//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - Sunkmanitu Tanka Ob'waci

Pages: 1 ... 366 367 368 369 370 371 372 [373] 374 375 376 377 378 379
5581
Ariya Metteya ada juga di Theravada
Brahma 4 muka ini ada juga di Mahayana

5582
Keluarga & Teman / Re: Cerita tentang Cinta Sejati
« on: 19 January 2008, 10:06:42 AM »
sejak dahulu begitulah cinta ... deritanya tiada berakhir - Ti Pat Kai

5583
Dari Samaggi Phala : http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=838

Quote
Polemik Brahmarûpa

Oleh : Y.M. Maha Dhammadhiro Thera*

(Artikel ini merupakan bagian dari tulisan berjudul ‘Buddharupa’)

Brahmarûpa atau bentuk Brahma banyak dikenal belakangan ini dengan sebutan Dewa Empat Muka. Sebagian masyarakat suku Tiong Hoa menyebutnya Sie Mien Fuo (Buddha empat muka) atau Sie Mien Sen (Sie Bin Sin, Dewa empat muka). Sesungguhnya, apakah Brahma itu? Artikel di bawah ini ditampilkan untuk membantu mengkaji tentang keberadaan Brahma melalui pandangan beberapa sudut.

Arti Kata Brahma

Kata Brahma menurut konteks katanya berarti ‘besar’; makhluk yang berbadan besar disebut Brahma (mahantasarîratâya brahma, akar kata Braha = besar). Menurut pengertiannya, brahma berarti pembesar atau penguasa tiga alam, yakni; alam manusia, alam dewa dan alam brahma. Istilah Brahma memiliki banyak pengertian lain disesuai dengan ciri dan fungsinya, seperti: kakek (pitâmaha), bapak, bapak makhluk alam (pitu), penguasa tiga alam (lokesa), makhluk yang lebih luhur di antara para dewa (surajettha), pemelihara makhluk hidup (pajâpati), dsb.

