariññā) di sini sebagai mengatasi, melampaui (samatikkama), dengan merujuk pada gagasan komentar atas pahānapariññā, “pemahaman penuh sebagai pelepasan.” Baca n.7.

173) Paragraf ini dengan jelas menyebutkan faktor penting yang membedakan ajaran Buddha dari kepercayaan filosofis dan religius lainnya adalah “pemahaman penuh terhadap kemelekatan pada ajaran itu sendiri.” Ini berarti, intinya, bahwa Sang Buddha sendiri mampu menunjukkan bagaimana mengatasi semua pandangan diri dengan mengembangkan penembusan pada kebenaran tanpa-diri. Karena para guru spiritual lainnya tidak memiliki pemahaman tanpa-diri ini, pengakuan mereka sehubungan dengan pemahaman sepenuhnya ketiga jenis kemelekatan ini juga adalah dugaan.

174) MA: Yaitu, Sang Buddha mengajarkan bagaimana kemelekatan pada kenikmatan indria (dipahami sebagai terdiri dari segala bentuk keserakahan, MṬ) ditinggalkan melalui jalan Kearahatan, ketiga kemelekatan lainnya melalui jalan memasuki-arus.

175) Paragraf ini disebutkan untuk menunjukkan bagaimana kemelekatan ditinggalkan. Kemelekatan ditelusuri hingga penyebab-akarnya dalam kebodohan, dan kemudian hancurnya kebodohan ditunjukkan sebagai cara untuk melenyapkan kemelekatan.

176) Idiom Pali, n’ eva kāmupādānaṁ upādiyati, seharusnya diterjemahkan secara literal sebagai “ia tidak melekat pada kemelekatan pada kenikmatan indria,” yang dapat mengaburkan maknanya daripada menjelaskannya. Ūpādāna dalam Pali adalah obyek dari kata kerjanya sendiri, sementara “kemelekatan” (clinging, Ing.) bukan. Pada satu tahapan dalam terjemahannya Ñm mencoba untuk menghindari persoalan ini dengan meminjam makna lain dari kata ūpādāna, yaitu, “bahan bakar” dan menerjemahkannya: “ia tidak lagi melekat pada kenikmatan indria [sebagai bahan bakar bagi] kemelekatan.” Akan tetapi, ini juga masih kabur, dan oleh karena itu saya mencoba untuk melewati kesulitan ini dengan menerjemahkannya secara langsung sesuai maknanya daripada menyesuaikan dengan kalimat idiom tersebut.


SUTTA 12

177) Sunakkhata Sutta (MN 105) telah dibabarkan kepadanya oleh Sang Buddha, jelas sebelum ia bergabung dalam Sangha; kisah mengenai peralihannya dijelaskan dalam Pāṭika Sutta (DN 24). Ia menjadi tidak puas dan meninggalkan Sangha karena Sang Buddha tidak memperlihatkan kesaktian apapun padanya atau menjelaskan kepadanya tentang awal dari segala sesuatu.

178) Kondisi-kondisi melampaui manusia (uttari manussadhammā) adalah kondisi-kondisi, moralitas, atau pencapaian yang lebih tinggi daripada manusia biasa yang terdiri dari sepuluh perbuatan baik (baca MN 9.6); termasuk jhāna-jhāna, jenis-jenis pengetahuan langsung, dan jalan dan buah. “keluhuran dalam hal pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia” (alamariyañāṇadassanavisesa), ungkapan yang sering muncul dalam sutta-sutta, menyiratkan semua tingkatan pengetahuan meditatif yang lebih tinggi yang menjadi karakteristik individu mulia. Di sini, menurut MA, ini secara khusus berarti jalan lokuttara, yang disangkal oleh Sunakkhatta pada Sang Buddha.

179) Inti dari kritikannya adalah bahwa Sang Buddha mengajarkan suatu doktrin yang Beliau capai sendiri dalam pikiranNya bukan seorang yang telah mencapainya melalui kebijaksanaan transenden. Jelas ia percaya bahwa dengan dituntun menuju kehancuran total penderitaan adalah, sebagai suatu tujuan, lebih rendah daripada mencapai kekuatan gaib.

180) Semua bagian berikutnya disampaikan sebagai bantahan terhadap kritikan Sunakkhatta pada Sang Buddha. §§6-8 mencakup tiga pertama dari enam pengetahuan langsung (abhiññā), tiga terakhir adalah yang terakhir dari sepuluh kekuatan Sang Tathāgata. Sepuluh kekuatan Sang Tathāgata, menurut MA, dipahami sebagai kekuatan pengetahuan (ñāṇabala) yang dicapai oleh semua Buddha sebagai buah akumulasi jasa mereka. Vibhanga (§§809-31/440-51) dari Abhidhamma Piṭaka menguraikan analisanya.

181) Tentang Sang Buddha mengaumkan auman singaNya, baca SN 22:78/iii.84-86. Roda Brahmā adalah yang tertinggi, terbaik, roda yang terunggul, Roda Dhamma (dhammacakka) dalam dua maknanya: pengetahuan menembus kebenaran dan pengetahuan bagaimana membabarkan ajaran (MA).

182) Vbh §809 menjelaskan pengetahuan ini dengan mengutip MN 115.12-17. akan tetapi, MA, menjelaskan secara berbeda sebagai pengetahuan atas hubungan antara sebab dan akibatnya.

183) Pengetahuan ini dapat ditunjukkan oleh analisis kamma menurut Sang Buddha dalam MN 57, MN 135 dan MN 136. MA menjelaskan kemungkinan (ṭhāna)  seperti alam, situasi, waktu, dan usaha – faktor-ffaktor yang dapat menghalangi atau mendorong akibatnya; penyebabnya (hetu) adalah kamma itu sendiri.

184) Pengetahuan ini akan dijelaskan dalam §§35-42 di bawah.

185) Pemahaman Sang Tathāgata atas banyak unsur yang menyusun dunia terdapat dalam MN 115.4-9.

186) Vbh §813 menjelaskan bahwa Sang Tathāgata memahami makhluk-makhluk berkecenderungan rendah dan berkecenderungan mulia, dan bahwa mereka condong kepada mereka yang memiliki kecenderungan sama.

187) Vbh §814-27 memberikan analisa terperinci. MA menyebutkan maknanya secara lebih ringkas sebagai pengetahuan Sang Tathāgata terhadap indria keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan makhluk-makhluk yang rendah maupun mulia.

188) Vbh §828: “kekotoran” (sankilesa) adalah suatu kondisi yang  menyebabkan kemunduran, “pemurnian” (vodāna) adalah suatu kondisi yang  menyebabkan kemajuan, “kemunculan” (vuṭṭhāna) adalah pemurnian dan kemunculan pencapaian. Delapan kebebasan (vimokkhā) diuraikan dalam MN 77.22 dan MN 137.26; sembilan pencapaian (samāpatti) adalah empat jhāna, empat pencapaian tanpa materi, dan lenyapnya persepsi dan perasaan seperti pada MN 25.12-20.

189) Idiom yathābhataṁ nikkhitto evaṁ niraye agak rumit; terjemahan di sini mengikuti komentar: “Ia akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa dan diletakkan di sana oleh penjaga neraka.”

190) Dalam tradisi Buddhis belakangan, asura, raksasa atau “lawan-para dewa,” ditambahkan sebagai alam terpisah menjadikan enam alam tujuan kehidupan.

191) MA: walaupun penggambarannya sama dengan kebahagiaan alam surga, maknanya berbeda. Karena kebahagiaan alam surga tidaklah sungguh-sungguh sangat menyenangkan karena demam nafsu, dan sebagainya, masih ada di sana. Tetapi kebahagiaan Nibbāna sungguh sangat menyenangkan dalam segala hal karena lenyapnya segala demam.

192) Pada titik ini, MA memberitahukan kita, Sang Buddha menceritakan kisah praktik pertapaan masa lampauNya karena Sunakkhatta adalah seorang pemuja pertapaan keras (seperti yang ditunjukkan dalam Paṭika Sutta) dan Sang Buddha ingin memberitahukan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat menyamaiNya dalam hal praktik pertapaan keras. Paragraf-paragraf berikutnya harus digabungkan dengan MN 4.20 dan MN 36.20-30 untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang percobaan Sang Bodhisatta dalam penyiksaan diri ekstrim.

193) Gagasan ini sepertinya bahwa belas kasihnya terarah, bukan pada kuman dalam setetes air (seperti yang disiratkan dalam terjemahan edisi pertama), melainkan pada makhluk-makhluk yang mungkin terluka atau terbunuh karena tidak berhati-hati dalam membuang air.

194) MA mengatakan bahwa “Delapan hari interval beku” (antaraṭṭhaka himapātasamaya) terjadi pada empat hari pertama bulan Magha dan empat hari pertama bulan Phagguna (yaitu, akhir februari). Akan tetapi, musim dingin di Asia Selatan biasanya jatuh pada akhir Desember atau awal Januari.

195) Yaitu, mereka menganut pandangan bahwa makhluk-makhluk dimurnikan dengan cara mengurangi makanan.

196) Kelahiran kembali di Alam Murni (suddhāvāsa) hanya mungkin bagi para yang-tidak-kembali.

197) Kata Pali untuk empat istilah ini adalah sati, gati, dhiti, paññāveyyattiya. MA menjelaskan sati sebagai kemampuan untuk menangkap dalam pikiran seratus atau seribu frasa sewaktu diucapkan; gati sebagai kemampuan untuk mengingat dan mempertahankannya dalam pikiran; dithi sebagai kemampuan untuk mengucapkan kembali apa yang telah ditangkap dan diingat; dan paññāveyyattiya sebagai kemanpuan untuk melihat makna dan logika dari frasa-frasa tersebut.

198) YM. Nāgasamāla menjadi pelayan pribadi Sang Buddha selama dua puluh tahun pertama pengajaranNya.

199) Lomahaṁsanapariyāya. Sutta ini dirujuk dengan nama itu pada Miln 398 dan dalam Komentar Dīgha Nikāya.


SUTTA 13

200) MA: “Pemahaman penuh” (pariññā) di sini berarti mengatasi (samatikkama) atau meninggalkan (pahāna). Para pengembara sekte lain mengidentifikasikan pemahaman penuh pada kenikmatan indria sebagai jhāna pertama, pemahaman penuh pada bentuk materi sebagai alam penjelmaan tanpa materi, dan pemahaman penuh pada perasaan sebagai alam penjelmaan tanpa-perasaan. Sang Buddha, sebaliknya, menggambarkan pemahaman penuh pada kenikmatan indria sebagai jalan yang-tidak-kembali, dan pemahaman penuh pada bentuk materi dan perasaan sebagai jalan Kearahatan.

201) MA memberikan penggambaran grafis pada masing-masing bentuk siksaan ini.

202) Harus dipahami bahwa sementara bahaya dalam kenikmatan indria yang sebelumnya disebut “kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini” (sandiṭṭhiko dukkhakkhandho), yang ini disebut “kumpulan penderitaan dalam kehidupan mendatang” (samparāyiko dukkhakkhandho).

203) MA mengatakan bahwa Nibbāna adalah lenyapnya dan ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan kenikmatan indria, karena dengan bergantung pada Nibbāna, keinginan dan nafsu dilenyapkan dan ditinggalkan. Ini juga dapat dianggap termasuk jalan yang-tidak-kembali, yang sempurna meninggalkan keinginan dan nafsu akan kenikmatan indria.

204) Untuk mengungkapkan bahaya dalam perasaan, Sang Buddha memilih kenikmatan lokiya yang paling halus dan luhur, kebahagiaan dan kedamaian jhāna, dan menunjukkan bahwa bahkan kondisi-kondisi demikian adalah tidak kekal dan dengan demikian tidak memuaskan.


SUTTA 14

205) Mahānāma orang Sakya adalah saudara sepupu Sang Buddha dan saudara dari YM. Anuruddha dan Ānanda. Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga dan membiarkan Anuruddha menjadi bhikkhu, kisah ini terdapat dalam Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, pp.80-81.

206) Menurut MA, Mahānāma telah lama mencapai buah yang-kembali-sekali, yang hanya melemahkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan, namun belum melenyapkannya. MA mengatakan bahwa ia memiliki gagasan keliru bahwa keserakahan, kebencian, dan kebodohan dilenyapkan melalui jalan yang-kembali-sekali. Dengan demikian, ketika ia melihat bahwa keserakahan, kebencian, dan kebodohan masih muncul dalam pikirannya, ia menyadari bahwa ia belum meninggalkannya dan menanyakan sebab kemunculannya kepada Sang Buddha. Para siswa mulia dapat keliru mengenai kekotoran apa yang ditinggalkan oleh jalan apa.

207) Dari pembahasan selanjutnya tentang bahaya dalam kenikmatan indria, sepertinya “kondisi” (dhamma) yang belum ditinggalkan oleh Mahānāma adalah keinginan indria, yang masih mengikatnya pada kehidupan rumah tangga dan menikmati kenikmatan indria.

208) “Kegembiraan dan kenikmatan yang terpisah dari kenikmatan indria” adalah kegembiraan dan kenikmatan dalam jhāna pertama dan ke dua; kondisi-kondisi yang “lebih damai daripada itu” adalah jhāna-jhāna yang lebih tinggi. Dari paragraf ini sepertinya bahwa seorang siswa dapat mencapai bahkan hingga jalan dan buah ke dua tanpa memiliki jhāna lokiya.

209) Para Nigaṇṭha atau Jain, para pengikut Guru Nigaṇṭha Nātaputta (juga dikenal dengan nama Mahāvīra), menekankan praktik pertapaan keras untuk meluruhkan akumulasi kamma buruk masa lampau. Tujuan paragraf ini, menurut MA, adalah untuk menunjukkan jalan membebaskan diri, yang belum ditunjukkan sebelumnya bersama dengan kepuasan dan bahaya dalam kenikmatan indria. Sang Buddha manyebutkan praktik pertapaan Jain untuk memperlihatkan bahwa ajarannya adalah “Jalan Tengah” yang bebas dari kedua ekstrim menikmati kenikmatan indria dan penyiksaan diri.

210) Para Jain menganut pandangan bahwa apapun yang dialami seseorang adalah disebabkan oleh kamma lampau. Jika demikian, Sang Buddha membantah, maka kesakitan yang mereka alami sebagai bagian dari disiplin pertapaan mereka adalah berakar pada perbuatan buruk mereka dalam kehidupan sebelumnya.

211) MA: ini merujuk pada pengalamanNya sendiri akan kenikmatan pencapaian buah, yaitu, pencapaian buah Kearahatan (arahattaphalasamāpatti).

Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
Post by: Indra on 18 October 2010, 01:52:38 PM

SUTTA 15

212) Vadantu, secara literal berarti “semoga mereka berbicara kepadaku,” menyiratkan makna: “Semoga mereka berbicara kepadaku dengan memberikan instruksi dan nasihat” (MA).

213) Baca MN 5.10-29.

214) Baca MN 8.44 dan n.109.

215) Adalah dari paragraf ini judul sutta ini berasal.

216) MA: teks-teks tua menyebut sutta ini “Bhikkhupātimokkha.” Seorang bhikkhu harus meninjau kembali dirinya tiga kali sehari dengan cara yang dijelaskan dalam sutta. Jika ia tidak dapat melakukannya tiga kali, maka ia harus melakukan dua kali atau, minimal satu kali.


SUTTA 16

217) MA menjelaskan cetokhila, diterjemahkan “belantara dalam batin,” sebagai kekakuan, sampah, atau tunggul dalam batin. Ini menjelaskan cetaso vinibandha sebagai sesuatu yang mengikat batin, mencengkeramnya bagaikan kepalan; karena itu disebut “belenggu dalam batin.” Belantara dalam batin, seperti akan terlihat, terdiri dari empat kasus keragu-raguan, satu dari kebencian; belenggu dalam batin terdiri dari lima variasi keserakahan.

218) MA menjelaskan “Dhamma” di sini sebagai ajaran tekstual dan penembusan pada jalan, buah, dan Nibbāna. Dhamma sebagai praktik disebutkan secara terpisah di bawah sebagai latihan (sikkhā) -  yaitu, tiga latihan dalam moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan.

219) “Badan jasmani” di sini adalah tubuhnya sendiri, sedangkan “bentuk” di bagian bawah adalah bentuk luar, jasmani orang lain.

220) Empat landasan kekuatan batin (iddhipāda) termasuk dalam tiga puluh tujuh prasyarat pencerahan; merupakan landasan khusus bagi lima jenis pengetahuan langsung lokiya (abhiññā).  Menurut MA, semangat (ussoḷhi) adalah kegigihan, yang diterapkan di mana-mana.

221) Lima belas faktor adalah meninggalkan lima belantara dalam batin, meninggalkan lima belenggu, dan lima yang baru disebutkan. “Keamanan tertinggi dari belenggu” (anuttara yogakkhema) adalah Kearahatan, seperti pada MN 1.27.

222) Perumpamaan ini muncul kembali pada MN 53.19-22 sehubungan dengan penembusan siswa pada tiga jenis pengetahuan sejati (tevijjā).


SUTTA 17

223) Pola yang dibangun oleh §§3-6 dapat disebutkan secara sederhana sebagai berikut:
   Tidak ada kemajuan dan sulit memperoleh benda-benda kebutuhan = pergi;
   Tidak ada kemajuan dan mudah memperoleh benda-benda kebutuhan = pergi;
   Ada kemajuan dan sulit memperoleh benda-benda kebutuhan = tinggal;
   Ada kemajuan dan mudah memperoleh benda-benda kebutuhan = tinggal;

224) Pola yang sama diterapkan dalam §§7-22 pada desa, pemukiman, kota, dan negeri.

225) PTS, di sini dalam menulis anāpucchā, “tanpa pamit,” sepertinya keliru. BBS dan BBJ menulis āpucchā, “setelah pamit,” sepertinya lebih tepat. Karena orang yang padanya seorang bhikkhu bergantung – diduga seorang guru atau penyokong awam – menyediakan benda-benda kebutuhan yang cukup, sopan-santun diperlukan bahwa seorang bhikkhu pamit darinya sebelum pergi.

