//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Madhyama Agama vol. 1 - Pendahuluan  (Read 4721 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Madhyama Agama vol. 1 - Pendahuluan
« on: 09 April 2016, 09:58:50 AM »
Berikut adalah terjemahan bagian pendahuluan dari The Madhyama Āgama (Middle-Length Discourses) Volume I yang ditulis oleh editor utamanya Marcus Bingenheimer, yang berisi informasi sekilas tentang kitab Agama pada umumnya dan sejarah penerjemahan Madhyama Agama dari bahasa India aslinya ke bahasa Mandarin.
« Last Edit: 09 April 2016, 10:26:39 AM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. 1 - Pendahuluan
« Reply #1 on: 09 April 2016, 10:02:02 AM »
PENDAHULUAN

Menerjemahkan adalah menjelaskan.<1>
- Sengyou (445-518)

Zhong ahan jing (Skt. Madhyamāgama, T. 26), yang diterjemahkan di sini, adalah salah satu dari empat kumpulan kanonik utama dari sutra-sutra Buddhis awal yang dipertahankan dalam bahasa Mandarin.<2> Sutra-sutra yang dikelompokkan dalam kumpulan ini dianggap dengan “panjang menengah” (Ch. zhong, Skt. madhyama: “menengah”). Koleksi Mandarin Ahan (Skt. Āgama) berhubungan dengan Nikāya-Nikāya yang lebih terkenal dari kanon Pāli. Sementara teks-teks yang terakhir (Dīghanikāya, Majjhimanikāya, Saṃyuttanikāya, dan Aṅguttaranikāya) telah lama tersedia dalam terjemahan bahasa Inggris, tidak ada dari Āgama-Āgama yang sama pentingnya telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, atau sesungguhnya dalam bahasa Barat mana pun.<3> Āgama-Āgama dan Nikāya-Nikāya menyusun Sūtra-piṭaka<4> untuk penyebaran<5> Buddhisme utara dan selatan masing-masing, dan mereka adalah sumber-sumber utama untuk apa yang kita ketahui tentang ajaran Buddhis awal. Mereka tetap bernilai sangat penting bagi studi dan praktek Buddhisme baik dalam konteks akademis dan religius. Dengan terjemahan ini kita bertujuan untuk membuat bukti penting lainnya mudah diperoleh, suatu pandangan ke belakang ke dalam periode paling awal dari tradisi Buddhis.

Dalam bagian berikutnya saya akan meringkaskan perkembangan teks yang diterjemahkan di sini dari awalnya dalam tradisi lisan, melalui “inkarnasi” India dan Mandarin-nya, sampai terjemahan Inggris saat ini. Fokus kita akan pada sejarah teks itu. Sebagai ringkasan dan pembahasan atas isi dari sutra-sutra individual, pembaca harus merujuk pada karya-karya oleh Minh Chau dan Bhikkhu Anālayo yang disebutkan di bawah.

Āgama-Āgama dan Nikāya-Nikāya

Adalah belum memungkinkan untuk memberikan penjelasan yang komprehensif tentang bagaimana persisnya Āgama-Āgama berhubungan dengan kumpulan Nikāya; namun ringkasan umum adalah jelas. Empat Āgama, yang semuanya sekarang dipertahankan utuh hanya dalam bahasa Mandarin, mewakili bagian dari Sūtra-piṭaka dari berbagai aliran Buddhisme utara, yang tersebar dalam berbagai dialek India dan kemudian mengambil jalan ke kerajaan-kerajaan Buddhis di Asia Tengah dan sepanjang Jalan Sutra ke Cina. Nikāya-Nikāya mengandung teks-teks sutra dari tradisi selatan yang disebarkan ke Sri Lanka dan dipertahankan dalam kanon Pāli, yang periode pembentukannya adalah dari abad pertama SM sampai abad kelima M.

Sehubungan dengan hubungan antara Zhong ahan jing dan Majjhimanikāya, studi pertama Minh Chau tahun 1964, The Chinese Madhyama Āgama and the Pāli Majjhima Nikāya (Delhi: Motilal Banarsidass, 1991, cetakan ulang), menjelaskan sejumlah perbedaan dalam isi ajaran dan narasi.<6> A Comparative Study of Majjhima-nikāya oleh Bhikkhu Anālayo (Taipei: Dharma Drum Publishing, 2011) membahas secara sangat terperinci semua paralel Mandarin terhadap sutra-sutra dari Majjhimanikāya, yang banyak darinya disajikan kembali dalam terjemahan kita. Dalam proses penelitiannya Bhikkhu Anālayo juga telah menerjemahkan dan membahas sejumlah sutra dari Zhong ahan jing. Mengingat luasnya sumbangsih beliau, bacaan yang relevan didaftarkan dalam lampiran pada daftar pustaka.

Seperti karya terjemahan atas volume ini telah berulang kali menunjukkan, perbandingan dengan versi Pāli seringkali penting untuk suatu pemahaman atas bacaan yang sulit. Walaupun kebanyakan sutra Āgama yang dipertahankan dalam bahasa Mandarin memiliki padanan dalam kanon Pāli dan sebaliknya, mereka sering ditemukan dalam kumpulan yang berbeda. Menurut katalog Akanuma Chizen, Kanpa shibu shiagin goshōrokuThe Comparative Catalogue of Chinese Āgamas dan Pāli Nikāyas (Nagoya, Hajinkakushobō, 1929), dari dua ratus dua puluh dua sutra dari T. 26, hanya seratus tiga memiliki padanannya dalam Majjhimanikāya; empat belas memiliki padanannya dalam Dīghanikāya, tujuh belas dalam Saṃyuttanikāya, dan delapan puluh tujuh dalam Aṅguttranikāya.<7> Empat belas dari dua ratus dua puluh dua sutra dari T. 26 tidak memiliki paralel yang diketahui dalam kumpulan Pāli.

Madhyamāgama

Setelah kematian sang pendiri, teks-teks Buddhis disebarkan secara lisan dalam dialek Indo-Arya Tengah (Prakrit). Sementara tradisi selatan akhirnya menetapkan pada salah satu dari dialek ini, Pāli, sebagai bahasa kanoniknya, di India dan Asia Tengah teks-teks Buddhis secara berturut-turut di-Sanskritisasi dan/atau diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain seperti Mandarin, Tokharia, Khotan, Sogdia, dan Tibet.<8> Juga, teks-teks Buddhis yang baru, dari setidaknya abad ketiga ke depan, secara langsung disusun dalam bahasa Sanskrit standar. Naskah-naskah kuno dari tradisi utara, khususnya naskah-naskah kuno dari asal mula Asia Tengah, oleh sebabnya sering dalam bahasa Prakrit (khususnya Gāndhārī)<9> atau beberapa bentuk Sanskrit yang tidak standar, yang kadangkala disebut Sanskrit Buddhis, suatu tahap peralihan antara beberapa Prakrit dan Sanskrit standar.

Sayangnya, kita tidak memiliki Madhyamāgama lengkap dalam Sanskrit ataupun Prakrit. Hanya untuk Dīrghāgama kita memiliki suatu naskah kuno India yang (sangat) lengkap;<10> untuk tiga kumpulan lainnya hanya terdapat banyak penggalan naskah kuno yang mengandung kadangkala satu sutra atau lebih tetapi lebih umumnya hanya beberapa baris teks. Penggalan-penggalan ini berasal dari periode dan lokasi yang berbeda-beda. Belum ada edisi yang digabungkan dari bahan ini untuk Āgama mana pun, ataupun terdapat gambaran daftar pustaka umum. Namun, untuk Madhyamāgama, Jin-il Chung dan Takamichi Fukita telah membuat katalogkan semua penggalan Sanskrit yang ada dalam A Survey of Sanskrit Fragments Corresponding to Chinese Madhyamagama, Including References to Sanskrit Parallels, Citations, Numerical Catagories of Doctrinal Concepts, and Stock Phrases (Tokyo: Sankibo, 2011).<11>

