//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - No Pain No Gain

Pages: 1 2 3 4 [5] 6 7 8
61
Buddhisme untuk Pemula / LIFE IS UNCERTAIN, DEAD IS CERTAIN
« on: 11 June 2010, 01:04:03 PM »
KEHIDUPAN TIDAK PASTI, NAMUN KEMATIAN ITU PASTI
(LIFE IS UNCERTAIN, DEAD IS CERTAIN)



Oleh: Ven. Dr. K. Sri Dhammananda


Sang Buddha bersabda: "Kehidupan tidak pasti, namun kematian itu pasti". Setelah menyadari dengan jelas bahwa kematian pasti akan datang dan merupakan suatu akhir yang wajar, serta harus dihadapi setiap makhluk maka sebenarnya kita tidak perlu takut akan kematian. Namun kenyataannya masih banyak diantara kita yang merasa takut menghadapinya. Karena itu kita tidak ingin mengingat-ingat bahwa kematian itu tak terelakkan dan kita ingin terus melekat pada kehidupan tercinta ini.

Lahirnya seorang anak ke dunia membawa kebahagiaan dan kegembiraan bagi seluruh sanak keluarganya. Bahkan, sang ibu merasa sangat puas dan bahagia walau ia harus menanggung penderitaan yang hebat pada saat melahirkan. Ia merasa semua kesulitan dan penderitaan yang dialaminya cukup berharga untuk itu. Namun, sang anak pada waktu kelahirannya di dunia ini juga menunjukkan penderitaan yang turut ditanggungnya dengan menangis.

Kemudian sang anak tumbuh menjadi remaja dan dewasa. Ia melakukan berbagai perbuatan baik dan buruk. Dari dewasa kemudian menjadi tua dan akhirnya mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini dengan meninggalkan sanak keluarga dalam kesedihan yang dalam. Demikianlah alur kehidupan seorang manusia yang senantiasa berusaha membebaskan diri dari perangkap kematian ini, namun tak seorangpun yang mampu mengatasinya. Dengan pikiran yang berputar-putar di sekitar tabungan kekayaan yang telah dikumpulkannya dan terus-menerus mengkhawatirkan anak-anak tersayang yang berkumpul mengelilinginya, serta tidak ketinggalan pula selalu menjaga dan memperhatikan kesehatan tubuhnya.

Akan tetapi walaupun telah dirawat dengan hati-hati dan penuh perhatian, tetap akan kian lapuk dan melemah, yang akhirnya menimbulkan suatu kesedihan harus berpisah dengan tubuhnya tercinta. Hal demikian memang sukar diterima oleh kita, namun tak dapat dihindarkan oleh setiap orang, dan cara yang biasa ditempuh oleh kebanyakan orang dalam meninggalkan dunia ini adalah dengan keluh kesah dan ratap tangis. Kematian yang datang tiba-tiba telah dipandang sangat menakutkan, dan sikap ini timbul karena ketidak-tahuan mereka.

RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN

Manusia merasa terganggu bukan hanya diakibatkan oleh sebab-sebab dari luar, tetapi juga oleh sebab-sebab dari dalam, seperti misalnya pandangan mereka terhadap kematian. Hal ini sebenarnya tidak perlu ditakutkan, karena rasa takut dan ngeri hanya muncul di dalam pikiran kita. Keharusan untuk menerima kenyataan akan penderitaan sering menyakitkan, terutama bagi pikiran yang tidak mampu menghadapinya. Namun, hal ini dapat membantu mengurangi atau menghilangkan perasaan takut dalam menghadapi kematian. Sekali kehidupan dimulai, akan terus berlangsung seperti peluru yang meluncur menuju ke sasarannya, yaitu kematian.

Setelah menyadari hal ini, kita harus berani berhadapan muka dengan kefanaan kita sendiri, dan apabila kita ingin dipandang sebagai manusia yang bebas dalam kehidupan, maka kita harus bebas dari rasa takut terhadap kematian. Kita telah mengetahui bahwa ilmu pengetahuan mengajarkan tentang proses kematian, yakni bahwa kematian hanya merupakan suatu proses pelapukan fisik dari tubuh manusia. Karena itu kita tidak perlu membohongi diri sendiri dengan bayang-bayang atau khayalan-khayalan menyeramkan yang tak pernah terwujud. Seorang dokter termashyur, Sir Williams Oslet mengatakan: "Menurut pengalaman saya yang cukup lama di bidang kedokteran, sebenarnya banyak orang yang meninggal tanpa rasa sakit atau takut."

Seorang perawat berpengalaman menceritakan pengalamannya sebagai berikut: Bagiku selalu tampak sebagai suatu tragedi besar bahwa demikian banyak orang yang sepanjang hidup mereka dihantui ketakutan akan kematian, namun ketika saatnya tiba mereka akan menyadari bahwa kematian sama wajarnya seperti kehidupan itu sendiri dan hanya sedikit orang yang merasa takut pada saat menjelang kematiannya. Sepanjang pengalaman saya, hanya satu orang yang kelihatannya merasa ngeri, yakni seorang wanita yang telah berbuat salah terhadap saudara perempuannya, dan kesalahan itu sudah terlambat untuk diperbaiki kembali. Sesuatu yang indah dan mengherankan terjadi pada mereka yang telah tiba di penghujung jalan kehidupan mereka; semua rasa takut dan kengerian hilang lenyap. Saya seringkali mengamati kebahagiaan yang terpancar dari mata mereka pada saat-saat terakhir kehidupan mereka.

Kemelekatan terhadap kehidupan di dunia telah menciptakan rasa takut yang tidak wajar atas kematian, juga dapat menciptakan orang-orang Hypochordriac, yakni orang yang tidak pernah berani mengambil resiko, bahkan untuk sesuatu yang benar sekalipun. Orang-orang seperti itu hidup dalam ketakutan bahwa sesuatu penyakit atau kecelakaan dapat memutuskan hidup mereka yang begitu berharga dan sangat dicintainya. Dengan menyadari bahwa kematian tidak terelakkan, maka orang-orang yang mencintai hidup di dunia ini akan pergi berdoa untuk menyatakan harapan mereka, agar jiwa mereka diterima di surga. Namun, tak seorangpun dapat berbahagia dengan godaan rasa takut dan harapan seperti itu. Akan tetapi nampaknya sukar bagi kita untuk mencela atau tidak mau tahu atas segala perwujudan naluriah untuk keselamatan diri mereka tersebut.

Hanya ada satu cara untuk mengatasi hal tersebut, yakni dengan cara melupakan kepentingan pribadi dan berusaha menolong orang lain disertai pancaran kasih sayang dari dalam diri kita, yaitu dengan mengembangkan pelayanan kemanusiaan dan mencurahkan kasih sayang terhadap semua makhluk. Karena melalui peningkatan pelayanan terhadap orang lain, maka anda akan segera menyadari sendiri bahwa segala harapan dan kemelekatan yang mementingkan diri sendiri, kesombongan dan anggapan hanya diri sendiri benar adalah tidak bermanfaat sama sekali.

PENYAKIT DAN KEMATIAN

Diserang penyakit ataupun kematian merupakan gejala-gejala yang wajar dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan kita dan semua itu harus diterima dengan keseimbangan batin. Menurut teori Ilmu Jiwa Modern, tekanan mental yang berat dan hebat disebabkan oleh penolakan kita untuk menghadapi dan menerima kenyataan-kenyataan hidup. Tekanan-tekanan tersebut bila tidak diatasi akan dapat menimbulkan penyakit fisik yang hebat, dan apabila kita membiarkan perasaan cemas dan sedih yang tidak pada tempatnya dalam menghadapi suatu masalah, malah akan dapat memperburuk keadaan.

Kematian tidak seharusnya ditakuti oleh mereka yang bersih dalam pikiran dan perbuatan. Kita hanya merupakan bagian kehidupan dari alam semesta, oleh karena itu pada hakekatnya tidak ada suatu pribadi individu yang meninggal dunia. Sisa-sisa karma sebagai hasil buruk yang muncul dari perbuatan jahat di masa lampau dapat mengikuti kita pada kelahiran kita yang berikutnya, dan menyebabkan kita harus memikul penderitaan akibat karma pada kehidupan yang lalu. Kejadian semacam itu dapat dihindari jika kita selalu berusaha mengumpulkan jasa-jasa kebaikan, dengan cara menjalani kehidupan yang baik dan banyak melakukan perbuatan baik di mana saja dan setiap saat bila memungkinkan. Dengan melakukan hal itu kita dapat menghadapi masa depan tanpa rasa takut dan penuh keyakinan. Kita harus berani menghadapi dan menerima kenyataan, sesuai dengan ajaran Sang Buddha bahwa tidak ada "Juru Selamat" yang dapat diserahkan untuk memikul beban kita agar terbebas dari akibat perbuatan jahat yang pernah kita lakukan.

