//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - No Pain No Gain

Pages: 1 2 3 4 5 [6] 7 8
76
Buddhisme untuk Pemula / Seorang Kakek Dalam Keranjang
« on: 10 April 2010, 11:32:27 AM »
Tersebutlah sebuah kisah yang amat terkenal di Asia, yang menceritakan tentang kekejaman seorang lelaki terhadap ayah kandungnya sendiri.

Pada suatu ketika tinggallah sepasang suami isteri muda yang mempunyai seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun. Ayah si suami itu tinggal bersama mereka, ia sudah amat tua, sangat lemah serta sulit untuk berjalan sendiri. Isteri muda itu amat tidak menyukai kehadiran ayah mertuanya di antara mereka. Tetapi suaminya, amat menyayangi ayahnya dan selalu menenangkan isterinya untuk merawat orangtuanya dengan baik.

Pada suatu malam, si isteri itu menunggu sampai anak laki-lakinya tidur nyenyak, ia lalu meminta kepada suaminya untuk menyingkirkan ayah mertuanya itu dari rumahnya, apabila suaminya ingin tetap hidup bersamanya.

Suaminya amat sedih dan merasa tidak berdaya menghadapi permintaan isterinya itu. Akhirnya ia menyetujui permintaan isterinya, supaya kehidupan rumah tangganya tidak terganggu lagi oleh ayahnya yang sudah tua renta itu.

Setelah yakin anaknya sudah tidur nyenyak, mereka lalu merencanakan bagaimana caranya untuk membuang ayahnya itu. Si isteri berkata : "Besok pagi-pagi sekali, kamu harus katakan kepada ayahmu, bahwa kamu akan membawanya ke tempat ziarah. Taruh saja dia di dalam keranjang besar dan bawa dia ke dalam hutan lebat. Tinggalkan saja di sana, biar dimakan binatang buas, setelah itu cepat-cepat pulang ke rumah."

Keesokkan paginya, anak laki-laki itu bangun pagi-pagi sekali. Seperti yang telah direncanakan orangtuanya, si ayah membawa kakeknya yang dimasukkan ke dalam keranjang besar dan pergi keluar. Anak itu lalu bertanya :
"Ayah, mau dibawa kemana kakekku ini?"

"Anakku, saya akan membawanya pergi berziarah."

"Baiklah ayah, tetapi jangan lupa ya membawa pulang kembali keranjang besar itu, karena kalau nanti ayah sudah setua kakek, saya akan membawa ayah berziarah juga."

Kata-kata anak laki-laki itu menyadarkan mereka, pasangan suami isteri muda itu lalu berubah pikiran. Mereka akhirnya merawat orangtua itu dengan baik.

Cerita ini menyinggung dengan tajam dan tepat nilai-nilai moral pada masa sekarang ini. Di India, pada masa yang lampau, banyak cerita-cerita seperti ini. Dimana perhatian utama adalah ketidak-puasan seorang anak terhadap orangtuanya dan hal ini diperbaiki oleh cucunya. Cerita yang lain tentang hal seperti ini sebagai berikut.

Seorang ayah yang masih muda merencanakan membuang ayahnya yang sudah tua, si ayah dimasukkan ke dalam sebuah kereta. Ia lalu membawanya ke kuburan. Cucunya juga ikut serta. Ketika cucunya melihat ayahnya sedang menggali lubang kuburan untuk mengubur kakeknya, anak kecil itu berkata kepada ayahnya :

" Ayah, tolong gali sebuah lubang lagi untuk kuburanmu sendiri. Nanti, kalau ayah sudah tua saya tinggal mengubur ayah saja di situ, jadi saya tidak usah repot-repot menggali kuburan untukmu."

Tentu saja hal ini menakutkan si ayah muda itu.

Pesan moral yang terkandung dalam cerita ini adalah apa yang kita lakukan terhadap ayah, akan terjadi pula pada diri kita sendiri, yang akan dilakukan oleh anak kita.

Ada cerita lain lagi, seorang kakek diberikan makanan dengan sebuah piring yang amat kotor, ditaruh di atas tanah. Piring itu begitu kotornya sehingga tak seorang pun yang sanggup untuk memakan makanan dari piring tersebut. Ketika anak laki-laki tua tersebut melihat bahwa tak ada gunanya lagi untuk memberi makan kepada ayahnya, ia ingin membuangnya. Anaknya yang masih muda lalu berkata :

"Ayah, piring tua itu jangan dibuang. Saya ingin menyimpannya."

Ayahnya bertanya : "Untuk apa?"

Anak muda itu berkata :
"Untuk apa....? Tentu saja untuk memberikan makanan ayah di atas piring itu kalau ayah sudah setua kakek saya ini."

Inilah pelajaran untuk seorang ayah muda untuk lebih mengasihi dan merawat orangtuanya yang sudah tua.
 

thx to singthung

77
Buddhisme untuk Pemula / Kata-Kata yang Diucapkan dengan Baik
« on: 10 April 2010, 11:28:40 AM »
ULASAN SUTTA

Kata-Kata yang Diucapkan dengan Baik

�Jika ucapan memiliki lima tanda, para bhikkhu, berarti ucapan itu disampaikan dengan baik, tidak disampaikan dengan buruk, tak-ternoda dan tak-tercela oleh para bijaksana. Apakah lima tanda ini?
Itulah ucapan yang tepat waktu, benar, lembut, bertujuan, dan diucapkan dengan pikiran yang dipenuhi cinta kasih.�
(Angguttara Nikaya V, 198)

Jelas sekali bahwa dalam ucapan Buddha, beliau menekankan bahwa yang dimaksud dengan ucapan yang benar memenuhi 5 ciri, yaitu:

1. Tepat waktu

Artinya bahwa sebuah ucapan yang baik adalah sesuai dengan kondisi. Terkadang kita dalam berucap tidak sesuai dengan kondisi walaupun ucapan tersebut tidak bermaksud buruk, mungkin saja menyinggung seseorang. Contohnya adalah seseorang yang sedang dalam keadaan dipengaruhi emosi negatif (marah), terkadang kita malah menyiram minyak pada api, walaupun kita bermaksud untuk menenangkan orang tersebut. Biasanya hal tersebut terjadi karena mungkin masalah tersebut berhubungan dengan kita. Jadi Sang Buddha mengajarkan bahwa kita perlu waspada dalam ucapan agar sesuai dengan kondisi dan tepat waktu.

2. Benar (sesuai dengan kenyataan)

Ucapan inilah yang paling sulit kita lakukan. Kecenderungan kita adalah berucap sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kita cenderung akan mengucapkan sesuatu dengan membelokkannya sadar ataupun tidak sadar. Ada sebuah cerita dimana seorang penganut Buddha ingin menyakinkan temannya dalam belajar ajaran Buddha dengan mengatakan bahwa wihara yang ia kunjungi begitu ramai, berjumlah ratusan. Padahal kenyataannya hanya sekitar 80. Ia tanpa sadar telah membuat ucapan tidak benar, walaupun halus. Secara psikis hal tersebut akan bertumpuk menjadi sesuatu yang biasa dan dianggap �benar�. Buddha mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran dibalik ucapan yang tidak jujur, melebih-lebihkan, mengurang-ngurangkan. Ucapan harus apa adanya. Jika memang 80 orang, katakan 80 orang. Jangan 30 atau 100 orang.

3. Lembut

Artinya disini adalah ucapan yang tanpa bersifat keras atau beremosi negatif. Seringkali kita tanpa sadar terbawa oleh kata-kata kasar. Lembut juga mengandung makna halus. Artinya biasakan diri kita dengan berucap lembut dan tenang. Pikirkan dahulu akibat dari ucapan yang akan kita keluarkan. Bahasa-bahasa kasar maupun tidak senonoh sebaiknya tidak kita ucapkan.

4. Bertujuan

Jelas sebuah ucapan menjadi bermakna ketika mempunyai tujuan atau alasan dibalik ucapan yang kita lakukan. Bertujuan juga mengindikasikan ada manfaat dari ucapan yang kita lakukan. Ketika melihat teman sedang lesu, dengan ucapan kita dapat menyemangatinya. Artinya ucapan tersebut memang bertujuan untuk membantu. Sesuatu yang positif dan sangat dianjurkan oleh Buddha dalam melatih diri mencapai kedamaian. Seringkali kita menjadi korban ucapan tidak bermakna yang kita dengar dari televisi. Kita menjadi perantara ucapan tidak bermakna. Gosip tentang artis kita lakukan padahal tidak bermanfaat. Malah bisa jadi kita menyebarkan sesutau yang tidak benar dengan gosip. Sehingga bukan lagi ucapan kosong, namun telah menjadi ucapan yang menfitnah dan telah melanggar sila ke-4 Pancasila Buddhis.

5. Berdasarkan cinta kasih

Ucapan ini lebih merupakan wujud pikiran yang dipenuhi cinta kasih. jadi dengan landasan bagi kebahagiaan seseorang, kita melakukan sebuah ucapan. Bukan dengan kebencian sebuah ucapan kita lakukan. Sang Buddha menyadari betapa pentingnya cinta kasih bagi setiap orang sehingga dalam wujud ucapan pun, cinta kasih dapat dipancarkan. Kata-kata yang menyejukkan seseorang, menenangkan seseorang, membahagiakan seseorang, membangkitkan seseorang adalah wujud ucapan yang berdasarkan cinta kasih.

Ucapan benar mengandung ke-5 aspek tersebut. ketika kita ingin melatih diri untuk mendapatkan kebahagiaan sejati dan kedamaian, ucapan benar merupakan sebuah aspek yang sangat penting. Ucapan benar harus kita sempurnakan karena merupakan salah satu dari Jalan Mulia Berunsur Delapan yang menuntun kita menuju kebahagiaan sejati atau nirwana.

78
Dalam dunia ini, kebencian tidak pernah dapat dilenyapkan dengan kebencian, kebencian hanya dapat dilenyapkan dengan cinta kasih (kasih sayang) dan saling memaafkan. Ini adalah kebenaran abadi
(Dhammapada I:5)


Telaah tentang Sigalovada Sutta memang sudah sering dilakukan. Sigalovada Sutta sendiri diambil dari Digha Nikaya - bagian dari Sutta Pitaka - yang berisi kumpulan khotbah-khotbah panjang Sang Buddha. Sigalovada Sutta yang merupakan salah satu dari khotbah panjang sang Buddha yang ditujukan kepada seorang pemuda bernama Sigala ini menarik untuk di-�bedah� karena selain sarat dengan tuntunan-tuntunan hidup bermasyarakat, Sutta ini juga kaya akan dimensi yang bisa ditinjau dari banyak segi.

Secara umum, Sigalovada Sutta berisi acuan-acuan untuk hidup sebagai perumah tangga di mana manusia menempati secara sekaligus beberapa posisi fungsional dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Satu individu memiliki multi peran dalam kehidupan sosialnya, tidak ada individu yang hanya memiliki peran tunggal. Contohnya: di satu sisi seseorang bisa menjadi seorang ayah, di sisi lain ia juga seorang anak dari kedua orang tuanya dan majikan/atasan bagi beberapa karyawannya.

Selanjutnya dalam sutta ini Sang Buddha menjelaskan secara terperinci hubungan kewajiban secara timbal balik antar-peran yang harus dilaksanakan sesuai dengan posisi fungsionalnya masing-masing. Uraian Sang Buddha ini secara tegas menunjukkan bahwa ajaran Beliau tidak hanya ditujukan bagi mereka yang mengejar kebebasan sejati dan kebahagiaan spiritual. Beliau juga memperhatikan masalah-masalah duniawi dengan memberikan tuntunan-tuntunan dalam berinteraksi secara sosial agar tercipta kondisi yang harmonis dan damai demi tercapainya kebahagiaan duniawi.

Selain ajaran tentang kehidupan sosial, ada hal lain yang bisa dicermati dalam sutta ini, yaitu metode penyampaian yang digunakan Sang Buddha untuk memberikan pengertian benar kepada Sigala. Melihat tindakan Sigala bangun pagi-pagi, membasahi rambut serta pakaian, lalu beranjali dan menghormat keenam arah dengan dalih melaksanakan pesan terakhir ayahnya, Sang Buddha tidak langsung menyalahkan apalagi mencela perbuatan tersebut. Beliau hanya berkata, �Tetapi, O putra kepala keluarga, dalam agama seorang Ariya enam arah itu tidak seharusnya disembah dengan cara demikian�.

Selanjutnya Beliau memberikan pemaknaan ulang atau me-redefinisi pengertian �enam arah�. �Ibu dan ayah adalah arah timur, dan guru-guru adalah arah selatan; Istri dan anak-anak adalah arah barat, dan sahabat-sahabat serta sanak keluarga adalah arah utara; Para pelayan dan karyawan adalah arah bawah, dan arah atas adalah para pertapa dan brahmana�. Menghormat keenam arah berarti memperlakukan orang-orang tersebut secara layak dengan memenuhi segala kewajiban terhadap mereka. Lebih jauh Guru Agung kita menerangkan kepada Sigala dengan cara bagaimana keenam arah itu harus dilindungi, diselamatkan dan diamankan, atau dengan kata lain �dihormati�.

Seringkali kita terjebak akan ajaran-ajaran agama yang bersifat dogmatis, bersembunyi dibalik keotentikan kitab suci. Seringkali pula �Sabda-sabda Ilahi� dipilah menjadi �perintah� dan �larangan� atau �halal� dan �haram� tanpa disertai perenungan mendalam apalagi pengertian yang benar. Keluhuran nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam ajaran agama akhirnya diterjemahkan dalam bentuk kalimat-kalimat perintah berupa, �Jangan lakukan ini!� atau �Harus lakukan itu!�, �Tidak boleh begini!� dan sebagainya. Cara-cara dogmatis seperti ini akan membunuh kreatifitas manusia dalam berpikir serta membentuk paradigma yang kaku dan sempit tanpa disertai pemikiran yang matang.

Dampak lain yaitu munculnya �ego� berlebihan terhadap keyakinan pribadi secara berlebihan yang sering diberi stempel �fanatisme�. Pada gilirannya penyampaian ajaran secara dogmatis akan mematikan perkembangan ajaran itu sendiri karena timbulnya benturan antara dogma dan realita. Dalam Sutta Nipata, 889 disebutkan:
�Orang yang dipenuhi pandangan-pandangan yang kaku dan mati, yang dibuai kesombongan dan kecongkakan, yang menganggap dirinya �sempurna�, akan terpaku di dalam opininya sendiri karena dia memegang erat-erat pandangannya sendiri.�

Sang Buddha sendiri lebih menekankan kepada pendekatan rasional yang disertai uraian dan penjelasan yang logis. Melihat Sigala melakukan penghormatan keenam arah mengikuti nasihat terakhir ayahnya, Baliau tidak berkata �Jangan!�. Beliau lebih memilih untuk memaknai ulang nasihat terakhir itu menjadi bentuk perbuatan yang lebih bermanfaat. Ketika Sang Buddha berkata �Jangan bergaul dengan sahabat-sahabat palsu.�, Beliau tidak berhenti sampai di situ saja. Selanjutnya dipaparkan siapa saja sahabat-sahabat palsu itu dan atas dasar apa kita dilarang bergaul dengan mereka. Ketika Sang Guru mengajarkan untuk tidak melakukan pembunuhan terhadap makhluk hidup, Beliau tidak hanya menganjurkan kita untuk tidak menyakiti dan melukai makhluk lain, tetapi juga mengharapkan kita untuk menghargai kehidupan dan mengembangkan mettā kepada semua makhluk.

Cara penyampaian seperti ini tidak menyebabkan kebebasan berpikir menjadi mati, melainkan memberikan tuntunan metodis ke arah pencapaian kebenaran yang dilandasi pengertian benar. Uraian-uraian yang disampaikan Sang Buddha secara terstruktur dan terkadang menggunakan hubungan kausal membuka paradigma baru dan pencerahan spiritual bagi Sigala. Setelah mendengar kotbah dari Sang Buddha, Sigala berkata �Sungguh mengagumkan, Bhante! Sungguh mengagumkan, Bhante! Sama halnya seperti seseorang menegakkan kembali apa yang telah roboh, memperlihatkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan benar kepada yang tersesat, atau memberikan cahaya dalam kegelapan agar mereka yang mempunyai mata dapat melihat benda-benda di sekitarnya.Demikian pula, dengan berbagai macam cara Dhamma telah dibabarkan oleh Sang Bhagavā kepadaku.�

Berbeda dengan penyampaian secara dogmatis, pendekatan rasional menempatkan ajaran (baca: kebenaran) sebagai objek yang harus dibedah, diteliti, dan dianalisa lebih dalam. Sarananya adalah pisau bedah yang disebut �kebebasan berpikir�. Sangat naif bila ada yang berpikir bahwa kebenaran universal hanya berwujud sebuah pemikiran tunggal. Bukankah semakin banyak interpretasi akan mencerminkan wujud �kebenaran� secara lebih baik? Kebebasan berpikir menyebabkan kebijaksanaan kita akan bertambah baik secara intelektual maupun spiritual, dan pada akhirnya kelestarian ajaran itu sendiri akan terjaga. Metode inilah yang digunakan oleh Guru Agung kita dalam mendidik siswa-siswanya.