Seperti halnya dengan teks-teks panjang lain yang telah disebarkan secara lisan, dan sejak abad pertama SM dengan dukungan penulisan, kita harus mengasumsikan bahwa tidak ada dua contoh dari suatu teks yang benar-benar sama sepenuhnya, walaupun tradisi lisan India dikenal karena mempertahankan teks-teks selama periode yang panjang dengan sangat sedikit variasi.<12> Jika tidak ada hal lain, fakta bahwa Madhyamāgama dan Majjhimanikāya berbagi hanya sekitar seratus sutra dari dua ratus dua puluh dua (MĀ) dan seratus lima puluh dua (MN), menunjukkan bahwa Āgama-Āgama/Nikāya-Nikāya sebagai kumpulan masih dalam perubahan yang terus-menerus selama waktu yang lama. Dalam bentuknya yang sekarang kumpulan-kumpulan dapat dibuktikan berasal dari abad keempat atau kelima. Hanya selama periode itu sejak terjemahan ke dalam bahasa Mandarin di utara (abad keempat M) dan komentar-komentar Buddhaghosa di Sri Lanka (abad kelima M) dapat meyakinkan bahwa bentuk empat kumpulan sutra utama telah tetap lebih kurang tidak berubah. Secara umum, hanya setelah waktu itu bahwa ia mungkin menentukan waktu perubahan yang lebih jauh dalam kedua tradisi.<13>

Teks-teks yang di-Sanskritisasi yang beredar di Asia Tengah berlanjut berkembang setelah abad kelima, seperti yang dibuktikan dari perbedaan antara sisa-sisa teks Sanskrit yang belakangan dan versi Mandarin, tetapi disebabkan sifat tidak lengkap dari bahan-bahan Sanskrit pengetahuan kuta tentang perubahan-perubahan ini sangat terbatas.<14>
Gambaran yang muncul ketika penggalan-penggalan Sanskrit dibandingkan dengan versi Mandarin dan Pāli adalah bahwa beberapa versi dari teks-teks yang dikumpulkan dalam Āgama-Āgama/Nikāya-Nikāya memang ada antara abad pertama SM dan abad keempat M. Selama waktu ini, ketika tradisi lisan muncul didukung oleh penulisan dalam tradisi utara dan selatan, masing-masing contoh naskah telah berbeda sedikit, yang mencerminkan afiliasi aliran, tradisi setempat, lingkungan linguistik, tulisan-tulisan tidak standar, atau kombinasi mana pun dari faktor-faktor ini. Lebih lanjut, bukti naskah kuno menunjukkan bahwa beberapa sutra yang terdapat dalam Āgama-Āgama/Nikāya-Nikāya beredar secara independen juga, suatu kenyataan yang juga dilahirkan dari banyak contoh terjemahan individual dari sutra Āgama/Nikāya yang ada dalam bahasa Mandarin.

Untuk menggambarkan situasi itu dengan satu contoh: Shansheng jing (sutra 135 dari T. 26) muncul dalam suatu kelompok dengan sedikitnya tiga belas contoh dari teks: Siṅgālovada-sutta dari Dīghanikāya (DN, no. 31), Shansheng jing dari Dīrghāgama (T. 1, no. 16), berbagai penggalan Sanskrit dari Ṡikhālaka-sūtra, dua terjemahan Mandarin individual lain (T. 16 dan T. 17), dan sebuah kutipan dalam Mahākarma-vibhaṅga.<15> Terdapat hubungan stematik yang rumit di antara teks-teks ini – sehubungan dengan beberapa kelompok sutra – belum dijelaskan dan mungkin tidak akan pernah dijelaskan.

Kita oleh sebab itu dihadapkan pada kenyataan bahwa kumpulan sutra yang diterjemahkan dalam volume ini tetapi seseorang menyaksikan yang telah bertahan dan mencapai keulungan, seperti sebuah potret perkembangan teks yang diambil pada waktu tertentu di tempat tertentu. Susunan teks oleh sebab itu pada suatu tingkat sembarangan, dalam pengertian bahwa T. 26 akan dalam segala kemungkinan dilihat secara agak berbeda jika terjemahan Mandarin telah dilakukan lebih awal, atau dari suatu versi aliran lain. Dalam hal ini, pernyataan “Majjhimanikāya memiliki seratus lima puluh dua sutra dan Madhyamāgama memiliki dua ratus dua puluh dua sutra” kehilangan beberapa batasan apodiktisnya. Adalah demikian kebetulan bahwa Majjhimanikāya menemukan kedekatan dengan seratus lima puluh dua sutra, sedangkan secara kebetulan satu-satunya Madhyamāgama yang bertahan (yang dipertahankan dalam bahasa Mandarin sebagai T. 26) menemukan kedekatan dengan dua ratus dua puluh dua sutra.

Sudut pandang ini ditekankan di sini karena semua terlalu sering pernyataan-pernyataan doktrinal dibuat berdasarkan satu bacaan dalam satu contoh teks. Untuk diingat bahwa beberapa keacakan dalam bagian tradisi tidak sama dengan relativisme atau dengan kepercayaan bahwa tidak ada pesan dalam semua pada teks-teks ini; ia berarti, alih-alih, bahwa tidak ada landasan otoritatif akhir di mana untuk membangun argumentasi seseorang melampaui penyelidikan yang beranekaragam dan berhati-hati atas kelompok-kelompok teks.

Sebelum saya beralih pada terjemahan Madhyamāgama ke dalam bahasa Mandarin dan sejarah teks Mandarin itu, sedikit pernyataan sehubungan dengan bahasa dari teks sumber untuk T. 26 adalah dalam urutan. P. V. Bapat (“Chinese Madhyamāgama dan Bahasa Teks Dasarnya”, dalam B. P. Sinha, ed., Dr. Satkari Mookerji Felicitation Volume, pp 1-6 [Varanasi: Chowkhamba Publications, 1969]) membandingkan beberapa bacaan dari T. 26 dengan versi Pāli dan suatu versi Sanskritisasi dari syair-syair Upāli. Ia memberikan sejumlah contoh yang menunjukkan bahwa teks sumber untuk T. 26 tidak identik dengan versi Pāli ataupun dengan versi Sanskritisasi. Sehubungan dengan ungkapan awal, ia menyebutkan bahwa “beberapa bentuk Prakrit yang lebih dekat pada Pāli, atau beberapa bentuk yang tidak sempurna atau rusak dari suatu bahasa yang menggunakan ortografi Sanskrit tetapi didominasi oleh tata bahasa Prakrit.”
Oskar von Hinūber (“Upāli’s Verses in the Majjhimanikāya and the Madhyamāgama”, dalam L.A. Hercus, ed., Indological and Buddhist Studies, Volume in Honour of Professor J. W. de Jong on his 60th Birthday, pp. 250f [Canberra: Faculty of Asian Studies 1982]), walaupun tidak mengutip Bapat, membandingkan beberapa bacaan yang sama dalam versi Pāli, Sanskrit, dan Mandarin. Secara independen, ia juga menemukan bahwa teks sumber untuk T. 26 adalah dalam bahasa Sanskrit yang tidak standar. Lebih tepatnya, ia menyimpulkan bahwa T. 26 diterjemahkan dari suatu teks yang telah diturunkan melalui suatu tahapan Gāndhārī dan dalam proses mengalami Sanskritisasi.

Berdasarkan hal ini dan penemuan riset lain, Ernst Waldschmidt (“Central Asian Sūtra Fragments and their Relation to Chinese Āgamas”, dalam H. Bechert, ed., The Language of Earliest Buddhist Tradition [Göttingen: Vandenhoeck & Rupercht, 1980], p. 137) meringkaskan:

Ch’ang-a-han-ching (Chang ahan jing) dan juga Tseng-i-a-han-ching (Zhengyi ahan jing) telah diketahui jelas tidak diterjemahkan dari Sanskrit, tetapi dari beberapa bahasa India Pertengahan atau dialek campuran Prakrit dengan unsur-unsur Sanskrit.