Kita harus kerapkali mengingatkan diri sendiri akan nasihat Sang Buddha: "Jadikanlah dirimu sebagai pulau dan pelindung bagi dirimu sendiri dengan bekerja dan berusaha yang giat". Umat Buddha tidak seharusnya tenggelam ke dalam ratap tangis dan kesedihan yang hebat dalam menghadapi kematian dari sanak saudara ataupun teman-teman mereka, karena roda kehidupan terus berputar tanpa hentinya. Bila seseorang meninggal dan hasil perbuatannya (karma) menjadikannya suatu makhluk baru, mereka yang ditinggalkan harus menerima kematian tersebut dengan ketenangan, keluhuran budi dan pengertian bahwa kematian hanya merupakan suatu proses yang tak terhindarkan di dunia ini.

Hal ini merupakan sesuatu yang pasti terjadi di alam semesta, dan kita tahu bahwa hutan bisa menjadi kota dan kota dapat menjadi padang pasir, serta gunung dapat berubah menjadi danau. Ketidak pastian terdapat di mana-mana, namun hanya ada satu hal yang pasti, yakni "kematian" dan semua hal lain hanyalah bersifat sementara. Kita semua mempunyai nenek moyang dan nenek moyang kita pun mempunyai nenek moyang juga, namun di mana mereka kini berada? Mereka telah pergi ke "Gerbang Kematian".

Janganlah menganggap bahwa pandangan pesimis terhadap kehidupan yang dimunculkan di sini merupakan pandangan yang paling sesuai dengan kenyataan dari semua kenyataan. Untuk apa kita menghindari diri dari kenyataan dan menutup mata kita terhadap suatu kenyataan yang sudah pasti, karena bukankah kematian itu mencakup segala hal? Maka janganlah kita sampai melupakannya. Peranan kematian adalah untuk menyadarkan setiap manusia akan akhir kehidupannya, bahwa betapa tinggi pun tempatnya, apapun bantuan teknologi ataupun Ilmu Kedokteran yang dimilikinya, pada akhirnya tetap harus mengalami hal yang sama, apakah di dalam kubur ataupun menjadi segenggam debu. Haruskah karena hal itu kita kemudian mengenakan kain karung dan meratapi kehidupan yang telah menjadi debu? Tidak! Hal demikian bukanlah merupakan tujuan hidup, bukan pula tujuan dari kematian, karena proses kelahiran dan kematian akan terus berlangsung hingga kita mencapai kesempurnaan batin.

EKSISTENSI PENGARUH MANUSIA

Sang Buddha berkata: "Tubuh manusia dapat berubah menjadi debu, namun pengaruhnya tetap bertahan". Pengaruh kehidupan yang telah berlalu kadang-kadang dapat menjangkau waktu yang lebih jauh dan lebih potensial bila dibandingkan dengan masa hidup seseorang yang mempunyai batas-batas waktu tertentu. Seringkali kita bertindak berdasarkan ilham dari kepribadiankepribadian yang pemiliknya telah menjadi debu. Dalam tindak-tanduk kita hasil-hasil pikiran mereka juga memainkan peranan penting. Setiap manusia yang hidup di dunia ini dapat dikatakan merupakan susunan dari semua nenek moyang yang telah mendahului kita. Dengan anggapan semacam ini, maka para pahlawan di masa lampau, para filsuf terkemuka, para pertapa, penyair dan para seniman musik dari keturunan apapun, karya mereka tetap ada bersama kita.

Bila kita menghubung-hubungkan diri sendiri dengan orang-orang suci dan para pemikir di masa lampau kita dapat memperoleh kebijaksanaan hasil pemikiran mereka, ide-ide mulia mereka dan bahkan musik klasik yang abadi. Karena walaupun tubuh mereka sudah lama musnah, namun pengaruh mereka masih tetap hidup hingga kini. "Tubuh" ini bukan merupakan apa-apa selain perwujudan abstrak dari kombinasi unsur-unsur kimia yang terus-menerus berubah. Maka insan manusia yang menyadari bahwa hidup mereka hanya seperti setetes air di sungai yang terus mengalir, akan merasa bahagia bila dapat memberi andil bagi arus besar yang disebut kehidupan.

Insan manusia yang lupa akan kewajaran hidup mereka akan terhempas di dunia ini. Ia meratap, bersedih dan kadang-kadang tersenyum hanyalah untuk menangis kembali. Namun bila ia menyadari akan kewajaran hidup yang sesungguhnya, maka ia akan melepaskan semua benda-benda yang bersifat sementara untuk mencari keabadian, ia harus menghadapi kematian yang berulang-ulang, karena kematian itu sendiri sukar untuk dihindari. Tidakkah manusia harus berusaha untuk mengatasi putaran kelahiran dan kematian yang terus-menerus ini?

Menurut agama Buddha, kehidupan kita bukanlah kehidupan pertama atau terakhir yang harus kita jalani di dunia ini. Jika kita berbuat baik, maka akan mendapatkan hidup yang lebih baik pada kehidupan mendatang. Di samping itu, bila kita tidak ingin terlahir kembali, maka harus berjuang mencapai kebebasan akhir dengan selalu berusaha mengikis semua kekotoran batin yang ada pada pikiran kita.

FILSAFAT AGAMA BUDDHA

Para orang suci yang telah mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi tidak meratapi meninggalnya sanak kerabat mereka, karena mereka telah mengikis habis semua emosi manusiawinya. Yang Ariya Arahat Anuruddha tidak menangis ketika Sang Buddha Gotama wafat, namun Yang Ariya Ananda yang ketika itu baru mencapai tingkat kesucian Sotapanna atau Yang Masih Belajar, telah menunjukkan kesedihannya. Bhikkhu Ananda yang bersedih tersebut masih harus diingatkan mengenai pandangan Sang Buddha terhadap kematian melalui kata-kata sebagai berikut: "Ananda, bukankah Sang Buddha pernah mengatakan pada kita bahwa segala sesuatu yang dilahirkan, yang muncul, yang terbentuk, akan lenyap kembali? Ini merupakan sifat dari semua bentuk yang bersyarat, yakni muncul dan akan lenyap kembali. Dengan menyadari bahwa semua itu akan lenyap kembali, maka muncullah kedamaian dan kemuliaan". Kata-kata ini menguraikan suatu dasar yang di atasnya dibangun bangunan Filsafat Agama Buddha.

PENYEBAB KESEDIHAN

Sebab dari kesedihan dan penderitaan kita ialah kemelekatan (Tanha) dalam segala bentuknya. Jika kita ingin menghentikan kesedihan, maka kita harus membuang kemelekatan, baik kemelekatan terhadap manusia maupun terhadap harta benda. Hal ini merupakan pelajaran kebenaran tentang kematian, karena kematian akan menyerang dan mengisi hidup kita dengan kengerian, kecuali bila kita telah dapat memahaminya. Kenyataan ini dengan indah telah dibabarkan oleh Sang Buddha melalui sabda berikut ini: "Kematian akan menyeret manusia yang melekat pada anak-anak dan harta bendanya, bagaikan banjir besar menyeret desa yang tertidur".

Dalam peribahasa tersebut tersirat makna bahwa bila desa itu tidak tertidur namun terjaga dengan waspada, maka kerugian yang ditimbulkan oleh banjir tersebut akan dapat berkurang jauh.

KEMATIAN BERLAKU BAGI SELURUH ALAM SEMESTA

Marilah kita melihat bagaimana Sang Buddha menyelesaikan masalah kematian yang menimpa diri dua orang, yang karena kemelekatan mereka telah menderita kesedihan hebat akibat adanya kematian. Pertama adalah kisagotami yang putra tunggalnya meninggal dunia setelah digigit seekor ular. Ia pergi menemui Sang Buddha sambil menggendong mayat putranya untuk memohon pertolongan agar menghidupkannya kembali. Sang Buddha memintanya membawa segenggam biji lada dari satu keluarga yang tidak pernah mengalami kematian, namun ia tidak dapat menemukan keluarga seperti itu. Setiap rumah yang didatangi sedang berkabung atau pernah berkabung atas kematian orang tua ataupun sanak saudara mereka. Akhirnya ia dapat menyadari kenyataan hidup yang pahit ini. Kematian berlaku dimana-mana. Kematian akan menyerang semua makhluk dan tak satupun yang dapat terlolos darinya. Karena itu kesedihan merupakan warisan bagi semua orang.

Orang kedua yang mendapat pertolongan dan bimbingan Sang Buddha adalah Patacara. Hal yang dialaminya jauh lebih menyedihkan, yakni dalam waktu yang singkat ia telah kehilangan kedua putranya, suami, saudara, orang tua, dan seluruh harta bendanya, bahkan kehilangan akalnya. Ia berlari-lari dengan bertelanjang dan liar di jalan-jalan hingga akhirnya berjumpa dengan Sang Buddha. Sang Buddha telah membuatnya waras kembali dengan menjelaskan bahwa kematian harus dapat kita terima sebagai suatu gejala yang wajar bagi setiap makhluk hidup.

Sang Buddha berkata: "Engkau telah menderita dari keadaan yang serupa bukan hanya sekali, Patacara. Namun telah berulang kali selama kelahiran-kelahiran terdahulu. Untuk waktu yang lama sekali engkau telah menderita akibat kematian ayah dan ibu, anak dan sanak kerabat. Selama engkau menderita telah meneteskan air mata lebih banyak dibandingkan dengan air yang ada di samudra".

