//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Samyukta Agama - Tentang Radha dan Pandangan-Pandangan (jilid 6)  (Read 6870 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Tentang Rādha dan Pandangan-Pandangan
Terjemahan Saṃyukta-āgama Kotbah 111 sampai 138 (Jilid 6)

Bhikkhu Anālayo

Abstaksi

Artikel ini menerjemahkan jilid keenam dari Saṃyukta-āgama, yang mengandung kotbah 111 sampai 138.<1>

[Kotbah-Kotbah Berhubungan tentang Rādha]

111. [Kotbah tentang Saluran Kemenjadian]
<2>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula.<3> Kemudian seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha,<4> yang bangkit dari meditasi pada sore hari, mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi, dan berkata kepada Sang Buddha: “Seperti yang telah diajarkan Sang Bhagavā, terdapat arus kemenjadian. Apakah yang disebut arus kemenjadian? Apakah yang disebut lenyapnya arus kemenjadian?”

Sang Buddha berkata kepada Rādha: “Adalah bagus bagimu untuk menanyakan hal ini. Aku akan menjelaskannya kepadamu, yaitu apa yang disebut arus kemenjadian. Seorang duniawi bodoh yang tidak terpelajar tidak memahami sebagaimana adanya munculnya bentuk jasmani, lenyapnya bentuk jasmani, kepuasan dalam bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan keluar dari bentuk jasmani. Karena tidak memahami sebagaimana adanya, ia menginginkan dan bergembira dalam bentuk jasmani, ia memujinya, ia menggenggamnya, dan terkotori oleh keterikatan [padanya]. Bergantung pada ketagihan dan kenikmatan dalam bentuk jasmani, terdapat kemelekatan. Bergantung pada kemelekatan, terdapat kemenjadian. Bergantung pada kemenjadian, terdapat kelahiran. Bergantung pada kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan meningkat. Dengan cara ini keseluruhan kumpulan dukkha muncul. Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini. Ini disebut arus kemenjadian.<5>

“Seorang siswa mulia yang terpelajar memahami sebagaimana adanya munculnya bentuk jasmani, lenyapnya bentuk jasmani, kepuasan dalam bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan keluar dari bentuk jasmani. Karena memahami sebagaimana adanya, ia tidak memunculkan ketagihan dan kenikmatan sehubungan dengan bentuk jasmani demikian, memujinya, memegangnya, atau terkotori oleh keterikatan [padanya]. Karena tanpa ketagihan dan kenikmatan, kemelekatan lenyap. Dengan lenyapnya kemelekatan, kemenjadian lenyap. Dengan lenyapnya kemenjadian, kelahiran lenyap. Dengan lenyapnya kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kesakitan dan kekesalan lenyap.<6> Dengan cara ini keseluruhan kumpulan dukkha lenyap.

Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini.

“Ini disebut arus kemenjadian dan lenyapnya arus kemenjadian, seperti yang diajarkan Sang Tathāgata.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.

112. [Kotbah tentang Pengetahuan yang Menembus]<7>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula.<8> Kemudian seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha, yang bangkit dari meditasi pada sore hari, mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi, dan berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagavā, seperti yang telah diajarkan Sang Bhagavā, terdapat pemahaman yang menembus terhadap bentuk jasmani, pemahaman yang menembus terhadap perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran?”<9>

Sang Buddha berkata kepada Rādha: “Adalah bagus bagimu untuk menanyakan hal ini. Aku akan menjelaskannya kepadamu. Pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan hancurnya kekhawatiran, dukacita, kesakitan dan kekesalan sehubungan dengan bentuk jasmani, ini disebut pemahaman yang menembus terhadap bentuk jasmani. Pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan hancurnya kekhawatiran, dukacita, kesakitan dan kekesalan sehubungan dengan perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran, [38a] ini disebut pemahaman yang menembus terhadap perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran.”<10>

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Radha dan Pandangan-Pandangan (jilid 6)
« Reply #1 on: 03 May 2016, 07:30:07 PM »
113. [Kotbah tentang Melenyapkan Dukkha dari Bentuk Jasmani]

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula, dengan seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha.<11>

Kemudian sekelompok pengembaraan ajaran lain mendekati Yang Mulia Rādha. Setelah bertukar salam ramah tamah, mereka mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi. Mereka bertanya kepada Yang Mulia Rādha:

“Demi tujuan apakah engkau telah pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih kehidupan suci di bawah Pertapa Gotama?”

Yang Mulia Rādha menjawab: “Aku telah pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā demi tujuan meninggalkan dukkha dari bentuk jasmani; aku telah pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā demi tujuan meninggalkan dukkha dari perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran.”

Kemudian para pengembara ajaran lain, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Yang Mulia Rādha, tidak bergembira dalam pikiran mereka. Mereka bangkit dari tempat duduk mereka, menyalahkannya, dan pergi.

Pada waktu Yang Mulia Rādha, yang mengetahui bahwa para pengembara ajaran lain telah pergi, berpikir: “Setelah melanjutkan berkata dengan cara ini, apakah aku tidak salah menggambarkan Sang Bhagavā? Apakah aku berkata seperti yang seharusnya kukatakan? Apakah aku berkata sesuai dengan Dharma, apakah aku mengatakan Dharma sesuai dengan Dharma? Ketika ditanyai dengan dekat oleh orang lain, apakah aku tidak akan dicela dan jatuh ke dalam suatu kesempatan untuk dikalahkan?”

Pada waktu itu Yang Mulia Rādha, setelah bangkit dari meditasi pada sore hari, mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki Sang Buddha, dan mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi.<12> Ia secara lengkap menceritakan kepada Sang Buddha tentang hal di atas, [dengan berkata]: “Sang Bhagavā, setelah melanjutkan berkata dengan cara ini, apakah aku tidak melakukan suatu kesalahan? Apakah aku tidak salah menggambarkan Sang Bhagavā? Ketika dengan dekat ditanyai oleh orang lain, apakah aku tidak akan dicela dan jatuh ke dalam suatu kesempatan untuk dikalahkan? Apakah aku berkata seperti yang seharusnya kukatakan? Apakah aku berkata sesuai dengan Dharma, apakah aku mengatakan Dharma sesuai dengan Dharma?”

Sang Buddha berkata kepada Rādha: “Engkau berkata dengan benar.<13> Engkau tidak salah menggambarkan Sang Tathāgata. Engkau berkata seperti yang seharusnya engkau katakan. Engkau berkata sesuai dengan Dharma, dengan mengatakan Dharma sesuai dengan Dharma. Mengapa demikian? Rādha, bentuk jasmani adalah dukkha. Seseorang pergi meninggalkan keduniawian [di bawah aku] untuk berlatih kehidupan suci demi tujuan meninggalkan dukkha itu. Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran adalah dukkha. Seseorang pergi meninggalkan keduniawian [di bawah aku] untuk berlatih kehidupan suci demi tujuan meninggalkan dukkha itu.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.

114. [Kotbah tentang Memahami Dukkha]<14>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula, dengan seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha.<15>

Kemudian sekelompok pengembaraan ajaran lain mendekati Yang Mulia Rādha. [38b] Setelah bertukar salam ramah tamah, mereka mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi. Mereka bertanya kepada Yang Mulia Rādha:
“Demi tujuan apakah engkau telah pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih kehidupan suci di bawah Pertapa Gotama?”

Yang Mulia Rādha menjawab: “Aku telah pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā demi tujuan memahami dukkha.”

Kemudian para [pengembara] ajaran lain, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Yang Mulia Rādha, tidak bergembira dalam pikiran mereka. Mereka bangkit dari tempat duduk mereka, menyalahkannya, dan pergi.

Pada waktu itu Yang Mulia Rādha, setelah bangkit dari meditasi pada sore hari, mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki Sang Buddha, dan mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi. Ia secara lengkap menceritakan kepada Sang Buddha tentang hal di atas, [dengan berkata]: “Sang Bhagavā, setelah melanjutkan berkata dengan cara ini, apakah aku tidak salah menggambarkan Sang Bhagavā? Ketika dengan dekat ditanyai oleh orang lain, apakah aku tidak akan dicela dan jatuh ke dalam suatu kesempatan untuk dikalahkan? Apakah aku tidak berkata seperti yang seharusnya kukatakan? Apakah aku tidak berkata sesuai dengan Dharma, apakah aku tidak mengatakan Dharma sesuai dengan Dharma?”

Sang Buddha berkata kepada Rādha: “Engkau berkata dengan benar. Engkau tidak salah menggambarkan Sang Tathāgata. Ketika dengan dekat ditanyai oleh orang lain, engkau tidak akan dicela dan jatuh ke dalam suatu kesempatan dikalahkan. Engkau berkata seperti yang seharusnya engkau katakan. Engkau berkata sesuai dengan Dharma, dengan mengatakan Dharma sesuai dengan Dharma. Mengapa demikian? Rādha, bentuk jasmani adalah dukkha. Seseorang pergi meninggalkan keduniawian di bawah Sang Tathāgata untuk berlatih kehidupan suci demi tujuan memahami dukkha itu. Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran adalah dukkha. Seseorang pergi meninggalkan keduniawian di bawah Sang Tathāgata untuk berlatih kehidupan suci demi tujuan memahami dukkha itu.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Radha dan Pandangan-Pandangan (jilid 6)
« Reply #2 on: 03 May 2016, 07:31:38 PM »
115. [Kotbah tentang Kekhawatiran dan Dukacita]

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula, pada waktu itu bersama dengan seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha.

Kemudian sekelompok pengembaraan ajaran lain mendekati Yang Mulia Rādha. Setelah bertukar salam ramah tamah, mereka mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi. Mereka bertanya kepada Yang Mulia Rādha:

“Demi tujuan apakah engkau telah pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih kehidupan suci di bawah Pertapa Gotama?”