Kesimpulan ini telah dikuatkan dengan pengamatan kita yang dibuat selama proses terjemahan ke dalam bahasa Inggris. Bahwa bahasa teks asli bukan bahasa Sanskrit standar terbukti dari banyak transkripsi nama-nama. Sebagai contoh, nama yang ditranskripsikan dalam T. 26 sebagai A li tuo<16> (Pāli Ariṭṭha) tidak dapat telah mengalami Sanskritisasi secara penuh menjadi Ariṣṭa, karean transkripsi Mandarin tidak memasukkan karakter yang mewakili suatu bunyi desis. Ini berlawanan dengan transkripsi A li se tuo<17> yang digunakan untuk nama yang sama dalam Saṃyuktāgama Mandarin (T. 99).
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. 1 - Pendahuluan
« Reply #2 on: 09 April 2016, 10:08:32 AM »
Dari Madhyamāgama ke Zhong ahan jing

Madhyamāgama diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin dua kali. Informasi paling awal mengenai sejarah terjemahan ini dipertahankan dalam Chu sanzang jiji, suatu kumpulan catatan tentang teks-teks Buddhis awal di Cina oleh Sengyou (445-518). Chu sanzang jiji mempertahankan suatu kata pengantar (atau mungkin catatan tambahan) pada T. 26 yang ditulis oleh bhiksu Daoci (fl. 398),<18> yang dirinya sendiri berpartisipasi dalam terjemahan kedua.

Terjemahan Pertama oleh Dharmanandin dan Zhu Fonian

Dari kata pengantar pada Ekottarikāgama yang ditulis oleh Dao’an (314-385), kita mempelajari bahwa bhiksu Dharmanandin tiba di Chang’an pada tahun 384, setelah mengadakan perjalanan sepanjang Jalan Sutra dari Tocharistan (Bactria), yang terletak di antara Gunung Pamir dan Hindu Kush. Kebanyakan penjelajah yang mengambil jalan darat dari India ke Cina telah melewati Bactria dan oleh sebab itu ia memainkan peranan yang penting dalam penyebaran Buddhisme.<19> Dharmanandin telah menghafal sebuah Madhyamāgama dan sebuah Ekottarikāgama, dua kumpulan besar yang tidak pernah diterjemahkan. Chang’an pada waktu itu adalah sebuah pusat kekuatan politik dan benteng pertahanan Buddhisme. Didukung oleh penguasa Fu Jian (337-385) dan anggota keluarga bangsawan, selama beberapa tahun Buddhisme menemukan sebuah tempat berlindung yang aman ketika kebanyakan Cina bagian utara dalam pergolakan yang terus-menerus.

Dao’an yang terkenal, yang mengorganisasikan banyak tim penerjemahan, dan Zhu Fonian (fl. 365-410), yang adalah salah satu dari sedikit bhiksu Cina yang menguasai dua bahasa sepenuhnya dalam sejarah terjemahan Buddhis. Segera Dharmanandin diminta untuk mengulangi kedua Āgama yang telah ia hafal, dan Zhu Fonian menerjemahkan mereka ke dalam bahasa Mandarin. Bhiksu Cina Huisong berperan sebagai ahli tulis dan mencatat apa yang didiktekan Zhu Fonian. Dalam peranan ini Huisong mungkin sangat mempengaruhi pada susunan kata-kata final dari teks. Kolaborasi ini berlangsung sejak musim panas tahun 384 sampai musim semi tahun 385 dan tugas itu mungkin diselesaikan, karena sejumlah catatan katalog mengatakan sebuah Zhong ahan jing dalam lima puluh sembilan jilid.<20> Namun, dalam musim gugur tahun 385, Fu Jian terbunuh akibat kekalahannya dalam perang di Sungai Fei dan daerah Chang’an jatuh dalam kekacauan. Ini menjadi tidak mungkin bagi para bhiksu untuk melanjutkan pekerjaan mereka di sana. Membuat masalahnya semakin memburuk, Dao’an, pembimbing kelompok, telah meninggal pada musim semi tahun 385. Tak lama sebelum kematiannya ia telah menulis sebuah kata pengantar pada Zhong ahan jing yang baru diterjemahkan, yang sayangnya tidak bertahan.<21> Setelah kematian Dao’an dan mengingat situasi yang memburuk di daerah Chang’an, kelompok penerjemah dibubarkan. Dharmanandin kembali ke “Daerah Barat” dan kita tidak mendengar lagi tentang dirinya.

Terjemahan yang dihasilkan Dharmanandin, Zhu Foniang, dan Huisong akhirnya digantikan oleh suatu terjemahan baru yang dihasilkan oleh Saṅghadeva dan timnya hanya tiga belas tahun kemudian. Menurut Kōgen Mizuno, dua puluh empat sutra dari terjemahan pertama bertahan dan dipertahankan sebagai teks-teks individual, yang tidak pernah dikenali sebagai salah satu kelompok yang berbeda oleh tradisi katalog.<22> Pada tahun 515, Chu sanzang jiji oleh Sengyou mendaftarkan dua puluh tiga dari sutra-sutra ini di bawah “penerjemah tidak diketahui”, dan pada tahun 597 Lidai sanbao ji, seperti yang sering ia lakukan, menyediakan penghubungan palsu untuk beberapa dari sutra-sutra tersebut. Faktanya bahwa sampai penelitian Mizuno tidak diperhatikan bahwa dua puluh empat sutra itu adalah dalam satu kelompok bersama-sama. Dengan bantuan analisis perhitungan gaya bahasa, baru saja memungkinkan untuk menguatkan asumsi Mizuno bahwa dua puluh empat sutra benar-benar berasal dari satu kelompok yang berbeda dan oleh sebab itu diterjemahkan oleh orang yang sama.<23> Namun, bagian kedua dari argumentasi Mizuno bahwa kelompok dari dua puluh empat itu adalah sisa dari terjemahan pertama oleh Dharmanandin dan Zhu Fonian, tetaplah suatu hipotesis.

Seperti yang ditunjukkan Mizuno dalam “Kanyaku no Chūagonkyō to Zōichiagonkyo”, Bukkyōkenkyū, vol. 18, pp. 7-9, sedikitnya satu dari lima kutipan Madhyamāgama dalam Jinglü yixiang (T. 2121, yang diselesaikan pada tahun 516) diambil dari kelompok dua puluh empat sutra individual. Ini dan empat kutipan lain tidak hanya tidak sesuai dengan bacaan yang bersesuaian dalam T. 26. Ini berarti bahwa Zhong ahan jing yang ditunjuk dalam Jinglü yixiang adalah bukan T. 26, dan Mizuno mengasumsikan bahwa empat kutipan lain dari sebuah Zhong ahan jing berasal dari bagian yang sekarang hilang dari terjemahan pertama di mana ia meyakini kelompok dua puluh empat menjadi sisanya.

Namun, terdapat alasan-alasan untuk meragukan hal ini.<24> Tersisa masalah bahwa Sengyou pada tahun 515 masih mendaftarkan kedua terjemahan T. 26 sebagai yang masih ada,<25> sedangkan sutra-sutra individual dari kelompok dua puluh empat itu didaftarkan dalam bab “sutra-sutra beranekaragam oleh penerjemah yang tidak diketahui” (T.55.2145:21b17). Lebih lanjut, dalam kasus satu bacaan yang dapat ditunjukkan berasal dari sebuah sutra dari kelompok dua puluh empat itu (T. 79), penunjukannya tidak hanya mengatakan “Zhong ahan jing” tetapi menyebutkan teksnya, Yingwujing, dengan nama. Ini sama dengan penunjukan Madhyamāgama lain dalam Jinglü yixiang, di mana sebuah “Zhong ahan” dan sebuah sutra tunggal disebutkan.<26>. Di sana Jinglü yixiang mengutip dari sebuah sutra yang dibacakan sebagai Pimoshi Mulianjing. Dalam kelompok dua puluh empat itu, ini berhubungan dengan Mo raoluan jing (T. 66), dan jika tesis Mizuno benar dan penunjukan Madhyamāgama dalam Jinglü yixiang juga seharusnya didasarkan pada T. 66. Namun, tidak ada istilah kunci dari bacaan Jinglü yixiang muncul dalam T. 66 yang cukup panjang. Mempertimbangkan bahwa naratif dari Yingwu jing dan Mo raoluan jing lebih populer dan terbukti dalam beberapa versi, tampaknya sangat mungkin bahwa Jinglü yixiang menarik terjemahan-terjemahan individual (misalnya, T. 79 dari kelompok dua puluh empat itu) dan menunjuk pada terjemahan pertama Madhyamāgama. Oleh sebab itu, ini tidak perlu mengikuti bahwa kelompok dua puluh empat itu adalah sisa dari terjemahan pertama.