Pada akhir pembicaraan tersebut, Patacara menyadari akan ketidak-pastian dari kehidupan ini. Baik Patacara maupun Kisagotami dapat memahami penderitaan dari pengalaman tragis mereka sendiri. Dengan menyadari sungguh-sungguh akan Kesunyataan Mulia yang pertama yakni "Penderitaan", maka ketiga Kesunyataan Mulia lainnya juga akan dapat dipahami. Sang Buddha bersabda: "Barang siapa yang mengerti akan penderitaan, juga akan mengerti munculnya penderitaan, lenyapnya penderitaan dan jalan untuk melenyapkan penderitaan".

LIMA KELOMPOK KEHIDUPAN

Kematian menurut definisi yang terdapat dalam kitab suci Agama Buddha adalah hancurnya Khanda. Khanda adalah lima kelompok yang terdiri dari pencerapan, perasaan, bentuk-bentuk pikiran, kesadaran dan tubuh jasmani atau materi. Keempat kelompok yang pertama adalah kelompok batin atau NAMA yang membentuk suatu kesatuan kesadaran. Kelompok kelima adalah RUPA, yakni kelompok fisik atau materi. Gabungan batin dan jasmani ini secara umum dinamakan individu, pribadi atau ego. Sebenarnya apa yang ada bukanlah merupakan suatu individu yang berwujud seperti itu. Namun dua unsur pembentuk utama, yakni NAMA dan RUPA hanya merupakan fenomena belaka. Kita tidak melihat bahwa kelima kelompok ini sebagai fenomena, namun menganggapnya sebagai pribadi karena kebodohan pikiran kita, juga karena keinginan terpendam untuk memperlakukannya sebagai pribadi serta untuk melayani kepentingan kita.

Kita akan mampu melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, bilamana memiliki kesadaran dan keinginan untuk melakukannya, yakni bila kita ingin melihat ke dalam pikiran sendiri dan mencatat dengan penuh perhatian (Sati). Mencatat secara objektif tanpa memproyeksikan suatu ego ke dalam proses ini dan kemudian mengembangkan latihan tersebut untuk waktu yang cukup lama, sebagaimana telah diajarkan oleh Sang Buddha dalam SATIPATHANA SUTTA. Maka kita akan melihat bahwa kelima kelompok ini bukan sebagai suatu pribadi lagi, melainkan sebagai suatu serial dari proses fisik dan mental. Dengan demikian kita tidak akan menyalahartikan kepalsuan sebagai kebenaran. Lalu kita akan dapat melihat bahwa kelompok-kelompok tersebut muncul dan lenyap secara berturut-turut hanya dalam sekejap, tak pernah sama untuk dua saat yang berbeda; tak pernah diam namun selalu dalam keadaan mengalir; tak pernah dalam keadaan yang sedang berlangsung namun selalu dalam keadaan terbentuk.

Masa berlangsungnya kelompok-kelompok mental ini sangat singkat sedemikian rupa, sehingga selama satu kilatan cahaya halilintar telah terjadi beribu-ibu bentuk pikiran atau saat berpikir yang berturutan dalam pikiran kita. Kelompok materi atau jasmani berlangsung sedikit lebih lama, yakni kira-kira tujuh belas kali dari saat berpikir tersebut. Karena itu setiap saat sepanjang kehidupan kita, bentuk-bentuk pikiran muncul dan lenyap. Lenyapnya yang dalam waktu sekejap mata ini merupakan suatu bentuk dari kematian.

Lenyapnya elemen-elemen dalam waktu sekejap ini tidaklah jelas, karena kelompok-kelompok yang berturutan akan muncul dengan segera untuk menggantikan yang lenyap, dan mereka inipun muncul dan lenyap sebagaimana terjadi dengan hal-hal terdahulu. Inilah yang kita katakan sebagai "Terus berlangsungnya kehidupan".

Namun dengan berjalannya waktu, maka kelompok materi atau jasmani kehilangan kekuatannya dan mulai terjadi kelapukan. Saatnya akan tiba di mana kelompok-kelompok ini tidak dapat berfungsi lebih lanjut, dan menurut istilah yang biasa dipakai inilah akhir dari suatu kehidupan yang kita sebut sebagai "Terjadinya kematian".

62
PERHATIAN, PERENUNGAN & KONSENTRASI
Bhikkhu Dhammavuddho Maha Thera
Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa


Pendahuluan

Pada masa sekarang ini terdapat peningkatan dan perluasan ketertarikan pada meditasi. Bahkan orang Barat yang bukan Buddhis dan penganut paham bebas ikut bermeditasi dengan berbagai alasan: untuk pisikoterapi; untuk menghilangkan stress, ketenangan pikiran yang dianggap obat anti stress yang terbaik; atau untuk kesehatan, yang disetujui oleh banyak dokter bahwa berbagai jenis penyakit dipengaruhi oleh atau bahkan bermula dari pikiran.

Tujuan meditasi. Tidak diragukan bahwa meditasi bisa membantu untuk meningkatkan kualitas hidup kita dan kesehatan dengan berbagai cara, tetapi tujuan dari ajaran Sang Buddha dan meditasi adalah jauh melebihi hal tersebut. Meditasi Buddhis sebenarnya bertujuan untuk mencapai tingkat spiritual tertinggi, bebas dari ketidakpuasan (dukkha). Penderitaan atau ketidakpuasan (dukkha) meliputi setiap aspek dari hidup kita, termasuk kegirangan dan kebahagiaan, karena sifat ketidak-kekalan dari keberadaan segala sesuatu. Sang Buddha menyebutkan Jalan Ariya Berunsur Delapan sebagai obat yang jika dilaksanakan dengan sempurna akan membawa pada akhir dari ketidakpuasan.

Jalan Ariya Berunsur Delapan. Bagaimanapun, kita harus memahami makna yang tepat dari faktor-faktor Jalan Ariya Berunsur Delapan supaya latihan kita dapat menuntun kita langsung pada tujuan ini. Delapan faktor dari Jalan Ariya adalah pandangan benar, pikiran benar, perkataan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perenungan benar dan konsentrasi benar. Mereka dimasukkan dalam tiga kelompok: moralitas (perkataan benar, perbuatan benar, penghidupan benar), konsentrasi atau pikiran yang lebih tinggi (usaha benar, perenungan benar, konsentrasi benar) dan kebijaksanaan (pandangan benar, pikiran benar).

Sutta-Sutta kumpulan tertua. Terdapat cukup banyak kebingungan yang berhubungan dengan aspek meditatif dari Jalan Ariya Berunsur Delapan. Cara terbaik untuk melenyapkan keragu-raguan kita adalah mengikuti petunjuk dari guru agung kita yang terutama, Sang Buddha sendiri. Terdapat berbagai perbedaan opini di antara umat Buddhis tentang apa yang sebenarnya merupakan ajaran-ajaran Sang Buddha, tetapi pada umumnya semua sepakat dengan kebenaran/keaslian dari sekitar 5000 sutta yang terdapat dalam empat kumpulan tertua (nikaya)(1) dari ajaran-ajaran Sang Buddha.

Lebih jauh lagi, keempat nikaya ini adalah konsisten, tidak terdapat kontradiksi-kontradiksi, dan mengandung rasa kebebasan, yang merupakan intisari dari ajaran-ajaran Sang Buddha. Ajaran-Nya terdapat dalam khotbah-khotbah (sutta), dan bersamaan dengan peraturan kebhikkhuan (vinaya). Sutta dan Vinaya ini dinyatakan oleh Sang Buddha sendiri sebagai satu-satunya yang mempunyai wewenang dalam menentukan apa yang sesungguhnya merupakan ajaran-ajaran Beliau.(2)

Berdasarkan pada hal ini, saya akan menjelaskan beberapa aspek meditatif dari Jalan Ariya Berunsur Delapan supaya makna dan latihan yang sebenarnya, yang ditetapkan oleh Sang Buddha dapat dipahami dengan lebih baik. Tiga faktor dari Jalan Ariya Berunsur Delapan yang berkaitan dengan meditasi adalah usaha benar (samma vayama), perenungan benar(samma sati), dan konsentrasi benar (samma samadhi). Saya akan menjelaskan perenungan benar dan konsentrasi benar secara lebih mendetail. Kemudian, saya akan menyentuh pada samatha (ketenangan) dan vipassana (perenungan), disertai dengan pentingnya pemahaman sutta-sutta.

Terjemahan-Terjemahan Pali

Pemahaman yang benar terhadap kunci berbagai istilah meditasi yang digunakan oleh Sang Buddha adalah penting walau kita hanya berharap untuk dapat meraih sebagian kecil pencapaian saja pun dari tujuan (bebas dari penderitaan).