Yang Mulia Rādha menjawab: “Aku telah pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih kehidupan suci di bawah Sang Tathāgata demi tujuan pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan penghancuran kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan sehubungan dengan bentuk jasmani. Aku telah pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih kehidupan suci di bawah Sang Tathāgata demi tujuan pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan penghancuran kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan sehubungan dengan perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran.”

Kemudian para pengembara ajaran lain, setelah mendengarkan hal ini, tidak bergembira dalam pikiran mereka. Mereka bangkit dari tempat duduk mereka, menyalahkannya, dan pergi.

Pada waktu itu Yang Mulia Rādha, setelah bangkit dari meditasi pada sore hari, mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki Sang Buddha, dan mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi. Ia secara lengkap menceritakan kepada Sang Buddha tentang hal di atas, [dengan berkata]: “Sang Bhagavā, apakah aku tidak salah menggambarkan Sang Bhagavā? Ketika dengan dekat ditanyai oleh orang lain yang datang, apakah aku tidak akan dicela dan jatuh ke dalam suatu kesempatan untuk dikalahkan? Apakah aku tidak berkata seperti yang seharusnya kukatakan? Apakah aku tidak berkata sesuai dengan Dharma, apakah aku tidak mengatakan Dharma sesuai dengan Dharma?”

Sang Buddha berkata kepada Rādha: “Engkau berkata dengan benar. Engkau tidak salah menggambarkan Sang Tathāgata. [38c] Ketika dengan dekat ditanyai oleh orang lain, engkau tidak akan dicela dan jatuh ke dalam suatu kesempatan untuk dikalahkan. Engkau berkata seperti yang seharusnya engkau katakan. Engkau berkata sesuai dengan Dharma, dengan mengatakan Dharma sesuai dengan Dharma. Mengapa demikian? Rādha, seseorang pergi meninggalkan keduniawian di bawah Sang Tathāgata demi tujuan meninggalkan kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan sehubungan dengan bentuk jasmani. Seseorang pergi meninggalkan keduniawian di bawah Sang Tathāgata demi tujuan meninggalkan kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan sehubungan dengan perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.

116. [Kotbah tentang Melihat sebagai Diri atau Milik Diri]

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula, pada waktu itu bersama dengan seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha.

Kemudian sekelompok pengembara ajaran lain mendekati Rādha. Setelah bertukar salam ramah tamah, mereka mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi. Mereka bertanya kepada Yang Mulia Rādha:

“Demi tujuan apakah engkau telah pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih kehidupan suci di bawah Pertapa Gotama?”

Rādha menjawab: “Aku telah pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā demi tujuan pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan penghancuran melihat bentuk jasmani sebagai diri atau milik diri, dan [demi tujuan pelenyapan ... dan penghancuran] kecenderungan yang mendasari, belenggu, dan kemelekatan pada kesombongan-aku.<16> [Aku telah pergi meninggalkan keduniawian ... ] demi tujuan pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan penghancuran melihat perasaan ... perasaan ... bentukan ... kesadaran sebagai diri atau milik diri, dan [demi tujuan pelenyapan ... dan penghancuran] kecenderungan yang mendasari, belenggu, dan kemelekatan pada kesombongan-aku.”

Kemudian para pengembara ajaran lain, setelah mendengarkan hal ini, tidak bergembira dalam pikiran mereka. Mereka bangkit dari tempat duduk mereka, menyalahkannya, dan pergi.

Bhikkhu Rādha, setelah bangkit dari meditasi pada sore hari, mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki Sang Buddha, dan mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi. Ia secara lengkap menceritakan kepada Sang Buddha tentang hal di atas, [dengan berkata]: “Sang Bhagavā, dengan apa yang kukatakan, apakah aku tidak salah menggambarkan Sang Bhagavā? Ketika dengan dekat ditanyai oleh orang lain, apakah aku tidak akan dicela dan jatuh ke dalam suatu kesempatan untuk dikalahkan? Apakah aku berkata seperti yang seharusnya kukatakan? Apakah aku tidak berkata sesuai dengan Dharma, apakah aku tidak mengatakan Dharma sesuai dengan Dharma?”

Sang Buddha berkata kepada Rādha: “Engkau berkata dengan benar. Engkau tidak salah menggambarkan Sang Tathāgata. Ketika dengan dekat ditanyai oleh orang lain, engkau tidak akan dicela dan jatuh ke dalam suatu kesempatan untuk dikalahkan. Engkau berkata seperti yang seharusnya engkau katakan. Engkau berkata sesuai dengan Dharma, dengan mengatakan Dharma sesuai dengan Dharma. Mengapa demikian? Rādha, seseorang pergi meninggalkan keduniawian di bawah Sang Tathāgata demi tujuan pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan penghancuran melihat bentuk jasmani sebagai diri atau milik diri, dan [demi tujuan pelenyapan ... dan penghancuran] kecenderungan yang mendasari, belenggu, dan kemelekatan pada kesombongan-aku. [Seseorang pergi meninggalkan keduniawian ... ] demi tujuan pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan penghancuran melihat perasaan ... perasaan ... bentukan ... kesadaran sebagai diri atau milik diri, dan [demi tujuan pelenyapan ... dan penghancuran] kecenderungan yang mendasari, belenggu, dan kemelekatan pada kesombongan-aku.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Radha dan Pandangan-Pandangan (jilid 6)
« Reply #3 on: 03 May 2016, 07:33:13 PM »
117. [Kotbah tentang Dengan Arus-Arus Kekotoran Batin dan Rintangan-Rintangan]

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula, pada waktu itu bersama dengan seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha.

Kemudian sekelompok pengembara ajaran lain mendekati Rādha. Setelah bertukar salam ramah tamah, mereka mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi. Mereka bertanya kepada Yang Mulia Rādha:

“Demi tujuan apakah engkau telah pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih kehidupan suci di bawah Pertapa Gotama?”

Rādha menjawab: [39a] “Aku telah pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih kehidupan suci di bawah Sang Tathāgata demi tujuan pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan penghancuran arus-arus [kekotoran batin], rintangan-rintangan, demam, kekesalan, kekhawatiran, dan kesedihan sehubungan dengan bentuk jasmani. [Aku telah pergi meninggalkan keduniawian ... ] demi tujuan pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan penghancuran arus-arus [kekotoran batin], rintangan-rintangan, demam, kekesalan, kekhawatiran, dan kesedihan sehubungan perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran.”

Kemudian para pengembara ajaran lain, setelah mendengarkan hal ini, tidak bergembira dalam pikiran mereka. Mereka bangkit dari tempat duduk mereka, menyalahkannya, dan pergi.

Pada waktu itu Rādha, setelah bangkit dari meditasi pada sore hari, mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki Sang Buddha, dan mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi. Ia secara lengkap menceritakan kepada Sang Buddha tentang hal di atas, [dengan berkata]: “Sang Bhagavā, dengan apa yang kukatakan, apakah aku tidak salah menggambarkan Sang Bhagavā? Ketika dengan dekat ditanyai oleh orang lain, apakah aku tidak akan dicela dan jatuh ke dalam suatu kesempatan untuk dikalahkan? Apakah aku berkata seperti yang seharusnya kukatakan? Apakah aku tidak berkata sesuai dengan Dharma, apakah aku tidak mengatakan Dharma sesuai dengan Dharma?”

Sang Buddha berkata kepada Rādha: “Engkau berkata dengan benar. Engkau tidak salah menggambarkan Sang Tathāgata. Ketika dengan dekat ditanyai oleh orang lain, engkau tidak akan dicela dan jatuh ke dalam suatu kesempatan untuk dikalahkan. Engkau berkata seperti yang seharusnya engkau katakan. Engkau berkata sesuai dengan Dharma, dengan mengatakan Dharma sesuai dengan Dharma.<17> Mengapa demikian? Rādha, seseorang pergi meninggalkan keduniawian di bawah Sang Tathāgata demi tujuan pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan penghancuran arus-arus [kekotoran batin], rintangan-rintangan, demam, kekesalan, kekhawatiran, dan kesedihan sehubungan dengan bentuk jasmani. [Seseorang pergi meninggalkan keduniawian ... ] demi tujuan pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan penghancuran arus-arus [kekotoran batin], rintangan-rintangan, demam, kekesalan, kekhawatiran, dan kesedihan sehubungan perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.

118. [Kotbah tentang Nafsu, Kebencian, dan Delusi]

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula, pada waktu itu bersama dengan seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha.

Kemudian [sekelompok] pengembara ajaran lain mendekati Rādha. Setelah bertukar salam ramah tamah, mereka mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi. Mereka bertanya kepada Rādha:

“Demi tujuan apakah engkau telah pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih kehidupan suci di bawah Pertapa Gotama?”

Rādha menjawab: “Aku telah pergi meninggalkan keduniawian di bawah Sang Tathāgata demi tujuan pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan penghancuran nafsu, kebencian, dan delusi sehubungan dengan bentuk jasmani. [Aku telah pergi meninggalkan keduniawian ... ] demi tujuan pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan penghancuran nafsu, kebencian, dan delusi sehubungan dengan perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran.”

Kemudian para pengembara ajaran lain, setelah mendengarkan hal ini, tidak bergembira dalam pikiran mereka. Mereka bangkit dari tempat duduk mereka, menyalahkannya, dan pergi.

Bhikkhu Rādha, setelah bangkit dari meditasi pada sore hari, mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki Sang Buddha, dan mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi. Ia secara lengkap menceritakan kepada Sang Buddha tentang hal di atas, [dengan berkata]: “Sang Bhagavā, dengan apa yang kukatakan, apakah aku tidak salah menggambarkan Sang Bhagavā? Ketika dengan dekat ditanyai oleh orang lain, apakah aku tidak akan dicela dan jatuh ke dalam suatu kesempatan untuk dikalahkan? Apakah aku berkata seperti yang seharusnya kukatakan? Apakah aku tidak berkata sesuai dengan Dharma, apakah aku tidak mengatakan Dharma sesuai dengan Dharma?”

