//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - Satria

Pages: [1] 2 3 4 5 6 7 8 ... 45
1
Jurnal Pribadi / Re: Jurnal Satria
« on: 28 July 2011, 10:26:51 PM »
numpang tanya , kalau seandainya dan jika saya posting tentang cerita2 buddhisme di forum kr****n dan muslim gimana ya.. mereka merasa terganggu gak, apalagi kalau saya campur adukan walaupun saya bilang fiktif dan mengunggulkan buddhisme ..kira2 tanggapan mereka gimana ya..

bantu jawab ya ..sekalian penjelasan dan alasannya baik yang tersirat, tersurat dan ter-fax ataupun ter telegaraf.. kamshia!!

dari pada berspekulasi dan diperdebatkan, lebih baik silahkan bereksperiman langsung. seperti halnya yang saya lakukan di sini. jadi, gak usah nanya-nanya lagi. udah tau sendiri.

2
Jurnal Pribadi / Re: Jurnal Satria
« on: 28 July 2011, 10:10:39 PM »
belum.. tapi yang saya tahu seperti itu..
saya rasa anda bisa coba ngomong dulu ke beberapa penerbit mengenai ide anda..
kasih sampel cerita anda.. penerbit bisa menilai koq.. karena penerbit juga tidak bodoh, tidak mungkin mau menerbitkan buku yang gak bisa dijual bukan..


terima kasih atas perhatian anda, bro Forte. hal itu memang simple, jika saya ingin membuat simple. dan hal rumit, jika saya ingin membuatnya rumit.

jika saya ingin membuatnya simple, maka berikut inilah pemikirannya :

Quote
benar juga yang dikatakan oleh bro Forte, saya harus mencoba anjuran bro Forte. saya tinggal memperlihatkan beberapa script ke penerbit, kalo penerbit yang satu menolak, tinggal tawarkan ke penerbit lainnya sampai ada yang terima. selesailah sudah.

jika saya ingin membuatnya rumit, maka berikut inilah pemikirannya :

Quote

penerbit itu memang bisa menilai, mana buku yang kiranya bisa laku dijual dan mana yang tidak. tapi setiap penerbit itu memiliki program, visi dan misi yang berbeda, sehingga membedakan pula mengenai kriteria buku yang akan diterbitkan. selain dari itu, faktor subjektif dari editornya juga sangat menentukan. seperti misalnya saya pernah menawarkan buku tentang seluk-beluk forum diskusi online dan cara membuatnya, sebuah buku bertema IT. tapi si editor penerbit tersebut benar-benar tidak mengerti apa itu forum diskusi online. yang dia tahu kalau mau diskusi bisa menggunakan milis dan facebook. kemudian dia menolak buku saya karena menganggap forum diskusi online itu tidak populer, "masyarakt indonesia itu masih asing dengan forum diskusi online seperti yang anda sebutkan tadi. jadi, buku ini belum dapat kami terima. mungkin anda bisa menulis tentang facebook atau seluk-beluk milis, karena saat ini tema itu sedang booming.jika anda menulis tentang tema-tema seperti itu, mungkin bisa kami pertimbangkan" inilah salah satu yang saya alami.

apalagi ketika saya menawarkan sebuah buku berjudul "Logika Praktis", editornya tampak bingung, "buku apa ini, apa gunanya bagi masyarakat? dan banyak pertanyaan. tapi akhirnya ditolak juga, karena saya gagal untuk meyakinkan bahwa buku itu berguna untuk masyarakat."

setelah berkelana dari satu  penerbit ke penerbit lainnya, saya menemukan bahwa ternyata soal "konten" dari buku adalah nomor dua, yang utama adalah melihat "siapa yang menulisnya". sebagian kecil lebih mengutamakan isi tulisan, tapi itupun harus sesuai dengan selera editornya.

yang termudah adalah, menulis sendiri, mencetak sendiri dan menerbitkan sendiri. tapi menjualnya, ini yang masih menjadi tanda tanya. kalau saya mengeluarkan modal 10 hingga 20 juta, itu harus dengan pasar yang jelas dan perhitungan yang matang. oleh karena itu, saya mencoba menjajaki dulu memposting artikel-artikel saya tentang meditasi, krachtologi, logika, agama, filsafat, fiksi, serta pengalaman-pengalaman mistik pribadi di forum-forum online. dengan memperhatikan respon orang-orang, maka saya lebih bisa melihat gambaran, bagaimana kiranya prospek bisnis penerbitan buku yang akan saya jalani nanti. yang jelas, buku-buku meditasi, krachtologi, agama, logika dan filsafat, belum berani untuk saya publikasikan. karena saya mempunyai gambaran bahwa buku-buku saya akan ditolak keras oleh banyak kalangan. tapi saya sudah mendapat gambaran bahwa karya fiksi, cerpen, puisi, dan pengalaman-pengalaman mistik yang saya alami lebih dapat diterima dari pada buku teori logika, meditasi dan krachtologi. begitulah bro, jadi saya masih ingin mencari gambaran itu.

saya telah menulis sebuah buku yang berjudul "Reinkarnasi Menurut Pandangan Islam". buku ini berisi tentang dalil-dalil alQuran dan Hadits yang menyatakan bahwa reinkarnasi itu hal yang benar bisa terjadi pada diri manusia. manusia bisa terlahir kembali menjadi manusia atau menjadi hewan, sebaliknya hewan juga bisa terlahir menjadi manusia. manusia bisa terlahir menjadi dewa, dan dewa bisa terlahir menjadi manusia. ketika saya memposting sedikit di forum muslim, wah sangat tidak disangka, penentangan dan kebencian dari komunitas muslim terhadap postingan saya tersebut sangat keras. lalu mereka mencaci maki saya dengan menyebut murtad, kafir, musyrik, zindiq, dan lain sebagainya. bila saja buku itu terlah benar-benar diterbitkan, mungkin sudah hancurlah rumah saya karena dilempari batu oleh komunitas muslim yang tidak sanggup mengerti kebenaran reinkarnasi. demikian pula bila saya menulis buku "Ajaran sang Buddha tentang Keesahan Tuhan", itu akan dapat diterima oleh komunitas muslim, tapi bagaimana dengan perasaan umat buddhis? jadi, saya pikir, tidak sesimple itu untuk menerbitkan buku, kendatipun sekedar untuk menerbitkan 5000 hingga 10000 exemplar. ada banyak pertimbangan moral dan dampak yang akan ditimbulkan oleh apa yang telah saya publikasikan.

berpikir simple ataupun rumit, melalui cara yang manapun, saya berharap mudah-mudahan cita-cita saya untuk menerbitkan berbagai buku dapat terlaksana. dan terima kasih bila anda mendukung rencana saya.

