//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: PROBLEMA ISTILAH BAIK DAN BURUK/TIDAK BAIK (Renungan ttg KUSALA & AKUSALA)  (Read 3894 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Lily W

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.119
  • Reputasi: 241
  • Gender: Female
PROBLEMA ISTILAH BAIK DAN BURUK/TIDAK BAIK
(Renungan tentang kusala dan akusala ...)

PENDAHULUAN

Kata ‘baik’ dan ‘buruk’ di dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang luas. Seorang yang bermoral dikatakan baik, makanan enak disebut makanan yang ‘baik’; sebatang kayu yang berguna dan kuat dikatakan kayu yang baik. Sesuatu yang baik bagi seseorang mungkin buruk bagi orang lainnya. Ketika seorang anak mendengarkan nasehat orang tuanya, dikatakan anak tersebut sangat baik. Namun, ketika anak tersebut tidak mau memberikan ‘contekan’ jawaban ujian kepada temannya, maka temannya yang diberi ‘contekan’ menyebutnya sebagai anak yang baik, sementara gurunya berkata bahwa ia anak yang buruk/tidak baik. Dalam sebuah jamuan makan para eksekutif, tindakan yang baik bagi Amir adalah tidak meminum minuman keras, namun Merry menyebutnya sebagai ‘performance yang buruk’ bila tidak ikut serta. Ketika seorang perempuan hampir hanyut terbawa arus air, seorang bhikkhu mengambil keputusan yang menurutnya baik, yaitu menolong wanita tersebut; di pihak lain, seorang bhikkhu temannya mengatakan bahwa ia bertindak buruk karena melanggar ‘vinaya’ (tata tertib) tentang persentuhan dengan jasmani seorang wanita. Bila ingin hidup di dunia ini, tindakan baik bagi seseorang adalah harus terjun di dalam korupsi dan kolusi, namun itu buruk/tidak baik bagi perkembangan mental bangsa. Membuat orang yang sedang sekarat menjadi meninggal adalah tindakan yang baik, agar dia tidak menderita lebih jauh. Buah pisang yang kehitaman disebut buruk karena tidak menarik. Terlalu baik adalah hal yang buruk, menurut sebagian orang. Beberapa tahun lalu, bahkan ada sekelompok orang pernah menyatakan bahwa berdana kepada sekelompok bhikkhu Theravada adalah hal yang buruk / tidak baik, buktinya terjadi kecelakaan di Ancol, sehingga menyebabkan kematian beberapa bhikkhu dan umat yang berdana tersebut. “Betapa membingungkannya dunia ini,”
kata seorang anak kecil yang lugu (lucu dan dungu), ketika merenungkan hal itu.
Demikianlah beberapa contoh tentang baik dan buruk/tidak baik menurut konsep yang umum kita dengar dan bicarakan. Apakah benar sesuatu yang baik di atas benar-benar baik dalam artian kusala ? Apakah baik yang kita selalu sebutkan selalu sama dengan kusala ? Apakah benar sesuatu yang disebut tidak baik/burukdi atas sebagai akusala? Apakah tidak baik/buruk selalu sama dengan Akusala ? Baik yang mana yang disebut kusala dan tidak baik/buruk yang mana yang disebut akusala? Yang manakah yang seyogyanya kita kembangkan di dalam pikiran, ucapan dan tindakan jasmani kita di dalam kehidupan sehari-hari?

Saudara pembaca, nampaknya perlu satu standar untuk membakukan pengertian
kusala dan akusala guna membedakan dengan baik dan buruk. Apakah ‘baik’ itu dan mengapa demikian? Apakah yang kita sebut ‘buruk/tidak baik’ itu dan mengapa demikian? Tanpa mengerti dengan jelas perbedaannya, maka kita akan terombang-ambing di dalam keraguan skeptis (vicikiccha) terhadap proses sebabakibat moral perbuatan (kamma).