Sang Buddha berkata kepada Rādha: “Engkau berkata dengan benar. Engkau tidak salah menggambarkan Sang Tathāgata. Ketika dengan dekat ditanyai oleh orang lain, engkau tidak akan dicela dan jatuh ke dalam suatu kesempatan untuk dikalahkan. Engkau berkata seperti yang seharusnya engkau katakan. Engkau berkata sesuai dengan Dharma, [39c] dengan mengatakan Dharma sesuai dengan Dharma. Mengapa demikian? Rādha, seseorang pergi meninggalkan keduniawian di bawah Sang Tathāgata demi tujuan pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan penghancuran nafsu, kebencian, dan delusi sehubungan dengan bentuk jasmani. [Seseorang pergi meninggalkan keduniawian ... ] demi tujuan pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan penghancuran nafsu, kebencian, dan delusi sehubungan dengan perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Radha dan Pandangan-Pandangan (jilid 6)
« Reply #4 on: 03 May 2016, 07:35:15 PM »
119. [Kotbah tentang Keinginan, Ketagihan, dan Kenikmatan]

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula, pada waktu itu bersama dengan seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha.

Kemudian sekelompok pengembara ajaran lain mendekati Rādha. Setelah bertukar salam ramah tamah, mereka mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi. Mereka bertanya kepada Rādha:

“Demi tujuan apakah engkau telah pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih kehidupan suci di bawah Pertapa Gotama?”

Rādha menjawab: “Aku telah pergi meninggalkan keduniawian di bawah Sang Tathāgata demi tujuan pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan penghancuran keinginan, ketagihan, dan kenikmatan sehubungan dengan bentuk jasmani. [Aku telah pergi meninggalkan keduniawian ... ] demi tujuan pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan penghancuran keinginan, ketagihan, dan kenikmatan sehubungan dengan perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran.”

Kemudian para [pengembara] ajaran lain, setelah mendengarkan hal ini, tidak bergembira dalam pikiran mereka. Mereka bangkit dari tempat duduk mereka, menyalahkannya, dan pergi.

Pada waktu itu bhikkhu Rādha, setelah bangkit dari meditasi pada sore hari, mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki Sang Buddha, dan mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi. Ia secara lengkap menceritakan kepada Sang Buddha tentang hal di atas, [dengan berkata]: “Sang Bhagavā, dengan apa yang kukatakan, apakah aku tidak salah menggambarkan Sang Bhagavā? Ketika dengan dekat ditanyai oleh orang lain, apakah aku tidak akan dicela dan jatuh ke dalam suatu kesempatan untuk dikalahkan? Apakah aku berkata seperti yang seharusnya kukatakan? Apakah aku tidak berkata sesuai dengan Dharma, apakah aku tidak mengatakan Dharma sesuai dengan Dharma?”

Sang Buddha berkata kepada Rādha: “Engkau berkata dengan benar. Engkau tidak salah menggambarkan Sang Tathāgata. Ketika dengan dekat ditanyai oleh orang lain, engkau tidak akan dicela dan jatuh ke dalam suatu kesempatan untuk dikalahkan.<18> Engkau berkata seperti yang seharusnya engkau katakan. Engkau berkata sesuai dengan Dharma, dengan mengatakan Dharma sesuai dengan Dharma. Mengapa demikian? Rādha, seseorang pergi meninggalkan keduniawian di bawah Sang Tathāgata demi tujuan pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan penghancuran keinginan, ketagihan, dan kenikmatan sehubungan dengan bentuk jasmani. [Seseorang pergi meninggalkan keduniawian ... ] demi tujuan pelenyapan, memudarnya, lenyapnya, penenangan, dan penghancuran keinginan, ketagihan, dan kenikmatan sehubungan dengan perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.

120. [Kotbah Pertama tentang Māra]<19>

Demikianlah telah kudengar. Pada waktu itu Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula,<20> pada waktu itu bersama dengan seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Rādha: “Apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, [39c] masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, ia seharusnya semuanya direnungkan sebagai sepenuhnya diciptakan oleh Māra. Apa pun perasaa ... persepsi ... bentukan ... kesadaran, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, ia seharusnya semuanya direnungkan sebagai sepenuhnya diciptakan oleh Māra.”<21>

Sang Buddha berkata kepada Rādha: “Apakah bentuk jasmani adalah kekal atau apakah ia tidak kekal?”

Ia menjawab: “Ia tidak kekal, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha] bertanya lagi: “Apa yang tidak kekal, apakah ia adalah dukkha?”

Ia menjawab: “Ia adalah dukkha, Sang Bhagavā.”

Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini.

[Sang Buddha] bertanya lagi: “Rādha, apa yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah, apakah seorang siswa mulia yang terpelajar akan dalam hal ini menganggap bentuk jasmani demikian sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [di dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?”

Ia menjawab: “Tidak, Sang Bhagavā.”

Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini.<22>

Sang Buddha berkata kepada Rādha: “Karena seorang siswa mulia yang terpelajar tidak memandang lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagai diri atau milik diri, ia tidak melekat pada apa pun di seluruh dunia. Karena tidak melekat pada apa pun, ia tidak terikat pada apa pun. Karena tidak terikat pada apa pun, ia dengan diri sendiri merealisasi Nirvāṇa, [dengan mengetahui]: ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi’.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Radha dan Pandangan-Pandangan (jilid 6)
« Reply #5 on: 03 May 2016, 07:37:13 PM »
121. [Kotbah tentang Bersifat Mematikan]<23>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula,<24> pada waktu itu bersama dengan seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada bhikkhu Rādha: “Apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, ia semuanya sepenuhnya bersifat mematikan. Apa pun perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, ia semuanya sepenuhnya bersifat mematikan.”<25>

Sang Buddha berkata kepada Rādha: “Apakah bentuk jasmani adalah kekal atau apakah ia tidak kekal?”

Ia menjawab: “Ia tidak kekal, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha] bertanya lagi: “Apa yang tidak kekal, apakah ia adalah dukkha?”

Ia menjawab: “Ia adalah dukkha, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha bertanya]: “Apakah perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran adalah kekal atau apakah ia tidak kekal?”

Ia menjawab: “Ia tidak kekal, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha] bertanya lagi: “Apa yang tidak kekal, apakah ia adalah dukkha?”

Ia menjawab: “Ia adalah dukkha, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha] bertanya lagi: “Apa yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah, apakah seorang siswa mulia yang terpelajar akan dalam hal ini menganggapnya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [di dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?”

Ia menjawab: “Tidak, Sang Bhagavā.”

Sang Buddha berkata kepada Rādha: “Jika seorang siswa mulia yang terpelajar memeriksa lima kelompok unsur kehidupan ini sebagaimana adanya sebagai bukan diri dan bukan milik diri, ia tidak melekat pada apa pun di seluruh dunia. Dengan tidak melekat pada apa pun, ia tidak terikat pada apa pun. Karena tidak terikat pada apa pun, ia dengan diri sendiri merealisasi Nirvāṇa, [dengan mengetahui]: [40a] ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi’.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.

122. [Kotbah tentang Makhluk Hidup]<26>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula.<27> Kemudian seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagavā, sehubungan makhluk hidup: Apakah yang disebut makhluk hidup?”

Sang Buddha berkata kepada Rādha: “Yang terkotori oleh kemelekatan pada dan terjerat oleh bentuk jasmani – ini disebut makhluk hidup. Yang terkotori oleh kemelekatan dan terjerat oleh perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran – ini disebut makhluk hidup.”<28>

Sang Buddha berkata kepada Rādha: “Aku katakan bahwa [ketagihan terhadap] lingkup bentuk jasmani seharusnya diputuskan, dihancurkan, dibuat lenyap dan musnah, bahwa [ketagihan terhadap] lingkup perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran seharusnya diputuskan, dihancurkan, dibuat lenyap dan musnah. Seseorang seharusnya melenyapkan ketagihan dan keinginan terhadapnya. Dari pelenyapan ketagihan muncul pelenyapan dukkha. Aku katakan bahwa seseorang yang melenyapkan dukkha mengakhiri dukkha.

“Seperti halnya jika di sebuah desa anak kecil laki-laki dan perempuan bermain dengan mengumpulkan tanah untuk membangun sebuah kota dengan dinding dan rumah-rumah. Pikiran mereka menyenanginya dengan ketagihan dan mereka melekat padanya. Sepanjang ketagihan mereka terhadapnya tidak dilenyapkan, keinginan mereka terhadapnya tidak dilenyapkan, pemikiran mereka [dengan penuh kesayangan] terhadapnya tidak dilenyapkan, kehausan mereka terhadapnya tidak dilenyapkan, pikiran mereka terus-menerus menginginkannya dengan kenikmatan, melindunginya dengan berkata: ‘Ini adalah kotaku yang telah diberi dinding dan ini adalah rumah-rumahku.’

“Jika ketagihan mereka terhadap bentukan tanah itu dilenyapkan, keinginan mereka terhadapnya dilenyapkan, pemikiran mereka [dengan penuh kesayangan] terhadapnya dilenyapkan, kehausan mereka terhadapnya dilenyapkan, mereka mendorongnya dengan tangan mereka atau menendangnya dengan kaki mereka sehingga ia menjadi berserakan.

