//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Fanatisme vs Saddha  (Read 5081 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline No Pain No Gain

  • Sebelumnya: Doggie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.796
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
  • ..............????
Fanatisme vs Saddha
« on: 15 April 2010, 01:27:03 PM »
Ini adalah salah satu topik yang dalam aplikasinya masih sangat rancu. Kerancuan itu dapat terjadi karena batas diantara keduanya sangat tipis, namun bila yang satu menuju ke sebuah kebaikan maka yang lainnya akan memberikan sebuah kerugian besar. Tulisan ini didasarkan pada sabda-sabda Sang Buddha sebagaimana tercantum di dalam kitab suci Tripitaka namun dengan bahasa yang sederhana sesuai kapasitas pemahaman pribadi saya.

Keyakinan yang dinamakan Saddha, adalah iman atau kepercayaan yang berdasarkan kebijaksanaan. Keyakinan dalam ajaran Sang Buddha bukan berdasarkan atas rasa percaya semata atau bahkan rasa takut, tapi keyakinan yang didasarkan atas sebuah penyelidikan (ehipassiko). Kegembiraan tidak akan pernah dirasakan oleh mereka yang hanya memiliki keyakinan yang didasari atas rasa takut atau karena kepercayaan yang membuta. Karena sesungguhnya kegembiraan itu hanya dapat dirasakan oleh mereka yang memiliki pengertian benar dan kebijaksanaan.

Seperti yang diungkapkan oleh Sang Buddha bahwa seseorang yang bermoral dan berwatak baik akan belajar bahwa demikianlah seharusnya cara hidup seorang siswa yang mematahkan kecenderungan buruk, mencapai kesempurnaan lewat jalan kebijaksanaan dan pemusatan pikiran bersih dari dorongan yang keliru .Setelah ia sendiri memahami dan menyadari akan tujuan yang lebih luhur dari hidup ini, lalu berpikir untuk melaksanakannya sendiri (Puggala-Pannatti, III, 1). Sariputra (salah seorang siswa utama Sang Buddha) juga mengungkapkan bahwa keyakinan yang baik itu harus diuji dengan mengendalikan indra. Dengan keyakinan ini, semangat, kesadaran, konsentrasi, dan kebijaksanaan berkembang terus menerus. �Sebelumnya aku hanya mendengar hal-hal ini, sekarang aku hidup dengan mengalaminya sendiri. Kini dengan pengetahuan yang dalam aku menembusnya dan membuktikan secara jelas� (Samyutta Nikaya . V, 226).

Setelah melihat uraian di atas, kita sudah mengetahui bahwa Saddha adalah sebuah keyakinan yang didasarkan atas sebuah penyelidikan dengan pengertian yang benar serta penuh kebijaksanaan. Iman semacam itu dikategorikan sebagai iman yang rasional (akaravati-saddha). Sebuah iman yang dewasa tentu saja akan berbeda dengan iman yang kekanak-kanakan atau membuta. Iman yang kekanak-kanakan atau membuta inilah yang dikenal sebagai Fanatisme. Sang Buddha juga pernah menyampaikan bahwa seseorang yang kuat dalam keyakinan tetapi lemah dalam kebijaksanaan akan memiliki keyakinan yang fanatik dan tanpa dasar.

Sedangkan seseorang yang kuat dalam kebijaksanaan tetapi lemah dalam keyakinan akan mengetahui bahwa ia bersalah jika berbuat kejahatan, tetapi sulit untuk menyembuhkannya bagaikan seseorang yang penyakitnya disebabkan oleh si obat sendiri. Bila keduanya seimbang, seseorang akan memiliki keyakinan hanya bila ada dasarnya (Visuddhimagga. 129).

Dalam Brahmajala-sutta tercatat bagaimana Sang Buddha mengajarkan siswanya agar bersikap kritis terhadap penganutan agama Buddha sendiri: �Para Bhikkhu, jika ada orang berbicara menentang aku, atau menentang Dharma atau menentang Sangha, janganlah karena hal itu engkau menjadi marah, benci, atau menaruh dendam. Jika engkau merasa tersinggung dan sakit hati, hal itu akan menghalangi perjalanananmu sendiri mencapai kemenangan. Jika engkau merasa jengkel dan marah ketika orang lain mengucapkan kata-kata yang menentang kita, bagaimana engkau dapat menilai sejauh mana ucapannya itu benar atau salah?� Jika ada orang yang mengucapkan kata-kata yang merendahkan Aku, atau Dharma atau Sangha, engkau harus menjelaskan apa yang keliru dan menunjukkan kesalahannya dengan menyatakan berdasarkan hal ini atau itu, tidak benar, itu bukan begitu, hal demikian tidak diketemukan di antara kami dan bukan pada kami.