Dari contoh di atas, istilah baik dan buruk/tidak baik, memiliki arti yang banyak
sebarannya, tergantung dari sudut pandangnya, apakah dari sudut pandang arti
ekonomi, arti hedonistik, arti artistik dan sebagainya. Di dalam sistem bahasa
Indonesia, kata-kata baik dan buruk/tidak baik memiliki arti yang luas dan tidak
jelas.

Di dalam renungan ‘baik’ dan ‘buruk/tidak baik’ ini, beberapa hal yang harus
diperhatikan di dalam batin, sebagai berikut:

1. Penyelidikan tentang baik dan buruk/tidak baik di sini ditinjau dari perspektif
keselarasan Kamma, dengan demikian kita menggunakan istilah khusus
kusala’ dan ‘akusala’. Dua kata ini memiliki arti yang unik.

2. Kusala dan akusala, di dalam istilah etika Buddha Dhamma, adalah aspek keselarasan Kamma, dengan demikian perenungan kita akan kusala dan akusala ini harus berdasarkan konteks ini, tidak berdasarkan sekumpulan nilai sosial seperti yang termaktub di dalam istilah kata ‘baik’ dan ‘buruk/tidak baik.’

3. Operasi keselarasan Kamma berkaitan erat dengan kaidah keselarasan lainnya. Khususnya, dalam hubungan kehidupan internal seseorang, kammaniyama berinteraksi dengan cittaniyama (keselarasan pikiran), sementara secara eksternal berkaitan erat dengan konvensi sosial.

PENGERTIAN KUSALA DAN AKUSALA

Walaupun Kusala dan Akusala kadang-kadang diterjemahkan sebagai “baik” dan “buruk/tidak baik”, namun hal ini mungkin menyesatkan. Sesuatu yang disebut Kusala tidaklah selalu dianggap baik, sementara itu beberapa yang mungkin akusala juga belum secara umum dianggap buruk / tidak baik. Depresi, melankoli, lamban dan gelisah, misalnya, walaupun akusala, tidaklah biasa dianggap ‘buruk/tidak baik’ seperti yang kita ketahui di dalam istilah Bahasa Indonesia. Dengan cara yang sama, beberapa tipe kusala, seperti ketenangan pikiran dan bentuk-bentuk pikiran, mungkin tidaklah siap diterima di dalam pengertian kata ‘baik’ di dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kusala dan akusala dan ‘baik’ dan ‘buruk/tidak baik’ tidaklah harus hal yang sama/identik.

Kusala dan akusala adalah kondisi yang muncul di dalam batin, menghasilkan sesuatu yang berawal di dalam batin, dan dari sini mengarah ke aksi luar dan penampilan fisik/jasmani. Makna kusala dan akusala, oleh karena itu, menekankan keadaan, isi dan kejadian batin sebagai dasarnya.

Kusala dapat dikatakan secara harfiah sebagai ‘mahir’, ‘cekatan’, ‘puas hati’, ‘bermanfaat’,’ baik’, atau ‘kondisi yang menggeser/terbebas dari penderitaan /kesusahan/kemalangan’. Akusala didefinisikan di dalam cara yang berlawanan, sebagai ‘tidak mahir’, ‘tidak cekatan’ dan seterusnya.

Berikut ini adalah empat konotasi kusala yang didasarkan atas buku komentar Buddha Dhamma:

1. AROGYA: bebas dari kesakitan; yaitu, batin bebas dari kesakitan, kebanyakan, secara umum dikenal sebagai “batin yang sehat”, sebagai kondisi atau faktorfaktor yang mendukung kesehatan mental, menghasilkan batin yang sehat, tidak bermasalah dan stabil.