“Dengan cara yang sama, Rādha, ketagihan terhadap bentuk jasmani adalah untuk diputuskan, dihancurkan, dibuat lenyap dan musnah. [Ketagihan terhadap perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran adalah untuk diputuskan, dihancurkan, dibuat lenyap dan musnah].<29> Karena pelenyapan ketagihan, dukkha dilenyapkan. Aku katakan bahwa karena pelenyapan dukkha seseorang mengakhiri dukkha.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Radha dan Pandangan-Pandangan (jilid 6)
« Reply #6 on: 03 May 2016, 07:39:40 PM »
123. [Kotbah tentang Ketagihan, Kenikmatan, dan Nafsu]<30>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula. Kemudian seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi, dan berkata kepada Sang Buddha:

“Adalah baik jika Sang Bhagavā mengajarkanku intisari Dharma secara ringkas. Setelah mendengarkan Dharma itu, aku akan menyendiri di suatu tempat yang sunyi dengan berfokus pada satu tujuan merenungkannya, menjadi berkembang di dalamnya tanpa lalai, [sehingga aku mencapai yang] demi tujuan di mana seorang putra anggota keluarga mencukur janggut dan rambut, mengenakan jubah yang dicelup pada tubuhnya, pergi meninggalkan keduniawian demi keyakinan benar menuju keadaan tanpa rumah, melihat Dharma dan dengan diri sendiri mengetahui dan merealisasi bahwa: ‘Kelahiran bagiku telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan lebih jauh lagi’.”

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada Rādha: “Adalah baik, Rādha, bahwa engkau dapat menanyakan suatu permasalahan demikian di hadapan Sang Buddha. Dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama pada apa yang akan kukatakan kepadamu. Rādha, engkau seharusnya memahami identitas (sakkāya), munculnya identitas, lenyapnya identitas, dan jalan menuju lenyapnya identitas.

“Apakah identitas? Yaitu, ini adalah lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati – [40b] kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati ... perasaan ... persepsi ... bentukan ... kelompok unsur kesadaran yang dilekati.

“Apakah munculnya identitas? Yaitu, ini adalah ketagihan yang bergabung dengan nafsu dan kenikmatan terhadap kemenjadian yang akan datang, dengan menyenangi dengan ketagihan di sini dan di sana. Ini disebut munculnya identitas.

“Apakah lenyapnya identitas? Yaitu, ini adalah meninggalkan tanpa sisa, melepaskan, memuntahkan, melenyapkan, memudarnya, penenangan, dan hancurnya ketagihan yang bergabung dengan nafsu dan kenikmatan terhadap kemenjadian yang akan datang, dengan menyenangi dengan ketagihan di sini dan di sana. Ini disebut lenyapnya identitas.

“Apakah jalan menuju lenyapnya identitas? Yaitu, ini adalah jalan mulia berunsur delapan – pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini disebut jalan menuju lenyapnya identitas.

“Engkau seharusnya memahami identitas, engkau seharusnya meninggalkan munculnya identitas, engkau seharusnya merealisasi lenyapnya identitas, dan engkau seharusnya mengembangkan jalan menuju lenyapnya identitas.

“Rādha, jika seorang siswa mulia yang terpelajar telah memahami dan meninggalkan identitas, telah memahami dan meninggalkan munculnya identitas, telah memahami dan merealisasi lenyapnya identitas, telah memahami dan mengembangkan jalan menuju lenyapnya identitas, Rādha, [maka] ia dikatakan telah meninggalkan ketagihan, telah terbebaskan dari ketagihan, telah menghentikan kelanjutan belenggu, telah sepenuhnya memahami (abhisameti) keangkuhan, dan [telah mencapai] terlampauinya dukkha yang tiada bandingnya.”

Mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat. Ia bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan, dan pergi. Setelah diajarkan oleh Sang Bhagavā dengan cara ini, bhikkhu Rādha menyendiri di suatu tempat yang sunyi dengan berfokus pada satu tujuan merenungkannya. [Ia mencapai yang] demi tujuan di mana seorang putra anggota keluarga mencukur janggut dan rambut, mengenakan jubah yang dicelup, pergi meninggalkan keduniawian demi keyakinan benar menuju keadaan tanpa rumah untuk berlatih dalam sang jalan dan dengan semangat yang meningkat mengembangkan kehidupan suci. Ia melihat Dharma dan dengan diri sendiri mengetahui dan merealisasi bahwa: ‘Kelahiran bagiku telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan lebih jauh lagi.’ Ia menjadi seorang arahant dengan pikiran yang terbebaskan dengan baik.

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.

124. [Kotbah Kedua tentang Māra]<31>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula dengan seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada bhikkhu Rādha: “Para bhikkhu,<32> apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, ini semua seharusnya direnungkan sebagai sepenuhnya [berada pada pihak] Māra. Apa pun perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, ini semua seharusnya direnungkan sebagai sepenuhnya [berada pada pihak] Māra.

“Rādha, apakah yang engkau pikirkan, apakah bentuk jasmani adalah kekal atau apakah ia tidak kekal?”

Ia menjawab: “Ia tidak kekal, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha bertanya lagi]: “Apa yang tidak kekal, apakah ia adalah dukkha?”

Ia menjawab: “Ia adalah dukkha, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha bertanya lagi]: “Apa yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah, apakah seorang siswa mulia yang terpelajar dalam hal ini akan menganggapnya sebagai diri?”

Ia menjawab: “Tidak, Sang Bhagavā.”

Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini. [40c]

“Oleh sebab itu, Rādha, seorang siswa mulia yang terpelajar membangkitkan kekecewaan terhadap bentuk jasmani, membangkitkan kekecewaan terhadap perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran. Karena menjadi kecewa, ia tidak menyenanginya. Karena tidak menyenanginya, ia menjadi terbebaskan. Dengan terbebaskan, ia mengetahui dan melihat: ‘Kelahiran bagiku telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan lebih jauh lagi’.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Radha dan Pandangan-Pandangan (jilid 6)
« Reply #7 on: 03 May 2016, 07:41:59 PM »
125. [Kotbah tentang Apa yang Diciptakan oleh Māra]<33>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula, pada waktu itu bersama dengan seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada bhikkhu Rādha: “Apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, ini semua sepenuhnya diciptakan oleh Māra. Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini.

Sang Buddha berkata kepada Rādha: “Apakah yang engkau pikirkan, apakah bentuk jasmani adalah kekal atau apakah ia tidak kekal?”

Ia menjawab: “Ia tidak kekal, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha bertanya lagi]: “Apa yang tidak kekal, apakah ia adalah dukkha?”

Ia menjawab: “Ia adalah dukkha, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha bertanya lagi]: “Apakah perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran adalah kekal atau apakah ia tidak kekal?”

Ia menjawab: “Ia tidak kekal, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha bertanya lagi]: “Apa yang tidak kekal, apakah ia adalah dukkha?”

Ia menjawab: “Ia adalah dukkha, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha bertanya lagi]: “Apa yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah, apakah seorang siswa mulia yang terpelajar dalam hal ini akan menganggapnya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [di dalam diri, atau suatu diri] sebagai ada [di dalamnya]?”

Ia menjawab: “Tidak, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha berkata]: “Oleh sebab itu, Rādha, seorang siswa mulia yang terpelajar membangkitkan kekecewaan terhadap bentuk jasmani. Karena menjadi kecewa, ia tidak menyenanginya. Ia membangkitkan kekecewaan terhadap perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran. Karena menjadi kecewa, ia tidak menyenanginya.<34> Karena tidak menyenanginya, ia menjadi terbebaskan. Dengan terbebaskan ia mengetahui dan melihat: ‘Kelahiran bagiku telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan lebih jauh lagi’.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.

Sebuah kotbah ketiga juga seperti ini, dengan perbedaan:<35> Sang Buddha berkata kepada Rādha: “Seorang siswa mulia yang terpelajar memeriksa lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagai bukan diri dan bukan milik diri.<36> Setelah memeriksanya, ia tidak melekat pada apa pun di seluruh dunia. Karena tidak melekat, ia tidak terikat. Karena tidak terikat, ia dengan diri sendiri merealisasi Nirvāṇa, [dengan mengetahui]: ‘Kelahiran bagiku telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan lebih jauh lagi’.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.

126. [Kotbah tentang Bersifat Mematikan]<37>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula, pada waktu itu bersama dengan seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Rādha: [41a] “Apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, ini semua seharusnya direnungkan sebagai sepenuhnya bersifat mematikan. Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini.

Sisanya harus diulangi seperti sebelumnya.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Radha dan Pandangan-Pandangan (jilid 6)
« Reply #8 on: 03 May 2016, 07:45:41 PM »
127. [Kotbah Pertama tentang Bersifat untuk Ditinggalkan]<38>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula,<39> pada waktu itu bersama dengan seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Rādha: “Apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, ini semua seharusnya direnungkan sebagai sepenuhnya bersifat untuk ditinggalkan. Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini.<40>

“Seorang siswa mulia terpelajar yang merenungkan dengan cara ini membangkitkan kekecewaan terhadap bentuk jasmani, membangkitkan kekecewaan terhadap perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran. Karena menjadi kecewa, ia tidak menyenanginya. Karena tidak menyenanginya, ia menjadi terbebaskan. Dengan terbebaskan ia sendiri mengetahui dan melihat: ‘Kelahiran bagiku telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan lebih jauh lagi’.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.

Seperti halnya “memeriksanya sebagai bersifat untuk ditinggalkan”, dengan cara yang sama seseorang “memeriksanya sebagai bersifat untuk dilepaskan”, “memeriksanya sebagai bersifat tidak kekal”, “memeriksanya sebagai bersifat dukkha”, “memeriksanya sebagai bersifat kosong”, “memeriksanya sebagai bersifat bukan-diri”, “memeriksanya sebagai bersifat tidak kekal, dukkha, kosong, dan bukan diri”, “memeriksanya sebagai bersifat penyakit”, “memeriksanya sebagai bersifat bisul”, “memeriksanya sebagai bersifat duri”, “memeriksanya sebagai bersifat untuk dipotong”, “memeriksanya sebagai bersifat [menyediakan] landasan untuk dipotong”, “memeriksanya sebagai bersifat penyakit, bisul, duri, untuk dipotong, dan landasan untuk dipotong.” Dengan cara ini kotbah itu semuanya dikatakan seperti di atas.