Setidaknya, Zhong ahan jing yang diterjemahkan oleh Dharmanandin dan Zhu Fonian masih tersedia bagi Sengyou pada tahun 515 dan bagi Baochang, penulis utama Jinglü yixiang, pada tahun 516. Katalog pertama di mana ia dicatat sebagai lenyap adalah Zhongjing mulu oleh Yanzong dari tahun 602.<27>

Terjemahan Kedua oleh Saṅghadeva dan Timnya

Setelah perang dan huru-hara membubarkan kelompok para penerjemah Buddhis yang bekerja di Chang’an pada tahun 385, beberapa dari mereka bergabung kembali di Nanjing. Di sana mereka disokong oleh Wang Xun (350-401), ahli kaligrafi yang terkenal dan Bangsawan Dongting, yang membangun sebuah vihāra untuk studi dan penerjemahan teks-teks Buddhis. Adalah di sini bahwa Madhyamāgama berubah menjadi Zhong ahan jing yang kita kenal saat ini sebagai T. 26.

Kisah yang diberikan dalam Gaoseng zhuan dan konsistensi tingkat tinggi dalam T. 26 mengindikasikan bahwa pada kesempatan ini terjemahan dilakukan dari sebuah naskah kuno. Menurut kata pengantar Daoci, proyek itu lagi-lagi sebuah upaya tim, dengan dua oran bhiksu India dan tiga orang Buddhis Cina yang bekerja berdekatan bersama-sama. Saṅgharakṣa memastikan teks India dari sebuah naskah kuno dan membacakannya; Saṅghadeva menerjemahkannya ke bahasa Mandarin secara lisan; Daoci menetapkan dan mungkin memutuskan susunan terakhir kata-kata bahasa Mandarin; Li Bao dan Tang Hua<28> membuat salinan akhir dan mengurus naskah hasilnya.<29> Tim itu mengerjakan tugas itu selama hanya tujuh bulan, antara tanggal 15 Desember 397 dan 24 Juli 398, dan terjemahan itu hampir diselesaikan ketika pekerjaan mereka lagi-lagi dihentikan oleh perang. Tidak sampai tiga tahun kemudian, pada tahun 401, bahwa sebuah versi final dapat dihasilkan, yang terdiri dari dua ratus dua puluh dua sutra dalam enam puluh jilid. Langkah cepat pekerjaan terjemahan atas naskah kuno ini membuat kami malu; mengambil lima tahun bagi tim kami untuk menyelesaikan hanya sepertiga dari versi Inggris dari terjemahan mereka, yang diselesaikan kurang dari waktu satu tahun.

Mengapa diputuskan untuk menerjemahkan kembali teks itu? Saṅghadeva dan kebanyakan anggota dari vihāra di Nanjing pasti mengetahui Dharmanandin dan Zhu Fonian secara pribadi. Saṅghadeva dan Dharmanandin telah bekerja bersama di Chang’an sebagai bagian dari sebuah tim penerjemah yang dipimpin oleh Saṅghabhūti pada tahun yang sama ketika Dharmanandin dan Zhu Fonian menerjemahkan Madhyamāgama untuk pertama kalinya (384).<30> Namun, tampaknya bahwa terjemahan oleh Dharmanandin dan Zhu Fonian tidak dianggap berhasil oleh tim Nanjing. Menurut Daoci, terjemahan pertama “... tidak benar menurut aslinya, kehilangan maknanya. Nama-nama tidak dengan benar disadari, tidak jelas dan sangat menyerupai lirik lagu, sedangkan ungkapannya kekurangan rasa.”<31> Ini karena “bahasa Mandarin dari para penerjemahnya tidak cukup bagus.” Ini mengejutkan, mempertimbangkan keterlibatan Zhu Fonian, yang secara luas dipuji sebagai seorang penerjemah yang ahli.<32>

Penghubungan Aliran dari Zhong ahan jing (T. 26)

Sehubungan penghubungan Zhong ahan jing dengan salah satu aliran Buddhis awal, terdapat kesepakatan yang luas dan bertahan lama bahwa teks itu adalah bagian dari literatur Sarvāstivādin awal. Bhiksu Hōdō (1740-1770) adalah komentator pertama yang menganalisis kutipan-kutipan Āgama yang ditemukan dalam Abhidharmakośa dan dengan bantuannya berusaha menghubungkan Āgama-Āgama dengan berbagai aliran. Dalam komentarnya terhadap Kośa ia menulis: “Zhong ahan jing dan Za ahan jing keduanya milik aliran Sarvāstivāda”, (SAT/T.64.2252:440c). Hōdō tidak selalu benar dalam penaksirannya.<33> Bukti yang dibahas oleh Shōkū Bando (“Kanyakuzōagon-gyōkō”, Journal of Indian and Buddhist Studies 30/2 [1982]: 856) dan Fumio Enomoto (“On the Formation of Original Texts of Chinese Āgamas”, Buddhist Studies Review 3/1 [1986]: 21) menunjukkan bahwa sumber untuk T. 26 milik tradisi Sarvāstivādin Kashmir. Kesimpulan ini diperkuat oleh fakta bahwa Saṅgharakṣa, yang menyediakan teks India yang digunakan untuk terjemahan kedua, dikatakan berasal dari Kashmir.<34> Mizuno (“Kanyaku no Chūagonkyō to Zōichiagonkyo”, p. 6) juga menganggap kedua terjemahan Mandarin Madhyamāgama sebagai teks Sarvāstivādin. Dalam A Survey of Sanskrit Fragments Corresponding to Chinese Madhyamāgama, Chung dan Akita membahas penghubungan T. 26 dengan sangat terperinci. Mereka dengan hati-hati menyimpulkan bahwa, bagaimana pun kemungkinannya, kesepakatan saat ini belum terbukti dan dengan ketiadaan suatu pemahaman jernih atas hubungan persisnya antara berbagai kitab dalam kumpulan kitab Sarvāstivādin, banyak hal yang harus dilakukan.<35>
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. 1 - Pendahuluan
« Reply #3 on: 09 April 2016, 10:11:09 AM »
Sejarah Tekstual Zhong ahan jing (T. 26)

Setelah terjemahan pertama lenyap pada abad keenam, terjemahan kedua menjadi terjemahan Madhyamāgama yang dimasukkan dalam edisi kanonik Mandarin. Sejarah penyebaran teks yang diterima ini secara komparatif tidak rumit. Tidak seperti Saṃyuktāgama Mandarin yang lebih panjang (T. 99), urutan asli yang menjadi kacau setelah terjemahannya,<36> atau Saṃyuktāgama Mandarin yang lebih pendek (T. 100), di mana dua versi yang diurutkan berbeda eksis (Roderick S. Bucknell, “The Two Versions of Other Translation of Saṃyuktāgama”, Chung-Hwa Journal of Buddhist Studies 21 [2008]: 23-54), T. 26 mempertahankan strukturnya selama enam ratus tahun penyebarannya dalam bentuk naskah kuno. Teks itu masih dalam bentuk yang digambarkan Daoci dalam kata pengantarnya: enam puluh jilid yang terdiri dari dua ratus dua puluh dua sutra yang dikelompokkan dalam delapan belas bagian (Ch. pin, Pāli vagga), yang lagi-lagi dikelompokkan dalam lima pembacaan.

Setidaknya sejak abad kesebelas suatu jumlah karakter dimasukkan dalam tanda penerbit untuk masing-masing sutra.<37> Mengambil sampel angka-angka dan membandingkannya dengan jumlah karakter yang dilakukan pada teks Taishō menunjukkan bahwa rata-rata perbedaan kecil dari 0,001 persen. Ini menunjukkan bahwa teks itu berubah hanya secara minimal sepanjang ribuan tahun terakhir, seperti yang diharapkan diberikan bahwa teks Taishō pada tingkat yang luas identik dengan teks dari edisi kedua dari Tripiṭaka Koreana (yang dipahat pada tahun 1236 sampai 1251).