2. ANAVAJJA: tidak bernoda; batin yang tidak bernoda atau suram, tetapi bersih, cerah dan terang.

3. KOSALASAMBHUTA: berdasarkan kebijaksanaan atau kemahiran; kualitas
batin yang mengandung kebijaksanaan, atau berbagai kualitas yang muncul dari
pengetahuan dan pengertian akan kebenaran sejati. Hal ini sesuai dengan
ajaran yang menekankan bahwa kondisi kusala memiliki yoniso-manasikara,
pengamatan mendalam dan jelas, sebagai pendahulunya.

4. SUKHAVIPAKA: diliputi kesejahteraan. Kusala adalah sebuah kondisi yang
memproduksi ketenangan. Ketika kondisi kusala muncul di dalam batin, maka
terdapatlah kesejahteraan alamiah, tanpa perlu lagi pengaruh luar.

Seperti ketika seseorang yang sangat kuat dan sehat (aroga), telah mandi dengan
segar (anavajja), dan di sebuah tempat yang aman dan menyenangkan
(kosalasambhuta), kesejahteraan mengikutinya secara alamiah.

Arti dari akusala seyogyanya dimengerti dalam cara yang berlawanan dengan di
atas, yaitu sebagai kondisi batin yang tidak sehat, berbahaya, didasari kebodohan
batin, dan menghasilkan penderitaan. Hal ini dapat didefinisikan secara singkat
sebagai ‘kondisi-kondisi yang menyebabkan batin merosot baik dalam kualitas
maupun efisiensi, tidak seperti kusala, yang meningkatkan kualitas dan efisiensi
batin.

Untuk kemudahan referensi, kita dapat meringkaskan berbagai sifat ke dalam
kelompok, seperti:
· Stabil (Samahita) : stabil, konsisten, tidak berubah, tidak bergoyang.
· Murni (Parisuddha) dan bersih (pariyodata): tidak bernoda, tidak kotor, terang, bercahaya.
· Jelas (Pabhassara) dan bebas (seri): tidak berhambatan, bebas, tidak terikat, luhur.
· Siap bekerja (kammaniya): lentur, ramah, ringan, jujur, sabar, tidak bias.
· Tenang (santa) dan gembira (sukha): rileks, tenang, tidak bermasalah, tidak banyak keinginan, puas hati.

Setelah melihat kualitas batin yang sehat, kita sekarang dapat memahami kualitas
yang diketahui sebagai kusala dan akusala, apakah mereka secara nyata
berpengaruh terhadap kualitas batin dan bagaimana mereka berpengaruh.

Beberapa contoh kusala, adalah: Sati, perhatian murni, kemampuan memelihara
perhatian terhadap objek apapun atau tugas pikiran yang diemban; metta, cinta kasih universal; alobha, tidak serakah, tidak hadirnya kemelekatan (termasuk kemelekatan terhadap pandangan); panna, pengertian jelas terhadap hakekat sesungguhnya segala sesuatu; passaddhi, ketenangan, kedamaian batin; kusalachanda, puas terhadap kebaikan, keinginan untuk mengetahui dan bertindak sesuai kebenaran; mudita, simpati terhadap kebahagiaan pihak lain.

Beberapa contoh akusala, adalah: kamachanda, keinginan untuk memuaskan nafsu; byapada, keinginan buruk; thina middha, malas dan lamban batin; uddhaccakukkucca, gelisah dan khawatir; vicikiccha, keraguan skeptis; kodha, kemarahan; issa, cemburu / iri hati; macchariya, kikir.

Ketika terdapat cinta kasih universal (metta), batin secara alami gembira, senang
dan terang. Ini adalah kondisi yang bermanfaat bagi batin, mendukung kualitas
dan efisiensi pikiran. Oleh karena itu, metta adalah kusala. Sati, kemampuan batin memperhatikan segala sesuatu, terhadap tindakan yang tepat, membantu mencegah munculnya kondisi akusala dan membuat pikiran bekerja lebih efektif. Oleh karena itu sati adalah kusala.