128. [Kotbah Kedua tentang Bersifat untuk Ditinggalkan]<41>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula, pada waktu itu bersama dengan seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Rādha: “Apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, ini semua seharusnya direnungkan sebagai sepenuhnya bersifat untuk ditinggalkan. Setelah memeriksanya, keinginan dan nafsu terhadap bentuk jasmani ditinggalkan. Dengan keinginan dan nafsu telah ditinggalkan,<42> aku katakan bahwa pikiran terbebaskan dengan baik. Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.

Dengan cara ini empat belas kotbah juga dikatakan seperti di atas.

129. [Kotbah Ketika tentang Bersifat untuk Ditinggalkan]<43>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Makula, pada waktu itu bersama dengan seorang bhikkhu pelayan bernama Rādha. [41b]

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Rādha: “Apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, ini semua seharusnya direnungkan sebagai sepenuhnya bersifat untuk ditinggalkan. Setelah memeriksanya sebagai bersifat untuk ditinggalkan, keinginan dan nafsu terhadap bentuk jasmani ditinggalkan. Dengan keinginan dan nafsu telah ditinggalkan,<44> aku katakan bahwa pikiran terbebaskan dengan baik. Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bhikkhu Rādha bergembira dan menerimanya dengan hormat.<45>
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Radha dan Pandangan-Pandangan (jilid 6)
« Reply #9 on: 03 May 2016, 07:48:27 PM »
[Kotbah-Kotbah Berhubungan tentang Pandangan-Pandangan]

130. [Kotbah tentang Mencari Sang Guru Agung]

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Seseorang yang ingin meninggalkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati seharusnya mencari Sang Guru Agung.<46> Apakah lima hal itu? Yaitu, mereka adalah kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati ... perasaan ... persepsi ... bentukan ... kelompok unsur kesadaran yang dilekati. Dengan berharap untuk meninggalkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini, seseorang seharusnya mencari Sang Guru Agung.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.

Seperti halnya “seseorang seharusnya meninggalkan”, dengan cara yang sama “seseorang seharusnya memahami”, “seseorang seharusnya memuntahkan”, “seseorang seharusnya menenangkan”, “seseorang seharusnya melepaskan” juga seperti ini.

Seperti halnya mencari “sang guru agung”, dengan cara yang sama [mencari] “sang guru tertinggi”, “sang guru dengan urutan yang tepat”, “sang pengajar”, “sang pengajar tertinggi”, “sang pengajar dengan urutan yang tepat”, “seseorang yang telah menembus”, “seseorang yang telah secara luas menembus”, “seseorang yang telah sepenuhnya menembus”, “seseorang yang membimbing”, “seseorang yang secara luas membimbing”, “seseorang yang pada akhirnya membimbing”, “seseorang yang menjelaskan”, “seseorang yang secara luas menjelaskan”, “seseorang yang menjelaskan dalam urutan yang tepat”, “seseorang yang lurus”, “seseorang yang adalah seorang sahabat”, “seseorang yang benar-benar seorang teman”, “seseorang yang [seakan-akan ia adalah] sanak keluarga”, “seseorang yang dengan empati”, “seseorang yang berbelas kasih”, “sang pemandu menuju makna”, “seseorang yang menghibur”, “sang pemandu menuju kebahagiaan”, “sang pemandu menuju pengalaman”, “sang pemandu menuju kenyamanan”, “seseorang yang mengharapkan [kesejahteraan orang lain]”, “seseorang yang bersemangat”, “seseorang yang terampil”, “seseorang yang tekun”, “seseorang yang berani”, “seseorang yang kokoh”, “seseorang yang kuat”, “seseorang yang mampu”, “sang ahli”, “seseorang yang pikirannya tidak mundur”, “seseorang yang stabil”, “seseorang yang terus-menerus berlatih”, “seseorang yang tidak pernah lalai”, “seseorang yang rukun”, “seseorang yang penuh perhatian”, “seseorang yang mengingat kembali”, “seseorang yang tercerahkan”, “seseorang yang memahami”, “seseorang yang mengetahui”, “seseorang yang bijaksana”, “seseorang yang mau menerima”, “seseorang yang penuh kewaspadaan”, “seseorang yang berlatih kehidupan suci”, “seseorang yang berkembang dalam perhatian”, “seseorang dengan usaha benar”, “seseorang dengan landasan-landasan kekuatan batin”, “seseorang dengan indria-indria”,<47> “seseorang dengan kekuatan-kekuatan”, “seseorang dengan faktor-faktor pencerahan”, “seseorang dengan faktor-faktor sang jalan”, “seseorang yang tenang”, “seseorang yang berpengetahuan mendalam”, “seseorang dengan perhatian terhadap tubuh”, “seseorang dengan perenungan benar”, juga seperti ini.

131. [Kotbah tentang Menjadi Terbiasa]<48>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Jika seorang pertapa atau Brahmana menjadi terbiasa dengan bentuk jasmani,<49> ia mengikuti kekuatan Māra, jatuh ke dalam tangan Māra, mengikuti keinginan Māra, terikat oleh Māra, dan tidak bebas dari belenggu Māra.<50> Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini.

“Jika seorang pertapa atau Brahmana tidak menjadi terbiasa dengan bentuk jasmani, maka ia tidak mengikuti kekuatan Māra, [41c] tidak jatuh ke dalam tangan Māra, tidak mengikuti keinginan Māra, bebas dari ikatan oleh Māra, dan bebas dari belenggu Māra.<51> Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini.”<52>
Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.

Dengan cara yang sama “seseorang yang menjadi terbiasa untuk mendekat padanya”, “seseorang yang menjadi terbiasa untuk terikat padanya”, “seseorang yang terpuaskan olehnya”, “seseorang yang berketetapan hati dan melekat padanya”, “seseorang yang bersandar padanya”, “seseorang yang memiliki kecenderungan yang mendasari terhadapnya”, “seseorang yang mendekatinya”, “seseorang yang memilihnya”,<53> “seseorang yang tidak melepaskannya”, “seseorang yang tidak memuntahkannya”. Dengan cara ini seorang pertapa atau Brahmana mengikuti kekuatan Māra ... seperti yang dikatakan di atas.

132. [Kotbah tentang Tidak Menjadi Terbiasa]

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Jika para pertapa dan Brahmana tidak menjadi terbiasa dengan bentuk jasmani,<54> maka ia tidak mengikuti kekuatan Māra, tidak pergi ke tangan Māra, tidak mengikuti keinginan Māra, tidak terikat oleh belenggu Māra, dan bebas dari belenggu Māra. Tidak menjadi terbiasa dengan perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini.

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.

Sampai dengan “memuntahkan keluar bentuk jasmani” juga seperti ini.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Radha dan Pandangan-Pandangan (jilid 6)
« Reply #10 on: 03 May 2016, 07:50:31 PM »
133. [Kotbah tentang Apakah Sebabnya]<55>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Kelangsungan dari sebab apakah, dengan melekat pada apakah,<56> dengan dibelenggu dan terikat pada apakah, dengan melihat apakah sebagai diri,<57> makhluk-makhluk hidup yang dihalangi oleh ketidaktahuan, terbawa oleh belenggu ketagihan, berlarian selama waktu yang lama, berputar-putar dalam siklus kelahiran dan kematian, terus-menerus berpindah melalui [banyak] kelahiran dan kematian, tanpa memahami awal mulanya?”<58>

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagavā adalah akar Dharma, mata Dharma, landasan Dharma. Adalah baik jika Sang Bhagavā dapat menjelaskan makna dari hal ini sepenuhnya kepada para bhikkhu, demi belas kasih. Setelah mendengarkannya, para bhikkhu akan menjunjung tinggi dan menerimanya dengan hormat.”

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama pada apa yang akan kukatakan kepada kalian. Para bhikkhu, kelangsungan bentuk jasmani adalah sebabnya, adalah dengan melekat pada masalah bentuk jasmani, dengan dibelenggu dan terikat pada bentuk jasmani, dengan melihat bentuk jasmani sebagai diri, sehingga makhluk-makhluk hidup dihalangi oleh ketidaktahuan, terbawa oleh belenggu ketagihan, berlarian selama waktu yang lama, berputar-putar dalam siklus kelahiran dan kematian, terus-menerus berpindah melalui [banyak] kelahiran dan kematian. Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini.

“Para bhikkhu, apakah bentuk jasmani adalah kekal atau ia tidak kekal?”

Mereka menjawab: “Ia tidak kekal, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha] bertanya lagi: “Apa yang tidak kekal, apakah ia adalah dukkha?”

Mereka menjawab: “Ia adalah dukkha, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha berkata:] “Dengan cara ini, para bhikkhu, apa yang tidak kekal adalah dukkha. Dukkha ini adalah sebabnya, adalah dengan melekat pada masalah ini, dengan dibelenggu dan terikat padanya, dengan melihatnya sebagai diri, sehingga makhluk-makhluk hidup dihalangi oleh ketidaktahuan, terbawa oleh belenggu ketagihan, berlarian selama waktu yang lama, berputar-putar dalam siklus kelahiran dan kematian, terus-menerus berpindah melalui [banyak] kelahiran dan kematian. Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini.

“Oleh sebab itu, para bhikkhu, apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, [42a] masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua itu adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [di dalam diri, ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Ini disebut kebijaksanaan benar. Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini.