SUTTA 18

226) Daṇḍapāni, yang namanya berarti “tongkat-di-tangan”, dinamai demikian karena ia biasanya berjalan dengan memamerkan tongkat emasnya, walaupun ia masih muda dan sehat. Menurut MA, ia memihak Devadatta, musuh Sang Buddha, ketika Devadatta mencoba memecah-belah para pengikut Sang Buddha. Caranya mengajukan pertanyaan terkesan sombong dan dengan sengaja memprovokasi.

227) Bagian pertama dari jawaban Sang Buddha secara langsung membalas sikap agresif Daṇḍapāni. Sehubungan dengan hal ini MA mengutip  SN 22:94/iii.138: “Para bhikkhu, Aku tidak berselisih dengan dunia, adalah dunia yang berselisih denganKu. Seorang pembabar Dhamma tidak berselisih dengan siapapun di dunia ini.” Bagian ke dua dapat dianggap berarti, karena persepsi-persepsi Sang Arahant ( dikatakan di sini sebagai “brahmana itu” dengan merujuk pada Sang Buddha sendiri), tidak lagi membangkitkan kecenderungan tersembunyi yang tertidur pada kekotoran, diuraikan dalam §8.

228) Reaksi ini sepertinya merupakan ungkapan frustrasi dan kebingungan.

229) Interpretasi atas paragraf yang tersamar ini berpusat pada kata papañca dan kata majemuk papañca-saññā-sankhā. Ñm menerjemahkan papañca sebagai “keberagaman” dan papañca-saññā-sankhā sebagai “perhitungan mengenai persepsi keberagaman.” Akan tetapi, sepertinya persoalan utama yang ditunjukkan dengan kata papañca bukanlah “keberagaman,” yang mungkin cukup sesuai jika bidang indria itu sendiri memperlihatkan keragaman, tetapi kecenderungan imajinasi kaum duniawi untuk meledak dalam pencurahan komentar pikiran yang menghalangi pengenalan data. Dalam suatu pembahasan penembusan, Concept and Reality in Early Buddhism, Bhiikhu Ñāṇananda menjelaskan papañca sebagai “proliferasi konseptual,” dan saya mengikutinya dengan menggantikan “keberagaman” dari Ñm menjadi “proliferasi”. Komentar mengidentifikasikan timbulnya proliferasi ini sebagai tiga faktor – keinginan, keangkuhan, dan pandangan – yang karenanya pikiran menjadi “membubuhi” pengalaman dengan meginterpretasikannya dengan sebutan “milikku,” “aku,” dan “diriku.” Papañca dengan demikian adalah berhubungan dekat dengan maññanā, “menganggap,” dalam MN 1 – baca n.6.

Kata majemuk papañca-saññā-sankhā lebih rumit. YM Ñāṇananda menginterpretasikannya sebagai “konsep-konsep yang dikarakteristikkan oleh pikiran yang cenderung berkembang,” tetapi penjelasan ini masih belum memasukkan kata saññā. MA mengemas sankhā dengan koṭṭhāsa, “bagian,” dan mengatakan bahwa saññā adalah persepsi yang berhubungan dengan papañca ataupun papañca itu sendiri. Saya sependapat dengan Ñāṇananda dalam menganggap sankhā lebih sebagai berarti konsep atau gagasan (“Perhitungan” dari Ñm adalah terlalu literal) daripada bagian. Keputusan saya memperlakukan saññā-sankhā sebagai kata majemuk dvanda, “persepsi dan gagasan,” mungkin akan dipertanyakan, tetapi karena ungkapan saññā-sankhā jarang muncul dalam Kanon dan tidak pernah dianalisa secara verbal, maka tidak ada terjemahan yang benar-benar melampaui keragu-raguan. Pada Interpretasi alternatif dari komponennya, ungkapan itu mungkin dapat diterjemahkan “gagasan-gagasan [yang muncul dari] proliferasi persepsi” atau “gagagasan-gagasan persepsi [yang muncul dari] proliferasi.”

Lanjutannya akan menjelaskan bahwa proses kognisi itu sendiri adalah “sumber yang melaluinya persepsi dan gagasan [yang timbul dari] proliferasi pikiran menyerang seseorang.” Jika dalam proses kognisi tersebut tidak ada yang disenangi, disambut, atau digenggam, maka kecenderungan tersembunyi pada kekotoran-kekotoran akan berakhir.

230) YM. Mahā Kaccāna dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai siswa terunggul dalam menjelaskan secara terperinci dari suatu ucapan singkat. MN 133 dan MN 138 juga dijelaskan olehnya dalam situasi serupa.

231) Cakkhubhūto ñāṇabhūto dhammabhūto brahmabhūto. MA: Beliau adalah penglihatan dalam makna bahwa Beliau adalah pemimpin dalam penglihatan; Beliau adalah pengetahuan dalam makna bahwa Beliau mengetahui segala sesuatu; Beliau adalah Dhamma dalam makna bahwa Beliau merupakan Dhamma yang Beliau ucapkan secara verbal setelah merenungkannya dalam batin; Beliau adalah Brahmā, yang suci, dalam makna yang terbaik.

232) Paragraf ini menunjukkan bagaimana papañca, keluar dari proses kognisi, memunculkan persepsi dan gagasan yang meliputi dan memangsa penciptanya yang malang. Ms mencantumkan sebuah catatan oleh Ñm: “Pertemuan mata, bentuk, dan kesadaran-mata disebut kontak. Kontak, menurut sebab-akibat yang saling bergantungan, adalah kondisi utama bagi perasaan. Perasaan dan persepsi adalah tidak terpisahkan (MN 43.9). Apa yang dilihat sebagai ‘ini’ adalah pikiran dalam perbedaan dan dengan demikian dibedakan dari ‘itu’ dan dari ‘aku.’ Pembedaan ini – melibatkan keinginan akan bentuk, pandangan salah tentang kekekalan bentuk, dan sebagainya, dan keangkuhan ‘aku’ – mengarah pada keterlenaan dengan perhitungan keinginan pada bentuk-bentuk masa lampau dan masa sekarang dengan pandangan untuk memperoleh bentuk yang diinginkan di masa depan.” Mungkin kunci untuk menginterpretasikan paragraf ini adalah penjelasan YM. Mahā Kaccāna pada syair dalam MN 133. di sana terlalu gembira dalam unsur-unsur kognisi memainkan peran penting dalam menyebabkan belenggu, dan penjelasan syair ini dalam hal ketiga periode waktu berhubungan dengan referensi pada ketiga masa dalam sutta ini.

233) Idiom Pali phassapaññattiṁ paññāpessati, yang mana kata kerja mengambil obyek yang diturunkan dari kata itu sendiri, agak rumit. Ñm awalnya menerjemahkan “Itu akan menggambarkan suatu penggambaran kontak.” “Untuk menunjukkan sebuah manifestasi” adalah kurang literal, tetapi lebih sesuai dengan maknanya tanpa menimbulkan resiko kerancuan. MA mengatakan bahwa paragraf ini dimaksudkan untuk menunjukkan keseluruhan lingkaran kehidupan (vaṭṭa) melalui dua belas landasan indria; §18 menunjukkan lenyapnya lingkaran (vivaṭṭa) dengan menegasikan kedua belas landasan indria.

234) Kue manis dan besar, atau sebuah bola terbuat dari tepung, ghee, sirop, madu, gula, dan sebagainya. Baca juga AN 5:194/iii.237.


SUTTA 19

235) Dua kelompok pikiran Sang Bodhisatta terjadi selama enam tahun usahanya dalam mencapai pencerahan.

236) Pikiran tanpa-niat buruk dan pikiran tanpa-kekejaman juga dapat dijelaskan secara positif sebagai pikiran cinta kasih (mettā) dan pikiran belas kasihan (karuṇā).

237) MA: pemikiran dan perenungan yang berlebihan mengarah pada kegelisahan. Untuk menjinakkan dan melunakkan pikiran, Sang Bodhisatta akan memasuki pencapaian meditatif, kemudian ia akan keluar dari sana dan mengembangkan pandangan terang.


SUTTA 20

238) Sutta ini beserta komentarnya tersedia dalam suatu terjemahan oleh Soma Thera, The Removal of Distracting Thoughts.

239) MA: Pikiran yang lebih tinggi (addhicitta) adalah pikiran dari delapan pencapaian meditatif yang digunakan sebagai landasan pandangan terang; disebut “pikiran yang lebih tinggi” karena lebih tinggi dari pikiran (bermanfaat) biasa dari sepuluh perbuatan bermanfaat. Lima “gambaran” (nimitta) dapat dipahami sebagai metode praktis untuk melenyapakan pikiran kacau. Hanya dilatih jika pikiran kacau menjadi menetap dan merintangi; pada saat lainnya meditator harus tetap pada subyek meditasi utamanya.

240) MA: Ketika pikiran keinginan indria muncul terarah pada makhluk-makhluk hidup, “gambaran lain” adalah meditasi pada kejijikan (baca MN 10.10); ketika pikiran diarahkan pada benda-benda mati, “gambaran lain” adalah perhatian pada ketidak-kekalan. Ketika pikiran kebencian muncul terarah pada makhluk-makhluk hidup, “gambaran lain” adalah meditasi cinta kasih; ketika pikiran diarahkan pada benda-benda mati, “gambaran lain” adalah perhatian pada unsur-unsur (baca MN 10.12). Obat bagi pikiran-pikiran yang berhubungan dengan kebodohan adalah menetap di bawah seorang guru, mempelajari Dhamma; mempertanyakan maknanya, mendengarkan Dhamma, dan mempertanyakan penyebabnya.

241) Metode ini dapat diilustrasikan dengan perenungan Bodhisatta dalam MN 19.3-5. Mengingat keburukan dari pikiran-pikiran jahat menghasilkan rasa malu (hiri); mengingat akibatnya yang berbahaya menghasilkan rasa takut pada pelanggaran (ottappa).

242) Vitakka-sankhāra-saṇṭhānaṁ. MA memahami sankhāra di sini sebagai kondisi, sebab, atau akar, dan mengartikan kata majemuk ini sebagai “menghentikan sebab pikiran.” Ini dicapai dengan bertanya, ketika suatu pikiran tidak bermanfaat muncul: “Apakah penyebabnya? Apakah penyebab dari sebab itu?” dan seterusnya. Pertanyaan demikian, menurut MA, akan mengendurkan, dan akhirnya melenyapkan, arus pikiran yang tidak bermanfaat.

243) MA: Ia harus menggilas kondisi pikiran yang tidak bermanfaat dengan kondisi pikiran yang tidak bermanfaat.

244) Ini menujukkan pencapaian Kearahatan. Baca n.50
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
Post by: Indra on 18 October 2010, 01:53:26 PM
SUTTA 21

245) Pada SN 12:12/ii.13 Moliya Phagguna mengajukan serangkaian pertanyaan kepada Sang Buddha, yang mana Sang Buddha menolaknya karena disusun secara keliru. Belakangan dilaporkan bahwa ia kembali ke kehidupan rumah tangga (SN 12:32/ii.50).

246) Menurut MA, Sang Buddha mengatakan hal ini karena Phagguna masih tidak ingin menuruti nasihat Beliau melainkan terus-menerus menentangNya, dan ini mendorong Sang Buddha untuk memuji para bhikkhu penurut selama masa awal pengajaran Beliau. Untuk paragraf tentang makan sekali sehari, baca MN 65.2 dan MN 70.2

247) Tadārammaṇaṁ, secara literal, “dengan dirinya sebagai obyek.” MA: Pertama-tama seseorang mengembangkan cinta-kasih kepada orang yang berbicara kepada seseorang atau orang lain yang mengucapkan satu dari lima ucapan, kemudian ia mengarahkan pikiran cinta kasih itu kepada semua makhluk, menjadikan seluruh dunia sebagai obyeknya.


SUTTA 22

248) Sutta ini dengan pendahuluan yang baik dan catatan yang terperinci tersedia dalam sebuah terjemahan oleh Nyanaponika Thera, The Discourse on the Snake Simile.

249) Dalam menegaskan hal ini ia secara langsung menyangkal yang ke tiga dari empat keberanian Sang Tathāgata – baca MN 12.25. menurut MA, sewaktu merenungkan dalam keterasingan ia sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada bahaya jika para bhikkhu terlibat dalam hubungan seksual dengan perempuan dan ia mempertahankan bahwa hal ini seharusnya tidak dilarang oleh peraturan monastik. Walaupun pernyataannya tidak secara langsung menyebutkan masalah seksual, namun perumpamaan mengenai kenikmatan seksual ini dibawakan oleh para bhikkhu ini berasal dari komentar.

250) Tujuh perumpamaan pertama mengenai kenikmatan indria dijabarkan pada MN 54.15-21.

251) Bagian pertama dari kisah Ariṭṭha muncul dua kali dalam Vinaya Piṭaka. Pada Vin ii.25 mendorong Sangha menjatuhkan sanksi penangguhan (ukkhepaniyakamma) atas Ariṭṭha karena menolak melepaskan pandangan salahnya. Pada Vin iv.133-34 penolakannya untuk melepaskan pandangan salahnya setelah beberapa kali diberi nasihat ditetapkan sebagai pelanggaran monastik dalam kelompok Pācittiya.

252) Walaupun Pali menggunakan satu kata kāma dalam seluruh empat kasus, dari konteks ini frasa pertama harus dipahami sebagai merujuk pada kenikmatan indria obyektif, yaitu, obyek-obyek kenikmatan indria, frasa lainnya merujuk pada kekotoran subyektif yang berhubungan dengan indria, yaitu, keinginan indria. MA mengemas “seseorang yang dapat melibatkan diri dalam kenikmatan indria” dengan “seseorang yang menikmati hubungan seksual.” MṬ menghatakan bahwa tindakan fisik lainnya yang melibatkan keinginan seksual seperti merangkul dan menepuk juga termasuk.

253) MA menjelaskan bahwa paragraf ini disebutkan untuk menunjukkan pelanggaran dalam perolehan pengetahuan intelektual Dhamma dengan motivasi keliru – jelas merupakan jebakan ke dalam mana Ariṭṭha terjatuh. “kebaikan (attha) yang karenanya mereka mempelajari Dhamma” adalah jalan dan buah.

254) “Perumpamaan rakit” yang terkenal melanjutkan argumen yang sama terhadap kekeliruan dalam menggunakan pembelajaran yang diperkenalkan oleh perumpamaan ular. Seseorang yang terlena menggunakan Dhamma untuk memicu kontroversi dan memenangkan perdebatan membawa Dhamma di lehernya bukannya menggunakannya untuk menyeberangi banjir.

255) Dhammā pi vo pahātabbā pageva adhammā. Kata dhammā bermakna ganda di sini. MA menginterpretasikannya sebagai bermakna kondisi-kondisi baik, yang mengidentifikasikannya sebagai ketenangan dan pandangan terang (samatha-vipassanā) dalam penulisannya pada teks: “Aku mengajarkan, para bhikkhu, bahkan meninggalkan keinginan dan kemelekatan pada kondisi-kondisi yang damai dan luhur seperti ketenangan dan pandangan terang, apalagi hal-hal yang rendah, vulgar, tercela, kasar, dan tidak murni itu yang oleh si dungu Ariṭṭha yang dilihat sebagai tidak berbahaya ketika ia mengatakan bahwa tidak ada rintangan dalam keinginan dan nafsu pada kelima utas kenikmatan indria.” Komentator mengutip MN 66.26-33 sebagai contoh dari ajaran Sang Buddha tentang ditinggalkannya kemelekatan pada ketenangan, MN 38.14 sebagai contoh ajaranNya tentang ditinggalkannya kemelekatan pada pandangan terang. Perhatikan bahwa dalam masing-masing kasus, adalah kemelekatan pada kondisi-kondisi baik itu yang harus ditinggalkan, bukan kondisi-kondisi baik itu sendiri.

Terlepas dari MA, sepertinya bagi saya bahwa dhammā di sini menyiratkan, bukan kondisi-kondisi baik itu sendiri, melainkan ajaran-ajaran, sikap yang seharusnya yang digambarkan di atas dalam perumpamaan ular. Perumpamaan rakit mengisyaratkan bahwa bahkan ajaran-ajaran yang seharusnya digenggam dengan baik akhirnya harus dilepaskan. Akan tetapi, ini bukanlah undangan pada nihilisme moral, melainkan suatu peringatan bahwa bahkan kemelekatan pada ajaran mulia adalah suatu rintangan bagi kemajuan. Apa yang berlawanan dengan ajaran-ajaran, adhammā, termasuk kelemahan moral yang menguasai Ariṭṭha.

256) Bagian ini terbukti bertujuan mencegah jenis lain konsepsi keliru dan interpretasi keliru dari Dhamma, yaitu, pengenalan pandangan diri ke dalam ajaran. Menurut MA, sudut pandang bagi pandangan (diṭṭhiṭṭhāna) adalah pandangan-pandangan salah itu sendiri sebagai landasan bagi pandangan salah-pandangan salah lainnya yang lebih besar; obyek-obyek pandamgan, yaitu, kelima kelompok unsur kehidupan, dan kondisi-kondisi bagi pandangan-pandangan, yaitu, faktor-faktor seperti kebodohan, persepsi sesat, dan pikiran-pikiran keliru, dan sebagainya.

257) MA menyebutkan bahwa gagasan “ini milikku” dicetuskan oleh keinginan, gagasan “ini aku” oleh keangkuhan, dan gagasan “ini diriku” oleh pandangan salah. Ketiga ini – keinginan, keangkuhan, dan pandangan salah – disebut tiga penguasaan (gāha). Ketiga ini juga merupakan penyebab utama dibalik penganggapan (MN 1) dan proliferasi pikiran (MN 18).

258) Rangkaian kata ini menunjukkan kelompok unsur kesadaran secara tidak langsung, melalui obyeknya. Yang “terlihat” menunjukkan kesadaran-mata, yang “terdengar” menunjukkan kesadaran-telinga, yang “tercerap” menunjukkan ketiga jenis kesadaran indria lainnya, dan terakhir pada kesadaran-pikiran.