KUSALA DAN AKUSALA SEBAGAI KATALIS SATU SAMA LAIN

Satu tindakan keyakinan atau murah hati, kemurnian moral, atau bahkan
pengalaman kebijaksanaan selama meditasi, yang semuanya merupakan kondisi
kusala
, dapat menyebabkan munculnya kesombongan, kebanggaan dan
keangkuhan. Kesombongan dan kebanggaan adalah kondisi akusala. Situasi ini
dikenal sebagai “kusala sebagai perantara bagi akusala.” Meditasi, yang
dikembangkan hingga tingkat Jhana (kusala), dapat membawa ke kemelekatan (akusala). Latihan pengembangan cinta kasih / metta, pikiran yang berkeinginan baik dan ramah kepada orang lain, dengan adanya objek yang diharapkan, dapat menyebabkan munculnya nafsu (akusala). Hal-hal ini merupakan contoh bagaimana kusala menjadi perantara bagi akusala.

Kadang-kadang mempraktikkan latihan Dhamma (kusala) dapat didasari oleh satu
hasrat untuk tumimbal lahir di surga (raga, akusala). Satu tingkah laku baik dan
disiplin dari seorang anak (kusala) dapat didasari oleh sebuah keinginan untuk
memamerkan sesuatu kepada orang tuanya (akusala); seorang pelajar rajin dalam belajar (kusala) mungkin berakar dari ambisi (akusala); kemarahan (akusala), bila dilihat dalam cahaya efeknya yang berbahaya, dapat membawa ke perenungan bijaksana dan memaafkan (kusala); takut akan kematian (akusala) dapat mendorong perenungan diri (kusala). Hal-hal ini merupakan contoh bagaimana akusala menjadi perantara bagi kusala.

Seorang pemuda, diperingati oleh orang tuanya untuk tidak bergaul tanpa pandang bulu dengan orang lain, tidak memperhatikannya dan terjerat ke dalam perbuatan meminum minuman yang melemahkan kewaspadaan (minuman keras) oleh temantemannya. Dalam menyadari situasi ini, ia menjadi marah dan depresi. Mengingat peringatan orang tuanya, ia tergerak akan kebaikan hati kedua orang tuanya (akusala sebagai perantara bagi kusala), namun sebaliknya hal ini mungkin saja menimbulkan kejengkelan sehingga membenci kepribadiannya.

PERUBAHAN DARI KUSALA KE AKUSALA, ATAU AKUSALA KE KUSALA, MUNCUL
DEMIKIAN CEPAT SEHINGGA BATIN YANG TIDAK TERLATIH BIASANYA TIDAK
MAMPU MELIHAT PERUBAHAN TERSEBUT.


MENGATASI KEBINGUNGAN AKAN KAMMA DAN KESEPAKATAN SOSIAL
(Dua hal terpisah, tapi kadang sangat erat kaitannya)


Isu yang menimbulkan kebingungan adalah hubungan antara kamma dengan
konvensi sosial. Dualisme muncul dalam memandang sifat alamiah “baik” dan
“buruk”, menimbulkan pertanyaan seperti, “Apakah baik itu?”, “Apakah tidak baik /
buruk itu?” Apakah standar untuk memutuskan antara baik dan buruk ?

Kita sering mendengar orang-orang mengatakan bahwa baik dan buruk adalah
konvensi sosial atau manusia. Seseorang bertindak di dalam satu kelompok sosial,
waktu atau tempat, mungkin dikatakan baik. Suatu jenis aktivitas mungkin
diterima oleh sekelompok masyarakat tertentu, namun tidak diterima di masyarakat lainnya. Beberapa paham mengajarkan bahwa membunuh binatang untuk makanan tidaklah buruk, namun paham lainnya mengajarkan bahwa menya kiti mahluk jenis apapun bukan hal yang baik. Beberapa masyarakat berpegangan
bahwa seorang anak seharusnya memperlihatkan sikap hormat terhadap para orang tua dan berargumentasi dengan mereka merupakan sikap yang buruk, namun kelompok masyarakat lain beranggapan bahwa menghormati seseorang jangan tergantung pada umurnya, dan bahwa orang-orang seyogyanya menghormati opini / pandangan orang lainnya.