Sebaliknya pula, Bhikkhu, jika orang lain memuji Aku, memuji Dharma, memuji Sangha, janganlah karena hal tersebut engkau merasa senang atau bangga atau tinggi hati. Jika engkau bersikap demikian maka hal itu itu pun akan menghalangi perjalanananmu sendiri mencapai kemenangan. Jika orang lain memuji Aku, atau Dharma atau Sangha, maka engkau harus membuktikan kebenaran dari apa yang diucapkan dengan menyatakan berdasar hal ini atau itu, ini benar, itu memang begitu, hal demikian terdapat di antara kami, ada pada kami� (Digha-Nikaya. I, 3).

Setelah membaca semua sabda-sabda Sang Buddha di atas, apa yang sekarang muncul di dalam benak anda sekalian? Bagi saya pribadi, ajaran Sang Buddha lebih menitik-beratkan pada pengembangan religiusitas mental dan batin kita ketimbang sebuah keberAGAMAan. Sebagaimana dikatakan oleh Bodhidharma, bahwa Buddha tak dapat ditemukan dalam kitab suci. Ia mengajarkan untuk melihat ke dalam hati kita sendiri dengan kesadaran dan kesucian yang sempurna, karena di situlah kita akan bertemu dengan Buddha. Mungkin banyak diantara anda yang sering melihat orang-orang di sekeliling anda yang kuat menganut agamanya secara lahiriah, tapi tidak seiring dengan perkembangan religiusitas mental dan batinnya. Orang bisa saja sangat taat beribadah, namun di dalam rumahnya ia menyiksa istrinya dan di luar rumahnya ia seorang lintah darat.

Boleh jadi orang gigih menganut agama dengan motivasi tertentu seperti dagang, karier atau tuntutan calon mertua. Orang yang militan dalam kegiatan organisasi agama, namun mengobarkan kebencian dan permusuhan, tidak peduli dengan kesulitan orang lain, tidak jujur, tidak adil, tentunya tidak religius. Sebaliknya ada orang yang tidak begitu cermat menaati aturan agama (bukan mengenai nilai moral yang universal) atau bahkan ia juga tidak mengenal agama sama sekali, namun ia cinta pada kebenaran, lurus, tidak munafik, tidak egois, tidak serakah dan suka menolong, maka ia bisa disebut religius.

Jadi sekarang pilihan berada di tangan anda. Karena sesungguhnya Sang Buddha sudah membabarkan secara lengkap dan sempurna mengenai perbedaan antara Saddha & Fanatisme. Artikel ini sendiri bersumber dari tulisan Bapak Khrisnanda Wijaya-Mukti dalam bukunya yang sangat indah dan berjudul �Wacana Buddha-Dharma�. Buku tersebut dan juga nasehat mama saya, telah sangat banyak membantu saya keluar dari kesalahan pandangan saya sebagai seorang siswa Sang Buddha. Saya sendiri mengenal Buddha-Dharma pada tahun 1997 (kemudian menerima Tisarana & Pancasila pada tahun yang sama). Namun bukan kedamaian yang saya temukan akan tetapi �debat kusir� yang tak perlu serta berkepanjangan dengan famili dan para sahabat yang kebetulan non-Buddhis.

Puncaknya adalah tahun 2003, saat saya mendapat kesempatan menjadi seorang Dharmaduta, karena pada saat itu saya justru lebih banyak melakukan ADharma (dengan cara melakukan musavada tentang keyakinan-keyakinan selain Buddhis kepada para umat). Nasihat mama saya pun hanya masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan. Tahun 2004 saya mendapatkan buku yang sangat berharga itu, yang juga kemudian menyadarkan saya akan kebenaran nasehat mama saya selama ini. Seperti Angulimala, saya akhirnya membuang �pedang� saya dan menggantinya dengan sebuah teratai kebenaran. Keindahan lain yang saya rasakan adalah saat saya bisa mengenalkan Buddha-Dharma kepada rekan-rekan non-Buddhis, karena kini saya datang kepada mereka dengan kedamaian.