“Dengan cara ini apa yang dilihat, didengar, dialami, diketahui, dicari, diingat,<59> diikuti dengan kesadaran [yang diarahkan] (vitakka) dan diikuti dengan perenungan [yang terus-menerus] (vicāra), semua itu adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [di dalam diri, ataupun suatu diri] ada [di dalamnya].<60> Ini disebut kebijaksanaan benar.

“Jika terdapat pandangan yang menyatakan bahwa suatu diri ada dan dunia ada, dan bahwa dunia yang ada ini adalah kekal, abadi, dan bersifat tidak berubah – semua itu adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [di dalam diri, ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Ini disebut kebijaksanaan benar.

“Jika terdapat lagi pandangan bahwa diri ini tidak ada, bahwa tidak ada milik diri ini, bahwa diri itu tidak akan ada pada masa depan dan tidak ada milik diri itu akan ada pada masa depan – semua itu adalah bukan diri, tidak ada [di dalam diri, ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Ini disebut kebijaksanaan benar.<61>

“Seumpamanya seorang siswa mulia yang terpelajar memeriksa enam sudut pandang ini sebagai bukan diri dan bukan milik diri. Seseorang yang merenungkan dengan cara ini meninggalkan keragu-raguan sehubungan dengan Sang Buddha, meninggalkan keragu-raguan sehubungan dengan Dharma ... sehubungan dengan Komunitas (Sangha). Para bhikkhu, ini disebut seorang siswa mulia terpelajar yang tidak lagi dapat melakukan suatu perbuatan jasmani, ucapan atau pikiran yang akan membawa pada tiga tujuan buruk. Bahkan jika ia lalai, siswa mulia itu pasti akan berlanjut menuju pencerahan, dalam tujuh kehidupan kepergian dan kedatangan di antara para deva dan manusia ia akan mengakhiri dukkha.”<62>

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Radha dan Pandangan-Pandangan (jilid 6)
« Reply #11 on: 03 May 2016, 07:53:00 PM »
134. [Kotbah Pertama tentang Meninggalkan Keragu-raguan]<63>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu ... seperti yang dikatakan di atas, dengan perbedaan: “Seorang siswa mulia yang terpelajar memeriksa enam sudut pandang ini sebagai bukan diri dan bukan milik diri. Seseorang yang merenungkan dengan cara ini meninggalkan keragu-raguan sehubungan dengan dukkha, sehubungan dengan munculnya, sehubungan dengan lenyapnya, dan sehubungan dengan sang jalan.<64> Para bhikkhu, ini disebut seorang siswa mulia terpelajar yang tidak dapat melakukan suatu perbuatan jasmani, ucapan atau pikiran yang membawa pada tiga tujuan buruk, <65> ... diucapkan secara lengkap sampai dengan ... mengakhiri dukkha.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.

135. [Kotbah Kedua tentang Meninggalkan Keragu-raguan]

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu ... seperti yang dikatakan di atas, dengan perbedaan: “Seorang siswa mulia yang terpelajar memeriksa enam sudut pandang ini sebagai bukan diri dan bukan milik diri. Seseorang yang merenungkan dengan cara ini meninggalkan keragu-raguan sehubungan Sang Buddha, sehubungan dengan Dharma, sehubungan dengan Komunitas (Sangha), dan meninggalkan keragu-raguan sehubungan dengan dukkha, sehubungan dengan munculnya, sehubungan dengan lenyapnya, dan sehubungan dengan sang jalan ... diucapkan secara lengkap sampai dengan ... mengakhiri dukkha.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat. [42b]
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Radha dan Pandangan-Pandangan (jilid 6)
« Reply #12 on: 03 May 2016, 07:55:54 PM »
136. [Kotbah tentang Apakah Masalah yang Menjadi Sebabnya]<66>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Apakah masalah yang menjadi sebabnya, dengan melekat pada apakah, dengan dibelenggu dan terikat pada apakah, dengan melihat apakah sebagai diri, para bhikkhu, makhluk-makhluk yang dihalangi oleh ketidaktahuan, terbawa oleh belenggu ketagihan, berlarian selama waktu yang lama, berputar-putar dalam siklus kelahiran dan kematian, terus-menerus berpindah melalui [banyak] kelahiran dan kematian, tanpa memahami awal mulanya?”<67>

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagavā adalah akar Dharma, mata Dharma, landasan Dharma. Adalah baik jika Sang Bhagavā dapat menjelaskan makna dari hal ini sepenuhnya, demi belas kasih. Setelah mendengarkannya, para bhikkhu akan menjunjung tinggi dan menerimanya dengan hormat.”

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama pada apa yang akan kukatakan kepada kalian. Para bhikkhu, bentuk jasmani adalah sebabnya, adalah dengan melekat pada masalah bentuk jasmani, dengan dibelenggu dan terikat pada bentuk jasmani, dengan melihat bentuk jasmani sebagai diri, sehingga makhluk-makhluk hidup dihalangi oleh ketidaktahuan, terbawa oleh belenggu ketagihan, berlarian selama waktu yang lama, berputar-putar dalam siklus kelahiran dan kematian, terus-menerus berpindah dalam [banyak] kelahiran dan kematian. Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini.

“Para bhikkhu, apakah bentuk jasmani adalah kekal atau apakah ia tidak kekal?”

Mereka menjawab: “Ia tidak kekal, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha] bertanya lagi: “Apa yang tidak kekal, apakah ia adalah dukkha?”

Mereka menjawab: “Ia adalah dukkha, Sang Bhagavā.”

[Sang Buddha berkata:] “Dengan cara ini, para bhikkhu, apa yang tidak kekal adalah dukkha. Dukkha ini adalah sebabnya, adalah dengan melekat pada masalah ini, dengan dibelenggu dan terikat padanya, dengan melihatnya sebagai diri, sehingga makhluk-makhluk hidup dihalangi oleh ketidaktahuan, terbawa oleh belenggu ketagihan, berlarian selama waktu yang lama, berputar-putar dalam siklus kelahiran dan kematian, terus-menerus berpindah melalui [banyak] kelahiran dan kematian. Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini.

“Oleh sebab itu, para bhikkhu, apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, ini semua adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [di dalam diri, ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Seseorang yang merenungkannya dengan cara ini disebut seseorang dengan kebijaksanaan benar. Perasaan ... persepsi ... bentukan ... kesadaran juga seperti ini.

“Dengan cara ini, apa yang dilihat, didengar, dialami, diketahui, dicari, diingat, diikuti dengan kesadaran [yang diarahkan] dan diikuti dengan perenungan [yang terus-menerus], semua itu adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [di dalam diri, ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Ini disebut kebijaksanaan benar.

“Jika terdapat pandangan yang menyatakan bahwa suatu diri ada dan dunia ada, dan bahwa keberadaan dunia ini adalah kekal, abadi, dan tidak berubah – semua itu adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [di dalam diri, ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Ini disebut kebijaksanaan benar.

“Jika terdapat lagi pandangan bahwa diri ini tidak ada, bahwa tidak ada milik diri ini, bahwa diri itu tidak akan ada pada masa depan dan tidak ada milik diri itu akan ada pada masa depan – semua itu adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [di dalam diri, ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Ini disebut kebijaksanaan benar.

“Seumpamanya seorang siswa mulia yang terpelajar memeriksa enam sudut pandang ini sebagai bukan diri dan bukan milik diri. Seseorang yang merenungkan dengan cara ini meninggalkan keragu-raguan sehubungan dengan Sang Buddha, meninggalkan keragu-raguan sehubungan dengan Dharma ... sehubungan dengan Komunitas (Sangha). [42c] Para bhikkhu, ini disebut mereka yang tidak lagi dapat melakukan suatu perbuatan jasmani, ucapan atau pikiran yang membawa pada tiga tujuan buruk. Bahkan jika mereka lalai, para siswa mulia itu semuanya pasti berlanjut menuju pencerahan,<68> dalam tujuh kehidupan kepergian dan kedatangan di antara para deva dan manusia, mereka akan mengakhiri dukkha.”

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.

137. [Kotbah Ketiga tentang Meninggalkan Keragu-raguan]

Sebuah kotbah kedua juga seperti ini, dengan perbedaan: “Ia meninggalkan keragu-raguan sehubungan dengan dukkha, sehubungan dengan munculnya, sehubungan dengan lenyapnya, dan sehubungan dengan sang jalan.”

138. [Kotbah Keempat tentang Meninggalkan Keragu-raguan]

Sebuah kotbah ketiga juga seperti ini, dengan perbedaan: “Ia meninggalkan keragu-raguan sehubungan dengan Sang Buddha, sehubungan dengan Dharma, sehubungan dengan Komunitas (Sangha), dan ia meninggalkan keragu-raguan sehubungan dengan dukkha, sehubungan dengan munculnya, sehubungan dengan lenyapnya, dan sehubungan dengan sang jalan.”
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Radha dan Pandangan-Pandangan (jilid 6)
« Reply #13 on: 03 May 2016, 07:59:12 PM »
Catatan Kaki:

<1> Teks yang diterjemahkan ditemukan dalam T II 37c6 sampai 42c8, ini menjadi jilid keenam dalam edisi Taishō yang berhubungan dengan jilid keenam dalam urutan yang direkonstruksi dari kumpulan ini menurut, misalnya, ., Choong 2000: 243, Bucknell 2006: 686, dan Chung 2008: 23. Namun, Yìnshùn 1983, menempatkan jilid yang sekarang dan berikutnya pada titik yang sangat belakangan dalam edisinya, sebagai akibat di mana SĀ 111 sampai SĀ 138 dalam edisi Taishō berhubungan dengan kotbah-kotbah no. 1652 sampai 1790 dalam edisinya. Jilid yang sekarang mengandung dua bagian Saṃyukta-āgama: SĀ 111 sampai SĀ 129 berhubungan dengan bagian tentang Rādha, sedangkan SĀ 130 sampai SĀ 138 berhubungan dengan bagian pertama dari bagian tentang pandangan-pandangan (yang berlanjut dalam jilid berikutnya). Dalam apa yang mengikuti, identifikasi saya atas paralel Pāli didasarkan pada Akanuma 1929/1990 dan Yìnshùn 1983, dalam hal penggalan Sanskrit saya berhutang pada Chung 2008. Di sini dan di tempat lain, saya mengadopsi bahasa Pāli untuk nama-nama diri dan istilah-istilah doktrinal untuk memfasilitasi perbandingan dengan paralel Pāli, kecuali istilah-istilah seperti Dharma dan Nirvāṇa, tanpa dengan cara demikian bermaksud mengambil posisi dalam bahasa asli naskah kuno Saṃyukta-āgama yang digunakan untuk terjemahan. Dalam hal mereproduksi teks Sanskrit dari edisi yang diromanisasi, saya mengikuti kebiasaan dari masing-masing penyunting (kecuali untuk kapitalisasi). Rekonstruksi saya atas masing-masing judul didasarkan pada Akanuma 1929/1990, dalam hal judul sama yang berulang saya menambahkan “pertama”, “kedua”, dst.