259) Ini adalah pandangan eternalis lengkap yang muncul dengan berdasarkan pada satu yang sebelumnya, jenis yang lebih mendasar dari pandangan personalitas; di sini menjadi obyek keinginan, keangkuhan, dan pandangan salah pada diri. Pandangan ini sepertinya mencerminkan filosofi Upanishads, yang menegaskan identitas diri individual (ātman) dengan sosok universal (Brahman),  walaupun sulit untuk menentukan dengan berdasarkan pada teks apakah Sang Buddha secara pribadi memahami Upanishad awal itu sendiri.

260) Asati na paritassati. Bentuk kata benda paritassanā, menurut MA, memiliki dua konotasi ketakutan dan keinginan, dengan demikian “gangguan” terpilih untuk mencakup keduanya. Gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal (§18) merujuk pada keputus-asaan duniawi karena kehilangan atau tidak mendapatkan kepemilikan; gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal (§20) merujuk pada keputus-asaan eternalis ketika ia secara keliru memahami ajaran Buddha tentang Nibbāna sebagai doktrin nihilisme.

261) Pariggahaṁ parigaṇheyyātha, secara literal. “Kalian mungkin memiliki kepemilikian itu.” Ini berhubungan dengan §18 tentang gangguan sehubungan dengan kepemilikan eksternal.

262) Attavādupādānaṁ upādiyetha. Secara literal “Kaliann mungkin melekat pada kemelekatan doktrin diri itu.” Mengenai persoalan yang dilibatkan oleh idiom ini pada terjemahan, baca n.176. Paragraf ini berhubungan dengan §20 tentang gangguan yang timbul dari pandangan diri.

263) Penyokong pandangan (diṭṭhinissaya), menurut MA, adalah enam puluh dua pandangan yang disebutkan dalam Brahmajāla Sutta (DN 1), yang muncul dari pandangan diri atau “doktrin diri.” Juga termasuk pandangan sesat yang dianut Ariṭṭha pada awal sutta ini.

264) Gagasan “apa yang menjadi milik diri” atau “milik diri” (attaniya) berasal dari apapun di antara kelima kelompok unsur kehidupan yang tidak diidentifikasikan sebagai diri, serta seluruh kepemilikan eksternal individu. Paragraf ini menunjukkan saling ketergantungan, dan dengan demikian sama-sama tidak dapat dipertahankan, dari kedua gagasan “aku” dan “milikku.”

265) Menurut komentar, kekecewaan (nibbidā, juga diterjemahkan “kejijikan” atau “kemuakan”) menyiratkan tahap puncak dari pandangan terang, kebosanan (virāga) menyiratkan pencapaian jalan lokuttara, dan kebebasan (vimutti) menyiratkan buah. Pengetahuan peninjauan Arahant (paccavekkhaṇañāṇa) ditunjukkan oleh frasa “muncullah pengetahuan” dan “ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan …’.”

266) “Pergi demikian” adalah, dalam Pali, tathāgata, gelar yang biasanya diberikan pada Sang Buddha, tetapi di sini diterapkan lebih luas pada Arahant. MA menginterpretasikan paragraf ini dalam dua cara alternatif sebagai berikut: (1) Arahant bahkan selagi masih hidup adalah tidak terlacak di sini dan saat ini sebagai makhluk atau individu (dalam makna tidak ada makhluk (sebagai diri). (2) Arahat tidak terlacak di sini dan saat ini karena adalah tidak mungkin bagi para dewa, dan sebagainya untuk menemukan penyokong bagi batin pandangan terangnya, batin sang jalannya, batin buahnya (vipassanācitta, maggacitta, phalacitta); yaitu, karena obyeknya adalah Nibbāna, maka batinnya tidak dapat dikenali oleh kaum duniawi.

267) Ini merujuk kembali pada §20, di mana para penganut eternalis salah memahami ajaran Buddha tentang Nibbāna, lenyapnya penjelmaan, sebagai melibatkan pemusnahan makhluk yang sekarang yang dianggap sebagai diri.

268) Maksud dari pernyataan ini lebih dalam daripada apa yang tampak di permukaan. Dalam konteks tuduhan keliru pada §37, Sang Buddha menyebutkan bahwa Beliau mengajarkan bahwa makhluk hidup bukanlah diri, melainkan hanya kumpulan faktor-faktor, peristiwa-peristiwa jasmani dan batin, yang saling berhubungan dalam proses yang bersifat dukkha, dan bahwa Nibbāna, lenyapnya penderitaan, bukanlah pemusnahan makhluk, melainkan terhentinya proses yang tidak memuaskan yang sama itu. Pernyataan ini harus dibaca bersama dengan SN 12:15/ii.17, di mana Sang Buddha mengatakan bahwa seorang yang berpandangan benar, yang telah melenyapkan semua doktrin diri, melihat bahwa apapun yang muncul hanyalah munculnya dukkha,  dan apapun yang lenyap hanyalah lenyapnya dukkha.

269) “Apa yang sebelumnya telah dipahami sepenuhnya” (pubbe pariññātaṁ) adalah kelima kelompok unsur kehidupan. Karena hanya pada ini kehormatan dan hinaan ditunjukkan, bukan “aku” atau diri, tidak ada alasan untuk merasa senang atau kesal.

270) MA menunjukkan bahwa ini adalah kemelekatan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang harus ditinggalkan; kelompok-kelompok unsur kehidupan itu sendiri tdiak dapat dicabut atau dihancurkan.

271) MA: “Chinna-pilotika: pilotikā adalah kain usang dan robek yang dijahit dan ditambal di sana-sini; tidak ada (dalam Dhamma ini) yang seperti ini – robek, usang, dijahit dan ditambal dengan kemunafikan dan muslihat.”

272) Yaitu, karena para Arahant telah mencapai kebebasan dari seluruh lingkaran kehidupan, maka adalah tidak mungkin menunjukkan di alam mana dalam lingkaran itu mereka mungkin terlahir kembali.

273) Ini adalah dua kelompok individu yang berdiri di jalan memasuki-arus. “Pengikut-Dhamma” (dhammānusārin) dan para siswa yang indria kebijaksanaannya (paññindriya) menonjol dan yang mengembangkan jalan mulia dengan dipimpin oleh kebijaksanaan; ketika mereka mencapai buah maka mereka disebut “mencapai pandangan” (diṭṭhipatta).  “Pengikut keyakinan” (saddhānusārin) adalah para siswa yang indria keyakinannya (saddhindriya) menonjol dan yang mengembangkan jalan mulia dengan dipimpin oleh keyakinan; ketika mereka mencapai buah maka mereka disebut “terbebaskan melalui keyakinan” (saddhāvimutta). Baca MN 70.20,21; juga Pug I 35-36/15 dan Vsm XXI,75.

274) MA mengatakan bahwa ini merujuk pada orang-orang yang menekuni praktik meditasi pandangan terang yang belum mencapai tahap pencapaian lokiya yang manapun. Perhatikan bahwa praktik ini hanya menuntun menuju alam surga, bukan pencerahan, walaupun jika praktik ini telah matang maka dapat mencapai jalan memasuki-arus dan dengan demikian memperoleh jaminan pencerahan. Ungkapan saddhāmattaṁ pemamattaṁ dapat diterjemahkan “hanya keyakinan, hanya cinta kasih” atau “sekadar keyakinan, sekadar cinta kasih” (seperti kadang-kadang diterjemahkan), tetapi ini tidak menjelaskan jaminan kelahiran kembali di alam surga. Oleh karena itu sepertinya adalah suatu keharusan untuk menambahkan akhiran matta di sini untuk menyiratkan jumlah keyakinan dan cinta kasih yang diperlukan, bukan sekadar memiliki kualitas-kualitas ini.


SUTTA 23

275) YM. Kumāra Kassapa adalah anak yang diadopsi oleh Raja Pasenadi dari Kosala, yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang, karena tidak mengetahui bahwa ia sedang hamil, meninggalkan keduniawian menjadi seorang bhikkhunī setelah kehamilannya. Pada saat sutta ini dibabarkan ia masih seorang sekha; ia mencapai Kearahatan dengan menggunakan sutta ini sebagai subyek meditasinya.

276) Menurut MA, dewa ini adalah yang-tidak-kembali yang hidup di Alam Murni. Ia dan Kumāra Kassapa adalah anggota kelompok lima bhikkhu yang, pada masa pengajaran Buddha Kassapa, telah berlatih meditasi bersama-sama di puncak gunung. Adalah dewa yang sama dengan yang mendorong Bāhiya Dāruciriya, anggota kelompok lainnya, untuk mengunjungi Sang Buddha (baca Ud 1:10/7).

277) Makna atas penggambaran oleh dewa tersebut akan dijelaskan dalam sutta itu sendiri.

278) Kummāsa: Vinaya dan komentar menjelaskannya sebagai sesuatu yang terbuat dari yava, gandum. Ñm menerjemahkan kata ini sebagai roti, tetapi dari MN 82.18 jelas bahwa kummāsa mengental dan membusuk setelah lewat semalam. PED mendefinisikannya sebagai susu kental asam; Horner menerjemahkannya sebagai “susu asam.”

279) MA: Bagaikan sebuah palang di gerbang kota mencegah orang-orang memasukinya, demikian pula kebodohan mencegah orang-orang mencapai Nibbāna.

280) Dvedhāpatha juga pernah diterjemahkan sebagai “persimpangan jalan,” jelas melambangkan keragu-raguan.

281) MA menyebutkan bahwa empat kaki dan kepala seekor kura-kura menyerupai kelima kelompok unsur kehidupan.

282) MA: Makhluk-makhluk yang menginginkan kenikmatan indria terpotong oleh parang keinginan indria di atas balok pengganjal obyek indria.

283) Simbolisasi ini dijelaskan dalam MN 54.16.

284) Ini adalah seorang Arahant. Untuk simbolisasinya, baca n.75.

Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
Post by: Indra on 18 October 2010, 02:03:27 PM

SUTTA 24

285) Suatu sisipan diberikan oleh MA. Tanah asal Sang Buddha adalah Kapilabatthu, di kaki Pegunungan Himalaya.

286) Kelima hal terakhir membentuk suatu kumpulan yang disebut lima kelompok unsur Dhamma (dhammakkhandhā). “Kebebasan” diidentifikasikan dengan buah mulia, “pengetahuan dan penglihatan kebebasan” dengan pengetahuan peninjauan.

287) YM. Puṇṇa Mantāṇiputta berasal dari keluarga brahmana dan ditahbiskan oleh YM. Aññā Kodañña di Kapilavatthu, yang mana ia terus menetap di sana hingga ia memutuskan untuk mengunjungi Sang Buddha di Sāvatthī. Ia belakangan dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai bhikkhu yang paling menonjol di antara para pembabar Dhamma.

288) Walaupun ketujuh pemurnian (satta visuddhi) ini disebutkan di tempat lain dalam Kanon Pali (dalam DN iii.288, dengan dua tambahan: pemurnian melalui kebijaksanaan dan pemurnian melalui kebebasan), yang mengherankan adalah bahwa kedua tambahan ini tidak dianalisa sebagai satu kelompok di manapun dalam Nikāya; dan hal ini menjadi semakin mengherankan ketika kedua siswa besar ini sepertinya mengenalinya sebagai satu kelompok pembagian ajaran. Bagaimanapun juga, ketujuh skema ini membentuk kerangka bagi keseluruhan Visuddhimagga, yang mendefinisikan perbedaan tahapan melalui tradisi komentar yang lengkap tentang meditasi konsentrasi dan pandangan terang.

Singkatnya, “pemurnian moralitas” (sīlavisuddhi) adalah ketaatan pada aturan-aturan moral yang dijalani seseorang, dijelaskan oleh Vsm dengan merujuk pada latihan moral dari seorang bhikkhu sebagai “empat pemurnian moralitas.” “Pemurnian pikiran (cittavisuddhi) adalah mengatasi kelima rintangan melalui pencapaian konsentrasi awal dan jhāna-jhāna. “Pemurnian pandangan” (diṭṭhivisuddhi) adalah pemahaman yang mendefinisikan sifat dari kelima kelompok unsur kehidupan yang menyusun sesosok makhluk hidup. “Pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan” (kankhāvitaraṇavisuddhi) adalah memahami kondisionalitas. “Pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan pada apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan” (maggāmaggañāṇadassanavisuddhi) adalah pembedaan benar antara jalan pertapaan yang keliru, menggembirakan pengalaman dan jalan pandangan yang benar ke dalam ketidak-kekalan, penderitaan, dan bukan-diri. “Pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan pada sang jalan” (paṭipadāñāṇadassanavisuddhi) membentuk rangkaian meningkat dari pengetahuan pandangan terang hingga jalan lokuttara. Dan “Pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan” (ñāṇadassanavisuddhi) adalah jalan lokuttara.

289) MA mengemas anupādā parinibbāna sebagai appacayaparinibbāna, “Nibbāna akhir yang tanpa kemelekatan,” menjelaskan bahwa upādāna memiliki dua makna: genggaman (gahaṇa),  seperti dalam kalimat biasa tentang empat jenis kemelekatan dan kondisi (paccaya), seperti diilustrasikan oleh paragraf ini. Para komentator menjelaskan “Nibbāna akhir tanpa kemelekatan” adalah sebagai buah Kearahatan; karena tidak dapat digenggam oleh satu dari empat jenis kemelekatan; atau sebagai Nibbāna, yang tidak terkondisi, karena tidak muncul melalui kondisi apapun.

290) MA menjelaskan bahwa enam tingkat pertama adalah “disertai kemelekatan” dalam makna dikondisikan dan dalam makna ada dalam diri seseorang yang masih menggenggam; tingkat ke tujuh, karena lokuttara, hanya dalam makna terkondisikan.

291) MA mengatakan bahwa Sāriputta menanyakan ini hanya sebagai cara untuk menyapa Puṇṇa Mantāṇiputta karena ia telah mengetahui namanya. Akan tetapi, Puṇṇa, belum pernah bertemu dengan Sāriputta sebelumnya dan karena itu ia pasti sungguh-sungguh terkejut bertemu dengan siswa utama itu.

292) Satthukappa. MA mengatakan bahwa ini adalah pujian tertinggi yang dapat diucapkan oleh seorang siswa.


SUTTA 25

293) Cetovimutti: MA menjelaskan bahwa mereka hanya meninggalkan tekad mereka untuk menetap dalam hutan, walaupun ini juga dapat dianggap bahwa para petapa itu telah mencapai – dan kehilangan – delapan pencapaian meditatif yang biasanya disiratkan oleh kata cetovimutti.

294) Ini adalah sepuluh pandangan spekulatif yang diperdebatkan oleh para petapa filsuf pada masa Sang Buddha. Semuanya ditolak oleh Sang Buddha dengan alasan tidak berhubungan dengan dasar-dasar kehidupan suci dan tidak mendukung kebebasan dari penderitaan. Baca MN 63, MN 72.

295) Delapan pencapaian meditatif di sini harus dipahami, seperti yang dijelaskan MA, sebagai landasan bagi pandangan terang. Ketika seorang bhikkhu telah memasuki jhāna demikian, Māra tidak dapat melihat bagaimana pikirannya bekerja. Akan tetapi, kekebalan dari pengaruh Māra ini hanya bersifat sementara.

296) Bhikkhu terakhir ini, dengan menghancurkan noda-noda, telah menjadi bukan hanya tidak terlihat oleh Māra secara sementara namun secara permanen tidak terjangkau oleh Māra. Mengenai lenyapnya persepsi dan perasaan, baca Pendahuluan, p.41.


SUTTA 26

297) Judul ini mengikuti MN edisi PTS dan SBJ. MA edisi BBS, dan MA edisi PTS dan BBS, merujuk pada khotbah ini sebagai Pāsarāsi Sutta, tumpukan perangkap dengan referensi pada perumpamaan dalam §§32-33.

298) MA menunjukkan bahwa jhāna ke dua dan subyek meditasi utama seseorang keduanya disebut “keheningan mulia” (ariyo tuṇhibhāvo). Mereka yang tidak mampu mencapai jhāna ke dua disarankan untuk mempertahankan keheningan mulia dengan memperhatikan subyek meditasi utama mereka.

299) Upadhi:  makna akarnya adalah fondasi, dasar, landasan (PED). Dalam komentar dijelaskan berbagai jenis upadhi, diantaranya adalah kelima kelompok unsur kehidupan, obyek-obyek kenikmatan indria, kekotoran-kekotoran, dan kamma. Ñm menerjemahkan kata ini secara konsisten sepanjang sutta sebagai “sifat dasar kehidupan,” yang sering kali mengaburkan makna kontekstualnya. Saya mencoba menangkap beberapa konotasi kata ini dengan menerjemahkannya menjadi “perolehan-perolehan” yang mana makna obyektifnya lebih menonjol (seperti di sini) dan sebagai “perolehan” yang mana makna subyektifnya lebih menonjol. Pada MN 26.19 Nibbāna disebut “lepasnya segala perolehan” (sabb’ ūpadhipaṭinissagga),  dengan kedua makna itu yang dimaksudkan.

300) Emas dan perak dikecualikan dari benda-benda yang tunduk pada penyakit, kematian, dan dukacita, tetapi benda-benda tersebut tunduk pada kekotoran, menurut MA, karena benad-benda tersebut dapat dicampur dengan logam yang bernilai lebih rendah.

301) MA: ia mengajarkan Beliau tujuh pencapaian (meditasi ketenangan) yang berakhir pada landasan kekosongan, ke tiga dari empat pencapaian tanpa-materi. Walaupun pencapaian-pencapaian ini adalah luhur secara spiritual, namun masih dalam lingkup lokiya dan tidak secara langsung mengarah pada Nibbāna.

302) Yaitu, menuntun menuju kelahiran kembali di alam kehidupan yang disebut landasan kekosongan, tujuan dari pencapaian meditatif ke tujuh. Di sini umur kehidupannya adalah 60,000 kappa, tetapi ketika jangka waktu itu telah berlalu, seseorang akan meninggal dunia dan kembali ke alam yang lebih rendah. Dengan demikian seseorang yang mencapai ini masih belum terbebas dari kelahiran dan kematian namun terperangkap dalam jebakan Māra (MA). Horner melewatkan hal penting bahwa kelahiran kembali adalah intinya dengan menerjemahkan “hanya sejauh mencapai alam kekosongan” (MLS 1:209).