Brahma dalam Tradisi Brâhmana/Hindu

Brahma, sebagaimana yang kita kenali, adalah salah satu dari tiga dewa utama dalam agama Hindu. Pengikut Hindu mempercayai dewa ini sebagai dewa pencipta, dewa yang kekal, yang lebih tinggi dari dewa lainnya. Apabila berpasangan dengan dua dewa yang lainnya, yakni: Visnu dan Siva, ketiganya ini dikenal dengan julukan Trimurti. Istilah Trimurti ini muncul sekitar dua ratus tahun setelah Buddhaparinibbâna, yakni saat kaum Brâhmana menamakan ajarannya sebagai ajaran Hindu atau Jaman Hindu.
Sebenarnya, istilah Brahma ini telah muncul lama sebelum kemunculan jaman Hindu; yakni muncul pada Jaman Veda. Jaman Veda adalah jaman kedua dari empat jaman dalam agama Brâhmana, yakni: jaman Ariyaka, jaman Veda, jaman Brâhmanaka, dan jaman Upanisada (Hindu). Teori pembedaan masyarakat berdasarkan warna kulitnya atau yang dinamakan ‘kasta’ muncul di jaman Veda ini. Dan, Brahma pada masa ini diyakini sebagai sumber dari keempat kelompok kasta di atas. Rinciannya secara berturut-turut adalah, kasta Brâhmana muncul dari mulut Brahma, kasta Ksatriya muncul dari lengan Brahma, kasta Vaisa muncul dari paha Brahma dan kasta Sudra muncul dari kaki Brahma. Kemudian pada jaman Brâhmanaka, Brahma dijadikan sebagai objek pujaan tertinggi dengan menyisihkan kebesaran dewa Indra yang sebelumnya telah menjadi pujaan tertinggi sejak awal mula berdirinya agama ini, yakni sejak jaman Ariyaka dan awal jaman Veda. Brahma dianggap sebagai dewa pencipta menggantikan dewa Indra. Dan kaum Brâhmana menyatakan diri bahwa kaum mereka adalah keturunan Brahma.
Terhitung sejak jaman Ariyaka, yakni jaman awal kaum Ariyaka menduduki wilayah India sekarang, kepercayaan terhadap dewa-dewa di jaman Brâhmanaka ini kian lama kian bertambah kompleks dan timpang tindih asal-usul maupun tugasnya. Satu sosok nama dewa bisa berasal dari bermacam-macam sumber kemunculannya dan berlainan kwalitas dan kekuasaannya. Dewa-dewa yang dulunya berderajat tinggi pada satu jaman menjadi merosot sebagai dewa lumrahan di jaman lainnya. Sebaliknya, yang dulu berderajat rendah naik menjadi berderajat tinggi yang berperanan penting dalam mengatur kelangsungan alam semesta, termasuk alam manusia. Brahma misalnya, dalam kitab Manûdharmasastra dikatakan muncul dari telor emas dan sebagai pencipta dewa Visnu. Tetapi dalam kitab Varâhapurâna disebutkan bahwa Brahma muncul dari teratai yang muncul dari pusar dewa Visnu. Dalam kitab Padmapurâna dikatakan, dewa Visnu ingin menciptakan alam, kemudian ia membagi diri dengan menciptakan Brahma dari pundak kanannya, menciptakan dirinya sendiri dari pundak kirinya dan menciptakan dewa Siva dari badannya. Kecuali di atas, masih banyak dewa-dewa objek pujaan lain yang kian lama kian tumpang tindih keberadaannya. Ketimpang tindihan sosok dewa berikut kwalitas dan kekuasaannya ini salah satu sebabnya adalah karena masing-masing kelompok masyarakat pemuja dewa tertentu berusaha mengorbitkan dewanya masing-masing. Dan terhadap dewa yang bukan pujaan mereka, keberadaannya akan dikesampingkan, bahkan didiskreditkan. Sehingga, setelah jaman Brâhmanaka yang bertahan selama beberapa ratus tahun di mana dewa-dewa agama Brâhmana pada masa itu berada pada titik puncak ketidak-jelasan dan sebagai salah satu subjek pertikaian antar kepercayaan, muncullah jaman Hindu yang berhasrat mengatur kembali, baik segi ajaran maupun objek-objek pujaan mereka. Di jaman Hindu, kaum Brâhmana berhasil meringkas bentuk-bentuk dewa yang beraneka macam itu dalam satu bentuk berupa Trimurti. Terbit satu kesepakatan bahwa, Brahma adalah sosok pencipta, Visnu adalah sosok pemelihara, dan Siva adalah sosok penghancur.
Mengapa dewa Brahma memiliki empat muka? Pertanyaan sejenis ini banyak terlontar. Keberadaan Brahma dengan empat muka ini muncul dari kalangan kaum Brâhmana sendiri. Asal usul dewa Brahma bukanlah memiliki empat muka, melainkan lima muka. Muka yang kelima terletak di ubun-ubun kepala. Namun muka yang kelima ini sirna karena adanya satu peristiwa. Ceritanya adalah sebagai berikut. Dulu, dewa Brahma hanya bermuka satu, seperti dewa-dewa lainnya. Ia mempunyai seorang shakti (dewi) bernama dewi Sarasvati, sebagai pendampingnya. Saat sang dewi, yang adalah sesosok dewi bertubuh indah, sedang memberikan pelayanan di dekat sang Brahma, sekonyong-konyong timbul sorot mata berbaur nafsu birahi tertampak di wajah sang Brahma. Karena tekanan perasaan gelisah atas pandangan itu, sang dewi menghindar sorotan mata sang Brahma dengan berpindah di sebelah kanan Brahma. Sang Brahma, atas dorongan nafsu birahinya untuk bisa mengagumi keindahan tubuh sang dewi, menciptakan muka di sisi kanan kepalanya. Sang dewi yang pemalu itu pindah lagi ke sebelah kirinya. Sang Brahma tidak pantang menyerah. Dia ciptakan muka di sisi kiri kepalanya mengikuti arah sang dewi. Sang dewi pindah lagi ke belakang dengan harapan bisa lepas dari sorot mata Brahma. Namun, sang Brahma tidak putus asa. Ia menciptakan muka di sisi belakang kepalanya. Karena merasa tidak ada tempat nyaman lagi baginya, sang dewi pun berdiam di angkasa. Di pihak lain, atas dorongan nafsu yang tiada tanda reda, sang Brahma menciptakan muka kelimanya di bidang atas kepalanya. Akhirnya, sang dewi yang tidak tahu apa yang harus diberbuat, pergi melaporkan hal tersebut kepada dewa Siva (versi lain mengatakan kepada dewa Visnu). Dewa Siva membantu mengatasi masalah sang dewi dengan menebas muka yang berada di bidang atas kepala. Brahma kehilangan muka atasnya. Dan mulai dari situlah Brahma menjadi bermuka empat. Cerita ini tampak seperti dongeng seribu satu malam. Tetapi inilah yang tercantum dalam kitab milik kaum Brâhmana tentang asal mula Brahma empat muka atau Sie Mien Sen dalam bahasa Mandarinnya.