3
Kafe Jongkok / Hantu Lukisan
« on: 28 July 2011, 03:49:42 PM »

Terdengar sebuah tangisan yang memilukan, ketika aku berjalan melewati sebuah lukisan. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari sumber suara itu. Tangisan itu berhenti, dan aku tidak melihat seorangpun yang sedang menangis. Akupun melangkahkan kaki lagi, tapi kemudian tangisan itu terdengar lagi, bahkan dengan nada memelas meminta tolong.

Suara tangisan itu terdengar sayup-sayup seperti jauh tapi dekat, seperti teriakan orang yang berteriak di bawah bantal, terdengar samar, tapi bila diperhatikan amatlah jelas bahwa itu sebuah tangisan. Terdorong oleh rasa penasaran, aku menajamkan penglihatan dan pendengaran, dari manakah gerangan sumber suara tangisan itu.

Saya terkejut mendapati bahwa sumber suara tangisan itu berasal dari lukisan perempuan yang ada di dinding. Aku mendekati lukisan itu. Kulihat ada energi-energi halus yang bergerak pada lukisan itu. Lalu aku menyentuhnya, terasalah tanganku seperti disentuh-sentuh oleh angin yang lembut, tapi diantara kelembutannya itu mengandung suatu ketegangan dan kekacauan yang tidak menyenangkan. Yakinlah saya, bahwa lukisan tersebut ada seorang hantu.

Sambil memejamkan mata, dan tangan menyentuh lukisan itu, aku menarik nafas pelan, menghembuskannya pelan, konsentrasi dan berharap dapat membuka tirai gaib, siapakah hantu yang ada pada lukisan tersebut.

Kulihat, ada makhluk yang berputar-putar kebingungan. Dia berputar-putar seperti mencari jalan keluar. Kadang dia menangis, dan kadang dia tampak cemas serta putus asa. Berat benar beban penderitaan yang dirasakan olehnya. Sejenak aku berpikir, “dapatkah hantu ini aku ajak bicara?”

“hai hantu, mengapa kamu selalu berputar-putar, tampak cemas dan kebingungan?” saya mencoba menjalin dialog dengan hantu itu.

“ha..hwa…” bukan suara tawa, tapi suara teriakan seperti teriakan seorang yang kakinya tertindih benda berat. Tapi hantu itu tidak terlalu memperhatikan keberadaanku. Perhatiannya selalu terarah kepada lukisan wanita itu.

Dari gerak-gerik hantu itu, dapatlah diketahui bahwa hantu itu begitu melekat pada lukisan tersebut. Dari atsarnya, dapat diketahui bahwa hantu itu adalah hantu seorang pria yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Pria itulah yang membua lukisan wanita tersebut. Dia sangat mengagumi lukisan hasil karyanya sendiri, sehingga menimbulkan kemelekatan padanya.

“ouu… lukisanku ini begitu indah!” Demikian yang selalu dipikirkan oleh hantu itu, lalu ia berteriak seperti lolongan srigala. “Betapa hebatnya aku, betapa pandainya aku, pastilah orang-orang akan mengagumi lukisanku ini!” Dengan berpikir seperti itu, dia merasakan kesenangan. Untuk mempertahankan perasaan menyenangkan tersebut, hantu itu mengulang-ngulan pikirannya. “Betapa indahnya lukisanku, betapa hebatnya aku, pastilah orang-orang mengagumi aku.” Pikiran yang menimbulkan perasaan menyenangkan pada dirinya tersebut, telah membuat si hantu malas memikirkan hal lainnya yang seharusnya dia pikirkan, oleh karena itulah dia terjebak di dalam lukisannya sendiri.

Rasa kagum yang yang mendalam pada lukisannya sendiri, menyebabkan dulu si pembuat lukisan itu kurang memperhatikan dirinya sendiri. Dia tidak memperhatikan kebutuhan jasmani dan ruhaninya, sehingga lupa makan dan lupa tidur. Siang malam hanyalah mengagumi lukisan itu saja. Akhirnya dia jatuh sakit.

Ketika si Pelukis itu jatuh sakit, dia memajang lukisan itu dihadapannya. Sepanjang waktu dia selalu memandangi lukisannya. Dia berkata, “lukisan ini adalah obat dari rasa sakitku.” Memang benar, rasa sakitnya tidak dia rasakan karena pikirannya hanya sibuk memikirkan lukisan itu, tapi penyakitnya tidak terobati, akhirnya dia meninggal. Kemudian dia bertumimbal lahir menjadi hantu lukisan.

“hai hantu lukisan, berhentilah kamu melekati lukisan itu, pergilan dari sana agar hidupmu lebih baik!” kata saya kepada hantu itu.

“ouu…lukisanku begitu indah, betapa hebatnya aku, betapa pandainya aku, pastilah orang-orang mengagumiku, mengagumi lukisanku!” hanya inilah yang dia bisa pikirkan dan bisa dia katakan. Dia tidak mendengarkan nasihat dan tidak melihat petunjuk. Dia menjadi seperti buta dan tuli, kendatipun dia melihat dan mendengar. Tapi yang dia lihat hanya lukisan itu saja. Yang dia dengar hanya pujian orang-orang terhadap lukisannya sendiri. Sungguh malang benar nasibnya.

Saat kawanku, datang menghampiriku, dia berkata, “Bagus kan lukisan itu? Aku membelinya dari pedagang lukisan keliling seharga dua juta lima ratus ribu rupiah.” 

“Ow, seandainya aku punya cukup uang, tentu menawar lukisan ini dari mu untuk saya beli.” Kata saya.

“ah, itu mudah, nanti kalau kau punya uang, kau bisa panggil tukang lukisannya bwt bikin duplikat lukisan ini.” Kata kawanku.

“Oh, tidak. Ada sesuatu pada lukisan ini. Itu bisa dibuat duplikatnya. Lagi pula aku ingin membelinya darimu bukan untuk dipajang, melainkan untuk kubakar.” Kata saya.

Kawanku itu tampak terkejut, dahinya mengkerut tanda heran, lalu dia bertanya, “Lha, kok dibakar?”

“Begini kawan, jangan marah dulu, ada sesuatu pada lukisan ini. Di sana ada hantu. Dia terjebak di dalam lukisan itu. Seharusnya kita menolong hantu itu dengan cara membakar lukisannya, agar si hantu bebas dari lukisan itu!” saya menjelaskan kepada kawan saya.

Kawanku tertawa kecil dan menggoyang-goyang jari telunjuknya, “nah.. ini dia..he..he… kau mau membujuk aku menjual lukisan ini padamu, jadi kau bilang ada hantu di dalam lukisanku.”

“kawan, kapankah aku pernah berbohong padamu? Aku tidak pernah bercanda untuk hal-hal seperti ini!” saya.