<2> Paralel: SN 23.3 dalam SN III 190,26.

<3> SĀ 111 dalam T II 37c6: 摩拘羅山. Penerjemahan yang sama muncul dalam T 194 pada T IV 144b4 pada suatu referensi pada tempat di mana Sang Buddha telah mengadakan pengasingan musim hujan keenam setelah pencerahannya, di mana komentar pada Buddhavaṃsa, Bv-a 3,25, menempatkan lokasi di  Gunung Maṅkula, yang secara alternatif ditunjukkan sebagai Gunung Makula; cf. Rhys Davids 1877/1911: 70f, Bigandet 1858/1914: 211, dan Mochizuki 1940: 30. SN 23.3 dalam SN III 190,26 alih-alih menempatkan lokasi di Sāvatthī.

<4> Malalasekera 1938/1998: 730 catatan no. 1 menjelaskan bahwa Rādha tampaknya telah menjadi seorang pelayan dari Sāriputta.

<5> SN 23.3 dalam SN III 191,1 tidak menyajikan perbedaan antara orang duniawi yang tidak terpelajar dan siswa mulia, tetapi hanya menunjukkan bahwa keinginan, nafsu, kenikmatan, kemelekatan, keterikatan, dan kecenderungan-kecenderungan yang mendasari terhadap lima kelompok unsur kehidupan merupakan saluran menuju kelangsungan, bhavanetti.

<6> Mengadopsi suatu varian yang menambahkan 滅; cf. juga Yìnshùn 1983: 484 catatan no. 5.

<7> Paralel: SN 23.4 dalam SN III 191,8; uraian yang sama, walaupun tidak disampaikan kepada Rādha, dapat ditemukan dalam SN 22.106 pada SN III 159,23, di mana memiliki sebuah paralel dalam SĀ 72 pada T II 19a4 (yang diterjemahkan Anālayo 2013: 32).

<8> SN 23.4 dalam SN III 191,8 alih-alih menempatkan lokasi pada Sāvatthī.

<9> Dalam SN 23.4 pada SN III 191,10 Sang Buddha sendiri yang memulai topik itu, tanpa didorong oleh pertanyaan dari Rādha.

<10> Dalam SN 23.4 pada SN III 191,13 Sang Buddha membedakan sebagai berikut: lima kelompok unsur kehidupan sebagai hal-hal yang harus dipahami; penghancuran nafsu, kebencian, dan delusi sebagai pemahaman mereka; dan arahant sebagai seseorang yang telah memahami.

<11> Mengadopsi suatu varian yang menambahkan 時有 sebelum penunjukan pada Rādha; cf. juga Yìnshùn 1983: 484 catatan no. 6.

<12> Mengadopsi varian 坐 alih-alih 住.

<13> Mengadopsi varian 誠 alih-alih 成.

<14> Akanuma 1929/1990: 33 mengidentifikasi SN 35.81 dalam SN IV 50,26 sebagai sebuah paralel. Tetapi kotbah ini tidak berhubungan dengan Rādha dan isinya berbeda. Dalam SN 35.81 pada SN IV 51,1 sekelompok bhikkhu memberitahu Sang Buddha bahwa mereka telah ditanyakan oleh para pengembara ajaran lain tentang tujuan kehidupan suci di bawah Sang Buddha. Mereka menjawab bahwa tujuannya adalah pemahaman yang menembus terhadap dukkha. Sang Buddha menyatakan bahwa jawaban ini adalah benar dan kemudian melanjutkan menguraikan sifat alamiah dukkha dengan bantuan pengalaman enam alam-indera. Dengan demikian SN 35.81, walaupun beberapa tumpang tindih tematik, tidak memenuhi syarat untuk menjadi sebuah paralel pada SĀ 114.

<15> Terjemahaan saya mengikuti Yìnshùn 1983: 484 catatan no. 7, yang menyarankan untuk menambahkan 時有 sebelum penunjukan pada Rādha.

<16> Mengadopsi suatu koreksi dalam edisi CBETA dan Yìnshùn 1983: 480 atas 漫 untuk membaca 慢, karakter yang ditemukan juga dalam kalimat berikutnya.

<17> Mengadopsi suatu varian yang menambahkan adds 不令他人難問詰責墮負處也, 如說說, 如法說, 法次法說; cf. juga Yìnshùn 1983: 484 catatan no. 8.

<18> Mengadopsi varian 責 alih-alih 嘖, yang sesuai dengan rumusan yang ditemukan ditempat lain; cf. juga Yìnshùn 1983: 484 catatan no. 9.

<19> Paralel: SN 23.11 dalam SN III 195,1. Akanuma 1929/1990: 33 menyatakan SN 23.1 sebagai suatu paralel, tetapi SN 23.1 dalam SN III 189,18 melanjutkan dari melihat dengan benar lima kelompok unsur kehidupan menuju suatu tanya jawab tentang tujuan melihat dengan benar, suatu percakapan yang tanpa padanan dalam SĀ 120. Percakapan ini kemudian membawa dari kekecewaan melalui kebosanan dan pembebasan menuju Nirvāṇa, di mana tidak ada tujuan lebih lanjut yang ditunjukkan, karena ini adalah tujuan akhirnya. Yìnshùn 1983: 490 catatan no. 1 menyatakan SN 23.12 sebagai suatu paralel pada SĀ 120, tetapi kotbah ini tampaknya suatu paralel yang lebih dekat pada SĀ 121, karena ini mengambil topik memiliki sifat Māra, maradhamma, alih-alih mengambil Māra, yang adalah topik dari SN 23.11 dan SĀ 120.

<20> SN 23.11 dalam SN III 195,1 alih-alih menempatkan lokasi di Sāvatthī.

<21> Dalam SN 23.11 dalam SN III 195,4 penguraian Sang Buddha muncul sebagai jawaban pada suatu pertanyaan oleh Rādha mengenai apakah Māra itu, Sang Buddha kemudian hanya menjelaskan bahwa masing-masing dari lima kelompok unsur kehidupan seharusnya dilihat sebagai Māra.

<22> Mengadopsi suatu pembacaan varian yang menambahkan 受想行識亦復如是; cf. juga Yìnshùn 1983: 490 catatan no. 2. Alih-alih tanya jawab standar tentang lima kelompok unsur kehidupan dalam SĀ 120, SN 23.11 dalam SN III 195,6 melanjutkan secara langsung menuju melihat dengan benar lima kelompok unsur kehidupan dan bersamaan dengan itu menjadi kecewa dengannya dan menjadi terbebaskan.

<23> Paralel: SN 23.12 dalam SN III 195,8 dan SN 23.24 dalam SN III 198,23.

<24> 24 SN 23.12 dalam SN III 195,8 alih-alih menempatkan lokasi di Sāvatthī; SN 23.24 tidak memberikan penunjukan eksplisit atas lokasinya.

<26> Dalam SN 23.12 pada SN III 195,12 penguraian Sang Buddha muncul sebagai jawaban pada suatu pertanyaan oleh Rādha mengenai apa yang tunduk pada Māra, māradhamma, di mana dapat menunjuk pada memiliki “sifat Māra” atau yang lain “bersifat mematikan”, mempertimbangkan bahwa istilah māra dapat juga hanya berarti “kematian” (sama dengan maraṇa). Sang Buddha kemudian menjelaskan bahwa masing-masing dari lima kelompok unsur kehidupan seharusnya dilihat sebagai māradhamma. Melihatnya dengan cara ini kemudian membawa melalui kekecewaan dst., menuju pembebasan. Dalam SN 23.24 dalam SN III 198,23 penguraian Sang Buddha tidak didorong oleh pertanyaan oleh Rādha. Di sini Sang Buddha mengajarkan Rādha untuk melepaskan keinginan dan nafsu terhadap lima kelompok unsur kehidupan, yang adalah māradhamma.

<26> Paralel: SN 23.2 dalam SN III 189,30.

<27> SN 23.2 dalam SN III 189,30 alih-alih menempatkan lokasi di Sāvatthī.

<28> SN 23.2 dalam SN III 190,3 mendefinisikan suatu makhluk hidup (satta) sebagai yang melekat (satta), sepenuhnya terikat (visatta) melalui keinginan, nafsu, kenikmatan, dan ketagihan terhadap lima kelompok unsur kehidupan. Tentang permainan kata ini, yang menghubungkan Skt. sattva dengan Skt. sakta, cf. juga Anālayo 2010:19 catatan no. 18.

<29> Penambahan saya dipandu oleh konteks, karena pelenyapan ketagihan dan dukkha memerlukan bahwa rekomendasi kepada Rādha meliputi semua lima kelompok unsur kehidupan. Ini kenyataannya secara eksplisit disebutkan dalam paralel SN 23.2 dalam SN III 190,21.