Brahma dalam Tradisi Buddhis

Tidak seperti dalam tradisi Brâhmana/Hindu yang menempatkan Brahma di alam surgawi dan masih berlumur gairah nafsu (Kâmâvacarabhava), Brahma dalam ajaran Buddha diletakkan di alam tersendiri, yakni alam Brahma, yang bebas nafsu gairah (Rûpârûpabhava). Dalam kitab-kitab agama Buddha, istilah Brahma sering disebut di sana. Artinya, agama Buddha mengakui keberadaan Brahma. Namun, istilah brahma dalam kitab agama Buddha itu memiliki pengertian yang berbeda dari kepercayaan kaum Brâhmana. Batasan pengertian brahma diubah sedemikian rupa hingga sesuai dengan doktrin agama Buddha. Perlu diketahui juga, bahwa Sang Buddha banyak memberikan makna baru atas kata-kata yang sebelumnya telah dipakai di jaman itu, seperti misalnya kata arahanta, brâhmana, mokkha, bhagavantu, dsb. Pengubahan ini utamanya ditujukan agar para pendengar ajaran Beliau memiliki pengertian baik dan benar.
Sebuah kata atau nama bisa mengandung makna lebih dari satu arti. Tiap-tiap makna berperan dalam memahami suatu ucapan atau ajaran. Karena itu, pemilahan makna kata dari makna-makna adalah satu tugas yang amat penting untuk mencapai maksud sebenarnya si pengucap. Pengertian lebih penting daripada nama itu nama yang menjulukinya sendiri. Karena, nama adalah sekadar julukan. Sedangkan pengertian adalah arahan dari suatu nama diucapkan. Untuk kata ‘brahma’ misalnya, umat Buddha tidak diarahkan untuk memahaminya sebagai pusat dari makhluk alam semesta, sosok makhluk yang kekal, yang menentukan nasib setiap insan (yang sebenarnya juga termasuk nasib hewan dan makhluk lain), atau sosok makhluk yang secara langsung memberi anugerah sekaligus kutukan terhadap makhluk lain. ‘Brahma’ dalam pengertian sebagai sesosok makhluk, adalah makhluk-makhluk yang telah mengembangkan kebajikan besar sehingga mampu menempati alam brahma. Brahma dalam agama Buddha bukanlah mewaliki satu makhluk saja, melainkan mewakili sekelompok makhluk dengan berbagai macam tingkatannya. Alam Brahma memiliki banyak tingkat. Tiap tingkat memiliki ciri khas, kemampuan, dan batas usia penghuninya. Dewa Brahma, meskipun berusia amat lama, juga akan habis masa usianya (meninggal dari alamnya). Ia pun akan melanjutkan kehidupannya di alam-alam lain seperti halnya makhluk manusia dan binatang. Dan, semasih belum mencapai tingkat-tingkat kesucian, mereka semua tak terlepaskan dari alam samsara.
Kembali pada pengertian Brahma, Sang Buddha sendiri dalam sabdanya, pernah menyebut diri beliau sebagai Brahma, “Brahmâti kho bhikkhave tathâgatassetam adhivacanam”1 Para bhikkhu, kata brahma ini merupakan nama Tathâgata. Brahma juga dipakai untuk pengertian ‘orangtua’, seperti dalam Buddhavacana ini, “Brahmâti mâtâpitaro pubbâcariyâti vuccare”2 Ibu dan ayah pemelihara anak, disebut brahma dan disebut guru awal. Brahma berarti ‘luhur’, “Brahmacakkam pavatteti”3 Memutar roda nan luhur. “… setthatthena brahmam sabbaññutaññânam …”4 Pengetahuan si pengetahu segala yang merupakan ‘brahma’ dalam pengertian ‘luhur’. Brahma mengacu pada ‘empat keberadaan luhur’ (mettâ, karunâ, muditâ, upekkhâ), “Brahmam, bhikkhave … muditâya cetovimuttiyâ.”5 Duhai para bhikkhu, di kala itu para bhikkhu berada dalam kediaman yang luhur yakni tempat berdiam dalam muditâ, kebebasan pikiran. Keberadaan Brahma sebagai sosok penentu nasib, pemberi rejeki, kesehatan, keselamatan, dsb. tidak dikenal dalam pengertian Buddhis.

Perbandingan Brahma menurut Brâhmana dan Buddhis

Brahma dalam Ajaran Brâhmana:

   1.
      Dikenal dalam ajaran para brâhmana sejak Jaman Veda.
   2.
      Sebagai sang pencipta dan bersifat kekal. Pada jaman Veda dianggap merupakan bagian dari segala sesuatu.
   3.
      Dalam cirinya sebagai paramâtman, dianggap sebagai sumber semua jiwa (âtman).
   4.
      Pada Jaman Brâhmanaka, Brahma bersifat nonperson dan tak berjenis kelamin.
   5.
      Masa berikutnya, bentuk Brahma lebih berbentuk person menyerupai manusia dengan memiliki empat muka.
   6.
      Belakangan, Brahma mempunyai istri atau Shakti bernama Sarasvati (dewi kebijaksanaan) dan mempunyai angsa sebagai wahananya.
   7.
      Dilengkapi dengan Brahmavihâradharma.

Brahma dalam Ajaran Buddha

   1.
      Bukan makhluk kekal, bukan pencipta, bukan penentu garis hidup makhluk lain.
   2.
      Berasal dari makhluk yang telah mengembangkan batin hingga di tingkat rûpajjhâna dan arûpajjhâna. Kehidupannya dibatasi oleh waktu.
   3.
      Bersifat person, bermuka satu dan tidak memiliki istri atau Shakti.
   4.
      Dilengkapi dengan Brahmavihâradhamma.
   5.
      Istilah Brahma juga dipakai untuk pengertian ‘luhur’, ‘dewasa’, ‘orangtua’, dsb.