Kawanku itu kembali tercenung,”ah tapi, saya tidak mau menjual apalagi membakar lukisan itu. Apalagi sejak pertama membelinya hingga saat ini, tidak ada kejaian yang aneh-aneh pada lukisan tersebut maupun di rumah ini. Atas dasar apa kau mengatakan ada hantu di dalam lukisanku?”

Lalu saya menceritakan hal-hal yang kulihat. Saya berharap, kawanku itu mau merelakan lukisannya dibakar untuk menolong si hantu. Tapi kawanku malah berkata, “sayang sekali, seandainya aku bisa melihat dan mendengarnya sendiri, mungkin aku akan pertimbangkan untuk membakar lukisan ini.”

“Begini kawan, coba kau sentuhkan tanganmu ke lukisan itu, lalu kau rasakan nanti akan ada sesuatu yang bergerak-gerak ditanganmu. Cobalah!” kata saya.

Kawanku mengikuti anjuranku. Dia memejamkan mata untuk konsentrasi. Dan saya bertanya, “apa dapat kau rasakan?”

“Ah, gak ada apa-apa.” Kata kawanku. Ych, berarti dia bukan orang yang peka. Susah juga kalau begini.

“ya sudahlah kawan, Tuhan Maha Tau, bahwa saya bermaksud menolong sesama makhluk yang sedang menderita. Tapi kemampuanku terbatas, aku tidak punya uang untuk membeli lukisan itu dari mu untuk membakarnya, dan juga tidak dapat membuatmu dapat melihat dan memahami penderitaan seorang hantu yang ada pada lukisan itu sehingga kamupun enggan mengikuti anjuranku untuk membakar lukisan itu. Tak ada yang bisa kulakukan lagi. Jadi, lupakanlah saja. Saya hanya akan berdoa, semoga kelak dia menemukan jalan keluar dari penderitaannya. Semoga saja!” Demikianlah saya mengakhiri pembicaraan sebelum akhirnya saya pamit pulang.

Semoga kita tidak melekati pada apapun. Semoga kita tidak melekat pada benda-benda dan mengganggpnya sebagai “aku” dan “milikku”. Semoga kita tidak melekati benda-benda, perlatan, perkakas yang biasa kita gunakan. Semoga kita tidak melekati kendaraan-kendaraan, tempat tidur, taman serta tempat tinggal. Semoga kita tidak melekati hasil karya yang kita buat, seperti lukisan, kerajinan tangan, dan artikel. Semoga kita tidak melekati ide-ide, pemikiran, dan perkataan yang kita ucapkan sendiri. Semoga semua makhluk mencapai kebahagiaan yang sempurna.

4
Jurnal Pribadi / Re: Jurnal Satria
« on: 28 July 2011, 03:48:50 PM »
saya rasa anda tidak perlu terlalu ribet seperti itu.. anda tinggal menyusun scriptnya.. lalu memberikan kepada penerbit u/ dinilai.. nanti mereka yang akan menentukan apakah script tersebut layak terbit / tidak.

Anda pernah menerbitkan buku Anda, Bro Forte?

5
Jurnal Pribadi / Re: membayar utang karma
« on: 28 July 2011, 03:35:55 PM »
bro satria pernah gak kepikiran buat buku memuat cerita seperti ini.. ada bagus nya juga lho..

kepikiran banget, bro Forte. sya ingin mencatat berbagai kejadian yang saya alami dalam sebuah buku serta mempubilkasikannya. tapi ada beberapa hal yang membuat saya menahan diri dari niat tersebut, diantaranya :

1. sya membutuhkan sedikit gambaran mengenai "daya penerimaan masyarakat" sebelum saya mempublikasikan buku saya.

dengan cara saya mempostig cerita sperti ini di beberapa forum online, saya bisa mendapatkan gambaran tentang "bagaimaan penerimaan masyarakat" terhdap kisah-kisah yang saya bawakan. dan hasilnya lumayan membingungkan, karena satu kisah yang sngat diterima baik di suatu komunitas, ditolak keras oleh komunias lainnya. satu komunitas sangat menyukainya, dan komunitas lainnya sangat membencinya.

Kisah "Perjumpaan dengn Yesus" misalnya, itu diterima baik di kalangan kr****n, mereka merasa kagum dan tersentuh. tapi di kalangan muslim dan buddhis, kisah perjumpaan yesus itu menjadi bahan olok-olokan. demikian juga, suatu kisah yang menyentuh komunitas muslim, justru sangat dibenci oleh komunitas kr****n.

hal itu membuat saya berpikir, bahwa jika saya menerbitkan buku yang memuat kisah-kisah spiritual atau pengalaman pribadi, ada kemungkinan menjadi beban berat, karena komunitas-komunitas tertentu akan membenci, kendatipun komunitas tertentu menyukai.

lainnya halnya dengan berita-berita aktual yang saya tulis di koran, sama sekali tidak mengandun beban, karena yang saya ceritakan adalah orang lain, bukan diri sendiri.

2. untuk biaya cetak, mungkin bisa saya usahakan sendiri antara 10 hingga 20 juta rupiah. tapi, setelah dicetak, saya tidak mengetahui kemana saya harus menjual?

ini menjadi alasan saya kedua. saya memang seornag wartawan dan bisa mencari informasi  tentang hal tersebut, tapi terus terang, redaksi selalu menugasi saya melibut berita tntang kasus-kasus korupsi, jadi saya tidak sempat mencari-cari informasi tentang teknik pendistribusian buku.

3.Penolakan dari Penerbit

saya pernah menawarkan buku saya ke beberapa penerbit, tapi mereka menolak,  dengan alasan mereka tidak menerbitkan buku yang membuat cerita-cerita fiktif, cerpen, novel, dll. dan lainnya menolak karena konten dari buku itu dianggap bisa menimbulkan kontroversi.

tadinya kan, kalau buku saya diterima oleh sebuah penerbit, tentu saya tinggal menerima royalti dan tidak usah bingung menjualnya sndiri.

sebenarnya, banyak penerbit yang menawari saya menulis buku, tapi mereka sudah menentukan judul atau temanya sendiri. selalu tidak cocok dengan yang saya harapkan, jadi di sisi lain, saya menolak penerbit.

contoh, sebuah penerbit menawari saya untuk menulis buku "Seni Budaya dan Keterampilan". walaupun dibayar mahal, itu saya gak minat.

dan masih ada alasan lainnya.

jadi, bro Forte, memang saya berniat membukukan pengalaman pribadi saya, tapi masih banyak kendala.