303) Baik Horner dalam MLS dan Ñm dalam Ms melakukan kesalahan dalam terjemahan mereka mengenai kisah pertemuan Sang Bodhisatta dengan Uddaka Rāmaputta dengan menganggap Uddaka sama dengan Rāma. Akan tetapi, seperti ditunjukkan oleh namanya, Uddaka adalah putera (putta) dari Rāma, yang pasti telah meninggal dunia sebelum kedatangan Sang Bodhisatta. Perhatikan bahwa semua rujukan pada Rāma dituliskan dalam bentuk lampau dan sebagai orang ke tiga, dan bahwa Uddaka pada akhirnya menempatkan Sang Bodhisatta dalam posisi guru. Walaupun teks tidak memberikan akhir yang pasti, namun ini menyiratkan bahwa ia sendiri belum mencapai pencapaian ke empat tanpa-materi itu.

304) MN 36, yang mencantumkan kisah pertemuan Sang Bodhisatta dengan Āḷāra Kālāma dan Uddaka Rāmaputta, dari sini melanjutkan dengan kisah praktik pertapaan keras yang membawaNya hingga ke ambang kematian dan selanjutnya tentang penemuanNya akan jalan tengah yang menuntunNya menuju pencerahan.

305) MA mengidentifikasikan “Dhamma ini” sebagai Empat Kebenaran Mulia. Dua kebenaran atau kondisi-kondisi (ṭhāna) yang dibicarakan persis di bawah – sebab-akibat yang saling bergantungan dan Nibbāna – adalah kebenaran asal-mula dan lenyapnya penderitaan, yang berturut-turut menyiratkan kebenaran penderitaan dan sang jalan.

306) Ālaya. Sulit untuk menemukan padanan yang tepat untuk kata ini dalam Bahasa Inggris yang belum digunakan oleh kata Pali lainnya yang lebih sering muncul. Horner menerjemahkannya sebagai “kenikmatan indria,” yang sesuai dengan terjemahan biasa bagi kāma dan mungkin terlalu sempit. Dalam Ms dan dalam terbitan lainnya Ñm menerjemahkannya sebagai “sesuatu untuk bersandar,” yang mungkin ditarik dari konotasi kata tersebut yang tidak sesuai di sini. MA menjelaskan ālaya sebagai terdiri dari kenikmatan indria obyektif dan pikiran-pikiran keinginan yang berhubungan dengannya.

307) MA mengangkat pertanyaan mengapa, ketika Sang Bodhisatta yang sejak lama bercita-cita untuk mencapai Kebuddhaan dengan tujuan untuk membebaskan makhluk-makhluk lain, sekarang pikirannya condong untuk tidak melakukan apa-apa. Alasannya, menurut komentar, adalah bahwa baru sekarang, setelah mencapai pencerahan, Beliau menyadari sepenuhnya betapa kuatnya kekotoran-kekotoran dalam batin makhluk-makhluk dan betapa mendalamnya Dhamma. Juga Beliau menghendaki agar Brahmā memohonNya untuk mengajar sehingga makhluk-makhluk yang menyembah Brahmā dapat mengenali nilai berharga dari Dhamma dan berkeinginan untuk mendengarnya.

308) Kelima bhikkhu ini melayani Sang Bodhisatta selama masa penyiksaan-diri, percaya bahwa Beliau akan mencapai pencerahan dan mengajarkan Dhamma kepada mereka. Akan tetapi, ketika Beliau meninggalkan praktik kerasNya dan kembali memakan makanan padat, mereka kehilangan keyakinan padaNya, menuduhNya kembali kepada kemewahan, dan meninggalkanNya. Baca MN 36.33.

309) Anantajina: mungkin ini adalah gelar bagi seorang Ājivaka yang tercerahkan secara spiritual.

310) Menurut MA, Upaka selanjutnya jatuh cinta dengan puteri seorang pemburu dan menikahinya. Ketika pernikahannya ternyata tidak membahagiakan, ia kembali pada Sang Buddha, memasuki Sangha, dan menjadi seorang yang-tidak-kembali, ia terlahir kembali di alam surga Aviha, di mana ia mencapai Kearahatan.

311) Āvuso: sebutan bersahabat yang digunakan untuk menyapa mereka yang setara.

312) Baca n.178.

313) Perubahan panggilan dari “teman” menjadi “Yang Mulia” (bhante) menunjukkan bahwa mereka sekarang telah menerima pengakuan Sang Buddha dan siap untuk menganggapnya sebagai yang lebih mulia daripada mereka.

314) Pada titik ini Sang Buddha membabarkan khotbah pertamaNya kepada mereka, Dhammacakkappavattana Sutta, Memutar Roda Dhamma, tentang Empat Kebenaran Mulia. Beberapa hari berikutnya, setelah mereka semuanya telah menjadi pemasuk-arus, Beliau mengajarkan Anattalakkhana Sutta, Karakteristik Bukan-diri, yang setelah mendengarnya mereka semua mencapai Kearahatan. Penjelasan lengkap, terdapat dalam Mahāvagga (Vin i.7-14), yang juga termasuk dalam Ñaṇamoli, The Life of the Buddha, pp.42-47.

315) Bagian ini kembali pada tema pencarian mulia dan tidak mulia yang memulai khotbah Sang Buddha ini. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa menjalani kehidupan monastik bukan jaminan bahwa seseorang telah memulai pencarian mulia, karena pencarian tidak mulia juga dapat menyerbu kehidupan monastik.

316) Ini merujuk pada penggunaan empat benda kebutuhan dengan perenungan terhadap penggunaan selayaknya dalam kehidupan meninggalkan keduniawian. Baca MN 2.13-16.

317) Baca n.295.

318) Baca n.296.

SUTTA 27

319) Menurut Riwayat Sri Lanka, ini adalah sutta pertama yang dibabarkan oleh Mahinda Thera setelah kedatangannya di Sri Lanka.

320) Vacchāyana adalah nama suku Pilotika.

321) Ñm menerjemahkan ekabhattika sebagai “makan hanya pada satu bagian dari hari,” mengikuti komentar. Menurut Vinaya waktu yang benar bagi para bhikkhu untuk makan adalah antara fajar hingga tengah hari. Dari tengah hari hingga fajar keesokan harinya hanya cairan yang diperbolehkan.

322) Formula ini dianalisa dalam Vsm I, 53-59. secara singkat, gambaran (nimitta) adalah kualitas yang paling jelas dari obyek yang, jika digenggam dengan secara tidak waspada, dapat membangkitkan pikiran-pikiran kotor; ciri-ciri (anubyañjana) adalah rincian yang dapat menangkap perhatian ketika kontak persepsi pertama belum diikuti oleh pengendalian. “Kondisi-kondisi ketamakan dan kesedihan” menyiratkan reaksi bergantian keinginan dan ketidak-senangan, kemenarikan dan kemenjijikan, terhadap obyek indria.

323) Ketamakan (abhijjhā) di sini adalah bersinonim dengan keinginan indria (kāmacchanda), yang pertama dari lima rintangan.

324) MA: Ia belum sampai pada kesimpulan ini sehubungan dengan Tiga Permata karena jhāṅa-jhāna dan pengetahuan langsung (lokiya) juga dimiliki oleh mereka yang di luar Ajaran Buddha.

325) Ini, menurut MA, menunjukkan saat sang jalan, dan karena pada titik ini siswa mulia itu masih belum menyelesaikan tugasnya, ia belum sampai pada kesimpulan (na tveva niṭṭhaṁ gato hoti) sehubungan dengan Tiga Permata; sebaliknya, ia berada dalam proses sampai pada kesimpulan (niṭṭhaṁ gacchati). Sutta ini menggunakan permainan kata pada makna dari ungkapan “sampai pada kesimpulan” yang sama wajarnya dalam Bahasa Inggris seperti dalam Pali.

326) Ini menunjukkan kejadian ketika siswa telah mencapai buah Kearahatan, dan setelah menyelesaikan semua tugasnya dalam segala cara, telah sampai pada kesimpulan sehubungan dengan Tiga Permata.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
Post by: Indra on 18 October 2010, 02:06:34 PM

SUTTA 28

327) Khotbah ini telah diterbitkan secara terpisah dengan pendahuluan dan catatan oleh Nyanaponika Thera, The Greater Discourse on the Elephant-Footprint Simile.

328) Struktur khotbah ini dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama-tama YM. Sāriputta menguraikan Empat Kebenaran Mulia (§2). Kemudian ia menganalisa kebenaran penderitaan dalam berbagai aspek (§3). Dari antara semua ini, ia memilih yang terakhir dan menguraikan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan (§4). Berikutnya ia memilih kelompok unsur pertama, kelompok unsur bentuk materi (§5). Menggunakan masing-masing dari unsur-unsur utama, ia menunjukkannya memiliki dua aspek – internal dan eksternal – aspek pertama dipilih untuk dianalisa secara terperinci, aspek ke dua hanya disebutkan secara singkat sebagai pelengkap dan perbandingan (misalnya, §§6-7). Masing-masing unsur dijelaskan sebagai suatu landasan bagi pandangan terang (misalnya, §§8-10). Setelah selesai memeriksa unsur, YM. Sāriputta selanjutnya mengangkat aspek-aspek dari Empat Kebenaran Mulia yang sebelumnya ia kesampingkan. Ia memperkenalkan bentuk materi turunan melalui organ-organ indria dan obyeknya (§27, dan seterusnya), yang kemudian ia hubungkan dengan empat kelompok unsur kehidupan lainnya dari kebenaran mulia pertama. Akhirnya ia menguraikan keseluruhan topik yang rumit ini sehubungan dengan ketiga kebenaran mulia lainnya (§28, dan seterusnya).

329) Upādinna. “dilekati,” digunakan dalam Abhidhamma sebagai istilah teknis yang berlaku pada fenomena jasmani yang dihasilkan oleh kamma. Akan tetapi, di sini digunakan dalam makna yang lebih umum sebagai berlaku pada keseluruhan jasmani sejauh yang digenggam sebagai “milikku” dan disalah-pahami sebagai diri. Frasa “apapun lainnya” dimaksudkan untuk memasukkan unsur tanah yang terdapat dalam bagian-bagian tubuh yang tidak termasuk dalam daftar di atas. Menurut analisa materi dalam Abhidhamma, empat unsur utama adalah tidak terpisahkan, dan dengan demikian masing-masing unsur juga termasuk, walaupun dalam peran yang lebih rendah, dalam fenomena jasmani terdaftar di bawah ketiga unsur lainnya.

330) MA: Pernyataan ini dibuat untuk menggaris-bawahi sifat tidak-hidup (acetanābhāva) dari unsur tanah internal dengan menghubungkannya dengan unsur tanah eksternal, sifat tidak-hidupnya menjadi lebih mudah terlihat.

331) Menurut Kosmologi India kuno siklus kehancuran dunia dapat terjadi karena air, api, atau angin. Baca Vsm XIII, 30-65.

332) Gagasan “aku”, “milikku”, dan “diriku” mewakili tiga gagasan yang mengganggu pikiran yaitu pandangan identitas, keinginan, dan keangkuhan, secara berturut-turut.

333) MA menjelaskan bahwa paragraf ini, yang merujuk pada seorang bhikkhu yang mempraktikkan meditasi pada unsur-unsur, bermaksud untuk menunjukkan kekuatan pikirannya dalam menerapkan pemahamannya terhadap segala sesuatu pada obyek-obyek tidak menyenangkan yang muncul di “pintu” telinga. Dengan merenungkan pengalaman melalui kondisionalitas dan ketidak-kekalan, ia mentransformasikan situasi yang berpontensi memprovokasi karena dihina menjadi suatu kesempatan bagi pandangan terang.

334) Tassa dhātārammaṇam eva cittaṁ pakkhandati. Kalimat ini dapat ditafsirkan dalam dua cara alternatif, bergantung pada bagaimana kata majemuk dhātārammaṇam dipahami. YM. Nyanaponika menganggapnya sebagai obyek dari kata kerja pakkhandati, dan ia memahami dhātu di sini sebagai “unsur bukan personal secara umum” yang mampu menerima suara, kontak, perasaan, dan sebagainya. Karena itu ia menerjemahkan: “Dan pikirannya masuk ke dalam obyek itu [dengan menganggapnya hanya sebagai] unsur [tidak hidup].”Ñm membaca kata majemuk ini sebagai kata tambahan yang berarti citta, dan memberikan obyek dari kata kerja dalam tanda kurung. MA sepertinya mendukung tulisan pertama; MṬ secara eksplisit mengidentifikasikan dhātu sebagai unsur tanah, dengan demikian mendukung pernyataan ke dua. MA menjelaskan frasa “memperoleh keteguhan” bermakna bahwa meditator merenungkan situasi melalui unsur-unsur dan dengan demikian tidak melekati juga tidak menolaknya.

335) MA: Paragraf ini dimaksudkan untuk menunjukkan kekuatan bhikkhu yang bermeditasi ketika ia mengalami penderitaan melalui jasmani.

336) Baca MN 21.20.

337) MA: Perenungan Sang Buddha dilakukan di sini dengan mengingat bahwa Sang Bhagavā mengajarkan perumpamaan gergaji ini, perenungan Dhamma dengan mengingat nasihat yang terkandung dalam perumpamaan gergaji, dan perenungan Sangha dengan mengingat moralitas para bhikkhu yang mampu menahankan hinaan demikian tanpa memunculkan pikiran membenci. “Keseimbangan yang didukung oleh kondisi-kondisi bermanfaat” (upekkha kusalanissitā) adalah keseimbangan pandangan terang, enam keseimbangan yang tidak tertarik juga tidak menolak obyek-obyek yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan yang muncul di enam pintu indria. Dengan kata lain, enam keseimbangan yang hanya dimiliki oleh Arahant, tetapi di sini dikatakan dimiliki oleh bhikkhu dalam latihan karena pandangan terangnya mendekati keseimbangan sempurna Arahant.

338) Ini dikatakan untuk menekankan sekali lagi sifat tanpa-ego dari jasmani. MṬ: Ia menunjukkan bahwa empat unsur hanyalah sekadar unsur bukan milik diri; unsur-unsur itu adalah tanpa makhluk, tanpa jiwa.

339) Bagian ini dijelaskan, menurut MA, untuk memperkenalkan bentuk materi yang diturunkan dari empat unsur utama. Bentuk materi turunan, menurut analisa materi Abhidhamma, termasuk lima organ indria (pasādarūpa) dan empat jenis pertama obyek indria, obyek sentuhan karena diidentifikasikan dengan unsur utama itu sendiri. “Aktivitas (kesadaran) yang bersesuaian” (tajjo samannāhāro) dijelaskan oleh MA sebagai perhatian (manasikāra) yang muncul dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, diidentifikasikan dengan “lima pintu kesadaran penerima (pañcadvārāvajjanacitta), yang memutuskan aliran rangkaian kehidupan (bhavanga) untuk memulai proses pengenalan. Bahkan ketika bentuk-bentuk muncul dalam jangkauan mata, jika perhatian tidak terhubung dengan bentuk karena sedang terlibat pada hal lain, maka tidak ada manifestasi dari “kesadaran yang bersesuaian,” yaitu, kesadaran-mata.

340) Bagian ini dijelaskan untuk menunjukkan Empat Kebenaran Mulia melalui pintu-pintu indria. “Apa yang telah muncul demikian” (tathābhūta) adalah keseluruhan faktor-faktor yang muncul melalui kesadaran-mata. Dengan menganalisa faktor-faktor ini ke dalam lima kelompok unsur kehidupan, YM.Sāriputta menunjukkan bahwa setiap peristiwa pengalaman indria berada dalam kebenaran penderitaan.

341) Pernyataan ini belum terlacak secara langsung berasal dari Sang Buddha dalam sutta manapun dalam Kanon Pali. MA mengemas, mungkin dengan sangat sedikit berhubungan dengan implikasi pernyataan yang lebih mendalam: “Seorang yang melihat sebab-akibat yang saling bergantungan melihat kondisi-kondisi sebab-akibat yang saling bergantungan (paṭicca samuppanne dhamme); seorang yang melihat kondisi-kondisi sebab-akibat yang saling bergantungan melihat sebab-akibat yang saling bergantungan.”

342) Empat kata ini – chanda, ālaya, anunaya, ajjhasāna – adalah sinonim dari keinginan (taṇhā).

343) Walaupun hanya tiga dari Empat Kebenaran Mulia yang secara eksplisit ditunjukkan dalam teks, namun kebenaran ke empat juga tersiratkan. Menurut MA, ini adalah penembusan ketiga kebenaran ini melalui pengembangan delapan faktor sang jalan.

344) MA mengidentifikasikan “pikiran” (mano) dalam paragraf ini sebagai kesadaran rangkaian-kehidupan (bhavangacitta).

345) MA mengilustrasikan kasus ini melalui keterlenaan pikiran dengan obyek yang sudah biasa dikenali ketika tidak memperhatikan rincian yang biasa dikenali dari obyek tersebut. “kelompok kesadaran yang bersesuaian” di sini adalah kesadaran-pikiran (manoviññāṇa), yang mengambil obyek non-indria sebagai bidang pengenalannya.


SUTTA 29

346) Setelah kegagalan usaha Devadatta dalam membunuh Sang Buddha dan merampas kuasa atas Sangha, ia berpisah dari Sang Buddha dan mencoba untuk membentuk sektenya sendiri dengan dirinya sebagai pemimpin. Baca Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, pp. 266-69.

347) “Pengetahuan dan penglihatan” (ñāṇadassana) di sini merujuk pada mata dewa (MA), kemampuan melihat bentuk-bentuk yang halus yang tidak terlihat oleh penglihatan normal,

348) Terjemahan ini mengikuti BBS dan SBJ, yang menuliskan asamayavimokkhaṁ dalam kalimat sebelumnya dan asamayavimuttaiyā dalam kalimat ini. Edisi PTS, yang mana Horner dan Ñm menggunakannya sebagai dasar terjemahan mereka, terbukti keliru dalam membaca samaya dalam dua kata majemuk dan ṭhānaṁ sebagai pengganti aṭṭhānaṁ.  MA mengutip Paṭisambhidāmagga (ii.40) untuk definisi asamayavimokkha (secara literal, kebebasan bukan-sementara atau “terus-menerus”) sebagai empat jalan, empat buah, dan Nibbāna, dan samayavomikkha (kebebasan sementara) sebagai empat jhāna dan empat pencapaian atnpa bentuk., baca juga MN 122.4.

349) “Kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan” adalah buah Kearahatan (MA). Demikianlah “kebebasan terus-menerus” – sebagai termasuk empat jalan dan buah – memiliki jangkauan makna yang lebih luas daripada “Kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan,” yang dinyatakan sebagai tujuan kehidupan suci.


SUTTA 30

350) Keenam guru tersebut, yang sezaman dengan Sang Buddha, semuanya berada di luar Brahmanisme Ortodoks, dan doktrin-doktrin mereka menunjukkan keberanian spekulatif pada masa Sang Buddha. Enam orang ini sering disebutkan secara bersama dalam Kanon. Ajaran-ajaran mereka, seperti dipahami dalam komunitas Buddhis, terdapat dalam DN 2.17-32/ii.52-59.

351) Pertanyaan yang persis sama dengan yang diajukan kepada Sang Buddha menjelang Parinibbāna oleh pengembara Subhadda pada SN 16.5.26-27/ii.150-52.

352) Adalah kalimat ini, yang digunakan pada kalimat yang diawali dengan “Ia menjadi mabuk ...,” yang membedakan paragraf-paragraf dari sutta ini dengan paragraf-paragraf yang bersesuaian dari sutta sebelumnya.

353) Walaupun jhāna-jhāna juga termasuk dalam pencapaian konsentrasi yang dijelaskan pada §10, dan pengetahuan dan penglihatan digambarkan sebagai lebih tinggi daripada pencapaian konsentrasi, namun jhāna-jhāna sekarang menjadi lebih tinggi daripada pengetahuan dan penglihatan karena jhāna-jhāna diperlakukan sebagai landasan bagi pencapaian lenyapnya dan hancurnya noda-noda. (pada §21).


SUTTA 31

354) YM. Anuruddha adalah saudara sepupu Sang Buddha; YM. Nandiya dan Kimbila adalah sahabat Anuruddha.

355) Ini adalah tiga dari “enam prinsip kerukunan” yang dijelaskan dalam MBN 48.6.

356) MA mengidentifikasikan yakkha ini sebagai raja surgawi (devarāja) yang termasuk di antara dua puluh delapan pemimpin yakkha yang disebutkan pada DN 32.10/iii.205.


SUTTA 32

357) Empat kelompok adalah para bhikkhu, bhikkhunī, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan. Tujuh kecenderungan tersembunyi diuraikan pada MN 18.8. YM. Ānanda dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai siswa yang paling unggul di antara mereka yang telah banyak belajar, dan khotbah-khotbahnya dikatakan menyenangkan empat kelompok tersebut (DN 16.5.16/ii.145).

358) Yathā sakaṁ paṭibhānaṁ. Frasa ini juga dapat diterjemahkan “menurut intuisinya” atau “menurut idealismenya.” Ñm menerjemahkan “sesuai apa yang terpikir olehnya”; Horner, “menurut kapasitasnya.”

359) YM. Revata dinyatakan sebagai siswa yang paling unggul di antara para siswa meditator.

360) YM. Anuruddha dinyatakan sebagai siswa yang paling unggul di antara para siswa yang memiliki mata-dewa.

361) Mahā Kassapa adalah siswa yang paling unggul di antara para siswa yang menjalankan praktik pertapaan.

362) Abhidhamma. Walaupun kata ini di sini tidak dapat merujuk pada Abhidhamma Piṭaka – yang jelas merupakan produk pemikiran Buddhis belakangan setelah Nikāya-Nikāya – namun menunjukkan suatu pendekatakan sistematis dan analitis terhadap doktrin yang bertindak sebagai inti asli dari Abhidhamma Piṭaka. Dalam suatu pembahasan saksama pada konteks di mana kata “Abhidhamma” muncul dalam Sutta Piṭaka dari beberapa edisi terbaru, Terpelajar Bahasa Pali dari Jepang bernama Fumimaro Watanabe menyimpulkan bahwa para siswa Sang Buddha membentuk konsep Abhidhamma sebagai pelajaran filosofi dasar untuk mendefinisikan, menganalisa, dan mengelompokkan dhamma dan untuk mengeksplorasi saling ke-terkaitannya. Baca bukunya Philosophy and its Development in the Nikāyas and Abhidhamma, pp.34-36.

363) Sementara jawaban-jawaban para siswa dianggap sebagai idealisme seorang bhikkhu yang telah mencapai kemahiran dalam bidang tertentu dari kehidupan meninggalkan keduniawian, jawaban Sang Buddha, dengan menitik-beratkan pada seorang bhikkhu yang masih berjuang untuk mencapai tujuan, menggaris-bawahi tujuan utama dari kehidupan suci itu sendiri.


SUTTA 33

364) Baca MN 129.2.27

365) Aturan (mātikā) mungkin adalah peraturan Pātimokkha yang diringkas dari matriks penjelasannya, serta daftar kelompok doktrin utama yang digunakan untuk membabarkan Dhamma. Untuk penjelasan lebih lanjut tentang mātikā baca Watanabe, Philosophy and its Development in the Nikāyas and Abhidhamma, pp.42-45.

366) Baca n.89.

367) Pada SN 47:6/v.148 empat landasan perhatian disebut wilayah yang selayaknya (gocara) dari seorang bhikkhu, dalam makna sebagai bidang selayaknya dari aktivitasnya.

Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
Post by: Indra on 18 October 2010, 02:07:33 PM

SUTTA 34

368) Baca n.273.


SUTTA 35

369) Menurut MA, Saccaka adalah putera dari orangtua penganut Nigaṇṭha (Jain) yang mana kedua orangtuanya mahir dalam debat filosofis. Ia telah mempelajari seribu doktrin dari orangtuanya dan banyak lagi sistem filosofi dari orang lain. Dalam pembahasan di bawah ia dipanggil dengan nama sukunya, Aggivessana.

370) YM. Assaji adalah salah satu dari lima siswa pertama Sang Buddha.

371) Ringkasan doktrin ini mengabaikan karakteristik ke dua dari tiga karakteristik, dukkha atau penderitaan. MA menjelaskan bahwa Assaji mengabaikan ini untuk menghindari memberikan kesempatan kepada Saccaka untuk membantah doktrin Sang Buddha.

372) MA menjelaskan bahwa orang-orang memainkan permainan ini ketika mempersiapkan kain rami. Mereka mengikat segenggam rami kasar, merendamnya dalam air, dan memukulnya di atas papan di sebelah kiri, kanan, dan tengah. Seekor gajah besar melihat permainan ini, dan mencebur ke dalam air, ia mengambil air dengan belalainya dan menyemprotkannya ke perutnya, ke tubuhnya, di kedua sisi, dan selangkangannya.

373) Dalam menegaskan kelima kelompok unsur kehidupan sebagai diri, ia tentu saja secara langsung menentang ajaran Buddha tentang anattā. Ia mengatakan pandangannya berasal dari “banyak orang” dengan pikiran bahwa “mayoritas tidak mungkin salah.”

374) Sang Buddha di sini mengatakan bahwa kelompok-kelompok unsur kehidupan bukanlah diri karena tidak memiliki satu karakteristik penting dari diri – dapat dikuasai. Apa yang tidak dapat dikuasai atau dikendalikan sepenuhnya tidak dapat diidentifikasikan sebagai “diriku.”

375) MA mengidentifikasikan makhluk (yakkha) ini sebagai Sakka, penguasa para dewa.

376) Teks di antara tanda bintang (*) tidak terdapat pada edisi PTS, namun ditambahkan dari BBS dan SBJ. Kelima kelompok unsur kehidupan di sini disebut penderitaan karena tidak kekal dan tidak dapat dikuasai.

377) Ini adalah karakteristik-karakteristik seorang sekha. Arahant, sebaliknya, tidak hanya memiliki pandangan benar tanpa-diri, tetapi juga menggunakannya untuk melenyapkan segala kemelekatan seperti dijelaskan oleh Sang Buddha pada §25.

378) MA memberikan beberapa penjelasan alternatif atas ketiga kata ini. Yaitu kebijaksanaan, praktik, dan kebebasan lokiya dan lokuttara. Atau seluruhnya lokuttara: pertama adalah pandangan benar pada jalan Kearahatan, ke dua adalah ketujuh faktor lainnya, ke tiga adalah buah tertinggi (Kearahatan). Atau pertama adalah penglihatan pada Nibbāna, ke dua adalah faktor-faktor sang jalan, ke tiga adalah buah tertinggi.

379) Walaupun Saccaka mengaku kalah dalam debat, namun ia tetap masih menganggap dirinya sebagai orang suci, dan dengan demikian ia tidak terdorong untuk memohon perlindungan pada Tiga Permata. Juga, karena ia tetap menganggap dirinya sebagai orang suci, maka ia merasa tidaklah selayaknya baginya untuk mempersembahkan jasa persembahan itu kepada dirinya, dan dengan demikian ia ingin mempersembahkan jasa itu kepada para Licchavi. Tetapi Sang Buddha menjawab bahwa para Licchavi akan memperoleh jasa karena memberikan makanan kepada Saccaka untuk dipersembahkan kepada Sang Buddha. Jasa persembahan itu berbeda secara kualitas menurut kemurnian penerimanya, seperti dijelaskan pada MN 142.6


SUTTA 36

380) MA: Saccaka mendekat dengan niat untuk mendebat doktrin Sang Buddha, yang mana ia gagal melakukannya pada pertemuan pertamanya dengan Sang Buddha (dalam MN 35). Tetapi kali ini ia datang sendirian, dengan pikiran jika ia menderita kekalahan maka tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. Ia bermaksud untuk membantah Sang Buddha dengan pertanyaannya tentang tidur di siang hari, yang tidak ia tanyakan hingga menjelang akhir sutta (§45).

381) MA: Ānanda mengatakan ini demi belas kasihnya kepada Saccaka, dengan pikiran jika ia bertemu denga Sang Buddha dan mendengar Dhamma, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk waktu yang lama.

382) Dari §5 jelas bahwa Saccaka mengidentifikasikan “pengembangan jasmani” (kāyabhāvanā) sebagai praktik penyiksaan-diri. Karena ia tidak melihat para bhikkhu Buddhis yang melakukan penyiksaan-diri, ia berpendapat bahwa mereka tidak melatih pengembangan jasmani. Tetapi Sang Buddha (menurut MA) memahami “pengembangan jasmani” sebagai meditasi pandangan terang, “pengembangan batin” (cittabhāvanā) sebagai meditasi ketenangan.

383) Mereka ini adalah tiga guru Ājivaka; yang terakhir sezaman dengan Sang Buddha, dua yang pertama hampir merupakan tokoh legenda yang identitasnya masih kabur. Sang Bodhisatta telah menjalankan praktik mereka selama masa pertapaannya – baca MN 12.45 – tetapi akhirnya menolak praktik itu sebagai tidak mendukung pencerahan.

384) MA menjelaskan bahwa “pengembangan jasmani” di sini adalah pandangan terang, dan “pengembangan batin” adalah konsentrasi. Ketika siswa mulia mengalami perasaan menyenangkan, ia tidak dikuasai oleh perasaan itu karena, melalui pengembangan pandangan terang, ia memahami perasaan itu tidak kekal, tidak memuaskan, dan bukan diri; dan ketika ia mengalami perasaan menyakitkan, ia tidak dikuasai oleh perasaan itu karena, melalui pengembangan konsentrasi, ia mempu membebaskan diri dari perasaan itu dengan memasuki pencerapan meditaif.

385) Sekarang Sang Buddha akan menjawab pertanyaan Saccaka dengan pertama-tama menunjukkan perasaan yang sangat menyakitkan yang Beliau alami selama perjalanan praktik pertapaanNya, dan setelah itu menunjukkan perasaan yang sangat menyenangkan yang Beliau alami selama dalam pencapaian meditatifNya menjelang pencerahan.

386) PTS pasti keliru dalam membaca avūpakaṭṭho di sini, “tidak terasing.” Dalam edisi pertama saya menerjemahkan paragraf ini berdasarkan pada BBS, yang menuliskan kāyena c’ eva cittena ca. Tetapi PTS dan SBJ menghilangkan cittena, dan sepertinya sulit untuk memahami bagaimana para petapa ini dapat digambarkan “terasing secara batin” dari kenikmatan indria jika mereka belum menenangkan keinginan indria dalam diri mereka. Oleh karena itu saya mengikuti PTS dan SBJ.

387) Adalah mengherankan bahwa dalam paragraf berikutnya Sang Bodhisatta ditunjukkan melakukan penyiksaan-diri setelah Beliau telah sampai pada kesimpulan bahwa praktik demikian adalah tidak berguna untuk mencapai Pencerahan. Ketidak-sesuaian gagasan ini menimbulkan kecurigaan bahwa urutan narasi sutta ini telah tercampur-aduk. Tempat yang seharusnya bagi perumpamaan kayu api ini adalah di akhir masa percobaan pertapaan Sang Bodhisatta, ketika Beliau telah memperoleh landasan kuat untuk menolak penyiksaan-diri. Namun demikian, MA menerima urutan ini apa adanya dan memunculkan pertanyaan mengapa Sang Bodhisatta melakukan praktik keras ini jika Beliau mampu mencapai Kebuddhaan tanpa melakukan demikian. Jawabannya: Beliau melakukan demikian, pertama, untuk menunjukkan usahaNya kepada dunia, karena kualitas kegigihan yang tanpa tandingan memberiNya kegembiraan; dan ke dua, demi belas kasihan kepada generasi mendatang, dengan menginspirasi mereka untuk berjuang dengan tekad yang sama yang Beliau terapkan demi mencapai pencerahan.

388) Kalimat ini, yang juga diulangi pada setiap akhir dari masing-masing bagian berikutnya, menjawab pertanyaan ke dua dari dua pertanyaan yang diajukan oleh Saccaka pada §11.

389) MA: pada masa kecil Sang Bodhisatta sebagai seorang pangeran, pada suatu ketika ayahnya mengadakan upacara membajak sawah pada suatu festival tradisi orang Sakya. Sang Pangeran dibawa ke tempat festival tersebut dan tempat untukNya dipersiapkan di bawah pohon jambu. Ketika para pelayanNya meninggalkanNya untuk menyaksikan upacara membajak sawah, Beliau secara spontan duduk dalam posisi meditasi dan mencapai jhāna pertama melalui perhatian pada pernafasan. Ketika para pelayannya kembali dan melihat Sang Anak sedang duduk bermeditasi, mereka melaporkan hal ini kepada Sang Raja yang segera datang dan bersujud menghormati puteranya.

390) Paragraf ini menandai perubahan dalam evaluasi kenikmatan oleh Sang Bodhisatta; sekarang kenikmatan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang ditakuti dan diusir melalui praktik keras, tetapi, jika muncul dari keterasingan dan pelepasan, terlihat sebagai pendamping yang berharga dari tingkat-tingkat yang lebih tinggi sepanjang perjalanan menuju pencerahan. Baca MN 139.9 tentang dua kelompok kenikmatan.

391) Kalimat ini menjawab pertanyaan pertama dari dua pertanyaan yang diajukan oleh Saccaka pada §11.

392) MA menjelaskan “gambaran konsentrasi” (samādhinimittā) di sini sebagai buah pencapaian kekosongan (suññataphalasamāpatti). Baca juga MN 122.6.

393) Ini adalah pertanyaan yang awalnya ingin ditanyakan oleh Saccaka kepada Sang Buddha. MA menjelaskan bahwa walaupun para Arahant telah melenyapkan kelambanan dan ketumpulan, namun mereka masih perlu tidur untuk mengusir keletihan fisik yang menjadi sifat alami tubuh.

394) MA menjelaskan bahwa walaupun Saccaka tidak mencapai pencapaian apapun atau bahkan tidak menerima Tiga Perlindungan, namun Sang Buddha mengajarkan kepadanya dua sutta panjang untuk mengumpulkan dalam dirinya suatu kesan batin (vāsanā) yang akan matang di masa depan. Karena Beliau meramalkan bahwa kelak, setelah Ajaran berkembang di Sri Lanka, Saccaka akan terlahir kembali di sana dan akan mencapai Kearahatan sebagai seorang Arahant besar, Kāḷa Buddharakkhita Thera.


SUTTA 37

395) MA memperluas: “Secara singkat, sejauh apa Beliau mengatakan sebagai kebebasan dalam hancurnya keinginan, yaitu, dalam Nibbāna, hencurnya keinginan melalui keterbebasan pikiran [yang muncul] dengan menggunakannya [Nibbāna] sebagai obyek. Ajarkanlah aku secara singkat praktik awal dari para bhikkhu Arahant yang dengannya ia terbebaskan dalam hancurnya keinginan.”

396) MA menjelaskan paragraf ini sebagai berikut: “Segala sesuatu” (sabbe dhammā) adalah lima kelompok unsur kehidupan, dua belas landasan, delapan belas unsur. Ini adalah “tidak layak dilekati” melalui keinginan dan pandangan karena pada kenyataannya terbukti berbeda dari caranya digenggam: digenggam sebagai kekal, menyenangkan, dan diri, namun ternyata tidak kekal, penderitaan, dan bukan diri. Ia “secara langsung mengetahui”nya dengan menyelidiknya dengan cara yang sama. “Merenungkan ketidak-kekalan,” dan seterusnya, dicapai dengan pengetahuan pandangan terang timbul dan tenggelam dan hancurnya dan lenyapnya. “Ia tidak melekat” pada bentukan apapun melalui keinginan dan pandangan, tidak menjadi terganggu karena keinginan, dan secara pribadi mencapai Nibbāna melalui padamnya semua kekotoran.

397) Nama kecil Sakka, berarti “burung hantu.”