Menimbang perbandingan di atas, penerimaan brahmarûpa sebagai bentuk pujaan dalam tradisi Buddhis dengan hanya beralasan bahwa brahma dikenal baik dalam ajaran Buddha tidaklah cukup. Baik bentuk dan konsep brahmarûpa maupun persepsi pemuja terhadap brahmarûpa perlu mendapat pelurusan sedemikian rupa sehingga penghormatan yang dilakukan itu bisa dikatakan sebagai penghormatan secara Buddhis. Namun pernyataan ini adalah terlepas dari sikap kebebasan berkehendak dari pemuja sendiri. Satu hak penuh bagi seseorang, dengan dasar pemikiran dan tujuan yang disadarinya, untuk memuja satu bentuk pujaan. Ulasan ini hanya memberikan kejelasan tentang prinsip brahma di masing-masing kepercayaan. Sebab, penerimaan satu bentuk pujaan ‘luar’ ke dalam tradisi Buddhis akan berarti juga menghalalkan bentuk pujaan lain untuk masuk dalam tubuh Buddhis. Apa yang terjadi dalam agama Buddha apabila dalam tubuhnya penuh terisi dewa-dewa pujaan kepercayaan lain?

Brahmarûpa di Thailand

Berikut ini adalah sekilas tentang kehadiran Brahmarûpa ditengah-tengah masyarakat Thai. Artikel ini mengambil Thai sebagai kajian karena objek pujaan brahma yang sedang dibahas di sini berkaitan erat dengan yang ada di sana. Bisa dikatakan bahwa menjamurnya objek pujaan brahma oleh umat Buddha di Indonesia adalah pemasukan budaya dari negara itu.
Selain mewarisi tradisi Buddhis, masyarakat Thai mewarisi tradisi kaum Brâhmana pula. Ajaran Brâhmana berpengaruh di masyarakat ini tak kurang dari seribu tahun yang lalu dan masih tersisa pengaruhnya hingga kini. Kendati, ajaran Buddha telah menyebar luas di hampir keseluruhan negara sejak lebih dari seribu tahun. Ajaran Brâhmana datang ke negara ini hampir bersamaan dengan kedatangan agama Buddha ke sana. Namun, ajaran Brâhmana di sana lebih dikenal dari segi tradisi dan tata upacaranya, alih-alih dari ajarannya. Di sisi lain, agama Buddha mendapatkan tempat yang lebih resmi sebagai ‘agama’ panutan mereka. Tradisi dan tata upacara Brâhmana pun seolah menjadi bagian dari tradisi Buddhis. Para brâhmana sendiri, sebelum memulai upacara ala tradisinya, memimpin peserta upacara memohon Pañcasîla kepada bhikkhu.
Seiring dengan berlangsungnya pengaruh tradisi Brâhmana, kehidupan masyarakat sana pun tak terpisah dari hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan ini. Pura-pura Brâhmana, ritual-ritual, pemujaan kepada para dewa, seperti: dewa Brahma, dewa Râhû, dewi Umâ atau Durga (pendamping dewa Siva), dewa Ganesa dan lain-lain bisa dijumpai di sana. Di antara para dewa di atas, Brahma adalah paling populer dipuja, yang mana adalah hal yang jarang terjadi dalam masyarakat penganut kepercayaan Brâhmana di wilayah lain, meski di India sekalipun. Umat Brâhmana di wilayah lain justru cenderung memuja dewa Siva, dewa Visnu atau dewa-dewa lainnya. Jadi, meskipun masyarakat Thai mengaku penganut Buddhis, yang sebagian memang adalah penganut buddhis yang taat, sebagian lagi adalah pemuja Brahmarûpa juga. Brahmarûpa yang dipuja adalah brahma dalam kepercayaan Brâhmana, sosok dewa bermuka empat, yang mampu sang pencipta makhluk, pemberi anugerah, rejeki, dan penentu garis hidup.
Berhubungan dengan Brahmarûpa di Thai, ada sebuah legenda yang membuat patung dewa ini melejit tingkat kepopulerannya. Meskipun sebelumnya Brahma sudah dipuja oleh sebagian masyarakat Thai, puncak kepopuleran patung ini adalah baru sekitar duapuluh tahunan yang lalu. Satu hotel dengan nama Erawan, yang adalah nama seekor Gajah, dibangun di pusat pertokoan kota Bangkok. Konon pemilik hotel ingin membangun sebuah patung dewa yang menjadi penunggang gajah Erawan. Maka dibangunlah patung Brahma di pojok sebelah depan hotel, yang semestinya bukanlah patung dewa Brahma melainkan patung dewa Indra. Sebab gajah Erawan adalah wahana atau tunggangan dari dewa Indra. Sedangkan, dewa Brahma memiliki angsa sebagai wahana. Tidak diketahui kesalahan ini adalah suatu kesengajaan atau tidak. Belakangan, ada satu cerita tentang seorang wanita yang sedang di landa permasalahan, tidak tahu kemana harus bersandar, datanglah ia ke depan patung dewa Brahma yang kebetulan ia lihat di pojok sebuah hotel. Ia memohon penyelesaian masalah di hadapan sang patung. Tekadpun ia keluarkan, bahwa kalau masalahnya bisa terselesaikan, ia akan bertelanjang menari dihadapan sang patung. Alkisah, ia benar-benar terlepas dari kegundahan akan permasalahannya. Dilakukanlah tekadnya itu. Dari mulut ke mulut, peristiwa ini mengundang sensasi besar bagi masyarakat sekitar. Para pemandu jalan pun berpropaganda kepada para pelancong manca negara, terutama yang berasal dari wilayah Asia. Para pelancong pun, yang bak sembari menyelam minum air, beradu nasib dengan memohon segala hal yang mereka inginkan. Alhasil, meskipun yang terkabulkan permohonannya itu tidak lebih dari 1 persen dari keseluruhan jumlah pemohon, gema ketenaran sang patung di pojok sebuah hotel ini menjadi ke mana-mana. Dan, celakanya, sang patung ini akhirnya dikenal dengan istilah Sie Mien Fuo (Buddha 4 muka) alih-alih Sie Mien Sen (Dewa 4 muka), hanya karena untuk memudahkan pendengaran para pelancong. Asal berupa sebuah patung dan berada di kota Bangkok, satu kota yang padat dengan pemeluk Buddhis, semuanya dianggap sebagai Fuo, patung Buddha saja.
Dari ulasan yang cukup panjang lebar di atas, kira-kira jelaslah apa yang dimaksud Brahmarûpa; bagaimana konsep dewa Brahma menurut Brâhmana dan menurut Buddhis; dan, bagaimana pula sepantasnya seorang buddhis mengerti dan menghormat dewa Brahma. Sorot baliknya tentunya kembali kepada pengikut Buddhis masing-masing.