Sebelum menjelaskan istilah-istilah Pali ini, saya hendak menyampaikan bahwa adanya bahaya besar dalam menggunakan terjemahan dari kata Pali secara harafiah. Biasanya sulit untuk menemukan padanan kata yang tepat dalam Bahasa Inggris yang mempunyai arti yang sama dengan kata Pali, dan disamping itu, kata-kata biasanya memiliki beberapa corak makna. Sebagai contohnya, kata sanna telah diterjemahkan sebagai penamaan, berpikir, persepsi; dan masing-masing benar sampai pada batas tertentu. Tetapi seorang pemula akan menemui kesulitan dalam memahami arti sanna dari terjemahan yang berbeda-beda ini.

Untuk mengetahui apa yang dimaksud Sang Buddha terhadap istilah-istilah Pali, kita harus meneliti empat kumpulan nikaya tertua dan melihat bagaimana Sang Buddha mendefinisikan istilah tersebut, bagaimana penggunaannya dan karakteristik dari istilah tersebut.

Samma Sati

Perenungan benar (Samma sati) adalah faktor ketujuh dari Jalan Ariya Berunsur Delapan , dan yang ini mungkin yang paling disalah-pahami. Saya akan menjelaskan beberapa masalah pokok untuk menyoroti makna dan latihannya dengan referensi dari sutta.

SAMPAJANNA
Pertama, saya akan menjelaskan perhatian/kesadaran penuh (sampajanna), yang merupakan alat bantuan terhadap latihan perenungan benar. Sampajanna berasal dari kata janati (mengetahui). Definisi dari istilah ini tidak diberikan dalam sutta. Tetapi, maknanya dapat diperoleh dari dua sutta:

Sampajanna berarti perhatian/kesadaran penuh. �Sekali lagi, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah orang yang bertindak dengan sampajanna ketika dia pergi dan kembali; yang bertindak dengan sampajanna ketika dia memandang ke depan dan menoleh; yang bertindak dengan sampajanna ketika dia menekuk dan meregangkan kaki tangannya; yang bertindak dengan sampajanna ketika dia memakai jubahnya dan membawa jubah luar serta mangkuknya; yang bertindak dengan sampajanna ketika dia makan, minum, menelan makanan, dan mencicipi; yang bertindak dengan sampajanna ketika dia buang air besar dan buang air kecil; yang bertindak dengan sampajanna ketika dia berjalan, berdiri, duduk, jatuh tertidur, bangun, berbicara, dan tetap diam�..�(3)

�Dan bagaimana, para bhikkhu, seorang bhikkhu sampajano? Di sini, para bhikkhu, untuk seorang bhikkhu, perasaan diketahui ketika muncul� bertahan� lenyap�. pikiran diketahui ketika muncul� bertahan� lenyap� Persepsi diketahui ketika muncul� bertahan�lenyap��(4)

Dari sutta-sutta ini kita menemukan bahwa sampajanna berarti perhatian atau kesadaran penuh. Sutta pertama merujuk kepada perhatian pada tindakan-tindakan jasmani, sementara yang kedua merujuk pada perhatian pada pergerakan-pergerakan mental. Dan di Pacittiya, peraturan pertama, dari vinaya kebhikkhuan, istilah sampajanna musavade berarti �berbohong dengan kesadaran penuh�, yang menegaskan bahwa sampajanna berarti perhatian atau kesadaran penuh.

Mencoba untuk mencapai perhatian tersebut adalah salah satu dari langkah awal dalam meditasi. Hal itu mencegah terpencarnya perhatian kita supaya kita bisa memiliki kontrol terhadap pikiran kita dan kemudian mencegah munculnya keadaan-keadaan yang tak bajik. Di dalam meditasi Buddhis, perhatian berhubungan dengan tubuh jasmani dan batin, seperti yang ditunjukkan diatas.

Sampajanna membantu latihan terhadap sati, dan mereka sejalan. Inilah sebabnya mengapa gabungan kata sati-sampajanna sering muncul bersamaan dalam sutta-sutta.(5)

SATI
Sati berarti perenungan. Ini adalah istilah yang sangat penting dalam meditasi. Untunglah definisi yang konsisten dan tepat dari kata ini diberikan di dalam sembilan sutta.(6) Definisi dari sati adalah �dia memiliki perenungan, memiliki perenungan yang mendalam dan kebijaksanaan, orang yang mengingat dan merenungi apa yang telah dilakukan dan dikatakan dalam jangka waktu yang telah lama berlalu�. Dengan kata lain, sati berarti kualitas dari mengingat, dan terjemahan yang sesuai bisa menjadi �perenungan�. Kiranya perlu disebutkan bahwa sati berasal dari smrti, yang berarti �mengingat�. Perenungan atau mengingat tidak hanya merujuk hanya pada masa yang telah lewat. Bisa juga digunakan untuk sekarang ini atau bahkan masa depan, misalnya �ingat untuk mengunci pintu kalau keluar.� Terjemahan sati dalam kamus Pali termasuk ingatan, perhatian dll. Di sini, perenungan (sati) berarti mengingat kembali, memberikan perhatian kepada (kewaspadaan diri yang mendalam), merenungi.

Empat perenungan. Apa yang harus kita renungi di dalam latihan meditasi? Dari Satipatthana Sutta, kita menemukan bahwa kita harus, pertama merenungi 4 hal: tubuh jasmani, perasaan, pikiran dan kategori Dhamma (dari ajaran Sang Buddha). Secara mendasar, mereka adalah tubuh jasmani, batin dan Dhamma. Perenungan terhadap tubuh jasmani dan batin adalah penting karena mereka adalah 5 kelompok kehidupan yang kita lekati sehubungan dengan diri. Dan perenungan terhadap Dhamma adalah salah satu dari cara yang paling akurat untuk mencapai pandangan terang yang menembus ke dalam Empat Kebenaran Mulia. Merenungi hal-hal tersebut akan menuntun pada pencapaian pengetahuan sejati (insight) bila disertai dengan perkembangan sempurna dari keseluruh faktor Jalan Ariya Berunsur Delapan.

Tubuh jasmani dan batin. Sang Buddha mengajarkan bahwa ketidakpuasan muncul karena kita melekat pada 5 kelompok kehidupan (khandha), dimana kita menerimanya sebagai pribadi atau merupakan milik pribadi atau bersemayam/ berada di dalam pribadi atau pribadi tersebut bersemayam/berada di dalam lima kelompok kehidupan. Lima kelompok kehidupan itu adalah tubuh jasmani, perasaan, persepsi, kemauan/kehendak dan kesadaran; yang secara mendasar adalah tubuh jasmani dan batin dalam pengertian yang lebih luas.(7)

Diri yang kita lekati ini adalah persepsi yang salah dari sesuatu (jiwa atau ego) yang kita anggap kekal, abadi. Tetapi, keberadaan segala sesuatu adalah senantiasa bergerak atau berubah, tidak mengandung inti atau keberadaan yang mutlak (keberadaan yang tak berketergantungan).

Kita bergembira didalam, melekati, dan ingin memperpanjang apapun yang ada didunia yang memberikan kita kebahagiaan. Tetapi segala sesuatu berubah! Sebagai contoh, usia muda berubah menjadi usia tua, kesehatan menjadi kesakitan, yang dicintai akan meninggalkan kita dan kecintaan berubah dan sering menjadi dingin. Semuanya ini memberikan kita penderitaan. Dan jika kita tidak memahami ketidak-kekalan adalah sifat alami dari hidup dan menerimanya, kita akan senantiasa menderita terus.

Oleh karena itu, kita harus mengamati dan memahami sifat alami dari tubuh jasmani dan batin, yang kita hubungkan dengan diri, yang muncul, bertahan dan lenyap dan yang bergantungan kepada kondisi-kondisi; tidak mengandung inti atau keberadaan yang mutlak dan yang tidak patut untuk dilekati.

-bersambung-

63
Dear Rekan-rekan

Namo Buddhaya,

Sesuai dengan jadwal yang direncanakan, Tgl 21 – 25 Juni ini kita akan ada retret Luangpor Jumnean yg kita adakan bersama Cetiya Dhamma Mangala. Bagi volunteer yang ingin berdana tenaga maupun para calon yogi yang ingin melatih meditasi dapat mendaftar di daftarhadaya [at] gmail.com.

64
Diskusi Umum / WARIA JUGA MANUSIA
« on: 10 June 2010, 11:59:45 PM »
WARIA

JUGA MANUSIA

“Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa“

Salam Damai dan Cinta Kasih … ,



Diatas adalah foto Ratu Transgender ( Waria ) Tercantik se-Asia. Namanya adalah Treechada Manyaporn, biasa dipanggil sehari-hari Poy. “Wanita” cantik asal Thailand ini, yang mempunyai tinggi badan 171 cm, dan berat badan 48 Kg, sudah beberapa kali memperoleh penghargaan atas kecantikannya itu, yaitu : 1). Miss Tiffany ( 2004 ) ; 2). Miss International Queen ( 2004 ) ; 3). Miss Asian Trans ( 2007 ).

