Agama Buddha secara tegas menolak definisi kematian yang merujuk pada pernafasan (ingat pembicaraan Bhikkhu Nagasena dan Raja Milinda soal apakah ada jiwa pada nafas? Bagaimana kalau nafas meninggalkan tubuh dan tidak kembali? Apakah jiwa ikut pergi? Ternyata ketika nafas keluar dari hidung dan tidak kembali, tubuh tidak mati, berarti tidak terdapat jiwa pada nafas kita, waktu itu diibaratkan dengan pemain terompet yg meniup terompet).
Berikut, definisi kematian menurut Agama Buddha (Dikutip dari buku 'Misteri Kematian'):
----------------
seseorang dapat dikatakan mati apabila kesadaran ajal (cuticitta) telah muncul dalam dirinya. Begitu muncul sesaat, kesadaran ajal akan langsung padam. Kepadaman kesadaran ajal merupakan ‘the point of no return’ bagi suatu makhluk dalam kehidupan ini.
Pada unsur-unsur jasmaniah, kematian ditandai dengan terputusnya kemampuan hidup (jîvitindriya). Inilah definisi kematian menurut pandangan Agama Buddha.
--------------------
Meski ada definisi diatas, namun tetap saja, belum terlalu jelas bagi kita 'patokan' yg dapat digunakan dalam menentukan seseorang sudah mati / belum (jika ingin melihat tanda2 dari ciri2 fisik).
Mengenai cerita EVO tersebut, bahwa menunggu tubuh harus dingin dahulu, saya teringat dengan pelajaran Abhidhamma bahwa "kesadaran" terdapat pada "seluruh Indera Fisik" kita, Kesadaran terdapat diseluruh tubuh.Artinya, meskipun pernafasan terhenti, namun bukan berarti kesadaran sudah berpisah dengan tubuh, dengan kata lain jika napas sudah berhenti bukan berarti nama sudah berpisah dengan rupa. Apakah 'panas' yg masih tersisa diseluruh tubuh adalah kesadaran yg masih tertinggal atau hanya 'sisa/gejala' saja yg tertinggal, sementara kesadaran sudah pergi?
::