Catatan Kaki :

   1.
      Majjhimanikâya, Atthakathâ.
   2.
      Vinayapitaka, samantapâsâdikâtîkâ.
   3.
      Mûlapannâsaka, Majjhimanikâya.
   4.
      Sîlakkhandhavagga Atthakathâ.
   5.
      Lonakapallavagga, dukanipâta.

(* Penulis adalah salah seorang bhikkhu anggota Sangha Theravada Indonesia yang menetap di Thailand dan menjadi dosen pengajar bahasa Pali)

5584
Diskusi Umum / Re: Mengapa arahat menangis(Ajahn Luangta Mahaboowa)?
« on: 18 January 2008, 03:15:30 PM »
hehe si bos mancing-mancing aja
ane gak berani bilang bos, takut salah

5585
kenapa gw ngeliatnya sebagai brahma vihara ya? metta, karuna, mudita, dan upekka

5586
Diskusi Umum / Re: To El Sol and Kemenyan, Anatta and Kamma
« on: 18 January 2008, 10:44:17 AM »
Quote
mengerti saya segala sesuatu itu tidak ada yang kekal
dan segala sesuatu itu berubah

ada yang kekal dan tidak berubah
Sang Buddha bilang "Sabbe sankhara anicca"
Yang berkondisi tidak kekal
tapi ada yang tidak berkondisi ...

5587
Diskusi Umum / Re: Mengapa arahat menangis(Ajahn Luangta Mahaboowa)?
« on: 17 January 2008, 11:08:42 PM »
wah proses citta itu sangat rumit, harus dilihat sendiri, dan benar benar disadari, mungkin saja itu akusala citta yang seperti kusala citta? kasihan (akusala citta) berbeda dengan cinta kasih (kusala citta)

dilihat dari contekan, kalau pikiran tenang, sejuk dan ringan, dipenuhi kebahagiaan, itu piti (kegiuran), bisa saja keluar air mata dan goosebump (seperti merinding / kedinginan, keluar titik2), tapi piti di sini Kuttaikapiti, piti kecil, piti biasa, pada piti yang lebih besar, tidak akan keluar, tapi tubuhnya terbang.

tapi kalau pikiran tidak tenang, ada rasa sedih itu bukan piti, tapi soka (kesedihan), yang akusala

kalau keluar air mata mungkin, reaksi tubuh atau dll, tapi kalau Arahat lihat2 dari referensi, mereka akan "jaga emosi" (istilah saya yang bukan orang suci). tersenyumnya saja tidak akan terlihat giginya, dan Sang Buddha yang kalau berbicara selalu tersenyum. dan saya belum menemukan referensi ada arahat yang menangis. bahkan di beberapa teks disebutkan air mata merupakan salah satu perusak Sasana.

YM Ananda pernah digambarkan menangis (waktu belum Arahat), dan YM Kassapa ditugaskan menjaga konsili pertama dari kedatangan YM Ananda karena beliau belum Arahat. Ternyata YM Ananda menjadi Arahat sebelum konsili dimulai.