Untuk mengatakan bahwa baik dan buruk merupakan masalah preferensi /
kesukaan manusia atau kesepakatan sosial adalah benar hanya untuk konteks
tertentu. Baik dan buruk dari konvensi sosial tidak mempengaruhi atau
membosankan pekerjaan keselarasan kamma, dan tidak seharusnya dikacaukan
dengan bekerjanya kamma
. “Baik” dan “buruk / tidak baik” menurut konvensi sosial harus dimengerti sebagai konvensi sosial. Sedangkan “baik” dan buruk / tidak baik”, yang diistilahkan dalam naskah Pali sebagai “kusala” dan “akusala”,sangat berkaitan erat dengan kualitas keselarasan kamma, hal ini harus dimengerti dan diterima sebagai atribut dari keselarasan kamma. Walaupun keduanya (konvensi dan kamma) kadang-kadang langsung berhubungan, namun mereka di dalam kenyataannya merupakan hal yang terpisah, dan memiliki perbedaan yang jelas.

Sekarang, tibalah saatnya kita siap untuk meringkaskan standar kita akan baik dan
buruk, atau kamma baik dan kamma buruk, keduanya secara nyata sesuai dengan
keselarasan kamma dan juga dalam hubungannya dengan konvensi sosial,
keduanya secara intrinsik di tingkat kemoralan dan pada sesuatu yang disebutkan
secara sosial:

1. Di dalam konteks manfaat langsung atau bahanya, dengan menanyakan: apakah perbuatan ini bermanfaat bagi kehidupan dan batin ? Apakah mereka mewarnai kualitas kehidupan ? apakah mereka menyebabkan kondisi kusala atau akusala yang meningkat atau makin pudar ?

2. Di dalam konteks akibat yang bermanfaat atau membahayakan: Apakah mereka
berbahaya atau mendukung manfaat bagi seseorang ?

3. Di dalam konteks manfaat atau bahaya bagi kehidupan sosial: Apakah mereka
membahayakan yang lain atau bermanfaat bagi yang lain?

4. Di dalam konteks kehati-hatian, kapasitas perenungan manusia alamiah:
Akankah kamma itu membuka kecaman terhadap diri sendiri ataukah tidak?

5. Di dalam konteks standar sosial: Apakah posisi aktivitas dalam kaitannya
kepada konvensi religius, tradisi dan adat, termasuk institusi sosial sebagai
hukum dan seterusnya, yang didasarkan perenungan bijaksana (seperti
siasumsikan bagi mereka yang semata-mata penyembah berhala atau
berpandangan salah)?

Dari uraian di atas, para pembaca akan cukup memperoleh gambaran dan inspirasi
untuk perenungan kusala dan akusala yang sering dikacaukan dengan istilah ‘baik’
dan ‘buruk’ buatan manusia (kesepakatan sosial), sehingga diharapkan dapat lebih
menempatkan proporsi penggunaan istilah itu secara tepat. Di dalam kesempatan
lain, bila kondisi kita sesuai, uraian yang lebih rinci akan kita renungkan bersama.
Semoga berbahagia !!!

Buku bacaan acuan:
Payutto, P.A. 1992. Good, Evil and Beyond, Kamma in the Buddha’s Teaching.
BuddhaDhamma Foundation Publications, Thailand. 116p.

Untuk: Mutiara Dhamma
Dari : Selamat Rodjali

 _/\_ :lotus:
~ Kakek Guru : "Pikiran adalah Raja Kehidupan"... bahagia dan derita berasal dari Pikiran.
~ Mak Kebo (film BABE) : The Only way you'll find happiness is to accept that the way things are. Is the way things are

 

anything