6
Jurnal Pribadi / membayar utang karma
« on: 27 July 2011, 08:18:05 PM »

Banyak tikus di rumahku. Hal itu sangat menjengkelkan. Entahlah kemana jalannya, tikus-tikus itu bisa masuk ke rumahku. Orangtuaku menyarankan agar aku memasang perangkap tikus atau memberinya racun agar tikus-tikus itu mati. Aku tidak segera menyetujuinya. Apalagi aku percaya dengan hukum karma. Percaya bahwa hewanpun punya perasaan seperti halnya manusia. Mereka juga ingin hidup, seperti halnya manusia. Dan mereka merasakan penderitaan maupun kebahagiaan.

Aku memikirkan, bagaimana caranya mengatasi tikus-tikus itu. Aku teringat cerita seorang kawan buddhis di Dhammacitta.org bahwa dia telah berhenti berperang dengan tikus dan nyamuk dengan cara menutup semua celah yang memungkinkan nyamuk dan tikus itu bisa masuk ke dalam rumah. Dengan cara seperti itu, tidak perlu lagi kita membunuh nyamuk maupun tikus. Cerita ini membuatku terdorong untuk melakukan hal yang sama. Kulihat ada beberapa lubang di langit-langit rumah, setelah kuamati dari sanalah tikus-tikus itu bermunculan.

Sejenak aku pandangi langit-langit rumah itu, aku berpikir “Bagaimana ya cara aku menutupinya? Disumpel pake kertas? Hmmm….percuma, pasti bisa dibobol ama tikus. Dipasangi triplek, duh gimana masangnya ya. Maklumlah, aku benar-benar bodoh dalam soal menggunakan perkakas-perkakas kayu. Bagaimana aku nyuruh tukang kayu aja untuk menutup celah itu? Tapi, masa sih aku harus mengeluarkan uang untuk sekedar ngurusin tikus-tikus bau ini?” Sebenarnya aku terlalu malas untuk ngurusin masalah tikus, jadi aku lupakan saja semunya.

Tapi bagaimanapun, adanya tikus-tikus itu membuatku aku dan anak-anakku kurang nyaman. Apalagi anakku yang kelas 4 SD, kalau aku sedang berada di kantor, dia sering masak sendiri di dapur. Kadang-kadang dia meninggalkan masakanya sampai gosong gara-gara takut pada tikus. Malah itu bisa menimbulkan bahaya yang sangat besar, seperti misalnya kebakaran. Aku akan menyesal tidak membunuh tikus-tikus itu, jika terjadi musibah besar hanya gara-gara anakku takut pada tikus. “Duh, gimana ya, aku bingung. Membunuh tikus aku takut pada karma buruk. Tapi membiarkan tikus, membuat anak-anakku sangat takut dan bisa menimbulkan bahaya.”

Sangat menjengkelkan, semakin hari jumlah tikus itu semakin banyak. Setelah dibiarkan, malah si tikus makin ngelunjak. Dia tidak takut lagi bermain-main di kakiku ketika aku sedang mengetik di komputer. Kadang-kadang, salah satu diantara mereka membuatku kaget, ketika aku konsentrasi dengan pekerjaan-pekerjaanku di komputer, tiba-tiba tikus itu melompat dihadapanku sampai ekornya mengenai hidungku. Teramatlah kurang ajarnya tikus-tikus itu. Sangat kesal aku dibuatnya.


Lalu, suatu hari aku ada ide. Aku percaya bahwa walaupun tikus-tikus itu tidak mengerti bahasa manusia, tapi kurasa mereka mengerti bahasa batin yang bersifat universal. Di dalam tingkat konsentrasi tertentu, terkadang aku jadi bisa mengerti bahasa hewan. Oleh karena itu, jika batinku cukup baik, maka  mungkin aku bisa berbicara kepada tikus-tikus itu agar mereka pergi dari rumahku.

Dengan sedikit rasa humor, aku membakar dupa. Aku percaya bahwa asap dupa itu bisa menjadi sarana pengantar pesan saya kepada para tikus di rumahku. Dengan sungguh-sungguh, sambil membakar dupa aku berkata, “Wahai para tikus yang ada di rumahku, sesungguhnya aku tidak mau membunuh kalian. Maka saya persilahkan kalian untuk pergi dari rumahku. Jika dalam jangka waktu 4 hari, kalian tidak pergi maka aku akan membunuh kalian semua dan jangan kalian salahkan aku.” Aku merasa berhak mengancam mereka.

Ajaib, esoknya tak satupun terlihat tikus berkeliaran di rumahku. Demikian juga hari kedua, ketiga dan keempat. Tapi pada hari kelima, tikus itu tampak berkeliaran lagi. Begitu melihat mereka, aku bergumam, “oh…kalau begitu berarti kalian ingin mati.” Aku segera berangkat ke pasar untuk membeli racun tikus dan kemudian menaruh racun itu dibawah lemari dapur.

Aku tak habis pikir, apa tikus-tikus itu telah salah tafsir dengan kata-kataku atau gimana ya. Aku bilang bahwa jika tikus-tikus tak pergi dalam jangka waktu 4 hari, maka aku akan membunuh mereka. Maksudku, setelah empat hari seharusnya tak ada satupun tikus yang tersisa di rumahku. Mungkinkah si tikus malah menafsirkan bahwa mereka harus pergi hanya selama 4 hari saja? Kok bisa ya tikus salah tafsir, kirain Cuma kawan-kawan diskusiku yang di DC aja yang bisa salah tafsir, eh ternyata tikus-tikus di rumahku juga bisa salah tafsir juga. Buktinya mereka malah pergi selama 4 hari dan di hari kelima datang lagi dengan jumlah yang tampak lebih banyak. Mungkin selama 4 hari itu mereka berlibur bersama keluarga mereka, trus pulang bawa teman-temannya ke rumah, jadi jumlah tikus makin banyak. Mungkin ayah atau ibu mereka berkata kepada anak-anak mereka, “Nak, mari kita pergi dari rumah ini selama 4 hari! Pemilik rumah ini akan membunuh kita bila kita tidak pergi selama 4 hari. Jadi, nanti hari ke lima kita bisa pulang lagi.” Eh, dasar tikus bodoh.

Tadinya sih, aku memberi waktu jangka 4 hari itu untuk memberi mereka waktu buat beres-beres tempat, nyari tumpangan baru dan angkut-angkut barang. Saya kira 4 hari itu waktunya sudah cukup. Dasar tikus dungu, bukannya pindahan malah piknik selama 4 hari, ngeselin banget. Tapi sekarang aku sudah menaruh racun. “Rasain tuh, kedunguan dan keserakahan kalian terhadap makanan yang bukan milik kalian akan membunuh kalian sendiri.” Demikian gerutuku dalam hati.