79
Meditasi / Referensi buat meditasi
« on: 09 April 2010, 10:39:58 PM »
gw ada refersni buat meditasi..gw punya hardcopy-nya dan biasanya latihan meditasi lewat petunjuk buku tersebut. kebetulan softcopynya ada di link berikut. silakan di lihat.

hxxp://www.what-buddha-taught.net/BI/Bhikkhu_Kassapa_Anapanasati.htm

80
Buddhisme untuk Pemula / Sikap Mental Positif
« on: 09 April 2010, 10:31:45 PM »
Amogham divasam kayira, appena bahukenava
Yam yam vijahite rattim, tadunan tassa jivitam

Jadikanlah harimu produktif, apakah sedikit atau banyak.
Karena setiap siang dan malam yang berlalu, kehidupanmu berkurang sebanyak itu.

(Thera Gatha. 451)

Oleh: Bhikkhu Abhayanando

Siapakah Manusia Itu?

Kenapa arti manusia dipertanyakan? Bukankah kita adalah manusia? Memang, kita adalah manusia, tetapi kita belum mengetahui arti sebenarnya manusia itu sendiri. Bila dilihat dari luar, manusia adalah seperti yang kita lihat sekarang ini.

Tubuh materi ini terdiri dari kekuatan dan sifat yang selalu berubah-ubah. Para ilmuwan sulit mendefinisikan materi ini. Ahli filsafat pernah mendefinisikan "zat yang selalu mengalami perubahan-perubahan disebut gerak." Istilah P�li untuk zat adalah R�pa, diterangkan (berubah dan hancur).

Di sini, kita hanya membicarakan arti manusia secara harfiah, bukan arti manusia secara mendetail. Secara harfiah, manusia terdiri dari dua kata yaitu mano dan ussa, mano artinya batin, sedangkan ussa artinya luhur. Jadi, arti manusia adalah makhluk yang luhur.

Setelah mengetahui artinya, ternyata banyak manusia yang sesuai dengan makna manusia itu sendiri. Masih banyak manusia yang batinnya tidak karuan, mereka masih mengumbar ambisi-ambisinya. Banyaknya terjadi penyimpangan dikarenakan mental manusia yang merosot. Secara fisik kita ini manusia, tetapi secara batin kita belum, karena batin kita masih suka mengembara ke arah keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin.

Bila diarahkan dengan baik manusia akan mencapai cita-cita luhur. Hanya saja untuk mengarahkannya memerlukan waktu dan kemampuan manusia itu sendiri. Tetapi mereka umunya tidak menyadari bahwa di dalam dirinya ada kekuatan untuk menghadapi hidup ini.

Terlahir sebagai manusia merupakan kebahagiaan, karena sulit sekali untuk terlahir menjadi manusia apalagi dapat mengenal Dhamma. Dalam Khuddhaka Nik�ya, Sang Buddha bersabda, "Dalam sisa-sisa kehidupan ini seseorang hendaknya menunaikan tugas-tugasnya dengan baik dan tidak ceroboh." Sang Buddha menganjurkan untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin, sehingga cita-cita untuk menjadi manusia Dhamma akan berhasil. Dhamma dapat dijadikan 'tameng' untuk menghadapi tantangan hidup.

Kehidupan Tidak Pasti

Walaupun kita sudah terlahir sebagai manusia, bukan berarti kita sudah bebas semau kita. Ada beberapa hal yang seharusnya kita renungkan sebagai manusia. Siapkah mental kita menghadapi realita hidup? Hidup adalah perjuangan maka harus diperjuangkan. Walaupun untuk memperjuangkannya banyak hal yang akan kita hadapi, tetapi jika kemampuan terus kita pupuk, maka kita akan menjadi kuat menghadapinya.

Sang Buddha dengan tegas dan jelas menyatakan bahwa hidup ini adalah "dukkha". Kenapa hidup ini dukkha? Tentunya Sang Buddha sudah jelas melihat kehidupan ini, sehingga beliau berani mengatakan hidup ini adalah dukkha. Tidak dapat disangkal bahwa kata P�li "dukkha" dalam percakapan sehari-hari berarti "derita", "sakit", "sedih" sebagai lawan dari kata "sukha" yang berarti "bahagia", "senang" atau "gembira". Tetapi kata "dukkha" yang dipakai dalam Kebenaran Mulia Pertama, merupakan pandangan Sang Buddha tentang kehidupan, serta mempunyai arti filosofis yang mendalam dan mencakup bidang yang sangat luas. Kata `dukkha" selain berarti "derita" bisa juga mempunyai arti yang lebih dalam lagi, seperti "tidak sempurna", "tidak kekal", "kosong", "tanpa inti". Sulit sekali mencari arti yang tepat untuk mencakup kata dukkha.

Inilah yang kadangkala membuat banyak orang salah menafsirkan agama Buddha. Ada anggapan bahwa agama Buddha ini loyo, suram, pesimis, dan kata-kata yang bernada miring lainnya. Kalau agama Buddha adalah agama yang pesimis, tentunya tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang. Saat sekarang ini manusia dituntut untuk menghadapi persaingan yang begitu ketat. Manusia dituntut untuk maju dan bergerak dengan cepat.

Agama yang loyo tentunya tidak dapat mengikuti perkembangan zaman globalisasi. Mana mungkin bisa maju, jika tidak ada semangat, gairah dalam perjuangan hidup. Tantangan hidup yang semakin keras memerlukan kekuatan untuk menghadapinya. Kekuatan itu adalah kekuatan semangat dan kerja keras. Apakah agama Buddha ada kekuatan semacam itu? Kenapa Sang Buddha berkata bahwa hidup ini adalah dukkha? Tentunya kita harus menyelami lebih jauh apa yang diajarkan Sang Buddha.

Benarkah agama Buddha seperti yang mereka katakan? Sangat wajar kalau mereka mengemukakan pandangan seperti itu karena mereka tidak memahami dengan benar ajaran Sang Buddha. Mereka hanya melihat sepintas dari Dhamma yang diajarkan Sang Buddha. Survei membuktikan bahwa agama Buddha tidak seperti yang mereka katakan. Kalau memang agama Buddha ini adalah agama yang suram tentunya tidak ada anjuran berbuat baik atau latihan spiritual. Ternyata Dhamma mengajak kita untuk terus berbuat baik, menjaga moralitas, dan juga menjaga pikiran.

Sang Buddha sendiri berjuang dan perjuangan beliau sangat lama. Banyak hal yang beliau hadapi sebagai tantangan yang sangat besar dan berat. Beliau tetap berjuang dengan penuh semangat dan akhirnya perjuangan Beliau mencapai puncak keberhasilan. Perjuangan yang panjang dan sangat melelahkan, kalau tidak ada semangat mana mungkin ada keberhasilan. Ini membuktikan bahwa agama Buddha tidak pesimistis.

Memang, hidup ini tidak pasti. Siapa yang bisa memastikan kehidupan ini? Tidak ada yang bisa memastikan. Hidup ini terus mengalami perubahan dan jika kita tidak bisa menerima perubahan itu, kita menjadi stres luar biasa. Pada umumnya kita tidak mau adanya perubahan dan ingin segala sesuatunya tetap. Sikap seperti inilah yang membuat kita cemas, bingung, khawatir, dan ragu menghadapi hidup.

Sikap batin yang positif sangat berguna bagi kita untuk menghadapi ketidakpastian hidup. Diperlukan kekuatan yang benar-benar mengarahkan kita kepada perjuangan hidup dan membutuhkan waktu yang lama. Perjuangan kita belum usai sebelum kita mencapai pencerahan. Namun, yang terpenting bagi diri kita adalah membiasakan membangun mental untuk menghadapi hidup ini.

Hidup Adalah Perjuangan

Kehidupan adalah milik manusia yang paling dicintai tetapi jika dihadapkan dengan kesukaran-kesukaran yang tidak dapat diatasi, hidup itu menjadi beban yang sangat berat. Kadang-kala ia mencari pembebasan dengan mengakhiri hidupnya; seolah-olah bunuh diri dapat menyelesaikan masalah pribadinya.

Manusia menginginkan hidup damai dan bahagia dengan orang-orang terdekatnya, tetapi jika kemalangan, ambisi, dan penderitaan tidak dapat dihindari, reaksi negatif pun muncul.

Ada sebuah perumpamaan yang menggambarkan kehidupan manusia yang sangat singkat ini dengan latar belakang kenikmatan duniawi. Ada seorang laki-laki ingin melalui hutan lebat yang penuh duri dan batu. Tiba-tiba ia sangat takut karena seekor gajah muncul dan mengejarnya. Ia berlari ketakutan dan ketika melihat sebuah sumur, ia berlari bersembunyi di dalamnya. Dalam suasana ketakutan ia melihat seekor ular berbisa pada dasar sumur. Disebabkan tidak ada jalan untuk pergi maka ia berpegangan pada tumbuh-tumbuhan yang menjalar. Di atasnya terlihat dua ekor tikus yang seekor putih dan yang lain hitam sedang menggerogoti tumbuhan menjalar tersebut sedangkan di atasnya ada sarang lebah yang meneteskan madu.

Laki-laki ini, dengan tolol tanpa menghiraukan posisinya yang berbahaya ini dengan rakus mencicipi madu tersebut. Ada seorang yang baik dengan suka hati menunjukkan jalan kepadanya untuk meloloskan diri. Tetapi laki-laki tersebut memohon akan ke sana bila telah selesai menyenangkan dirinya. Jalan yang berduri itu adalah samsara (lautan kehidupan). Gajah di sini diumpamakan kematian, ular berbisa adalah usia tua, tumbuhan menjalar adalah kelahiran, dua ekor tikus merupakan malam dan siang, sedangkan madu dapat diumpamakan kesenangan-kesenangan hawa nafsu yang cepat berlalu. Orang yang baik adalah Sang Buddha. Perumpamaan di atas menggambarkan kehidupan kita yang selalu tertipu oleh sesuatu yang sebenarnya tidak membawa manfaat.

Hidup adalah perjalanan yang tak berujung, penuh dengan masalah. Sepanjang kita hidup di dunia ini, masalah dan kesulitan akan menjadi bagian dan bingkisan pengalaman kita. Pada saat tertentu, kita mungkin diberkahi dengan keuntungan, kemasyuran, pujian, dan kegembiraan. Namun, perlu diingat semuanya masih mengalami hukum perubahan. Jangan lengah dan terlena oleh kenikmatan indriawi yang bersifat sementara.

Kita memerlukan keberadaan kekuatan untuk memperjuangkan sesuatu yang bermanfaat bagi hidup. Apakah kita mempunyai keberanian dan kekuatan untuk bisa tersenyum ketika sedang menghadapi kesulitan? Tidak terlalu sukar, jika kita mengurangi egoisme diri yang menganggap bahwa kita seorang yang memerlukan penghiburan. Seharusnya kita menghitung kelebihan daripada kekurangan kita. Ingatlah selalu ungkapan, "aku mengeluh tak punya sepatu hingga bertemu dengan orang yang tidak punya kaki." Dengan berpikir demikian, kita akan menyadari bahwa banyak orang yang keadaannya jauh lebih tidak beruntung. Dan dengan pengertian seperti ini, masalah pribadi bisa kita kurangi sedikit.

Banyak orang yang mendapatkan pengalaman akademik tanpa pengalaman pribadi. Mereka dipersenjatai dengan pengetahuan akademik, sehingga sebagian orang berpikir mereka mampu menghadapi kesulitan dalam perjuangannya menuju kualitas hidup. Pengetahuan akademik bisa menyiapkan materi untuk menyelesaikan masalah, tapi ia tak mampu menyelesaikan masalah spiritual.

Orang yang bijaksana telah mengalami berbagai macam pengalaman yang tak tergantikan. Renungkanlah pepatah ini, "Ketika saya berumur delapan belas tahun, saya pikir betapa bodohnya ayahku!" Sekarang saya berumur dua puluh delapan, saya kaget, betapa banyak yang dipelajari orang tua itu dalam sepuluh tahun. "Bukan ayah yang tahu, andalah yang telah belajar melihat segala sesuatu dengan cara yang dewasa.

Memang, butuh waktu dan kedewasaan untuk memperjuangkan kualitas hidup, tidak seperti makanan instan yang sekali seduh dapat dimakan. Namun, hasil dari perjuangan yang lama ini lebih membawa ke arah yang baik bagi kemajuan kualitas hidup kita. Hidup adalah perjuangan, oleh karena itu kita harus memperjuangkannya, tentunya ke arah yang positif sampai tercapainya cita-cita spiritual. Ada sebuah kalimat Dhamma yang bisa dijadikan renungan, "Kehidupan ini tidak kekal, berjuanglah dengan sungguh-sungguh untuk mencapai kesempurnaan." (Mah� Parinibb�na Sutta)

Membangun Kekayaan Mental

Dalam mengarungi hidup ini diperlukan ketangguhan dan kesabaran. Ada hal yang patut dijadikan renungan, "Jangan mengharapkan kesuksesan dengan cara yang tidak sesuai dengan Dhamma" (Khuddaka Nik�ya). Setiap orang berharap hidupnya sukses tetapi untuk mencapai kesuksesan banyak hal yang harus kita hadapi: hambatan, tantangan, rintangan, kesulitan akan banyak kita hadapi. Menghadapi hidup diperlukan perjuangan dan untuk berjuang diperlukan kekuatan. Kekuatan seperti apa yang harus kita munculkan dalam hidup ini?

Kekuatan yang harus kita munculkan adalah kekuatan mental. Kita harus sabar, ulet, tekun, dan disiplin dalam menghadapi kehidupan ini. Permasalahan hidup datangnya tidak terduga dan terkadang kekuatannya melebihi kekuatan mental kita. Banyak orang yang oleh karena itu mengalami stres dan bahkan melakukan bunuh diri.

Ketahanan mental akan teruji saat kita menghadapi tantangan hidup. Tantangan ini akan menambah kekuatan mental kita. Kekuatan mental ini dapat berkembang jika kita mau memahami Dhamma dan juga merealisasikan Dhamma dalam kehidupan kita. Latihan yang terus-menerus akan menghasilkan kekuatan mental yangdigunakan untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan ini.

"Bangun! Berjagalah! Apa gunanya mimpi-mimpimu? Bagaimana engkau dapat meneruskan tidurmu bila engkau sedang sakit ditusuk oleh panah kesedihan" (Sutta Nip�ta 331). Jangan sampai kita lengah dalam menghadapi kehidupan ini, karena kelengahan membuat kita menjadi hancur. Kita seharusnya berjaga-jaga setiap saat dan terus berjalan untuk menunaikan perjuangan kita. Seorang Buddhis adalah orang yang penuh semangat dalam menghadapi tantangan hidup, tidak ada kata loyo, lemah, lemas, lelah, lamban, dan lesu.

Sang Buddha selalu menekankan Viriya (semangat) dalam setiap latihan dan tantangan hidup ini juga harus dihadapi dengan semangat. Memang, setiap orang tidak berharap mendapatkan permasalahan dalam hidup, namun permasalahannya di sini adalah bagaimana menghadapi tantangan hidup dengan ketahanan mental yang kita miliki setiap saat. Tekad dan semangat harus kita munculkan dan kekuatan inilah yang nanti dapat dijadikan senjata menghadapi tantangan hidup.

Perjuangan Sang Buddha dapat dijadikan teladan dalam hidup ini. Dari tekad awal untuk menjadi Buddha di hadapan Buddha Dipankara sampai mencapai pencerahan membutuhkan waktu yang lama serta tantangan yang berat, tetapi karena kekuatan tekad dan semangat untuk membebaskan semua makhluk dari penderitaan, maka perjuangan Beliau berhasil dengan sukses.

Beliau tidak hanya berkorban materi tetapi juga tenaga bahkan kehidupan Beliau pun dikorbankan. Perjuangan Beliau tidak mudah, bahkan sesudah mencapai pencerahan pun Sang Buddha masih harus menghadapi tantangan yang tidak ringan. Dalam menyebarkan Dhamma Beliau harus menghadapi kesulitan, cacian, fitnah, dan bahkan ancaman pembunuhan. Sang Buddha tetap tegar dalam menghadapi tantangan-tantangan yang muncul dan Beliau mencapai puncak kemenangan.

Teladan Sang Buddha juga diikuti para siswanya, banyak siswa-siswa Beliau yang menghadapi tantangan yang juga berat. Perjuangan terus dilakukan oleh siswa-siswa Beliau dan menghasilkan kesuksesan yang gemilang. Sebagai contoh yang dialami oleh Cullapanthaka, Beliau terkenal bodoh dan apa yang diajarkan oleh Sang Buddha tidak dapat dimengertinya. Beliau harus mengalami tekanan, ejekan, dan makian karena kebodohannya. Bhikkhu Cullapanthaka menjadi putus asa menghadapi kondisi ini. Kemudian keadaan Cullapanthaka diketahui oleh Sang Buddha dan Beliau memberi pengertian kepada Cullapanthaka. Bhikkhu Cullapanthaka memahami maksud Sang Buddha dan berlatih seperti apa yang sang Buddha ajarkan. Dengan sekuat tenaga dan ketekunan Bhikkhu Cullapanthaka berjuang keras menghadapi tantangan yang dirasakan berat. Akhirnya Bhikkhu Cullapanthaka mencapai kesuksesan yang gemilang.