Untuk Zhong ahan jing, bukti naskah kuno yang paling awal adalah penggalan-penggalan di antara naskah kuno Dunhuang yang berasal dari abad keenam sampai kesepuluh. Penggalan-penggalan ini, yang bervariasi panjangnya, jarang mengandung lebih dari sedikit baris teks. Bukti lengkap tertua dari Zhong ahan jing saat ini tersedia dalam prasasti batu Fangshan.<38> Dipahat dari tahun 1153 sampai 1155, lebih dari seratus tahun lebih awal daripada versi cetak pertama yang dipertahankan dalam edisi kedua dari Tripiṭaka Koreana dan Edisi Qisha (1216-1322).<39> Tripiṭaka Koreana menjadi dasar untuk edisi Taishō (yang diterbitkan tahun 1924-1932), yang menambahkan pembubuhan tanda baca dan alat bantu yang belum sempurna yang menyatukan teks itu dengan edisi Mandarin yang belakangan dan, bagi beberapa teks, dengan naskah-naskah kuno awal yang dipertahankan di Jepang.

Teks yang diterjemahkan di sini adalah Zhong ahan jing dari edisi Taishō, seperti yang disajikan dalam versi CBETA tahun 2007 dan 2009, di mana Zhong ahan jing ditunjukkan dengan pembubuhan tanda baca baru yang disediakan oleh Yang Yuwen. Edisi CBETA juga dengan transparan memperbaiki kesalahan cetak dalam Taishō dan menambahkan alat bantu dengan menunjuk bentuk yang ditemukan dalam edisi kedua dari Tripiṭaka Koreana dalam kasus-kasus di mana para penyunting Taishō telah dengan diam-diam memperbaiki teks.

Seperti terjemahan Mandarin abad keempat dari Madhyamāgama, terjemahan Inggris ini dihasilkan oleh sebuah tim. Saya telah di tempat lain menjelaskan secara terperinci proses dan dasar pemikiran proyek terjemahan ini (“Problems and Prospects of Collaborative Edition and Translation Projects in Era of Digital Text”, dalam Konrad Meisig, ed., Translating Buddhist Chinese: Problems and Prospects [Wiesbaden: Harrassowitz, 2010], pp. 21-43). Ini adalah yang pertama dari tiga volume yang diproyekkan untuk terjemahan dari keseluruhan teks, dan ia mengandung terjemahan dari bagian 1-6, sutra 1-71. Terjemahan draf pertama dilakukan oleh Bhikkhu Anālayo (bagian 1), King-Tung Yit (bagian 2), William Chu (bagian 3), Teng Weijin (bagian 4), Marcus Bingenheimer (bagian 5), Shi Chunyin (bagian 6, jilid 11-13) dan Kuan Tse-fu (bagian 6, jilid 14-16).

Semua terjemahan, termasuk catatan kaki, secara seksama direvisi oleh Bhikkhu Anālayo, Roderick Bucknell, dan saya sendiri. Susunan kata-kata dari terjemahan draf sering berubah secara substansial dan saya bertanggung jawab atas kesalahan apa pun yang ada.

Dalam terjemahan kami, kami telah berusaha, secara umum, mengikuti istilah-istilah dan ungkapan yang dikembangkan Bhikkhu Bodhi dalam terjemahannya atas Majjhimanikāya, The Middle Length Discourses of the Buddha – A Translation of the Majjhima Nikaya (Boston: Wisdom Publications, 1995) dan Saṃyuttanikāya, The Connected Discourses of the Buddha – A Translation of the Saṃyutta Nikāya (Boston: Wisdom Publications, 2000). Volume terakhir dari terjemahan kami akan memasukan suatu daftar istilah yang komprehensif yang mendokumentasikan pilihan kami. Kesesuaian dengan daftar istilah yang terbatas dari istilah-istilah yang paling sering muncul dipastikan dengan menggunakan program TransHelp yang ditulis oleh Jen-jou Huang.<40> Ukuran ini membantu untuk mencapai suatu tingkat kesesuaian pada tahap peristilahan. Namun, tersisa perbedaan-perbedaan dalam sintaksis dan gaya bahasa, dari bagian ke bagian, suatu pengingat dari sifat koloboratif proyek ini.

Kami mengikuti Bhikkhu Bodhi dalam mempercayai bahwa para pembaca Āgama-Āgama akan mungkin juga tertarik dalam Nikāya-Nikāya; kami ingin teks-teks menjadi lebih mudah dibandingkan. Karena beberapa alasan, kami memilih memberikan nama-nama orang dan tempat dalam bahasa Pāli, bukan dalam bahasa Sanskrit. Mempertimbangkan bahwa teks dasar India ditulis dalam bahasa Prakrit, versi Sanskrit dari nama-nama ini juga telah agak berbeda dari aslinya, kebanyakan istilah India yang termasuk dalam Shorter Oxford English Dictionary (misalnya Dharma, karma, atau nirvana) telah digunakan sebagai istilah bahasa Inggris dalam terjemahan ini (tanpa tanda diakritik, dalam font normal, dan mengambil bentuk jamak “s”).

Mempertimbangkan bahwa ini adalah terjemahan pertama dari teks ini, kami dengan yakin menggandakan semua pengulangan, yaitu, tanpa penghilangan baru yang diperkenalkan. Penghilangan yang ditemukan dalam Zhong ahan jing tentu telah dipertahankan apa adanya.

Kami telah menghilangkan jumlah karakter pada akhir setiap sutra. Ini ditambahkan pada beberapa titik sebelum tahun 1029 M, ketika pertama kali Tripiṭaka Koreana dicetak, untuk membantu mempertahankan teks Mandarin dan tidak ada artinya dan berpotensi membingungkan untuk memasukkannya dalam terjemahan bahasa Inggris. Selain dari bentuk vokatif ganda yang kadangkala, kam telah berusaha menerjemahkan setiap istilah, bahkan di mana kata-kata dapat – dan mungkin untuk alasan gaya bahasa seharusnya – telah dihilangkan. Secara umum kami menyukai keharfiahan daripada gaya bahasa, dengan mempercayai bahwa tugas terjemahan pertama adalah untuk memodelkan susunan kata-kata dan struktur sintaksis dari aslinya sedekat mungkin. Jelas, terdapat banyak ruang untuk peningkatan gaya bahasa dalam versi Inggris yang akan datang dari sutra-sutra ini. Penyisipan pada teks dibuat oleh penerjemah secara umum tampak dalam tanda kurung siku. Dalam kepentingan meminimalkan catatan akhir, kami sering menghindari membuat komentar tambahan yang berhubungan yang mungkin dihargai para cendikiawan.

Pekerjaan atas volume ini dimulai pada tahun 2006, kira-kira seribu enam ratus tahun setelah terjemahan Madhyamāgama ke dalam bahasa Mandarin, dan diselesaikan pada tahun 2009. Pekerjaan pada Volume II (bagian 7-12) dan Volume III (bagian 13-18) telah dimulai dan akan berlanjut sampai selesainya dengan berhasil proyek ini. Ven. Anālayo telah dengan baik menyetujui mengambil alih sebagai penyunting umum untuk volume-volume berikutnya, yang membebaskan diri saya untuk sejumlah proyek lain yang membutuhkan perhatian saya.

Saya berterima kasih kepada semua yang telah membantu untuk membawakan proyek ini terwujud. Ken Tanaka, Brian Nagata, dan Yoshiyasu Yonezawa dari BDK dengan baik menjawab banyak pertanyaan, dan Marianne Dresser melakukan dengan baik penyalinan-penyuntingan dan percetakan. Ven. Huimin menyediakan dukungan penting pada beberapa tahapan proyek. Jan Nattier dan Jin-il Chung membantu dengan saran pustaka dan membuat saran untuk kata pendahuluan. Yun-hee Oh menyediakan saya dengan informasi tentang bukti cetakan awal dari Zhong ahan jing. Jen-jou Hung menulis program TransHelp yang membantu kami memastikan sejumlah konsistensi. Hans-Ludwig Dürner membaca seluruh bagian dari draf akhir. Aku secara khusus berterima kasih kepada sesama penyunting dan sahabat Ven. Anālayo dan Roderick Bucknell; tanpa mereka “apa yang harus dilakukan, tidak mungkin dapat dilakukan.”