398) Para dewa dan para raksasa (asura) digambarkan dalam Kanon Pali sebagai terus-menerus dalam kondisi saling berperang. Baca khususnya Sakkasaṁyutta (SN i.216-28).

399) Satu dari Empat Raja Dewa, penguasa para yakkha, kerajaannya berada di sebelah utara.

400) MA: Ia melakukan hal ini dengan cara masuk ke dalam meditasi pada kasiṇa-air dan kemudian berkehendak: “Semoga fondasi istana ini menjadi seperti air.”

401) Sakka dapat merujuk YM. Mahā Moggallāna sebagai seorang “teman dalam kehidupan suci” karena ia sendiri telah mencapai tingkat memasuki-arus (DN 21.2.10/ii.289) dan dengan demikian menjadi seorang siswa mulia yang pasti mencapai kebebasan yang sama yang telah dicapai oleh Mahā Moggallāna.


SUTTA 38

402) Menurut MA, melalui logika keliru berdasarkan fakta kelahiran, Sāti menyimpulkan bahwa kesadaran yang ada yang berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan lain adalah menjelaskan tentang kelahiran kembali. Bagian pertama dari sutta ini (hingga §8) mengulangi pembukaan MN 22, perbedaannya hanya pada pandangan yang menyertai.

403) Ini adalah yang terakhir dari enam pandangan yang digambarkan pada MN 2.8. Baca n.40.

404) MA: tujuan dari perumpamaan ini adalah untuk menunjukkan bahwa tidak ada perpindahan kesadaran pada pintu-pintu indria. Seperti halnya api kayu gelondongan yang membakar dengan bergantung pada kayu gelondongan dan padam ketika bahan bakarnya habis, tanpa berpindah ke kayu ranting dan dikenal sebagai api kayu ranting, demikian pula, kesadaran yang muncul pada pintu mata yang bergantung pada mata dan bentuk menjadi lenyap ketika kondisinya lenyap, tanpa berpindah ke telinga, dan seterusnya, dan menjadi dikenal sebagai kesadaran-telinga, dan seterusnya. Demikianlah Sang Buddha mengatakan yang intinya: “Dalam peristiwa kesadaran bahkan tidak ada perpindahan dari satu pintu ke pintu lain, jadi bagaimana mungkin Sāti sesat ini mengatakan perpindahan dari satu kehidupan ke kehidupan lain?”

405) Bhūtam idan ti. MA: “Ini” merujuk pada kelima kelompok unsur kehidupan. Setelah menunjukkan kondisionalitas kesadaran, Sang Buddha mengatakan paragraf ini untuk menunjukkan kondisionalitas seluruh lima kelompok unsur kehidupan, yang muncul karena kondisi, “makanan”nya, dan berlalu dengan lenyapnya kondisi tersebut. Dalam tadāhārasambhavaṁ berikutnya, MA menganggap tad sebagai suatu bentuk nominatif yang mewakili subyek (= taṁ khandhapañcakaṁ), tetapi seprtinya lebih mungkin bahwa ini berarti āhāra dan keduanya harus dianggap sebagai bentuk ablatif, subyek idaṁ dipahami. Interpretasi ini sepertinya ditegaskan oleh pernyataan ke tiga. Terjemahan Horner “Ini adalah asal-mula makanan” jelas salah.

406) Ini dikatakan untuk menunjukkan kepada para bhikkhu bahwa mereka tidak boleh melekat pada bahkan pandangan benar dari meditasi pandangan terang. Perumpamaan rakit merujuk pada MN 22.13.

407) Tentang empat makanan, baca n.120. MA: Sang Buddha mengatakan paragraf ini dan paragraf berikutnya menghubungkan makanan dengan sebab akibat yang saling bergantungan untuk menunjukkan bahwa Beliau mengetahui bukan hanya kelima kelompok unsur kehidupan tetapi juga keseluruhan rangkaian kondisi yang bertanggung jawab atas penjelmaan.

408) Ini adalah pernyataan prinsip abstrak dari sebab-akibat yang saling bergantungan yang ditunjukkan oleh dua belas formula. Prinsip abstrak tentang lenyapnya tercantum pada §22. Ñm menerjemahkan munculnya sebagai berikut:”Itu ada jika ini ada; itu muncul dengan munculnya ini.” Dan prinsip lenyapnya: “Itu tidak ada jika ini tidak ada; itu lenyap dengan lenyapnya ini.”

409) Tulisan terbaik adalah dari SBJ: samaṇavacanena ca mayaṁ. Ñm jelas menerjemahkan dari PTS samaṇā ca na ca mayaṁ dan dengan demikian menerjemahkannya menjadi, “dan demikian pula dengan para bhikkhu [lainnya], tetapi kami tidak mengatakan demikian.” “Petapa itu” adalah Sang Buddha.
410) Bagian berikutnya dari khotbah ini dapat dipahami sebagi penerapan konkrit dari sebab akibat yang saling bergantungan – sejauh ini hanya diungkapkan sebagai formula doktrin – pada perjalanan kehidupan individu. Paragraf §§26-29 dapat dipahami sebagai untuk menunjukkan faktor-faktor dari kesadaran hingga perasaan yang dihasilkan dari kebodohan dan bentukan-bentukan masa lampau, §40 menunjukkan faktor sebab-akibat dari keinginan dan kemelekatan ketika membangun keberlangsungan lingkaran saṁsāra. Bagian berikutnya (§§31-40), menghubungkan sebab-akibat yang saling bergantungan dengan munculnya Sang Buddha dan ajaran Dhamma, menunjukkan praktik Dhamma sebagai alat untuk mengakhiri lingkaran.

411) MA: gandhabba adalah makhluk yang dimaksudkan di sana. Ini bukan seseorang (yaitu, makhluk tanpa jasmani) yang berdiri di dekat sana melihat calon orangtuanya melakukan hubungan seksual, melainkan makhluk yang didorong oleh mekanisme kamma, yang terlahir kembali pada saat itu.

Arti yang tepat dari kata gandhabba sehubungan dengan proses kelahiran kembali tidak dijelaskan dalam Nikāya, dan kata dalam makna ini hanya muncul di sini dan dalam 93.18. DN 15/ii.63 menjelaskan tentang kesadaran sebagai “masuk ke dalam rahim ibu,” ini menjadi kondisi bagi terjadinya kelahiran kembali. Demikianlah kita dapat mengidentifikasikan gandhabba  di sini sebagai arus kesadaran, yang dianggap secara lebih animistik sebagai datang dari kehidupan sebelumnya dan membawa akumulasi total dan kecenderungan kamma dan ciri pribadi. Pembahasan lengkap atas konsep gandhabba ini terdapat pada Wijesekera, “Vedic Gandharva and Pali Gandhabba,” dalam Buddhist and Vedic Studies, pp.191-202.

412) MA menjelaskan bahwa ia bergembira dalam perasaan menyakitkan dengan melekatinya dengan pikiran “aku” dan “milikku.” Dalam mengkonfirmasi pernyataan bahwa kaum duniawi mungkin bergembira dalam perasaan menyakitkan, seseorang berpikir bukan hanya suatu sifat menyenangi siksaan, tetapi juga kecenderungan umum dari orang-orang untuk menempatkan diri mereka dalam situasi menderita untuk memperkuat ego mereka.

413) MA: suatu pikiran yang tanpa batas (appamāṇacetaso) adalah pikiran lokuttara; ini berarti bahwa ia memiliki sang jalan.

414) Pernyatan ini mengungkapkan bahwa rantai sebab-akibat yang saling bergantungan putus pada mata rantai antara perasaan dan keinginan. Perasaan muncul karena jasmani yang diperoleh melalui keinginan masa lampau tunduk pada kematangan kamma lampau. Akan tetapi, jika seseorang tidak bergembira dalam perasaan, maka keinginan tidak akan berkesempatan untuk muncul dan memicu reaksi senang dan tidak senang yang menghasilkan bahan bakar lebih banyak bagi lingkaran, dan dengan demikian lingkaran akan berakhir.

Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
Post by: Indra on 18 October 2010, 02:08:26 PM

SUTTA 39

415) “Brahmana” harus dipahami dalam makna seperti yang dijelaskan di bawah, §24.

416) Rasa malu (hiri) dan takut akan pelanggaran (ottappa) adalah dua kualitas pelengkap yang oleh Sang Buddha disebut “penjaga dunia” (AN i.51) karena kedua itu berfungsi sebagai landasan moralitas. Rasa malu memiliki karakteristik muak pada kejahatan, dikuasai oleh rasa hormat pada diri sendiri, dan bermanifestasi sebagai kehati-hatian. Takut akan pelanggaran memiliki karakteristik takut pada kejahatan, dikuasai oleh kepedulian pada pendapat orang lain, dan bermanifestasi sebagai ketakutan dalam melakukan kejahatan. Baca Vsm XIV, 142.

417) MA mengutip SN 45:35-36/v.25: “Apakah, para bhikkhu, pertapaan (sāmañña)? Jalan Mulia Berunsur Delapan ... – ini disebut pertapaan. Dan apakah, para bhikkhu, tujuan pertapaan (sāmaññattho)? Hancurnya keserakahan, kebencian, dan kebodohan – ini disebut tujuan pertapaan.”

418) MA memberikan penjelasan terperinci atas masing-masing dari lima perumpamaan ini. Suatu terjemahan berbahasa Inggris terdapat dalam Nyanaponika Thera, The Five Mental Hindrances, pp.27-34.

419) Masing-masing penjelasan berikutnya melibatkan permainan kata yang tidak dapat diungkapkan dalam Bahasa Inggris, misalnya, seorang bhikkhu adalah seorang petapa (samaṇa) karena ia telah menenangkan (samita) kondisi-kondisi kejahatan, seorang brahmana karena ia telah menyingkirkan (bāhita) kondisi-kondisi kejahatan, dan sebagainya.

420) Kata “mencuci” (nhātaka) merujuk pada seorang brahmana yang, pada akhir pelajarannya di bawah seorang guru, telah melakukan upacara mandi yang menandai akhir latihannya. Baca Sn 521.

421) Kata Pali Sotthiya (Skt, srotiya) berarti seorang brahmana yang ahli dalam Veda, seorang yang menguasai pengetahuan suci.


SUTTA 40

422) Sementara sutta sebelumnya menggunakan frasa “hal-hal yang membuat seseorang menjadi seorang petapa” (dhammā samaṇakaraṇā),  di sini sutta ini mengatakan “jalan selayaknya bagi petapa” (samaṇasamīcipaṭipada).

423) Sepuluh pertama dari dua belas “noda bagi seorang petapa” ini termasuk di antara enam belas “ketidak-sempurnaan yang mengotori batin” pada MN 7.3.

424) MA: Karena ia telah menenangkan (samita) segala kekotoran, maka ia adalah seorang petapa dalam makna tertinggi (paramatthasamaṇa).


SUTTA 41

425) Ini adalah pandangan nihilis materialis bermoral yang menyangkal adanya kehidupan setelah kematian dan pembalasan kamma. “Tidak ada yang diberikan” berarti tidak ada buah dari pemberian; “tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain” bahwa tidak ada kelahiran kembali ke dunia ini atau dunia setelahnya; “tidak ada ibu, tidak ada ayah” bahwa tidak ada buah perbuatan baik dan perbuatan buruk pada ibu dan ayah. Pernyataan tentang para petapa dan brahnana menyangkal keberadaan para Buddha dan Arahant.

426) MA menjelaskan bahwa “para dewa dengan Cahaya” bukanlah para dewa dari kelompok tersendiri melainkan nama kolektif bagi ketiga kelompok berikutnya; hal yang sama berlaku pada “para dewa dengan Keagungan.” Tingkatan surga ini dijelaskan dalam Pendahuluan, pp.46-48.

427) Harus dipahami bahwa sementara “perilaku yang sesuai dengan Dhamma” digambarkan dalam sutta sebgai kondisi yang diperlukan untuk kelahiran kembali di alam surga dan untuk hancurnya noda-noda, namun ini bukan kondisi satu-satunya. Kelahiran kembali di alam yang dimulai dengan para pengikut kelompok Brahmā menuntut pencapaian jhāna, kelahiran kembali di Alam Murni (lima alam yang dimulai dari para dewa Avihā) menuntut pencapaian tingkat kesucian yang-tidak-kembali, kelahiran kembali di alam tanpa-bentuk materi menuntut pencapaian yang bersesuaian dengan tingkat pencapaian tanpa materi, dan hancurnya noda-noda menuntut praktik penuh dari Jalan Mulia Berunsur Delapan hingga jalan Kearahatan.


SUTTA 43

428) YM. Mahā Koṭṭhita dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai siswa terunggul di antara para siswa yang telah mencapai pengetahuan analitis (paṭisambhida).

429) Menurut MA, pemahaman Empat Kebenaran Mulia yang dibahas di sini adalah penembusan jalan lokuttara. Dengan demikian jenis individu terendah yang digambarkan sebagai “seorang yang bijaksana” (paññavā) adalah seorang yang telah mencapai jalan memasuki-arus. Terjemahan paññā sebagai “kebijaksanaan” (yang saya gantikan dari “pemahaman” versi Ñm) memiliki kelemahan karena memutuskan keterkaitan, terbukti dalam Pali, dengan kata kerja pajānāti. Untuk mempertahankan keterkaitan ini, di sini dan dalam pragraf sebelumnya, kata kerja ini diterjemahkan “dengan bijaksana memahami.”

430) Frasa Pali yang mendefinisikan kesadaran hanya menggunakan kata kerja, vijānāti vijānāti,  dan ini juga dapat dipahami sebagai bermakna”Seseorang mengenali, seseorang mengenali.” Walaupun Ñm menerjemahkan frasa ini tanpa kata ganti orang, namun kata ganti orang disisipkan demi kemudahan pemahaman. Terjemahan kata kerja perasaan dan persepsi pada §7 dan §8 juga ditambahkan dengan cara serupa dengan menambahkan kata ganti orang.

431) MA: Pertanyaan sehubungan dengan kesadaran yang dengannya seseorang digambarkan sebagai “seorang yang bijaksana” memeriksa bentukan-bentukan; yaitu, kesadaran pandangan terang yang dengannya orang itu sampai (pada pencapaiannya, pikiran yang melakukan pekerjaan meditasi. YM. Sāriputta menjawab dengan menjelaskan subyek meditasi perasaan, jawabannya akhirnya sampai pada yang terkandung dalam Khotbah tentang Empat Landasan Perhatian (MN 10.32). Konstruksi Pali, sukhan ti pi vijānāti, menunjukkan bahwa perasaan diperlakukan lebih sebagai obyek langsung kesadaran daripada pengaruh pengalaman; untuk menunjukkan hal ini kata “ini” dalam tanda kurung disisipkan dan keselruhan frasa dalam tanda petik.

432) MA: Pernyataan ini merujuk pada kebijaksanaan dan kesadaran pada peristiwa baik pandangan terang maupun jalan lokuttara. Kedua ini bergabung dalam hal bahwa keduanya muncul dan lenyap secara bersamaan dan saling berbagi landasan dan obyek indria tunggal yang sama. Akan tetapi, keduanya bukan tidak terpisahkan karena, sementara kebijaksanaan selalu memerlukan kesadaran, namun kesadaran dapat terjadi tanpa kebijaksanaan.

433) Kebijaksanaan, sebagai faktor jalan pandangan benar, harus dikembangkan sebagai satu faktor sang jalan. Kesadaran, karena termasuk di antara kelima kelompok unsur kehidupan yang berada dalam kebenaran mulia penderitaan, harus dipahami sepenuhnya – sebagai tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri.

434) MA mengatakan bahwa pertanyaan dan jawaban ini merujuk pada perasaan lokiya yang merupakan jangkauan obyek pandangan terang. Konstruksi Pali di sini, sukham pi vedeti, dan seterusnya, menunjukkan perasaan secara bersamaan sebagai suatu kualitas obyek dan sebagai pengalaman yang berpengaruh yang dengannya perasaan itu dipahami. MA menunjukkan bahwa perasaan itu sendiri merasakan; tidak ada perasa lainnya (yang terpisah).

435) MA: Pertanyaan dan jawaban ini merujuk pada persepsi lokiya yang merupakan jangkauan obyek pandangan terang.

436) MA: Kebijaksanan tidak termasuk dalam pertukaran ini karena tujuannya adalah menunjukkan hanya kondisi-kondisi yang tergabung dalam setiap peristiwa kesadaran.

437) MA: Kesadaran-pikiran yang dimurnikan (parisuddha manoviññāṇa) adalah kesadaran jhāna ke empat. Kesadaran ini mengetahui pencapaian tanpa-bentuk sejauh seseorang yang mencapai jhāna ke empat mampu menjangkaunya. Landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi tidak termasuk di sini, karena sangat halus, sehingga tidak berada dalam jangkauan perenungan untuk pencapaian pandangan terang.

438) MA: Mata kebijaksanaan (paññācakkhu) adalah kebijaksanaan itu sendiri, disebut mata dalam makna bahwa mata itu adalah suatu organ penglihatan spiritual.

439) Untuk perbedaan antara pengetahuan langsung (abhiññā) dan pemahaman penuh (pariññā), baca n.23.

440) MA: “Kata-kata orang lain” (purato ghosa) adalah ajaran Dhamma yang bermanfaat. Kedua kondisi ini adalah diperlukan bagi para siswa untuk sampai pada pandangan benar dari pandangan terang dan pandangan benar dari jalan lokuttara. Tetapi para Pacceka Buddha dan para Buddha yang tercerahkan sempurna dan maha tahu hanya bergantung pada perhatian bijaksana tanpa “kata-kata orang lain.”

441) MA: Pandangan benar di sini adalah pandangan benar yang berhubungan dengan jalan Kearahatan. “Kebebasan pikiran” dan kebebasan melalui kebijaksanaan” keduanya merujuk pada buah Kearahatan’ baca n.83. ketika seseorang memenuhi lima faktor ini, maka jalan Kearahatan muncul dan menghasilkan buah.

442) “Penjelmaan baru di masa depan” (āyatiṁ punabbhavābhinibbatti) adalah kelahiran kembali, kelanjutan dalam lingkaran. Pertanyaan ini dan yang berikutnya dapat dianggap sebagai ringkasan yang mendekati keseluruhan dua belas formula sebab-akibat yang saling bergantungan yang dibabarkan pada MN 38.17 dan 20.

443) Kelima organ indria luar masing-masing memiliki obyeknya masing-masing – bentuk-bentuk untuk mata, suara-suara untuk telinga, dan seterusnya – tetapi organ pikiran mampu menembus obyek-obyek dari kelima organ indria serta obyek-obyek pikiran yang khusus untuk organ pikiran. Karenanya kelima organ indria lainnya memiliki pikiran sebagai penentunya.

444) MA mengidentifikasikan vitalitas (āyu) sebagai indria kehidupan (jivitindriya), yang berfungsi memelihara dan menghidupkan fenomena materi lainnya dari jasmani hidup.

445) Panas (usmā) adalah panas yang dihasilkan oleh kamma yang terdapat dalam jasmani hidup.

446) “Bentukan-bentukan vital” (āyusankhāra), menurut MA, menunjukkan vitalitas itu sendiri. Bentukan-bentukan vital bukan kondisi-kondisi perasaan karena diperlukan untuk mempertahankan jasmani seorang bhikkhu agar tetap hidup ketika ia mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan. Pencapaian meditatif khusus ini, yang mana semua aktivitas batin berhenti, hanya dapat dilakukan oleh para yang-tidak-kembali dan para Arahant yang telah menguasai delapan pencapaian pada bidang ketenangan. Untuk pembahasan singkat baca Pendahuluan, p.41, dan untuk pembahasan lengkap, baca Vsm XXIII, 16-52. Lenyapnya persepsi dan perasaan akan diangkat lagi dalam MN 44.

447) Yaitu, mati. Perginya kesadaran dari jasmani tidak cukup untuk menjadi mati; vitalitas dan panas vital juga harus musnah.

448) Bentukan-bentukan jasmani adalah nafas masuk dan nafas keluar, bentukan-bentukan ucapan adalah awal pikiran dan kelangsungan pikiran, bentukan-bentukan pikiran adalah persepsi dan perasaan – baca MN 44.14-15. MA mengatakan bahwa indria-indria sepanjang perjalanan kehidupan normal, karena berhubungan dengan obyek-obyek indria, menjadi menderita dan kotor bagaikan sebuah cermin yang diletakkan di persimpangan jalan; tetapi indria-indria dari seseorang yang berada dalam lenyapnya menjadi sangat jernih bagaikan cermin yang diletakkan dalam kotak dan disimpan dalam peti.

449) MA: “Kebebasan pikiran tanpa gambaran” (animittā cetovimutti) adalah pencapaian buah; “gambaran” adalah obyek-obyek seperti bentuk-bentukm dan seterusnya; “unsur tanpa gambaran” adalah Nibbāna, yang mana semua gambaran dari segala sesuatu yang terkondisi tidak ada.

450) MA mengidentifikasikan suññatā cetovimutti ini sebagai pandangan terang ke dalam kekosongan akan diri dalam orang-orang dan benda-benda.

451) Seperti di atas, kebebasan pikiran tanpa gambaran diidentifikasikan oleh MA sebagai pencapaian buah. Dari empat kebebasan pikiran yang disebutkan dalam §30, hanya satu ini yang lokuttara. Tiga pertama – brahmavihāra, tiga pencapaian tenpa bentuk, dan pandangan terang ke dalam kekosongan bentukan-bentukan – semuanya adalah pada tingkat lokiya.

452) Nafsu, kebencian, dan kebodohan dapat dipahami sebagai “pembuat penilaian” (pamāṇakaraṇa) dalam hal bahwa ketiga itu memberikan batasan pada jangkauan dan kedalaman pikiran; akan tetapi, MA menjelaskan frasa ini bermakna bahwa kekotoran memungkinkan seseorang menilai seseorang sebagai kaum duniawi, seorang pemasuk-arus, seorang yang-kembali-sekali, atau seorang yang-tidak-kembali.

453) MA: Terdapat dua belas kebebasan pikiran yang tanpa batas: empat brahmavihāra,  empat jalan, dan empat buah. Kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan adalah buah Kearahatan. Pernyataan bahwa kebebasan yang tidak tergoyahkan ini hampa dari nafsu, kebencian, dan kebodohan – yang juga diulangi di akhir §36 dan §37 – juga mengidentifikasikannya sebagai kebebasan pikiran lokuttara melalui kehampaan.

454) Kata kiñcana dijelaskan oleh MA sebagai bermakna “kesukaran” atau “rintangan.” Ñm menerjemahkannya sebagai “kepemilikan.” Saya kembali pada makna asalnya “sesuatu hal” untuk mempertahankan hubungan dengan pernyataan yang pelepasannya berakhir pada kebebasan pikiran melalui kehampaan.

455) MA: Ada Sembilan kebebasan pikiran melalui kekosongan: landasan kekosongam dan empat jalan dan buah.

456) MA menginterpretasikan frasa “pembuat gambaran” (nimittakaraṇa) sebagai bermakna bahwa nafsu, kebencian, dan kebodohan menandai seseorang sebagai seorang duniawi atau seorang mulia, sebagai penuh nafsu, kebencian, atau kebodohan. Tetapi juga dapat bermakna bahwa kekotoran-kekotoran ini menyebabkan pikiran menganggap makna palsu pada segala sesuatu sebagai kekal, menyenangkan, diri, atau indah.

457) MA: Ada tiga belas kebebasan pikiran tanpa gambaran: pandangan terang, karena melenyapkan gambaran kekekalan, menyenangkan, dan diri; empat pencapaian tanpa materi, karena tidak memiliki gambaran bentuk materi; dan empat jalan dan buah, karena tidak adanya gambaran kekotoran.

458) Semua empat kebebasan pikiran adalah bermakna sama dalam hal bahwa semuanya merujuk pada buah pencapaian Kearahatan. MA juga menunjukkan bahwa empat kebebasan ini adalah bermakna sama karena kata-kata – yang tanpa batas, kekosongan, kehampaan, dan tanpa gambaran – semuanya adalah sebutan bagi Nibbāna, yang merupakan obyek dari buah pencapaian Kearahatan.
Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
Post by: Indra on 18 October 2010, 02:10:31 PM
SUTTA 44

459) Visakha adalah seorang pedagang kaya dari Rājagaha dan seorang yang-tidak-kembali. Dhammadinnā, mantan istrinya dalam kehidupan awam, telah mencapai Kearahatan segera setelah penahbisannya sebagai seorang bhikkhunī. Ia dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai bhikkhunī terunggul dalam hal membabarkan Dhamma.

460) MA menjelaskan kata majemuk panc’ upādānakkhandhā  sebagai kelima kelompok unsur kehidupan yang menjadi kondisi bagi kemelekatan (MṬ: sebagai obyeknya). Karena kelima kelompok unsur kehidupan ini, singkatnya, adalah keseluruhan kebenaran mulia penderitaan (MN 9.15; 28.3), terlihat bahwa empat pertanyaan pertama mengajukan penyelidikan ke dalam Empat Kebenaran Mulia yang diungkapkan dalam kata identitas pribadi, bukan penderitaan.

461) MA: Karena kemelekatan adalah hanya satu bagian dari kelompok bentukan-bentukan (seperti didefinisikan di sini, keserakahan), maka ini tidak sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan; dan karena kemelekatan tidak dapat terpisahkan sama sekali dari kelompok-kelompok unsur kehidupan, maka tidak ada kemelekatan yang terpisah dari kelompok-kelompok unsur kehidupan.

462) Ini adalah dua puluh jenis pandangan identitas. MA mengutip Pṭs i.144-45 untuk mengilustrasikan empat modus dasar pandangan identitas sehubungan dengan bentuk materi. Seseorang mungkin menganggap bentuk materi sebagai diri., dengan cara yang sama api dari lampu minyak yang menyala adalah identik dengan warna (api tersebut). Atau seseorang mungkin menganggap diri sebagai memiliki bentuk materi, seperti pohon memiliki bayangan; atau seseorang mungkin menganggap bentuk materi sebagai di dalam diri, bagaikan aroma terdapat dalam bunga; atau seseorang mungkin menganggap diri sebagai di dalam bentuk materi, bagaikan permata di dalam kotaknya.

463) Kata khandha di sini memiliki makna berbeda dari konteks yang lebih umum dari kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Kata itu di sini merujuk pada batang tubuh prinsip latihan, ketiga kelompok Jalan Mulia Berunsur Delapan dalam moralitas (sīla), konsentrasi (samādhi),  dan kebijaksanaan (paññā).

464) Empat landasan perhatian adalah landasan konsentrasi (samādhinimitta) dalam makna kondisinya (MA). Di sini sepertinya tidak tepat menerjemahkan nimitta sebagai “gambaran,” dalam makna tanda-tanda yang jelas terlihat atau obyek. Empat jenis usaha benar dijelaskan pada MN 77.16

465) MA: Dhammadinnā mengantisipasi niat Vishākha untuk menanyakan tentang bentukan-bentukan yang lenyap ketika seseorang masuk ke dalam pencapaian lenyapnya. Dengan demikian ia menjelaskan ketiga bentukan dengan cara ini bukan sebagai kehendak jasmani, ucapan, dan pikiran yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, makna yang relevan dalam konteks sebab-akibat yang saling bergantungan.

466) MA menjelaskan lebih jauh bahwa bentukan jasmani dan bentukan pikiran dikatakan sebagai bentukan-bentukan “yang terikat” dengan jasmani dan pikiran dalam makna bahwa kedua bentukan itu dibentuk oleh jasmani dan oleh pikiran, sedangkan bentukan ucapan adalah bentukan dalam makna bahwa bentukan itu membentuk ucapan. Bentuk kata kerja vitakketvā vicāretvā telah diterjemahkan dengan cara yang mempertahankan konsistensi dengan terjemahan kata benda vitakka dan vicāra sebagai “awal pikiran” dan “kelangsungan pikiran.”

467) Lenyapnya dapat dicapai hanya oleh seorang yang-tidak-kembali atau seorang Arahant yang menguasai delapan pencapaian jhāna. Meditator memasuki tiap-tiap pencapaian berturut-turut, keluar dari sana, dan merenungkannya dengan pandangan terang sebagai tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri. Setelah menyelesaikan prosedur ini melalui landasan kekosongan, ia melakukan tugas-tugas persiapan tertentu, dan kemudian bertekad untuk tanpa pikiran selama jangka waktu tertentu. Kemudian ia secara cepat memasuki landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, setelahnya pikiran dan fungsi-fungsi pikiran lenyap sama sekali. Demikianlah tekadnya, didukung oleh pencapaian dan persiapan sebelumnya, menuntunnya menuju pencapaian lenyapnya. Baca Vsm XXIII, 32-43.

468) Awal pikiran dan kelangsungan pikiran lenyap pertama kali dalam jhāna ke dua; nafas masuk dan nafas keluar lenyap berikutnya dalam jhāna ke empat; dan persepsi dan perasaan lenyap dalam pencapaian terakhir, yaitu pencapaian lenyapnya itu sendiri.

469) Ketika waktu yang ditentukan oleh tekad untuk pencapaian itu telah berlalu, berdasarkan pada tekad sebelumnya itu sang meditator secara spontan keluar dari pencapaian lenyapnya itu dan proses-pikiran berlanjut.

470) MA: Ketika seseorang keluar dari lenyapnya, kesadaran buah pencapaian muncul pertama kali, dan persepsi dan perasaan yang berhubungan dengan itu adalah bentukan pikiran yang muncul pertama kali. Kemudian, dengan secara berurutan turun ke dalam rangkaian kehidupan, bentukan jasmani, yaitu pernafasan, dimulai kembali. Dan selanjutnya, ketika meditator melanjutkan aktivitas normalnya, bentukan ucapan muncul.

471) Kondisi kesadaran pertama yang muncul ketika keluar dari lenyapnya adalah kesadaran buah pencapaian, yang disebut kehampaan, tanpa gambaran, dan tanpa keinginan karena kualitas mendasarnya dan karena obyeknya, Nibbāna. Di sini ketiga sebutan bagi buah ini adalah sebutan bagi kontak yang berhubungan dengan buah.

472) MṬ: Nibbāna, obyek kesadaran buah yang muncul ketika keluar dari lenyapnya, disebut keterasingan (viveka) karena terasing dari segala hal-hal yang terkondisi.

473) MṬ: ketiga kekotoran ini disebut anusaya, kecenderungan tersembunyi, dalam makna bahwa kekotoran-kekotoran ini belum ditinggalkan dalam rangkaian kehidupan dari mana kekotoran itu berasal dan karena kekotoran-kekotoran itu dapat muncul ketika suatu sebab yang sesuai muncul.

474) MA menjelaskan bahwA bhikkhu itu menekan kecenderungan padA nafsu dan mencapai jhāna pertanma. Setelah dengan baik menekan kecenderungan pada nafsu dengan jhāna, ia mengembangkan pandangan terang dan melenyapkan kecenderungan pada nafsu dengan jalan yang-tidak-kembali. Tetapi karena telah ditekan oleh jhāna, maka dikatakan “kecenderungan tersembunyi pada nafsu tidak mendasari itu.”

475) MA mengidentifikasikan “landasan itu” (tadāyatana) serta “kebebasan tertinggi,” sebagai Kearahatan. Kesedihan yang muncul karena kerinduan itu di tempat lain disebut “kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian” (MN 137.13). MA menjelaskan bahwa seseorang tidak benar-benar meninggalkan kecenderungan pada kebencian dengan kesedihan itu; sebaliknya, terdorong oleh kerinduan akan kebebasan tertinggi itu, ia menjalankan praktik dengan tekad teguh dan melenyapkan kecenderungan pada kebencian dengan mencapai jalan yang-tidak-kembali.

476) MA: Bhikkhu itu menekan kecenderungan pada kebodohan dengan jhāna ke empat, menekannya dengan baik, dan kemudian melenyapkan kecenderungan pada kebodohan dengan mencapai jalan Kearahatan.

477) Kata “pasangan” (paṭibhāga) digunakan untuk mengungkapkan hubungan baik hubungan perlawanan maupun hubungan yang menguatkan.

478) Kebodohan adalah pasangannya karena perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-bukan-menyenangkan adalah halus dan sulit dikenali.

479) MṬ: Nibbāna juga memiliki pasangan yang berlawanan, yaitu, kondisi-kondisi yang terkondisi. Tetapi dalam makna sesungguhnya Nibbāna tidak memiliki pasangan yang menguatkan, karena bagaimana mungkin ada yang dapat memperkuat Nibbāna, yang tidak terkondisi?

480) MA: Dengan mengatakan ini, Sang Buddha menjadikan sutta ini sebagai Kata Sang penakluk, mensahkannya dengan stempel Penakluk.


SUTTA 46

481) Analisa lengkap terhadap hal-hal yang seharusnya diikuti dan seharusnya tidak diikuti disajikan dalam
MN 114.


SUTTA 47

482) Parassa cetopariyāyaṁ ajānantena, kata terakhir lebih mengikuti BBS dan SBJ daripada PTS sebagai ājānantena, yang memberikan makna positif “mengetahui.” Dalam konteks ini jelas dibutuhkan makna negatif, karena bhikkhu yang tidak mengetahui pikiran Sang Buddha melalui pengenalan langsung bahwa Beliau tercerahkan sempurna harus sampai pada kesimpulan ini melalui kesimpulan yang ditarik dari perilaku jasmani dan ucapan dan bukti-bukti lainnya yang dijelaskan oleh sutta.

483) Perbuatan-perbuatan jasmani adalah “kondisi-kondisi yang dikenali melalui mata.” Kata-kata adalah “kondisi-kondisi yang dikenali melalui telinga.” MA: Seperti halnya seseorang menyimpulkan adanya ikan dari riakan dan gelembung air, demikian pula dari perbuatan atau ucapan kotor seseorang menyimpulkan bahwa pikiran yang berasal dari orang itu juga kotor.

484) MṬ: “Kondis-kondisi campuran” (vittimisā dhammā) merujuk pada perilaku seseorang yang menjalani pemurnian perilaku tetapi tidak mampu mempertahankannya secara konsisten. Kadang-kadang perilakunya murni atau cerah, kadang-kadang tidak murni atau gelap.

485) MA: Bahayanya adalah keangkuhan, kesombongan, dan sebagainya. Bagi beberapa bhikkhu, selama mereka belum menjadi terkenal atau memiliki pengikut, maka bahaya ini tidak ada, dan mereka sangat tenang; tetapi ketika mereka telah menjadi terkenal dan memiliki pengikut, mereka bepergian dengan berperilaku tidak selayaknya, menyerang para bhikkhu lain bagaikan seekor macan menerkam sekumpulan rusa.

486) MA: Lawan dari mereka yang mengajar suatu kelompok – mereka yang berdiam terlepas dari suatu kelompok – walaupun tidak disebutkan, harus dipahami juga.

487) MA: Paragraf ini menunjukkan sifat Sang Buddha yang tidak-membeda-bedakan (tādibhāva) terhadap makhluk-makhluk: Beliau tidak memuji seseorang dan menghina orang lain.

488) No ca tena tammayo. MA mengemas: “Aku tidak mengidentifikasikan sebagai moralitas murni tersebut, Aku adalah tanpa keinginan terhadap itu.”

489) So tasmiṁ dhamme abhiññāya idh’ ekaccaṁ dhammaṁ dhammesu niṭṭhaṁ gacchati. Untuk menyampaikan makna yang dimaksudkan saya menerjemahkan kata dhamma yang ke dua di sini sebagai “ajaran,” yaitu, doktrin tertentu yang diajarkan kepadanya, bentuk jamak dhammesu sebagai “ajaran-ajaran,” dan tasmiṁ dhamme sabagai “Dhamma itu,” dalam makna keseluruhan ajaran. MA dan MṬ sama-sama menjelaskan maknanya sebagai berikut: Ketika Dhamma telah diajarkan oleh Sang Guru, dengan secara langsung mengetahui Dhamma melalui penembusan sang jalan, buah, dan Nibbāna, bhikkhu itu sampai pada kesimpulan tentang ajaran awal dari Dhamma tentang bantuan-bantuan menuju pencerahan (bnodhipakkhiyā dhammā).