5588
Buddhisme untuk Pemula / Re: Sadhu... Sadhu... Sadhu...
« on: 17 January 2008, 11:47:15 AM »
sepertinya 3 kali itu kebiasaan deh, tapi bisa juga ada maksud lain
mungkin kalau 3 kali itu kesungguhan ya?
Trisarana juga 3 kali
Sang Buddha kalau diminta pertama dan kedua kadang-kadang menolak membabarkan sesuatu karena sesuatu hal, kalau diminta ketiga kali bisa saja jadi membabarkan
Kalau Sang Buddha bertanya juga kadang-kadang 3 kali, untuk meyakinkan yang ditanya kah?

5589
Diskusi Umum / Re: To El Sol and Kemenyan, Anatta and Kamma
« on: 17 January 2008, 10:16:18 AM »
Tidak ada "kesadaran", "nama as in nama rupa", "esense" yang berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan lain.

5590
Diskusi Umum / Re: To El Sol and Kemenyan, Anatta and Kamma
« on: 17 January 2008, 10:14:31 AM »
Sāti: "As I understand the Dhamma taught by the Blessed One, it is this same consciousness that runs and wanders through the round of rebirths, not another."

The Buddha: "What is that consciousness, Sāti?"

Sāti: "Venerable sir, it is that which speaks and feels and experiences here and there the results of good and bad kammas."

The Buddha: "Misguided man, to whom have you ever known me to teach the Dhamma in that way? Misguided man, in many discourses have I not stated consciousness to be dependently arisen, since without a condition there is no origination of consciousness? But you, misguided man, have misrepresented us by your wrong grasp and injured yourself and stored up much demerit; for this will lead to your harm and suffering for a long time. [....] Bhikkhus, what do you think? Has this bhikkhu Sāti, son of a fisherman, kindled even one spark of wisdom in this Dhamma and Vinaya?"
(Mahātaṇhāsaṅkhaya Sutta, MN 38)

5591
Diskusi Umum / Re: To El Sol and Kemenyan, Anatta and Kamma
« on: 17 January 2008, 09:56:37 AM »
http://www.buddhistonline.com/tanya/td156.shtml
Hubungan Anatta dan Kamma

Tanya:
Namo Buddhaya,

Saya ingin menanyakan hubungan anatta dengan kamma dan perbedaannya dengan reinkarnasi. Demikian pertanyaan saya. Semoga semua mahluk hidup berbahagia.

Melfa, Makassar

 

Jawaban dari Samaggi Phala (Y.M. Uttamo Thera) dan Dhamma Study Group Bogor (Sdr. Selamat Rodjali):
Namo Buddhaya,

Dalam Buddha Dhamma diajarkan bahwa segala sesuatu adalah anatta, yang artinya tidak ada yang disebut sebagai diri, hal ini bisa terjadi karena segala sesuatu selalu berubah. Kita yang saat ini, telah berbeda dengan kita yang satu menit yang lalu, juga berbeda dengan kita di satu menit yang akan datang. Perbedaan paling pokok adalah adanya perbedaan usia, ada beda satu menit yang lalu dan satu menit yang akan datang. Karena adanya perbedaan waktu, maka otomatis, kita juga berbeda dimensi tempatnya, karena secara alamiah, bumi berputar sekitar 33 Km per detik, jadi, dalam satu menit, kita sudah berpindah tempat sekitar 1800 Km, dengan demikian, kalau dimensi waktu dan ruang sudah berbeda, bagaimana kita bisa disebut sebagai mahluk yang sama...? Inilah yang disebut sebagai anatta.

Namun, dalam kehidupan kita ini, dalam keseharian, sering kita merasakan suka dan duka. Hal ini bisa muncul justru karena pikiran kita menganggap diri kita kekal, dan memiliki atta. Artinya, kita akan merasa bahagia kalau kita membandingkan keinginan kita yang lalu dengan pencapaian kita yang sekarang. Sebaliknya, jika kita merasakan bahwa keinginan kita yang lalu tidak tercapai di saat yang sekarang, maka kita akan menjadi sedih. Padahal, dengan menyadari anatta, maka kita akan selalu hidup saat ini, tidak ada lagi suka dan duka, karena mengetahui bahwa itu semua hanyalah permainan pikiran kita. Dengan demikian, pikiran kita menjadi netral, terbebas dari ketamakan, kebencian dan kegelapan batin, sehingga dalam tahap ini, manusia kemudian disebut melakukan KIRIYA, bukan kamma lagi.

Apabila orang sudah mencapai kesucian dan hanya melaksanakan kiriya, maka dia akan terbebas dari perbuatan berdasarkan ketamakan, kebencian dan kegelapan batin, yang akhirnya membebaskannya dari kelahiran kembali.