Berbicara mengenai ‘waria’ di Indonesia dewasa ini ( sejalan dengan diajukannya RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi ), agaknya cukup menggugah rasa simpati bagi beberapa kalangan warga masyarakat, termasuk saya. Mengapa, sebab pihak-pihak yang sedang berjuang menggolkan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi sepertinya juga berusaha sebisa munkin ‘mengenyahkan’ waria ini dari kehidupan bermasyarakat. Dimana-mana , di TV, di tiap khotbah-khotbah agama, diseru-serukan supaya waria ‘bertobat’. Juga, diserukan supaya TV tidak memperkenankan tampilnya waria dalam acara-acara apapun juga, terutama Entertainment / hiburan. Sesungguhnya, dosakah menjadi waria bagi kehidupan kemanusiaan ? Haruskah waria ini ‘dilenyapkan’ dari pergaulan hidup bermasyarakat ? Apakah mereka sampah masyarakat ? Marilah kita melihat bagaimana agama-agama dan aliran-aliran kepercayaan memandang keberadaan waria ini.



PANDANGAN BEBERAPA AGAMA

Menurut pandangan beberapa agama, hubungan homoseks dianggap sebagai suatu penyimpangan dan perbuatan ‘mesum’, sehingga mereka akan menerima balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.

Pandangan buruk yang diberikan kepada Waria oleh beberapa agama-bisa dimaklumi karena waria ini seolah-olah bukan makhluk yang diciptakan Tuhan, sebab Tuhan hanya menciptakan Langit dan Bumi, Laki-laki dan Perempuan, beserta semua hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan , sebagaimana kisah ‘Penciptaan’ yang digambarkan dalam Perjanjian Lama, Kejadian 1 : 26 – 28. Sehingga, waria tidak termasuk diantara ciptaan-ciptaan itu, sebab dikatakan laki-laki, hanya karena fisiknya saja , tetapi dikatakan perempuan, hanya kondisi-batinnya saja, jadi ; laki-laki tulen bukan, perempuan tulen juga bukan.



WARIA MENURUT BUDDHA-DHAMMA

Sang Buddha tidak pernah menyatakan bahwa alam-semesta ini diciptakan oleh Tuhan ataupun oleh Samma-Sambuddha. Terjadinya alam-semesta dan makhluk-makhluk adalah murni karena kekotoran batin / kebodohan-batin primordial , dan sejak itulah terjadi alam-semesta dan bekerjanya Panca-Niyama ( Lima Hukum Alam, termasuk diantaranya Hukum Karma ).

Naskah-naskah Buddhis mengungkapkan, bahwa jenis kelamin seseorang bisa berubah dalam satu kehidupan, dan juga antara kehidupan / tumimbal-lahir. Dalam Kitab Vinaya, ada referensi tentang seorang Bhikkhu yang berkarakteristik seksual seperti wanita, dan seorang Bhikkhuni yang berorientasi seksual seperti laki-laki ( Vin. III. 35 ). Dalam kedua kasus ini, Sang Buddha menerima hal ini dan hanya mengatakan bahwa mantan Bhikkhu ( yaitu Bhikkhu yang mempunyai kecenderungan orientasi seksual seperti wanita ) sebaiknya mengikuti peraturan Bhikkhuni, dan mantan Bhikkhuni sebaiknya mengikuti peraturan Bhikkhu.



Pergantian jenis kelamin dan orientasi batin tersebut dianggap berkaitan dengan karma dan pengarahan batin seseorang secara khusus, kearah tersebut. Tapi menurut agama Buddha, pergantian jenis kelamin tidak membatasi potensi spiritualitas seseorang.

Kelainan jenis kelamin, seperti hermaprodit juga disinggung dalam agama Buddha. Hermaprodit adalah orang yang berkelamin dua jenis. Dalam Kitab Vinaya, disebutkan adanya kemungkinan seorang hermaprodit menggoda Bhikkhu atau Bhikkhuni, sehingga tidak boleh ditasbihkan menjadi anggota Sangha / Pasamuan para Bhikkhu / -ni ( Vin.I.89 ). Seseorang dilahirkan menjadi hermaprodit akibat karma masa lampau yang tak baik, salah-satunya adalah melakukan hubungan homoseksual.



Perbuatan homoseksual bagi ummat awam dan para perumah tangga tidaklah dikecam secara spesifik, walau dianggap sebagai salah satu bentuk dari kegiatan seks yang menyimpang. Sehingga, Buddha-Dhamma tidak pernah menganjurkan untuk ‘mengisolir’ apalagi melenyapkan keberadaan kaum homoseksual ini dalam kehidupan bermasyarakat.

Namun, sebagai pengecualian, perbuatan homoseksual yang terjadi dikalangan para Bhikkhu termasuk sebagai perbuatan melanggar Sila, sama seperti perbuatan-seksual lainnya, termasuk masturbasi sekalipun, karena Bhikkhu/-ni sudah harus tidak melakukan perbuatan “Abrahmacariya” ; perbuatan tidak suci yang tidak sesuai perilaku petapa suci. Dalam Vin.IV.288-9 dinyatakan bahwa dua Bhikkhuni yang berbaring bersamaan di atas sofa merupakan pelanggaran Sila / Moralitas. Nuansa “homo” yang lebih halus tercatat dalam AN.III.270, dimana Sang Buddha mengingatkan bahwa seorang Bhikkhu sebaiknya tidak terlalu berdedikasi terhadap Bhikkhu lain yang menjurus pada perasaan “sayang” , karena dikhawatirkan ia tidak akan setia kepada Bhikkhu yang lainnya, akan tersinggung bila Sangha menghukum Bhikkhu favoritnya, dan tidak mendengarkan Dhamma dari Bhikkhu lain. Agama Buddha memandang homoseks sebagai salah satu bentuk kehausan terhadap kenikmatan ( kama-tanha ) semata, yang tidak perlu dikecam dan dikucilkan apalagi ‘dilenyapkan’ dari kehidupan bermasyarakat. Agama-Buddha juga tidak menganggap bahwa para homoseks harus bertobat, karena mereka tidak menyalahi / berdosa kepada siapapun juga, kecuali hanya merupakan wujud penyimpangan orientasi seksual, yang itu berhubungan dengan diri pribadinya sendiri, karmanya sendiri.



Agama Buddha mengenal istilah ‘Pandaka’ untuk menunjuk ‘waria’ dan kaum homoseks lainnya, yaitu seorang pria yang tidak berperilaku maskulin dan seorang wanita yang tidak berperilaku feminin. Pandaka dalam dunia Buddhisme dianggap sebagai seseorang yang dapat berbuat kebajikan, dapat membimbing diri kearah kebajikan, tetapi mendapat rintangan dalam meditasi, pemahaman Dharma, atau mendapatkan penembusan ke dalam Sang Jalan Pencerahan, karena hadirnya noda-noda batin tertentu dari akumulasi karmanya. Menurut Buddha-Dhamma, menjadi Pandaka adalah akibat karma perzinahan / perbuatan seks yang tidak baik / benar di kehidupan yang lampau ( Thig. 436-7 ). Pravrajyantaraya-sutra mengatakan bahwa jika seorang upasaka menghalangi seseorang yang lain dari penahbisan ( upasampada ) menjadi Bhikkhu, mencela Buddha-Dhamma, atau murka terhadap Bhikkhu, maka bentuk-bentuk kelahiran kembali yang buruk bisa terjadi, termasuk salah satu diantaranya adalah menjadi ‘pandaka’ / waria / homoseks.



Oleh karena itu, tidak sepatutnya waria dikucilkan dari kehidupan bermasyarakat, karena ; waria juga manusia, juga warga semua makhluk hidup di alam-semesta-raya ini. Apalagi untuk waria secantik Treechada Manyaporn, atau yang mempunyai nama panggilan Poy ini, tentunya para netters dalam sekejap jadi ‘kelepek-kelepek’ dan ‘termehek-mehek’ karena kecantikannya, bukan ? Hehe… .



Demikian pembahasan kita mengenai “Waria Juga Manusia” ini. Semoga membawa manfaat dan pengetahuan baru bagi semua yang membacanya.

Salam Damai dan Cinta Kasih… ,

Semoga Semua Makhluk Berbahagia dan Terbebas… !

sumber: hxxp://ratnakumara.wordpress.com/2008/11/07/waria-juga-manusia/

65
Pojok Seni / [PIC] RELIK
« on: 08 June 2010, 08:07:53 PM »

66
Theravada / JINABUNCHORN ( Song Version )
« on: 06 June 2010, 08:18:28 PM »


Jinapanjara Gatha atau Chinabunchorn (bhsThai) berasal dari sebuah gulungan naskah tua dari Sri Lanka yang kemudian diterjemahkan, digubah dan dipopulerkan oleh seorang bhikkhu Thailand terkenal yaitu Phra Buddhacharn Toh Phomarangsi (Phra Somdej To). Konon, Phra Somdej To, dalam meditasinya melihat penampakan suatu makhluk (dewa) yang mengaku bernama Tao MahaPhrom Chinabunchara yang dulunya merupakan siswa Y.A. Maha Monggalana. Karena adanya kasus tertentu, ia mati tidak pada waktunya (bunuh diri, mungkin), sehingga ia tidak bisa mengikuti jejak Sang Buddha dan Gurunya, Y.A. Maha Monggalana “ke pantai seberang” (baca: merealisasikan Nibbana akhir). Akhirnya ia dilahirkan di alam dewa. Nah, Phra (Ven.) Somdej To memberi nama gatha dari gulungan tsb sama dengan nama makhluk tsb.