Teman-teman sekalian, jadikan Buddha-Dharma sebagai pembebasmu dan bukan sebagai belenggumu, karena sesungguhnya Sang Buddha pun juga sudah menguraikan bahwasanya kebanggaan (beragama Buddha) juga adalah salah satu penghalang kita dalam mencapai kemenangan (Nibbana). Selamat berbuat kebajikan dan semoga semua mahkluk selalu hidup berbahagia, Saddhu.

thx to: Singthung
« Last Edit: 15 April 2010, 01:39:22 PM by Doggie »
No matter how dirty my past is,my future is still spotless

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Fanatisme vs Saddha
« Reply #1 on: 15 April 2010, 02:54:47 PM »
Jika jujur, fanatisme tidak ada kaitannya dengan iman atau kepercayaan. Fanatisme bahkan bisa mengatasnamakan rasio sebagai pembenarannya. Inti fanatisme (atau bahkan fundamentalisme) adalah sikap yang tidak bisa menghargai keragaman dan perbedaan, yaitu usaha untuk menyeragamkan cara pikir ataupun keyakinan orang lain agar sesuai dengan cara pikir dan keyakinannya sendiri. Jadi, kalau menurutku fanatisme bukan sekadar persoalan iman atau keyakinan buta, namun lebih condong ke masalah kurang mampunya menerima pluralisme. Dalam hal ini bahkan orang yang paling rasional pun bisa menjadi fanatik dan fundamentalis. Sebaliknya, seseorang yang sangat beriman dan penuh keyakinan tidak menjadi fanatik ketika ia dapat menghargai keragaman.

Ini hemat saya berdasarkan pengalaman pribadi. Mohon maaf jika ada kesalahan ucap.
 

Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Fanatisme vs Saddha
« Reply #2 on: 15 April 2010, 04:00:08 PM »
Jika jujur, fanatisme tidak ada kaitannya dengan iman atau kepercayaan. Fanatisme bahkan bisa mengatasnamakan rasio sebagai pembenarannya. Inti fanatisme (atau bahkan fundamentalisme) adalah sikap yang tidak bisa menghargai keragaman dan perbedaan, yaitu usaha untuk menyeragamkan cara pikir ataupun keyakinan orang lain agar sesuai dengan cara pikir dan keyakinannya sendiri. Jadi, kalau menurutku fanatisme bukan sekadar persoalan iman atau keyakinan buta, namun lebih condong ke masalah kurang mampunya menerima pluralisme. Dalam hal ini bahkan orang yang paling rasional pun bisa menjadi fanatik dan fundamentalis. Sebaliknya, seseorang yang sangat beriman dan penuh keyakinan tidak menjadi fanatik ketika ia dapat menghargai keragaman.

Ini hemat saya berdasarkan pengalaman pribadi. Mohon maaf jika ada kesalahan ucap.
 



Bro Sobat Dharma yang baik, menurut yang saya baca di Wikipedia tidak ada standar akademis pengertian baku mengenai apa  yang dimaksud dengan fanatisme agama, fanatisme agama secara umum diartikan sebagai pengabdian kepada agama.

Saya sendiri lebih sering mengartikan fanatisme agama adalah kepercayaan membuta terhadap agama yang mereka anut (semboyan dan sikap mereka yang fanatik: benar atau salah adalah agamaku).

Kalau kurang mampu menerima pluralisme bukan disebut fanatisme tetapi disebut kurang toleransi (intolerance).

Menurut Wikipedia tolerant adalah sikap dapat menerima sesuatu walaupun ia sendiri tidak setuju.
Jadi tak dapat menerima keberagaman lebih tepat disebut kurang toleransi.

Semoga menjadi jelas.