Atas nama semua penerjemah dan penyunting, saya mengungkap harapan agar terjemahan ini dapat bersumbangsih bagi kelanjutan dan pertumbuhan tradisi Buddhis dan kebahagiaan semua makhluk.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. 1 - Pendahuluan
« Reply #4 on: 09 April 2016, 10:17:11 AM »
Catatan Kaki:

<1> T. 55.2145:4c5-6. Semua referensi dalam format ini diambil dari dan didasarkan pada kumpulan kitab CBETA (Versi CD 2009), yang mengandung suatu edisi digital dari Kanon Taishō.

<2> Tiga lainnya adalah Chang ahan jing (Dīrghāgama, T. 1), Za ahan jing (Saṃyuktāgama, T. 99), dan Zengyi ahan jing (Ekottarikāgama, T. 125).

<3> Semua Āgama Mandarin telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dan Korea.

<4> Dalam kanon Pāli Sutta-piṭaka memasukkan suatu kumpulan teks kelima, Khuddakanikāya. Aliran-aliran dari tradisi utara mengetahui suatu kelompok teks-teks yang sama, tetapi beberapa mengembangkannya sebagai piṭaka yang terpisah, Kṣudraka-piṭaka, alih-alih memasukkannya dalam Sūtra-piṭaka (walaupun penyebutan Kṣudrakāgama juga ditemukan dalam beberapa sumber: Egaku Mayeda, “Japanese Studies on the Schools of the Chinese Āgamas”, dalam Heinz Bechert, ed. Zur Schulzugehōrigkeit von Werken de Hīnayāna-Literature [Göttingen: Vandenhoeck & Ruprecht, 1985], p. 95; Ėtienne Lamotte, Le Traitė de la Grande Vertu de Sagesse de Nāgārjuna, vol. 3 [Louvain: Université de Louvain Institut Orientaliste, 1970]). Piṭaka atau Āgama, kumpulan kelima, tidak pernah diterjemahkan seperti demikian ke dalam bahasa Mandarin.

<5> Untuk keinginan terhadap istilah yang lebih baik kami memasukkan di bawah istilah “tradisi utara” tradisi tekstual dari aliran-aliran di India Utara dan Asia Tengah yang disusun dalam bahasa selain Pāli; tradisi tekstual yang disebarkan ke Sri Lanka dan akhirnya menghasilkan kanon Pāli dengan demikian diistilahkan sebagai “selatan”. Pembedaan ini mungkin tumpul, namun demikian berguna.

<6> Lihat Bhikkhu Anālayo, “The Chinese Madhyama-āgama and Pāli Majjhima-nikāya – In the Footsteps of Thich Minh Chau”, Indian International Journal of Buddhist Studies 9 (2008): 1-21.

<7> Angka-angka yang disebutkan di sini adalah hasil pencarian dari versi digital dari Kanpa shibu shiagon goshōroku oleh Chizen Akanuma (comcatV3.xml, yang tersedia pada http://mbingenheimer.net/tools/comcat/indexComcat.html). Ditambahkan bersama, jumlah ini sedikit melebihi total dari dua ratus dua puluh dua, karena dalam beberapa kasus satu sutra memiliki lebih dari satu paralel. Lebih lanjut, jumlah-jumlah ini masih diperdebatkan. Bhikkhu Anālayo, dalam studi terperincinya, A Comparative Study of Majjhima-nikāya (Taipei: Dharma Drum, 2011, p. 9) memberikan hanya sembilan puluh enam paralel dari Zhong ahan jing dalam MN. Walaupun jumlah pasti akan selalu bergantung pada definisi “paralel”, rasio umum akan tetap berlaku: kurang dari setengah sutra dari T. 26 ditemukan dalam MN, kebanyakan sisanya ditemukan dalam tiga Nikāya lainnya, dan untuk persentasi yang kecil tampaknya tidak ada paralel yang jelas dalam kumpulan kitab Pāli. Katalog Akanuma, Kanpa shibu shiagon goshōroku (The Comparative Catalogue of Chinese Āgamas dan Pāli Nikāyas) (Nagoya, Hajinkakushobō, 1929) sekarang telah ketinggalan; untuk paralel MN seseorang seharusnya merujuk pada Bhikkhu Anālayo dan Roderick S. Bucknell, “Correspondence Table for Parallels to Discourses of Majjhima Nikāya: Toward a Revision of Akanuma’s Comparative Catalogue”, Journal of Centre for Buddhist Studies, Sri Lanka 4 (2006): 215-243, yang juga telah dimasukkan dalam upaya baru-baru ini untuk mengumpulkan data yang tersedia dalam format database (http://www.suttacentral.net/).

<8> Hanya sedikit sutra Āgama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet. Untuk pembahasan yang lebih mendalam, lihat Peter Skilling, “Theravādin Literatur in Tibetan Translation”, Journal of the Pali Text Society 19 (1993): 69-203.

<9> Lihat Oskar von Hinüber, “Origin and Varieties of Buddhist Sanskrit”, dalam Colette Caillat, ed. Dialectes dans les Littėratures Indo-aryennes (Paris: de Boccard, 1989, pp. 341-367, tentang keanekaragaman Sanskrit Buddhis. Lihat Richard Salomon, Ancient Buddhist Scrolls from Gandhāra – The British Library Kharoṣṭī Fragments (Seattle: University of Washington Press, 1999), pp. 110-140, untuk suatu gambaran luas tentang Gāndhārī dan bukti bahwa Gāndhārī merupakan sesungguhnya satu bahasa Prakrit yang berpengaruh kuat dalam penyebaran teks-teks Buddhis. Telah diperdebatkan bahwa sumber dari Chang ahan jing (Dīrghāgama, T. 1) (Ernest Waldschmidt, “Remarks on the Madhyamāgama Ms. Cat.-no 412”, dalam Ernst Waldschmidt, Walter Clawiter, Lore Sander, dan Preussische Turfan-Expeditionen, eds. Sanskrithandschriften aus den Turfanfunden, vol. IV, pp. 1-5 [Wiebaden: F. Steiner, 1980]), dan Pu yao jing (Lalitavistara, T. 186) (John Brough, “The Arapacana Syllabary on the Old Lalitavistara”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies 40 [1977]: 85-95) adalah dalam bahasa Gāndhārī. Tentang bahasa teks sumber untuk Chang ahan jing (T. 1), lihat Seishi Karashima, Chōagonkyō no gengo no kenkyū (A Study of the Original Language of Chinese Dīrghāgama) (Tokyo: Hirakawa shuppan, 1994). Daniel Boucher, dalam “Gandhari and the Early Chinese Buddhist Translations Reconsidered: The Case of the Saddharmapuṇḍarīkasūtra”, The Journal of the American Oriental Society 118 (4) (Oktober 1998): 471-506, telah mengkritik kecenderungan mengasumsikan secara default bahwa Gāndhārī adalah bahasa asli kebanyakan terjemahan awal, dan menekankan bahwa faktor-faktor lain yang berhubungan pada sifat lisan proses penerjemahan harus dipertimbangkan ketika merekonstruksi sumber teks India dari teks Mandarin.

<10> Jens-Uwe Hartman, “Further Remarks on the New Manuscript of the Dīrgha-āgama”, Journal of the International College for Advanced Buddhist Studies 5 (2002): 133-150 (98-81); dan “Contents and Structure of Dīrghāgama of (Mūla-) Sarvāstivādins”, Annual Report of the International Research Institute for Advanced Buddhology 7 (2004): 119-137. Berbagai bagian dari naskah kuno ini telah disunting: Oliver von Criegern, Das Kūṭatāṇḍyasūtra, Nach dem Dīrghāgama-Manuskript herausgegeben und ûbersetzt, tesis MA yang tidak diterbitkan, Lugwig-Maximillins-Universitāt Mūnchen, 2002; Gudrun Melzer, Ein Abschmitt aus dem Dīrghāgama, Teil 1, disertasi Ph.D. yang tidak diterbitkan, -Maximillins-Universitāt Mūnchen, 2006; Lita Peipina, The Piṅgalātreya sūtra of the (Mūla)sarvāstivādins: Its Edition and Study, Investigation of the Piṅgalātreya sūtra’s Status within Dīrghāgama Collection of “Long Discourses of the Buddha”, tesis MA yang tidak diterbitkan, Department of Cultural Studies and Oriental Languages, University of Oslo, 2008; Lixiang Zhang, Das Śaṃkarasútra: Einer Úbersetzung des Sanskrit-Textes im Vergleich mit der Pāli Fassung, tesis MA yang tidak diterbitkan, Lugwig-Maximillins-Universitāt Mūnchen, 2004; Chunyang Zhou, “Das Kaivartisutra der neuentdeckten Dīrghāgama-Handschrift: Eine Edition und Rekonstuktion des Textes”, thesis MA yang tidak diterbitkan, Göttingen, 2008.