Ketahanan mental harus terus kita perjuangkan sampai kita mencapai kesuksesan. Memang tidak mudah, namun sikap mental yang positif akan sangat berguna dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan ini. Menyadari bahwa segala sesuatunya hanyalah proses dan terus akan mengalami perubahan, inilah yang akan menjadi bekal kita dalam menghadapi kondisi hidup ini. Memiliki ketahanan mental adalah titik awal keberhasilan kita untuk mencapai kesuksesan hidup, baik duniawi maupun spiritual.

Tumbuh kembangkanlah kedisiplinan, kesabaran, ketekunan, keuletan dalam menghadapi hidup ini. Untuk mendapatkan kekuatan ketahanan mental seperti itu, kita harus belajar Dhamma dan mempraktikkan Dhamma dalam kehidupan ini. Latihan yang sangat baik sekali untuk membangun mental kita adalah dengan melakukan bhavana atau meditasi setiap saat dalam kehidupan. Mulailah dengan membiasakan bhavana dalam kehidupan ini dan kekuatan ketahanan mental akan berkembang dan terus berkembang yang pada akhirnya menjadi sebuah kekuatan Dhamma. Kekuatan inilah yang kita gunakan untuk menghadapi hidup.


Sumber:
Dhammasari, MP. Sumedha Vidya Dharma.
Permata Dhamma Yang Indah, Ven. S Dhammika
Sang Buddha dan Ajaran-AjaraNya, Ven. Narada Mah�thera

81
Buddhisme untuk Pemula / Cinta Adalah Pengertian
« on: 09 April 2010, 10:28:44 PM »
Dia yang mengisi seperempat bagian pertama
kehidupannya dengan pikiran yang penuh cinta kasih,
demikian juga bagian yang kedua, ketiga, dan keempat;
sama seperti dia meliputi seluruh dunia di atas, di bawah,
di sekelilingnya, di mana-mana, dalam segala hal, dengan
suatu pikiran yang penuh cinta kasih yang menjangkau
jauh, tersebar luas, tak terukur, tanpa rasa permusuhan/
kebencian, tanpa maksud buruk.

Buddha

CINTA ADALAH PENGERTIAN

Untuk dapat meninggal dengan baik kita harus hidup dengan baik. Jika kita telah hidup dengan baik kita akan dapat meninggal dengan baik. Kita dapat pergi dengan damai, puas karena kita telah melakukan apa yang dapat kita lakukan, bahwa sepanjang masa kita telah menyebarkan pengertian dan kebahagiaan, bahwa kita telah hidup sesuai dengan prinsip-prinsip dan komitmen kita terhadap rasa cinta dan kasih sayang yang ideal.

Cinta adalah pengertian. Cinta tidak menghakimi maupun menuduh. Cinta mendengarkan dan memahami. Cinta peduli dan simpati. Cinta menerima dan memaafkan. Cinta tidak mengenal batas. Cinta tidak mendiskriminasi dan berkata: Saya dari aliran Theravada dan kamu dari Mahayana atau Tibet. Cinta tidak berkata: Saya orang Buddhis dan kamu orang kr****n, Muslim, Hindu. Atau saya orang Cina; kamu orang Melayu, India, Eurasia. Atau aku orang timur dan kamu orang barat; atau aku dari Malaysia, kamu dari Jepang, Amerika, Birma, Thai dan seterusnya.

Cinta melampaui semua batasan. Cinta melihat dan merasakan bahwa kita semua adalah satu suku, yaitu suku manusia. Air mata kita adalah sama; rasanya asin, dan darah kita semua berwarna merah. Ketika ada cinta dan kasih sayang semacam ini, kita dapat berempati dengan makhluk hidup lainnya. Kita dapat melihat bahwa kita mengendarai kapal yang sama di atas lautan kehidupan yang penuh ombak dan badai. Kita adalah sesama penderita dalam samsara, lingkaran kelahiran dan kematian yang tidak ada habisnya. Kita semua adalah saudara.

Ketika kita dapat melihat dan merasakan ini, maka semua batasan suku, agama, ideologi dan lain-lain akan runtuh. Kita dapat muncul dengan hati yang penuh dengan cinta yang murni. Kita dapat mengerti dan merasakan penderitaan orang lain. Rasa kasih sayang akan berkembang dan memenuhi dada kita. Dan dalam semua perkataan maupun perbuatan kita, cinta dan rasa prihatin tersebut akan timbul. Hal ini sangatlah menghibur dan menyembuhkan, dan merupakan hal yang sangat berguna bagi kedamaian dan pengertian.

Seorang manusia dan seekor kalajengking


Cinta berjalan seiring dengan kasih sayang. Jika kita memiliki hati yang penuh rasa cinta, kasih sayang mudah sekali timbul dalam diri kita. Ketika kita melihat seseorang menderita, muncul suatu dorongan untuk membantu meringankan penderitaan orang tersebut. Kasih sayang menimbulkan perasaan ingin meringankan penderitaan. Ini dapat dirasakan terutama ketika kita bertindak secara spontan untuk menghilangkan atau meringankan penderitaan orang lain.

Ada sebuah cerita di sini yang dapat membantu menjelaskan hal ini:

Seorang manusia melihat seekor kalajengking tenggelam di sebuah kubangan air. Suatu dorongan untuk menolong muncul secara spontan dalam hati manusia tersebut, dan tanpa ragu dia mengulurkan tangannya, mengangkat kalajengking tersebut dari kubangan air, dan meletakkannya di tanah yang kering. Namun kalajengking itu kemudian menggigit sang penolong. Dan karena ingin menyeberang jalan, kalajengking menghentikan langkahnya dan langsung menuju ke kubangan air itu lagi! Melihat kalajengking itu menggapai-gapai dan tenggelam lagi, manusia tadi mengangkatnya kembali untuk kedua kalinya dan lagi-lagi kena gigitan kalajengking tersebut. Orang lain yang datang dan melihat semua hal yang telah terjadi tersebut berkata kepada manusia itu: �Mengapa kau begitu bodoh? Sekarang lihatlah, kau telah digigit tidak hanya satu kali melainkan dua kali! Sangatlah bodoh berusaha untuk menyelamatkan seekor kalajengking.� Manusia tadi menjawab: �Aku tidak berdaya. Kau lihat, sifat alami kalajengking memang menggigit. Tetapi sifat alamiku adalah menolong. Aku tidak dapat berbuat apa-apa selain berusaha menyelamatkan kalajengking itu.�

Benar, manusia dapat menggunakan kepandaiannya untuk menggunakan tongkat atau sesuatu untuk mengangkat kalajengking itu. Tetapi kemudian dia mungkin berpikiran lain bahwa dia dapat mengangkat kalajengking itu dengan tangannya sedemikian rupa sehingga tidak digigit. Atau dia mungkin berpikir bahwa seekor kalajengking dalam keadaan yang gawat tidak akan menggigitnya. Apapun yang mungkin terjadi, isi dari cerita ini adalah respon spontan dari orang yang ingin menyelamatkan sesama makhluk hidup, walaupun itu hanyalah seekor serangga. Hal ini juga menunjukkan bahwa orang yang penuh cinta kasih, walaupun dia menerima perlakuan yang tidak berterima kasih dari orang yang telah ditolongnya, hal itu tidak berarti apa-apa baginya. Karena sifat alaminya memang penolong, jika dia dapat menolong, dia akan melakukannya. Dia tidak tahu bagaimana menyimpan rasa sakit hati atau dendam!

Oleh karena itu, kasih sayang adalah bahasa hati. Pada saat kita dimotivasi oleh rasa cinta dan kasih sayang, kita berusaha menolong tanpa diskriminasi suku, agama atau kewarganegaraan dari orang lain. Di bawah pancaran cahaya kasih sayang, perbedaan suku, agama, dan lainnya menjadi hal nomor dua; mereka tidaklah penting. Lebih jauh lagi, kasih sayang seperti itu tidak hanya berlaku bagi manusia tetapi juga bagi seluruh makhluk hidup termasuk binatang dan serangga. Sejalan dengan tema kasih sayang sebagai bahasa hati di atas, aku ingin berbagi sebuah puisi sebagai berikut:

BAHASA KASIH

Mahayana Theravada Vajrayana
kr****n Buddhis Muslim Hindu
Melayu Cina India Eurasia
Malaysia Jepang Amerika Afika
orang kulit putih, hitam, kuning, coklat
dan seterusnya dan seterusnya
sesukamu.

Apa masalahnya?
Bahasa kasih
adalah bahasa hati!

Ketika hati sudah berbicara
seribu kuntum bunga kan bermekaran
dan cinta pun kan mengalir
bagai cahaya mentari pagi
memancar menembus kaca jendela.

Tak perlu kata-kata
suatu pandangan, sentuhan
sudahlah cukup
untuk mengatakan
apa yang tak dapat dikatakan oleh seribu kata.

Dan Kasih Sayang kan bersinar
bagaikan sebuah bintang cemerlang
dalam kelamnya langit malam.

Seluruh batasan kan runtuh
ketidakadilan kan tergoyahkan
Kemenangan kan diperoleh kembali
Cinta dan Kasih Sayang
kan mengalahkan seluruh ketakutan dan keraguan
menyembuhkan luka
dan bertahta kembali.

Menurutku, jika kita berusaha menanamkan rasa cinta dan kasih sayang seperti ini, maka ketika tiba saat kematian kita, kita akan dapat pergi dengan damai. Bahkan meskipun kita tidak berhasil secara sempurna (100%) untuk mencintai, kita tetap dapat berbahagia dan berpuas hati karena setidaknya kita telah berusaha. Dan yang pasti, kita akan dapat berhasil mencapai tahap tertentu.

KE LIMA SILA

Jika kita telah berusaha menanamkan jenis cinta seperti ini, maka tidaklah terlalu sulit untuk melaksanakan ke lima sila dasar. Sila pertama, seperti yang kita ketahui, adalah tidak membunuh, tidak merampas kehidupan siapapun bahkan kehidupan milik seekor binatang maupun serangga. Ini adalah suatu sila yang indah. Ini berarti kita menghormati kehidupan. Bukan saja kita menghormati kehidupan, kita juga memberikan sebuah hadiah yang sangat berharga. Ketika kita melaksanakan sila ini kita akan menjadi orang yang lebih baik. Tidak saja kita menahan diri dari membunuh, kita juga menahan diri dari melukai setiap makhluk hidup.

Benar, dalam dunia yang tidak sempurna ini di mana yang kuat mengintai yang lemah, pembunuhan adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Kita dapat melihatnya dalam dunia binatang, bagaimana harimau memangsa rusa, ular memangsa katak, katak memakan lalat, burung memakan cacing, dan ikan besar memakan ikan kecil. Dan kita manusia juga membunuh binatang dan ikan dan bahkan saling membunuh sesama kita, manusia. Tetapi di sini kita tidak bermaksud untuk menghakimi atau menuduh. Kita mengerti ketidak-sempurnaan kita sebagai manusia dan sifat alami dari segala sesuatu yang tidak sempurna. Sang Buddha juga memahami hal ini. Beliau berkata ketika kita telah dapat menyucikan pikiran dan mencapai Nibbana, maka kita akan dapat menghindari kehidupan yang tidak sempurna ini, siklus kelahiran dan kematian ini. Kitalah yang menentukan apakah hal tersebut dapat terwujudkan atau tidak. Ketika kita telah berhasil membersihkan pikiran kita dari keserakahan, kebencian dan kebodohan, kita pasti akan mengetahui dengan mengalami sendiri, apakah Sang Buddha mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Sampai saat itu, aku percaya bahwa aku tidak dapat berbuat sesuatu yang lebih baik daripada mengikuti jalan Sang Buddha, jalan menuju kesucian pikiran.

Kita masing-masing harus menjalani jalur kita sendiri dalam menuju kemajuan. Marilah kita semua berusaha melaksanakan sila pertama tersebut semampu kita; kita tidak boleh membunuh; kita harus menyelamatkan kehidupan, bahkan memberikan kehidupan.

Sila kedua adalah tidak mencuri atau berbuat curang, tidak mengambil apapun untuk tujuan yang tidak jujur. Kita adalah orang�orang yang jujur dan kita akan mencari nafkah dengan cara yang jujur. Ada sejumlah orang yang berpendapat bahwa orang jujur tidak akan mampu memperoleh kesuksesan atau menjadi kaya. Aku tidak setuju dengan hal ini. Aku yakin ada banyak orang jujur yang berpegang pada prinsip mereka dan sukses. Bahkan mereka dapat menikmati kebahagiaan yang tercipta oleh kesadaran yang jernih dan pikiran yang damai. Di lain pihak, mereka yang berbuat curang sering diekspos dan pada akhirnya mereka pun akan dihukum juga. Bahkan walaupun mereka berhasil lari dari penangkapan, mereka akan tetap menderita karena perasaan takut akan ketahuan dan timbulnya rasa bersalah; dan ketika mereka meninggal, penderitaan di kelahiran baru yang sangat buruk dan menyedihkan sudah menunggu mereka. Karena itu, kejujuran telah menjadi dan akan selalu menjadi prinsip yang terbaik. Jangan mendengarkan mereka yang berkata sebaliknya. Orang yang jujur dapat menjadi lebih sukses. Walaupun kita harus menghadapi kesulitan yang lebih besar, kita tidak akan berbuat curang untuk mencapai keberhasilan. Kita lebih memilih menjadi jujur dan miskin, daripada menjadi kaya tapi curang. Tidak ada yang lebih menggembirakan daripada suatu kesadaran yang jernih, terutama pada saat ketika kita sedang menghadapi kematian.

Sila ketiga adalah bertanggung jawab dalam hal seksual. Jika dua orang menganggap hubungan mereka serius, saling bertenggang rasa, mencintai dan saling setia, maka cinta mereka telah diresmikan. Tidak ada pihak ketiga yang dapat masuk di antara mereka. Tanggung jawab seksual sangatlah penting. Karena tidak adanya rasa tanggung jawab, banyak orang yang menjadi korban. Para mucikari menghancurkan hidup gadis-gadis muda; dan para lelaki yang dikalahkan oleh nafsu birahinya adalah pelaku perbuatan buruk tersebut. Namun di sini kita tidak ingin menghakimi, melainkan memohon demi cinta dan kasih sayang sejati. Sungguh, jika kita dapat menyucikan pikiran kita dan mengontrol nafsu kita, akan ada lebih sedikit penderitaan dan eksploitasi di dunia ini. Dan penyakit AIDS yang sangat ditakutkan dan telah menjadi penyebab penderitaan besar bagi dunia juga dapat ditanggulangi.

Sila keempat adalah tidak berbohong tetapi berkata yang sebenarnya. Sekali lagi, jangan mendengarkan orang-orang yang berkata bahwa seseorang tidak dapat berhasil tanpa berbohong atau memberikan penampilan yang palsu. Kebenaran adalah salah satu dari ke sepuluh parami (kesempurnaan) yang dipegang kuat oleh seorang bodhisatta(seseorang yang berjuang untuk mencapai keBuddhaan).

Seluruh pemeluk agama Buddha harus mengembangkan parami mereka sampai pada tahap tertentu pula jika mereka ingin mencapai tingkat arahat � pelepasan dari lingkaran kelahiran dan kematian. Sang Buddha ingin agar kita benar-benar jujur sehingga Beliau menekankan agar kita juga tidak berbohong walaupun hanya dalam bercanda. Jadi kita harus berusaha sebaik mungkin dalam memegang sila untuk tidak berbohong ini. Terlebih lagi, walaupun kita mungkin tidak menginginkannya, reputasi seseorang yang jujur mau tidak mau akan tersebar luas. Bahkan orang-orang yang berusaha menjelek-jelekkannya pada akhirnya juga harus mengaku kalah dan memberikan hormat kepadanya.

Sila kelima adalah tidak mengkonsumsi alkohol dan obat-obat terlarang karena mereka dapat mengacaukan pikiran, selain juga berakibat buruk pada tubuh. Beberapa orang berpikir bahwa sila ini memperbolehkan acara minum kecil-kecilan untuk bersosialisasi tetapi aku tidak berpendapat begitu. Sang Buddha tidak menginginkan kita untuk mempertaruhkan kesadaran kita karena dapat menyebabkan kita mempertaruhkan sila-sila lainnya.

Selain itu, alkohol sangat berbahaya bagi kesehatan kita. Mengenai obat-obatan kita semua setuju bahwa obat-obat keras seperti heroin patut disingkirkan. Namun beberapa orang menganggap menghisap rokok mungkin tidak termasuk dalam sila ini. (Pada masa Sang Buddha,tembakau jelas belum ditemukan). Bagaimanapun juga, pada masa sekarang ini di mana pihak medis sudah banyak membuktikan bahaya yang disebabkan oleh tembakau dan usaha-usaha pemerintah di seluruh dunia untuk melarang atau membatasi pemakaiannya, kita dapat dengan yakin berkata bahwa jika Sang Buddha masih hidup sekarang, Beliau juga akan dengan keras melarang kita merokok; karena Beliau tidak ingin kita mempertaruhkan kesehatan fisik kita, Beliau juga tidak ingin kita menjadi ketagihan terhadap obat yang terbukti berbahaya walaupun kadarnya hanya sedikit.

Ada banyak lagi yang dapat dikatakan mengenai kerusakan hebat yang telah disebabkan oleh alkohol dan tembakau terhadap masyarakat, tetapi tujuan kita di sini bukanlah untuk membicarakan hal tersebut karena akan dapat terus berlanjut menjadi suatu diskusi yang panjang mengenai masalah tersebut. Cukuplah dikatakan bahwa karena pandangan kita sendirilah sehingga acara minum kecil-kecilan untuk bersosialisasi dan merokok dapat mengurangi semangat jiwa sila kelima ini. Lebih baik menghentikan semuanya, terutama alkohol, setelah memberikan pertimbangan yang cukup pada kata-kata Sang Buddha berikut ini: �Para bhikkhu, mengkonsumsi sesuatu yang memabukkan ketika sedang berlatih, mengembangkannya, dan melakukannya secara berulang-ulang, akan menyebabkan seseorang dilahirkan di neraka, di dunia binatang, dan di dunia hantu kelaparan; setidaknya meskipun seseorang dilahirkan kembali sebagai manusia, hal itu akan menyebabkan dia mengalami ketidak-warasan.�

Jika kita melaksanakan ke lima sila tersebut, kita akan memberikan kebahagiaan dan rasa aman pada orang lain. Bagaimana bisa? Karena tidak ada orang yang perlu mengkuatirkan kita. Mereka tidak perlu takut karena kita. Mereka dapat merasa sangat aman dan nyaman dengan kita. Karena mereka yakin bahwa kita tidak akan menyakiti mereka, mencuri dari mereka, maupun berbuat curang pada mereka. Kita tidak akan melakukan hubungan gelap dengan pasangan mereka. Kita tidak akan membohongi mereka. Dan terlebih lagi, jika kita tidak minum minuman keras maupun merokok, mereka tidak perlu kuatir anak-anak mereka akan mengikuti kebiasaan kita untuk minum minuman keras atau merokok, atau bahaya karena mereka menghisap asap rokok kita. Mereka akan dapat mempercayai kita, karena kita tidak minum minuman keras sama sekali. Kita adalah orang yang religius dan berpegang pada jalan yang lurus dan terbatas. Kita bukanlah orang yang berbahaya. Mereka yang sangat mendambakan kesenangan sensual mungkin berpikir bahwa kita menjalani kehidupan yang sangat membosankan dan kita orang yang bodoh. Tetapi itu tidak masalah. Kita bahagia pada diri sendiri. Kita bahagia apa adanya. Dan sejujurnya, kita akan dipuji oleh mereka yang bijaksana.

Jadi adalah baik ketika kita dapat mempertahankan ke lima sila dasar tersebut. Lebih lanjut lagi jika kita mempraktekkan kemurahan dan kebaikan hati. Kita peduli dan kita berbagi semampu kita. Kita juga menanamkan kesadaran penuh seperti yang dianjurkan oleh Sang Buddha. Kita berusaha untuk menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Kita bermeditasi untuk lebih mengerti sifat alami kehidupan kita, segala karakteristiknya, yaitu tidak-kekal, penuh penderitaan dan tanpa inti. Dengan demikian ketika kita telah melakukan semuanya, ketika kita telah menjalani hidup dengan baik, apa lagi yang harus kita takutkan ketika kita mati? Penyesalan apa yang akan kita miliki?

Karena itulah dikatakan bahwa untuk meninggal dengan baik kita harus hidup dengan baik pula. Dan bahwa ketika kita telah hidup dengan baik, kita akan dapat meninggal dengan baik. Kita dapat pergi dengan damai, karena merasa puas dan lega bahwa kita telah melakukan apa yang dapat kita lakukan. Benar, kita mungkin telah berbuat salah dalam perjalanan hidup kita. Tetapi manusia mana yang tidak berbuat salah? Jadi sebelum kita belajar dan menjadi lembut hati, kita mungkin telah melakukan beberapa perbuatan jahat. Hal itu dapat dimaklumi, karena kita semua tidaklah sempurna. Tetapi yang penting, setelah kita menyadari kesalahan kita, kita harus mulai menanamkan rasa cinta dan kasih sayang, kita harus mulai menjaga sila-sila dan menyucikan pikiran kita. Kita patut berbahagia karena kita memperoleh kesempatan untuk berubah ke jalan yang benar. Seperti ungkapan, �lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali�. Kita mungkin tiba lebih lambat dari yang lain, tetapi setidaknya kita tetap sampai tujuan.

thx to: Singthung

82
Buddhisme untuk Pemula / Pelajaran Dari Kehidupan
« on: 09 April 2010, 10:26:09 PM »
Pelajaran Dari Kehidupan
Saturday, September 13, 2008
Thailand, The Bangkok Post --


Banyaknya orang tua, yang tidak semuanya Buddhis, menyadari manfaat dari perhatian terhadap batin, sebuah pendekatan Buddhis pada pendidikan.

Di dalam sebuah masyarakat dimana kesuksesan diukur dengan istilah materi, kebanyakan orang tua berharap bahwa sistem pendidikan akan menyiapkan anak-anak mereka pada jalan yang menuju kemakmuran di masa depan.

Reputasi akademis sekolah, beragamnya penggunaan bahasa yang ditawarkan dan intensitas pelajaran bahasa Inggris merupakan faktor-faktor krusial yang dipertimbangkan oleh para orang tua di Thailand ketika memilih sebuah sekolah untuk anak-anak mereka.

Tapi semuanya mulai berubah. Belakangan, banyak orang memandang bahwa mengembangkan batin pada anak merupakan hal yang lebih penting dibandingkan hanya memberikan mereka pengetahuan akademis. Hasilnya, sekolah-sekolah alternatif, terutama rongrien withi pud atau sekolah-sekolah dengan pendekatan Buddhis, menjadi pembicaraan terpanas bagi para orang tua baru.

Sekarang, sekolah-sekolah dengan pendekatan Buddhis (sekolah Buddhis) yang mengikuti sistem pendidikan yang dulu dianggap ketinggalan jaman, sekarang menunggu untuk berkembang. �Bunga-bunga Bersemi�, sebuah himne Dhamma yang diciptakan oleh seorang anagarini, Mae Chee Sansanee Sthirasuta yang biasa dinyanyikan di rongrien withi pud secara luas, menjadi lagu yang populer di antara anak-anak taman kanak-kanak. Selagi bertekad untuk menjalankan lima sila Pancasila Buddhis, duduk bermeditasi dan phae metta � menyebarkan belas kasih kepada semua makhluk di dunia � yang merupakan beberapa ritual rutin, meningkatkan jumlah performa anak-anak sekolah setiap paginya.

�Masalah-masalah sosial merupakan bukti yang jelas bahwa pengetahuan akademis tidaklah membantu seseorang ketika berhadapan dengan masalah-masalahnya,� kata Bupaswat Rachatatanun, pendiri dan pimpinan Thawsi, salah satu pelopor sekolah Buddhis. �Dan mendapatkan jenjang pendidikan yang tinggi juga tidaklah menjamin untuk sebuah kehidupan yang bahagia.�

Bupaswat atau Khru Onn menjelaskan bahwa berita mengenai para pelajar universitas yang memutuskan untuk bunuh diri karena mereka tidak mendapatkan peringkat yang baik dan kasus-kasus para dokter yang membunuh isteri mereka membuat orang-orang mempertanyakan sistem pendidikan di negara ini.

�Tujuan dari pendidikan sekolah Buddhis adalah untuk mengembangkan akademis dan spiritual seseorang,� kata Bupaswat. �Bagi kami, mengembangkan batin merupakan hal yang sama pentingnya dengan memberikan pendidikan akademis dan kami mempertimbangkan bahwa kehidupan manusia merupakan sebagai proses pembelajaran yang paling penting.�

Bupaswat mengamati bahwa cara para orang tua dalam mengasuh anak-anak mereka telah berubah secara dramatis dibanding dengan masa lalu. Para orang tua generasi terdahulu memberikan sedikit kesempatan kepada anak-anak mereka untuk mengekspresikan diri mereka, namun pada masa modern ini para orang tua melihat manfaat dari memberikan anak-anak mereka kesempatan yang lebih banyak.

�Sekarang para orang tua dapat membiarkan anak-anak mereka untuk mengekspresikan ide-ide dan kreativitas mereka,� katanya. �Banyak orang tua yang mengasuh anak mereka sebagai teman-teman mereka dan khawatir untuk bertindak sebagai ayah dan ibu.Mereka memberikan anak-anak mereka banayk sekali kebebasan � mereka menyebutnya sebagai demokrasi.�

�Tapi saya pikir hal itu berbahaya karena meskipun di dalam sebuah demokrasi yang sesungguhnya Anda tidak bisa menggunakan hak-hak Anda dalam setiap situasi. Sebagai contoh, sebagai seorang karyawan, Anda tidak akan memiliki hal yang sama dengan atasan Anda. Dan hal ini penting untuk dipahami oleh anak-anak.�

�Pendidikan Buddhis bertujuan untuk menunjukkan anak-anak kepada dunia realitas dimana mereka harus menghormati hak-hak orang lain dan menjadi seorang teman yang baik (kallayanamitta). Mereka selalu diperbolehkan untuk mengekspresikan pendapat mereka, tetapi haruslah dilakukan dengan cara yang baik.�

�Di dunia Barat, menjadi kreatif mungkin berarti berpikir secara berbeda atau berpikir keluar dari �kotak�, tetapi dalam Buddhisme kreatifitas juga harus bermoral dan dilakukan dalam cara-cara yang seimbang.�

Mengikuti ajaran Sang Buddha, kemoralan (sila), keseimbangan batin (samadhi) dan kebijaksnaan mendalam (panya), adalah tiga praktik utama yang digunakan dalam pendidikan Buddhis dalam rangka mencapai tingkat intelektual. Para siswa butuh untuk memahami bagaimana bertindak dan berbicara secara etis. Mereka juga belajar bagaimana untuk berpikir secara menyeluruh dan mampu untuk menguji diri mereka sendiri dan dapat menangani berbagai situasi dengan baik.

�Beberapa orang berpikir bahwa mereka butuh mendirikan sebuah pondasi akademis bagi anak-anak mereka yang dimulai dari taman kanak-kanak sehingga anak-anak mereka bisa masuk ke universitas utama dan segera mendapatkan pekerjaan yang berpenghasilan baik. Ide tersebut bisa berhasil, bisa juga tidak,� demikian kata Vitoon Sila-On, wakil presiden S&P Syndicate Plc.

�Dalam pandangan saya, kita biasanya hanya belajar sesuatu karena kita melihat kemungkinan bahwa kita perlu menggunakan pengetahuan tersebut dikemudian hari. Tetapi 80 persen dari apa yang orang-orang pelajari dari sekolah tidaklah benar-benar bermanfaat di kehidupan sesungguhnya,� kata Vitoon. �Di sisi lain, batin kita merupakan sesuatu yang kita gunakan setiap saat. Namun pembelajaran batin atau pikiran belum ditemukan pada kurikulum sekolah manapun.�

Vitoon adalah seorang ayah dari tiga anak yang semuanya bersekolah di sekolah Buddhis. Dididik di Inggris, Vitoon mengakui bahwa ia bukanlah seseorang yang berorinetasi pada Buddhis maupun yang sering ke vihara. Tetapi ia mengagumi pendidikan dengan metode-metode dari Guru Buddha.

�Bahkan orang-orang Barat telah tertarik dengan ajaran Sang Buddha karena mereka menyadari pentingnya pikiran,� kata Vitoon. �Pendidikan Buddhis mengajarkan Anda bagaimana untuk memahami dan menguasai pikiran Anda, dimana banyak orang melewatkannya. Anak-anak butuh untuk memahami diri mereka sendiri terlebih dulu dan mengetahui bagaimana untuk mengatasi emosi mereka sendiri sebelum mereka dapat memahami orang lain. Semua hal ini haruslah ada ketika mereka muda sedangkan hal-hal akademis dapat dipelajari kemudian di waktu kapan pun.�

Pendidikan Buddhis bukanlah sistem yang menjemukan atau suram yang diperkenalkan oleh para bhikkhu atau bhikkhuni.

�Meskipun metode pendidikan ini berasal lebih dari 2000 tahun yang lalu, metode ini tetap memiliki efektifitas yang tinggi pada masa sekarang,� kata Patchana Mahapan , Kepala Pimpinan Pengembangan Pendidikan Holistik sekolah Thawsi.

�Banyak orang beranggapan bahwa pendidikan Buddhis hanyalah mengenai penguncaran sutta, meditasi dan dern chong krom atau berjalan-jalan. Beberapa bahkan mungkin berpikir bahwa siswa-siswa kami belajar bahasa Pali sedangkan anak-anak di sekolah lain belajar bahasa Inggris dan komputer. Tetapi semua itu hanyalah prasangka buruk,� kata Patchana.

Ia menambahkan bahwa prinsip inti dari pendidikan Buddhis adalah untuk memahami baik eksternal (kehidupan dan ilmu pengetahuan) dan internal (pikiran manusia). Dan karena seperti pepatah Thai, �Tidak ada pengetahuan yang sepenting mengetahui pikiranmu sendiri�, pendidikan Buddhis akan menjadikan para pelajar orang-orang yang lebih cerdas dan up-to-date (tidak ketinggalan jaman).

Belajar dari pengalaman

Belajar di luar kelas adalah salah satu karakteristik kunci dari pendidikan Buddhis. Sebagai ganti dari duduk di kelas dengan buku-buku teks, atau berada di sebuah laboratorium dengan tabung-tabung tes, para siswa pergi ke sawah untuk menanam padi dengan sesungguhnya. Sebagian orang mungkin berpikir pendekatan seperti itu adalah sebuah kerancuan dan bukanlah belajar yang sesungguhnya, dan menanam padi adalah hal yang kuno di era digital ini.

�Apakah kita ingin memiliki nasi untuk di makan di masa depan? Apakah kita bisa memakan Internet sebagai gantinya? Tentu saja tidak,� kata Assoc. Prof. Prapapat Niyom, pendiri dan direktur Roong Aroon, sekolah Buddhis terkemuka lainnya.

�Padi adalah sumber makanan kita yang paling penting dan kita tidak dapat hidup tanpanya. Mengetahui bagaimana menanam padi tidak akan pernah ketinggalan jaman selama orang memakan nasi.�

�Menanam padi merupakan hal multi-disiplin bagi para siswa, membantu mereka untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan, bahasa, biologi, geologi, geografi, dan sosial budaya. Menanam padi bukanlah aktivitas pilihan hanya untuk kesenangan semata tetapi sebuah proses belajar yang penting yang juga menciptakan pikiran yang sadar.�

Bupaswat dari sekolah Thawsi juga memberi catatan bahwa mungkin terdapat beberapa kesalahpahaman mengenai pendidikan Buddhis. �Ada beberapa orang yang berpikir bahwa pendidikan Buddhis hanyalah mengenai bermain dan melakukan perjalanan. Tetapi sebenarnya adalah dalam sekolah Buddhis kami memastikan bahwa pendidikan tidaklah hanya terjadi di dalam kelas tetapi dimana saja dan kapan saja. Jadi anak-anak akan memiliki banyak pengetahuan akan kehidupan yang sesungguhnya. Anak-anak merasa tertarik dengan alam dan selalu ingin mempelajarinya.�

�Sebagai seorang anak, kita belajar mengenai alam � bumi, air, tanaman � dari buku-buku teks,� tambah Patchana dari sekolah Thawsi. �Kita belajar mengenai sumber alam seperti minyak dan berpikir sumber alam tersebut adalah hal tidak berhubungan dan tidak akan pernah habis. Dan sekarang kita mengalami kekurangan bahan bakar.�

�Dalam sekolah Buddhis kami mengajarkan para siswa untuk melihat segalanya secara keseluruhan dan untuk menyadari bahwa mereka adalah bagian dari alam, jadi hal kecil sekalipun yang mereka lakukan akan memiliki dampak terhadap alam semesta.�

Agar diterima

Seperti halnya banyak sekolah-sekolah utama ternama, agar diterima oleh sekolah Buddhis tidaklah mudah. Bagi para orang tua yang berharap untuk bergabung dengan sekolah-sekolah yang bereputasi tinggi, mereka mungkin harus mempersiapkan secara serius anak-anak mereka untuk mengikuti ujian masuk atau menghitung biaya yang di �donasikan� ke sekolah-sekolah tersebut. Namun, bagi mereka yang tertarik menjadi bagian dari sekolah Buddhis harus menghadapi tantangan lainnya yang berbeda.

�Setiap tahun ada sejumlah orang tua yang tertarik dalam pendekatan kami dan menginginkan agar anak-anak mereka dapat belajar di sekolah kami yang hanya dapat menerima 75 orang siswa,� kata Prapapat dari sekolah Roong Aroon.

�Jadi sebagai ganti duduk untuk mewawancarai, kami mengadakan dua hari workshop dimana para orang tua beserta anak mereka dapat bergabung di dalam aktivitas yang beragam termasuk seminar-seminar, olahraga dan memasak. Dengan cara itulah kami mengamati bagaimana para orang tua dan anak saling berkomunikasi dan berinteraksi.�

Di sekolah Thawsi, selama satu jam, pertemuan satu-satu antara para orang tua dan para guru membantu sekolah ini untuk memastikan bahwa mereka cocok satu sama yang lain. Tidak ada tes atau ujian. Untuk disetujui oleh sekolah ini hanya tergantung pada wawancara dengan para orang tua, dan dalam banyak kasus tanpa melibatkan si anak karena pihak sekolah yakin bahwa orang tua tersebut merupakan orang yang paling berpengaruh dalam kehidupan anak tersebut.

Jadi jenis keluarga, orang tua yang seperti apa sebenarnya yang sesuai atau tidak dengan sistem? Apakah mereka harus menjadi Buddhis?

Menurut Bupaswat dan Prapapat, Anda tidaklah harus menjadi Buddhis untuk bergabung dalam sekolah tersebut. Bahkan kenyataannya, siswa kr****n, Muslim dan Sikh terlihat di kedua sekolah baik Thawsi and Roong Aroon. Namun, Anda harus menunjukkan bahwa Anda �siap�.

�Kami memiliki sebuah visi yang jelas di dalam bagaimana kami mendekati pendidikan,� kata Bupaswat. �Ketika kita berbicara kepada orang tua, kami mencoba untuk melihat apa yang mereka harapkan dari kami dan apakah kami dapat memberikannya. Jika mereka membutuhkan anak mereka agar penuh dengan pengetahuan akademis, maka sekolah kami tidak akan menerimanya. Pada saat yang sama, kami juga menjunjung lima sila dan kami menginginkan mereka melakukannya juga,� jelas Bupaswat.

Sekolah Roong Aroon juga menerapkan prinsip yang sama. Sekalipun begitu, ini bukan berarti Anda harus menjadi seorang praktisi Buddhis yang ekstem atau menggunakan pakaian putih ala vipassana dalam rangka untuk menyesuaikan diri dengan sistem. Baik di sekolah Roong Aroon maupun Thawsi, mereka melihat sebuah keragaman para orang tua.

�Beberapa orang tua adalah pengusaha sedang beberapa diantaranya sangat modern tetapi kami semua menghormati ajaran kemoralan yang sama dan hidup bersama tanpa merasakan keanehan. Saya pikir adalah sifat alami manusia untuk rindu akan kehangatan hubungan dan sebuah rasa memiliki. Di Roong Aroon, kami tidak hanya berhubungan dengan status sosial kami tetapi kami semua berada dalam keluarga yang sama dimana kedermawanan merupakan praktik yang umum,� kata Prapapat.

�Karakteristik yang dibutuhkan oleh para orang tua dari anak-anak pendidikan Buddhis adalah kesiagaan, kesadaran dan kebahagiaan, dan yang paling penting adalah untuk selalu siap belajar dan meningkatkan diri bersama dengan anak-anak mereka,� Bupaswat dari sekolah Thawsi menyimpulkan.
[Oleh: Vanniya Sriangura]

83
Bagaimana Dapat Bersatu Lagi di Kehidupan Mendatang?

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa(3X)

Dhammacārī sukhaṁ seti, asmiṁ loke paramhi ca’ti

Barang siapa yang hidup sesuai dengan Dhamma, maka akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia berikutnya.

(Dhammapada 169)
Segala sesuatu yang kita perjuangkan di dunia ini, yang kita kerjakan dan yang kita lakukan, bila sudah memberikan hasil, maka dari hasil itu pula jika bisa dinikmati dengan sepenuhnya, akan memberikan kepuasan dan kebahagiaan. Hampir semua orang bila apa yang dikerjakan, apa yang diperjuangkan dan apa yang dilakukan bila sudah mendatangkan keberhasilan, keuntungan, dan kesuksesan, maka diharapkan terus-menerus berjalan/ berlanjut. Benarkah demikian? Coba saja kita perhatikan ketika kita memulai membuka sebuah usaha misal usaha berdagang/berjualan apa saja, bila sudah berhasil/ sukses pasti menginginkan di waktu berikutnya demikian. Demikian juga terhadap bidang lainnya. Tidak itu saja sampai kehidupan rumah tangga suami-istri pun bila merasa cocok, serasi, sepadan, seucap dan sekata, maka diharapkan sampai usia tua tetap selalu berkumpul berdua.

Jadi, segala sesuatu yang kita nikmati atau yang kita miliki ingin selalu bersama kita seperti halnya anak-anak dan orangtua (suami-istri) selalu hidup bersama. Sebagian orang yang belum mengerti Dhamma banyak yang berpikir dan mereka mengharapkan bagaimana agar kehidupan suami-istri itu bisa berlanjut di kemudian hari/sesudah kita meninggal nanti. Hal ini sesungguhnya tidak asing lagi jika kita mengerti Dhamma bahwa dalam ajaran Sang Buddha kita tidak saja bisa ketemu/berjodoh dalam kehidupan sekarang, tetapi juga pada kehidupan yang akan datang setelah kita meninggal (pada kelahiran yang baru). Sebagai contohnya adalah Guru Agung kita Sang Buddha, dikisahkan bahwa sebanyak 500 kali kelahiran selalu hidup berpasangan dengan istrinya yang dalam kehidupan sekarang; yaitu Yasodhara.

Inginkah bapak/ibu bersatu kembali dalam kehidupan yang akan datang dengan pasangan bapak/ibu? Kalau ingin, ikutilah kisah berikut:

”Pada suatu ketika Sang Buddha berdiam di antara penduduk Bhagga, dekat Sungsumaragiri, di taman Rusa di Hutan Bhesakala. Suatu pagi Sang Buddha berpakaian, mengambil jubah atas dan mangkuk-Nya, lalu pergi ke tempat tinggal perumah tangga Nakulapita. Setelah tiba di sana, Beliau duduk di tempat yang telah disediakan. Perumah tangga Nakulapita dan istrinya, Nakulamata mendekati Sang Buddha. Setelah memberi hormat, mereka duduk di satu sisi. Kemudian, perumah tangga Nakulapita berkata kepada Sang Buddha, ”Yang Mulia, sejak istri saya, Nakulamata yang masih muda, di bawa ke rumah saya yang pada waktu itu juga masih muda, saya tidak pernah secara sadar telah melayani dia sekalipun di dalam pikiran, apalagi di dalam tindakan. Yang Mulia, kami berkeinginan untuk tidak berpisah selama kehidupan ini masih berlangsung dan di dalam kehidupan mendatang juga.”

Kemudian Nakulamata sang istri itu berkata kepada Sang Buddha, ”Yang Mulia, sejak saya yang pada waktu itu masih muda dibawa ke rumah suamiku Nakulapita yang masih muda, saya tidak pernah secara sadar telah melayani dia secara sadar sekalipun di dalam pikiran, apalagi di dalam tindakan. Yang Mulia, kami berkeinginan untuk tidak berpisah selama kehidupan ini masih berlangsung dan di dalam kehidupan mendatang juga.”

Kemudian Sang Buddha berkata demikian, ”Perumah tangga, jika suami dan istri ingin tidak terpisah selama kehidupan ini masih berlangsung dan di dalam kehidupan yang akan datang juga, harus memiliki keyakinan yang sama, moralitas yang sama, kedermawanan yang sama, kebijaksanaan yang sama, dengan demikian mereka tidak akan berpisah selama kehidupan ini masih berlangsung dan di dalam kehidupan mendatang juga.

Bila keduanya memiliki keyakinan dan kedermawanan,

Memiliki pengendalian diri, Menjalani kehidupan yang benar,

Mereka datang bersama sebagai suami dan istri,

Penuh cinta kasih satu sama lain.

Banyak berkah datang kepada mereka,

Mereka hidup bersama di dalam kebahagiaan,

Musuh-musuh mereka dibiarkan merana,

Bila keduanya setara moralitasnya.

Setelah hidup sesuai Dhamma di dunia ini,

Setara dalam moralitas dan ketaatan,

Mereka bersuka cita di alam dewa setelah kematian,

Menikmati kebahagiaan yang melimpah.”

(Aṅguttara Nikāya V, 55)

Sedangkan syarat lainnya Sang Buddha juga menjelaskan di dalam Sigalovāda Sutta, ada lima kewajiban suami dan istri sebagai pedoman kehidupan rumah tangga yang baik. Dengan lima cara seorang istri diperlakukan dengan baik oleh suaminya, yaitu: perhatian, ramah-tamah, setia, menyerahkan kekuasaan tertentu kepadanya, dan memberikan barang-barang perhiasan kepadanya.

Demikian juga seorang istri memperlakukan suaminya dengan lima cara, yaitu: melakukan kewajiban-kewajibannya dengan sebaik-baiknya, berlaku ramah-tamah kepada sanak keluarga dari kedua belah pihak, setia, menjaga barang-barang yang ia bawa, serta pandai dan rajin mengurus segala pekerjaan rumah tangga.

(Sigalovāda Sutta, Dīgha Nikāya)

Demikianlah hal-hal yang harus dilakukan agar pada kelahiran mendatang anda dapat bertemu kembali sebagai pasangan suami istri yang cocok.

Sabbe sattā bhavantu sukhitattā

thx to: singthung

84
Buddhisme untuk Pemula / Kualitas Seorang Buddhis
« on: 08 April 2010, 11:13:42 PM »
YE KECI OSADHA LOKE, VIJJANTI VIVIDHA BAHU
DHAMMOSADHASAMAM NATTHI, ETAM PIVATHA BHIKKAVO

Dari semua obat di dunia ini, yang banyak dan beraneka jenis,
Tidak ada satu pun yang menyamai obat Dhamma.
Karena itu, O, para bhikkhu, minumlah obat ini.

(Milindapanha. 335)



oleh Bhikkhu Abhayanando


Ada sesuatu yang seharusnya kita renungkan sebagai seorang umat Buddha namun jarang sekali kita merenungkan. Sudahkah nilai-nilai luhur Dhamma itu terealisasi dalam kehidupan kita sehari-hari atau hanya sebatas konseptual belaka. Kebanyakan dari kita masih berpegang teguh pada konsep sehingga Dhamma yang masuk ke dalam diri kita hanya sebatas pengetahuan yang memenuhi intelektual kita. Wajar saja jika prilaku kita belum mencerminkan nilai-nilai luhur Dhamma atau setidak-tidaknya ada perubahan yang terjadi di dalam diri kita menuju kepada nilai-nilai luhur Dhamma tersebut.

Kenapa saya membuka uraian ini dengan perenungan itu? Kalimat perenungan itu saya tulis karena terkadang kita salah memegang Dhamma sehingga yang terjadi banyak pandangan salah yang muncul karena penafsiran yang salah terhadap Dhamma yang telah kita pelajari. Banyak pengetahuan Dhamma sangatlah baik, tetapi harus diingat Dhamma itu untuk direalisasi bukan untuk perdebatan atau pun sebagai hiburan batin. Kalau kita puas sampai di situ saja, maka kita tidak ada kemajuan justru yang muncul adalah kekuatan ego, keangkuhan, dan kesombongan. Sehingga kita memandang rendah orang yang pengetahuan Dhammanya sedikit dan pengalaman latihannya belum seperti kita.

Kalau kita hanya sekedar kagum dengan Dhamma dan Dhamma hanya sebagai pengetahuan intelektual belaka maka yang akan muncul adalah kekuatan negatif sehingga prilaku kita tidak akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Pernah muncul sebuah pertanyaan yang dapat menjadikan gambaran bagi kita bahwa Dhamma memang harus direalisasi sehingga menumbuhkan manusia yang mempunyai etika. Tentunya sebagai seorang Buddhis etika yang berkembang adalah prilaku yang sesuai dengan Dhamma. Pertanyaan itu sebagai berikut, “Kenapa ada orang yang pengetahuan Dhammanya tinggi dan pengalaman Dhammanya banyak tetapi prilakunya penuh keangkuhan, tidak ada rasa hormat, memandang rendah yang lain, enggan menolong sesama, dan hal-hal negatif lainnya. Kejadian tadi menggambarkan tidak terealisasinya Dhamma dalam dalam kehidupan sehari- hari, Dhamma hanya berhenti pada intelektual orang tersebut.

Gambaran di atas menunjukan bahwa sebagai seorang umat Buddha bukan hanya teori yang kita kejar tetapi kita juga harus intropeksi kedalam diri kita masing-masing dan bertanya pada diri sendiri, “Sudahkah Dhamma yang saya pelajari terealisasi dalam kehidupan saya?” Kalau belum marilah kita bersama-sama memotivasi diri untuk menjadi seorang Buddhis yang betul-betul bukan hanya sekedar identitas luar. Identitas sebagai seorang Buddhis adalah bagaimana menanamkan nilai-nilai luhur Dhamma dalam kehidupan kita sehari-hari, baik di rumah tangga, di lingkungan oraganisasi, di lingkungan masyarakat, pendek kata dimanapun kita berada kita harus berusaha untuk menampilkan citra sebagai seorang Buddhis.

Memang untuk merubah kebiasaan buruk yang sudah ada pada diri kita tidak semudah membalikkan telapak tangan tetapi usaha kita akan menentukan perubahan itu. Perjuangan selalu membutuhkan pengorbanan, namun semua itu adalah langkah awal untuk menuju kepada kualitas hidup yang lebih baik. Kualitas hidup akan dapat berkembang dalam diri kita, jika kita betul-betul merealisasikan Dhamma dalam kehidupan kita sehari-hari. Dhamma telah memberikan inspirasi bahwa untuk memiliki kualitas hidup harus memiliki etika yang didalamnya terkandung nilai-nilai moral, nilai-nilai sosial, dan nilai-nilai kebijaksanaan.

Pengembangan moral sangat perlu bagi kemajuan kualitas hidup. Moral dan etika membentuk landasan bagi cita-cita sosial, ekonomi, politik, dan religius. Tanpa nilai-nilai moral, kehidupan berada dalam bahaya, oleh karena itu pemeliharaan nilai-nilai moral sangat perlu untuk menuju terwujudnya kualitas hidup. Pengembangan moralitas merupakan aspek penting dalam kehidupan karena moralitas adalah landasan untuk pencapaian kualitas hidup yang akan membawa kebahagiaan bagi diri kita dan lingkungan kita. Menjaga moral seperti membangun pagar yang melindungi rumah sendiri dan rumah tetangga.

Apa itu moralitas? Ia adalah standar dan prinsip bagi prilaku yang baik di dalam jalan kebaikan. Kata Pali untuk moralitas adalah Sila. Kata ini berarti disiplin dalam pengembangan moral. Ia merupakan disiplin pribadi yang dikembangkan dari dalam dan bukannya muncul dari rasa takut terhadap hukuman. Ia merupakan perbuatan yang berasarkan pada motif-motif yang murni-berdasarkan kasih, kemerdekaan, dan kebijaksanaan yang diperkuat dengan pengertian terhadap kepalsuan terhadap hakikat “diri” dan “ego”. Dengan pengembangan moralitas yang terus menerus akan mengembangkan prilaku yang baik serta pengendalian diri yang mantap. Prilaku yang baik dan pengendalian diri yang mantap itu adalah rasa malu untuk berbuat jahat (Hiri) dan rasa takut akibat dari perbuatan jahat (Ottapa). Dua sikap moral ini akan memberdayakan kualitas hidup kita namun pengembangan moral ini belum cukup karena kita juga harus merealisasikan sikap yang baik ini dalam kehidupan kita. Untuk merealisasikan Dhamma dalam kehidupan kita sehari-hari dibutuhkan nilai-nilai humanisme.

Nilai-nilai humanisme yang kita kembangkan akan langsung menyentuh kehidupan dalam wujud cinta kasih, ramah tamah, kedermawanan, tenggang rasa, rasa hormat dan pemahaman terhadap corak kehidupan. Nilai-nilai humanisme ini terkandung dalam Metta Karuna dan Pabba. Pengembangan Metta Karuna dan pabba ini harus seimbang. Metta Karuna adalah mencakup sifat cinta kasih, suka beramal, ramah tamah, toleransi, dan sifat-sifat luhur lainnya yang ada hubungannya perasaan (emosi) atau sifat-sifat yang timbul dari hatisedangkan Pabba adalah berhubungan dengan intelektual (kecerdasan) atau sifat-sifat yang timbul dari pikiran dan pemahaman jelas tehadap corak kehidupan.

Kalau orang hanya mengembangkan segi perasaannya saja dengan mengabaikan segi inteleknya (kecerdasannya), maka orang ini kelak akan menjadi orang bodoh yang baik hati. Sebaliknya, kalau orang hanya mengembangkan segi inteleknya dengan mengabaikan segi perasaannya, maka orang itu akan menjadi seorang intelek yang “berhati batu” dan tidak mempunyai perasaan kasihan sedikit pun terhadap orang lain.Oleh karena itu, untuk memperoleh kualitas hidup orang harus mengembangkan nilai-nilai luhur tersebut.

Dengan pengembangan nilai-nilai moralitas dan nilai-nilai humanisme yang telah diuraikan seperti tersebut diatas, kita akan menjadi seorang Buddhis yang memiliki kwalitas yang baik dan akan menjadi contoh bagi manusia lainnya. Tentunya pengembangan nilai-nilai luhur Dhamma ini tidak semudah membalikan telapak tangan. Kita harus mulai dari tahap yang paling awal, walau begitu kemauan untuk merubah prilaku ke arah yang lebih baik dengan merealisasikan Dhamma akan membawa wujud nyata dari harapan yang baik itu. Untuk menjadi umat Buddha tidak cukup dengan membawa merek atau lambang-lambang Buddhis, kecerdasan intelektual tentang Dhamma, karena tidak akan ada perubahan prilaku justru yang muncul prilaku yang tidak sesuai Dhamma. Realisasi Dhamma dalam kehidupan kita sehari-hari adalah lebih bermanfaat untuk peningkatan kwalitas hidup. Inilah tantangan kita untuk menjadi seorang Buddhis yang baik. Ibarat minuman, kalau ingin merasakan segarnya minum itu, jangan hanya dilihat dan dikagumi tetapi minumlah, baru segarnya minumnya itu dapat dirasakan.

85
Karena disebutkan dalam Jin�lanuk�ra Tik� bahwa hanya penjelasan yang berhubungan dengan empat hal, yaitu (1) kamma, (2) kamma-sarikkhaka, (3) lakkhana, dan (4) lakkhan�nisamsa, dari masing-masing tiga puluh dua tanda-tanda utama yang dijelaskan dengan baik, makna dari empat hal inilah yang akan dijelaskan berikut ini.

Dari empat hal ini, (1) kamma artinya unsur kebajikan yang dilakukan pada masa lampau yang bertujuan untuk mencapai Kebuddhaan, yang menyebabkan munculnya tanda-tanda utama tersebut; (2) kamma-sarikkhaka artinya kekuatan dari tanda-tanda tersebut sehubungan dengan kammanya; (3) lakkhana artinya masing-masing dari tiga puluh dua tanda ini seperti telapak kaki yang rata dan seratus delapan gambar pada telapak kaki, dan lain-lain yang diperoleh dalam kehidupan terakhirnya sehubungan dengan kebajikan masa lampau; dan (4) lakkhan�nisamsa artinya akibat tidak langsung dari kebajikan masa lampau yang menyebabkan munculnya tanda-tanda utama tersebut.

(Misalnya, Bodhisatta mengumpulkan jasa-jasa kebajikan selama kehidupan-kehidupan lampaunya dengan teguh dan mantap yang tidak dapat dihalang-halangi atau dihancurkan oleh makhluk lain. Karena kumpulan jasa ini, ia menikmati kenikmatan surgawi yang melebihi makhluk-makhluk lain dalam sepuluh hal. Ketika ia terlahir sebagai manusia, ia memperoleh tanda berupa telapak kaki yang rata bagaikan telapak sepatu emas. Dengan telapak kaki seperti ini, ia dapat berdiri dan berjalan dengan mantap; tidak seorang pun, apakah dewa atau manusia atau brahm� yang dapat menggoyahkannya. Kebajikan ini juga memberikan akibat lain: ia tidak tergoyahkan oleh kotoran-kotoran batin seperti keserakahan, kebencian, dan kebodohan dan juga oleh dua jenis kotoran eksternal: yang melawannya secara terang-terangan dan yang melawannya secara sembunyi-sembunyi.)

Di sini, kelompok kebajikan masa lalu yang ia lakukan dengan teguh dan mantap yang tidak dapat dihalang-halangi atau dihancurkan oleh makhluk lain adalah (1) kamma. Telapak kaki yang rata sebagai tanda dari kebajikan-kebajikannya pada masa lampau adalah (3) lakkhana. Kemampuannya untuk berdiri dan berjalan dengan mantap adalah (2) kamma-sarikkhaka. Kemampuan yang melekat pada tanda ini, yang membentuk akibat, dengan kekuatan yang melekat pada kebajikan yang bertindak sebagai penyebab; sifat yang melekat ini disebut kamma-sarikkhaka (sifat yang sesuai dengan kamma). Bagaikan membawa sebuah kendi yang penuh berisi air sama dengan membawa air di dalam kendi, demikian pula membicarakan mengenai tanda-tanda dan kekuatannya sama dengan membicarakan kekuatan tersebut. Oleh karena itu penjelasan dari lakkhana dan penjelasan dari kamma-sarikkhaka terlihat mirip satu sama lain dalam Komentar Lakkhan� Sutta dari P�thika Vagga Atthakath�. Usaha yang teguh dan mantap, yang diterapkan pada tindakan melakukan perbuatan baik di kehidupan lampau, menyebabkan Bodhisatta tidak hanya memiliki telapak kaki yang rata, tetapi juga menyebabkan akibat-akibat tidak langsung lainnya, yaitu kemampuan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh-musuhnya dari dalam maupun dari luar dirinya; akibat-akibat langsung maupun tidak langsung ini adalah (4) lakkhan�samasa

(Sekarang, sehubungan dengan tanda-tanda utama Bodhisatta, perbuatan-perbuatan pada masa lampau yang menjadi penyebab dan hal-hal lainnya akan dijelaskan secara singkat yang dikutip dari Lakkhana Sutta, Tipitaka, dan sumber-sumber lain dalam bahasa yang mudah dimengerti.)

Telapak Kaki yang Rata

(1) Bodhisatta telah melakukan kebajikan-kebajikan selama kehidupan-kehidupan lampau-Nya dengan teguh dan mantap yang tidak dapat dihalang-halangi atau dihancurkan oleh makhluk lain. Karena jasa-jasa ini, Ia menikmati kenikmatan surgawi yang melebihi makhluk-makhluk lain dalam sepuluh hal: umur panjang, kecantikan, kebahagiaan, kekuasaan, pengikut, objek indra yang berlimpah di alam surga seperti pemandangan indah, suara merdu, wangi-wangian, rasa lezat, dan sentuhan-sentuhan yang menyenangkan; di alam manusia, Ia memperoleh tanda berupa �telapak kaki yang rata bagaikan sepatu emas�. Karena Ia memiliki tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga Ia akan menjadi raja dunia (cakkavatti) yang memiliki tujuh pusaka dan memerintah di empat benua seperti pada waktu terlahir sebagai Mah�sudassana Cakkavatti; dan sebagai akibat tidak langsungnya,Ia akan terbebas dari bahaya yang berasal dari musuh-musuh-Nya.

Jika Ia melepaskan keduniawian, seperti pada kelahiran terakhir-Nya sebagai Pangeran Siddhattha, Ia mencapai Kemahatahuan dan mencapai Pencerahan Sempurna, Raja Tiga Alam; dan akibat tidak langsungnya adalah akibat ini tidak dapat dihentikan atau diancam oleh musuh-musuh internal kotoran batin seperti keserakahan, kebencian, dan kebodohan, dan oleh musuh eksternal seperti petapa, brahmana, dewa, M�ra atau brahm� yang menentang-Nya secara terang-terangan atau secara sembunyi-sembunyi.

Seratus Delapan Lingkaran Bergambar di Telapak Kaki

(2) Selama banyak kehidupan pada masa lampau, Bodhisatta telah melayani makhluk-makhluk lain demi kesejahteraan mereka. Ia melenyapkan rasa takut dari mereka yang ketakutan. Ia melakukan d�na beserta pemberian-pemberian lainnya. (Misalnya, sewaktu Ia mendanakan jubah dan pakaian Ia juga sekaligus mendanakan makanan sebagai d�na tambahan kepada penerima d�na-Nya; Ia juga mempersilakan mereka duduk, menghormati dengan bunga dan wangi-wangian dan menyajikan minuman. Kemudian, Ia mengucapkan tekad untuk menjalani s�la dan bertekad untuk mencapai Kemahatahuan. Setelah itu, barulah Ia menyerahkan jubah dan pakaian dengan penuh hormat.

Demikianlah Bodhisatta memberikan d�na utama dan d�na tambahan.) Sebagai akibat dari kebajikan itu, Ia menikmati kebahagiaan surgawi yang melebihi semua dewa-dewa lain dalam sepuluh hal seperti yang telah dijelaskan di atas; terlahir di alam manusia Ia memiliki tanda nomor 2 berupa seratus delapan lingkaran bergambar di telapak kaki-Nya. Karena Ia memiliki tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap sebagai perumah tangga, Ia akan menjadi raja dunia; dan sebagai akibat tidak langsungnya, Ia juga akan memiliki banyak pengikut yang terdiri dari para brahmana, orang-orang kaya, dan lain-lain; jika Ia melepaskan keduniawian saat menjadi Pangeran Siddhattha, Ia akan menjadi seorang Buddha Yang Mahatahu; dan sebagai akibat tidak langsungnya, Ia memiliki banyak pengikut yang terdiri dari para bhikkhu, bhikkhuni, siswa-siswa awam laki-laki dan perempuan, para dewa, manusia, asura, n�ga dan gandhabba.

Di sini, perbuatan d�na yang disertai pemberian tambahan dalam banyak kehidupan lampaunya adalah (1) kamma. Kemampuan gambar pada telapak kaki yang sempurna seolah-olah menunjukkan, �Agar dewa dan manusia mengetahui bahwa Bodhisatta telah melakukan kebajikan d�na yang disertai dengan d�na tambahan� adalah (2) kamma-sarikkhaka. Tanda pada telapak kaki adalah (3) lakkhana. Pengikut yang banyak (4) lakkhan�nisamsa.

Tumit yang Menonjol, Jari-jemari Tangan dan Kaki yang Panjang dan Tubuh yang Tegak

(3) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta menjauhkan diri dari pembunuhan. Tidak pernah Ia memegang senjata dengan tujuan untuk membunuh. Ia hidup dalam cinta kasih dan welas asih, memelihara kesejahteraan makhluk lain. Sebagai akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi yang melebihi semua dewa-dewa lain dalam sepuluh hal; terlahir sebagai manusia, Ia memiliki tiga tanda utama; no. 3 tanda tumit-Nya yang menonjol, no. 4 jari-jemari tangan dan kaki yang panjang, no. 5 tubuh yang tegak, jika Ia memilih untuk tetap sebagai perumah tangga, Ia akan menjadi raja dunia; dan sebagai akibat tidak langsungnya, Ia akan berumur panjang hingga akhir umur kehidupan manusia pada waktu itu; tidak seorang pun yang dapat melukai-Nya (atau membunuh-Nya).

Jika melepaskan keduniawian seperti pada kelahiran terakhir-Nya sebagai Pangeran Siddhattha, Ia akan menjadi seorang Buddha Yang Mahatahu; dan sebagai akibat tidak langsungnya, Ia akan hidup hingga empat perlima dari umur kehidupan manusia waktu itu; tidak satu makhluk pun, baik petapa, brahmana, dewa, M�ra, atau brahm�, mampu mengancam kehidupan-Nya (atau membunuh-Nya).

Empat Harta Buddha yang Tidak Dapat Diganggu

Ada empat harta seorang Buddha yang tidak dapat diganggu oleh makhluk lain, yaitu:
(1) empat kebutuhan yang diperuntukkan dan dibawa untuk-Nya,
(2) kehidupan-Nya,
(3) tanda-tanda-Nya, dan
(4) cahaya-Nya
(Buddhavamsa Atthakath� Vol. 2).
atau,
(1) segala benda yang berhubungan dengan empat kebutuhan yang dibawa untuk-Nya,
(2) kehidupan-Nya,
(3) delapan puluh tanda-tanda kecil dan cahaya tubuh-Nya, (cahaya bulan, matahari, dewa, dan brahm� tidak mampu menandingi cahaya tubuh Buddha), dan
(4) kemahatahuan-Nya
(Vinaya P�r�jika-kanda Atthakath�, Vol. 1)

86
Buddhisme untuk Pemula / Penyimpanan Jenazah
« on: 08 April 2010, 10:50:07 PM »
Seberapa lama suatu jenazah selayaknya disemayamkan atau disimpan sebelum diperabukan? Di Yunani pada zaman lampau, sebelum pengetahuan di bidang medis berkembang pesat, jenazah orang mati lazimnya disimpan selama dua tiga hari untuk memastikan bahwa telah benar-benar meninggal dunia, bukan dalam keadaan mati suri. Upaya pembuktian dalam hal ini kadangkala dilakukan dengan mengiris atau memotong jari tangan.

Dalam Agama Buddha sama sekali tidak ada ketentuan yang mengikat. Akan tetapi, di Muangthai ada tradisi menyimpan jenazah bhikkhu-bhikkhu terkenal dalam waktu yang sangat lama, bahkan sampai bertahun-tahun. Ada beberapa alasan yang melatar-belakangi tradisi tersebut. Pertama, untuk memberikan kesempatan kepada para siswa serta umat awam yang bertinggal di tempat yang sangat berjauhan, untuk datang menghaturkan penghormatan terakhir. Kedua, ada kebiasaan bagi orang-orang Thai untuk berbuat kebajikan dalam upacara kematian dengan menjadi sponsor pembacaan kitab-kitab Abhidhamma. Karena sedemikian banyak peminatnya, acara yang berlangsung setiap malam itu terulur-ulur hingga lama sekali. Ketiga, karena para pengikut bhikhu-bhikkhu terkenal itu belum bisa menghilangkan rasa kerinduan dan kemelekatan. Keempat, jenazah itu sengaja tidak segera diperabukan karena vihâra tempat bertinggal mereka tidak mempunyai pengganti (successor) yang dapat diharapkan menanggung kebutuhan serta biaya pengeluaran vihâra sehari-hari. Kalau jenazah mereka segera diperabukan, umat-umat yang dahulunya sering datang ke vihâra untuk berdana niscaya akan berpindah ke vihâra-vihâra lain.

Kalau ditanyakan apakah tradisi semacam itu sesuai dengan ajaran murni Buddha Gotama? Jawaban singkatnya ialah: Tidak! Berikut ini adalah argumentasi yang memperlihatkan mengapa tradisi semacam itu tidak selayaknya tetap diselenggarakan. Jenazah Buddha Gotama sendiri, yang menjadi pendiri Agama Buddha dan menjadi Guru junjungan utama, hanya disemayamkan selama tujuh hari. Lalu, dengan alasan apakah kita pantas untuk menyimpan jenazah bhikkhu guru kita, betapa pun dekat hubungan kita dengannya dan betapa pun besar jasa beliau kepada kita, dalam jangka waktu yang melebihi penyimpanan jenazah Sang Buddha?

Dalam berbuat sesuatu, umat Buddha tidak sepantasnya melangkahi Sang Buddha. Tradisi penyimpanan jenazah dalam waktu yang lebih lama cenderung menciptakan ‘iklim’ yang kurang baik, yang membuat banyak pihak berusaha untuk saling berjor-joran. Waktu penyimpanan yang semakin lama dijadikan sebagai lambang kebesaran Pâramî (Kesempurnaan) yang telah ditimbun oleh bhikkhu guru mereka. Ini tidak begitu menjadi masalah apabila mereka mempunyai anggaran yang memadai. Celakanya, jika tidak, mereka harus berpontang-panting menghimpun dâna hanya sekadar untuk keperluan menyimpan jenazah. Ini adalah argumentasi utama yang tidak menyetujui diselenggarakannya upacara kematian yang terlalu lama.

Berikut ini akan ditambahkan beberapa argumentasi lain sesuai dengan alasan yang melatar-belakanginya. Pertama, dua puluh lima abad yang lampau, ketika sarana transportasi dan peralatan perabuan tidak sebegitu maju seperti sekarang ini, waktu tujuh hari sudah terlalu cukup untuk memperabukan jenazah Buddha Gotama. Masuk akalkah jika pada zaman sekarang ini kita menuntut peluang waktu yang lebih lama untuk dapat menyelenggarakan upacara perabuan? Kedua, memang tidak dapat dibantah bahwa pembacaan kitab-kitab Abhidhamma merupakan suatu kebajikan. Namun, alangkah lebih baik jika anggaran ini dialihkan untuk kegiatan-kegiatan lain yang lebih bermanfaat, misalnya menarik minat umat Buddha untuk memahami makna keagamaan yang terkandung dalam kitab-kitab Abhidhamma, bukan hanya sekadar mendengarkan penguncarannya dalam Bahasa Pâli yang belum tentu dimengerti artinya; mendirikan yayasan-yayasan yang ditujukan untuk menunjang perkembangan Agama Buddha; memberikan bea-siswa kepada para bhikkhu dan sâmanera dari pelosok untuk memperoleh pendidikan keagamaan yang layak; dan sebagainya. Ketiga, Sang Buddha senantiasa mengajarkan umat-Nya untuk tidak terbenam dalam kerinduan serta kemelekatan entah pada apa pun dan kepada siapa pun –termasuk kepada Beliau sendiri.

Ketika Ânanda Thera menanyakan bagaimana selayaknya jenazah Sang Buddha diperlakukan, Beliau menasihatkan agar tidak terlalu merepotkan diri dalam hal ini. Lebih baik berjuang demi kesucian dan pembebasan bagi diri sendiri. Perlu disadari bahwa meskipun jenazah guru yang mereka cintai disimpan dalam waktu yang lama, suatu saat nanti pasti akan terpisahkan kembali. Alih-alih mengumbar emosi kerinduan, apakah tidak lebih tepat jika menggunakan waktu yang berharga ini untuk melaksanakan petunjuk serta nasihat mereka? Keempat, sangatlah tidak etis untuk memanfaatkan jenazah orang yang telah meninggal, apalagi guru yang kita junjung tinggi, sebagai alat untuk menghimpun dâna –kendati ini selanjutnya dipakai untuk keperluan umum. Lebih baik mati kelaparan daripada “mencari makan dari mayat”.

Untuk dapat menghapus tradisi yang telah berlangsung puluhan atau bahkan ratusan tahun ini, masyarakat Thai membutuhkan teladan nyata dari para sesepuh yang berkharisma tinggi. Beberapa guru meditasi yang terkenal telah memulai upaya ini dengan berpesan kepada para murid mereka agar segera memperabukan jenazah mereka secepat mungkin. Membenahi apa yang telah lama menyimpang itu tidaklah segampang meluruskan anak panah. Dengan menyadari kenyataan ini, umat Buddha entah di mana pun berada hendaknya senantiasa bersikap tanggap dalam meluruskan apa yang tidak sesuai dengan ajaran murni Sang Buddha sejak dari dini. Janganlah salah menyangka upaya semacam ini didasari niat buruk untuk sengaja mencari-cari masalah atas hal-hal yang sepele.


87
Buddhisme untuk Pemula / Aborsi Menurut Pandangan Agama Buddha
« on: 08 April 2010, 10:45:51 PM »
Peristiwa aborsi memang ada di sepanjang sejarah manusia. Sesungguhnya di mana ada orang yang ingin hamil maka di tempat yang sama juga ada kehamilan yang tidak diinginkan. Banyaknya kasus aborsi di kalangan remaja saat ini yang berakibat merenggut nyawa menunjukkan pendidikan seks bagi remaja sudah saatnya dipikirkan.

Mencermati kasus ini memang dibutuhkan pemikiran jernih. Sejauh ini masyarakat khususnya kalangan remaja intelektual tergesa-gesa dalam menyimpulkan kasus aborsi hanya dilakukan karena pergaulan bebas dan mengutuk perilaku sang pelaku tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain yang ada di dalamnya. Kenyataannya ada kesenjangan antara respons masyarakat yang kebanyakan bernada tunggal tersebut dengan realita yang terjadi.

Dari fakta hasil penelitian selama ini jelas salah kalau kita menganggap bahwa kehamilan yang tidak dikehendaki selalu dihubungkan dengan akibat pergaulan bebas apalagi kalau berpikir bahwa itu hanya terjadi pada remaja. Padahal masih banyak sikap-sikap di masyarakat kita sendiri yang mendorong perempuan untuk terpaksa melakukan aborsi. Sikap yang ditanamkan sesungguhnya memang mempunyai latar belakang yang berbeda seperti :

a) Keluarga yang tidak siap karena memiliki ekonomi pas-pasan sehingga cenderung bersikap menolak kelahiran anak.

b) Masyarakat cenderung menyisihkan dan menyudutkan wanita yang hamil di luar nikah. Wanita selalu disalahkan, tidak ditolong atau dibesarkan jiwanya tetapi malah ditekan dan disudutkan sehingga dalam reaksinya wanita tersebut akan melalukan aborsi.

c) Ada aturan perusahaan yang tidak memperbolehkan karyawatinya hamil (meskipun punya suami) selama dalam kontrak dan kalau ketahuan hamil akan dihentikan dari pekerjaannya.

d) Pergaulan yang sangat bebas bagi remaja yang masih duduk di bangku sekolah, misal SMA, mengakibatkan kecelakaan dan membuahkan kehamilan. Karena merasa malu, dengan teman-temannya, takut kalau kesempatan belajarnya terhenti dan barangkali masa depannya pun menjadi buruk.
Ditambah dengan tekanan masyarakat yang menyisihkan sehingga akhirnya ia melakukan aborsi supaya tetap eksistensi di masyarakat dan dapat melanjutkan sekolah.

e) Dari segi medis diketahui umur reproduksi sehat antara 20-35 tahun. Bila seorang wanita hamil di luar batasan umur itu akan masuk dalam kriteria risiko tinggi. Batasan ini sering menakutkan, sehingga perempuan yang mengalaminya lebih menjurus menolak kehamilanya dan ujung-ujungnya akan melakukan aborsi.

f) Pandangan sebagian orang bahwa tanda-tanda kehidupan janin antara lain adanya detak jantung yakni umur sekitar tiga bulan. Maka hal ini akan memicu seorang wanita yang mengalami suatu masalah akan melakukan aborsi dengan alasan usia bayi belum sampai 3 bulan.

g) Praktik aborsi adalah fenomena yang timbul karena perubahan nilai di masyarakat. Sama halnya dengan praktik pelacuran, praktik aborsi tidak dapat diantisipasi dengan hanya bentuk pelarangan semata.

h) Selama ini indikasi medis yang dipakai sebagai dasar bolehnya aborsi hanya didasarkan pada kesehatan badan/keselamatan jiwa dan mengabaikan konsep definisi kesehatan secara keseluruhan (sehat fisik, psikis dan sehat sosial). Padahal sebagaimana tercantum dalam UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Sementara itu dalam RUU Kesehatan tentang aborsi terdapat pada pasal 60 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan pemerintah berkewajiban melindungi kaum perempuan dari praktik pengguguran kandungan yang tidak bermutu, tidak aman dan tidak bertanggungjawab melalui perundang-undangan. Dalam ayat 2 dijelaskan pengguguran kandungan yang tidak bermutu antara lain di lakukan tenaga kerja tidak profesional dan dilakukan tanpa mengikuti standar profesi yang berlaku.

Dalam pasal itu terlihat bahwa pembatasan aborsi hanya pada upaya-upaya praktik aborsi oleh tenaga non medik seperti melalui dukun, obat-obat tradisional, sementara batasan-batasan mengenai syarat dan kondisi seseorang diperbolehkan melakukan aborsi sama sekali tidak dibahas. Dengan kata lain seseorang diperkenankan melakukan aborsi (dengan alasan kesehatan badan/keselamatan jiwa) asalkan dilakukan oleh dokter yang profesional dengan fasilitas yang memadai dan ditunjuk oleh pemerintah.

Perlindungan terhadap kesehatan perempuan berkaitan dengan hak-hak reproduksinya pada dasarnya telah diatur dalam UU No.7 tahun 1984. Selain hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan kesehatan, konvensi ini jelas menjamin hak-hak reproduksi perempuan. Antara lain hak untuk memutuskan kapan dan akankah perempuan mempunyai anak. Dengan demikian konvensi ini memberi peluang bagi perempuan untuk malakukan aborsi sebagai pilihan bebas menyangkut hak-hak reproduksinya. Baik dalam keputusan-keputusan di pengadilan maupun dalam pembelaan menyangkut soal perempuan konvensi ini jarang digunakan sebagai bahan pertimbangan. Sebab sistem hukum yang ada sama sekali tidak sensitif gender dan cenderung mengabaikan kepentingan perempuan.

Apakah melakukan aborsi berarti melakukan pembunuhan? Seringkali pertanyaan ini menjadi bahan perdebatan dari berbagai sudut pengetahuan.

Dalam masalah aborsi pandangan medis maupun agama yang dikembangkan di masyarakat adalah satu, aborsi identik dengan pembunuhan. Inilah yang kemudian diadopsi di dalam substansi hukum sebagaimana yang diatur lewat KUHP. Dalam pandangan medis abortus yang diperbolehkan adalah abortus berdasarkan indikasi medis (abortus artificialis therapicus) selebihnya aborsi yang dilakukan tanpa indikasi medis dikategorikan sebagai abortus kriminal (abortus provocatus criminalis).

Dalam pandangan agama Buddha aborsi adalah suatu tindakan pengguguran kandungan atau membunuh makhluk hidup yang sudah ada dalam rahim seorang ibu.

Syarat yang harus dipenuhi terjadinya makhluk hidup :

a) Mata utuni hoti : masa subur seorang wanita

b) Mata pitaro hoti : terjadinya pertemuan sel telur dan sperma

c)Gandhabo paccuppatthito : adanya gandarwa, kesadaran penerusan dalam siklus kehidupan baru (pantisandhi-citta) kelanjutan dari kesadaran ajal (cuti citta), yang memiliki energi karma

Dari penjelasan diatas agama Buddha menentang dan tidak menyetujui adanya tindakan aborsi karena telah melanggar pancasila Buddhis, menyangkut sila pertama yaitu panatipata. Suatu pembunuhan telah terjadi bila terdapat lima faktor sebagai berikut :

a) Ada makhluk hidup (pano)
b) Mengetahui atau menyadari ada makhluk hidup (pannasanita)
c) Ada kehendak (cetana) untuk membunuh (vadhabacittam)
d) Melakukan pembunuhan ( upakkamo)
e) Makhluk itu mati karena tindakan pembunuhan ( tena maranam)

Apabila terdapat kelima faktor dalam suatu tindakan pembunuhan, maka telah terjadi pelanggaran sila pertama. Oleh karena itu sila berhubungan erat dengan karma maka pembunuhan ini akan berakibat buruk yang berat atau ringannya tergantung pada kekuatan yang mendorongnya dan sasaran pembunuhan itu. Bukan hanya pelaku saja yang melakukan tindak pembunuhan, ibu sang bayi juga melakukan hal yang sama. Bagaimanapun mereka telah melakukan tindak kejahatan dan akan mendapatkan akibat di kemudian hari, baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang.

Dalam Majjhima Nikaya 135 Buddha bersabda "Seorang pria dan wanita yang membunuh makhluk hidup, kejam dan gemar memukul serta membunuh tanpa belas kasihan kepada makhluk hidup, akibat perbuatan yang telah dilakukannya itu ia akan dilahirkan kembali sebagai manusia di mana saja ia akan bertumimbal lahir, umurnya tidaklah akan panjang".

Bagi mereka yang menyediakan jasa aborsi tidak resmi dan ketahuan tentu akan mendapat ganjaran menurut hukum negara, setelah melalui proses peradilan berdasarkan bukti-bukti yang ada. Ini juga sebagai akibat dari perbuatan (karma) buruk yang dilakukan saat ini.

Hendaknya kasus aborsi yang sering terjadi menjadi pelajaran bagi semua pihak. Bagi para remaja tidak menyalahartikan cinta sehingga tidak melakukan perbuatan salah yang melanggar sila. Bagi pasangan yang sudah berumah tangga mengatur kelahiran dengan program yang ada dan bagi pihak-pihak lain yang terkait tidak mencari penghidupan dengan cara yang salah sehingga melanggar hukum, norma dan ajaran agama.

Mudah-mudahan masyarakat luas dan umat Buddha pada khususnya dapat memahami hal ini sehingga tidak terjerumus pada perbuatan buruk yang merugikan diri sendiri dan makhluk lain.

Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata - Semoga semua makhluk berbahagia

88
Buddhisme untuk Pemula / Jangan Bedakan Wanita dengan Pria
« on: 08 April 2010, 10:43:51 PM »
Na Taṁ mātā pitā kayirā, Aññe vāpi ca ñātakā
Sammāpaṇihitaṁ cittaṁ, seyyaso naṁ tato kare

Bukan seorang ibu, ayah ataupun sanak keluarga lain yang dapat melakukan, melainkan pikiran sendiri yang diarahkan dengan baik yang akan dapat mengangkat derajat seseorang.

(Dhammapada 43)

Dalam kehidupan kita sehari-hari, banyak orangtua beranggapan bahwa anak laki-laki lebih unggul daripada anak wanita. Karena hal inilah, maka bagi sang ibu bilamana anaknya lahir selalu yang diharap-harapkan anak laki-laki. Kelahiran anak laki-laki merupakan anak yang ditunggu-tunggu dan dinanti-nantikan bagi sebagian orangtua dahulu hingga sekarang. Mengapa hal ini terjadi demikian? Karena menurut pandangan orangtua, bahwa anak laki-laki dapat membawa rejeki dan kebahagiaan, apalagi anak pertama. Anak laki-laki juga dapat dianggap sebagai sesuatu yang dapat meneruskan garis keturunan dan juga dapat mengurus upacara persembahyangan leluhurnya nanti. Sebaliknya, banyak orang menganggap bahwa kelahiran seorang anak perempuan akan membawa beban penderitaan bagi kedua orangtuanya. Oleh karena itu orangtua merasa tidak suka bila anaknya yang lahir adalah anak perempuan. Kelahiran anak perempuan di samping menimbulkan kerugian, juga dianggap sebagai makhluk yang lemah yang harus dilindungi kaum pria. Sebagian besar para orangtua menganggap wanita sebagai kaum yang rendah, hina, penuh dosa dan tidak berguna, sehingga kadang-kadang para wanita dilarang untuk memasuki tempat-tempat ibadah, apalagi ia sedang datang bulan. Wanita dianggap tidak mungkin mencapai tingkat-tingkat kesucian. Jadi hanya laki-laki saja yang dapat mencapainya. Wanita juga dianggap tidak dapat mencapai alam-alam surga melalui berbagai macam perbuatan baik yang dilakukannya sendiri. Ia dapat mencapai alam-alam surga jika ia benar-benar patuh dan taat kepada suaminya.

Memang pada jaman dahulu perbedaan wanita dan pria merupakan hal yang umum di kalangan masyarakat. Pada jaman dahulu wanita berada di bawah kekuasaan kaum laki-laki. Pada masa anak-anak seorang wanita berada di bawah kekuasaan sang ayah. Bila ia sudah menikah berada dalam kekuasaan sang suami. Para istri dianggap milik pribadi suami mereka, ia harus patuh dan taat kepada sang suami meskipun jahat dan kejam. Bila sang suami meninggal dunia, maka kekuasaan beralih kepada anak laki-lakinya.

Pada waktu itu kedudukan seorang wanita sangat tertekan. Seorang istri selalu hidup dalam kebingungan, terutama bila ia tidak dapat melahirkan anak laki-laki. Apabila ia benar-benar tidak dapat melahirkan anak laki-laki, maka suami boleh menikah lagi dengan wanita lain sampai ia memperoleh anak laki-laki. Yang lebih menderitanya lagi bilamana ia tidak mendapatkan keturunan anak laki-laki, istri tersebut diceraikan. Pada jaman itu para orangtua yang memiliki anak gadis lebih resah dan gelisah serta kebingungan, terutama anak gadisnya. Bila ia mengambil keputusan untuk tidak menikah, ia akan dikucilkan, dikritik, dihina, dan dihujat habis-habisan oleh masyarakat, karena pada waktu itu pernikahan dianggap suci.

Lalu bagaimana sikap Sang Buddha terhadap wanita? Pada saat puncak diskriminasi terhadap kaum wanita yang keras dan ekstrim itu, muncullah Sang Buddha di India. Pada suatu kesempatan, tatkala Raja Pasenadi sedang bercakap-cakap dengan Sang Buddha, seorang kurir datang dan membisikkan kepadanya bahwa Ratu Malika telah melahirkan seorang putri. Ia tidak senang mendengar kabar tersebut karena ia mengharapkan seorang putra untuk naik tahta menggantikannya. Tidak seperti guru aliran lainnya, Sang Buddha menasehatinya demikian: ”O Raja Agung, sesungguhnya sebagai wanita lebih baik daripada pria. Ada wanita yang bijaksana, luhur, yang memperlakukan ibu mertua mereka laksana dewi dan yang akan menjadi istri yang berbakti. Mereka dapat melahirkan putra yang gagah berani yang kelak akan menjadi raja serta memerintah kerajaan.” Demikian sikap Sang Buddha terhadap wanita. Beliau adalah guru pertama yang telah mengangkat dan memberikan persamaan status kepada kaum wanita serta tidak membatasi mereka untuk mencapai kemajuan batiniah. Beliau mengatakan bahwa hina atau mulia manusia itu tergantung pada perbuatannya, bukan pada jenis kelamin atau kastanya. Sang Buddha pernah berkata kepada Visakha, bila seorang wanita mempunyai empat kualitas, ia akan menuju kejayaan di dunia sekarang dan sukses di dunia ini.

Apakah yang empat itu?

1. Mampu melaksanakan pekerjaannya.

2. Mampu mengatur pembantu rumah tangga.

3. Berperilaku yang disetujui oleh suaminya.

4. Mampu menjaga penghasilan suaminya.

Jadi ajaran Sang Buddha telah menyelamatkan para wanita dari penghinaan dan hujatan, dan telah memberikan ketenangan. Menurut ajaran Sang Buddha, seorang gadis yang belum menikah tidak dianggap hina. Ajaran Sang Buddha juga telah mengangkat status seorang istri ke posisi yang sama dengan pria. Dengan demikian status kaum wanita dapat terangkat kembali.

Pada saat-saat tertentu Sang Buddha sangat berterima kasih dan menghargai peranan yang diberikan oleh kaum wanita. Beliau pernah mengatakan, wanita kadang-kadang lebih baik daripada kaum pria. Oleh karena itu kaum wanita disebut matugama yang berarti ibu masyarakat. Ini berarti seorang ibu dianggap sebagai suatu tangga untuk naik ke surga, dan seorang istri dianggap sebagai sahabat karib sang suami.

Jadi sesungguhnya, kaum wanita mempunyai status yang sama dengan pria. Untuk itu kita sebagai orangtua, janganlah selalu membeda-bedakan antara anak laki-laki dengan anak wanita, tetapi sebaliknya kita harus memberikan rasa kasih sayang dan perlakuan yang sama dan seadil-adilnya kepada anak-anak, baik laki-laki maupun wanita. Kehadiran anak wanita di dalam suatu keluarga hendaknya tidak membuat orangtua merasa bersalah dan menyesal, karena seorang anak, baik pria ataupun wanita, apabila kelak menjadi anak yang baik serta berbakti kepada kedua orangtuanya, akan dapat memberikan kebahagiaan bagi orangtuanya.

Kaum wanita kini dapat menciptakan dan memanfaatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan kemampuannya melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan. Pada jaman sekarang ini, banyak wanita memegang peranan dalam berbagai bidang, seperti bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan sebagainya. Namun sebagai wanita tidak seharusnya sampai meninggalkan kewajibannya sebagai seorang ibu, sampai-sampai menelantarkan anak-anaknya. Dengan tidak berbuat demikian, maka kelak di kemudian hari anak-anaknya dapat menjadi anak yang baik, pemberani, serta dapat memimpin bangsa dan negara.

Sumber: Aṅguttara Nikāya VIII, 49

89
Buddhisme untuk Pemula / HUKUMAN MATI DITINJAU DARI AGAMA BUDDHA
« on: 08 April 2010, 12:41:20 PM »
Pendahuluan

Perdebatan mengenai masalah pro dan kontra terhadap hukuman mati pada dewasa ini belum sampai pada titik tuntas, dan kiranya masih akan berkembang terus untuk waktu yang lama. Para ahli, negarawan, dan tokoh-tokoh masyarakat yang pro dan kontra terhadap hukuman mati itu mengemukakan argumentasinya dari berbagai sudut pendekatan, yaitu dari sudut ilmu hukum, ilmu jiwa, ilmu kemasyarakatan, kriminologi, dan sebagainya.

Di negara Indonesia dan juga di negara-negara lain, perdebatan masalah pro dan kontra terhadap hukuman mati masih belum selesai. Agaknya pandangan manusia terhadap hukuman mati mengalami proses perkembangan evolusioner. Di negara Inggris, beberapa abad berselang, seseorang yang mencuri ayam dapat dihukum gantung. Pada dewasa ini hukuman mati telah dihapuskan sepenuhnya di sabagian besar negara-negara maju. Sebaliknya, di beberapa negara bagian Amerika serikat, hukuman mati yang pernah dihapuskan kini diberlakukan kembali dengan pertimbangan tertentu.

Masalah hukuman mati di Indonesia diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 11 yang berbunyi, � Hukuman mati yang dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan dengan menggunakan sebuah jerat di leher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri. �

Ketentuan tentang pelaksanaan pidana mati dengan cara digantung sebagaimana tersebut dalam pasal 11 KUHP dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan jiwa revolusi Indonesia. Oleh sebab itu, dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 2 Pnps tahun 1964, pelaksanaan pidana mati di Indonesia tidak lagi dilaksanakan dengan cara digantung, tetapi dilakukan dengan cara ditembak sampai mati di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama. Di Amerika, ada negara-negara bagiannya yang memakai kursi listrik atau gas beracun untuk melaksanakan hukuman matinya. Sedangkan di Perancis, pelaksanaan hukuman mati dilakukan dengan pemenggalan kepala dengan memakai alat yang disebut � quilotine �.

Di Indonesia, sejak pemulihan kedaulatan sampai sekarang telah empat kali dijatuhkan hukuman mati oleh Pengadilan Negeri di Indonesia, yaitu atas perkara terdakwa Hamzah dalam peristiwa pembunuhan Ali Bajened, atas tiga orang terdakwa Saadon bin Mochamad, Ismail bin Husein, dan Tasrif bin Yusuf dalam peristiwa Cikini, atas terdakwa Allen Lawrence Pope dalam peristiwa pemboman di Ambon, dan atas terdakwa Kusni bin Kasdut dalam perkara perampokan di musium. Hukuman Hamzah belum dilaksanakan, karena terdakwa telah melarikan diri. Hukuman tiga orang terdakwa peristiwa Cikini (percobaan pembunuhan terhadap mantan presiden Soekarno di sebuah sekolah di Cikini) telah dilaksanakan pada tanggal 28 Mei 1960 secara Hukum Acara Pidana Militer, ialah dengan jalan ditembak. Sedangkan, hukuman terdakwa Allen Lawrence Pope belum dilaksanakan, karena naik banding ke Pengadilan yang lebih tinggi.

Penghukuman mati atas diri Kusni Kasdut telah dilakukan dengan cara ditembak sampai mati di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama. Tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan hukuman mati, Kusni Kasdut telah diberitahu terlebih dahulu oleh jaksa tentang akan dilaksanakan pidana mati tersebut.

Sesungguhnya, tujuan pemidanaan di Indonesia yang berazaskan Pancasila itu pada dasarnya bertitik berat pada unsur pendidikan. Jadi, pidana mati masih perlu dipertahankan. Hanya penjatuhannya harus sehemat mungkin, dan sebaiknya hanya dijatuhkan apabila sudah diyakini bahwa penjatuhannya itu adalah yang terserasi pada saat penjatuhan tersebut.

Dengan melihat unsur pendidikannya, hukuman mati masih diberlakukan di negara Indonesia. Demikian pula dengan negara-negara Buddhis, misalnya Thailand, yang masih tetap melaksanakan hukuman mati terhadap siapa saja yang melanggar hukum negara seperti tindakan kejahatan yang berat. Sesungguhnya, di kalangan umat Buddha juga terdapat golongan-golongan yang pro dan yang kontra terhadap hukuman mati.

Tinjauan secara agama Buddha

Agama Buddha atau Buddha Dhamma memang tidak secara langsung mengurusi masalah-masalah kemasyarakatan. Agama Buddha tidak mengurusi masalah perkawinan, perceraian, warisan, perdagangan, hukum, pemerintahan, peperangan, dan sebagainya. Ajaran Sang Buddha atau Buddha Dhamma bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari kejahatan secara perorangan. Lalu, dengan jalan ini secara tidak langsung ketentraman dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Kemudian, lebih dari pada itu, ajaran Sang Buddha bertujuan untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penderitaan, baik di dunia ini maupun di alam lain.

Namun, sejak ajaran Sang Buddha dianut bersama-sama oleh orang banyak atau kelompok-kelompok individu atau masyarakat, bangsa-bangsa, atau negara-negara, ajaran Beliau mengalami banyak perubahan dengan bentuk-bentuk yang kiranya disesuaikan dengan keadaan, lingkungan, kebutuhan, atau kecenderungan orang-orang yang menganutnya. Dalam hai ini, ajaran Sang Buddha (Buddha Dhamma) mendapat perubahan sebutan menjadi agama Buddha, yang kemudian penganutnya pecah menjadi kelompok-kelompok yang sampai saat ini merupakan sekte atau aliran-aliran yang sangat beraneka ragam. Oleh sebab itu, tidaklah jarang ditemui bentuk-bentuk agama Buddha atau aliran agama Buddha yang kompleks, yang bercampur baur dengan bermacam-macam paham kepercayaan, kebiasaan, adat istiadat atau tradisi yang dimasukkan ke dalam perkembangan agama Buddha itu. Bahkan, ada kalanya dijumpai dalam beberapa aliran itu, bahwa adat istiadat atau tradisi jauh lebih menonjol dari pada ajaran Sang Buddha yang sebenarnya. Dalam hal demikian, mereka masih tetap taat dan kukuh menyebut sebagai agama Buddha dan menyatakan dirinya orang Buddhis, masyarakat Buddhis, negara Buddhis, dan lain-lain. Mengenai hal ini, umat Buddha tak dapat berbuat apa-apa selain dari pada berusaha mengembangkan pengertian dan kesadaran masing-masing dan mengharapkan pengertian bersama dalam lingkungan hidup bersama.
Mengenai hukuman mati, memang sebenarnyalah dalam ajaran Buddha tidak pernah dibicarakan tentang hukum tata negara, apalagi pelaksanaan hukumam mati. Demikian pula, dalam ajaran Sang Buddha tidak ada pernyataan yang membenarkan atau yang tidak membenarkan pelaksanaan hukumam mati itu. Yang banyak dibicarakan dengan tegas dan tandas ialah proses sebab dan akibat yang disebut hukum karma.

Dalam Samyutta Nikaya I : 227, Sang Buddha bersabda sebagai berikut :

Sesuai dengan benih yang telah ditabur,
Begitulah buah yang akan dipetiknya,
Pembuat kebaikan akan mendapatkan kebaikan,
Pembuat kejahatan akan dimemetik kejahatan pula,
Taburlah biji-biji benih dan
Engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah daripadanya.

Hukum karma merupakan hukum sebab dan akibat dari perbuatan. Jika orang berbuat baik, maka keadaan yang menyenangkanlah yang akan dialaminya. Sebaliknya, jika orang berbuat jahat, maka keadaan yang tidak menyenangkanlah yang akan diterima. Keadaan yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan yang merupakan akibat dari perbuatannya itu dapat timbul atau datang dari bermacam-macam segi, misalnya datang dari dirinya sendiri, dari alam lingkungannya, dari makhluk � makhluk halus, dari orang lain, dari pemerintah, dan lain � lain.

Umpamanya, ada kalanya seseorang yang setelah berbuat jahat lalu menyesali perbuatannya atau merasa malu, takut, sedih, dan lain � lain, kemudian menyiksa dirinya atau ada juga yang sampai membunuh dirinya sendiri. Ini merupakan akibat dari perbuatannya yang jahat. Demikian pula, jika orang berbuat jahat yang merugikan makhluk lain atau orang lain, merugikan masyarakat atau negara atau yang lainnya, maka ia juga dapat menerima akibat atau ganjalan yang datangnya dari obyek � obyek yang dirugikan atau dari salah satu pihak yang tersebut diatas. Jadi, keadaan yang tidak menyenangkan bagi orang yang berbuat jahat itu wajar diterimanya, apakah itu merupakan hukuman yang ringan, sedang, atau berat, atau hukuman mati, sesuai dengan besar kecilnya kejahatan yang dilakukannya.

Selanjutnya, apakah hukumannya itu datang dari dirinya sendiri, dari alam, dari orang lain, atau dari negara, itu tergantung pada waktu atau keadaan, tempat, sasaran, berat ringan atau ruang lingkup dari kejahatan yang dilakukan. Demikian pula, bentuk dari hukuman itu tergantung pada unsur � unsur tersebut diatas, yang mungkin berupa hukuman denda, kurungan badan, kerja paksa, siksaan, atau hukuman mati. Terjadinya hal ini kiranya sangat sukar ditentukan sebelumnya, kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang akan melaksanakan hukuman itu, karena hal ini tergantung pada banyak seperti tersebut diatas. Jadi, pada hakekatnya akibat dari perbuatan jahat itu wajar dan patut diterima oleh para pelakunya, baik itu merupakan hukuman ringan, hukuman berat, maupun hukuman mati, sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya.

Sebenarnya, apa yang disebut � hukuman � yang harus diterima oleh orang yang berbuat jahat itu, terutama yang datangnya dari negara atau pemerintah itu tidak lain dari pada suatu bentuk pendidikan yang bertujuan untuk menyadarkan orang yang jahat agar berhenti berbuat kejahatan. Oleh karena itu, hukuman tersebut, baik yang ringan maupun yang berat, merupakan kebutuhan pendidikan yang darurat dan mendesak bagi orang yang jahat untuk mempercepat evolusi kejiwaannya dan menyelamatkan lingkungan yang dirusak oleh kejahatannya.

Setiap orang jahat pasti pada suatu saat akan menerima hukuman itu, baik hukuman yang berat maupun yang ringan, ataupun hukuman mati, karena hukuman itu sebenarnya memang dibutuhkan oleh mereka dalam perjalanan kehidupannya untuk perkembangan batinnya menuju kebaikkan dan kesempurnaan. Dengan adanya hukuman yang bersifat mendidik itu, mereka menjadi sadar akan kesalahannya dan berusaha untuk tidak mengulangi lagi kesalahan itu pada masa � masa mendatang. Mereka ikhlas menerima hukuman yang dijatuhkan kepadanya dan berusaha tetap tenang pada saat menjalani hukuman itu. Mereka yang dijatuhi hukuman mati berusaha bersikap dewasa. Pada saat eksekusi atau pelaksanaan hukuman mati, mereka berusaha memusatkan pikiran ke arah yang baik agar mereka dapat meninggal dengan pikiran yang tenang. Dengan ketenangan pikiran itu, mereka dapat bertumimbal lahir di alam yang lebih baik.

Sesungguhnya, hukuman atau penderitaan itu memang sudah ada, yang pada hakekatnya diciptakan oleh orang � orang jahat itu sendiri melalui karmanya yang jahat. Ya� orang jahat pasti akan menerima akibat dari perbuatan jahatnya itu. Ia akan sedih dan menderita.

90
Buddhisme untuk Pemula / Motivasi dalam Buddhisme
« on: 08 April 2010, 12:35:38 PM »
Pada umumnya motivasi yang muncul karena didasari kesadaran atau keinginan sendiri (dari dalam) akan lebih kuat dibandingkan motivasi yang dipaksakan orang lain, walaupun pada akhirnya motivasi tersebut bisa juga menjadi kuat setelah hasilnya dirasakan pelakunya. Lihat saja contoh Pangeran Siddharta, tidak ada orang lain yang mendorong Beliau untuk meninggalkan istananya yang mewah, isterinya yang cantik, dan anaknya yang baru lahir, demi mencari obat mujarab untuk mengakhiri penderitaan manusia.

Motivasi yang kuat ataupun lemah terlihat dari tingkah laku sehari-hari. Kebutuhan individu untuk berhasil merupakan salah satu bentuk stimulus/ rangsangan yang mendorong motivasi seseorang. � Stimulus adalah hal-hal yang menyebabkan bangkitnya atau timbulnya tanggapan-tanggapan atau tindakan-tindakan tertentu, sedangkan �Respons� adalah tindakan kita terhadap stimulus yang datang.

Berbagai faktor yang menentukan respon kita yaitu : kesadaran diri, imajinasi, hati nurani, dan kekuatan tekad. Agar lebih tepat dalam memilih respons tersebut kita harus menyadari perasaan, emosi, dan kondisi fisik kita, pengaruh dari luar, pengaruh respons kita terhadap kita sendiri maupun orang lain.

Berbagai hal yang dapat membantu dalam usaha meningkatkan kesadaran diri antara lain :

- Berbicara di depan cermin

- Merekam pembicaraan sendiri

- Meminta Umpan Balik

- Evalusai keyakinan, pandangan nilai dan perasaan

- Membuat catatan harian

Sumber �sumber referensi dapat berasal dari internal maupun eksternal. Yang paling besar pengaruhnya adalah referensi internal, yang lazim disebut sebagai pengalaman, karena memang merupakan hal yang dialami kita sendiri dari paradigma, dari pelajaran, dari visi dan misi pribadi kita. Oleh karena itu, referensi internal dapat diperkaya melalui banyak belajar, membaca, mengikuti pelatihan, pada saat bersamaan referensi eksternal jga diperkaya misalnya dengan pergaulan, atau menjadi anggota organisasi, semisal UKM Buddha, UKM Komputer dsb

Daya imajinasi dapat diolah dengan cara :

1. Melihat segala sesuatu dari segala sudut pandang, jangan hanya dari satu sudut saja
2. Mempertanyakan batasan-batasan yang ada, yang mungkin harus diterapkan
3. Hubungkan hal-hal yang mungkin tampaknya tidak berhubungan
4. Rileks dan tidak tegang (tense)
5. Jangan mengkritik ide-ide orang lain, sebaliknya seringlah bertukar ide dengan orang lain, karena saling bertukar ide dapat memperkaya semua pihak.

Hambatan ? Tentu, selalu ada saja hambatan atas usaha-usaha yang dilakukan. Kita bagaikan terjepit di bawah hambatan-hambatan tersebut. Untuk mengatasinya, tidak lain kita harus memperkuat faktor-faktor yang menjadi pendorong kita. Itulah kekuatan tekad, yang dapat dan harus diperbesar untuk melawan faktor-faktor penghambat.

Pada beberapa individu, terdapat kecenderungan untuk menghindar dari masalah yang timbul. Hal ini dikenal dengan istilah �Flight� atau melarikan diri dari masalah. Kebalikannya adalah �fight� atau menghadapi dan berusaha memecahkan masalah yang timbul, karena masalah adalah tantangan, yang jika dihadapi dengan benar dan tepat, dapat memperkuat kekuatan kita, dan sebaliknya, menghindari tantangan tanpa pernah berusaha sama sekali, akan memperlemah kita. Asalkan kita mau berusaha dan mencoba dengan tekad dan pikiran positif, tantangan seperti apapun beratnya, akan dihadapi dengan baik.

Kita baru mulai melangkah, diperlukan kegigihan luar biasa untuk mencapai keberhasilan, dan kita sendiri yang akan memetik buahnya kelak. Apa yang dilakukan jika semua usaha kita gagal ? Terimalah kenyataan dari kegagalan itu, dan berusahalah belajar dari kegagalan, jadikan kegagalan sebagai bahan evaluasi, intropeksi untuk meningkatkan diri di masa mendatang, sehingga kalaupun kita terjatuh, tidak akan menggelinding ke bawah, melainkan menggelinding ke atas. Penolakan kita atas kegagalan yang terjadi, tidak akan memperbaiki keadaan, melainkan memperlemah kita sendiri karena hati nurani tidak bisa dibohongi.

Suatu banyak contoh keberhasilan orang-orang besar yang memiliki motivasi luar biasa kuat walaupun pada awalnya mereka mengalami kegagalan, yang bukan hanya sekali dua kali, namun berkali-kali, bahkan ada yang sampai puluhan kali.

Marilah kita senantiasa memupuk motivasi yang kuat sesuai Dhamma untuk menjadi umat Buddha yang lebih baik, dan lebih baik lagi dalam hidup kita, sampai akhirnya mencapai kebahagiaan Nibbana.



Dikutip dari Majalah Permata Dhamma

Pages: 1 2 3 4 5 [6] 7 8