 _/\_
« Last Edit: 15 April 2010, 04:01:52 PM by fabian c »
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Fanatisme vs Saddha
« Reply #3 on: 15 April 2010, 04:23:17 PM »
Terimakasih atas koreksinya bro.fabian,
saya melihat sikap tidak toleran dan fanatisme adalah seperti dua sisi yang berbeda dari mata uang yang sama.
Jika seseorang bersikap "benar atau salah adalah agamaku" maka sudah jelas artinya adalah "agamaku tidak mungkin salah"atau "agamaku selalu benar", sedangkan "agama orang lain selalu salah" atau ägama orang lain tidak mungkin benar." Dengan segala pembenaran memanfaatkan nalar ataupun rasionalisasi, ia akan membela mati-matian agama yang dianutnya.  Maka, jika seseorang sanggup menerima perbedaan dan keragaman dan tergoda untuk melakukan penyeragaman, maka saya rasa secara otomatis fanatisme lambat laun  akan ikut padam.

Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Fanatisme vs Saddha
« Reply #4 on: 16 April 2010, 07:23:35 AM »
Terimakasih atas koreksinya bro.fabian,
saya melihat sikap tidak toleran dan fanatisme adalah seperti dua sisi yang berbeda dari mata uang yang sama.
Jika seseorang bersikap "benar atau salah adalah agamaku" maka sudah jelas artinya adalah "agamaku tidak mungkin salah"atau "agamaku selalu benar", sedangkan "agama orang lain selalu salah" atau ägama orang lain tidak mungkin benar." Dengan segala pembenaran memanfaatkan nalar ataupun rasionalisasi, ia akan membela mati-matian agama yang dianutnya.  Maka, jika seseorang sanggup menerima perbedaan dan keragaman dan tergoda untuk melakukan penyeragaman, maka saya rasa secara otomatis fanatisme lambat laun  akan ikut padam.



Maaf bro Dharma, nampaknya dua pernyataan tersebut bertolak belakang.... atau mungkin salah ketik?

 _/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Fanatisme vs Saddha
« Reply #5 on: 16 April 2010, 08:09:08 PM »
sori yang benar adalah "tidak tergoda untuk melakukan penyeragaman."

trimas atas koreksinya.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: Fanatisme vs Saddha
« Reply #6 on: 16 April 2010, 08:50:00 PM »
Ini adalah salah satu topik yang dalam aplikasinya masih sangat rancu. Kerancuan itu dapat terjadi karena batas diantara keduanya sangat tipis, namun bila yang satu menuju ke sebuah kebaikan maka yang lainnya akan memberikan sebuah kerugian besar. Tulisan ini didasarkan pada sabda-sabda Sang Buddha sebagaimana tercantum di dalam kitab suci Tripitaka namun dengan bahasa yang sederhana sesuai kapasitas pemahaman pribadi saya.

Keyakinan yang dinamakan Saddha, adalah iman atau kepercayaan yang berdasarkan kebijaksanaan. Keyakinan dalam ajaran Sang Buddha bukan berdasarkan atas rasa percaya semata atau bahkan rasa takut, tapi keyakinan yang didasarkan atas sebuah penyelidikan (ehipassiko). Kegembiraan tidak akan pernah dirasakan oleh mereka yang hanya memiliki keyakinan yang didasari atas rasa takut atau karena kepercayaan yang membuta. Karena sesungguhnya kegembiraan itu hanya dapat dirasakan oleh mereka yang memiliki pengertian benar dan kebijaksanaan.

Seperti yang diungkapkan oleh Sang Buddha bahwa seseorang yang bermoral dan berwatak baik akan belajar bahwa demikianlah seharusnya cara hidup seorang siswa yang mematahkan kecenderungan buruk, mencapai kesempurnaan lewat jalan kebijaksanaan dan pemusatan pikiran bersih dari dorongan yang keliru .Setelah ia sendiri memahami dan menyadari akan tujuan yang lebih luhur dari hidup ini, lalu berpikir untuk melaksanakannya sendiri (Puggala-Pannatti, III, 1). Sariputra (salah seorang siswa utama Sang Buddha) juga mengungkapkan bahwa keyakinan yang baik itu harus diuji dengan mengendalikan indra. Dengan keyakinan ini, semangat, kesadaran, konsentrasi, dan kebijaksanaan berkembang terus menerus. �Sebelumnya aku hanya mendengar hal-hal ini, sekarang aku hidup dengan mengalaminya sendiri. Kini dengan pengetahuan yang dalam aku menembusnya dan membuktikan secara jelas� (Samyutta Nikaya . V, 226).