Biografi Somdej to:

Somdej To was born in 17 April B.E.2331 in the 7th years of Groong Rattanagosin era of King Rama 1st. Even though Somdej To may act rather unfashionably but never capriciously he had been known as a highly eccentric monk. The legend has is that King Rama the fourth favord him a great deal. it was also known that King was a true expert on astrology and astronomy to the extent that he could even predict the solar eclipse in advance. The king together with his son along with the diplematic corps proceeded to WhaKoh in Prachaub and withnessed the solar eclipse - an event which surprised everyone-concerning his ability in mathematical and astrological prediction.

Before he ascended to the throne he was voted unanimously by the nobility to leave monkhood and became the King of Siam. Being a keen astrologer, he believed that the birthchart of Prince Issaresrangsarn, his younger brother, was excellent so he appointed him anohter king called "Phra Pinklauo". It was also believed that the birthchart of Somdej To was also examined by the king as Somdej To did but the king were displeased with such plagiarism.

According to his birthchart, it was known that Somdej To was a very intelligent and highly capable monk. At the time that he was born, the "Sri" or special merit was upon his ascendant. This means he would be well-known and well respected. His Mars would help him in terms of hard work. At the same time his Mars proved that he was simply an orphan so he turned to Buddhism. His Jupiter happen to be one of the highest point which certainly testifies to the fact that his intelligence was high whereas his Venus shows that he did not crave for any wealth, Saturn as well as Rahu Proved that he did not long for any possession and would live very long. His Majesty King Rama the fourth was well known for his prediction and treatise on astrology. He found that Somdej To's birthchart was amazingly good. In fact it would be far more scientific to suggest that the moment of conception would be the time when the influence of the planets would be more significant. King Rama the fourth also put forward his own interpretation for the planets without conflicting with any traditional astrological beliefs. Those who are interested in astrology may also try to interpret their signs according to King Rama the fourth's interpretation, they will be surprised that it is accurate and can explain the psychic nature that sees through to their real inner personality.

Judging from the signs as well as personality and character it is believed that Somdej To had attained a high degree of emlightenment and could perform prescience. Once he was asked in front of a stupa what would be stuck up inside the niche, he answered "Two frogs" and it turned out that the two frogs could not find the way out. The niche was then broken apart to let them go. His life was full of meritorius activities and he had been helping the poor all along. This is why the Thai people do find him a great and respectable monk. Somdej Puttajart (To) was known to be a sagacious and intelligent monk and yet his conduct was rather eccentric. No one would act the way he did. At one time his disciples quarreled with each other and were about to use violence, if he should stop it, it would be natural but he did otherwise. He simply went to see the disciples bringing along candles and joss-sticks and prostrated himself, gave the disciples a deep bow and said "You all are very great. Allow me to be your simple disciple"

The disciples, upon seeing this, stopped the quarrel right away. Somdej Puttajarn (To) made another bow and said:-"I did not manage well and it's not your fault. Please put the blame on me." Somdej Puttajarn believed in the Buddhist way of conquering anger with non-anger. Once his disciples were playing Takraw, a ball of woven ratten strips. upon learning this incident he went up there with clothing folded upon his head and said "May I join this game." The players immediately stopped playing and there was sense of guilt among them. He often exchanged ideas and opinions with foreign missionaries. Once he was asked where the poles of earth are. He took the missionary to the ground and pointed at it. saying "It is right here". The missionary then asked him how he knew about it. He said the earth is round and if we draw the line across the earth it would simply be here with is another pole.

There had been a saying concerning him that he resided in AYUTTHAYA,came to stay at CHAIYO, grew up in WATINDRA dad keeps Buddist precepts at WATRAKHANG, denoting several places where he had lived. He built up Luand Poh To, a hugh image, at Wat INDRA but he passed away before the construction was completed. As for Buddha images that he created, it is believed that he should have known a number of royally sponsored artists or "Chang Sipmoo" who also helped him to design these images. His incantation used as magic spell or charm also came from Sri Lanka or Ceylon. People who chant his incantation are free from any discases and should also be happy with all the praises and blessings. Somdej Puttajarn (To) also translated and adapted the verses from Pali into Thai.

The stories and legends concerning Somdej Puttajarn seem innumerable, especially known to be the king of all little Buddha images. Chao Phrya Srisuriyawongse (Cuang Bunnag) who had been Regent for some 5 years before King Rama the fifth became of age so his duty and work expired. The Regent was then raised to the position of Somdej Chao Phrya Barommahasrisuriya-wongse. However, the legend has it that he might betray the King which had been untrue. Somdej Puttajarn To walked with torch lit up during day time and went over to see the Regent asking directly "is it true of not true? If it should be true, i would ask you to stop it right away." The regent, ofcourse, agreed to end such rumor.

Somdej Puttajarn had been very familiar with the Regent who asked him to give sermons from time to time. His sermons were full of examples and stories which today still remain easy for understanding. He was very sagacious and highly intelligent in the sense that he was truly a genius. When King Mongkut ascended to the throne at the age of 69, Somdej Puttajarn (To) was then 81 years old and became Puttajarn, an ecclesiastical title, for 3 years or so. He was then in the autumn of his life and asked a monk called Phra Puttabatpilan (Tad) to be the abbot of the monastery. M.L.Phra Maha Swang and Prom Suddipong drew some 21 scenes of pictures covering Somdej Puttajarn (To)'s lifetime based upon the explanation given by 88 years-old Chao Khun Phra Thammatavorn (Chang) as follows:- Once Prince Duang, King of Cambodia, graciously invited him to give a sermon. On the way to his residence, there were many tigers around. So he asked the tigers to take full rest, not harassing the people anymore. He journeyed to the prince's palace on a palanquin instead of being driven by cart led by buffalos or cows since he did not prefer that type of journey.

The sermon was then given to the prince and Cambodian people concerning unity. King Mongkut was pleased with this sermon. Somdej Puttajarn (To) decided to buld a monastery called Kettuchaiyo. The construction was assisted by King Mongkut and Prince Pinklauo as well as foreign residents such as Indians,Farang,Cambodian,Lao,Mons and Chinese. This monastery become famous and was visited by a large number of people all the time. It had been widely known that Somdej puttajarn (To), former about of WatRakhang, and King Rama the fourth who had been a monk also for a long time, had known each other well. When the king ascended to the throne, he would allow the Somdej to do what he liked and always found him a sagacious monk. Once King Rama the fourth held a boat decoration contest where different state agencies sent beautiful boats for the occasion Somdej Puttajarn also came in an ordinary boat, with a monkey staying there.

The King certainly found that the Somdej would never enter the contest since he was a monk who desired no power nor any other worldly things. Thai monks could merely have four pieces of personal belongings and could not amass wealth. Therefore he could never enter a decoration contest. He put the money on the boat to prove that such contest was nonsensical. The King could defrock him since it was in the days of absolute monarchy. In the past he already defrocked Phra Pavana of Thonburi. The King and the Somdej had a very good relationship for over a long time. Once the king graciously gave him a beautiful boat and asked that he should use it to go around giving sermons. But the boat was a big one so the people started calling him Somdej To or Somdej Big.

A couple of years later the Somdej passed away amidst sorrow and despondence among the people . What is most interesting is the legends about him that are still talked about even today.

apabila anda pernah ntn film horror Nang Nak, dikatakan Ajahn To adalah bhikkhu yang berhasil menyadarkan Nang Nak atas kemelekatannya terhadap suaminya, dimana banyak bhikkhu yang tidak berhasil menghentikan Nang Nak untuk meneror suaminya. (apakah cerita ini benar atau tidak, saya juga tidak tahu), tetapi AJAHN TO banyak dipuja sebagai salah satu bhikkhu legendaris Thailand setara dengan LUONG PHUO TUAT di Thailand Selatan dan Krubha Siwichai di Thailand Utara.

67
sekarang ini kan banyak yang hanya buddhis KTP..di antaranya banyak orang tua juga yang tdk memahami (tidak mau memahami) ajaran buddha..sebagai anak yang punya orang tua seperti itu, bagaimana tindakan anda? dalam kasus ini, mereka sangat keras kepala, hal yang tidak bersangkutan dengan materi(menghasilkan untung), mereka anggap suatu hal yang sia2 dan tidak berguna..selain itu, mereka juga tidak tertarik thd aktivitas sosial dan setiap dikasihtau yang baik-baik, jawabannya hampir selalu sama, mis: "kamu mau jadi dewa?"..diminta tanggapan temen2 ya..apa ada kasus yang sama? hehehe

68
Meditasi / [ask] salah memilih objek meditasi??
« on: 21 April 2010, 07:20:25 PM »
saya mau nanya nih temen2..

saya tergolong pemula dalam hal meditasi..yang mau saya tanyakan skrg..

1. bagaimana cara memilih objek meditasi yang benar?

misal: seharusnya asubha tetapi kita pilih objek meditasinya anapannasati..

2. apakah salah memilih opbjek meditasi bisa menghalangi perkembangan meditasi kita?


69
Buddhisme untuk Pemula / Mukjizat Dhamma
« on: 18 April 2010, 11:39:51 AM »
Mukjizat Dhamma


"Yamkinci samudaya dhamman'ti"
Semua fenomena kehidupan, pasti ada sebabnya



Dewasa ini hampir setiap hari di TV (media elektronik) selalu ada tayangan film bertemakan kegaiban (adikodrat). Seolah-olah di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) ini hal-hal yang gaib menjadi selingan hiburan. Bahkan banyak pula penggemarnya, apalagi dikaitkan dengan suatu paham agama. Di era reformasi ini rupanya para hantu, gandaruwo juga mendapat kesempatan masuk siaran TV.

Manusia sekarang ini menyenangi hal-hal yang khayal daripada hal yang nyata. Kalau hal ini terus berlanjut maka akan menciptakan manusia khayalis yang pesimis karena semua keberuntungan "sangat tergantung dari yang di atas." Mereka lupa pada selogan lama yang mengatakan bahwa "Yang kuasa hanya akan memberi keberuntungan bila manusia itu mau berusaha dalam karya nyata." Di zaman keterbukaan, sesuatu yang dahulu disembunyikan/ tertutup, sekarang menjadi hal yang terbuka bagi semua orang. Sehingga soal mistik, klenik, dan mantra diobral secara terbuka dan ditawarkan melalui iklan (majalah posmo). Di majalah dan Koran dapat dibaca iklan memelihara tuyul, pawang hujan, dan ilmu-ilmu gaib. Hanya satu yang belum ada yaitu iklan bagaimana membuat orang jahat (kriminal) menjadi orang baik (bijak) dengan sekali usapan tangan.

Menjadi pr (pekerjaan rumah) tambahan bagi para orangtua yang memiliki putra-putri yang belum dewasa untuk mengawal anaknya menonton TV. Memiliki TV di rumah rupanya menambah pekerjaan ekstra bagi orangtua.

Mari kita cermati apa makna sesungguhnya yang dikenal sebagai mistik, klenik, dan mantra. Mistik berasal dari mysteri, yaitu suatu kejadian yang tidak atau belum diterima oleh nalar (intelek) seseorang. Sering disebut peristiwa adikodrat, di luar yang umum. Sering dihubungkan dengan kehadiran makhluk yang kasat mata (makhluk halus). Klenik adalah suatu usaha (praktik pesugihan) untuk memperoleh kemudahan, keuntungan/kekayaan, jodoh atau pangkat dalam usaha dagang. Dilakukan melalui juru kunci tempat yang dikeramatkan, sang juru kunci akan meminta syarat yang harus dipenuhi oleh si peminta kekayaan. Mantra adalah ucapan kata-kata yang dianggap dapat mendatangkan kekuatan pelindung untuk bisa terkabul suatu permohonan melalui syarat-syarat tertentu. Kalau belum terkabul biasanya dihibur dengan kata-kata: "Sabar, nanti kalau saatnya tiba pasti dapat." Kapan terjadinya siapa tahu. Di samping itu, dikenal pula istilah magic, ocultis, kinetis, hipnotis, dan magnetis.

Magic adalah suatu kekuatan atau kemampuan dari seseorang karena latihan physic (tapa) dan batin. Jadi orang tersebut memang di dalam dirinya memiliki kekuatan batin. Buddhasasana menyebutnya kekuatan abhinna. Hanya saja kekuatan dan daya tepat gunanya bermacam-macam. Karena berkaitan dengan batin (citta, pikiran), maka bila batin orang yang memilikinya tidak murni, kekuatan itu bisa digunakan berbuat jahat. Seperti pisau tajam di tangan anak yang belum mengerti akan berbahaya. Pisau itu bisa membunuh atau melukai orang lain. Bila di tangan orang bijak pisau itu akan bermanfaat. Tapi kemudian banyak di antara mereka yang dalam praktik menyimpang dari tujuan kebaikan. Mereka terperosok ke dalam praktik kotor, mesum, perkosaan, penipuan, atau pencabulan pasiennya.

Kekuatan magic itu bisa berwujud:

- Ocultis, kemampuan untuk melihat jarak jauh, alam halus, aura (warna yang mengelilingi tubuh manusia). Atau mendengar suara makhluk halus atau binatang.

- Kinetis, kemampuan melipat logam, menggerakkan benda-benda, menembus dinding.

- Hipnotis, kemampuan untuk membuat orang lain tidak sadar (lelap) sehingga mudah disugesti. Hal ini bisa dilakukan melalui pandangan mata atau kata-kata, tergantung kekuatan orang yang menghipnotis. Dalam keadaan hypnosis dapat diperintah melakukan sesuatu.

- Magnetis, kemampuan gaya magnet untuk penyembuhan penyakit seseorang melalui usapan tangan ke tubuh seseorang yang sakit. Juga tergantung dari kekuatannya, bisa cepat atau lambat sembuhnya. Penyaluran magnet bisa juga melalui benda seperti air. Kerjanya seperti besi berani (magnet) yang dapat menginduksi logam.

Di samping empat hal di atas masih ada yang disebut para peramal (cenayang). Mereka meramal dengan menggunakan alat-alat/sarana seperti:

1. Kartu-kartu
2. Batang bambu atau uang kepeng
3. Melihat garis telapak tangan, telapak kaki
4. Melihat bentuk muka
5. Mengetuk tulang mayat

Umumnya mereka hanya dapat meramal apa yang akan terjadi sebagai akibat dari perbuatan yang telah dilakukan. Karena adanya perbuatan baru, maka ramalan tersebut hanya sekian persen saja yang menjadi kenyataan. Bahkan ada yang meleset. Ramalan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hukum karma.

Bagaimana pandangan Buddhasasana?

Dikisahkan terjadi di zaman Sang Buddha, seorang bhikkhu bernama Pindola Bharadvaja, ketika pulang ke vih�ra setelah pindapata melihat suatu sayembara. Seorang hartawan ingin mengetahui apakah masih ada orang sakti yang dapat menunjukkan kesaktiannya. Hartawan itu mengikat sebuah bokor cendana di atas tiang bambu. Barang siapa yang dapat mengambil bokor cendana itu tanpa menyentuh tiang bambu itu, boleh memilikinya. Sudah beberapa hari berlalu tapi belum ada satupun dari para petapa yang datang dapat memiliki bokor itu. Sehingga haratawan itu dengan kecewa akan menutup sayembara karena berpikir tidak ada orang sakti di dunia ini. Bhante Pindola Bharadvaja tiba di tempat itu dan hanya menunjuk dengan jarinya, bokor itu sudah ada di tangannya. Semua orang kagum dan membicarakan di mana-mana. Benda itu menjadi topik pembicaraan para bhikkhu di vih�ra.

Sang Buddha mendengar pembicaraan para bhikkhu dan memanggil Bhikkhu Pindola Bharadvaja. Sang Buddha menanyakan kebenaran berita itu dan dibenarkan oleh Bhikkhu Pindola Bharadvaja. Sang Buddha meminta bokor cendana itu dan meletakkan di atas tanah. Disaksikan oleh para bhikkhu, Sang Buddha menginjak bokor itu sampai hancur. Sang Buddha kemudian berkata pertunjukan kesaktian mempunyai dua akibat:

1. Bagi yang percaya akan tambah keyakinannya.
2. Bagi yang tidak percaya akan mencemoohkan (akusala kamma)

Sejak itu Sang Buddha meletakkan aturan bagi para bhikkhu bahwa barang siapa mengaku memiliki kesaktian padahal tidak memilikinya maka bhikkhu itu harus meninggalkan kebhikkhuan (Sangha). Tapi bagi yang memang memiliki dan mempertunjukkannya akan dikenakan sanksi dukkata, harus mengakui kesalahannya kepada bhikkhu lain. Jelaslah Sang Buddha sendiri tidak menginginkan para bhikkhu memamerkan kesaktian walaupun memilikinya. Kepada brahmana Sangarava, dalam Anguttara Nikaya (A.III.60) Sang Buddha menjelaskan ada tiga macam mukjizat. Apakah tiga mukjizat itu? Mukjizat kekuatan supranormal, mukjizat membaca pikiran dan mukjizat pengajaran.

Apakah yang merupakan mukjizat kekuatan supranormal? Ada orang yang menikmati berbagai macam kekuatan supranormal: setelah menjadi satu dia berubah menjadi banyak; setelah menjadi banyak dia berubah menjadi satu; dia muncul dan lenyap; dia pergi tak terhalang menembus dinding, menembus benteng, menembus gunung seolah-olah melewati ruang; dia menyelam masuk dan keluar dari bumi seolah-olah itu adalah air; dia berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah itu adalah tanah; sementara duduk bersila dia pergi melalui udara bagaikan seekor burung; dengan tangannya dia menyentuh dan membelai matahari dan rembulan, begitu kuat dan berkuasa; dia menggunakan penguasaan atas tubuhnya bahkan sejauh alam Brahma. Inilah, brahmana, yang disebut kekuatan supranormal.

