jika tidak ada manusia yang tidak pernah lalai dan lupa, maka eksistensi "kedisinian" yang abstrak dan terutama menjadi syarat bagi lahirnya masa depan yang sempurna itu sendiri menjadi kehilangan artinya. Dengan demikian, semestinya perubahan dan gerak juga mesti hilang.( Mulla Shadra, Jurnal Filsafat, hal. 30 )
Eksistenti kedisinian menjadi kehilangan artinya karena seluruh manusia lalai.
Lagi-lagi, kesimpulan dan argumen yang tidak memuat pinggir tengah (middle term, Hadul Ausat), maka bagaimana kebenaran kesimpulan tersebut dapat difahami? Pernyataan-pernyataan filsafat seperti itu dapat membingungkan orang-orang yang belum melihat kepada makna. Nilai-nilai kebenaran mungkin saja termuat di dalam falsafah tersebut, tetapi hanya dapat difahami oleh mereka yang sudah melihat makna sebelum kata-kata itu dikemukakan. Sedangkan mereka yang bermaksud menemukan makna melaui kata-kata tersebut, kemungkinan akan menemui kegagalan.
Terlebih membingungkan ketika perubahan dan gerak itu harus hilang, karena seluruh manusia lalai. Ini berarti alam semesta seharusnya hancur apabila tidak ada manusia yang hidup di dunia ini. Karena alam semesta adalah gerak dan perubahan itu sendiri. Dan bila dikatakan gerak dan peruahan itu hanya terjadi bila ada manusia yang fokus pada kedisinian (tidak lalai), berarti gerak dan perubahan alam tidak terjadi bila tidak ditemukan manusia yang tidak lalai. Berhentinya gerak dan perubahan pada alam berarti kehancuran itu sendiri.
Inilah yang mungkin menjadi dasar falsafah bagi kelompok agama tertentu yang meyakini bahwa keberadaan seorang manusia suci, yang paling suci, yang tercerahkan sempurna pada setiap zaman merupakan poros alam semesta. Dan mereka meyakini bahwa bila tidak ada manusia suci untuk sesaat saja di alam semesta ini, niscaya alam semesta ini hancur seketika. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa argumentasi keniscayaan gerak dan perubahan yang berporos pada manusia sempurna ini masih sulit difahami.