Sdri. Melfa yang baik, Anatta, Kamma, dan Reinkarnasi sangat berbeda. Anatta merupakan sifat segala sesuatu yang tanpa kepemilikan, tanpa inti. Kamma merupakan keselarasan sebab akibat perbuatan moralitas. Reinkarnasi merupakan istilah Brahmanisme atas kelahiran kembali yang sangat berbeda dengan tumimbal lahir di dalam Buddha Dhamma. Agar lebih jelas, kami sarankan Saudari mempelajari Buddha Dhamma secara bertahap dan sistematik. Silakan Saudari masuk ke website Access to Insight yang ada di rubrik Link. Di sana Saudari akan menjumpai cara belajar Buddhisme dari awal dan The Pure Buddhism.

Semoga bermanfaat.

Semoga semua mahluk berbahagia.

5592
Diskusi Umum / Re: To El Sol and Kemenyan, Anatta and Kamma
« on: 17 January 2008, 09:55:06 AM »
Anatta or soul-lessness

This Buddhist doctrine of rebirth should be distinguished from the theory of reincarnation which implies the transmigration of a soul and its invariable material rebirth. Buddhism denies the existence of an unchanging or eternal soul created by a God or emanating from a Divine Essence (Paramatma).

If the immortal soul, which is supposed to be the essence of man, is eternal, there cannot be either a rise or a fall. Besides one cannot understand why "different souls are so variously constituted at the outset."

To prove the existence of endless felicity in an eternal heaven and unending torments in an eternal hell, an immortal soul is absolutely necessary. Otherwise, what is it that is punished in hell or rewarded in heaven?

"It should be said," writes Bertrand Russell, "that the old distinction between soul and body has evaporated quite as much because 'matter' has lost its solidity as mind has lost its spirituality. Psychology is just beginning to be scientific. In the present state of psychology belief in immortality can at any rate claim no support from science."

Buddhists do agree with Russell when he says "there is obviously some reason in which I am the same person as I was yesterday, and, to take an even more obvious example if I simultaneously see a man and hear him speaking, there is some sense in which the 'I' that sees is the same as the 'I' that hears."

Till recently scientists believed in an indivisible and indestructible atom. "For sufficient reasons physicists have reduced this atom to a series of events. For equally good reasons psychologists find that mind has not the identity of a single continuing thing but is a series of occurrences bound together by certain intimate relations. The question of immortality, therefore, has become the question whether these intimate relations exist between occurrences connected with a living body and other occurrence which take place after that body is dead."

As C.E.M. Joad says in "The Meaning of Life," matter has since disintegrated under our very eyes. It is no longer solid; it is no longer enduring; it is no longer determined by compulsive causal laws; and more important than all, it is no longer known.

The so-called atoms, it seems, are both "divisible and destructible." The electrons and protons that compose atoms "can meet and annihilate one another while their persistence, such as it is, is rather that of a wave lacking fixed boundaries, and in process of continual change both as regards shape and position than that of a thing."[11]

Bishop Berkeley who showed that this so-called atom is a metaphysical fiction held that there exists a spiritual substance called the soul.

Hume, for instance, looked into consciousness and perceived that there was nothing except fleeting mental states and concluded that the supposed "permanent ego" is non-existent.

"There are some philosophers," he says, "who imagine we are every moment conscious of what we call 'ourself,' that we feel its existence and its continuance in existence and so we are certain, both of its perfect identity and simplicity. For my part, when I enter most intimately into what I call 'myself' I always stumble on some particular perception or other -- of heat or cold, light or shade, love or hatred, pain or pleasure. I never catch myself... and never can observe anything but the perception... nor do I conceive what is further requisite to make me a perfect non-entity."

Bergson says, "All consciousness is time existence; and a conscious state is not a state that endures without changing. It is a change without ceasing, when change ceases it ceases; it is itself nothing but change."

Dealing with this question of soul Prof. James says -- "The soul-theory is a complete superfluity, so far as accounting for the actually verified facts of conscious experience goes. So far no one can be compelled to subscribe to it for definite scientific reasons." In concluding his interesting chapter on the soul he says: "And in this book the provisional solution which we have reached must be the final word: the thoughts themselves are the thinkers."

Watson, a distinguished psychologist, states: "No one has ever touched a soul or has seen one in a test tube or has in any way come into relationship with it as he has with the other objects of his daily experience. Nevertheless to doubt its existence is to become a heretic and once might possibly even had led to the loss of one's head. Even today a man holding a public position dare not question it."

The Buddha anticipated these facts some 2500 years ago.

According to Buddhism mind is nothing but a complex compound of fleeting mental states. One unit of consciousness consists of three phases -- arising or genesis (uppada) static or development (thiti), and cessation or dissolution (bhanga). Immediately after the cessation stage of a thought moment there occurs the genesis stage of the subsequent thought-moment. Each momentary consciousness of this ever-changing life-process, on passing away, transmits its whole energy, all the indelibly recorded impressions to its successor. Every fresh consciousness consists of the potentialities of its predecessors together with something more. There is therefore, a continuous flow of consciousness like a stream without any interruption. The subsequent thought moment is neither absolutely the same as its predecessor -- since that which goes to make it up is not identical -- nor entirely another -- being the same continuity of kamma energy. Here there is no identical being but there is an identity in process.