<11> Anālayo “Zhong Ahan”, dalam W. G. Weeraratne, ed. Encyclopaedia of Buddhism (Sri Lanka: Department of Buddhist Affairs, 2009), vol. 8, no. 3, pp. 827-830, memasukkan sebuah daftar yang membant dari penggalan Sanskrit yang diterbitkan dalam sembilan volume pertama dari sepuluh volume Sanskrithandschriften aus den Turfanfunden, Ernst Waldschmidt, et al (Wiesbadin: F. Steiner, 1965-2004).

Untuk terjemahan Saṃyuktāgama Mandarin (T. 99, T. 100, T. 101) Jin-il Chung, A Survey of the Sanskrit Fragments Corresponding to Chinese Saṃyuktāgama (Tokyo: Sankibo, 2008), menyediakan informasi daftar pustaka untuk semua paralel Sanskrit yang diketahui dari Saṃyuktāgama Mandarin. Fumio Enomoto, A Comprehensive Study of the Chinese Saṃyuktāgama: Indic Texts Corresponding to the Chinese Saṃyuktāgama as found in the Sarvāstivāda-Mūlasarvāstivāda Literature (Kyoto: Kacho Junior College, 1994), menyusun penggalan-penggalan Sanskrit yang berhubungan pada Saṅgītanipāta (Sagāthavagga) dari Saṃyuktāgama Mandarin.

Banyak kutipan dari Āgama-Āgama Sanskrit dapat ditemukan dalam Abhidharmakośa dan (dalam terjemahan Tibet) dalam salah satu komentarnya, Abhidharmakośapāyikā oleh Śamathadeva. Bacaan-bacaan Madhyamāgama dalam teks yang terakhir dapat ditemukan dalam Bhikkhu Pāsādika, Kanonische Zitate in Abhidharmakośabhāṣya des Vasubandhu (Göttingen: Vandenhoeck & Ruprecht, 1989), terutama p. 135; untuk bacaan-bacaan Madhyamāgama dalam yang terakhir, lihat Yoshifumi Honjō, A Table of Āgama Citations in the Abhidharmakośa and Abhidharmakośapāyikā (Kyoto: Diterbitkan secara pribadi, 1984). Kutipan-kutipan Āgama dalam Upāyikā diterjemahkan oleh Sāmaṇeri Dhammadinnā. Bagian pertama diterbitkan sebagai “A Translation of the Quotations in Śamathadeva Abhidharmakośopāyikā-ṭīkā Parallel to the Chinese Saṃyukta-āgama Discourses 8, 9, 11, 12, 17 and 28”, Dharma Drum Journal of Buddhist Studies 11 (2012): 63-96.

<12> Lihat Bhikkhu Anālayo, “Oral Dimensions of Pali Discourses: Pericopes, Other Mnemonic Techniques and the Oral Performance Context”, Canadian Jurnal of Buddhist Studies 3 (2007): 5-33, tentang sifat yang dapat dipercaya dari penyebaran dalam tradisi Pāli dan referensi yang lebih lanjut.

<13> Sebagai contoh, kebingungan atas urutan sutra dalam Saṃyuktāgama Mandarin yang lebih panjang (T. 99) sebelum abad kesembilan (Roderick S. Bucknell, “The Structure of Sagātha Vagga of Saṃyutta-Nikāya”, Buddhist Studies Review 24 [1] [2007]: 7-34, atau bercabang duanya Saṃyuktāgama Mandarin yang lebih pendek (T. 100) ke dalam dua versi (Bucknell, “The Two Versi of the Other Translation of Saṃyuktāgama”, Chung-Hwa Journal of Buddhist Studies 21 [2008]: 23-54 pada atau sebelum abad kedua belas.

<14> Cf. perbedaan antara beberapa bacaan dalam T. 26 dan teks-teks Sanskrit yang belakangan yang ditunjukkan oleh P. V. Bapat, “Chinese Madhyamāgama and the Language of its Basic Text”, dalam B. P. Sinha, ed. Dr. Satkari Mookerji Felicitation Volume (Varanasi: Chowkhamba Publications, 1969), p. 2. Lihat Waldschmidt, “Remarks on the Madhyamāgama Ms. Cat-no. 412”, dan Lore Sander, “Fixed Sequences of Texts in some Sūtra Collections”, dalam Waldschmidt, et al., eds. Sanskrithandschriften aus den Turfanfunden, vol. IV, pp. 6-12, sebagai contoh bagaimana setidaknya beberapa urutan sutra yang terkandung dalam Madhyamāgama dimasukkan dalam penggalan-penggalan yang lain, sebagai kumpulan yang belum teridentifikasi juga.

<15> Jens-Uwe Hartmann dan Klaus Wille, “A Version of Śikhālakasūtra/Siṅgālovādasutta”, dalam Jens Braarvig, Paul Harrison, Jens-Uwe Hartmann, Kazunobu Matsuda, dan Lore Sander, eds. Manuscripts of the Schøyen Collection (Oslo: Hermes Academic Publishing, 2006), vol. 3, pp. 1-6.

<16> T.1.26:763b.

<17> T.2.99:199a14.

<18> T.1.26:809b. Identitas Daoci tidak jelas. Lidai sanbao ji (T.49.2034:70c3) menyebut nama Daozu (mungkin sama dengan Zhu Daozu [347-419]) sebagai ahli tulis untuk terjemahan ini dan ini juga menyebut nama itu yang muncul dalam baris pertama Taishō (T.1.26:421a7). Edisi Taishō, mengikuti Tripiṭaka Koreana, telah memasukkan teks Daoci sebagai catatan tambahan tanpa menyebutkan nama penulis (walaupun teks itu sendiri dengan jelas mengidentifikasi Daoci sebagai penulisnya). Terdapat sumber-sumber awal lain yang memberikan Daoci sebagai penulis kata pengantar (cf. laporan independen dalam Kaiyuan shijiao lu (T.55.2154:505b6). Lidai sanbao ji kurang dapat dipercaya dibandingkan Chu sanzang jiji dan bertanggung jawab untuk penghubungan palsu atas teks-teks Buddhis Mandarin pra-Sui. Menyebut Daozu sebagai ahli tulis yang menuliskan T. 26 oleh sebab itu seharusnya dianggap salah satu dari banyak kesalahan yang dibuat oleh Fei Changfang, penulis Lidai sanbao ji (sebuah kesalahan penulisan sepele dari zu untuk ci lebih mungkin). Kesalahan menemukan jalan masuknya ke dalam katalog yang belakangan (misalnya T.55.2149:246b21), Tripiṭaka Koreana, dan dari sana ke dalam edisi Taishō.

<19> T.2.125:549a10. Versi kejadian ini diambil dari biografi Dharmanandin dalam Liang gaoseng zhuan (T.50.2059:328b19). Dharmanandin juga terlibat dalam penerjemahan kitab-kitab Abhidharma, yang ia catat seperti yang diulangi oleh Saṁghabhūti (T.50.2059:328b8).

<20> Misalnya T.55.2146:129a2.

<21> Dao’an menunjuk pada kata pengantarnya pada Zengyi ahan jing (T. 125) (T.55.2145:64b1). Ini juga terbukti dalam Zhongjing mulu oleh Fajing (T.55.2146:147b27).