<30> Akanuma 1929/1990: 33 mengidentifikasi SN 23.9 dalam SN III 193,18 dan SN 23.10 dalam SN III 194,4 sebagai paralel. Kedua kotbah itu tampaknya terlalu berbeda dari SĀ 123 untuk disebut paralel, karena mereka tidak dimulai dengan pertanyaan oleh Rādha agar diajarkan secara singkat untuk dapat berlatih dalam praktek kesunyian, tidak mengambil topik sakkāya, dan tidak melaporkan realisasi apa pun oleh Rādha.

<31> Paralel: : SN 23.11 at SN III 195,1 (cf. komentar di atas dalam catatan no. 19 sampai 22).

<32> Aslinya jelas menggunakan bentuk jamak di sini, yang menyatakan bahwa para bhikkhu lain juga hadir.

<33> Paralel: SN 23.12 dalam SN III 195,8 dan SN 23.24 dalam SN III 198,23; cf. catatan no. 23 sampai 25 di atas.

<34> Mengadopsi suatu varian yang menambahkan 於受想行識生厭, 厭故不樂; cf juga Yìnshùn 1983: 491 catatan no. 7.

<35> SN 23.17 dalam SN III 196,18 atau SN 23.29 dalam SN III 199,5 juga mengambil sifat bukan-diri dari lima kelompok unsur kehidupan pada pengajaran yang diberikan kepada Rādha, walaupun mereka berbeda sejauh SN 23.17 menyatakan suatu pertanyaan oleh Rādha tentang pentingnya bukan-diri, sedangkan SN 23.29 Rādha meminta suatu pengajaran secara ringkas shingga ia dapat berdiam dengan baik dalam kesunyian.

<36> Mengadopsi suatu varian tanpa 陰陰; cf. juga Yìnshùn 1983: 491 catatan no. 9.

<37> Paralel: SN 23.12 dalam SN III 195,8 atau SN 23.24 dalam SN III 198,23; lihat catatan no. 23 sampai 25 dan 33 di atas.

<38> Paralel: SN 23.19 dalam SN III 197,4.

<39> SN 23.19 dalam SN III 197,4 alih-alih menempatkan lokasi di Sāvatthī.

<40> Dalam SN 23.19 pada SN III 197,8 penguraian Sang Buddha muncul sebagai jawaban pada suatu pertanyaan mengenai apakah sifat melenyap (khaya). Sang Buddha menjelaskan bahwa masing-masing dari lima kelompok unsur kehidupan bersifat melenyap, tanpa secara eksplisit yang menunjukkan bahwa ini berlaku pada contoh kelompok unsur kehidupan yang mana pun dengan cara yang dilakukan dalam SĀ 127 (walaupun hal yang sama dapat dengan aman dianggap sebagai implisit).
« Last Edit: 07 May 2016, 10:19:02 AM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Radha dan Pandangan-Pandangan (jilid 6)
« Reply #14 on: 03 May 2016, 08:03:48 PM »
<41> Paralel: SN 23.31 dalam SN III 199,7.

<42> Mengadopsi varian 欲 alih-alih 色; cf. juga Yìnshùn 1983: 491 catatan no. 12.

<43> Paralel: SN 23.43 dalam SN III 201,5, di mana Sang Buddha mengatakan kepada Rādha agar ia seharusnya melepaskan keinginan terhadap apa yang bersifat melenyap, khayadhamma, yaitu lima kelompok unsur kehidupan.

<44> Mengadopsi suatu varian yang menambahkan 欲貪斷已; cf. juga Yìnshùn 1983: 493 catatan no. 2.

<45> Di sini bagian kotbah berhubungan kepada Rādha berakhir.

<46> Sang guru agung tentu saja adalah Sang Tathāgata; cf. T 1579 dalam T XXX 760a17 dan Yìnshùn 1983: 493 catatan no. 4.

<47> Cf. SHT IV 30d V8, Sander dan Waldschmidt 1980: 83: [in]dr(i)[y](āṇi).

<48> Paralel: SHT IV 30d, Sander dan Waldschmidt 1980: 83.

<49> SHT IV 30d V9, Sander dan Waldschmidt 1980: 83: c-chramaṇā (vā brā)hmaṇā vā rūpe.

<50> SHT IV 30d V10, Sander dan Waldschmidt 1980: 83: māraba(ndhanebya)[ḥ] aparimuktā, dan SHT IV 30d R1:[ā]gatā yathā[k].

<51> SHT IV 30d R2, Sander dan Waldschmidt 1980: 83: n-āva[ś](agatā) mārasya na vaśa(g), dan SHT IV 30d R4: (pa)rimuktā (māra)[p]ā[ś]e[bh](ya)[ḥ āl]ī.

<52> Mengadopsi suatu varian yang menambahkan 受想行識亦復如是; cf. juga Yìnshùn 1983: 494 catatan no. 5. SHT IV 30d R3, Sander dan Waldschmidt 1980: 83: saṃskā … [vi]jñāne n-ālīyaṃ(te).

<53> Mengadopsi varian 選 alih-alih 撰; cf. juga Yìnshùn 1983: 494 catatan no. 6.

<54> Terjemahan saya mengikuti saran oleh Yìnshùn 1983: 494 catatan no. 7 untuk menghapus 近, yang tidak ditemukan dalam ungkapan yang digunakan untuk kelompok-kelompok unsur kehidupan lain.

<55> Paralel: suatu kutipan kotbah dalam Abhidharmakośabhāṣya, Pradhan 1967: 356,15 (& 357,5), mengidentifikasi sebagai suatu kutipan dari kotbah yang sekarang dalam Pāsādika 1989: 106 (§422), dan dalam Abhidharmakośavyākhyā, Wogihara 1936: 554,6. Akanuma 1929/1990: 35 mengidentifikasi SN 24.2 sebagai suatu paralel pada SĀ 133, tetapi kotbah ini tampaknya suatu paralel yang lebih dekat dengan SĀ 134; cf. catatan no. 63 di bawah. Karena SĀ 134 meringkaskan kebanyakan dari penguraiannya, demi tujuan kejelasan saya akan mencatat beberapa perbedaan antara dua kotbah Saṃyukta-āgama dan SN 24.2 sudah di sini dalam catatan pada SĀ 133.

<56> SĀ 133 dalam T II 41c15 sebenarnya membaca 何所起, “dengan munculnya apakah?”, di mana terjemahan saya di sini dan di bawah menganggap bahwa ini sebagai contoh lain mencampurkan utpāda dengan upāda, seperti yang terbukti dalam penerjemahan anupādāya sebagai 不起 di tempat air dalam kumpulan itu; cf. Anālayo 2014: 8 catatan no. 17.

<57> Dalam SN 24.2 pada SN III 203,31 pandangannya adalah “ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku”, di mana di sini dan di bawah dalam penguraian itu tidak diikuti oleh suatu penunjukan pada makhluk-makhluk hidup yang berlanjut dalam saṃsāra.

<58> Mengadopsi varian 知 alih-alih 去; cf. juga Yìnshùn 1983: 501 catatan no. 3.

<59> Mengadopsi suatu varian tanpa 隨.

<60> SN 24.2 dalam SN III 204,17 mengulangi keseluruhan tanya jawab, yang dimulai dengan ketidakkekalan, terhadap apa yang dilihat, didengar, dialami, diketahui, dicapai, dicari, dan diikuti.

<61> Dua pandangan ini tidak memiliki padanan dalam SN 24.2.

<62> Pradhan 1967: 356,15 dan 357,5: saptakṛtvo devāśca manuṣyāśce ti … duḥkhasyāntaṃ karotīti; Wogihara 1936: 554,6: niyataṃ saṃbodhi-parāyaṇaḥ saptakṛtvaḥ-paramaḥ saptakṛtvo devāṃś ca manuṣyāṃś ca saṃdhāvya saṃsṛtya duḥkhasyāṃtaṃ karotîti.

<63> Paralel: SN 24.2 dalam SN III 203,30; cf. catatan no. 55 di atas.

<64> SN 24.2 dalam SN III 204,27 menunjukkan bahwa ketika siswa mulia telah meninggalkan keragu-raguan sehubungan dengan enam sudut pandang ini dan keragu-raguan tentang dukkha, munculnya, lenyapnya, dan jalan menuju pada lenyapnya, ia disebut seorang pemasuk-arus. Karena mengambil keragu-raguan sehubungan dengan empat kebenaran mulia alih-alih keragu-raguan sehubungan dengan Sang Buddha, Dharma, dan Komunitas (Sangha), SN 24.2 adalah suatu paralel yang lebih dekat pada SĀ 134 alih-alih SĀ 133.

<65> SN 24.2 tidak secara eksplisit menyebutkan ketidakmampuan demikian dari seorang pemasuk-arus untuk melakukan perbuatan yang berbuah pada tujuan yang buruk, ataupun ia menyebutkan bahwa ia memiliki tujuh kehidupan paling banyak, walaupun keduanya dapat dengan aman diasumsikan secara implisit dalam penyajiannya.

<66> Paralel: kotbah yang sama disebutkan di atas dalam catatan no. 55 dan suatu kutipan kotbah dalam Abhidharmakośabhāṣya, Pradhan 1967: 471,23, mengidentifikasi sebagai suatu kutipan dari kotbah yang sekarang dalam Pāsādika 1989: 131 (§529).

<67> Pradhan 1967: 471,23: avidyānivaraṇānāṃ sattvānāṃ saṃdhāvatāṃ saṃsaratām iti.

<68> Mengadopsi varian 決定 alih-alih 不從; cf. juga Yìnshùn 1983: 501 catatan no. 5.

Singkatan

Bv-aBuddhavaṃsa-aṭṭhakathā
Saṃyukta-āgama
SNSaṃyutta-nikāya
TTaishō edition, CBETA
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

 

anything