 
Keesokan harinya, tikus-tikus kecil tampak berjalan terseok-seok di lantai rumah. Aku memukul tikus itu pake sandal, “Dasar tikus bau, mati loe!” Tikus itu tampak sudah lemah akibat pengaruh racun, aku memukulnya pula. Beberapa ekor tikus lainnya yang agak sedikit besar dari tikus yang pertama aku temukan di bawah akuarium dan di belakang lemari. Lalu aku taruh mereka di dalam kertas koran, membungkusnya dengn kertas koran itu secara berlapis-lapis dan membakarnya di tempat sampah.

Tikus-tikus yang berukuran sedang ditemukan di mana-mana, aku segera membuangnya, mengubur atau membakarnya. Kupikir, kini rumahku akan terbebas dari hama tikus.

Keesokan harinya lagi, seekor tikus besar nongol dari balik lemari. Tikus ini sangat besar, mungkin bapaknya tikus-tikus kecil yang mati kemarin. Dia menatap ke arahku. “hus! Hus!” aku mengusir tikus itu. Tapi aneh, bukannya pergi, tikus itu malah berjalan pelan-pelan sempoyongan ke arahku. “eh buset, malah nyamperin kau!” aku menjauh karena merasa jijik dan takut digigit.

Rupanya tikus ini sudah kepayahan akibat racun. Dia lebih kuat bertahan hidup dan masih mampu berjalan, walaupun dari mulutnya darah sudah menetes-netes. Tikus itu terus mendekat ke arahku. Aku tengok kiri kanan untuk mencari pemukul, tapi tidak kutemukan sesuatu yang bisa aku gunakan untuk memukul kecuali lain lap lantai. Aku ambil kain itu lalu aku pukulkan ke tikus besar itu. Sejenak tikus itu berhenti dan menatapku. Dari sorot pandang matanya, seolah-olah dia berkata padaku, “mengapa kau membunuh kami, padahal kami hanya mencari makan. Kini aku tengah sekarat dan kesakitan, mohon jangan biarkan aku menderita lebih lama lagi, bunuhlah aku segera.” Lalu tikus itu terus berjalan mendekati aku.

Karena tikus itu tak bisa diusir pergi, aku pun diam saja sambil duduk bersila. Tak lama kemudian tikus itu sampai di depanku dengan tetesan-tetesan darah dari mulutnya, lalu dia kejang-kejang, sekarat, dan matilah dia. Aku kasihan melihatnya. Tapi harus bagaimana lagi, kupikir tidak seharusnya mereka tinggal di rumahku. Kalau toh mau mencari makan, kan mereka bisa tinggal di kebun, di kolong jembatan, di hutan atau dimana kek, asal jangan di rumahku. Aku menguburkan tikus itu.

Sore harinya, ketika aku hendak mengambil nasi di lemari makan, terasa dingin kakiku disentuh sesuatu. Ketika kulihat aku terkejut dan melompat, “eh, buset, ini tikus yang mau mati lagi!” mungkin itu adalah ibunya. Tikus itu melihat ke arahku, lalu dengan terseok-seok dia mendekati aku. Sangat penasaran, mengapa tikus-tikus ini mendekati aku kalau mau mati, apa sebenarnya yang mereka inginkan. Maka aku diam saja untuk menunggu apa yang ingin dilakukan tikus itu padaku.

Tikus besar itu berhenti tepat di depan ibu jari kaki kiriku. Dari gerak-geriknya, sepertinya dia memohon sesuatu. Seolah-olah dia berkata, “Tuan, aku ini adalah ibu dari anak-anak tikus yang telah anda bunuh. Suamiku juga telah mati menyusul anak-anakku. Kini giliranku untuk mati karena racun yang anda berikan kepada kami. Tuan, mohon ampunilah kami! Bila kami harus mati dengan cara seperti ini, mungkin ini sudah nasib kami, tapi mohon janganlah tuan membunuh seluruh keluargaku. Aku masih punya anak, seekor tikus yang masih sangat kecil, biarlahkan dia hidup! Biarkanlah dia hidup, Tuan!”

Glek! Aku menelan ludahku sendiri, karena kasihan melihat tikus itu. Badannya tampak bergetar dan matilah dia dalam posisi seperti sedang memohon di kakiku. Aku tidak tahu, kalau di rumahku masih ada tikus yang tersisa. Tapi sesudah kematian tikus yang mati di depan ibu jari kakiku itu, masih ku temukan seekor tikus yang juga sangat besar.

Malam harinya, seperti biasa, sebelum tidur aku bermeditasi terlebih dahulu barang setengah atau satu jam. Tapi ada yang lain dalam meditasiku kali ini, rasa ngantuk berat menyerangku, sehingga kira-kira baru 10 menit saja aku langsung merebahkan diri di kasur.

Dalam tidur aku bermimpi, aku mendengar suara-suara merintih kesakitan. Lalu aku mencari suara rintihan itu dan akhirnya kutemukan dua ekor tikus yang sedang berguling-guling sambil memegangi  perut mereka. Salah satu dari tikus itu berkata kepadaku, “Tega sekali kau meracuni kami, padahal kami hanya mencari makan! Tahukah kamu bahwa dengan meracuni kamu, itu sama seperti kamu tidak menyayangi bapak-bapakmu. Ketahuilah bahwa bapakmu dan bapak angkatmu, matinya akan seperti kami berguling-guling kesakitan.”

Lalu aku mendekati kedua tikus itu. Tiba-tiba mereka berubah menjadi kedua bapakku, yaitu bapak kandungku dan bapak angkatku. Keduanya berguling-guling memegangi perut kesakitan, dan mereka tengah menghadapi ajal.

Aku terbangun dan terkejut dengan mimpi itu. Kulihat jam di dinding menunjukan pukul 2.00. aku ingat, menurut orang tua, jika mimpi pada waktu sepertiga malam terakhir, maka mimpi itu bukan sembarang mimpi, melainkan mimpi yang akan menjadi kenyataan. “Astagfirullah hal adzim!” Demikian gumamku. “Ya Allah, aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk, dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, dengan nama Allah yang maha pengampun, ampunilah segala dosa-dosaku, dan aku berlindung kepada Allah dari kejahatan mimpi buruk.” Lalu aku berwudhu dan shalat malam.

Setelah itu, beberapa hari rumahku sepi dari suara ribut-ribut aktifitas tikus. Tapi entah selang beberapa hari, tiba-tiba kulihat seekor tikus mungil melompat-lompat sangat lucu. Anakku yang paling kecil, yang berusia 2 tahun melihat tikus itu. Dia tertawa-tawa melihat lucunya perilaku si tikus kecil, lalu dia mengikuti kemana perginya si tikus kecil. Begitulah, setiap harinya anakku terhibur oleh tikus kecil yang lucu itu. Aku berkata pada anakku yang paling besar, “Tikus ini ketika kecil tampak sangat lucu dan menyenangkan, tapi kalau sudah besar bau dan menjengkelkan, apalagi kalau sudah berkembang biak.” Tapi aku tidak ingin membunuh tikus, karena ingat janjiku pada si ibu tukus beberapa hari yang lalu.