Setelah melihat uraian di atas, kita sudah mengetahui bahwa Saddha adalah sebuah keyakinan yang didasarkan atas sebuah penyelidikan dengan pengertian yang benar serta penuh kebijaksanaan. Iman semacam itu dikategorikan sebagai iman yang rasional (akaravati-saddha). Sebuah iman yang dewasa tentu saja akan berbeda dengan iman yang kekanak-kanakan atau membuta. Iman yang kekanak-kanakan atau membuta inilah yang dikenal sebagai Fanatisme. Sang Buddha juga pernah menyampaikan bahwa seseorang yang kuat dalam keyakinan tetapi lemah dalam kebijaksanaan akan memiliki keyakinan yang fanatik dan tanpa dasar.

Sedangkan seseorang yang kuat dalam kebijaksanaan tetapi lemah dalam keyakinan akan mengetahui bahwa ia bersalah jika berbuat kejahatan, tetapi sulit untuk menyembuhkannya bagaikan seseorang yang penyakitnya disebabkan oleh si obat sendiri. Bila keduanya seimbang, seseorang akan memiliki keyakinan hanya bila ada dasarnya (Visuddhimagga. 129).

Dalam Brahmajala-sutta tercatat bagaimana Sang Buddha mengajarkan siswanya agar bersikap kritis terhadap penganutan agama Buddha sendiri: �Para Bhikkhu, jika ada orang berbicara menentang aku, atau menentang Dharma atau menentang Sangha, janganlah karena hal itu engkau menjadi marah, benci, atau menaruh dendam. Jika engkau merasa tersinggung dan sakit hati, hal itu akan menghalangi perjalanananmu sendiri mencapai kemenangan. Jika engkau merasa jengkel dan marah ketika orang lain mengucapkan kata-kata yang menentang kita, bagaimana engkau dapat menilai sejauh mana ucapannya itu benar atau salah?� Jika ada orang yang mengucapkan kata-kata yang merendahkan Aku, atau Dharma atau Sangha, engkau harus menjelaskan apa yang keliru dan menunjukkan kesalahannya dengan menyatakan berdasarkan hal ini atau itu, tidak benar, itu bukan begitu, hal demikian tidak diketemukan di antara kami dan bukan pada kami.

Sebaliknya pula, Bhikkhu, jika orang lain memuji Aku, memuji Dharma, memuji Sangha, janganlah karena hal tersebut engkau merasa senang atau bangga atau tinggi hati. Jika engkau bersikap demikian maka hal itu itu pun akan menghalangi perjalanananmu sendiri mencapai kemenangan. Jika orang lain memuji Aku, atau Dharma atau Sangha, maka engkau harus membuktikan kebenaran dari apa yang diucapkan dengan menyatakan berdasar hal ini atau itu, ini benar, itu memang begitu, hal demikian terdapat di antara kami, ada pada kami� (Digha-Nikaya. I, 3).

Setelah membaca semua sabda-sabda Sang Buddha di atas, apa yang sekarang muncul di dalam benak anda sekalian? Bagi saya pribadi, ajaran Sang Buddha lebih menitik-beratkan pada pengembangan religiusitas mental dan batin kita ketimbang sebuah keberAGAMAan. Sebagaimana dikatakan oleh Bodhidharma, bahwa Buddha tak dapat ditemukan dalam kitab suci. Ia mengajarkan untuk melihat ke dalam hati kita sendiri dengan kesadaran dan kesucian yang sempurna, karena di situlah kita akan bertemu dengan Buddha. Mungkin banyak diantara anda yang sering melihat orang-orang di sekeliling anda yang kuat menganut agamanya secara lahiriah, tapi tidak seiring dengan perkembangan religiusitas mental dan batinnya. Orang bisa saja sangat taat beribadah, namun di dalam rumahnya ia menyiksa istrinya dan di luar rumahnya ia seorang lintah darat.

Boleh jadi orang gigih menganut agama dengan motivasi tertentu seperti dagang, karier atau tuntutan calon mertua. Orang yang militan dalam kegiatan organisasi agama, namun mengobarkan kebencian dan permusuhan, tidak peduli dengan kesulitan orang lain, tidak jujur, tidak adil, tentunya tidak religius. Sebaliknya ada orang yang tidak begitu cermat menaati aturan agama (bukan mengenai nilai moral yang universal) atau bahkan ia juga tidak mengenal agama sama sekali, namun ia cinta pada kebenaran, lurus, tidak munafik, tidak egois, tidak serakah dan suka menolong, maka ia bisa disebut religius.

Jadi sekarang pilihan berada di tangan anda. Karena sesungguhnya Sang Buddha sudah membabarkan secara lengkap dan sempurna mengenai perbedaan antara Saddha & Fanatisme. Artikel ini sendiri bersumber dari tulisan Bapak Khrisnanda Wijaya-Mukti dalam bukunya yang sangat indah dan berjudul �Wacana Buddha-Dharma�. Buku tersebut dan juga nasehat mama saya, telah sangat banyak membantu saya keluar dari kesalahan pandangan saya sebagai seorang siswa Sang Buddha. Saya sendiri mengenal Buddha-Dharma pada tahun 1997 (kemudian menerima Tisarana & Pancasila pada tahun yang sama). Namun bukan kedamaian yang saya temukan akan tetapi �debat kusir� yang tak perlu serta berkepanjangan dengan famili dan para sahabat yang kebetulan non-Buddhis.

Puncaknya adalah tahun 2003, saat saya mendapat kesempatan menjadi seorang Dharmaduta, karena pada saat itu saya justru lebih banyak melakukan ADharma (dengan cara melakukan musavada tentang keyakinan-keyakinan selain Buddhis kepada para umat). Nasihat mama saya pun hanya masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan. Tahun 2004 saya mendapatkan buku yang sangat berharga itu, yang juga kemudian menyadarkan saya akan kebenaran nasehat mama saya selama ini. Seperti Angulimala, saya akhirnya membuang �pedang� saya dan menggantinya dengan sebuah teratai kebenaran. Keindahan lain yang saya rasakan adalah saat saya bisa mengenalkan Buddha-Dharma kepada rekan-rekan non-Buddhis, karena kini saya datang kepada mereka dengan kedamaian.

Teman-teman sekalian, jadikan Buddha-Dharma sebagai pembebasmu dan bukan sebagai belenggumu, karena sesungguhnya Sang Buddha pun juga sudah menguraikan bahwasanya kebanggaan (beragama Buddha) juga adalah salah satu penghalang kita dalam mencapai kemenangan (Nibbana). Selamat berbuat kebajikan dan semoga semua mahkluk selalu hidup berbahagia, Saddhu.

thx to: Singthung

Tulisan yang sangat indah. Namun ada hal yang perlu diklarifikasi terutama kalimat yang saya bold di atas. Di sana dikatakan bahwa iman (keyakinan) yang  rasional (akaravati-saddha) muncul karena penyelidikan dan kebijaksanaan. Tampaknya ini bertolak belakang dengan ungkapan Sang Buddha dalam Cankisutta. Dalam sutta ini, Sang BUddha menjelaskan bahwa pengetahuan yang muncul berdasarkan pada logika / rasional (ākāra) dan pemikiran (parivitakka) tidak bisa dijadikan tolak ukur yang absolut dalam agama BUddha karena pengetahuan demikian bisa benar dan juga bisa salah. Apa yang muncul hanya karena rasional semata terkadang benar, terkadang salah. Ini pun mengingatkan kita bahwa ajaran Buddha tidak bisa dimengerti hanya melalui logika semata (ariyapariyesanasutta). Saddha yang muncul karena kebijaksanaan (paññā) dan penyelidikan sudah tidak bisa dikatakan sebagai saddha yang rasional lagi, tetapi lebih dari itu, saddha ini berasal dari pengalaman langsung. Saddha ini umumnya disebut sebagai mūlikasaddha / saddha yang berdasar.

Mettacittena.

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Fanatisme vs Saddha
« Reply #7 on: 16 April 2010, 10:01:04 PM »

[..] Sang BUddha menjelaskan bahwa pengetahuan yang muncul berdasarkan pada logika / rasional (ākāra) dan pemikiran (parivitakka) tidak bisa dijadikan tolak ukur yang absolut dalam agama BUddha karena pengetahuan demikian bisa benar dan juga bisa salah. Apa yang muncul hanya karena rasional semata terkadang benar, terkadang salah. Ini pun mengingatkan kita bahwa ajaran Buddha tidak bisa dimengerti hanya melalui logika semata (ariyapariyesanasutta). [..]


Penjelasan yang baik sekali...  Aku benar-benar kagum dengan Sdr.Peacemind.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline kusalaputto

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.288
  • Reputasi: 30
  • Gender: Male
  • appamadena sampadetha
Re: Fanatisme vs Saddha
« Reply #8 on: 17 April 2010, 11:29:16 AM »
Jika jujur, fanatisme tidak ada kaitannya dengan iman atau kepercayaan. Fanatisme bahkan bisa mengatasnamakan rasio sebagai pembenarannya. Inti fanatisme (atau bahkan fundamentalisme) adalah sikap yang tidak bisa menghargai keragaman dan perbedaan, yaitu usaha untuk menyeragamkan cara pikir ataupun keyakinan orang lain agar sesuai dengan cara pikir dan keyakinannya sendiri. Jadi, kalau menurutku fanatisme bukan sekadar persoalan iman atau keyakinan buta, namun lebih condong ke masalah kurang mampunya menerima pluralisme. Dalam hal ini bahkan orang yang paling rasional pun bisa menjadi fanatik dan fundamentalis. Sebaliknya, seseorang yang sangat beriman dan penuh keyakinan tidak menjadi fanatik ketika ia dapat menghargai keragaman.

Ini hemat saya berdasarkan pengalaman pribadi. Mohon maaf jika ada kesalahan ucap.
 



Bro Sobat Dharma yang baik, menurut yang saya baca di Wikipedia tidak ada standar akademis pengertian baku mengenai apa  yang dimaksud dengan fanatisme agama, fanatisme agama secara umum diartikan sebagai pengabdian kepada agama.

Saya sendiri lebih sering mengartikan fanatisme agama adalah kepercayaan membuta terhadap agama yang mereka anut (semboyan dan sikap mereka yang fanatik: benar atau salah adalah agamaku).

Kalau kurang mampu menerima pluralisme bukan disebut fanatisme tetapi disebut kurang toleransi (intolerance).

Menurut Wikipedia tolerant adalah sikap dapat menerima sesuatu walaupun ia sendiri tidak setuju.
Jadi tak dapat menerima keberagaman lebih tepat disebut kurang toleransi.

Semoga menjadi jelas.

 _/\_
saya setuju dengan pendapat sobatdarma di sini namun dengan koreksi dari bro fabian jadi semakin baik bahwa memang terkadang sikap tdk toleran terhadap agama maupun aliran lain juga merupakan fanatisme yg terselubung, karena sikap tidak toleran bisa di artikan agama/ aliran ku yg paling benar yg lain tidak benar/ salah maka dapat di katakan sebagai bentuk fanatisme terhadap suatu agama / aliran.

alangkah baiknya kita yg telah belajar Buddha dhamma bisa menjaga toleransi beragama / aliran jangan sampai kita menjadi fanatik n membuta hanya karena pendapat kita yg paling benar (bukan anatta lagi namun jadi atta atta atta :)) ). alangkah baiknya kita  memiliki saddha yg kuat dengan rasa toleransi yg baik terhadap sesama buddhis baik itu dari aliran lain selain aliran yg kita anut. selama ia masih ber lindung dalam tiratana mereka masih saudara kita walau klo di ibaratkan 1 ayah beda ibu :) kec mereka ga berlindung kpd tisarana no comment dah :)) jadi so what gitu fanatik jauh2 deh  ;D.

 kalau dengan agama lain pun kita juga wajib menjaga toleransi N perlu d ingat kita hidup d negara non buddhis n jadi minoritas jangan sampai karena ke fanatikan sejumlah orang mencoreng seluruh umat buddha di negara kita.  _/\_
semoga kamma baik saya melindungi saya, semoga kamma baik saya mengkondisikan saya menemukan seseorang yang baik pada saya dan anak saya, semoga kamma baik saya mengkondisikan tujuan yang ingin saya capai, semoga saya bisa meditasi lebih lama.

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Fanatisme vs Saddha
« Reply #9 on: 17 April 2010, 10:19:35 PM »
menurut saya toleransi beda dengan keyakinan.
keyakinan bagi saya adalah yang saya pegang saat ini. tentu keyakinan ini bisa berbeda dari apa yang diyakini orang lain. bagi saya berbeda keyakinan adalah hal yang wajar. mengatakan suatu keyakinan berbeda dari keyakinan lain juga wajar, bukan suatu hal yang aneh. dari dulu saya tidak suka kata sesat sebagai sesuatu yang negatif. sesat bagi saya adalah pandangan salah, tanpa ada maksud negatif seperti jelek, buruk, atau yang lainnya. tentu saja keyakinan orang lain bisa berbeda dari saya. saya anggap wajar, dan tidak saya cela atau hina. yang penting bisa setuju untuk saling berbeda.

yang aneh bagi saya adalah dua keyakinan yang berbeda, dipaksakan jadi satu dan tidak boleh ada diskusi lagi. terus terang saja, saya lebih senang berdiskusi dengan orang yang yakin akan mahayana, daripada memegang keyakinan semua aliran adalah sama. saya lebih senang sepakat untuk tidak sepakat daripada sepakat yang dipaksakan.

bentuk toleransi bukanlah menerima keyakinan yang tidak kita yakini sebagai sesuatu yang benar, tetapi menerima keyakinan orang lain bisa berbeda dari diri sendiri.
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: Fanatisme vs Saddha
« Reply #10 on: 17 April 2010, 11:03:32 PM »
yang muncul dari fanatik adalah miccha ditthi, lobha mula citta...... karena itu, lawannya adalah alobha, atau bisa jadi toleran

berbeda dengan saddha, walau sama2 merupakan sobhana cetasika dengan alobha

ini membuat seolah sama tapi esensi sesungguhnya berbeda

semoga bermanfaat

Offline yudiboy

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 486
  • Reputasi: 14
  • Gender: Male
Re: Fanatisme vs Saddha
« Reply #11 on: 17 April 2010, 11:14:34 PM »
fanatisme muncul jika orang memahami ajaran agama secara tidak tepat...
ini sangat banyak saya alami dalam pergaulan saya...
dan kadang2 saya menjadi sedikit terganggu dengan tingkah polah mereka yg fanatis begini( ini mencerminkan kadar ego saya yg sangat tinggi)
contoh fanatisme yg berlebihan:
- kaum vegetarian yg terlalu lebay menurut saya,sehingga kesenggol sedikit saja makannanya dengan hewan...menjadi tidak sahh...atau penggorengan yg pernah dipake buat menggoreng ayam, mereka tidak mau menggunakannya.
- terlalu sering menggunakan ulasan dhamma untuk masalah sehari2..ajaran dhamma dijadikan doktrin buat menjustifikasi seseorang benar atau salah (seharusnya menuntun kearah yg benar)
- belajar dhmma dijadikan seperti sekolah...ada orang tertentu yg merasa mencapai tingkat yg lebih tinggi dari yg lain (mungkin mereka memandang dari berapa banyak mereka melakukan ritual)
- organisasi vihara dijadikan tempat buat mencari popularitas,sehingga fungsi dan tujuan semula agak melenceng...
hehhe...asal nulis aja bro...kalau ngak berkenan tolong dimaafkan...kira2 begitu menurut saya..mengenai fanatisme

kesimpulan saya...kalau orang itu fanatisme..berarti ada yang salah dalam cara dia mengartikan ajaran yg diterimanya....patut dibantu..kasian dia...pikiranya penuh kebencian dan ego,nanti mati masuk neraka....wkwkkwkw
saya bertekad mau menjadi orang baik....tidak selingkuh...menopang orang tua...menjadi ayah yang baik...dan bermanfaat bagi orang banyak

Offline yudiboy

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 486
  • Reputasi: 14
  • Gender: Male
Re: Fanatisme vs Saddha
« Reply #12 on: 17 April 2010, 11:16:28 PM »
kalau saddha itu kan lebih kurang seprti imanlah dalam ajaran lain...jadi jelas berbeda saddha dengan fanatisme...
saddha membawa kita sampai pada pencerahan,sedangkan fanatisme hanya menumpuk keakuan...
saya bertekad mau menjadi orang baik....tidak selingkuh...menopang orang tua...menjadi ayah yang baik...dan bermanfaat bagi orang banyak