490) Ākāravati saddhā dassanamūlikā daḷhā. Frasa ini merujuk pada keyakinan seorang pemasuk-arus yang telah melihat Dhamma melalui jalan lokuttara dan tidak akan pernah berpaling pada guru lain selain Sang Buddha.


SUTTA 48

491) Latar belakang sutta ini adalah pertengkaran di Kosambi, yang diceritakan dalam Vin Mv Kh 10 (Vin i.337 ff.) dan dalam Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, pp.109-19. Pertengkaran ini, yang dimulai dengan kesalah-pahaman biasa pada aturan-aturan disiplin minor dengan cepat berkembang dan membagi Sangha dan umat awam penduduk Kosambi dalam dua kelompok yang saling bermusuhan.

492) Cha dhammā sārāṇiyā. Ñm menerjemahkan ungkapan ini “enam kualitas yang harus diingat,” yang diadopsi dalam edisi pertama. Dalam buku ini ia mengikuti komentar, yang mengemas frasa itu, “layak diingat; jangan dilupakan bahkan dengan berlalunya waktu” (saritabbayuttā addhāne atikkante pi na pamusitabbā). Akan tetapi, turunan yang benar, seperti catatan PED, adalah dari Skt saṁrañjaniya, “menyebabkan kegembiraan.”

493) MA: Ini adalah pandangan benar yang menjadi milik jalan mulia.

494) Empat Kebenaran Mulia.

495) Dhammatā.

496) Ini adalah pelanggaran aturan disiplin monastik yang dari sana seorang bhikkhu dapat direhabilitasi melalui sidang resmi Sangha atau dengan pengakuan kepada bhikkhu lain. Walaupun seorang siswa mulia mungkin melakukan pelanggaran demikian secara tidak sengaja atau karena tidak tahu, namun ia tidak berusaha untuk menyembunyikannya namun segera mengungkapkannya dan mencari cara untuk mendapatkan rehabilitasi.

497) Baca n.91.

498) MA menyebut ketujuh faktor itu “pengetahuan peninjauan besar” (mahāpaccavekkhaṇañāṇa) dari seorang pemasuk-arus. Mengenai pengetahuan peninjauan ini, baca Vsm XXII, 19-21.

Title: Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
Post by: Indra on 18 October 2010, 02:13:44 PM


SUTTA 49

499) Mūlapariyāya Sutta (MN 1) juga dibabarkan oleh Sang Buddha sewaktu Beliau sedang menetap di Hutan Subhaga di Ukkaṭṭhā, dan kemiripan dalam formula dan tema antara kedua sutta ini – mungkin hanya dua yang tercatat sebagai berasal dari Ukkaṭṭhā – sangat menonjol. Bahkan mungkin untuk melihat sutta yang sekarang ini sebagai representasi dramatis dari gagasan yang sama seperi yang disampaikan oleh Mūlapariyāya dalam kata-kata ringkas dan filosofis. Demikianlah Brahmā Baka dapat dianggap sebagai mewakili penjelmaan (bhava) atau personalitas (sakkāya) dalam bentuk yang paling menonjol, yang secara menbuta terlibat dalam aktivitas menganggap (maññanā), memelihara dirinya dengan kebodohan akan kekekalan, kesenangan, dan ke-diri-an. Penjelmaan yang mendasari adalah keinginan, dilambangkan oleh Māra – tampak kurang menonjol dalam kumpulan itu, namun merupakan pencipta sebenarnya dari curahan penganggapan, seorang yang mencengkeram keseluruhan alam semesta dalam genggamannya. Persekutuan Brahmā dan Māra, Tuhan dan Setan, persekutuan yang tidak masuk akal dari perspektif Theisme Barat, menunjukkan kehausan pada kelanjutan penjelmaan sebagai akar tersembunyi dari segala penegasan dunia, apakah theistik ataupun non-theistik. Dalam sutta ini kontes teoritis sepintas antara Baka dan Sang Buddha segera memberikan jalan pada konfrontasi lebih dalam antara Māra dan Sang Buddha – Māra sebagai keinginan yang menuntut penegasan penjelmaan, Yang Tercerahkan menunjukkan lenyapnya penjelmaan melalui tercabutnya kenikmatan.

500) Pertemuan serupa antara Sang Buddha dan Baka tercatat dalam SN 6:4/i.142-44, walaupun tanpa hiasan pertemuan ini dan dengan saling berbalas-balasan dalam syair. Menurut MA dan MṬ, ia menganut pandangan eternalis ini sehubungan dengan individu personalnya dan dunia di mana ia berada. Penyangkalannya atas “jalan membebaskan diri di luar” adalah penolakan atas alam jhāna yang lebih tinggi, sang jalan dan buah, dan Nibbāna, yang tidak ada satupun ia ketahui ada.

501) MA: Ketika Māra mengetahui bahwa Sang Buddha telah datang ke alam-Brahma, ia menjadi cemas bahwa para Brahmā dapat dikuasai oleh Dhamma dan membebaskan diri dari kekuasaannya; demikianlah ia mendesak Sang Buddha untuk tidak mengajarkan Dhamma.

502) MA: Karena mereka menganggapnya sebagai tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri.

503) MA: Dalam empat kondisi sengsara. Di sini, dan pada §10 dan §29, kata “jasmani” (kāya) digunakan dalam makna alam kehidupan.

504) MA: Mereka memujinya sebagai kekal, bertahan lama, abadi, dan seterusnya, dan bergembira di dalamnya melalui keinginan dan pandangan.

505) MA: di alam Brahma.

506) MA: Māra berniat untuk menunjukkan: “Jika engkau melakukan sesuai apa yang dikatakan oleh Brahmā tanpa melampaui kata-katanya, engkau juga akan bersinar dengan kemegahan dan keagungan yang sama seperti kelompok Brahmā ini.”

507) MA mengatakan bahwa dengan kedua kata pertama ia mencoba untuk membujuk Sang Buddha, dengan kedua kata berikutnya ia mengancam Beliau. “Menggenggam tanah” adalah melekatinya melalui keinginan, keangkuhan, dan pandangan. Daftar kategori di sini, walaupun singkat namun mengingatkan pada MN 1.

508) MA: Brahmā Baka adalah Brahma yang menguasai lebih dari seribu sistem-dunia, tetapi di atasnya terdapat para Brahmā yang menguasai lebih dari dua, tiga, empat, lima, sepuluh ribu dan seratus ribu sistem-dunia.

509) Jasmani dengan Cahaya Gemerlap adalah alam kelahiran kembali yang berhubungan dengan jhāna ke dua, sedangkan alam Brahmā Baka hanya berhubungan dengan jhāna pertama. Jasmani dengan Keagungan Gemilang dan jasmani dengan Buah Besar dalam paragraf berikutnya berhubungan dengan jhāna ke tiga dan ke empat.

510) Dalam Brahmajāla Sutta (DN 1.2.2-6/ii.17-19) Sang Buddha menunjukkan bagaimana Mahā Brahmā memunculkan kebodohan bahwa ia adalah Tuhan maha pencipta. Ketika dunia mulai terbentuk setelah suatu periode penghancuran, sesosok makhluk dengan jasa besar pertama kali terlahir kembali di alam Brahma yang baru terbentuk. Selanjutnya, makhluk-makhluk lain menyusul terlahir kembali di alam Brahma dan hal ini menyebabkan Mahā Brahmā beranggapan bahwa ia adalah pencipta dan pemimpin mereka. Baca Bodhi, The Discourse on the All-Embracing Net of Views, pp.69-70, 159-166.

511) Paragraf ini, paralel secara struktur dengan paragraf yang bersesuaian dari MN 1, adalah paragraf yang sulit. Kata kerja negaftif berbeda di antara ketiga edisi yang saya pelajari. PTS menuliskan nāhosi, BBS nāpahosiṁ, SBJ nāhosiṁ. Ñm lebih menyukai nāpahosiṁ, yang mana ia menganggapnya sebagai bentuk aorist dari pabbhavati, yang berari “menghasilkan, menjadikan.” Akan tetapi, adalah lebih mungkin, bahwa nāpahosiṁ harus dipecah hanya sebagai na + api + ahosiṁ. Dengan demikian maknanya tidak jauh berbeda antara BBS dan SBJ. MA mengemas: “Aku tidak menggenggam tanah melalui gangguan keinginan, keangkuhan, dan pandangan.” Ñm menerjemahkan ananubhūtaṁ sebagai “tidak serupa dengan.” Ini telah digantikan dengan “tidak menjadi bagian dari,” megikuti kemasan MA, “tidak terjangkau oleh tanah” dan MṬ: “sifatnya tidak sama dengan tanah.” MA mengatakan bahwa apa yang “tidak menjadi bagian dari tanah” adalah Nibbāna, yang terlepas dari segala yang terkondisi.

512) PTS pasti keliru dalam menghilangkan ti  disini yang menutup kutipan langsung; ini menyesatkan Horner dalam memperkirakan bahwa paragraf berikutnya adalah dari Baka dan bukan dari Sang Buddha (MLS 1:392). BBS dan SBJ mencantumkan ti. Baka sepertinya menyiratkan bahwa karena obyek pengetahuan Sang Buddha “tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan,” maka itu hanyalah sekadar konsepsi kosong.

513) Dalam edisi pertama, saya mempertahankan terjemahan Ñm pada kalimat-kalimat ini, yang tertulis:

   Kesadaran yang tidak terwujud,
   Juga tidak berhubungan dengan keterbatasan,
   Tidak mengaku makhluk sehubungan dengan keseluruhan.

Setelah merenungkan kembali, saya menganggap bahwa terjemahan ini jauh dari memuaskan dan dengan demikian di sini saya memberikan terjemahan saya. Kalimat-kalimat ini (yang juga muncul sebagai bagian dari syair lengkap dalam DN 11.85/i.223) telah menjadi tantangan selama bertahun-tahun bagi para terpelajar Buddhis, dan bahkan Acariya Buddhaghosa sepertinya terjebak di dalamnya. MA menganggap subyek kalimat ini adalah Nibbāna, yang disebut “kesadaran” (viññāṇaṁ) dalam makna bahwa “itu dapat dikenali” (vijānitabbaṁ). Turunan ini hamper tidak dapat diterima, karena tidak ada di manapun dalam Nikāya terdapat Nibbāna digambarkan sebagai kesadaran, juga tidak mungkin menurunkan suatu kata benda aktif dari kata kerja yang dibentuk dari kata benda. MA menjelaskan anidassanaṁ sebagai berarti tidak terlihat, “karena itu (Nibbāna) tidak muncul dalam jangkauan kesadaran-mata,” tetapi sekali lagi ini adalah suatu penjelasan hambar. Kata anidassana muncul pada MN 21.14 dalam penggambaran ruang kosong sebagai suatu media yang tidak tepat untuk menggambar; demikianlah gagasan ini sepertinya adalah sesuatu yang tidak berwujud.

MA memberikan tiga penjelasan atas sabbato pabhaṁ: (1) sepenuhnya memiliki kecerahan (pabbā); (2) memiliki penjelmaan (panbhūtaṁ) di mana-mana; dan (3) suatu penyeberangan (pabhaṁ) yang dapat dijangkau dari segala arah, yaitu, melalui satu dari tiga puluh delapan obyek meditasi. Hanya yang pertama dari ketiga ini yang sepertinya memiliki kecocokan linguistik. Ñm, dalam Ms, menjelaskan bahwa ia menganggap pabhaṁ sebagai kata kerja negatif dari pabhavati - apabhaṁ - awalan negatif meluruh dalam gabungan dengan sabbato: “Makna ini dapat dituliskan secara bebas dengan ‘tidak menyebutkan penjelmaan sehubungan dengan “keseluruhan,” atau ‘tidak menganggap “keseluruhan” bahwa itu ada atau tidak tidak ada dalam makna absolut.’” Tetapi jika kita menganggap pabhaṁ sebagai “bercahaya,” yang sepertinya lebih dapat dibenarkan, maka syair ini berhubungan dengan gagasan pikiran sebagai yang pada hakikatnya terang (pabhassaram idaṁ cittaṁ, AN i.10) dan juga menyiratkan cahaya kebijaksanaan (paññāpabhā), yang disebut cahaya terbaik (AN ii.139). saya memahami kesadaran ini adalah, bukan Nibbāna itu sendiri, tetapi kesadaran Arahant selama pengalaman meditatif Nibbāna. Sehubungan dengan hal ini, baca AN v.7-10,318-26. perhatikan bahwa pengalaman meditatif ini tidak mewujudkan fenomena terkondisi apapun dari dunia, dan dengan demikian dapat dengan benar digambarkan sebagai “tidak berwujud.”

514) Menghilangnya Sang Buddha sepertinya adalah suatu demonstrasi “visual” dari syairnya. Setelah mencabut kesenangan dalam penjelmaan, Beliau mampu menghilang dari pandangan Baka, representasi tertinggi dari penjelmaan dan kebenaran dunia. Tetapi Baka, karena terikat pada penjelmaan oleh kemelekatan, tidak mampu melampaui jangkauan pengetahuan Sang Buddha, yang melingkupi penjelmaan dan tanpa-penjelmaan pada saat yang sama pengetahuan itu melampaui penjelmaan dan tanpa-penjelmaan.

515) Ini adalah kecondongan yang sama yang muncul dalam pikiran Sang Buddha pada masa segera setelah pencerahannya – baca MN 26.19. Bandingkan juga dengan DN 16.3.34/ii.112 di mana Māra mencoba untuk membujuk Sang Buddha yang baru tercerahkan untuk segera meninggal dunia dengan damai.

516) Tādiso: yaitu, apakah Beliau mengajar atau tidak mengajar, Beliau tetap adalah Sang Tathāgata.

SUTTA 50

517) Nama ini berarti “Penjahat” atau “Yang Jahat.” Dalam konsep semesta Buddhis, posisi Māra, seperti halnya Mahā Brahmā, adalah posisi yang tetap yang dipegang oleh individu-individu berbeda sesuai dengan kamma mereka.

518) Kakusandha adalah Buddha pertama yang muncul dalam siklus kosmis yang sekarang ini yang disebut “masa keberuntungan.” Beliau diikuti oleh Buddha Konagamaṇa dan Kassapa, dan setelahnya adalah kemunculan Buddha Gotama yang sekarang ini.

519) Nama ini berarti “Yang tanpa banding.”

520) Seorang yang telah mencapai lenyapnya, sepertinya, tidak akan mengalami luka atau kematian di dalam pencapaian itu sendiri. Pada Vsm XXIII, 37 dikatakan bahwa pencapaian itu melindungi bahkan benda-benda miliknya seperti jubah dan tempat duduknya dari kehancuran.

521) Nama ini berarti “Yang selamat.”

522) Yaitu, dengan memunculkan kekotoran dalam pikiran mereka, maka ia akan mencegah mereka membebaskan diri dari saṁsāra.

523) MA bersusah payah menunjukkan bahwa Māra tidak mengerahkan kekuatan untuk mengendalikan perbuatan mereka, yang mana jika demikian maka ia sendiri yang akan bertanggung jawab dan para brahmana tidak menghasilkan kamma buruk karena perbuatan itu. Sebaliknya, Māra membuat para brahmana membayangkan gambaran para bhikkhu yang terlibat dalam perilaku yang tidak selayaknya, dan ini membangkitkan kebencian mereka dan memicu mereka untuk menggoda para bhikkhu itu. Niat Māra dalam melakukan hal itu adalah untuk membangkitkan kemarahan dan kekesalan para bhikkhu.

524) “Leluhur” (bandhu) adalah Brahmā, yang disebut demikian oleh para brahmana karena mereka menganggapnya sebagai leluhur pertama. MA menjelaskan bahwa adalah kepercayaan di antara para brahmana bahwa mereka adalah keturunan mulut Brahmā, khattiya adalah keturunan dada Brahmā, vessa  dari perut, sudda dari kaki, dan samaṇa dari telapak kaki.

525) Jhāyanti pajjhāyanti nijjhāyanti apajjhāyanti. Walaupun kata kerja ini secara berdiri sendiri tidak memiliki makna negatif, rangkaian ini jelas dimaksudkan sebagai penurunan. Pada MN 108.26 empat kata kerja ini digunakan untuk menggambarkan meditasi seseorang yang pikirannya dikuasai oleh lima rintangan.

526) Empat brahmavihāra adalah penawar yang tepat bagi kekejaman pada orang lain, serta bagi kecenderungan pada kemarahan dan kekesalan dalam pikiran seseorang.

527) Kali ini Māra berniat untuk menjatuhkan para bhikkhu dalam kesombongan, kepuasan, dan kelengahan.

528) MA mengutip sebuah sutta (AN 7:46/iv.46-53) menyebutkan bahwa empat meditasi ini adalah penawar, berturut-turut, bagi keinginan indria, keinginan akan rasa kecapan, ketertarikan pada dunia, dan ketergila-gilaan pada perolehan, kehormatan, dan pujian.

529) MA: Tatapan gajah (nāgapalokita) berarti bahwa tanpa menggerakkan leher, ia memutar seluruh tubuhnya untuk melihat. Māra Dūsi bukan mati karena tatapan gajah Sang Buddha melainkan karena kamma buruk yang ia hasilkan dalam menyerang seorang siswa utama yang memotong kehidupannya pada saat itu juga.

530) Neraka Besar, juga disebut Avīci, dijelaskan secara lengkap dalam MN 130.16-19.

531) MA: perasaan ini, yang dialami dalam Neraka Besar tambahan, dikatakan lebih menyakitkan daripada perasaan yang dialami dalam Neraka Besar itu sendiri.

532) Buddha Kakusandha disebut Brahmana dalam makna seperti pada MN 39.24.

533) Referensinya adalah pada SN 51:14/v.269-70.

534) Baca MN 37.11.

535) Baca MN 37.12.

536) Referensinya adalah pada SN 6:5/i.145.

537) Syair ini merujuk pada kemampuan YM. Moggallāna dalam mengerahkan kekuatan batin terbang di angkasa seperti burung.