Ada bukti bahwa Avalokitesvara dikenal oleh umat Theravada di Sri Lanka pada abad ke-9 atau ke-10, sebagai adaptasi simbolis Buddhis, yaitu perwujudan aspek Karuna (Welas Asih) dari Sang Buddha. Berikut petikan dari buku yang ditulis oleh Y. A. Piyasilo Mahathera yang diterbitkan oleh Yayasan Penerbit Karaniya.
Kemasyhuran Avalokitesvara
Orang Jepang memungut nama Cina Avalokitesvara(Guanyin) dan mengubahnya jadi ‘Kannon’ atau ‘Kwannon’ (yang pertama lebih disukai). Orang Tibet menyebutnya ‘Spyan-ras-gzigs’ (Chenrezig, ‘dengan pandangan mengasihi’). Nama Mongolianya adalah ‘Niduber ujegci’ (‘dia yang melihat dengan mata’). Di Sri Lanka (di mana dia sering disalahartikan sebagai Maitreya, Sang Buddha masa depan), dia dikenal sebagai ‘Natha’ (‘Raja’ atau ‘Perlindungan’) atau ‘Nathadeva’, mungkin singkatan dari julukan lengkapnya Lokesvaranatha (‘Sang Raja yang melindungi dunia’). Di negara Theravada Asia Tenggara (terutama Muangthai dan Kamboja), dia dikenal sebagai Lokesvara (‘Raja dunia’). Avalokitesvara pada kenyataannya menjadi satu-satunya Bodhisattva Mahayana yang diterima oleh umat Buddha Theravada, atau kebanyakan dari mereka (bahkan di Burma).
Salah satu alasannya adalah bahwa dia merupakan penjelmaandari karuna Sang Buddha. Dalam Mahayana awal, kebijaksanaan (prajna) dan kasih sayang (karuna) membentuk dua ‘sayap’ pencerahan Sang Buddha: Penyadaran dan Ajaran-Nya tentang Dharma adalah aspek ‘kebijaksanaan’ sementara hidup dan tindakan-Nya adalah aspek ‘karunä’.
Mula-mula, aspek kebijaksanaan dianggap lebih penting daripada karuna. Pendekatan ini mencapai puncaknya dalam naskah Prajnaparamita (Kebijaksanaan Sempurna) (antara100 SM sampai 150 M). Kemudian, gagasan ini dijelmakan dan diubah menjadi Bodhisattva (misalnya Prajnaparamitadan Manjusri). Manjusri pada kenyataannya diperlakukan sebagai Bodhisattva yang terpenting.
Adaptasi Simbolis
Seiring dengan berlalunya waktu, karuna ditekankan danAvalokitesvara sebagai perwujudannya menjadi jalan tertinggi dalam mencapai pembebasan spiritual. Selama kurun waktu inilah Avalokitesvara melewati proses ‘adaptasi simbolis’ dengan mengasimilasi sifat dewa brahmanis sambil tetap mempertahankan sifat Buddhis hakiki —dengan demikian menetralkan pengaruh Hinduisme pada Buddhadharma.(Sebenarnya, Hindu juga melakukan hal yang sama; danakhirnya, mereka berhasil menyerap Buddhadharma dalam agama mereka —sampai Buddhadharma yang sekarang ini bangkit kembali di India, begitulah.)
Suatu kenyataan bahwa Avalokitesvara tidak disinggung dalam naskah yang lebih awal. Ini membuktikan bahwa dia dipahami oleh umat Buddha sebagai usaha untuk menghadapi cobaan dan godaan yang semakin besar. Belakangan, doktrin Avalokitesvara berkembang menjadi Adaptasi Simbolis yangmembuat banyak orang berpaling pada Buddhadharma.
Kitab Suci
Bagaimana bisa mayoritas umat Buddha dewasa ini dan selama dua ribu tahun terakhir begitu mudahnya menerima Avalokitesvara? Mengapa Avalokitesvara muncul jadi tokoh nomor satu? Faktor berikut memberikan beberapa jawaban penting bagi kedua pertanyaan tersebut:
1. Kitab Suci. Doktrin bahwa Avalokitesvara adalah jelmaan karuna Sang Buddha didasarkan pada Kitab Suci Buddhis (termasuk Kanon Pali). Dikatakan bahwa Sang Buddha, bangkit di pagi hari dari pencapaian karuna agung, mengamati dunia (mahakaruna samapattito vutthaya lokam volokento, D 2:37, DhA 1:21 2:367, P 1:126).
2. Sifat Sang Buddha. Dalam Maha-parinibbana Sutta, Sang Buddha berkata bahwa Beliau muncul dalam delapan kumpulan (orang mulia, brahmana, perumah tangga, pertapa, Empat Raja Dewata (Catummaharajikadeva), Tiga Puluh Tiga Dewa (Tavatimsa), Mara, dan Brahma) melihat dan berbicara seperti mereka untuk mengajar Dharma,mendorong, memperbaiki, dan menggembirakan mereka tanpa dikenali sama sekali oleh mereka (D 2:109). Avalokitesvara menunjukkan sifat-sifat yang sama.
3. Pengendalian Sang Buddha terhadap waktu. Sedikitnyadalam dua peristiwa Sang Buddha menunjukkan pengendalian-Nya terhadap waktu. Contoh pertama adalahketika Sang Buddha menimbulkan gambaran bidadaricantik luar biasa dalam pikiran Khemä, sang ratu Bimbi-sara, dan membiarkannya ‘melihat’ bidadari itu melewati masa muda, dewasa, usia tua, dan mati dalam waktu singkat (DhA 4:168 f). Contoh kedua ditemukan dalam Mahaparinibbana Sutta, di mana Sang Buddha mengisyaratkan kemampuan-Nya, hasil pencapaian-Nya akan Jalan Pencapaian beruas empat (iddhipada), untuk hidup selama satu kalpa (bisa berarti masa hidup normal manusia atau satu masa dunia) kepada Ananda (D 2:103117).
4. Sifat adiduniawi Sang Buddha Buddha. ‘Karena seorang Tathagata, tidak bisa dipahami walaupun sedang muncul di dunia ini, tidak layak mengatakannya ... bahwa setelah wafat Tathagata itu ada, tidak ada, ada dan tidak ada, atau bukan ada dan tidak ada’ (S 3:118; cf M 1:488). Kepada Dona sang brahmana yang melihat jejak kaki-Nya, Sang Buddha, dalam menjawab pertanyaannya, menyatakan bahwa keberadaan-Nya tidak bisa digolongkan ke dalam makhluk apa pun (dewa, makhluk kedewaan, yaksha, atau manusia) tetapi istilah ‘Buddha’-lah paling sesuai bagi-Nya (A 2:38). Kekuatan Sang Buddha itu di luar pemahaman pikiran yang belum cerah. Avalokitesvara,sebagai kekuatan spiritual positif bagi umat Buddha yang tak terhitung banyaknya selama berabad-abad, adalah aspek Pikiran Tertinggi yang tidak bisa dicabut.
5. Pemanusiaan Sang Buddha Terlalu memanusiakan dan tidak melegendakan Sang Buddha membuat-Nya terlihat seperti guru Dharma yang tak berdaya. ‘Dia wafat—di Nirvana. Dia tidak bisa menolongmu; Anda harusmenolong diri sendiri!’ Ini adalah obat yang tepat di waktu yang salah. Sebagai akibatnya, umat awam yang putus asa (khususnya Theravada) mulai berpaling ke dewa Hindu (Sri Lanka), pemujaan nat (Burma), dewa bumi (Muangthai), dan ‘Buddha Bermuka Empat’ (Malaysia dan Singapura). Yang terakhir adalah pembaruan yangdikenalkan oleh bhikkhu Muangthai yang ternyata jadi sangat terkenal dengan pemujaan materialistisnya.
'Tengah' dari Jalan Tengah
Avalokitesvara tidak boleh disalahartikan sebagai dewa ‘Hindu’ yang ditemukan oleh bhikkhu yang putus asa agar bisa menyelamat-kan agamanya yang sedang sekarat. Dia mewakili jawaban bagi kebutuhan yang menekan dan pengalaman hidup bagi orang kebanyakan yang melihat Buddha Dharma lebih dari sekadar kitab suci dan pengetahuan, atau lebih buruk daripada itu, sebagai komersialisa-si religius dan apatispiritual.
Sementara Theravada cenderung terlalu menekankan aspek manusiawi Sang Buddha, Mahayana condong untuk mendewakan-Nya. Namun, dalam doktrin Avalokitesvara,yang diterima oleh kedua aliran (setidaknya dalam prinsip, sebagai perwujudan karuna), kedua aspek itu —manusia dan dewata— melebur bersama dalam sebuah keseimbangan spiritual. Avalokitesvara tidak hanya ‘menjawab’ pendoa tetapi juga menampakkan diri, dalam legenda rakyat populer dalambentuk manusia (memperlihatkan bahwa orang daerah sudah menerimanya ke dalam kebudayaan mereka —ini dikenal sebagai ‘penggalian’). Di sini kita bisa benar-benar berkata bahwa Buddhadharma adalah sebuah agama rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Avalokitesvara memberikan jalur ‘komunikasi’ khususdengan Buddha terutama bila dibutuhkan keyakinan dalamhidup sehari-hari. Pemujaan Avalokitesvara menghilangkan perlunya pendeta dan viharawan. Pendekatan ini penting bagi kebangkitan kembali Buddha-dharma di mana banyak bhiksu menjadi pendeta dan perantara lewat dispensasi ‘berkah’ dan hak istimewa.
Orang-orang yang percaya hanya perlu memohon langsung kepada Sang Avalokitesvara dalam salah satu bentuknya yang tak terhingga banyaknya. Seseorang hanya perlu mengutarakan kesulitannya dan laksana seorang Penasihat Agung, Sang Avalokitesvara selalu siap mendengarkan dengan penuh perhatian. Jika ada yang berpikir bahwa hal ini bernada ketuhanan, dia harus ingat bahwa meditasi Avalokitesvara juga muncul dalam bentuk metode visualisasi dengan realisasi ketanpa-akuan yang menghasilkan pandangan terang (vipas-sana) sebagai tujuannya.