Setahun kemudian, tikus-tikus di rumahku telah banyak lagi. Aku tak mau membunuh tikus lagi. Kini setiap malam, aku menaruh sepiring makanan di dapur di bawah wastafel tempat cuci piring. Makanan itu selalu dihabiskan oleh para tikus di rumahku. Malam harinya, di dapur tidak terdengar ribut-ribut lagi. Mungkin mereka sudah tau di mana saya menyimpan makanan, lalu mereka makan sampai kenyang dan kembali tidur. Mereka tidak berkeliaran terlalu jauh dan tidak setiap waktu. Asal mereka telah kenyang, mereka berhenti membuat keributan.

Masih kulihat lubang di langit-langit rumah itu. Aku bisa menutupnya sekarang. Tapi biarlah saja tidak kututup. Sungguh aku merasa bersalah kepada tikus-tikus yang telah aku bantai setahun yang lalu. Untuk menebus kesalahanku pada tikus-tikus itu, kini aku melayani tikus-tikus keturunan mereka, menyisihkan rezeki setiap hari untuk memberikan mereka makanan. Jika nanti kurasa telah cukup bagiku membayar utang karmaku, barulah aku akan menutup lubang itu.

7
Kafe Jongkok / Re: Hoi Tuhan! Agamamu Sebenarnya Apa Sih?
« on: 27 July 2011, 08:13:48 PM »
:))
ada yang sudah mulai bikin rujak ulek ya..

ilustrasi gini deh :

- sepeda punya roda..
- mobil punya roda..
apakah sepeda = mobil ?
tidak.. karena masih banyak yang membedakan mobil dan sepeda..

- versi samawi, tuhan = tidak terlahirkan..
- versi buddhism, nibbana = tidak terlahirkan..
apakah tuhan = Nibbana ?
tidak.. karena masih banyak yang membedakan tuhan dan Nibbana..


saya tidak mempunyai jalan pikiran seperti itu. tapi anda ingin menggambarkan kepda kawan-kawan anda bahwa jalan pikiran saya seperti itu. inilah kesalah fahaman yang terus menerus terjadi. seingat saya, dulu juga anda pernah mencoba menggambarkan bahwa cara berpikir saya itu seperti itu, dan saya sudah mengkonfirmasinya serta menjelaskan perbedaan jalan pikiran saya dengan jalan pikiran yang anda gambarkan. tapi sepertinya anda tidak menyimak dengan baik.

berikut ini adalah cara berpikir yang tidak mungkin saya lakukan

Quote
- sepeda punya roda..
- mobil punya roda..
sepeda = mobil

kenapa, karena syllogisme tersebut melanggar hukum logika yang ketiga, yaitu midle term harus bersifat universal. sedangkan dalam syillogisme yang dicontohkan bro forte itu kedua midle term bersifat partial.

dalam jalan pemikiran yang bro forte tunjukan itu, disebutkan kalimat seperti :

A punya B
C punya B

tapi kesimpulannya menggunakan tanda "=" (sama dengan), inipun sudah menunjukan kekeliuran.

apalagi pada contohy syllogisme yang kedua, semua pernyataan menggunakan tanda "="

Quote from: forte
- versi samawi, tuhan = tidak terlahirkan..
- versi buddhism, nibbana = tidak terlahirkan..
apakah tuhan = Nibbana ?

itu jelas sekali sangat berbeda dengan kaidah syllogisme pada contoh pertama. coba bayangkan, bagaimana bila tanda "=" diterpkan pada premis-premis yang pertama, akan jadi seperti berikut :

Quote
- sepeda = roda..
- mobil = roda..
sepeda = mobil

di dalam logika filsafat, penggunakan tanda "=" dengan penggunaan kata sambung asli (seperti "adalah", "itu", "ini", dll) dan kata keja yang dijadikan kata sambung, (seperti "punya", "mempunyai", "memahami","melakukan", dll) memiliki perbedaan fungsi. oleh karena itu, contoh syllogisme pertama dan kedua dari bro forte itu tidak bisa dianggap sebagai syllogisme (susun pikiran, ikat pikiran) yang sama.

mohon maaf yang sebesar-besarnya. di sini saya telah menyampaikan pendapat-pendapat yang tidak diterima dan tidak menyenangkan anda semuanya. untuk persoalan ini, silahkan anda semua kembali kepada keyakinan anda masing-masing, tidak usah takut dan khawatir "keimanan anda" akan goyah karena pendapat-pendapat saya. jika memang anda memiliki ilmu yang benar, anda akan tenang, tidak ada hal yang perlu dirisaukan. anggaplah memang saya yang bodoh dan salah. semoga anda merasa puas hati dan gembira.

saya merasa cukup diskusi tentang tuhan dan nibbana  di thread ini. terima kasih.

8
Kafe Jongkok / Re: Hoi Tuhan! Agamamu Sebenarnya Apa Sih?
« on: 26 July 2011, 01:45:08 PM »
jika nibbana itu keadaan batin, berarti dia dilahirkan. karena manusianya juga dilahirkan.

Quote from: xeocros
menurut bang satria, nibbana itu apa dong?

nibbana adalah yang tidak dilahirkan.

di dalam agamawa samawi tidak ada satupun faktor yang tidak dilahirkan, kecuali Tuhan.

Tuhan adalah satu-satunya faktor yang tidak dilahirkan menurut agama samawi
Nibbana adalah satu-satunya faktor yang tidak dilahirkan menurut ajaran sang buddha

9
Kafe Jongkok / Re: Hoi Tuhan! Agamamu Sebenarnya Apa Sih?
« on: 25 July 2011, 10:40:16 PM »
aih jadi ngiri pengen dapat GRP jg

waduh iri hati .... kalau masih ada irsia gak bisa ke nibbana nih.....

kok gak bisa....?  karena irsia menghalangi ke nibbana.

irsia itu apa sih? kok bisa menghalangi? Irsia itu iri hati, itu salah satu faktor mental pengganggu (klesa)

Faktor mental pengganggu --> mengganggu batin sehingga tidak tenang dan tidak bahagia

jika faktor mental pengganggu habis seluruhnya, kita akan tenang dan bahagia, dan selalu bahagia

hlangnya klesa dan selalu bahagia itu = nibbana

berarti nibbana itu keadaan batin dong? Kan yang menghalangi ke nibbana itu faktor mental pengganggu, bukan tembok, bukan barikade jalan.
Kalau bukan keadaan batin apa dong? Masa keadaan tubuh? Alam lain? Dimensi lain? Kalau itu sih penghalangnya tembok gaib kali ya

kalau nibbana itu keadaan batin, berarti dia dilahirkan. karena manusianya juga dilahirkan. ketika anda lahir, nibbana belum terlahir. setelah gangguan mental anda hilang, barulah nibbana muncul di dalam diri anda. nah, kalau sperti ini berarti bertentangan dengan sabda sang Buddha sendiri bahwa nibbana itu tidak terlahir.

apapun yang merupakan unsur batin, maka itu merupakan bagian dari pengetahuan vippasanna. dan apapun yang merupakan bagian dari pengetahuan vippasana, ia bukanlah nibbana. jadi, apapun yang merupakan unsur batin, itu bukanlah nibbana.

10
Kafe Jongkok / Re: Hoi Tuhan! Agamamu Sebenarnya Apa Sih?
« on: 25 July 2011, 10:35:43 PM »
Kalo hal yang tidak terkondisi mengkondisikan hal yang terkondisi, berarti hal yang dikatakan pada awalnya tidak terkondisi tadi sudah tidak-tidak terkondisi lagi dong, atau sudah menjadi hal yang terkondisi, yaitu terkondisi dengan mengkondisikan.

itu mustahil. masa sesuatu menjadi terkondisi karena mengkodisikan. seperti sesuatu mustahilnya sesuatu bergantung pada yang lain karena dirinya menjadi tempat bergantung. seperti tidak mungkinya mengatakan matahari itu tidak bersinar sendiri, melainkan hanya memantulkan sinar dari sumber lain, karena matahari telah menyinari bumi. itu namanya melawan akal sehat.

jika ada pernyataan bahwa sesuatu disebut terkondisi hanya karena dia mengkondisikan hal yang lain, maka itu berarti sudah bertentangan dengan akal sehat, circular argument.

Nibbana adalah sesuatu yang mutlak. lawan dari mutlak itu apa? yaitu nisbi. trus, apa keterkaitan antara yang mutlak dengan yang nisbi? masa tidak ada hubungannya?

Nibbana adalah yang tidak dilahirkan. trus keterkaitan nibbana dengan yang dilahirkan apa? masa tidak ada yang tau keterkaitannya?

11
Diskusi Umum / Re: Tentang Berbohong dan Dosa
« on: 24 July 2011, 01:02:10 AM »
sebenarnya tidak perlu berbohong. kalo saya yang jualnya paling saya akan bilang begini "saya beli baju itu dengan harga Rp. 50.000. dan akan saya jual dengan harga Rp. 55.000. mohon maaf, saya belum bisa menjual dengan harga lebih rendah dari itu. yang namanya jualan, kan mesti ada untung. kalo saya beli Rp. 50.000 terus dijual Rp. 50.000, kan gak ada untuk ganti ongkos belanja dan gak ada upah saya berdagang.

saya pikir, pembeli juga bisa mengerti. saya juga pernah kok jadi penjual baju dan makanan.

12
Kafe Jongkok / Re: Hoi Tuhan! Agamamu Sebenarnya Apa Sih?
« on: 23 July 2011, 11:02:52 PM »
Bagus kalo anda sudah duga..nah sekarang kasih saya penjelasan PRODUK ciptaan Nibannad..

silakan.

segala sesuatu adalalah terkondisi. setiap yang terkondisi itu berarti tidak berdiri sendiri. itu artinya ada yang mengkondisikan. sesuatu yang mengkondisikan itu adalah juga yang terkondisi. dan ini menjadi saling keterkaitan yang terkondisi, sehingga akhirnya sampailah pada suatu yang terkondisi yang dikondisikan oleh hal yang tidak terkondisi. hal yang tak terkondisi itu tidak dikondisikan oleh apapun lagi, tapi seluruh hal-hal yang terkondisi berpangkal dan bermuara pada yang tak terkondisi tadi. hal pertama yang terkondisikan oleh hal yang tak terkondisi itulah disebut makhluk ciptaan pertama. itulah awal mulanya segala sesuatu muncul. dan itulah produk nibbana sebagi yang tak terkondisi. seluruh realitas yang terkondisi berpusat pada yang tak terkondisi ini.l

dalam mengkondisikan hal-hal yang terkondisi, nibbana tidaklah melakukan sesuatu, tapi segala sesuatunya terjadi akibat sifatnya yang otomatis, seperti matahari dengan sinarnya. apa yang dilakukan matahari pada bumi? orang bisa berkata, "Oh, matahari itu telah melakuakn kebaikan pada bumi, ia telah menciptakan kehidupan di bumi. jika tidak ada matahri, maka aktifitas manusia akan sulit dilakukan, atau bahkan kehidupan seperti sekarang ini mustahil terjadi." nah, coba perhatikan, disitu, orang memandang bahwa matahari melakukan sesuatu, matahari dipersonofikasi sehingga seolah ia ssuatu yang hidup dan berkehendak berbuat seperti halnya manusia. padahal tidak. itu hanya cara manusia mengatakan matahari dan karakteristiknya.

matahari bersinar. tapi dia tidak bermaksud melakukan apa-apa terhadap bumi. ia bersinar karena sifatnya sendiri. tapi dipandang dari sudut lain, sungguh banyak hal yang dilakukan matahari. Demikian pula dengan Nibbana atau Tuhan. ia dapat dipandang secara defersonifikasi (seperti memandang matahari dan karakteristiknya),dapat pula dipandang sebagai personifikasi (seperti memandang matahari yang telah berbuat banyak dan menciptakan banyak kehidupan di bumi). Perbedaan sudut pandang ini tidak mengubah isi yang sesungguhnya.

13
Kafe Jongkok / Re: Hoi Tuhan! Agamamu Sebenarnya Apa Sih?
« on: 23 July 2011, 02:29:40 PM »
Hoy,
kalo bicara nibanna ambilnya jangan sepotong2..kalo sepototng2 ya jadi ngga jelas,
contoh: A, Anda sekolah di mana?  A jawab dengan sepotong2: gw sekolah di universitas ka****k parah..