<22> Kōgen Mizuno telah melaporkan penemuan ini dalam “Kanyaku Chūagonkyō to Zōichiagonkyō no yakushutsu ni tsuite”, Okurayama gakuin kiyō 2 (1956): 41-90; “Chūagonkyō kidai” dalam Kokuyaku issai-gyō (Agon bu) (Tokyo: Taitō, 1969, ed. yang direvisi), vol. 6, pp. 403-411; dan “Kanyaku no Chūagonkyō to Zōichiagonkyō”, Bukkyō kenkyū 18 (1989): 1-42; Kesimpulannya bahwa tim yang sama menerjemahkan sutra-sutra ini berdasarkan terutama rumusan pembukaan dan penutup yang identik dan gaya bahasa umum dari teks-teks itu.

<23> Jen-Jou Hung, Marcus Bingenheimer, dan Simon Wiles, “Quantitative Evidence for a Hypothesis regarding the Attribution of early Buddhist Translations”, Literary and Linguistic Computing 2009. DOI: 10.1093/llc/fqp036.

<24> Saya berterima kasih kepada Jan Nattier, yang memberitahukan saya masalah-masalah dengan bagian kedua dari tesis Mizuno yang dibahas di bawah.

<25> Terjemahan pertama dalam lima puluh sembilan juan pada T.55.2145:10b23, terjemahan kedua (T. 26 saat ini) ada di T.55.2145:10c7. Sengyou umumnya menandai teks-teks yang sudah tidak ada lagi sebagai jinque.

<26> T.53.2121:243a7

<27> Entri pada T.55.2147:178b20.

<28> Dalam beberapa sumber ditulis dengan salah sebagai Kang Hua.

<29> Gaoseng zhuan tidak menyebut Daoci, Li Bao, atau Tang Hua. Tetapi ia menyatakan bahwa murid Huiyan, Huichi (337-413) (T.50.2059:361b25 dan 329a22) terlibat dalam terjemahan. Sebaliknya, Gaoseng zhuan (T.50.2059:374c23) seorang Daoci dari Yuzhou, tetapi pada waktu beberapa ratus tahun kemudian. Kontradiksi itu dapat diselesaikan dengan landasan logika. Jika kita menerima kata pengantar Daoci dalam Chu sanzang jiji sebagai yang asli, dan terdapat sedikit alasan untuk meragukan keotentikannya, kita juga harus menerima penjelasannya sebagai otoritas, karena Daoci secara langsung terlibat dalam proses penerjemahan. Daoci yang disebutkan dalam Gaoseng zhuan pasti bhiksu lain dengan nama yang sama.

<30> T.50.2059:328b12.

<31> T.1.26:809b6-8.

<32> Untuk pembahasan penaksiran Sengyou tentang Zhu Fonian, lihat Jan Nattier, “Re-Evaluasting Zhu Fonian’s Shizhu duanjie jing (T. 309): Translation or Forgery?”, Annual Report of the International Research Institute for Advanced Buddhology 13 (2010): 231-258.

<33> Untuk pembahasan tentang penghubungan Hōdō atas Saṃyuktāgama Mandarin yang lebih pendek, lihat Marcus Bingenheimer, Studies in Āgama Literature – With Special Reference to the Shorter Chinese Saṃyuktāgama (Taipei: Xinwenfeng, 2011), pp. 23-32.

<34> Oskar von Hinüber, “Upāli’s Verses in the Majjhimanikāya and the Madhyamāgama”, dalam L.A. Hercus, ed., Indological and Buddhist Studies, Volume in Honour of Professor J. W. de Jong on his 60th birthday (Canberra: Faculty of Asian Studies, 1982), p. 251; von Hinüber, dalam “Sanskrit und Gandhari in Zentralasien”, dalam K. Röhrborn, et al, eds., Sprachen des Buddhismus in Zentralasien, Vortrāge des Hamburger Sympossiums vom 2. Juli bis 5. Juli 1981 (Wiesbaden, Harrassowitz, 1983), p. 33 menyatakan bahwa jika teks sumber T. 26 sesungguhnya diteruskan melalui suatu tahapan Gāndhārī, maka penghubungan pada Dharmaguptaka seharusnya dipertimbangkan juga, karena ini adalah aliran yang paling dekat berhubungan dengan bahasa ini. Dengan bantuan penelitian yang kemudian oleh von Hinüber (“Origin and Varieties of Buddhist Sanskrit”, p. 354) dan Fumio Enomoto (A Comprehensive Study of Chinese Saṃyuktāgama, p. 106), ini menjadi tidak mungkin. Di antara alasan-alasan lain, kenyataan bahwa terdapat ketumpang-tindihan tujuh sutra antara T. 26 dan Chang ahan jing (T. 1), yang secara luas dipercaya sebagai terjemahan dari Dīrghāgama Dharmaguptaka, membuat penghubungan T. 26 dengan Dharmaguptaka tidak mungkin. Untuk lebih rinci, lihat Chung dan Fukita, A Survey of Sanskrit Fragments Corresponding to the Chinese Madhyamāgama.

<35> Saya berterima kasih kepada Dr. Chung untuk membuat sebuah salinan draf dari bagian yang tersedia untuk saya.

<36> Untuk rekonstruksi umum dari urutan aslinya, lihat Egaku Mayeda, Genshi bukkyō shōten no seiritsushi kenkyū (Tokyo: Sankibo, 1964), pp. 649-662; untuk penjelasan yang lebih rinci atas perbedaan antara versi Pāli dan Mandarin dari satu bagian, lihat Bucknell, “The Structure of Sagātha-Vagga of the Saṃyutta-Nikāya.”

<37> Sepengetahuan saya, bukti paling awal untuk jumlah karakter dalam Zhong ahan jing adalah edisi pertama dari Tripiṭaka Koreana (1011-1029) kira-kira satu per tiga dari apa yang dipertahankan dalam kumpulan Nanzenji (Kyoto). Dari bukti cetak paling awal dari Zhong ahan jing hanya jilid 2-4, 6-9, 21, dan 51-54 yang telah bertahan. (Bagian-bagian dari edisi pertama Tripiṭaka Koreana telah didigitalisasi oleh Research Institute of Tripiṭaka Koreana, Koryo Daejanggyeong Yongguso, Seoul.) Jumlah karakter untuk Zhong ahan jing juga dimasukkan dalam edisi Jin atau Zhaocheng (dicetak tahun 1139-1178). Jumlah karakter adalah bentuk dari metadata yang dilampirkan untuk membantu mempertahankan keutuhan teks. Layout yang distandarisasi tampaknya suatu prasyarat untuk jumlah karakter, karena hanya jika jumlah karakter per baris dan jumlah baris per lembar atau blok kayu yang tetap, adalah mungkin untuk menghitung mereka dengan mudah dan dapat dipercaya.

<38> Zhongguo Fojiao Xiehui, ed. Fangshan shijing (Beijing: Zhongguo fojiao tushu wenwu guan, 1989), vol. 21, pp. 1-592.

<39> Seperti yang disebutkan di atas (catatan kaki no. 37), hanya dua belas jilid dari pahatan pertama Tripiṭaka Koreana (1011-1029) yang bertahan. Setelah itu kita memiliki edisi Jin sebagai suatu bukti awal. Ia sezaman dengan edisi Fangshan, tetapi versinya dari Zhong ahan jing tidak lengkap.; jilid 2-3, 9, 25, 41, 51-52, 56, dan 59 hilang. Sisa dari kanon Jin direproduksi dalam Zhonghua dazang jing (Shanghai: Zhonghua shuju, 1984-1996). Satu jilid (no. 36) dari Zhong ahan jing terkandung dalam kanon Liao (c. 983-1031) telah bertahan: item no. 9 dalam Shanxi wenwuju dan Zhongguo lishi bowuguan, Yingxian muta Liaodai mizang (Beijing: Wenwu chubanshe, 1991), menurut Stefano Zachetti, In Praise of the Light – A Critical Synoptic Edition with an Annotated Translation of Chapters 1-3 of Dharmarakṣa Guang zan jing, being the Earliest Translation of the Larger Prajñāpāramitā (Tokyo: The International Research Institute for Advanced Buddhology, Soka University, 2005), p. 103n.

<40> TransHelp bersifat open-source dan tersedia dalam repository SourceForge.
« Last Edit: 09 April 2016, 10:24:00 AM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa