//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - No Pain No Gain

Pages: 1 2 3 4 5 6 [7] 8
91
Kafe Jongkok / Penderitaan Ikan
« on: 09 November 2009, 06:28:44 PM »
ada yang bisa bantu nongolin videonya ga?





thx

92
“Kelahiran sebagai manusia itu jarang, Kehidupan manusia itu sulit, Mendengar Kebenaran Mulia itu sulit, Munculnya seorang Buddha itu jarang.”

[ Dhammapada 182 ]

______________________________________

“Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa”

( Tikkhattum ; 3x )
Memahami Istilah-istilah :  Satu Siklus Dunia ( 1 Maha-Kappa ), Satu Periode Dunia ( 1 Asankkheyya-Kappa ), dan Antara-Kappa

Kebanyakan orang yang membaca riwayat hidup Buddha akan berpikir, bahwa Petapa Gotama membutuhkan waktu enam tahun untuk menjadi Buddha. Fakta yang sesungguhnya adalah bahwa Buddha Gotama membutuhkan waktu  selama 300.000 siklus dunia  ( atau = 300.000 Maha-Kappa ) plus (+) 20 periode ( 20 Asankheyya-Kappa ; atau / sama dengan 400 antara-kappa ) yang tak terhitung lamanya untuk mencapai Pencerahan batin Sempurna dan menjadi seorang Buddha. Hampir tidak mungkin membayangkan panjangnya waktu tersebut.

Selama waktu perjalanan tersebut, Boddhisatta kita , telah bertemu dengan para Buddha di masa lampau , yaitu total kesemuanya adalah sebanyak  163.727 Samma-Sambuddha , dengan perincian sebagai berikut : 125.000 Samma-Sambuddha ( Era Mano-Panidhana-Kala ; diawali pertemuan Boddhisatta dengan Buddha Brahma-Dewa) + 38.700 Samma-Sambuddha ( Era Waci-Panidhana-Kala ; diawali pertemuan Boddhisatta dengan Buddha Gotama-Purana ) + 3 Samma-Sambuddha ( Buddha Tanhangkara, Buddha Medhangkara, Buddha Saranangkara ) + 24  Samma-Sambuddha ( Era Kaya-Panidhana-Kala ; Dimulai pertemuan Boddhisatta dengan Buddha Dipankara ( Buddha pertama yang memberi ramalan kepastian pencapaian ke-Buddha-an Boddhisatta kita ) dan diakhiri pertemuan dengan Buddha Kassapa ( Buddha ke-24 yang memberi ramalan kepastian pencapaian ke-Buddha-an Boddhisatta kita ) .

Sebagian masyarakat Buddhis juga ada yang berpikiran bahwa Sang Buddha hanya membutuhkan waktu selama Empat (4) Asankkheyya-Kappa ( atau = satu (1) Maha-Kappa / 1 siklus dunia saja ) ditambah (+) seratus ribu (100.000) Maha-Kappa untuk merealisasi ke-Buddha-an. Pengertian ini hanyalah penggambaran untuk periode semenjak Boddhisatta ( calon-Buddha ) mendapat ramalan-pasti dari seorang Samma-Sambuddha ; dalam kasus ini, adalah sejak Petapa-Sumedha mendapat ramalan pasti dari Buddha-Dipankara bahwa kelak ia akan terlahir dalam keluarga Sakya berkasta Ksatriya, bernama Siddhatta-Gotama dan akan mencapai tingkat Samma-Sambuddha. Periode Empat A.K + 100.000 Kappa ini hanyalah menggambarkan periode dimana Boddhisatta menyempurnakan ke-sepuluh Kesempurnaan ( Dasa-Paramitha ), yang dikenal sebagai masa “Kaya-Panidhana-Kala”.  Lagipula, waktu selama Empat (4) Asankkheyya-Kappa ( atau = satu (1) Maha-Kappa / 1 siklus dunia saja ) ditambah (+) seratus ribu (100.000) Maha-Kappa untuk merealisasi ke-Buddha-an hanya berlaku bagi Boddhisatta Pannadhika ( calon Buddha dengan faktor kebijaksanaan kuat ) , sedangkan untuk Boddhisatta Saddhadhika ( calon Buddha dengan faktor keyakinannya yang lebih kuat ) akan membutuhkan waktu 8 A.K + 100.000 Maha-Kappa ; dan bagi Boddhisatta Viriyadhika ( calon Buddha dengan faktor usahanya yang lebih kuat ) membutuhkan waktu 16 A.K + 100.000 Maha-Kappa.

Untuk mengerti bagian ini perlu memahami satuan-waktu dalam bahasa Pali yang digunakan untuk menerangkan hal ini. Mereka adalah :

-          Maha Kappa [Maha-Kalpa] atau siklus dunia.

-          Asankkheyya-Kappa atau periode yang tak dapat dihitung lamanya.

-          Antara-Kappa ( Anto-Kappa )

Dalam rentang perjalanan manusia, (sesungguhnya) terdapat suatu masa dimana seluruh ummat manusia hanya akan mempunyai batas waktu umur rata-rata hingga 10 tahun. Masa ini terjadi ketika moralitas ummat manusia sedemikian merosotnya, sehingga umurnya hanya akan bertahan hingga 10 tahun, sesudah itu mati. Masa selang antara batas usia manusia rata-rata 10 tahun lalu naik sampai usia yang panjang sekali hingga mencapai delapan puluh ribu ( 80.000 ) tahun, lalu turun kembali hingga batas usia rata-rata menjadi 10 tahun kembali, itu adalah rentang waktu 1 “Antara-Kappa” ( Antara satu kappa ke Kappa berikutnya, itulah “Antara-Kappa” ).

Satu ( 1 ) Asankheyya Kappa adalah sama dengan 20 Antara Kappa. Satu ( 1 ) Asankheyya Kappa, oleh beberapa sarjana ( sekali lagi, hal ini dinyatakan oeh beberapa sarjana, sebab ada pula para sarjana lainnya yang menyebutkan angka waktu yang berbeda ) dinyatakan, bila dialjabarkan sama dengan 10 pangkat 14 ( angka satu ( 1 ) diikuti empat belas (14)  angka nol),  sehingga lamanya mencapai kurang lebih 100 trilyun tahun. Dan Satu ( 1 ) Maha Kappa adalah sama dengan empat ( 4 ) Asankheyya Kappa, sehingga 1 Maha Kappa lamanya mencapai kurang lebih 400 trilyun tahun.

Sang Buddha menjelaskan siklus dunia sebagai berikut : Banyak, banyak tahun dari zaman sekarang suatu hujan deras yang destruktif (menghancurkan) akan terjadi, dan sebagai akibatnya sistem dunia akan berakhir. Kemudian, setelah satu waktu yang lama, dunia akan berkembang kembali. Dan kemudian, setelah satu periode yang lama, hujan lebat yang destruktif lainnya akan terjadi dan menghancurkan sistem dunia. Periode antara dua hujan yang destruktif adalah satu siklus dunia. Buddha telah membagi satu (1) siklus dunia menjadi empat (4) periode :

-          Samwata-kappa

-          Samwattatthayi-Kappa

-          Wiwata-kappa

-          Wiwatattathayi-kappa

Samwatta-kappa : Periode pertama dari siklus dunia yang dikenal sebagai Samwatta-kappa merupakan periode yang sangat panjang antara hujan besar yang menghancurkan dan munculnya tujuh matahari, yang mana pada waktu itu seluruh sistem dunia terbakar habis. Period ini dikenal sebagai periode kekacauan atau periode tahap pembubaran.

Samwattathayi-Kappa : Periode kedua dari siklus dunia, yang dikenal sebagai Sawattatthayi, adalah ketika langit dan berbagai surga (cakrawala) yang diatas dan dibawah dunia ditutupi dengan debu tebal dan kegelapan. Periode yang lama ini dikenal sebagai periode berlangsungnya kekacauan, atau periode berlangsungnya tahap pembubaran.

Wiwatta-kappa : Periode ketiga, yang dikenal sebagai witatta-kappa, dimulai dengan hujan deras yang produktif, dan terus berlangsung hingga matahari dan bulan mulai muncul. Periode ini dikenal sebagai periode perkembangan yang panjang.

Wiwattatthayi-Kappa : Periode keempat, yang dimulai ketika matahari dan bulan muncul melalui debu, yang dikenal sebagai wiwattatthayi, kelangsungan evolusi, dan berlangsung hingga hujan besar berikutnya yang menghancurkan.

Masing-masing fase dari keempat fase tersebut diatas dibagi menjadi 20 anto-kappa (64 menurut beberapa teks).

Masing-masing fase tersebut disebut “Kappa-Menengah” / Asankkheyya-Kappa. Kappa-menengah terdiri dari dua-puluh ( 20 ) kappa-kecil / anto-kappa. Kappa-kecil /anto-kappa pertama disebut kappa-turun, dan kappa-kecil terakhir ( yang ke-20 ) disebut kappa naik.

Delapan-belas ( 18 ) kappa-kecil di antara kappa-turun dan kappa-naik merupakan siklus yang terdiri atas paruh-pertama naik dan paruh-kedua turun.

Sehingga, yang dimaksud dengan satu siklus dunia adalah dari Samwatta-Kappa , lalu melewati Samwattathayi-Kappa, melewati Wiwatta-Kappa, melewati Wiwattatthayi-Kappa, kemudian kembali lagi pada era Samwatta-Kappa ; demikianlah sehingga dinyatakan bahwa satu siklus dunia adalah periode antara dua hujan yang destruktif. Lamanya satu siklus dunia adalah sama-dengan satu (1) Maha-Kappa ( atau = empat (4) Asankkheyya-Kappa ).

Sedangkan yang dimaksud dengan satu (1) periode adalah satu periode dari keempat periode dalam satu siklus dunia tersebut ( yaitu : Samwatta-Kappa , Samwattathayi-Kappa, Wiwatta-Kappa, Wiwattatthayi-Kappa ). Lamanya satu periode adalah sama dengan satu (1) Asankkheyya-Kappa ( atau = dua puluh (20) Antara-Kappa / Anto-Kappa )

Kita sekarang berada di salah satu dari dua puluh anto-kappa dalam periode yang dikenal sebagai Wiwattatthayi, kelangsungan evolusi. Dalam setiap anto-kappa jangka hidup seseorang naik hingga satu periode yang sangat panjang, dan menurun lagi hingga kira-kira sepuluh tahun. Kita sekarang berada dalam periode yang sangat menguntungkan. Lima Buddha dilahirkan dalam siklus dunia ini ( karenanya dikenal sebagai Maha Baddha Kappa). Empat Buddha telah muncul. Era (zaman) Buddha Metteya (Maitreya) belum datang.

Waktu yang diperlukan untuk terbentuk dan hancurnya suatu sistem dunia sangatlah panjang; diperlukan sangat banyak kappa ( sebagai satuan waktu ) untuk itu. Sewaktu Sang Buddha ditanya tentang panjang kurun waktu satu kappa, Beliau menjawab :

“ Sangat panjang kurun waktu satu kappa. Tak dapat diperhitungkan dengan tahun, abad ataupun ribuan abad.”

“ Bila demikian, Guru, dapatkah dengan menggunakan perumpamaan?”

“Dapat,. Bayangkan bongkahan suatu gunung besar, tanpa retak, tanpa celah, padat, berukuran panjang 1 mil, lebar 1 mil dan tingginya juga 1 mil. Lalu bayangkan setiap seratus tahun ada orang datang menggosoknya dengan sepotong sutra Benares. Maka, akan lebih cepat bukit itu habis tergosok daripada suatu masa kappa berlalu. Pula ketahuilah, lebih dari satu, lebih dari ribuan, lebih dari ratusan ribu kappa, sebenarnya telah berlalu.”

Tentu saja selendang sutra akan habis sebelum batu itu terkikis habis. Buddha memberikan perumpamaan yang indah itu untuk memberikan sebuah gagasan pikiran kepada kita, bahwa satu siklus dunia atau maha Kappa itu sungguh-sungguh teramat sangat lama.

Sang Buddha menjelaskan, bahwa alam-semesta ini telah mengalami siklus “daur-ulang” berulang-kali, sehingga kiamat dalam Buddha-Dhamma tidaklah dianggap sebagai “akhir-dunia”, karena setelah kiamat, maka alam-semesta ini akan mengalami proses siklus pembentukan kembali.   Oleh karena itulah dinyatakan bahwa Sang Buddha membutuhkan waktu selama 300.000 siklus dunia  ( atau = 300.000 Maha-Kappa ) plus (+) 20 periode ( 20 Asankheyya-Kappa ; atau / sama dengan 400 antara-kappa )  yang tak terhitung lamanya untuk mencapai Pencerahan batin Sempurna dan menjadi seorang Buddha.

Jika kita bisa memahami, mengimajinasikan betapa sangat lamanya jangka waktu yang dibutuhkan untuk merealisasi ke-Buddha-an ini, maka kita tidak akan hanya mengagumi tugas mulia seorang Boddhisatta, tetapi juga ketabahan dan keuletan serte keteguhan-hati-Nya untuk mencapai ke-Buddha-an yang Tertinggi (Samma-Sambuddha).

93
Buddhisme untuk Pemula / Tuhan, Bagaimana Ini?
« on: 08 August 2009, 04:46:05 PM »
�Tuhan, bagaimana ini, sudah dua hari toko tidak ada pembeli sama sekali, hari ini cuma dapat 7.000 rupiah, mana cukup untuk menutup biaya-biaya....�

oleh
YASANANDA YUDHA WIBISONO


SUATU SIANG BEBERAPA BULAN yang lalu, setelah puja bhakti dan latihan meditasi, saya berbincang-bincang dengan seorang bapak yang cukup rajin hadir pada sesi latihan meditasi bersama. Bapak tersebut mengaku sering mendengar suara-suara saat meditasi rutin di rumah, dan hal ini dianggapnya mengganggu. Setelah menjawab bagaimana bersikap atas kondisi tersebut, saya bertanya apa tujuannya berlatih meditasi, sebab terkadang halangan meditasi bisa muncul disebabkan adanya konsep-konsep salah yang dipercaya oleh seseorang. Ternyata bapak ini ingin bisa melihat apa karma lampaunya yang menyebabkan ia saat ini mengalami banyak penderitaan hidup.

Saat ditanya apa penderitaannya, bapak ini bercerita bahwa dia dulunya aktivis di agama tetangga selama 25 tahun dan sudah direkomendasikan menjadi pendeta. Tetapi bukannya menjadi pendeta dia malah pindah agama, karena waktu akan menikah (dijodohkan orang tuanya), pendeta di sana tidak mau menikahkan bapak ini karena ia bersikukuh tidak mau dibaptis sebagai syarat untuk pernikahan. Bapak tersebut beranggapan pembaptisan bukan jaminan orang akan taat & rajin berdoa.

Pernikahan akhirnya dilakukan di salah satu kelenteng di Surabaya yang bersedia membantunya. Persoalan muncul waktu mengetahui istrinya bukan istri yang sesuai dengan harapannya, lalu sejak kematian ayahnya, ia berselisih paham dengan saudara-saudara dan ibunya mengenai harta warisan. Dari bincang-bincang itulah saya kemudian tahu bahwa bapak ini ternyata merasa bisa bercakap-cakap dengan Tuhan secara pribadi dan sewaktu pindah agama pun ia juga merasa bisa bercakap-cakap dengan patung Dewi Kwan Im atau dewa-dewa lainnya.

Seminggu kemudian saya menanyakan perkembangan latihan meditasinya, dan diskusi tersebut akhirnya berkembang menjadi pembahasan mengenai cara bapak tersebut mengatasi masalahnya. Di situlah saya ketahui ternyata permasalahan dengan istri dan keluarganya berakar dari permasalahan ekonomi. Bapak ini terhimpit masalah ekonomi. Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi dengan istri dan keluarganya juga berakar dari masalah ekonomi.

Cara bapak ini cukup unik, dia terus meminta dan meminta kalau perlu ngomel pada Tuhan. Salah satu doa yang dia ceritakan saat itu adalah �Tuhan, bagaimana ini, sudah dua hari toko tidak ada pembeli sama sekali, hari ini cuma dapat Rp. 7.000, mana cukup untuk menutup biaya-biaya. Saya tidak minta jadi konglomerat, asal cukup saja dan ada kelebihan sedikit�. Waktu dia merasa jengkel dengan istrinya dia juga berdoa, �Tuhan,kenapa waktu saya batal jadi pendeta, kamu tidak paksa saya untuk berangkat, kenapa harus ketemu istri seperti ini�. Bapak itu juga bercerita bahwa meskipun seminggu sepi, pada akhir minggu ada orderan cukup besar sehingga bisa cukup untuk menutup kebutuhan bulan itu, tapi ia berterima kasih secukupnya dan tetap menuntut Tuhan memberinya lebih dari itu.

Cerita di atas hanyalah salah satu cerita klasik yang sering kita temui sehari hari. Menggambarkan CARA sebagian orang untuk bertahan dalam derasnya arus KEHIDUPAN yang penuh ketidakpastian ini. Di mana kata KEHIDUPAN sendiri sering dipakai orang untuk menggambarkan serangkaian kejadian yang kita alami dari saat kita bangun di pagi hari sampai kita tidur di malam hari, dari saat kita lahir sampai saat kita mati.

Kejadian-kejadian tersebut sangat bervariasi meliputi kejadian-kejadian yang kita anggap menyenangkan, netral sampai yang paling tidak menyenangkan bahkan yang paling menakutkan.

Dan sesuai kodratnya, manusia yang berakal budi selalu berusaha membuat penjelasan-penjelasan yang dianggap rasional atas kejadian-kejadian tersebut,terutama kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan dan menakutkan.

Dari jaman dahulu kala manusia sudah membuat penjelasan-penjelasan atas kejadian yang mereka alami sesuai dengan level pengetahuan mereka. Bila ada gunung berapi meletus dan menumpahkan lahar serta debu awan panas, hal tersebut membuat mereka menderita dan ketakutan, mereka mengalami luka-luka, kehilangan sanak keluarga dan tempat tinggal. Mereka tidak kuasa melawan kekuatan tersebut maka mereka melakukan kompromi atas dasar pertimbangan-pertimbangan tertentu.

Informasi-informasi mereka kumpulkan dan dianalisa. Informasi tersebut bisa dari mimpi, penampakan hal tertentu yang tidak lazim(misal awan bergambar manusia atau binatang), rumor (misalnya ada warga yang memotong pohon di puncak gunung tersebut) dan sebagainya. Dari situ muncul konsep yang berkembang menjadi kepercayaan lokal penduduk setempat.

Pemujaan terhadap kekuatan gunung berapi yang dianggap hidup dilakukan dengan cara-cara yang mereka anggap bisa menyenangkan kekuatan tersebut. Konsep menyenangkan ini memakai standar apa yang mereka anggap menyenangkan. Misalnya mempersembahkan buah-buahan dan binatang bahkan gadis-gadis dan laki-laki muda. Bila letusan gunung berapi itu belum reda, maka mereka bisa berasumsi bahwa jumlah dan kualitas persembahan belum mencukupi, maka mereka akan menambah persembahan tersebut. Dan apabila selesai melakukan persembahan kedua kebetulan letusan mereda maka mereka mendapatkan kesimpulan yang meyakinkan bahwa kekuatan tersebut sudah bisa dipuaskan dengan cara itu. Hal ini akhirnya menjadi kepercayaan pemujaan terhadap gunung berapi atau kekuatan yang ada di puncak gunung berapi. Kepercayaan ini akhirnya diturunkan dari generasi ke generasi. Yang tidak mereka sadari adalah bahwa meskipun tidak diberi persembahan apapun letusan gunung berapi pasti akan reda juga (anicca). Seperti pada kasus letusan Gunung Merapi baru-baru ini, setelah �puas� meletus juga akan reda dengan sendirinya.

Kekuatan rasa takut dan ketidaktahuan ini menyebabkan bermunculannya paham DINAMISME & ANIMISME di seluruh dunia, mereka memuja gunung, pohon, batu, api, binatang dan lain lain. Mereka selalu mengaitkan apa yang terjadi pada mereka dengan hal-hal tersebut.

Pada perkembangannya seiring dengan berkembangnya kebudayaan & peradaban di daerah masing-masing, banyak paham-paham ini bertransformasi menjadi paham POLITHEISME (pemujaan pada banyak Tuhan/Dewa Penguasa), salah satu yang terkenal adalah pemujaan pada dewa-dewa Yunani Kuno (Zeus, Hera, dll). Di sini Tuhan Penguasa digambarkan bersifat seperti manusia tapi memiliki kekuatan yang besar,tidak jarang suka semena-mena dan kejam, sehingga dipuja untuk mendapatkan perlindungan sekaligus ditakuti hukumannya apabila gagal dipuaskan.

Pada waktu yang hampir bersamaan ada suatu paham kepercayaan yang tumbuh berkembang di daerah Timur Tengah dan sekitarnya. Di mana paham ini juga memuja satu kekuatan abstrak tunggal di luar manusia yang akhirnya mulai menggeser paham POLITHEISME menjadi paham MONOTHEISME. Tuhan yang abstrak tersebut (wujudnya tidak pernah tampak) digambarkan memiliki sifat-sifat manusia yang serba Maha, pada masa-masa awalnya diceritakan sebagai sosok yang pilih kasih dan mudah murka. Namun seiring dengan munculnya tokoh-tokoh spiritual baru, sosok Tuhan mulai digambarkan sebagai sosok yang lembut dan penuh kasih sayang. Sang Buddha sendiri dalam Brahmajala Sutta menjelaskan bahwa banyak paham kepercayaan yang berkembang di India saat itu munculnya dari ketidaktahuan pendiri paham itu sendiri.

Dalam suatu kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia, salah seorang bhikkhu kita ditanya apakah agama Buddha mengakui adanya Tuhan. Bhikkhu tersebut menjawab tidak mengakui Tuhan kalau Tuhan itu suatu makhluk. Paus sempat bingung, mungkin juga kebanyakan orang yang belum mengenal betul agama Buddha akan mengalami kebingungan seperti beliau.

agama buddha tidak mengenal tuhan?

Pernah dalam suatu pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, bhikkhu kita ditanya oleh salah seorang tokoh agama sebagai berikut : �Bapak Bhikkhu yang terhormat, saya telah membaca banyak kitab suci agama Buddha tetapi saya tidak bisa menemukan kata-kata Tuhan di manapun juga. Apakah agama Buddha tidak berTuhan?� Bhikkhu kita tersebut lalu menjawab dengan enteng �Lho, bukankah di kitab-kitab suci Bapak-Bapak sekalian juga tidak ada kata-kata Tuhan?�

Jawaban tersebut tentunya menimbulkan reaksi keras dari para tokoh agama yang hadir di situ, salah satunya bahkan berinisiatif menunjukkan betapa banyaknya tulisan Tuhan di kitab sucinya. Bhikkhu tersebut lalu berkata : � Itu kan kitab suci yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, kalau dalam kitab suci yang asli kan tidak ada kata Tuhan�. Mereka terdiam dan berpikir. Akhirnya mereka mengakui bahwa apa yang diucapkan bhikkhu tersebut mengandung kebenaran. Kitab suci Nasrani dalam bahasa aslinya Ibrani menyebut Tuhan sebagai Yahwe, sedangkan di Al Quran menyebut Tuhan dengan Allah, di Hindu dengan Sang Trimurti Brahma Siwa Wisnu(mohon maaf bila ada kesalahan istilah dan ejaan).

Sedangkan kata Tuhan sendiri berasal dari bahasa kawi, dari kata �TUAN' yang artinya 'yang disembah'. Bhikkhu tersebut kemudian bertanya kepada para tokoh agama tersebut �atas dasar apa kata Yahwe,Allah, Sang Trimurti lalu diterjemahkan menjadi kata Tuhan, apakah sosok Tuhannya sama?� Kata water, banyu, sui bisa diterjemahkan menjadi kata air dalam Bahasa Indonesia karena mengacu pada benda yang sama. Lalu apakah Tuhan dari agama-agama tersebut mengacu pada Sesuatu yang sama? Para tokoh agama tersebut akhirnya sepakat mengakui bahwa secara umum kelihatannya sama tetapi sebenarnya memiliki banyak perbedaan konsep yang cukup signifikan. Sangat diragukan mengacu pada Tuhan yang sama, kalau toh mau dianggap sama itupun hanya berupa anggapan belaka, bukan suatu kebenaran. Oleh karena itu wajar dan sah saja bila konsep Tuhan di dalam agama Buddha berbeda dengan konsep Tuhan di agama-agama lain. Bhikkhu tersebut juga menjelaskan bahwa konsep Tuhan dalam agama Buddha jarang sekali diterjemahkan menjadi kata Tuhan karena menghindari pemahaman yang bias. NIBBANA sebagai konsep Ketuhanan dalam agama Buddha lebih sering ditulis dalam bahasa aslinya untuk menghindari salah persepsi.

Nibbana konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama buddha

Para tokoh nasional kita di masa lampau kelihatannya sudah memikirkan baik-baik segala konsekuensi yang ada pada saat menyusun Pancasila Dasar Negara kita. Mungkin karena itulah sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan YME dan bukannya Tuhan Yang Maha Esa. Kalau Tuhan Yang Maha Esa bisa diartikan satu sosok Tuhan tunggal yang tidak ada duanya di mana kita harus mengakui adanya satu sosok tunggal itu dan bukan yang lain.
Hal itu tidak mungkin karena tiap agama masing-masing memiliki Konsep Tuhan yang tidak persis sama satu dengan lainnya. Ketuhanan YME lebih bisa merangkul semua pihak karena semua agama pasti memiliki Konsep Tuhan Yang Tunggal meskipun Konsep Tuhan masing-masing tidak persis sama.


Bhikkhu kita tersebut lalu menjawab dengan enteng �Lho, bukankah di kitab-kitab suci
Bapak-Bapak sekalian juga tidak ada kata-kata Tuhan?�

Ketuhanan YME mengisyaratkan kehidupan bernegara dan berbangsa (dalam hal ini beragama) harus berlandaskan pada pengakuan akan adanya konsep Tuhan yang tidak mendua atau banyak tetapi benar benar tunggal (Maha Esa).

Nibbana adalah sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak diciptakan,yang mutlak ( asankhata / bukan perpaduan/tunggal/esa), Nibbana bukan tempat (surga) atau makhluk adikodrati. Tidak ada kata-kata yang tepat untuk menjelaskan Nibbana, tetapi Nibbana bisa dialami/ direalisasikan oleh siapa saja yang mau melatih dirinya sesuai Dhamma Sang Guru Agung Buddha Gotama.

Nibbana merupakan tujuan tertinggi dari umat Buddha, tujuan hidup, kondisi keabadian tanpa
kelahiran, tanpa kematian dan tanpa penderitaan. Nibbana (yang mutlak/ tunggal/esa/ asankhata) merupakan konsep Ketuhanan YME dalam Agama Buddha. Sering kita ditanya mengapa Nibbana tidak bisa dijelaskan kata-kata. Jawabannya cukup sederhana, karena banyak hal yang kita jumpai di dunia ini, tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sebagai contoh adalah warna. Misalkan kita memegang kain warna kuning tertentu, maka sulit bagi kita untuk menjelaskan secara tepat seberapa kuning warna kain itu pada teman kita lewat pesawat telepon. Kita harus menunjukkan sendiri kain itu baru tidak diperlukan penjelasan lewat kata-kata lagi. Yang lebih mustahil bila kita harus menjelaskan warna itu pada orang buta sejak lahir. Biar kita tempelkan ke pipi orang itu, kita suruh dia cium baunya tetap tidak akan berhasil. Satu-satunya jalan adalah mengobati mata orang tersebut sampai sembuh, baru orang itu mengerti warna kain tanpa perlu dijelaskan lagi. Demikian pula dengan Nibbana, sudah begitu banyak Siswa Mulia Sang Buddha yang merealisasikan Nibbana, namun sebagaimanapun jelasnya Nibbana bagi Mereka, tetap tidak akan bisa dijelaskan pada kita-kita yang belum mencapainya. Kita tetap seperti orang buta tadi.

Satu satunya jalan adalah membuka mata batin kita dengan latihan sungguh-sungguh sesuai petunjuk Mereka yang telah pernah mencapainya, baru Nibbana akan menjadi jelas buat kita. Kalau kita terus berusaha membayangkan Nibbana bahkan terus bertanya-bertanya maka kita akan jadi seperti orang buta yang terus bertanya-tanya mengenai warna kain dengan cara disentuh, dicium dan sebagainya. Hal itu akan sia-sia.


Nibbana merupakan tujuan tertinggi dari umat Buddha, tujuan hidup, kondisi keabadian tanpa kelahiran, tanpa kematian dan tanpa penderitaan. Nibbana (yang mutlak/tunggal/esa/
asankhata) merupakan konsep Ketuhanan YME dalam Agama Buddha.

Nibbana bukan maha dewa pengatur kehidupan

Cerita ini kisah nyata. Beberapa tahun yang lalu, pada suatu malam selesai dari kebaktian di tempat ibadahnya, seorang pengabar agama yang taat di agama tetangga pulang ke rumahnya di daerah Surabaya Barat dengan mengendarai sepeda motor. Ditengah perjalanan dia dihadang perampok yang hendak merampas sepeda motornya. Karena mungkin sedikit melawan akhirnya selain sepeda motornya dirampas, ia juga dianiaya dan ditinggal sendirian di jalan sepi tersebut dengan kondisi terluka parah. Dengan sisa tenaga yang ada ia berusaha untuk meminta bantuan dari kendaraan yang lewat namun tidak ada satupun yang berani berhenti untuk menolong karena takut dengan penampilannya yang luka parah. Akhirnya ia terus berjalan dan merangkak sampai ke lokasi perumahannya lalu ditolong
satpam perumahan yang mengenalinya.

Dari cerita di atas orang tidak akan berhenti berpikir kenapa ia mengalami kejadian yang mengerikan tersebut. Apa penyebabnya. Bagaimana orang yang sudah begitu taat sembahyang dan baru saja keluar dari pelayanan di tempat ibadahnya bisa menerima musibah seperti itu. Orang akhirnya muncul dengan berbagai jawaban yang selalu dikaitkan dengan keberadaan sosok maha dewa pengatur kehidupan. Di mana jawaban tersebut sering menggambarkan keterlibatan langsung maha dewa atas nasib manusia. Penjelasan penjelasan itu pada awalnya memang bisa menghibur, memberikan ketabahan dan harapan bagi manusia untuk menghadapi kenyataan-kenyataan dalam hidupnya.Tetapi karena Tuhan dilibatkan dalam penjelasan tersebut dan digambarkan sebagai makhluk maha dewa, akhirnya menyebabkan gambaran Tuhan jadi tidak sempurna dan membingungkan.

Jawaban yang paling sering dipakai orang adalah bahwa hal itu merupakan COBAAN dari Tuhan untuk melihat apakah pengikutnya itu benar-benar setia padanya. Apabila kita menggambarkan ada sosok Tuhan dalam bentuk maha dewa sedang mencoba manusia yang sudah begitu taat kepadanya dengan cara seperti itu, kita tentunya boleh merasa ngeri dengan sosok Tuhan seperti itu. Dan tentunya sosok tersebut tidak bisa disebut bersifat maha pengasih dan penyayang.

Apabila seorang ibu mencoba membuat roti kukus yang enak, maka disitu ada resiko roti kukus itu tidak �mengembang� atau sering dikatakan orang rotinya �bantat�. Ibu itu tidak tahu hasil akhirnya karena itu ia harus mencoba. Konsep cobaan sebagai jawaban atas kejadian di atas sulit diterima kecuali Tuhan maha dewa memangs edang coba-coba dan tidak tahu bagaimana hasil percobaannya itu. Berarti maha dewa tersebut tidak maha tahu. Tetapi kalau betul betul maha tahu, tentunya maha dewa itu sudah tahu bagaimana hasilnya, lalu apa fungsinya mencoba. Apabila sudah tahu hasilnya tetapi tetap diberi cobaan yang mengerikan, hal ini tentunya mirip dengan sifat manusia yang iseng dan kejam (baca tsunami). Yang menjadi pertanyaan apakah Tuhan bisa digambarkan seperti itu? Menurut saya hal ini karena manusia sendiri yang menggambarkan Tuhan sebagai sosokmakhluk maha dewa sehingga menimbulkan banyak kerancuan dan bukan gambaran Tuhan yang sesungguhnya.

Jawaban lain yang sering dipakai adalah bahwa kejadian yang terjadi sudah merupakan RENCANA Tuhan. Apabila kita telaah penjelasan ini tentunya timbul suatu pengertian bahwa kejadian yang terjadi pada teman kita tersebut sudah direncanakan sebelumnya bahkan mungkin pada saat ia belum lahir di mana perampok tersebut juga merupakan bagian dari rencana tersebut. Misalkan ada suatu pentas sandiwara di mana ada seorang yang baik hati dirampok oleh perampok, maka aktor perampok harus betul-betul menjalankan perannya dengan baik agar sandiwara itu bagus jadinya. Apabila dalam skenarionya (rencana) dia harus merampok lalu dia malah menolong orang tentunya hal itu akan menyebabkan sutradara marah. Dia sudah merusak jalan cerita dan melawan perintah. Tetapi bila dia betul-betul berperan sebagai perampok yang bengis maka seharusnya akan mendapatkan pujian dari sang sutradara, harusnya dia dapat piala Oscar.

Bila kita kembali pada cerita di atas maka seharusnya perampok sepeda motor tadi masuk surga karena sudah menjalankan perintah sesuai rencana-�Nya�. Tetapi yang terjadi biasanya perampok itu dikatakan akan masuk neraka karena kejahatannya. Konsep bahwa semua kejadian sudah direncanakan Tuhan sulit bisa diterima. Apabila semua sudah direncanakan berarti sejak awal diciptakan manusia sudah ditentukan mana yang akan masuk neraka dan mana yang akan masuk surga. Lalu di mana letak keadilannya dan lagi pula apa fungsinya menciptakan manusia dengan rencana seperti itu. Atau konsep ini murni bikinan manusia sehingga akhirnya menyebabkan gambaran Tuhan jadi seperti itu.

Sering kali ada orang yang menjelaskan bahwa kejadian itu untuk mengingatkan manusia bahwa Tuhan maha dewa memiliki kekuasaan penuh atas nasib manusia. Apabila hal itu yang terjadi maka berarti maha dewa tersebut bukan maha pencipta karena sudah menciptakan manusia yang tidak sempurna sehingga perlu terus-terusan diingatkan. Apalagi teman kita itu tadi kerjaannya tiap saat melayani Tuhan kenapa ia yang harus diingatkan dan bukannya yang lain. Terkadang orang menyalahkan iblis yang diceritakan merupakan ciptaan Tuhan maha dewa sebagai biang keladi atas segala penderitaan dan musibah yang terjadi.

Jika Tuhan maha dewa merupakan makhluk yang maha tahu, maha kuasa dan maha pengasih tentunya tidak perlu menciptakan iblis dan kalau toh sudah terlanjur diciptakan harusnya dikendalikan supaya tidak menciptakan penderitaan. Kecuali memang iblis sengaja diciptakan dan dibiarkan supaya menggoda manusia, sehingga manusia yang punya pilihan bebas bisa punya alternatif pilihan mau masuk surga atau neraka. Bila memiliki sifat maha tahu tentunya sudah bisa diketahui manusia mana yang bakal tahan godaan lalu masuk surga dan mana yang tidak tahan lalu masuk neraka.

94
Buddhisme untuk Pemula / GALAXY-GALAXY DAN SUNYATA
« on: 08 August 2009, 04:44:41 PM »
Oleh :
Buddhadasa P. Kirthisinghe



Sang Buddha, didalam naskah "Sunna Sutta", menerangkan tentang kekosongan dari semua phenomena (= gejala-gejala) dunia. Apabila atom-atom yang organic, dan yang inorganic, serta molekul-molekul itu dipecah, atom-atom dan molekul-molekul tersebut mengeluarkan energi. Dapat ditunjukkan bahwa doktrin ini dapat diapplikasikan kepada segala sesuatu yang terdapat di alam semesta yang maha perkasa, dengan galaxy-galaxy-nya yang maha besar.

Kekosongan (= Voidness) itu bukan sesuatu yang tidak ada (= nothing), tetapi lebih merupakan sesuatu yang tidak bersifat materi (= no-thing); sesuatu yang tidak bersifat materi itu tidak dapat kita ketahui dengan mempergunakan kesadaran yang terbatas. Apa yang kita sadari didalam keadaan transcendental itu hanya dapat kita deskripsikan sebagai sesuatu yang tidak bersifat materi atau kekosongan.

Panas yang memancar dari matahari itu berasal dari berfusinya inti dari inti hydrogen yang membentuk helium, yang terjadi hanya pada temperatur beberapa juta derajat.

Dengan mempergunakan alat spectrographic, dapat kita lihat bahwa lebih dari dua pertiga dari elemen-elemen yang telah kita ketahui identifikasinya itu berada dilapisan-lapisan bagian luar dari Matahari, sedang meteorit-meteorit itu mengandung keseluruhan elemen-elemen yang sampai dengan 90 jumlahnya, dari hydrogen hingga uranium. Oleh karena itu, secara aman dapat kita katakan bahwa keseluruhan dari alam semesta ini tersusun dari elemen-elemen yang sama. Hydrogen itu mendominasi arena alam semesta dan helium berada didalam urutan kedua. Pada temperatur sepuluh hingga lima puluh juta derajat, hydrogen mengalami transformasi menjadi helium. Didalam proses ini, yang dinamai pembakaran hydrogen, dihasilkan panas yang luar biasa hebatnya. Pada temperatur-temperatur tersebut, helium mengalami perubahan menjadi exygen, carbon dan neon, tetapi adanya panas yang luar biasa, elemen-elemen tersebut pecah secepat elemen-elemen itu terbentuk.

Begitu sesuatu Bintang itu mengalami pertumbuhan, di lapisan dalam terbentuk penutup yang terdiri dari oxygen, yang dikelilling oleh mantel hydrogen. Pada pusat dari bagian yang paling panas (= tungku pembakaran) dari Bintang, pada temperatur yang makin menaik, hingga satu juta derajat, terbentuklah magnesium, sillicon, phosphorus, sulphur, chlorine, argon dan calcium. Ini memberi gambaran mengenai titik dalam keadaan gas, yang energinya terdiri dari partikel-partikel subatomic, misalnya neutron-neutron, proton-proton, dan elektron-elektron. Partikel-partikel tersebut bergabung dan membentuk atom-atom, dan atom-atom di dalam berbagai proporsi, membentuk elemen-elemen.

Sistem Matahari kita mengalami kondensasi menjadi bentuk yang sekarang ini, dari gas cosmic, kira-kira empat setengah juta tahun yang lampau. Sebuah galaxy itu berputar pada pusatnya, empat atau lima kali didalam satu billion tahun, sedang bumi kita ini mengitari matahari didalam satu tahun.

Didalam awan-awan galactic yang berupa gas cosmic, ber-evolusi-lah bintang-bintang yang mempunyai sistem planitnya sendiri-sendiri, beberapa diantaranya mungkin ber-evolusi kehidupan didalam billionan tahun. Dari gas cosmic, matahari-matahari ini menghasilkan beberapa inti elemen-elemen yang ada di alam semesta ini. Ini membutuhkan waktu billion-an tahun sebelum matahari dan sistem planitnya dapat dibentuk.

Professor Berrill menulis : "Kejadian-kejadian yang membawa elemen-elemen yang ringan melalui kombinasi-kombinasinya molekuler secara berurut-urutan ke mulainya kompleksitas, responsive-nya dan kapasitas-kapasitas-nya cel-cel hidup, itu sungguh-sungguh merupakan suatu tata-kehidupan yang baru, apabila kita bandingkan dengan kimiawinya molekuler dari suatu bintang."

Galaxy-galaxy terbentuk ketika gas primordial yang meluas secara uniform itu pecah menjadi milyunan galaxy-galaxy dan kondensasi-kondensasi yang terpisah, didalam galaxy, menjadi billion-an bintang-bintang dan sistem-sistem planetnya.

Keduanya, baik Kant maupun Laplace, ber-assumsi bahwa matahari kita yang masih muda itu dikelilingi oleh penutup, yang zatnya terdiri dan gas tipis yang berbentuk lensa, yang kemudian mengalami kondensasi menjadi planit-planit yang individual. Ini adalah pandangan modern tentang pembentukan sistem planit kita, didalam mana kita hidup didalamnya. Oleh karena itu, didalam alam semesta ini, kita dapat mengharap adanya bintang lainnya, yang mempunyai kesempatan baik untuk dirinya dapat menghasilkan suatu sistem planit.

Terdapat bintang-bintang yang sedang mengalami peledakan dan ada bintang-bintang yang sudah mati. Begitu sistem matahari baru lahir, yang lainnya mengalami disintegrasi menjadi berkeadaan gas, dan mungkin, akan muncul lagi, setelah jutaan-jutaan tahun, sebagai suatu sistem tata-surya yang baru. Hal yang demikian itu dapat terjadi terhadap tata surya kita ini. Ya, bahkan, sifat tidak-manusiawi (= inhumanity) yang terdapat didalam diri kita, mungkin bertanggung-jawab atas hancurnya planit kita sendiri, menjadi keadaan gas, dengan penggunaan alat-alat superhydrogen.

Sang Buddha bersabda bahwa hanya ketidak-terikatan-lah yang dapat menjadi harapan untuk mencapai pengertian, dan ini tepat sama dengan applikasi-applikasi masa sekarang ini, terhadap masyarakat kita, yang telah terbebani oleh ilmu pengetahuan.*)

REFERENSI

Lovell, A.C.B. "The Individual and the Universe", Oxford Packet Book, 1970.
Struve, Otto "The Universe", M.I.T. Press, Boston, 1968
The Universe (A Scientific American Book) 1957
Sunyata Sutta (Buddhist Publication Society of Ceylon and Pali Text Society of London).

95
Buddhisme untuk Pemula / Hidup Di Dunia Dengan Dhamma
« on: 08 August 2009, 04:41:43 PM »
Oleh : Venerable Ajahn Chah


Kebanyakan orang masih saja tidak mengetahui inti dari latihan meditasi. Mereka mengira meditasi berjalan, meditasi duduk dan mendengarkan khotbah Dhamma itulah yang disebut berlatih. Itu ada benarnya juga, tetapi hal-hal ini hanyalah penampilan luar saja dari latihan. Latihan yang sebenarnya akan terjadi pada saat pikiran bertemu dengan objek-objek indera. Itulah tempat untuk berlatih, di mana kontak dengan indera terjadi. Bila orang-orang mengatakan hal-hal yang tidak kita sukai, maka akan ada kebencian, jika mereka mengucapkan kata-kata yang kita sukai, maka kita pun senang. Sekarang, di sinilah tempat untuk berlatih. Bagaimana kita akan berlatih dengan hal-hal semacam ini? Ini adalah titik yang sangat penting. Jika kita hanya berlari ke sana ke mari sambil mengejar kebahagiaan dan menghindar dari penderitaan di setiap saat, kita bisa saja berlatih hingga hari kematian kita, namun kita takkan pernah melihat Dhamma. Tidak ada gunanya. Ketika kesenangan dan kesengsaraan muncul, bagaimana kita akan menggunakan Dhamma untuk membebaskan diri dari mereka? Inilah tujuan dari latihan.

Biasanya, ketika orang berhadapan dengan sesuatu yang tidak sejalan dengan mereka, mereka tidak akan membuka diri terhadapnya. Seperti ketika orang dikritik: �Jangan ganggu saya! Mengapa menyalahkan saya?� Ini adalah seseorang yang telah menutup dirinya sendiri. Tepat di sanalah tempat untuk berlatih. Ketika orang mengkritik kita, kita seharusnya mendengarkannya. Apakah mereka berkata benar? Kita seharusnya terbuka dan mempertimbangkan apa yang mereka katakan. Mungkin ada tujuan di balik kata-kata mereka, barangkali memang ada sesuatu yang salah pada diri kita. Mereka mungkin saja benar namun kita dengan cepat menjadi tersinggung. Jika orang menunjukkan kesalahan kita, kita seharusnya berusaha untuk menghilangkan kesalahan tersebut dan memperbaiki diri kita sendiri. Beginilah caranya orang-orang yang cerdas akan berlatih.

Di mana ada kebingungan, maka di sana pula kedamaian bisa muncul. Bila kebingungan ditembus dengan pengertian, yang tersisa adalah kedamaian. Beberapa orang tidak bisa menerima kritik, mereka arogan. Mereka malah berbalik dan berdebat. Hal ini terjadi khususnya ketika orang-orang dewasa berhadapan dengan anak-anak. Sebenarnya, kadangkala anak-anak mungkin mengatakan beberapa hal yang cerdas, tetapi jika, katakanlah, kalian menjadi ibu mereka, kalian tak ingin menyerah begitu saja kepada mereka. Jika kalian adalah seorang guru, kadang-kadang murid-murid kalian mungkin mengatakan sesuatu yang tidak kalian ketahui, tetapi karena kalian adalah sang guru, maka kalian tidak mau mendengar. Ini bukanlah pemikiran yang benar.

Pada zaman Sang Buddha dulu, ada seorang murid yang sangat cerdas. Pada suatu waktu, ketika Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma, beliau berpaling kepada bhikkhu ini dan bertanya, �Sariputta, apakah kamu mempercayai ini?� Yang Mulia Sariputta menjawab, �Belum, saya belum mempercayainya.� Sang Buddha memuji jawabannya. �Bagus sekali, Sariputta, engkau adalah orang yang diberkahi dengan kebijaksanaan. Seseorang yang bijaksana, tidak langsung percaya, dia mendengarkan dengan pikiran yang terbuka dan kemudian mempertimbangkan kebenarannya sebelum mempercayai atau tidak mempercayainya.�

Sekarang, di sini Sang Buddha telah memberikan contoh yang baik sebagai seorang guru. Apa yang dikatakan Yang Mulia Sariputta adalah benar, beliau hanya mengutarakan perasaannya yang sebenarnya. Beberapa orang akan berpikir bahwa untuk mengatakan kalian tidak percaya pada ajaran itu berarti sama seperti tidak menghormati guru tersebut, mereka takut mengatakan hal-hal semacam ini. Mereka hanya setuju dan menerima begitu saja. Beginilah jalan duniawi itu adanya. Tetapi Sang Buddha tidak tersinggung. Beliau mengatakan bahwa kalian tidak perlu merasa malu terhadap hal-hal yang tidak salah atau buruk. Tidak ada salahnya jika kalian berkata bahwa kalian tidak percaya kalau memang kalian tidak mempercayainya. Itulah sebabnya mengapa Yang Mulia Sariputta berkata, �Saya belum mempercayainya.� Sang Buddha memuji beliau. �Bhikkhu ini memiliki kebijaksanaan yang tinggi. Dia mempertimbangkan dengan teliti sebelum mempercayai apa pun.� Tindakan Sang Buddha di sini merupakan suatu contoh yang baik untuk mereka yang menjadi guru bagi yang lain. Kadangkala kalian bisa belajar sesuatu bahkan dari seorang anak kecil; jangan secara membuta melekat begitu saja pada posisi-posisi dalam hirarki kekuasaan.

Apakah kalian sedang berdiri, duduk, atau berjalan di berbagai tempat, kalian selalu dapat mempelajari hal-hal di sekitar kalian. Kita belajar dengan cara yang alamiah, bersifat terbuka pada segala sesuatunya, apakah mereka berupa penglihatan-penglihatan, suara-suara, bau-bauan, rasa-rasa kecapan, perasaan ataupun pikiran-pikiran. Orang yang bijaksana mempertimbangkan mereka semua. Di dalam latihan yang sebenarnya, kita menuju pada suatu titik di mana tiada lagi kekhawatiran apa pun di dalam batin.

Jika kita masih tetap tidak mengetahui rasa suka dan tidak suka begitu mereka muncul, itu artinya masih ada kekhawatiran di dalam batin kita. Jika kita tahu kebenaran dari semua ini, kita merenungkan, �Oh, perasaan suka ini tidak ada apa-apanya. Ia hanyalah perasaan yang muncul dan pergi begitu saja. Ketidaksukaan itu tidak lebih dari suatu perasaan yang muncul dan pergi. Mengapa menganggap seolah-olah mereka itu ada?� Jika kita mengira bahwa kesenangan dan kesengsaraan adalah milik pribadi, maka kita akan menghadapi masalah, kita takkan pernah keluar dari titik di mana kita mengalami kekhawatiran atau yang lainnya, di dalam suatu mata rantai yang tidak terputus. Beginilah keadaannya bagi kebanyakan orang.

Tetapi pada zaman sekarang, orang-orang tidak begitu sering membicarakan tentang batin ketika sedang mengajarkan Dhamma, mereka tidak membicarakan tentang kebenaran. Jika kalian berbicara tentang kebenaran, orang bahkan akan menyangkalnya. Mereka mengatakan hal-hal seperti, �Dia tidak tahu waktu dan tempat, dia tidak tahu bagaimana cara berbicara yang sopan.� Tetapi orang-orang seharusnya mendengarkan kebenaran. Guru yang sejati tidak hanya berbicara dari ingatannya saja, tetapi dia juga mengatakan kebenaran. Orang-orang di dalam masyarakat umum biasanya berbicara dari ingatan mereka saja, tetapi sebaliknya guru yang sejati berbicara tentang kebenaran. Orang-orang di dalam masyarakat umum biasanya berbicara dari ingatan mereka, dan yang lebih parah lagi mereka biasanya berbicara untuk memuja-muji diri mereka sendiri. Bhikkhu yang sejati tidaklah berbicara seperti itu, dia mengatakan kebenaran, tentang sifat-sifat sejati dari segala sesuatunya.

Tidak peduli sekeras apa pun usahanya untuk menjelaskan tentang kebenaran, sungguh sulit bagi orang-orang untuk memahaminya. Sungguh sulit untuk memahami Dhamma. Jika kalian memahami Dhamma, kalian seharusnya mempraktekkannya. Mungkin tidak perlu menjadi bhikkhu, walaupun kehidupan seorang bhikkhu adalah bentuk yang ideal untuk berlatih. Untuk benar-benar berlatih, kalian harus meninggalkan segala kebingungan di dunia ini, melepaskan keluarga dan harta milik, dan pergi ke hutan-hutan. Inilah tempat yang ideal untuk berlatih.

Tetapi jika kita masih memiliki keluarga dan tanggung jawab, bagaimana kita bisa berlatih? Beberapa orang bilang tidak mungkin mempraktekkan Dhamma selagi masih menjadi umat awam. Pertimbangkan hal ini, kelompok mana yang lebih besar, bhikkhu atau umat awam? Umat awam jauh lebih banyak. Sekarang, jika hanya bhikkhu-bhikkhu saja yang berlatih dan umat awam tidak, lalu itu artinya akan ada begitu banyak kebingungan. Ini adalah pemahaman yang salah. �Saya tak bisa menjadi bhikkhu�� Menjadi seorang bhikkhu bukanlah tujuan sebenarnya! Menjadi bhikkhu tidak mempunyai arti sama sekali jika kalian tidak berlatih. Jika kalian benar-benar memahami praktek Dhamma, maka tak peduli apa pun jabatan atau pekerjaan kalian sehari-hari, apakah itu guru, dokter, pegawai sipil atau apa pun itu, kalian dapat mempraktekkan Dhamma di setiap saat.

Untuk berpikir bahwa sebagai umat awam, kalian tidak bisa berlatih, itu artinya kalian telah kehilangan arah sama sekali. Mengapa orang-orang bisa punya motivasi untuk melakukan hal-hal yang lain? Jika mereka merasa kekurangan sesuatu, mereka berusaha untuk mendapatkannya. Jika ada keinginan yang cukup, orang dapat melakukan apa pun. Beberapa orang bilang, �Saya belum ada waktu untuk mempraktekkan Dhamma.� Saya katakan, �Lalu bagaimana kalian bisa mempunyai waktu untuk bernafas?� Bernafas itu sangat penting bagi kehidupan manusia. Jika mereka memandang praktek Dhamma sama pentingnya dengan hidup mereka, maka mereka juga akan memandang Dhamma sama pentingnya dengan nafas mereka.

Praktek Dhamma bukanlah sesuatu yang harus kalian kelilingi sambil berlari-lari atau sesuatu yang akan menghabiskan seluruh tenaga kalian. Perhatikan saja perasaan-perasaan yang muncul di dalam pikiran kalian. Bila mata melihat bentuk-bentuk, telinga mendengar suara-suara, hidung mencium aroma-aroma dan seterusnya, mereka semua bergerak menuju pikiran yang menyatu ini, �yang mengetahui.� Sekarang, ketika pikiran mengamati hal-hal ini, apa yang terjadi? Jika kita menyukai objek tersebut, kita akan merasa senang, jika kita tidak menyukainya, kita merasa tidak senang. Itu saja mereka adanya.

96
Buddhisme untuk Pemula / Perabuan vs Pemakaman
« on: 07 August 2009, 10:55:31 PM »
Dalam Agama Buddha tidak ada peraturan yang mewajibkan apakah jenazah seorang umat Buddha harus diperabukan atau dimakamkan. Pilihan atas dua macam cara umum itu ataupun cara-cara lainnya [misalnya disumbangkan ke rumah sakit untuk penelitian medis] dianggap sebagai hak asasi yang bersangkutan. Apabila ada pesan yang disampaikan sebelum meninggal dunia, pesan itulah yang layak dipenuhi sebagai suatu penghormatan terhadap orang yang mati. Seandainya tidak ada pesan yang ditinggalkan, hal ini tergantung keputusan sanak keluarga yang bersangkutan.

Walaupun tidak ada peraturan yang bersifat wajib, perabuan menempati prioritas tertinggi dalam tradisi Buddhis. Ini bersumber pada Mahâparinibbâna Sutta. Dalam wejangan terakhir tersebut, Buddha Gotama meninggalkan pesan kepada Ânanda Thera untuk memperabukan jenazah-Nya. Sumber-sumber lain dalam Kitab Suci Tipitaka menunjukkan bahwa para siswa utama Beliau juga memilih perabuan. Dengan pertimbangan ini, kiranya layak bagi umat Buddha untuk menerapkan serta melestarikan cara ini.

Ada sementara umat Buddha yang menghindari perabuan dengan alasan kasihan yang mati akan kepanasan karena terbakar api. Ini adalah suatu alasan dangkal yang bersifat kekanak-kanakan. Kematian adalah perpisahan mutlak antara tubuh jasmaniah dengan unsur-unsur batiniah. Makhluk yang sudah mati tidak lagi memiliki perasaan, ingatan, corak batin serta kesadaran. Karena itu, ia sudah tidak akan merasa apa pun atas jenazah yang ditinggalkannya. Lagipula, kalaupun ada perasaan semacam itu, apakah ia tidak akan merasa kepengapan apabila dikubur/dipendam dalam tanah? Adakah cara lain yang lebih baik?

‘Perabuan’ adalah terjemahan baku kata ‘cremation’ (kremasi). Kata ini sesungguhnya berasal dari kata Latin ‘cremo’ yang secara harfiah berarti ‘membakar’ –khususnya pembakaran jenazah. Kebanyakan ahli purbakala memprakirakan bahwa perabuan diperkenalkan sebagai suatu cara memusnahkan mayat pada Zaman Batu–sekitar 3,000 tahun Sebelum Masehi. Cara yang agaknya pertama kali dipakai di Eropa atau Timur Dekat ini kemudian dipakai secara umum di Yunani (800 SM) dan Roma (600 SM). Perabuan merupakan lambang kebesaran(status symbol). Ketika kr****n menjadi agama-negara Kekaisaran Roma pada sekitar tahun 100 Masehi, tatkala banyak penganut agama lain diasingkan dan dibinasakan, pemakaman (penguburan jenazah) merupakan satu-satunya cara yang dipakai di seluruh penjuru Eropa.

Tepatnya pada tahun 1886, Gereja Roman Katholik secara resmi melarang pelaksanaan perabuan jenazah. Jemaat gereja yang ketahuan mengatur penyelenggaraannya akan dikucilkan (excommunicated). Ini berlangsung hingga masa Perang Dunia ke-II. Pada tahun 1961, Patriak Konstantinopel dari Gereja Orthodoks Timur memfatwakan bahwa: “Memang tidak ada peraturan orthodoks yang resmi terhadap perabuan, namun ada adat-istiadat yang kuat serta rasa kecenderungan terhadap pemakaman ala kr****n.” Ada dua alasan utama yang melandasi penolakan terhadap perabuan. Yang pertama adalah kekhawatiran yang berkaitan dengan kebangkitan tubuh dari mati serta penyatuan kembali dengan roh kekal sebagaimana yang dijanjikan.

Apabila mayatnya dibakar hingga musnah tak berbekas, dikhawatirkan akan timbul masalah dalam penyatuan jasmaniah-rohaniah tersebut. Ini bersumberkan pada Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus 15:35-44. Alasan kedua, dalam masyarakat Israel kuno, pembakaran mayat lazimnya hanya diperuntukkan bagi para penyembah berhala, orang berdosa, pelaku kejahatan serta musuh. Dalam Kitab Kejadian 38:24, misalnya, dituliskan bahwa Yehuda memerintahkan agar menantu wanitanya yang sedang hamil anak kembar dibakar hingga mati karena dituduh telah melakukan perzinahan.

Apabila seorang laki-laki menikahi wanita sekaligus ibunya, menurut Kitab Imamat 20:14, itu merupakan suatu perzinahan. Ketiga orang itu itu harus dibakar dalam api. Dalam bait ke 21:9, hukuman yang sama dijatuhkan kepada anak wanita seorang imam yang menjadi pelacur. Bahkan Tuhan sendiri, sebagaimana yang dikisahkan dalam Kitab Bilangan 16:35, memberangus Korah beserta 250 orang Israel karena menentang Nabi Musa. Sumber-sumber lain dalam Kitab Perjanjian Lama dapat dijumpai di Keluaran 32:20, Yosua 7:15-25, Hakim-Hakim 15:6, I Samuel 31:11-13, II Raja-raja 10:26, Yeremia 29:22, Amos 2:1. Sementara itu, sumber dalam Kitab Perjanjian Baru terdapat dalam Wahyu kepada Yohanes 20:15.

Para penganut Agama kr****n cenderung memilih pemakaman karena cara inilah dikehendaki oleh Tuhan terhadap jenazah Nabi Musa (Yosua 34:6). Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus 15:35-44 menceritakan bagaimana Tuhan membangkitkan tubuh orang-orang yang percaya. Sumber-sumber lain bertebaran di Kitab Kejadian, Yosua,Matius, Kisah Para Rasul.

Karena sedemikian besar manfaat serta kepraktisan perabuan dibandingkan dengan pemakaman [dengan segala dampak negatifnya: pencemaran lingkungan, pemborosan tempat, biaya dan sebagainya]; pada zaman modern sekarang ini banyak orang yang memilih perabuan jenazah meskipun kurang begitu bersesuaian dengan ajaran agama yang dipercayai. Di kebanyakan negara besar di Eropa, lebih dari separuh memakai cara perabuan. Di Jepang, perabuan –yang pernah dilarang pada tahun 1875–, kini diterapkan secara hampir menyeluruh. Di Amerika Serikat dan Kanada, telah dibangun lebih dari 30,000 tempat perabuan (crematorium) dengan statistik lebih dari setengah juta jenazah per tahun.

Thx to: Singthung

97
Oleh : UP. Sudharma SL.

Sering timbul salah pengertian di kalangan masyarakat yang non-Buddhis (bukan beragama Buddha), bahwa tradisi "Bakar Kertas" adalah merupakan bagian dari ajaran Agama Buddha, bahkan sebagian dari umat Buddha pun beranggapan demikian. Terasa seakan kurang lengkap apabila dalam upacara sembahyang tidak dilaksanakan tradisi "Bakar Kertas" ini.

Sejak zaman dulu sebenarnya ada 2 jenis kertas yang digunakan dalam tradisi ini, yaitu kertas yang bagian tengahnya berwarna keemasan (Kim Cua) dan kertas yang bagian tengahnya berwarna keperakan (Gin Cua). Menurut kebiasaan-nya Kim Cua (Kertas Emas) digunakan untuk upacara sembahyang kepada dewa-dewa, sedangkan Gin Cua (Kertas Perak) untuk upacara sembahyang kepada para leluhur dan arwah-arwah orang yang sudah meninggal dunia.

Mereka yang mempercayai tradisi ini beranggapan bahwa dengan membakar kertas emas dan perak itu berarti mereka telah memberikan kepingan uang emas dan uang perak kepada para dewa atau leluhur mereka; sebagaimana diketahui kepingan emas dan perak adalah mata uang yang berlaku pada zaman Tiongkok kuno.

Tetapi ternyata kemajuan zaman telah mempengaruhi pula tradisi ini, sekarang yang dibakar bukan hanya kertas emas dan perak, ada pula sejenis uang kertas dengan nilai nominal aduhai (milyaran), yang bentuknya mirip dengan uang kertas yang digunakan pada zaman sekarang. Yang membedakannya adalah kalau pada uang kertas yang berlaku pada umumnya ada yang bergambar kepala negara atau pahlawan, tetapi pada uang kertas yang akan dikirim kepada para leluhur yang telah meninggal ini bergambar Yen Lo Wang (Giam Lo Ong) yakni Dewa Yama, penguasa alam neraka, dan adanya tulisan "Hell Bank Note" (Mata Uang Neraka). Entah dari mana asal mula timbulnya ide untuk membuat dan membakar uang kertas akhirat seperti itu, mungkin dasar pemikirannya adalah karena sekarang mata uang tidak lagi berupa kepingan emas dan perak, melainkan uang kertas; tentunya di alam sana juga perlu penyesuaian.

Apakah benar tradisi "Bakar Kertas" ini berdasarkan ajaran Agama Buddha ? Apakah ada manfaatnya ?, dan bagaimanakah sesungguhnya pandangan Agama Buddha mengenai tradisi ini ? Pembicaraan mengenai hal ini cukup menarik, ada yang pro dan ada pula yang kontra, bahkan anti sama sekali.

Agama Buddha adalah agama yang penuh dengan toleransi, dalam arti agama Buddha dapat menerima pengaruh tradisi atau budaya manapun selama hal itu tidak bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Agama Buddha (Buddha Dharma). Dan dalam hal ini tentu perlu pula dipertimbangkan apakah hal itu bermanfaat bagi kemajuan batin kita atau tidak. Begitu pula dengan tradisi "Bakar Kertas" ini apakah hal ini bertentangan atau tidak dengan prinsip dasar ajaran Buddha Dharma ? Marilah kita tinjau lebih lanjut.

Asal-Usul Tradisi "Bakar Kertas"

Konon tradisi "Bakar Kertas" ini baru dimulai pada zaman pemerintahan Kaisar Lie Sie Bien (Lie She Min) dari Kerajaan Tang di Tiongkok. Lie Sie Bien adalah seorang kaisar yang adil dan bijaksana, sehingga beliau dicintai oleh rakyatnya.

Pada suatu hari tersebar kabar bahwa Kaisar menderita sakit yang cukup parah, mendengar kabar ini rakyat menjadi sedih. Beberapa hari kemudian secara resmi keluar pengumuman dari Kerajaan bahwa Kaisar Lie Sie Bien meninggal dunia. Rakyat benar benar berduka-cita karena merasa kehilangan seorang Kaisar yang dicintai, sebagai ungkapan rasa duka-cita ini penduduk memasang kain putih di depan pintu rumahnya masing-masing tanda ikut berkabung atas mangkatnya Sang Kaisar.

Sebagaimana tradisi pada waktu itu, jenazah Kaisar tidak langsung dikebumikan, melainkan disemayamkan selama beberapa minggu untuk memberi kesempatan pada para pejabat istana dan rakyat untuk memberikan penghormatan terakhir.

Alkisah, setelah beberapa hari kemudian Kaisar Lie Sie Bien hidup kembali atau bangkit kembali dari kematiannya. Dan kemudian beliau bercerita mengenai perjalanan panjangnya menuju alam neraka, yang dialaminya selama saat kematiannya.

Dimana salah satu cerita beliau, adalah ketika beliau dalam perjalanan menuju alam neraka, sang Kaisar bertemu dengan ayahbunda, dan sanak keluarga, serta teman-temannya yang telah lama meninggal dunia. Dimana dikisahkan bahwa kebanyakan dari mereka berada dalam keadaan menderita kelaparan, kehausan, dan serba kekurangan walaupun dulu semasa hidupnya mereka hidup senang dan mewah. Keadaan mereka sangat menyedihkan, walaupun saat ini anak-anak dan keturunannya yang masih hidup berada dalam keadaan senang dan bahagia. Makhluk-makhluk yang menderita ini berteriak memanggil Lie Sie Bien untuk minta pertolongan dan bantuannya untuk mengurangi penderitaan mereka. Menurut Kaisar mereka ini sangat mengharapkan bantuan dan pemberian dari keturunan dan sanak-keluarganya yang masih hidup.

Lalu sang Kaisar menghimbau dan menganjurkan agar keturunan dan sanak keluarga yang masih hidup jangan sampai melupakan leluhur dan keluarganya yang telah meninggal. Kita yang masih hidup wajib mengingat dan memberikan bantuan kepada mereka yang menderita di alam sana, sebagai balas budi kita kepada leluhur kita itu. Untuk itu keluarga yang masih hidup dianjurkan untuk mengirimkan bantuan dana/ uang kepada mereka yang berada di alam penderitaan itu. Dan dana bantuan itu adalah berupa "Kertas Emas dan Perak" yang dibakar dan kemudian akan menjelma menjadi kepingan uang emas dan perak di alam sana, sehingga dapat dipergunakan oleh ayahbunda, leluhur, dan sanak keluarga yang berada di alam sana untuk meringankan penderitaan mereka.

Karena yang berkisah ini adalah seorang Kaisar yang sangat dihormati dan dicintai segenap rakyatnya, maka tentu saja cerita ini dipercayai, dan himbauan kaisar langsung mendapatkan tanggapan yang baik dari para pejabat, bangsawan, dan seluruh rakyat kerajaan Tang.

Tetapi sekarang persoalannya, siapakah yang akan membuat "kertas emas dan perak" itu, untuk kemudian dijual kepada yang mau membakarnya atau mengirimkannya kepada leluhur dan sanak keluarganya yang telah meninggal ?

Lie Sie Bien adalah seorang yang cerdas, beliau tahu betul bahwa dari sekian luas wilayah kerajaan Tang (Tiongkok), tidak semua daerah tersebut sama kesuburan tanahnya, ada daerah-daerah yang gersang dan tandus, yang hanya dapat ditumbuhi pohon bambu yakni bahan baku untuk pembuat kertas pada waktu itu. Nah, penduduk daerah inilah yang dikerahkan untuk membuat "kertas emas dan perak" untuk keperluan sembahyang kepada para leluhur itu.

Apakah sesungguhnya yang terjadi ? Betulkah Kaisar Lie Sie Bien meninggal dunia dan melakukan perjalanan ke alam neraka ? Benarkah kisah perjalanan yang diceritakan oleh sang Kaisar ? Banyak orang yang percaya bahwa Kaisar Lie Bie Bien benar-benar pernah meninggal dan melakukan perjalanan ke alam neraka, dan apa yang dikisahkannya itu sungguh-sungguh terjadi. Tetapi tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa kejadian "mati suri" nya Kaisar Lie Sie Bien dan kisah perjalanannya ke neraka hanya rekayasa sang Kaisar untuk tujuan politis.

Dimana penggambaran alam neraka seperti yang diceritakan beliau diambil dari penggambaran alam neraka dalam kitab-kitab suci Agama Buddha, karena Kaisar Lie Sie Bien adalah seorang Buddhis (beragama Buddha) yang cukup banyak mendalami ajaran-ajaran Agama Buddha (Buddha Dharma).

Seperti kita ketahui, bahwa di zaman itu di Tiongkok berlaku sistim feodal, dimana terjadi jurang perbedaan yang sangat nyata antara tuan-tuan tanah, bangsawan, dan pedagang yang kaya raya dengan segala kemewahan yang berlimpah ruah, dengan kaum petani, buruh dan rakyat jelata yang hidup miskin, melarat, penuh kesengsaraan dan serba kekurangan. Orang-orang kaya ini sama sekali tidak punya kepedulian terhadap orang-orang miskin, bahkan mereka menindas kaum miskin ini.

Sebagai seorang kaisar yang adil dan bijaksana, tentu saja Lie Sie Bien tidak setuju dengan keadaan ini, tetapi beliau juga tidak bisa sewenang-wenang memaksa kaum kaya ini untuk mempunyai kepedulian dan mau membantu kaum miskin. Maka terpaksalah beliau menggunakan taktik untuk menciptakan pemerataan kehidupan dan menolong kaum miskin itu, yakni dengan merekayasa peristiwa kematian beliau dan perjalanannya ke alam neraka.

Barisan terdepan dari mereka yang mengikuti himbauan dan ajuran Kaisar Lie Sie Bien untuk membakar "Kim Cua dan Gin Cua" untuk di kirimkan sebagai dana bantuan kepada leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal sudah tentu adalah orang-orang kaya yang punya banyak uang untuk membeli "kertas emas dan perak" yang dibuat oleh orang-orang miskin; sehingga dengan demikian rakyat jelata yang miskin ini jadi terbantu dan punya penghasilan, terjadilah pemerataan pendapatan.

Secara keagamaan pun tradisi ini pada mulanya bermanfaat, yaitu agar anak dan sanak keluarga yang masih hidup senantiasa ingat pada leluhur/ keluarga yang telah mendahului sekaligus sebagai ungkapan balas budi atas jasa dan kebaikan mereka, dan selalu berdoa serta mengharapkan kebahagiaan mereka di alam sana.

Bagaimana pada zaman sekarang ?

Zaman terus berubah, tradisi yang tadinya sengaja dicetuskan oleh Kaisar Lie Sie Bien dengan maksud dan tujuan yang baik, yakni membantu dan menolong kaum miskin, sekarang masalahnya menjadi lain. "Kertas Emas dan Perak" yang dulunya di produksi oleh home industry (industri rumah tangga) orang-orang miskin, sekarang sudah di produksi secara massal oleh pabrik-pabrik yang tentunya milik pengusaha kaya. Sehingga maksud dan tujuan untuk pemerataan penghasilan sudah tidak bermakna lagi.

.Kalau dulu upacara "Bakar Kertas" itu selalu diiringi dengan doa dan harapan untuk kebahagiaan para leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal, saat ini makna ini sudah semakin kabur karena tidak banyak lagi orang yang tahu asal mula, maksud dan tujuan sesungguhnya dari tradisi "Bakar Kertas" ini. Malah sekarang ada anggapan bahwa semakin banyak "kertas emas dan perak" ini dibakar adalah semakin baik, dan membuat leluhur dan sanak keluarga semakin kaya dan semakin senang di alam sana.

Ditambah lagi dengan berbagai ide yang menyesatkan, seperti membuat uang kertas "Hell Bank Note", peralatan-peralatan modern/ canggih dari kertas (seperti pesawat televisi, hand phone, mobil mewah, televisi, parabola, dll) untuk dibakar guna dikirimkan pada leluhur dan sanak keluarga di alam sana, tentunya akan semakin mengaburkan maksud dan tujuan tradisi "Bakar Kertas" ini.

Bagaimanakah pandangan Agama Buddha ?

Agama Buddha adalah agama yang penuh dengan toleransi, walaupun bukan berarti bahwa agama Buddha bersikap menerima tradisi apapun dalam ritual agama Buddha. Tradisi "Bakar Kertas" yang masih dilaksanakan pada saat ini jelas tidak sesuai dengan ajaran agama Buddha.

Alangkah baik dan bijaksana bilamana uang yang tadinya akan digunakan untuk pembelian "kertas emas dan perak" itu dipergunakan untuk membantu orang-orang yang memerlukan bantuan/ pertolongan, atau membeli sesuatu yang dapat diberikan/ disumbangkan pada mereka yang membutuhkannya; misalnya : disumbangkan ke Vihara, Panti Asuhan, Panti Jompo, Panti Anak Cacat, memberikan dana pada anggota Sangha (Bhikkhu/ Bhikkhuni), atau disumbangkan pada pengemis, orang-orang miskin, korban bencana alam, dan lain sebagainya. Bantuan dan sumbangan tersebut kita berikan dengan mengenang dan mengatasnamakan orangtua/ leluhur dan sanak keluarga kita yang telah meninggal itu. Inilah yang di dalam agama Buddha dinamakan "Upacara Pelimpahan Jasa (Pattidana)", sehingga uang kita tidak menjadi sia-sia untuk membakar kertas dan segala sesuatu yang tidak bermanfaat itu.

Tetapi dalam hal ini agama Buddha tidak mengambil sikap menentang keras atau anti terhadap tradisi tersebut, karena menyadari bahwa melaksanaan tradisi tersebut hanya semata-mata karena ketidaktahuan, kurangnya pengertian, dan kepatuhan pada tradisi secara membabi buta, bukan karena tujuan untuk menentang atau melanggar ajaran agama Buddha.

Jika masih ada generasi tua yang melaksanakan tradisi "Bakar Kertas" itu, kita tidak perlu menentang, mengejek, menghina, atau pun melecehkan apa yang mereka lakukan; tetapi seharusnya kewajiban kita adalah untuk memberikan pengertian dan penjelasan secara bijaksana tentang tradisi tersebut, sehingga mereka berangsur-angsur jadi mengerti dan menyadari kekeliruannya dan mau dengan ikhlas dan sukarela untuk memperbaiki/ merubahnya. Sungguhpun harus diakui bahwa tidaklah mudah untuk merubah suatu tradisi yang sudah mendarah-daging, meski pun demikian kita tetap harus mencobanya; syukur jika berhasil, tetapi bila tidak berhasil kita tidak perlu kecewa, putus asa, atau pun memaksakannya pada mereka.

Thx to: Singthung

98
Buddhisme untuk Pemula / Kerancuan Pandangan Mengenai Lenyapnya Ajaran
« on: 04 August 2009, 08:04:14 PM »
Pada salah satu kotbahnya Sang Buddha Gotama menyatakan bahwa dalam proses berakhirnya era Beliau selama 5000 tahun ini akan ada lima kelenyapan, yaitu: lenyapnya pencapaian tingkat kesucian, lenyapnya Ajaran, lenyapnya pelaksanaan benar, lenyapnya simbol/bentuk luar, dan terakhir lenyapnya Relik.

Lenyapnya Ajaran berarti lenyapnya Tipitaka secara berangsur sampai tidak ada lagi orang yang mampu mengingat bahkan empat syair Ajaran Para Buddha. Tetapi selama Tipitaka masih ada secara utuh bersama kita maka kelenyapan Ajaran belum terjadi walaupun pada kenyataannya sekarang ini Dhamma-Dhamma palsu sudah mulai banyak bermunculan menjamur dan mewabah di berbagai belahan dunia memanfaatkan kesempatan dari kebodohan batin manusia yang semakin tebal. Pada saatnya nanti ketika Ajaran telah lenyap tentu saja Dhamma yang sejati tidak mungkin lagi dapat ditemukan dan pada waktu itu hanya Dhamma-Dhamma palsu dan semua ajaran yang bukan Dhamma yang dapat ditemukan. Inilah kesimpulan kita mengenai lenyapnya Ajaran.

Bertentangan dengan kesimpulan itu ada sekelompok orang yang membentuk intepretasi mereka sendiri sebagai berikut: Dhamma yang sejati tidak akan lenyap dari dunia sampai munculnya Dhamma yang palsu menggantikannya. Ketika Dhamma palsu muncul maka itulah waktunya Dhamma yang sejati lenyap." Jadi menurut mereka sekarang Dhamma yang sejati sudah tidak ada lagi karena sudah banyak Dhamma palsu menjamur di seluruh belahan dunia. Ini adalah salah satu bentuk kerancuan pandangan yang perlu diluruskan.

Ajaran Buddha yang sejati bukan lenyap karena ajaran palsu muncul dan menggantikannya melainkan karena memang masa berlakunya sudah berakhir. Ajaran yang sejati dan ajaran yang palsu bisa saja eksis dalam kurun waktu bersamaan seperti yang sekarang tengah terjadi. Jadi jelas sekarang bahwa karena Tipitaka masih ada dalam bentuknya yang utuh maka artinya Dhamma sejati belum lenyap walaupun ada banyak Dhamma palsu di mana-mana. Ini hanyalah merupakan bagian dari pertanda proses lenyapnya Dhamma secara berangsur. Ketika tiba waktunya nanti Dhamma yang sejati lenyap maka otomatis tidak ada lagi Dhamma sejati yang dapat ditemukan manusia, tentunya yang bisa ditemukan hanyalah Dhamma palsu.

Kerancuan Pandangan Mengenai Datangnya Buddha Metteya

Bagi siapa saja yang mengerti arti dari kata Sammasambuddha akan merasa sangat janggal bila diminta untuk percaya bahwa Buddha Metteya lengkap dengan ciri-cirinya telah lahir di bumi ini di antara kita dengan nama lain sekitar satu abad sebelum tahun 1943. (catatan: tanggal 1 Agustus 1943 tengah hari dihitung sebagai akhir dari sistem penanggalan Kali Yuga). Tetapi ternyata ada saja sekelompok orang yang percaya demikian. Mereka bisa berpandangan demikian tentunya karena mengambil sebagian dari isi kotbah tersebut dan mengabaikan sisanya, kemudian direka-reka sesuai dengan perhitungan dan perkiraan mereka sendiri, padahal seharusnya isi dari kotbah merupakan satu kesatuan jalan cerita. Ini juga salah satu pandangan yang perlu diluruskan.

Sama seperti empat Sammasambuddha yang telah muncul di bumi yang ini, Buddha Metteya adalah juga Sammasambuddha yang berarti Buddha yang mencapai Penerangan Sempurna dengan upaya sendiri tanpa bantuan makhluk lain kemudian membabarkan Dhamma kepada manusia dan dewa. Dengan demikian berarti selama Ajaran dari Sammasambuddha terdahulu masih eksis maka tidak akan mungkin muncul Sammasambuddha baru. Mengapa? Tentu saja karena bila Ajaran dari Buddha yang terdahulu masih eksis maka tidak perlu bagi calon Sammasambuddha yang bersangkutan untuk bersusah payah menemukan kembali Dhamma dengan upaya sendiri. Beliau cukup pergi ke perpustakaan lalu membaca kitab Tipitaka yang masih utuh dan lengkap atau pergi kepada bhikkhu suci yang masih hidup untuk belajar. Dan bila sekalipun kemudian calon Sammasambuddha itu mencapai tingkat kesucian tertinggi setelah membaca dan memahami Tipitaka maka Beliau tidak dapat disebut sebagai Sammasambuddha melainkan disebut sebagai Arahat Savaka Buddha yang artinya Orang yang mencapai tingkat Arahat karena belajar dari Ajaran Buddha. Jadi kesimpulannya Sammasambuddha hanya mungkin muncul pada saat dunia hampa dari Ajaran Buddha.

Mereka yang percaya bahwa Buddha Metteya telah lahir di antara kita adalah orang-orang yang sama yang percaya bahwa Ajaran Buddha sekarang ini telah lenyap total digantikan dengan Dhamma palsu. Mereka melihat semua gejala-gejala yang terjadi di dunia sekarang ini adalah sama dengan yang digambarkan oleh Sang Buddha dalam khotbahnya mengenai kehancuran moralitas seiring dengan semakin pendeknya usia manusia.

Pada kenyataannya memang benar bahwa sekarang banyak terjadi bencana alam, perang, pembantaian, wabah penyakit, kekurangan pangan, kemiskinan, kekerasan, pencurian, pembunuhan, dusta, fitnah, kata-kata kasar, membual, iri hati, dendam, pandangan sesat, berzinah dengan saudara sendiri (incest), keserakahan, pemuasan nafsu, kurang patuh pada orangtua, petapa, orangtua, dan pemimpin masyarakat. Memang benar Dhamma palsu banyak bermunculan. Memang benar Ajaran Buddha yang sejati semakin memudar. Memang benar semakin banyak orang berjubah bhikkhu yang melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan Vinaya. Memang benar relik ada yang berpindah tempat. Tetapi ini semua bukan otomatis berarti bahwa Dhamma sejati telah lenyap melainkan hanya merupakan bagian dari pertanda proses menuju akhir dari era ajaran Buddha Gotama sesuai dengan apa yang digambarkan dalam khotbah Beliau. Kemerosotan moral itu semakin hari akan semakin meningkat dari segi kwalitas, kwantitas dan intensitasnya sampai satu waktu mencapai titik puncak kebobrokan dari segala segi di mana manusia tidak mungkin bisa lebih bobrok lagi daripada itu.

Jadi sekali lagi hendaknya kita pahami bahwa sekarang Tipitaka masih utuh, berarti Ajaran Buddha belum lenyap jadi tidak mungkin Buddha Metteya sudah muncul. Apalagi dalam kotbah disebutkan bahwa kemunculan Buddha Metteya adalah pada waktu usia manusia rata rata 80.000 tahun sedangkan usia rata-rata manusia pada zaman sekarang hanya puluhan tahun saja dan semakin memendek dari waktu ke waktu dari generasi ke generasi. Artinya sekarang ini adalah periode menuju titik terendah usia manusia, yaitu 10 tahun. Setelah menyentuh titik balik terendah maka siklus usia manusia kembali bertambah secara berangsur menuju ke 80.000 tahun.

Kerancuan Sikap Mental Terhadap Buddha yang Akan Datang

Munculnya Buddha yang akan datang bernama Buddha Metteya adalah hal yang tidak perlu diperdebatkan oleh semua yang mengaku siswa Sang Buddha karena peristiwa itu memang pernah dinyatakan langsung oleh Sang Buddha Gotama sendiri. Kapan waktunya Beliau akan muncul juga tidak perlu dipersoalkan karena tentunya ketika masanya tiba dan kondisinya sesuai Beliau akan muncul. Yang penting mulai sekarang kita terus berupaya menyempurnakan Parami mumpung Ajaran Buddha Gotama masih tersedia agar kelak bisa lahir kembali dan meneruskan perjuangan dalam era Buddha Metteya seandainya kita tidak berhasil merealisasikan Tujuan Akhir dalam era Buddha yang sekarang ini.

Yang perlu diluruskan hanyalah sikap mental yang keliru sehubungan dengan penantian kemunculan Buddha Metteya. Sikap mental dan pandangan yang bagaimanakah yang dianggap keliru?

Pertama adalah pandangan bahwa era Buddha Gotama sudah berakhir bersamaan dengan Beliau Parinibbana sehingga Ajaran Beliau dianggap sudah basi, tidak relevan lagi di zaman sekarang. Dan karena era Buddha Gotama dianggap telah berakhir maka otomatis sekarang dipercaya sebagai era Buddha selanjutnya yaitu Buddha Metteya. Padahal mereka juga mengetahui dengan jelas bahwa Buddha Metteya belum lahir.

Sebetulnya ada kontroversi di dalam pandangan itu sendiri yaitu Buddha yang belum lahir dengan Ajaran yang sudah muncul. Suatu Ajaran disebut sebagai Ajaran Buddha tentu saja karena pertama kalinya diajarkan oleh Sammasambuddha sebagai penemu kembali Dhamma yang telah hilang lenyap di antara manusia dan dewa. Jadi Ajaran Buddha pastilah bukan ajaran manapun yang ditemukan dan diajarkan pertama kalinya oleh siapapun yang bukan Sammasambuddha. Jadi bila Buddha yang akan datang belum lahir otomatis berarti Ajaran Beliau pasti juga belum ada. Ini adalah logikanya.

Kedua adalah sikap mental terhadap Buddha yang akan datang. Karena menganggap Buddha Gotama sudah tidak punya kekuatan lagi maka yang menjadi sasaran permintaan dan permohonan tentunya adalah calon pengganti Beliau, yaitu Buddha Metteya. Kemunculan Buddha Metteya nanti digambarkan dan diharapkan sebagai juru selamat yang misinya membawa serta para pengikutnya mencapai Nibbana yang notabene diartikan sebagai kehidupan kekal dalam kebahagiaan abadi. Kata membawa serta ke Nibbana di sini cenderung diartikan seperti seorang ayah yang mengajak anak-anak kesayangannya pergi jalan-jalan ke mal. Atau juga seperti korban gempa yang menunggu dievakuasi ke tempat yang aman oleh tim penyelamat.

Berdasarkan kepercayaan itu maka dalam masa penantian ini orang yang bersangkutan akan melakukan puji dan puja kepada Buddha Metteya yang disertai permohonan agar Beliau tidak lupa membawa serta dirinya serta keluarganya ke Nibbana. Malahan untuk lebih memastikan nama orang-orang yang bersangkutan tidak ketinggalan maka dirasa perlu adanya pendaftaran dimuka yang tentunya disertai syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi dan sekaligus ditindaklanjuti dengan mengabdi dan berbakti demi terpenuhinya harapannya itu.

Ada apa yang salah dengan kepercayaan itu? Para Buddha dari segala masa tentunya termasuk juga Buddha Gotama dan Buddha Metteya hanya mengajarkan inti yang sama, yaitu:" Tidak berbuat jahat, senantiasa menambah kebajikan dan mensucikan batin." Untuk apa melaksanakan Ajaran ini? Tentunya untuk mencapai Tujuan Akhir yaitu Nibbana. Bagaimana bisa? Dengan melaksanakan Ajaran itu dengan benar maka tiga akar kekotoran batin, yaitu lobha, dosa dan moha akan terkikis sampai akhirnya lenyap tuntas.

Lobha, dosa, dan moha adalah penyebab dukkha artinya selama masih ada lobha, dosa dan moha dalam batin maka selama itu pula akan terjadi kelanjutan arus kelahiran atau tumibal lahir dalam samsara (lingkaran kelahiran dan kematian). Dengan lenyapnya ketiga akar itu maka tidak ada lagi kelahiran selanjutnya, tidak ada lagi dukkha, bebas dari samsara. Inilah yang dimaksud dengan Nibbana dalam pola pikir Buddhis.

Jadi jelas bahwa Nibbana yang dimaksud oleh Sang Buddha mesti dicapai dengan upaya melatih diri mengikis akar kekotoran batin sesuai dengan metode yang telah diajarkan Sang Buddha. Tidak ada Buddha yang pernah mengajarkan pengikutnya untuk minta diajak serta mencapai Nibbana seperti contoh anak kecil yang minta orangtuanya mengajak pergi ke mal. Sang Buddha adalah Guru penunjuk Jalan, kita semua lah yang harus berupaya sendiri berlatih mengikuti jalan atau petunjuk Beliau. Realisasi Nibbana adalah hasil perjuangan yang teramat panjang. Bukan hadiah. Bukan hasil undian atau pilih kasih. Bukan hasil memuja dan memuji. Bukan hasil mendaftar di muka. Bukan juga hasil dari memohon dan meminta. Setelah memahami demikian hendaknya kita tidak lagi mudah terperdaya pandangan salah.

Ciri ciri Ajaran Buddha yang Benar

Yang paling utama adalah bahwa Ajaran Buddha di era Buddha Gotama ini harus berdasarkan kitab suci Tipitaka yang merupakan rangkuman dari semua kotbah Sang Buddha selama 45 tahun. Bukan berdasarkan kitab lain. Kemudian jika Tipitaka diringkas dan diambil sarinya akan menjadi 37 faktor penerangan sempurna (bodhipakkhiya-dhamma). Bila dipadatkan lagi akan menjadi 7 Kemurnian (7 visuddhi), kemudian bila diringkas lagi menjadi sila, samadhi dan panna. Ketiga ini disebut tiga sikkha (latihan). Bila dijabarkan maka pelaksanaannya menjadi jalan mulia berunsur delapan (atthangika-magga).

Landasan pokok yang harus ada dalam setiap Ajaran yang menyatakan diri sebagai Ajaran Buddha adalah: tiga mustika (tiratana), tiga corak universal (tilakkhana), empat kebenaran Mulia (cattari ariya saccani), hukum kamma dan tumimbal lahir (kamma dan patisandhi/punabbhava), Nibbana.

Benang merah dari seluruh isi Ajaran dimaksudkan untuk melatih diri memahami realitas akhir Anatta, menyadari samsara sebagai dukkha, dan melaksanakan Jalan menuju akhir dukkha. Ajaran apapun namanya yang tidak ada benang merah ini pasti bukan Ajaran Buddha meskipun ajaran tersebut mengandung nilai-nilai kebajikan sekalipun. Hanya Buddha yang dapat menunjukkan Jalan menuju akhir dukkha.

Lunturnya Praktik Dhamma

Praktik Dhamma bisa dikatakan mudah, juga bisa dikatakan teramat sulit. Mudah dalam arti praktik Dhamma "hanya" berupaya mempraktikkan dana, sila, samadhi, dan panna dalam kehidupan sehari-hari sesuai kapasitas kita. Tidak mesti sampai menyendiri di gunung dan hutan kecuali bila kita sudah sampai tahap kemajuan tertentu di mana membutuhkan kondisi yang lebih khusus untuk bisa mencapai kemajuan lebih lanjut. Lalu di mana sulitnya? Ya, mempraktikkannya itulah yang sulit. Mengapa sulit? Ya, karena kita tidak membiasakan diri maka menjadi sulit.

Seberapa sering kita melihat, mendengar, mengetahui orang lain atau bahkan mengalami sendiri naik turun, pasang surut mempraktikkan dhamma. Pada suatu masa kita begitu rajin belajar dhamma, membantu menyebarluaskan dhamma, berdana, menjaga sila, melatih meditasi samatha dan vipassana kemudian pada masa selanjutnya kita mulai malas belajar dhamma, mulai kendur berdana, mulai melanggar sila kecil-kecilan, mulai malas bermeditasi. Ini adalah pasang surut yang sangat umum terjadi pada kita semua. Hal ini lumrah karena kita memang masih terlalu mentah untuk memahami dhamma. Tetapi kita sebenarnya bisa memilih untuk tidak menjadi bagian dari kelumrahan tersebut.

Lingkaran setan yang biasa ditemukan dalam hal praktik Dhamma adalah pada saat kita mulai kendur praktik maka pemahaman dhamma kita pun turut memudar, sejalan dengan semakin pudarnya pemahaman maka sudah tentu praktik menjadi semakin kendur lagi karena kita mulai lupa tujuan dan manfaat praktik Dhamma, sampai akhirnya satu saat kita sama sekali mengabaikan praktik dan melupakan dhamma. Ketika kita telah melupakan Dhamma maka batin menjadi gelap, kosong, gelisah, sangat menderita, serba salah sehingga mudah sekali kita terombang ambing mengikuti kepercayaan ini dan itu, terperdaya ajaran rendah dan terhasut pengertian sesat. Yang tidak kalah berbahayanya, batin yang kosong sangat rentan tergoda untuk melakukan perbuatan buruk karena telah hilangnya pengertian benar dan minimnya pertahanan pengendalian diri apalagi di tengah gencarnya serbuan godaan duniawi di sekitar kita seperti gemerlapnya harta kekayaan dan kekuasaan, kenikmatan narkoba dan minuman keras, seks, dan seterusnya. menjadi gelap, kosong, gelisah, sangat menderita, serba salah sehingga mudah sekali kita terombang ambing mengikuti kepercayaan ini dan itu, terperdaya ajaran rendah dan terhasut pengertian sesat. Yang tidak kalah berbahayanya, batin yang kosong sangat rentan tergoda untuk melakukan perbuatan buruk karena telah hilangnya pengertian benar dan minimnya pertahanan pengendalian diri apalagi di tengah gencarnya serbuan godaan duniawi di sekitar kita seperti gemerlapnya harta kekayaan dan kekuasaan, kenikmatan narkoba dan minuman keras, seks, dan seterusnya.

Itulah konsekwensi logis dari lunturnya praktik dhamma, seumpama orang yang ditutup matanya dan dilepas sendirian ke hutan belukar yang dipenuhi binatang buas dan jurang-jurang. Terlalu berbahaya. Ketika kita tidak lagi menyadari kesalahan sebagai kesalahan sehingga terus berbuat kesalahan sebagai bentuk kebiasaan maka kita menuju ke tempat gelap dan pintu-pintu empat alam apaya (alam rendah) akan terbuka semakin lebar siap menanti.

Lingkaran arah kebalikannya adalah semakin kita rajin praktik Dhamma maka otomatis pemahaman kita akan semakin mendalam. Dengan pemahaman yang semakin mendalam seiring dengan manfaat yang NAGAWI kita rasakan langsung, maka tekad kita akan semakin kuat untuk mencapai tujuan dan dengan demikian semangat bertambah untuk mempraktikkan dhamma lebih baik lagi dan sebagai hasilnya tentu pemahaman akan semakin dan semakin dalam sampai suatu saat nanti dengan upaya yang berkesinambungan mudah-mudahan tujuan luhur kita tercapai.

Batin yang senantiasa kokoh mengingat Dhamma tidak akan mudah terperangkap tipu daya pikiran sendiri untuk melakukan perbuatan buruk dan tentunya hampir tidak ada peluang bagi pengertian sesat untuk bisa masuk dan berkembang.

Penutup

Akhirnya untuk menghindarkan kesalahpahaman yang mungkin saja terjadi, perlu kiranya disampaikan bahwa tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menuding ataupun memojokkan aliran kepercayaan tertentu. Tujuan dari tulisan ini hanyalah memberikan pendapat dari berbagai sudut pandang yang mungkin dapat membantu para pembaca untuk merevisi pola pikir sehingga mampu menyadari kerancuan sebagai kerancuan sehubungan dengan fenomena yang terjadi dalam proses berakhirnya era Buddha Gotama supaya tidak terperangkap dalam kepercayaan salah yang tidak membawa manfaat kearah kemajuan perkembangan batin.

Kemudian bagi siapa yang menyadari bahwa praktik Dhammanya sudah semakin luntur, mudah-mudahan tulisan ini bisa membangkitkan kembali semangat Anda demi kebaikan Anda sendiri.

Sumber:
- The Requisites of Enlightenment (Bodhipakkhiya Dipani), A Manual by The Venerable Ledi Sayadaw, Buddhist Publication Society, Kandy 1971, Ceylon
- Prophecies of The Buddha, Buddhist Time Prophecies.htm

thx to:Singthung

99
Buddhisme untuk Pemula / SIKAP YANG TEPAT DALAM MENGATASI PENYAKIT
« on: 04 August 2009, 08:00:56 PM »


Kita tidak seharusnya menganggap penyakit dan penderitaan sebagai suatu hal yang akan menghancurkan kita sampai benar-benar habis, dan karenanya kita menyerah menjadi putus-asa dan patah semangat. Sebaliknya kita (sebagai penganut Buddhis) dapat melihatnya sebagai suatu tes untuk mengetahui pemahaman kita akan ajaran-ajaran Sang Buddha, dan seberapa baik kita dapat menerapkan pengetahuan yang telah kita pelajari tersebut. Jika kita tidak dapat secara mental mengatasinya, jika kita gagal, maka hal ini menunjukkan bahwa pemahaman kita akan Dhamma, pelatihan kita, masih lemah. Dengan begitu, ini adalah tes dan kesempatan bagi kita untuk melihat seberapa baik kita telah menguasai latihan kita.

Selain itu, penyakit adalah suatu kesempatan bagi kita untuk meningkatkan lebih lanjut latihan kita dalam hal kesabaran dan toleransi. Bagaimana kita dapat melatih dan mengembangkan �parami* � (kesempurnaan) seperti kesabaran jika kita tidak dites, jika kita tidak mengalami kondisi yang sulit dan sengsara? Jadi, dengan begitu, kita dapat menganggap penyakit sebagai sebuah kesempatan bagi kita untuk lebih menanamkan kesabaran.

=======================================
* Ke sepuluh parami adalah memberi, moralitas, pelepasan, kebijaksanaan, semangat, kesabaran, kebenaran, tekad, cinta kasih dan ketenangan hati. Seluruh bodhisatta (mereka yang ingin menjadi Buddha) harus menanamkan parami ini. Seluruh pemeluk agama Buddha juga harus menanamkan parami ini sampai pada tingkat tertentu sebelum mereka dapat memperoleh penerangan di bawah bimbingan seorang Buddha.
=======================================

Kita juga dapat memandang kesehatan bukan hanya sebagai keadaan di mana tidak ada penyakit, melainkan sebagai suatu kondisi di mana kita dapat mengalami penyakit, dan kemudian belajar serta berkembang dari pengalaman tersebut. Ya, definisi baru mengenai kesehatan datang dari beberapa ahli kedokteran, seperti Dr. Paul Pearsall dari Rumah Sakit Sinai di Detroit, Amerika Serikat. Melihat bagaimana penyakit tidak akan pernah dapat benar-benar dilenyapkan dan bagaimana kita pada akhirnya akan dikalahkan dengan berbagai cara, para dokter ini telah membuat suatu definisi mengenai kesehatan yang dapat membantu kita menyesuaikan diri dengan penyakit ketika penyakit itu datang. Benar, bukan? � bahwa tidak peduli sehebat apa mesin-mesin, prosedur, dan obat-obatan yang dapat kita temukan, orang masih dikalahkan oleh kanker, AIDS, penyakit jantung dan sejumlah penyakit lainnya. Pada intinya, tidak ada pelarian. Kita harus mengerti dan menerima kenyataan ini, sehingga ketika hal itu benar-benar terjadi dan kita harus kalah, kita dapat gugur dengan sebaik mungkin. Tak perlu diragukan lagi, kita akan berusaha mengobati penyakit sebaik mungkin, namun jikalau kita telah berusaha melakukan yang terbaik dan kita tetap kalah serta penyakit terus berkembang, kita harus dapat menerima dan pasrah pada hal yang tidak menguntungkan tersebut.

Dalam analisa terakhir, yang penting bukanlah lamanya kita hidup tetapi seberapa baik kita menjalani hidup, dan ini termasuk seberapa baik kita dapat menerima penyakit kita dan pada akhirnya seberapa baik kita meninggal. Sehubungan dengan hal ini, Dr. Bernie S. Siegel dalam bukunya �Kedamaian, Cinta & Kesembuhan� (�Peace, Loving & Healing�), menulis:

Pasien-pasien tertentu tidak berusaha untuk tidak mati. Mereka berusaha untuk hidup sampai mereka mati. Dan merekalah yang sukses, tidak peduli apapun hasil penyakit mereka, karena mereka telah menyembuhkan hidup mereka, walaupun penyakit mereka sendiri belum tersembuhkan.

Dan dia juga mengatakan:

Hidup yang sukses bukanlah mengenai kematian,melainkan bagaimana hidup dengan baik. Saya mengenal anak-anak berumur 2 tahun dan 9 tahun yang telah mengubah orang dan bahkan seluruh komunitas dengan kemampuan mereka untuk mencintai, dan hidup mereka adalah hidup yang sukses walaupun pendek. Sebaliknya, saya telah mengenal pula banyak orang yang hidup lebih panjang namun hanya meninggalkan kekosongan.

Jadi sebenarnya alangkah indahnya kenyataan bahwa hidup kita dapat disembuhkan walaupun penyakit kita tidak dapat disembuhkan. Bagaimana mungkin? Karena penderitaan adalah bagaikan guru dan jika kita belajar dengan baik, kita pun dapat menjadi orang-orang yang lebih baik. Tidakkah kita pernah mendengar kejadian di mana orang-orang, setelah melalui penderitaan yang luar biasa, berubah menjadi orang-orang yang lebih baik? Jika sebelumnya mereka tidak sabar, egois, sombong, dan tidak peduli, mereka mungkin menjadi lebih sabar, baik, lembut, dan rendah hati. Kadang-kadang mereka mengakui bahwa penyakit sebenarnya adalah sesuatu yang baik untuk mereka � karena hal itu memberikan kesempatan kepada mereka untuk memikirkan kembali gaya hidup mereka dan nilai-nilai yang lebih penting dalam hidup. Mereka menjadi lebih menghargai keluarga dan teman, dan mereka sekarang menghargai waktu yang mereka lalui bersama orang-orang yang mereka cintai. Dan jika mereka sembuh, mereka akan meluangkan lebih banyak waktu bagi orang-orang yang mereka cintai, serta melakukan hal-hal yang benar-benar lebih penting dan berarti.

Namun jikalau kita dikalahkan penyakit, kita tetap dapat belajar dan berkembang dari hal tersebut. Kita dapat mengerti betapa kritisnya hidup ini dan betapa benarnya ajaran Sang Buddha � bahwa ada ketidak-sempurnaan yang mendasar dalam hidup. Kita dapat menjadi lebih baik hati dan lebih menghargai kebaikan yang kita terima dari orang lain. Kita dapat memaafkan mereka yang telah melukai kita. Kita dapat mencintai dengan lebih baik lagi, lebih dalam lagi. Dan ketika kematian tiba, kita dapat meninggal dengan pasrah dan damai. Dengan begitu, dapat kita katakan bahwa hidup kita telah tersembuhkan karena kita telah pasrah berdamai dengan dunia dan kita dipenuhi oleh kedamaian.

* * * * *

Kita dapat bermeditasi

Ketika kita sakit dan harus berbaring di ranjang, kita tidak perlu berputus asa. Kita dapat tetap bermeditasi walaupun kita sedang terbaring sakit. Kita dapat mengamati pikiran dan tubuh kita. Kita dapat memperoleh ketenangan dan kekuatan dengan melakukan meditasi pernapasan. Kita dapat mengamati masuk dan keluarnya napas kita, ketika kita mengambil dan mengeluarkan napas. Hal ini dapat memberikan rasa ketenangan. Atau kita dapat mengamati timbul dan tenggelamnya perut (abdomen) ketika kita menarik dan mengeluarkan napas. Pikiran kita dapat mengikuti timbul dan tenggelamnya perut, dan menjadi satu dengannya. Ini juga dapat menimbulkan rasa ketenangan. Dan dari rasa tenang tersebut, muncullah kesadaran. Kita dapat melihat sifat alami dari seluruh fenomena, yaitu kesementaraan (ketidak-kekalan) dan kehancuran, sehingga dapat menerima kenyataan akan fakta ketidak-kekalan, ketidak-puasan, dan tanpa diri. Jika kita telah mempelajari kesadaran penuh atau meditasi Vipassana*, kita dapat melalui waktu kita dengan mudahnya. Ada banyak obyek

===============================
* Vipassana adalah meditasi ke dalam atau meditasi dengan kesadaran penuh. Dalam Vipassana, praktisi meditasi menggunakan kesadaran penuh untuk mengamati fenomena mental dan fisik, pada akhirnya memahami karakter ketidak-kekalan, ketidak-puasan, dan tanpa diri dari segala fenomena tersebut. Untuk penjelasan singkat mengenai Vipassana serta latihan meditasi jenis lainnya yang disebut meditasi metta atau cinta kasih, bacalah �Perkenalan kepada Vipassana� (�Invitation to Vipassana�) dan �Menghalau Kemarahan Menyebarkan Cinta Kasih� (�Curbing Anger Spreading Love�) yang keduanya ditulis oleh penulis yang sama dan diterbitkan oleh Pusat Meditasi Buddhis Malaysia di Penang.
==============================

yang dapat kita amati dalam segala postur, apakah ketika kita sedang berbaring, duduk, berjalan, maupun berdiri. Kita dapat mengetahui postur kita sebagaimana adanya, dan merasakan sensasi yang muncul dalam tubuh kita. Kita dapat mengamati semua itu dengan pikiran yang antap dan tenang. Dan tentu saja, pikiran juga merupakan suatu subyek pengamatan. Jadi kita juga dapat mengamati keadaan pikiran kita. Semua dapat diamati � kesedihan, depresi, ketidak-tenangan, kekuatiran, pikiran-pikiran �dan semua itu akan lenyap, dan timbullah ketenangan hati, kedamaian, dan kebijaksanaan. Situasi yang sehat dan tidak sehat akan datang dan pergi. Kita dapat menyaksikan semua itu dengan penuh pengertian dan ketenangan hati. Kadang kita dapat memancarkan �metta� (cinta kasih). Sesering mungkin kita dapat mendoakan semua makhluk:

Semoga semua makhluk sehat dan berbahagia.
Semoga mereka bebas dari rasa sakit dan bahaya.
Semoga mereka bebas dari penderitaan mental.
Semoga mereka bebas dari penderitaan fisik.
Semoga mereka menjaga diri mereka sendiri dengan bahagia.*


Dengan cara ini juga, kita dapat melewati waktu dengan menyenangkan bahkan walaupun kita harus terbaring sakit. Kita dapat memancarkan cinta kasih kepada para dokter, suster, dan sesama pasien. Kita juga dapat mengirimkan cinta kasih kita kepada orang-orang yang kita sayangi, anggota-anggota keluarga dan teman. Terlebih lagi, kita dapat merenungkan Dhamma setiap saat, mengingat-ingat apa yang telah kita baca, dengar, atau mengerti. Dengan melakukan perenungan seperti itu, kita dapat menganggapi penderitaan kita dengan penuh kebijaksanaan dan ketenangan hati.

==========================
* Keterangan lebih lanjut mengenai latihan meditasi metta dapat ditemukan dalam buku �Menghalau Kemarahan Menyebarkan Cinta Kasih� (�Curbing Anger Spreading Love)�. Lihat catatan kaki pada halaman sebelumnya.
==========================

Instruksi dari Sang Buddha adalah kita harus selalu mengelola pikiran kita, melakukan meditasi, dan tetap melakukannya walaupun kita sedang sakit. Malah sesungguhnya pada saat-saat seperti itulah kita harus lebih berusaha untuk melatih kesadaran diri kita. Siapa tahu, Nibbana atau kebijaksanaan tertinggi dapat tercapai ketika kita menghembuskan napas terakhir kita! Dalam catatan kuno, Sang Buddha bersabda mengenai seorang bhikkhu yang sedang menderita sakit � didera oleh rasa sakit secara fisik yang memilukan, tajam, menusuk, menganggu, tidak nyaman, yang menyiksa dan memeras hidupnya. Namun bhikkhu tersebut tidak kecil hati, malah merasakan �samvega� � suatu semangat untuk terus berusaha/berjuang bahkan dalam detik-detik terakhir hidupnya. �Dia berusaha sebaik-baiknya,� kata Sang Buddha. �Pikirannya sangat terpusatkan pada Nibbana, dia menyadari dengan sendirinya kebenaran yang utama, dia melihat dan menembusnya dengan kebijaksanaan.�

Thanx to: Singthung

100
Buddhisme untuk Pemula / Hiri dan Ottappa
« on: 04 August 2009, 02:40:16 PM »
Untuk menunjang pelaksanaan sila pada diri seseorang, Hiri dan Ottapa akan banyak membantu.

Yang dimaksud dengan Hiri adalah perasaan malu, sikap bathin yang merasa malu bila melakukan kesalahan atau kejahatan. Ottapa artinya enggan berbuat salah atau jahat, sikap bathin yang merasa enggan tahu takut akan akibat perbuatan salah mapun jahat, baik melalui pikiran, kata-kata maupun perbuatan badan jasmani.

Sang Buddha bersabda, "Ada dua hal yang jelas, Oh Bhikkhu, untuk melindungi dunia. Hiri dan Ottappa (malu dan takut), bila kedua hal ini tidak menjadi pelindung dunia, maka seseorang tidak menghargai ibunya, tidak menghargai bibinya, tidak menghargai kakak iparnya, tidak menghargai istri gurunya....." - (Anguttara Nikaya II.7)

Hiri dan Ottappa disebut juga Dhamma pelindung dunia (Lokapala). hiri dan Ottappa termasuk dalam Tujuh Kekayaan Ariya atau 7 kekuatan Dhamma, yaitu Tujuh Kekayaan Ariya menurut kitab Anguttara Nikaya IV.51:


1. Saddha = memiliki keyakinan

2. Sila = menjaga ucapan dan perbuatan salah

3. Hiri = batin yang malu melakukan kejahatan

4. Ottappa = merasa takut dan ngeri akibat perbuatan jahat

5. Bahusacca = mendengarkan Dhamma dan memahami kegunaannya

6. Caga = melepaskan, meninggalkan, dan membagi-bagikan barang-barang kepada orang-orang yang membutuhkan

7. Panna = mengetahui yang berguna dan yang tidak berguna (bijakasana)


Tujuh kekuatan Dhamma (Bala Tujuh)


1. Saddha-Bala = kekuatan dari keyakinan.

2. Viriya-Bala = kekuatan dari semangat (usaha).

3. Hiri-Bala = kekuatan dari malu, malu berbuat salah (jahat).

4. Ottappa-Bala = kekuatan dari takut, takut berbuat salah (jahat).

5. Sati-Bala = kekuatan dari kesadaran.

6. Samadhi-Bala = kekuatan dari konsentrasi.

7. Panna-Bala = kekuatan dari kebijaksanaan.


Ketujuh kekuatan Dhamma di atas adalah bersifat batin yang akan menimbulkan kata-kata dan perbuatan baik atau akan mencegah kata-kata dan perbuatan jahat.

Contoh memiliki Hiri dan Ottappa dalam menunjang pelaksanaan sila:

Memiliki Hiri;


1. Karena malu bila kelak disebut sebagai seorang yang kejam, kita menghindari pembunuhan dan penganiyaan.

2. Karena malu bila kelak dijauhi oleh kawan-kawan dalam pergaulan, kita menghindari pencurian.

3. Karena malu bila kelak diperguncingkan orang-orang, kita menghindari perbuatan asusila.

4. Karena malu bila kelak kata-kata itu tidak didengar orang lagi, kita menghindari kata-kata dusta.

5. Karena malu bila kelak kita kategorikan sebagai pemabuk, kita menghindari minuman keras. Dan lain sebagainya..


Memiliki Ottappa;


1. Karena takut kelak akan masuk alam neraka, kita menghindari pembunuhan.

2. Karena takut bila kelak banyak timbul penyakit atau berusia pendek, kita menghindari pembunuhan dan penganiayaan.

3. Karena takut masuk penjara, kita akan menghindari pencurian.

4. Karena takut mendapat musuh, kita menghindari perbuatan asusila.

5. Karena takut dicontoh anak-anak, kita menghindari kata-kata dusta.

6. Karena takut wataknya dicela orang, kita menghindari minuman keras. Dan contoh-contoh lain sebagianya


Hiri bersumber dari dalam diri sendiri, sedangkan ottappa lebih dipengaruhi hal-hal yang di luar diri kita.

Hiri bersifat otonom, timbul sendiri (attadhipati) , sedangkan Ottappa bersifat heteromus; lebih dipengaruhi oleh lingkungan dan masyarakat (lokadhipati)

Hiri terbentuk oleh rasa malu, sedangkan Ottappa dibentuk oleh rasa takut.

Hiri ditandai dengan adanya sifat yang konsisten, sedangkan Ottappa ditandai dengan adanya kemampuan mengenal bahaya dan takut melakukan kesalahan.

Sumber subyektif dari Hiri adalah pandangan dan ide-ide yang berhubungan dengan kelahiran, usia, kedudukan, sosial atau kehormatan diri, dan tingkat pendidikan. Maka seseorang yang memiliki Hiri akan berpikir, "hanya orang-orang udik, anak-anak dan orang-orang tak berpendidikan yang akan berpandangan dan berbuat demikian", maka oleh karena itu ia akan menghindari pandangan yang sempit dan perbuatan yang salah.

Sumber eksternal dari Ottappa adalah pandangan dan ide-ide bahwa sesuatu yang berkuasa (Tuhan, makhluk-makhluk agung, polisi, orang tua, guru, atasan dan sebagainya) akan mempersalahkannya, maka oleh karenanya ia menghindari perbuatan-perbuatan yang salah.

Dengan Hiri, seseorang bercermin kepada kehormatan dirinya, kelahirannya, gurunya, kedudukannya, sosialnya, perguruannya, atau masyarakat dimana ia berada. Sedangkan dengan Ottappa, seseorang takut pada dirinya sendiri, takut dipersalahkan orang-orang, takut pada balasan Hukum karma, dan takut menerima akibatnya pada kehidupan mendatang.

Apabila seseorang memiliki Hiri, maka dirinya sendirilah yang paling tepat menjadi guru dan pengawasnya yang terbaik. Apabila seseorang lebih sensitif terhadap Ottappa, maka ia sebaiknya mengikuti bimbingan dan peraturan dari seseorang ataupun dari suatu ajaran yang baik dan diyakininya.

Thx to: Singthung

101
Buddhisme untuk Pemula / Jadilah Dhammaduta
« on: 04 August 2009, 02:38:55 PM »
Pergilah kalian, demi kebaikan semua, demi kebahagiaan semua, atas dasar belas kasih kepada dunia, demi manfaat, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia. Janganlah pergi berdua dalam satu jalan. Babarkanlah Dhamma ini, yang indah pada awalnya, indah pada tengahnya, dan indah pada akhirnya.
~ Buddha Gotama (Marakatha, Mahavagga Pali, Vinaya Pitaka I:8)


AJARAN MISIONARI PERTAMA


Kutipan ayat di atas cukup menjelaskan bahwa ajaran Buddha adalah ajaran misionari pertama dalam sejarah dengan pesan universal bagi kebaikan (be good) dan kebahagiaan (be happy) segenap makhluk.

Setelah memeriksa alam semesta, Buddha mengetahui bahwa ada beberapa makhluk yang mampu memahami Dhamma yang pelik ini. Buddha memutuskan untuk mengajarkan Dhamma dengan mengatakan: "Pintu Nibbana kini telah terbuka. Aku akan membabarkan Dhamma kepada segenap makhluk agar mereka yang meyakini dan mau mendengarnya meraih manfaatnya." Setelah itu Buddha berkeliling India selama 45 tahun dengan hanya makan satu kali sehari dan tidur satu jam sehari, mengajarkan tentang kenyataan penderitaan dan jalan keluar dari penderitaan.

PRINSIP MISIONARI BUDDHIS

Demi kebaikan dan kebahagiaan semua makhluk.
Inilah motif dasar sekaligus akhir dari setiap misionari Buddhis; bukan sekadar demi kemuliaan Buddha atau keunggulan Dhamma semata.

Ehipassiko (Datang dan Lihatlah Sendiri).
Kebebasan berpikir dan bertanya itu sungguh penting; ajaran Buddha dijalankan secara "ehipassiko", yang artinya mengundang Anda untuk datang dan melihat sendiri, bukan datang dan percaya begitu saja.

Tidak Ada Fanatisme.
Ajaran Buddha dapat dikatakan bebas dari segala bentuk fanatisme. Ajaran Buddha bertujuan untuk menghasilkan perubahan internal dengan jalan penaklukan diri sendiri; bagaimana mungkin ajaran Buddha dikatakan mencari kekuasaan atau keuntungan sepihak? Buddha hanya menunjukkan jalan kebahagiaan, selanjutnya terserah setiap orang untuk memutuskan akan mengikutinya atau tidak.

Tidak Mengubah Agama Orang.
Umat Buddha tidak pernah menarik masuk dengan cara memaksakan pendapat dan keyakinan terhadap orang yang tidak berminat; juga tidak menggunakan berbagai rayuan atau tipuan untuk memenangkan pandangannya. Misionari Buddhis tidak pernah bersaing untuk mengubah agama orang.

Dalam Sutta Udumbara, Buddha berkata: "Aku tidak mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku. Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan gurumu yang lama. Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu, karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan. Cobalah apa yang telah Kutemukan ini, dan nilailah oleh dirimu sendiri. Jika itu baik bagimu, terimalah. Jika tidak, janganlah engkau terima."

Toleransi Luar Biasa.
Toleransi umat Buddha diteladankan oleh Kaisar Asoka dalam salah satu dekritnya yang terukir di batu karang dan masih ada sampai hari ini di India:

"Seseorang seharusnya tidak hanya menghormati agamanya sendiri dan mencela agama lain, tapi juga harus menghormati agama lain karena satu dan lain hal. Dengan bertindak demikian, seseorang membantu agamanya sendiri untuk tumbuh sekaligus memberikan pelayanan bagi agama lain. Dengan bertindak sebaliknya, seseorang menggali kubur bagi agamanya sendiri sekaligus merugikan agama lain."

"Barang siapa yang menghormati agamanya sendiri dan mengutuk agama lain, melakukannya demi pemujaan terhadap agamanya sendiri, berpikir, 'Saya akan memuliakan agama saya sendiri,' dengan berbuat demikian ia justru melukai agamanya sendiri. Kerukunan itu baik; biarlah semua mendengar dan berniat untuk mendengarkan ajaran yang dianut oleh orang lain."

JADILAH DHAMMADUTA

Penyebarluasan Dhamma hanya akan berhasil jika kita semua ikut berinisiatif dan bertanggung jawab dalam misi ini. Jadikanlah diri Anda sebagai Dhammaduta yang proaktif. Citra dan perkembangan ajaran mulia ini ada di tangan Anda. Kalau bukan Anda, lantas siapa lagi?

Kegiatan Dhammaduta dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti terlibat dalam penyelenggaraan ceramah Dhamma, menerbitkan dan membagikan buku Dhamma, serta berbagi Dhamma kepada yang berminat.

Pada prinsipnya, cara terbaik untuk membabarkan Dhamma adalah dengan menjadikan diri kita sendiri sebagai panutan bagi orang lain, melalui pikiran, perkataan, dan perbuatan sehari-hari kita. Itu pulalah cara mengajar yang terbaik: keteladanan perilaku, bukan sekadar indah dalam ucapan dan penampakan.

Thx to: Singthung

102
Buddhisme untuk Pemula / Asal Usul Pujian
« on: 04 August 2009, 08:54:43 AM »
Demikianlah yang telah saya dengar:

Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang menetap di dekat Savatthi di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Saat itu brahmana Janussoni sedang keluar dari Janussoni melihat pertapa Pitolika sedang mendatanginya dari jarak tertentu dan melihatnya, ia berkata demikian kepada pertapa Pitolika: "Tuan, saya datang atas kehadiran pertapa Gotama".

"Bagaimana menurutmu, Vacchayana? Apakah pertama Gotama memiliki kebijaksanaan yang luhur? Apakah menurutmu Beliau bijaksana?"

"Namun, sipakah saya ini, Tuan, sehingga saya seyogiannya mengetahui apakah pertapa Gotama memiliki kebijaksanaan luhur atau tidak? Tentu saja hanya orang seperti Beliau yang dapat mengetahui apakah pertapa Gotama memiliki kebijaksanaan luhur".

"Tak diragukan lagi, dengan pujian yang luhur bahwa yang terhormat Vacchayana memuji pertapa Gotama".

"Namun, siapakah saya ini, Tuan, sehingga saya segoyianya memuji pertapa Gotama? Dipuji oleh yang patut dipuji itulah Yang Mulia Gotama, pemimpin para dewa dan manusia".

Ketika hal ini telah diucapkan, brahmana Janussoni turun dari kendaraannya yang serba putih, dan setelah merapikan pakaian atasnya ke bahu, setelah bernamaskara kepada Sang Bhagava, beliau memuji Sang Buddha tiga kali dengan pujian berikut:

"Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa !
Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa !
Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa"

Serta merta, kalimat yang merupakan ekspresi pujian dan pujian ini cukup luas diketahui, sehingga beberapa umat awam, beberapa umat Buddha dan beberapa brahmana serta sedikitnya seorang Raja, telah mengucapkan kata-kata pujian ini. Oleh karena itu, bilamana saat ini kita membacakan kta-kata ini, ini merupakan rangkaian suara sejak masa lalu, sejak zaman sang Buddha masih hidup. Kita dapat membacakannya seperti brahmana ini melakukannya:

NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO SAMMA SAMBUDDHASSA !

Sebanyak tiga kali di dalam bahasa Pali, atau dengan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, yang artinya : "Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna".

103
Buddhisme untuk Pemula / Saddha
« on: 04 August 2009, 08:47:26 AM »

Saddha adalah keyakinan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha. Berikut adalah penjelasan singkat tentang Saddha:

1) Keyakinan terhadap Buddha: Yakin bahwa Guru Gotama adalah seorang Buddha, patut dihormati, sungguh sempurna, pemilik kebijaksanaan termulia dan pemilik moral terluhur, yang telah tercerahkan, pengenal alam semesta, pelatih makhluk, guru para dewa dan manusia, sempurna peneranganNya, dan termulia.

2) Keyakinan terhadap Dhamma: Yakin bahwa Dhamma yang sempurna yang diajarkan Guru Gotama dapat dilihat langsung, kekal keberadaanNya, mengajak diri kita untuk melihat dan mengujiNya, sifatnya menunjuk ke diri kita sendiri, dan hanya dapat dimengerti oleh orang-orang bijaksana.

3) Keyakinan terhadap Sangha: Yakin bahwa murid-murid Guru Gotama (Sangha) melatih diri mereka secara baik, berkelakuan baik, menelusuri jalan yang benar, mengikuti ajaranNya dengan benar. Tercakup didalam Sangha ini adalah empat kelompok orang-orang suci dan delapan kelompok jenis individual. Merekalah murid Beliau yang patut diasuh dan dirawat kebutuhannya, patut dihormati dan diberikan dana, lahan termakmur dari segala lahan jasa.

Ada 2 jenis keyakinan dalam agama Buddha, yakni keyakinan yang tak dilahirkan dari pencerahan (non-aryan) dan keyakinan yang dilahirkan dari pencerahan (aryan). Pencerahan disini ditujukan kepada kesuciaan tingkat pertama, Sotapanna. Dengan kata lain, seorang yang belum mencapai kesuciaan Sotapanna memiliki keyakinan jenis pertama (non-aryan). Sedangkan seorang yang telah mencapai kesucian memiliki keyakinan jenis kedua (aryan) yang tak terukur nilainya.

Seseorang hanya akan mencapai kesuciaan Sotapanna setelah ia menyadari langsung ajaran �tanpa jiwa yang kekal.� Yakni, segala sesuatu�baik itu gejolak mental maupun fisik�bersifat sementara: muncul dan lenyap. Pengertiaan ini dengan sendirinya membuat keyakinannya terhadap Buddha (Guru yang mengajarkan ajaran tersebut), Dhamma (ajaran tersebut), dan Sangha (mereka yang mengikuti ajaran tersebut) tak tergoyahkan lagi.

Tanpa melihat langsung ajaran �tanpa jiwa yang kekal� dengan perhatian benar, seseorang hanya akan mengetahui tetapi belum mampu menyadarinya secara langsung. Hal ini dapat diibaratkan seorang murid sains yang mempelajari teori mitosis (satu sel membelah diri menjadi dua) tetapi belum pernah melihat langsung proses mitosis. Jadi murid tersebut hanyalah mempercayai teori mitosis. Ia mempercayai apa yang ia pelajari. Hanya setelah ia menempuh pengetahuan biologi yang lebih tinggi, barulah ia mempunyai kesempatan melihat langsung proses mitosis (dengan florescent microscope, dll). Begitu pula dengan seseorang yang hanya belajar tentang ajaran �tanpa jiwa yang kekal.� Ia belum mampu menyadarinya secara langsung, tetapi hanya mempercayainya.

Jadi dalam agama Buddha, keyakinan itu baru boleh dikatakan keyakinan yang tak tergoyahkan setelah seseorang menyadari langsung kenyataan tersebut.

Sang Buddha mengatakan bahwa di seluruh jagad raya ini, hanya ajaranNyalah yang mampu membuat seseorang menyadari kenyataan yang sungguh sulit disadari ini (Dhamma). Di ajaran agama lain tidak terdapat 4 jenis orang suci: Sotapanna, Sakadagami, Anagami, dan Arahat (Maha Parinibbana Sutta). Tetapi Beliau tidak menyuruh kita untuk percaya buta apa yang Beliau katakan. Beliau bersabda, �Marilah dan lihatlah sendiri...� (ehipassiko).

Di Kalama Sutta juga ditegaskan bahwa kita seharusnya tak mempercayai sesuatu hal, biarpun hal itu diuraikan sendiri oleh seseorang yang sangat kita hormati. Kita harus menyimak ajaran tersebut terdahulu dan menyadari, �Ini adalah ajaran yang mengajarkan kebaikan (melenyapkan ketamakan, kedengkian dan menjernihkan pikiran) walaupun konsep yang diajarkan ajaran ini belum tentu benar (jiwa yang tak kekal, dll). Bagaimana sekiranya bila saya mengikuti ajaran ini untuk kelak kulihat sendiri kebenarannya?� (Untuk dapat melihatnya, seseorang harus menjernihkan pikirannya terlebih dahulu). Begitulah pemikiran seorang yang bijaksana.

Maka selayaknyalah seorang Buddhis rajin mempelajari Dhamma. Dhamma dapat dipelajari dari Sutta dan dari bimbingan Bhikkhu. Dengan bekal pengertiaan Dhamma tersebut, ia akan dengan mudah mengikuti latihan Buddhis. Latihan ini mencakup dana, sila, dan pengembangan batin. Latihan ini akan terus meningkatkan keyakinannya terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha.

Sang Buddha bersabda, �Bagaikan seorang petani yang tak boleh menunda 3 hal ini, yakni mempersiapkan lahannya, menanam bibit, dan mengaliri lahannya; seorang Buddhis juga tak boleh menunda 3 hal ini, yakni melatih sila, samadhi, dan panna. Dan bagaikan seorang petani yang tak mampu berkata, �oh biarlah panen besok,� begitu pula seorang Buddhis tak mampu berkata, �oh biarlah kucapai kesucian besok.� (Accayika Sutta).

Semoga bermanfaat.

104
Buddhisme untuk Pemula / BAGAIMANA BERDOA YANG BENAR?
« on: 04 August 2009, 12:18:15 AM »
"Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang ternoda. Oleh diri sendiri kejahatan tidak dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri; tak seorang pun dapat menyucikan orang lain."

(Sutta Pitaka, Khuddaka Nikaya: Dhammapada, 165)
[/b]



Bagaimana umat berdoa selama ini? Ada yang ke vihara/kelenteng dan meminta berkah pada patung dewa-dewi. Ada yang berdoa di hadapan langit untuk memohon berkah Tuhan dan dewa-dewi. Ada yang di depan altar dan membaca doa/paritta/mantra/keng lalu disalurkan bagi kebahagiaan makhluk lain dengan harapan jasa baik dari perbuatan tersebut melimpahkan kebahagiaan dan membebaskan orang tersebut dari penderitaan. Ada lagi yang curhat dalam hati dengan Tuhan/dewa-dewi di ruangan kamar. Agama lain pun memiliki cara berdoa sendiri yang apabila kita tidak mengerti seringkali kita menertawakan cara orang berdoa yang berbeda-beda. Tetapi sangat disayangkan jika ada orang dari agama tertentu merendahkan cara berdoa umat dari agama lain dan menganggap cara mereka sendiri adalah yang paling benar!

Mereka yang menganggap caranya berdoa adalah yang paling benar dan merendahkan cara berdoa orang lain adalah orang yang benar-benar rendah! Mungkin agamanya sendiri telah mengajarkan untuk merendahkan penganut agama lain, atau mungkin karena cara berpikirnya sendiri yang picik dan fanatik. Apa pun alasannya, seharusnya seseorang tidak merendahkan cara berdoa agama lain atas dasar toleransi dan keterbukaan atas perbedaan!

Bagi seorang Buddhis, cara berdoa yang benar bukanlah dengan meminta dan memohon pada dewa-dewi meskipun hal itu tidak dilarang. Sang Buddha sangat memaklumi cara umat awam yang masih terikat kehidupan duniawi. Setiap manusia mengharapkan kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan kebahagiaan keluarganya. Setiap orang mendambakan kehidupan yang bahagia. Tidaklah salah jika mereka berdoa bagi kebahagiaannya dengan memohon para dewa untuk melindungi dan melimpahkan kebahagiaan bagi keluarganya.

Tetapi perlu diingat bahwa para dewa-dewi adalah makhluk yang hidup dalam kebahagiaan surgawi. Mereka memang dapat membantu manusia, seperti halnya manusia yang saling tolong-menolong, tetapi masih dalam batasan-batasan tertentu, dan semuanya kembali kepada apakah kita memiliki simpanan karma baik yang memungkinkan kita untuk ditolong oleh para dewa tersebut, seperti halnya dokter yang bisa mengobati penyakit kita selama ada obat dan selama penyakit kita masih dapat disembuhkan, serta disiplin kita sendiri untuk memenuhi anjuran dokter.

Dalam berdoa, kita tidak perlu bertele-tele atau panjang-panjang. Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Kuasa, jikalau Ia memang ada, maka Ia sudah mengetahui sejak semula apa yang paling kita harapkan karena sifat Ke-MahaTahu-anNya, dan Ia berkuasa atas doa-doa kita karena sifat ke-MahaKuasa-anNya. Berdoalah jika hal itu dapat lebih menenangkan diri kita atas masalah-masalah yang kita hadapi. Katakan kepada Tuhan bahwa kita percaya bahwa Dia sudah mengetahui apa yang paling kita harapkan, sehingga kita tidak perlu curhat panjang-lebar, buang-buang waktu, kecuali kita percaya bahwa Tuhan tidak tahu kebutuhan kita sebelum kita menceritakannya. Oh, Tuhan, Kau tahu yang kumau!

Sekalipun kita tidak percaya keberadaan Tuhan, hal itu tidaklah terlalu bermasalah. Bahkan seorang Buddhis dituntut untuk menjadi mandiri. Seorang Buddhis yang sudah lebih jauh pemahamannya tentang hukum karma sangat yakin bahwa segalanya tergantung kepada diri sendiri. Tidak ada kekuatan eksternal yang mampu menghalangi proses kerja hukum ini bahkan seorang Buddha sekalipun tidak memiliki kuasa untuk mengatur hukum kehidupan ini. Setiap manusia harus bertanggung jawab sepenuhnya kepada diri sendiri atas segala yang dikerjakannya. Karena dia sendiri yang berbuat, dia sendiri pula yang harus bertanggung-jawab. Dalam konteks ini, Tuhan ada atau tidak mengawasi kita, seseorang tetap harus berbuat yang baik dan menghindari yang jahat karena adanya hukum moral yang bekerja di alam semesta ini yang berlaku universal. Seperti halnya setiap orang hendaknya mematuhi peraturan bukan karena ada polisi tetapi karena ada hukum yang mengatur setiap pelanggaran.

Sang Buddha mengajarkan kita untuk bermeditasi dengan instropeksi ke dalam diri, mengalahkan keinginan-keinginan kita sendiri yang disebabkan oleh keakuan. Jika kita sudah dapat sampai tahap ini, berdoa tidaklah penting lagi karena kita menyadari bahwa segala penderitaan sesungguhnya berasal dari dalam diri sendiri dan oleh karena itu harus dibasmi dari akar-akarnya, yakni dari dalam diri sendiri, bukan dengan memohon perlindungan eksternal. Tidak seorang pun dapat menyelamatkan yang lain, bahkan seorang dewa brahma sekalipun tidak dapat membebaskan kita dari penderitaan samsara (arus kelahiran kembali)! Hanya oleh diri sendirilah pembebasan mutlak nibbana dapat dicapai melalui usaha yang gigih seperti yang telah dicapai oleh Sang Buddha! (bd)

Thx to: Singthung

105
Buddhisme untuk Pemula / Buddhisme, Satu-Satunya Sains Yang Sejati
« on: 04 August 2009, 12:14:11 AM »
Perth, Australia -- Saya dulunya seorang ilmuwan. Saya belajar Ilmu Fisika Teoritis di Universitas Cambridge, berada di dalam gedung yang sama dengan seseorang yang kemudian dikenal sebagai Profesor Stephen Hawking. Saya menjadi kecewa dengan sains ketika sebagai orang-dalam, saya melihat betapa menjadi dogmatisnya seorang ilmuwan. Dogma, menurut kamus, merupakan pernyataan arogan dari sebuah opini.(1)

Ini merupakan suatu uraian yang sesuai dari sains yang saya saksikan di laboratorium Cambridge. Sains telah kehilangan rasa malunya. Opini yang bersifat egoistis mengalahkan pencarian Kebenaran yang berimbang. Aforisme (peribahasa) favorit saya pada waktu itu adalah: �Keunggulan seorang ilmuwan besar diukur oleh banyaknya waktu yang mereka gunakan untuk MERINTANGI KEMAJUAN di dalam bidang mereka!�

Untuk memahami sains yang sebenarnya, seseorang bisa kembali kepada salah satu bapak pendirinya, seorang filosof Inggris, yaitu Francis Bacon (1561 � 1628). Ia menyelesaikan kerangka kerja yang dengannya sains mengalami kemajuan, yaitu �kekuatan besar dari kasus-kasus penolakan"

Ini berarti bahwa, dalam mengajukan sebuah teori untuk menjelaskan beberapa fenomena alam, maka seseorang harus mencoba sebaik mungkin untuk bisa membuktikan kebalikan dari teori itu! Seseorang seharusnya menguji teorinya dengan eksperimen yang menantang. Seseorang harus mengujinya dengan argumen yang ketat.

Hanya ketika suatu kelemahan muncul pada teori, maka sains itu mengalami kemajuan. Sebuah penemuan baru telah memungkinkan sebuah teori untuk dapat disesuaikan dan diperbaiki. Metodologi sains yang fundamendal dan murni ini memahami bahwa tidaklah mungkin untuk membuktikan semuanya dengan kepastian yang mutlak. Seseorang hanya bisa menyangkal (membuktikan kebalikan) dengan kepastian yang mutlak.

Sebagai contoh, bagaimana seseorang dapat membuktikan hukum dasar gravitasi yang mengatakan �apa yang naik akan turun dengan segera?� Seseorang bisa melempar ke atas beberapa objek sebanyak sejuta kali dan melihat objek-objek tersebut jatuh sebanyak sejuta kali. Tetapi tetap tidak membuktikan �apa yang naik akan turun�.

Bagi NASA, mungkin setelah �melempar� roket Saturnus ke atas, ke ruang angkasa untuk menjelajahi planet Mars, maka roket itu tidak pernah turun ke bumi lagi. Sebuah kasus negatif cukup untuk menyangkal (membuktikan kebalikan) dari teori dengan kepastian mulak.

Beberapa ilmuwan yang salah arah mempertahankan teori bahwa tidak ada kelahiran kembali, mengatakan bahwa arus kesadaran ini tidak dapat kembali kepada keberadaan manusia secara berlanjut. Menurut sains, seseorang perlu menyangkal (membuktikan kebalikan) teori ini, yaitu dengan menemukan satu kasus kelahiran kembali, hanya satu kasus!

Seperti beberapa dari Anda sudah mengetahuinya, Professor Ian Stevenson, telah mendemonstrasikan banyak kasus kelahiran kembali. Teori tidak ada kelahiran kembali telah dapat disangkal. Kelahiran kembali sekarang adalah sebuah fakta ilmiah!

Sains modern memberikan prioritas yang rendah bagi usaha apapun untuk menyangkal (membuktikan kebalikan) teori yang ia pelihara. Ada terlalu banyak kepentingan kekuasaan, gengsi dan dana penelitian. Komitmen yang berani untuk kebenaran akan membuat terlalu banyak ilmuwan keluar dari zona kenyamanan mereka.

Para ilmuwan, sebagian besar, telah dicuci otaknya oleh pendidikan mereka dan dalam kelompok mereka untuk melihat dunia dengan cara yang sangat sempit, sangat kecil sekali. Ilmuwan yang paling parah adalah mereka yang berkelakuan seperti evangelis eksentrik (2), mengklaim bahwa hanya mereka sajalah yang memiliki seluruh kebenaran, dan kemudian merasa berhak untuk memaksakan pandangan-pandangan mereka kepada orang lain.

Orang awam mengetahui begitu sedikit mengenai sains, bahkan mereka sukar untuk memahami bahasa yang digunakan sains.

Kemudian, jika mereka membaca di surat kabar atau majalah �seorang ilmuwan mengatakan demikian?�, maka mereka langsung secara otomatis menerima hal itu sebagai kebenaran. Bandingkan hal ini dengan reaksi kita ketika kita membaca dalam jurnal yang sama �seorang politikus mengatakan demikian?�! Mengapa para ilmuwan memiliki kredibilitas yang tidak tertandingi seperti itu?

Mungkin ini disebabkan oleh bahasa dan ritual sains menjadi begitu jauh beralih kepada orang awam, dimana para ilmuwan kini menjadi dipuja-puja dan menjadi keimamaman yang mistis.

Berpakaian dengan pakaian upacara berupa jas laboratorium putih mereka, melafalkan bahasa yang tidak dapat dimengerti mengenai fraktal multi dimensi alam semesta yang paralel, dan mempertunjukkan upacara gaib yang mengubah logam dan plastik menjadi TV dan komputer, pada masa modern ini para ahli kimia begitu hebatnya sehingga kita akan percaya apapun yang mereka katakan. Ke-elitan sains menjadi sesuatu yang mutlak seperti halnya seorang Paus.

Beberapa orang mengetahui lebih baik. Banyak dari apa yang telah saya pelajari 30 tahun yang lalu sekarang telah terbukti salah. Sayangnya, banyak para ilmuwan dengan integritas dan rasa malu, yang menegaskan apa itu sains sesungguhnya, pekerjaannya masih dalam pengembangan.

Mereka mengetahui bahwa sains hanya dapat mengusulkan sebuah kebenaran, tetapi tidak akan pernah mencapai sebuah kebenaran. Saya pernah diceritakan oleh seorang praktisi Buddhis, dimana pada hari pertamanya di sekolah medis di Sydney, seorang Profesor terkemuka, kepala dari Sekolah Medis tersebut, memulai pidato penyambutannya dengan menyatakan �Setengah dari apa yang akan kami ajarkan kepada kalian pada beberapa tahun ke depan adalah salah. Permasalahannya adalah kami tidak tahu apa yang setengahnya lagi!� Itulah perkataan dari seorang ilmuwan sejati.

Beberapa ilmuwan evangelis akan melakukan sebaik mungkin untuk mengungkapkan perkataan kuno (yang sudah digubah) �Ilmuwan datang saat para malaikat takut untuk melangkah� dan mereka berhenti untuk membahas mengenai sifat alami pikiran, kebahagiaan, apalagi Nibbana. Khususnya para ahli neurology (ahli urat saraf) cenderung mengalami neurosis. (Neurosis : suatu ketundukan yang di luar batas terhadap pikiran-pikiran atau benda-benda yang tidak realistis) (3)

Mereka mengklaim bahwa pikiran, kesadaran dan kehendak, pada saat ini cukup dijelaskan melalui aktivitas di dalam otak. Teori ini telah disangkal lebih dari 20 tahun yang lalu oleh penemuan Prof. Lorber mengenai seorang pelajar di Universitas Sheffield yang memiliki IQ 126, lulusan terbaik dalam bidang matematika, tetapi ia tidak memiliki otak secara virtual (Science, Vol. 210, 12 Dec 1980)!

Yang terbaru, hal tersebut telah disangkal oleh Prof. Pim Van Lommel, yang mempertunjukkan keberadaan aktivitas kesadaran setelah kematian secara klinik, yaitu ketika seluruh aktivitas otak telah berhenti (Lancet, Vol. 358, 15 Desember 2001, p 2039).

Meskipun mungkin ada banyak hubungan antara sebuah aktivitas terukur di bagian otak dan kesan mental, beberapa peristiwa atau fakta yang ada secara berdampingan tidak selalu menyiratkan bahwa yang satu adalah penyebab dari yang lain. Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu, sebuah penelitian memperlihatkan sebuah hubungan yang jelas antara perokok dan tidak terjadinya gejala penyakit Alzheimer.

Bukanlah karena merokok yang menyebabkan kekebalan terhadap penyakit Alzheimer, seperti yang diharapkan oleh perusahaan tembakau, ini hanyalah karena para perokok tidak memiliki hidup yang cukup panjang untuk mendapatkan penyakit Alzheimer!

Contoh di atas merupakan peristiwa yang bersamaan dari dua fenomena, bahkan ketika terulang kembali, bukanlah berarti salah satu fenomena tersebut merupakan penyebab dari fenomena yang lainnya. Mengklaim bahwa aktivitas di dalam otak menyebabkan suatu kesadaran, atau pikiran, jelaslah bukan merupakan hal yang bersifat ilmiah.

Buddhisme lebih bersifat ilmiah dibanding dengan sains modern. Seperti halnya sains, Buddhisme berdasarkan pada hubungan sebab-akibat yang dapat dibuktikan. Tetapi tidak seperti sains, Buddhisme menghadapi setiap kepercayaan dengan saksama.

Kalama Sutta yang terkenal dalam Buddhisme menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mempercayai secara penuh pada �apa yang seseorang ajarkan, pada tradisi, kabar burung, kitab suci, logika, kesimpulan, penampilan, kesepakatan berdasarkan pada opini, berdasarkan kesan atas kemampuan sang guru, atau bahkan pada guru pribadi seseorang�.

Berapa banyak ilmuwan yang tegas dalam pemikiran mereka seperti ini? Buddhisme menghadapi segalanya, termasuk logika.

Perlu dicatat adalah bahwa Teori Kuantum muncul sebagai sesuatu yang tidak logis, bahkan bagi seorang ilmuwan besar seperti Einstein, ketika teori tersebut diajukan untuk pertama kalinya. Teori tersebut belum disangkal. Logika hanya dapat dipercaya sebagai anggapan-anggapan sebagai dasarnya. Buddhisme hanya mempercayai pengalaman yang jelas/jernih dan objektif.

Pengalaman yang jelas atau jernih terjadi ketika alat ukur seseorang berupa pikiran sehatnya, cermelang dan tidak terganggu. Dalam Buddhisme, hal ini terjadi ketika rintangan berupa kelambanan dan kemalasan serta keresahan dan penyesalan, seluruhnya dapat diatasi. Pengalaman yang objektif merupakan pengalaman yang bebas dari segala penyimpangan (bias).

Dalam Buddhisme, tiga jenis penyimpangan (bias) adalah, napsu keinginan, kehendak buruk dan keragu-raguan yang bersifat tidak pasti. Napsu keinginan membuat seseorang hanya melihat apa yang ingin ia lihat, napsu keinginan membelokkan kebenaran sehingga sesuai dengan apa yang disukai oleh seseorang. Kehendak buruk membuat seseorang buta pada apapun juga yang mengganggu atau yang membingungkan pandangan seseorang dan ia mengubah kebenaran dengan penyangkalan.

Keraguan yang tak pasti dengan keras kepala menolak segala kebenaran tersebut, seperti kelahiran kembali (tumimbal lahir), yang merupakan hal benar-benar sahih, tapi yang jatuh di luar dari kesesuaian dengan pandangan dunia.

Singkatnya, pengalaman yang jelas atau jernih dan objektif hanya tejadi ketika �Lima Rintangan� dalam diri seorang Buddhis telah diatasi. Hanya setelah itulah seseorang dapat mempercayai data yang datang melalui pengertian seseorang.

Karena para ilmuwan tidaklah bebas dari kelima rintangan ini, mereka jarang berpikir jernih dan objektif. Sebagai contoh, hal ini biasa bagi para ilmuwan untuk mengabaikan data yang mengganggu, yang tidak sesuai dengan teori-teori berharga mereka, atau yang lainnya adalah membatasi bukti-bukti tersebut untuk dilupakan dengan menyimpannya sebagai suatu `anomali` (ketidaknormalan).

Bahkan sebagian besar umat Buddha tidaklah berpikir jelas dan objektif. Seseorang haruslah memiliki pengalaman Jhana untuk menyingkirkan lima rintangan ini secara efektif (menurut Nalakapana Sutta, Majjhima Nikaya 68). Jadi hanyalah para meditator yang sempurna yang dapat mengklaim dirinya ilmuwan sejati, yang memiliki pikiran jelas dan objektif.

Sains mengklaim untuk tidak hanya mengandalkan pengamatan yang jernih dan objektif, tetapi juga pada pengukuran. Tetapi dalam sains, apakah yang disebut dengan pengukuran itu? Untuk mengukur sesuatu, menurut sains murni dari Teori Kuantum, adalah meruntuhkan Persamaan Gelombang Schroedinger melalui tindakan pengamatan (observasi).

Selain itu, bentuk Persamaan Gelombang Schroedinger �yang tak teruntuhkan�, dimana sebelum pengukuran apapun dilakukan, mungkin merupakan deskripsi yang paling sempurna sains dari dunia.

Itu merupakan deskripsi yang aneh! Menurut sains murni, realitas tidaklah terdiri atas unsur yang teratur baik dengan massa yang tepat, energi dan posisi di angkasa yang kesemuanya hanya menunggu untuk diukur. Realitas merupakan ketidakjelasan yang luas dari segala kemungkinan, hanya beberapa saja yang menjadi lebih jelas dibanding dengan hal yang lainnya.

Bahkan kualitas dasar "yang dapat diukur" seperti �hidup� atau �mati� yang telah didemonstrasikan oleh sains terkadang menjadi tidak berlaku. Dalam eksperimen pikiran `Schroedinger`s Cat` yang jahat, kucing Prof. Schroedinger secara cerdik ditempatkan pada situasi sebenarnya dimana ia tidaklah mati ataupun hidup, dimana pengukuran semacam demikian menjadi tidak berarti. Realitas, berdasarkan Teori Kuantum, adalah di luar ambang pengukuran. Pengukuran mengganggu realitas, ia tidak pernah mendeskripsikan realitas dengan sempurna.

Adalah `Prinsip Ketidakpastian` yang terkenal dari Heisenberg yang menunjukkan kesalahan yang tidak dapat dielakkan antara dunia Kuantum asli dan dunia terukur dari sains palsu.

Lagi pula, bagaimana setiap orang dapat mengukur sang pengukur, yaitu pikiran? Pada sebuah seminar baru-baru ini mengenai Sains dan Agama, dimana saya menjadi pembicara, seorang Katholik di dalam hadirin dengan beraninya mengumumkan bahwa setiap kali ia melihat bintang-bintang melalui teleskop, ia merasa tidak nyaman karena agamanya menjadi terancam.

Saya mengomentarinya bahwa setiap kali seorang ilmuwan melihat dengan cara yang terbalik melalui teleskop, untuk observasi orang yang sedang melihat, maka mereka merasa tidak nyaman karena sains mereka terancam oleh apa yang dilakukan oleh penglihatannya! Jadi apa yang dilakukan oleh penglihatan, apakah pikiran ini yang menghindar dari sains modern?

Suatu saat, seorang guru kelas satu bertanya kepada kelasnya, "Apakah benda yang terbesar di dunia?" Seorang gadis kecil menjawab, "Papaku". Seorang anak laki-laki kecil berkata, "Seekor gajah." Karena dia pernah ke kebun binatang baru-baru ini. Gadis yang lain mengusulkan, "Sebuah gunung".

Puteri berusia enam tahun dari sahabat karibku menjawab, "Mataku adalah benda yang paling besar di dunia!" Kelas itu terhenti. Bahkan guru tersebut tidak mengerti apa yang dijawabnya. Jadi sang filosofis kecil ini menjelaskan, "Yah, mataku bisa melihat papanya, seekor gajah dan sebuah gunung juga. Ia juga bisa melihat banyak lagi. Jika semuanya bisa sesuai ke dalam mataku, maka mataku pastilah benda terbesar di dunia!" Luar biasa!

Namun begitu, gadis kecil itu tidak sepenuhnya benar. Pikiran bisa melihat segala sesuatu yang bisa dilihat mata seseorang, dan ia juga bisa membayangkan begitu lebih banyak lagi. Pikiran juga bisa mendengar, membaui, merasakan dan menyentuh, sama baiknya dengan berpikir. Faktanya, segala sesuatu yang bisa diketahui bisa muat ke dalam pikiran. Oleh karena itu, pikiran pastilah benda yang terbesar di dunia. Kesalahan sains sudah jelas sekarang. Pikiran tidaklah berada di dalam otak, begitu pula di dalam tubuh. Otak, tubuh dan dunia beserta sisanya, ada di dalam pikiran!

Pikiran adalah indera keenam dalam Buddhisme, dialah yang mana memandu kelima panca indera yakni penglihatan, pendengaran, pembauan, pengecapan dan sentuhan, dan melebihi mereka dengan daerah kekuasaannya sendiri. Ia bersesuaian bebas dengan "Akal Sehat" dari Aristoteles yang mana bertentangan dari panca indera.

Memang benar bahwa filsafat Yunani kuno, dari mana sains dikatakan berasal, mengajarkan indera keenam sama seperti Buddhisme. Di suatu tempat bersamaan dengan perjalanan sejarah dari pemikiran orang Eropa, mereka kehilangan pikirannya! Atau, sama seperti Aristoteles yang akan mengemukakan demikian, mereka dengan suatu cara telah mengesampingkan "Akal Sehat" mereka! Dan demikianlah kita mendapatkan sains. Kita mendapatkan materialistis tanpa hati sedikitpun. Orang bisa dengan akuratnya mengatakan bahwa Buddhisme adalah sains yang menyimpan hatinya, dan yang tidak kehilangan pikirannya!

Demikianlah Buddhisme bukan suatu sistem kepercayaan. Buddhisme adalah sains yang ditemukan dalam observasi yang objektif, yaitu meditasi, selalu seksama untuk tidak mengganggu realitas melalui pengukuran buatan yang mengesankan, dan ia secara jelas dapat diulang.

Manusia telah menciptakan kembali kondisi-kondisi eksperimental, dikenal dengan menetapkan faktor-faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, selama lebih dari duapuluh enam abad sekarang, lebih lama dibandingkan dengan sains. Dan mereka Professor-Professor Meditasi yang ternama, Arahat-Arahat pria dan wanita, kesemuanya telah tiba pada kesimpulan yang sama seperti Sang Buddha.

Mereka telah membuktikan Hukum Dhamma yang abadi, atau dikenal sebagai Buddhisme. Jadi Buddhisme adalah satu-satunya sains yang sejati, dan saya gembira untuk mengatakan bahwa saya masih seorang ilmuwan dalam hati saya, hanya saja seorang ilmuwan yang lebih baik daripada apa yang pernah saya dulunya dapatkan di Cambridge.

--end--
Y.M. Ajahn Brahmavamso Mahathera dilahirkan di Peter Betts di London, Inggris pada tanggal 7 Agustus 1951. Beliau adalah kepala bhikkhu dari Vihara Bodhinyana di Australia Barat, Direktur Spiritual dari Buddhist Society Australia Barat, Penasihat Spiritual dari Buddhist Society Victoria, Penasihat Spiritual dari Buddhist Society Australia Selatan, Pelindung Spiritual dari Buddhist Fellowship di Singapura, dan Pelindung Spiritual dari Bodhikusuma Centre di Sydney.

Courtesy: Buddhist Society of Western Australia.

Catatan:

1. dogma: pokok ajaran tentang kepercayaan yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan.(sbr: KBBI)

2. evangelis: seseorang yang berusaha mengalihyakinkan kepercayaan orang lain ke dalam ke-kr****n-an.(sbr: Oxford Dictionary)

3. neurosis: penyakit syaraf yang berhubungan dengan fungsinya tanpa ada kerusakan organik pada bagian-bagian susunan syaraf.(sbr: KBBI)

Judul asli: Buddhism, The Only Real Science
Oleh: Ven. Ajahn Brahmavamso Mahathera
 Thanx to : Singthung

Pages: 1 2 3 4 5 6 [7] 8
anything