Nah, begitu juga dengan Nibbana baca dengan teliti Khuddaka-Nikaya dalam Sutta Pitaka Udana VIII.1-4, yang menjelaskan Nibanna:

Atthi, bhikkhave, tadāyatanaṃ, yattha neva pathavī, na āpo, na tejo, na vāyo, na ākāsānañcāyatanaṃ, na viññāṇañcāyatanaṃ, na ākiñcaññāyatanaṃ, na nevasaññānāsaññāyatanaṃ, nāyaṃ loko, na paraloko, na ubho candimasūriyā. Tatrāpāhaṃ, bhikkhave, neva āgatiṃ vadāmi, na gatiṃ, na ṭhitiṃ, na cutiṃ, na upapattiṃ; appatiṭṭhaṃ, appavattaṃ, anārammaṇamevetaṃ. Esevanto dukkhassā”ti   

O, bhikkhu, ada keadaan[1] di mana tidak ada padat, tidak ada cair/rekat, tidak ada suhu/temperatur, dan tidak ada getar/gerak; tidak ada dimensi ruang tak terbatas, tidak ada dimensi kesadaran tak terbatas, tidak ada dimensi dari kekosongan, tidak ada dimensi dari presepsi dan juga tidak ada bukan presepsi; tidak ada dunia ini atau dunia lain; tidak ada matahari rembulan[2]. Di sini, O, bhikkhu, saya katakan tidak ada kedatangan, tidak ada kepergian, tidak ada yang tinggal, tidak ada kematian, tidak ada kemunculan. Tidak terpancang, tidak dapat digerakkan, tidak ada landasan/penyangga[3] [objek mental]. Inilah akhir dari penderitaan.

Duddasaṃ anataṃ nāma, na hi saccaṃ sudassanaṃ; Paṭividdhā taṇhā jānato, passato natthi kiñcanan”ti.   

Yang tidak terpengaruh[4] sulit untuk diketahui, Kebenaran tidak mudah dilihat; Nafsu keinginan akan ditembus oleh orang yang tahu, Tidak ada penghalang bagi orang yang melihat.

"atthi bhikkhave, ajātaṃ abhūtaṃ akataṃ asaṅkhataṃ. No ce taṃ bhikkhave, abhavissā ajātaṃ abūtaṃ akataṃ asaṅkhataṃ, nayidha jātassa bhūtassa katassa saṅkhatassa nissaraṇaṃ paññāyetha. yasmā ca kho bhikkhave, atthi ajātaṃ abhūtaṃ akataṃ asaṅkhataṃ, tasmā jātassa bhūtassa katassa saṅkhatassa nissaraṇaṃ paññāyatī"ti."   

O, bhikkhu, ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak berkondisi. Jika seandainya saja, O, bhikkhu, tidak ada yang tidak dilahirkan, tidak-menjelma, tidak tercipta, tidak berkondisi; maka tidak akan ada jalan keluar kebebasan kelahiran, penjelmaan, pembentukan, kemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi karena ada yang tidak dilahirkan, tidak-menjelma, tidak tercipta, tidak berkondisi; maka ada jalan keluar kebebasan kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

Nissitassa calitaṃ, anissitassa calitaṃ natthi. Calite asati passaddhi, passaddhiyā sati nati na hoti. Natiyā asati āgatigati na hoti. Āgatigatiyā asati cutūpapāto na hoti. Cutūpapāte asati nevidha na huraṃ na ubhayamantarena. Esevanto dukkhassā”ti   

Bagi yang ditopang, ada ketidakstabilan, bagi yang tidak ditopang, tidak ada ketidak-stabilan, bila tidak ada ketidakstabilan ada ketenangan; bila ada ketenangan tidak ada hasrat; bila tidak ada hasrat tidak ada datang-dan-pergi; dan bila tidak ada atang-dan-pergi tidak ada kematian dan kemunculan; bila tidak ada kematian-dan-kemeunculan, tidak ada “di sini” atau “diluar sana” ataupun “di antara keduanya”. Inilah akhir dari penderitaan.

So,
Jika anda baca pelan-pelan..maka TIDAK ADA SAMA SEKALI yang merujuk atau mengartikannya menjadi seperti tuhan2 versi agama abrahamic dan juga Hinduism grup..

Kedua,
yang maksa mengartikan TUHAN [apapun definisinya personal/bukan, kek], maka ia wajib menjelaskan apa PRODUK yg diciptakan oleh NIBANNA... ada? Nah, kalo ngga ada maka nibanna jelas bukan TUHAN.

Paham?


tanggapan yang sudah sangat terduga.

14
Kafe Jongkok / Re: Hoi Tuhan! Agamamu Sebenarnya Apa Sih?
« on: 23 July 2011, 02:23:16 PM »
khabbe shankara anicca????

[master]khabbe 2anak cukup tidak lebih tidak kurang [/master]

Spoiler: ShowHide
khabbe susuk[spoiler]khabbe spiral[spoiler]khabbe suntik
[/spoiler][/spoiler]

maaf, maksudnya "kabbhe"

15
Kafe Jongkok / Re: Hoi Tuhan! Agamamu Sebenarnya Apa Sih?
« on: 23 July 2011, 02:10:40 PM »
Mengkaji nibbana dengan logika, seperti menganalisa lagu pakai penglihatan.

mengkaji nibbana dengan logika, itu langkah pertamanya.

kita seperti menyusun sebuah fuzzle, dan merangkainya satu persatu hinnga menjadi suatu gambaran yang utuh. tapi, orang yang tidak cukup kuat daya ingat dan konsentrasinya tidak sanggup menyusun fuzzle tersebut, apalagi orang yang selalu ingin mengacak-acaknya, sampai kapanpun tidak akan ktemun gambaran utuh mengenai nibbana.

setelah menangkap gambaran utuh mengenai nibbana, bagaimanapun utuhnya itu hanyalah gambar.  dalam logika disebut hanyalah analisa logic, kebenaran logika. dan kebenaran logika itu harus disempurnakan dengan kebenaran empiris. yakni, Nibbana itu harus dapat dilihat secara langsung.

sesungguhnya Nibbana itu ada dan tidak pergi kemanapuan. ia tidak harus di cari ke tempat jauh, melain harus dicarai ke dalam diri untuk dapt dilihat, tapi ia tidak berada di dalam. ia pun tidak berad di luar. melalui meditasi vippasana, kita akan mendapat "pengetahuan vippasana". sedalam apa pengetahuan vippasana ini akan di dapat, sangat ditentukan oleh kekuatan Jhana. sesungguhnya pengetahuan vipasana itu berlevel-level. dengan daya konsentrasi yang rendah, maka pengetahuan vipasana yang dilihat pun hanya pada level rendah. untuk smpai pada level yang lebih tinggi, daya konsentrasi harus lebih tinggi lagi sampai pada "pengetahuan terakhir vippasana". barangsiapa yang telah sampai pada pengetahuan akhir dari vippasana, maka tidak ada apa-apa lagi di sana, kecuali Nibbana. Nah beginilah cara melihat nibbana secara empiris. mereka yang sudah sampai pada tahap ini akan menjadi "misteri" bagi orang-orang lain yang belum sampai pada tahap ini.

Pages: [1] 2 3 4 5 6 7 8 ... 45
anything