Every moment there is birth, every moment there is death. The arising of one thought-moment means the passing away of another thought-moment and vice versa. In the course of one life-time there is momentary rebirth without a soul.

It must not be understood that a consciousness is chopped up in bits and joined together like a train or a chain. But, on the contrary, "it persistently flows on like a river receiving from the tributary streams of sense constant accretions to its flood, and ever dispensing to the world without the thought-stuff it has gathered by the way."[12] It has birth for its source and death for its mouth. The rapidity of the flow is such that hardly is there any standard whereby it can be measured even approximately. However, it pleases the commentators to say that the time duration of one thought-moment is even less than one-billionth part of the time occupied by a flash of lightning.

Here we find a juxtaposition of such fleeting mental states of consciousness opposed to a superposition of such states as some appear to believe. No state once gone ever recurs nor is identical with what goes before. But we worldlings, veiled by the web of illusion, mistake this apparent continuity to be something eternal and go to the extent of introducing an unchanging soul, an atta, the supposed doer and receptacle of all actions to this ever-changing consciousness.

"The so-called being is like a flash of lightning that is resolved into a succession of sparks that follow upon one another with such rapidity that the human retina cannot perceive them separately, nor can the uninstructed conceive of such succession of separate sparks."[13] As the wheel of a cart rests on the ground at one point, so does the being live only for one thought-moment. It is always in the present, and is ever slipping into the irrevocable past. What we shall become is determined by this present thought-moment.

If there is no soul, what is it that is reborn, one might ask.

Well, there is nothing to be reborn.


When life ceases the kammic energy re-materializes itself in another form. As Bhikkhu Silacara says: "Unseen it passes whithersoever the conditions appropriate to its visible manifestation are present. Here showing itself as a tiny gnat or worm, there making its presence known in the dazzling magnificence of a Deva or an Archangel's existence. When one mode of its manifestation ceases it merely passes on, and where suitable circumstances offer, reveals itself afresh in another name or form."

Birth is the arising of the psycho-physical phenomena. Death is merely the temporary end of a temporary phenomenon.

Just as the arising of a physical state is conditioned by a preceding state as its cause, so the appearance of psycho-physical phenomena is conditioned by cause anterior to its birth. As the process of one life-span is possible without a permanent entity passing from one thought-moment to another, so a series of life-processes is possible without an immortal soul to transmigrate from one existence to another.

Buddhism does not totally deny the existence of a personality in an empirical sense. It only attempts to show that it does not exist in an ultimate sense. The Buddhist philosophical term for an individual is santana, i.e., a flux or a continuity. It includes the mental and physical elements as well. The kammic force of each individual binds the elements together. This uninterrupted flux or continuity of psycho-physical phenomenon, which is conditioned by kamma, and not limited only to the present life, but having its source in the beginningless past and its continuation in the future — is the Buddhist substitute for the permanent ego or the immortal soul of other religions.

By Narada Mahathera http://www.buddhanet.net/nutshell09.htm

5593
Diskusi Umum / To El Sol and Kemenyan, Anatta and Kamma
« on: 17 January 2008, 09:49:27 AM »
See this question on “What is Reborn?” http://www.aimwell.org/Books/Pesala/Milinda/Journey/journey.html#6 in the Debate of King Milinda, and Other Aspects of Dependent Origination http://www.aimwell.org/Books/Mahasi/Dependent/Other_Aspects/other_aspects.html (and the preceding chapter http://www.aimwell.org/Books/Mahasi/Dependent/3_Periods/3_periods.html).

There is no self, just a process of cause and effect that we mistake to be a permanent person or being, a self or a soul. “Oneself is one's own refuge, what other refuge could there be?” “All beings are the owners of their own kamma, and inherit its results.” In such statements, self should be understood as a conventional truth. Ultimately, nothing at all remains static for a moment, and no “thing” continues from one life to the next, yet life in samsāra continues as long as ignorance and craving remain.

by Bhante Pesala - http://www.aimwell.org/Books/Pesala/BioPesala/biopesala.html

5594
Theravada / Re: CITTA VITHI
« on: 16 January 2008, 08:33:11 PM »
Quote
Misalnya contoh tadi, kita menolong orang, eh malahan kita di marahi oleh orang itu..... itu kusala kamma atau bukan ? yang pasti tidak membawa kebahagiaan untuk kita kan....

bukannya membawa kebahagiaan nantinya? sekarang mungkin karma buruk yang terdahulu baru berbuah,

5595
Pengembangan DhammaCitta / Re: DhammaCitta versi Offline
« on: 16 January 2008, 05:00:33 PM »
Kayaknya juga perlu warning : non sektarian, kalo ada konten2 sektarian mohon dimengerti

Kalo ngga takutnya jadi ribut lagi. Orang sini memang suka ribut2.

Pages: 1 ... 366 367 368 369 370 371 372 [373] 374 375 376 377 378 379