"Apakah yang merupakan mukjizat membaca pikiran? Ada orang yang dengan sarana tanda, menyatakan: `Demikianlah pikiranmu, seperti inilah pikiranmu, demikianlah buah pikirmu.' Dan betapapun banyaknya pernyataan seperti itu yang dibuatnya, semua memang benar demikian dan tidak salah."

"Orang lain tidak membuat pernyataannya lewat sarana tanda, melainkan setelah mendengar suara manusia, suara makhluk halus atau dewa� atau dengan mendengarkan suara getaran buah pikir seseorang� atau secara mental menembus arah kecenderungan mentalnya ketika dia berada di dalam keadaan meditasi yang bebas dari buah pikir. Dan betapapun banyaknya pernyataan seperti itu yang dibuatnya, semua memang benar demikian dan tidak salah. Inilah yang disebut mukjizat membaca pikiran.

"Dan brahmana, apakah mukjizat pengajaran? Ada orang yang mengajarkan demikian: `Engkau seharusnya berpikir dengan cara ini dan bukan berpikir dengan cara itu! Engkau seharusnya memperhatikan ini dan bukan itu! Engkau seharusnya meninggalkan ini dan harus berdiam di dalam pencapaian itu!' Inilah yang disebut mukjizat pengajaran."

"Inilah, O brahmana, tiga jenis mukjizat. Dari tiga jenis mukjizat ini, yang manakah yang tampak bagimu sebagai yang paling bagus dan paling tinggi?"

"Mengenai mukjizat kekuatan supranormal dan pembacaan pikiran, Guru Gotama, hanya pelakunya saja yang akan mengalami hasilnya; hasilnya hanya dimiliki oleh orang yang melakukannya. Kedua mukjizat ini, Guru Gotama, bagi saya tampak memiliki sifat tipuan tukang sulap. Tetapi mengenai mukjizat pengajaran - inilah, Guru Gotama, yang bagi saya tampak sebagai yang paling bagus dan paling tinggi di antara ketiganya."

Kesaktian (abhinna)

Para bhikkhu siswa Sang Buddha yang telah mencapai tingkat arahat banyak yang memiliki abhinna (kemampuan batin). Tentu saja kemampuan batin yang dimiliki oleh orang suci tidak berbahaya. Tetapi juga tidak semua arahat memiliki abhinna yang sama. Terdapat empat macam arahat:

1. Sukhavipassako Arahat.

Arahat yang tidak memiliki jhana/abhinna, hanya mencapai kesucian dengan melaksanakan vipassana bhavana.

2.Tevijjo Arahat.

Arahat yang memiliki tiga pengetahuan (vijja):

a. Pubbenivasanussati Nana; memiliki kesadaran akan kelahirannya yang lampau
b. Dibbacakkhu Nana; memiliki "mata dewa" sehingga dapat mengetahui kelahiran makhluk di alam dewa atau peta setelah meninggal.
c. Asavakhaya Nana; memiliki pengetahuan bagaimana cara melenyapkan asava (kekotoran batin yang paling dalam).

3. Chalabhino Arahat:

a sampai c seperti di atas ditambah dengan tiga kemampuan lain, yaitu:
d. Cetopariya Nana (paracitta vijja Nana); dapat membaca atau mengetahui pikiran makhluk lain.
e. Dibbasota Nana (telinga dewa); dapat mendengar percakapan suara dari alam dewa, brahma, dan apaya.
f. Iddhividha Nana, yang terdiri dari:

1. Adhitthana Iddhi, kekuatan kehendak mengubah tubuh dari satu menjadi banyak, dari banyak menjadi satu lagi.
2. Vikubbana Iddhi, kemampuan `menyalin rupa' menjadi anak kecil, raksasa, rupa buruk, menjadi tak tampak.
3. Manomaya Iddhi. Kemampuan `mencipta' dengan kekuatan pikiran. Misalnya: mencipta istana, taman, binatang. Lamanya ciptaan itu tergantung dari kekuatan pikiran.
4. Nana vipphara Iddhi. Pengetahuan menembus ajaran yang sulit.
5. Samadhivipphara Iddhi. Kekuatan konsentrasi untuk:

i. menembus dinding

ii. meyelam ke dalam bumi seperti di air

iii. berjalan di atas air seperti di tanah datar

iv. masuk ke dalam api tanpa hangus

v. terbang seperti burung

4. Patisambhidappatto Arahat.

Arahat yang memiliki empat patisambhida (pengetahuan sempurna):

a) Atthapatisambhida.
Pengertian mengenai arti/maksud ajaran dan dapat memberi penerangan secara rinci, hampir seperti Sang Buddha.

b) Dhammapatisambhida.
Pengertian mengenai intisari dari ajaran dan mampu mengajukan pertanyaan ajaran yang mendalam.

c) Niruttipatisambhida.
Pengertian mengenai bahasa dan mampu menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh pendengar.

d) Patibhanapatisambhida.
Pengertian mengenai kebijaksanaan dan mampu menjawab spontan bila ada pertanyaan mendadak.

Para Arahat/orang suci yang memiliki kemampuan tidak untuk pertunjukan (pamer). Tapi digunakan untuk kebaikan, menolong orang sesuai dengan Dhamma-vinaya. Karena di antara hal-hal yang mukjizat, mukjizat Dhamma adalah yang paling utama.

Sebagai penutup uraian ini ada satu peristiwa yang diceritakan oleh seorang pilot pesawat terbang di Amerika. Hal ini diceritakan oleh seorang pengusaha yang pada waktu itu ada di sana. Di satu bandara telah mendarat sebuah pesawat terbang dari satu kota ke New York. Semua penumpang turun dan begitu pula pilot pesawat tersebut. Di antara penumpang, berjalan dengan perlahan seorang bhikkhu yang usianya sudah lebih dari 80 tahun, yang berasal dari Burma. Ketika pilot itu melihat bhikkhu tersebut, pilot menghampiri dan kemudian sujud di hadapannya. Bhikkhu itu tersenyum dan berlalu. Semua orang menjadi heran dan bertanya apa yang terjadi. Sang pilot bercerita bahwa akibat badai dan hujan deras pesawatnya sulit melihat landasan bandara.

Pada saat yang kritis itu tiba-tiba muncul bhikkhu tua itu di muka pesawatnya dengan duduk bersila. Yang mulia bhikkhu itu menggerakkan tangannya menunjukkan arah jalan pesawat sehingga bisa mendarat dengan selamat. Sang pilot tidak mengetahui bahwa Yang mulia bhikkhu tersebut merupakan salah satu penumpang pesawatnya.

Kemampuan batin (iddhi) bagi orang suci dapat digunakan untuk kebajikan. Oleh karena itu, ajaran Buddha tidak mengajarkan mencapai kemukjizatan supranormal. Tapi ajaran Buddha dibabarkan demi tercapainya kebebasan sempurna, Nibbana.

70
Buddhisme untuk Pemula / VEGETARIAN menurut ajaran Buddha
« on: 15 April 2010, 01:34:18 PM »
VEGETARIAN menurut ajaran Buddha


Ajaran Buddha sebenarnya tidak mengecam ataupun menganjurkan praktik vegetarian. Di dalam sutta-sutta, Sang Buddha tidak mengatakan bahwa praktik vegetarian adalah benar atau salah. Di dalam ajaran Buddha, seseorang bebas untuk memilih apa yang akan mereka jadikan makanan, baik itu sayuran maupun daging. Menkonsumsi makanan penting sekedar untuk bertahan hidup dalam jangka waktu lama. Mengenai hal ini Sang Buddha pernah berkata, "Semua makhluk hidup bertopang pada makanan".

Sebelum munculnya ajaran Buddha, ada banyak brahmana dan pertapa yang percaya bahwa kesucian hanya dapat tercapai dengan jalan mengatur dengan ketat apa yang mereka makan. Berdasarkan pandangan itu mereka hanya makan nasi dan sayuran dalam jumlah yang sangat sedikit. Bahkan sering kali mereka tidak makan apa pun. Mereka percaya bahwa dengan cara ini, yang semacam penyiksaan diri, kesucian dapat tercapai. Sang Buddha menolak konsep penyucian diri dengan jalan semacam itu.

Sang Buddha tidak menganggap bahwa vegetarian merupakan praktik moralitas. Bahkan praktik vegetarian sama sekali bukan bagian dari moralitas (sila) yang merupakan salah satu faktor dari Jalan Mulia Beruas Delapan.

Sang Buddha menganjurkan kepada semua murid-Nya untuk mempraktikkan Dhutanga. Dhutanga secara harfiah diartikan sebagai latihan untuk menghancurkan kekotoran batin. Praktik vegetarian tidaklah termasuk dalam faktor dhutanga, yang berarti bukan merupakan faktor penting untuk mengakhiri penderitaan. Oleh karenanya, Sang Buddha tidak mendorong para murid-Nya untuk menjadi vegetarian. Tetapi Beliau menyarankan mereka untuk bersikap terkendali dalam hal makan.

Pada masa kehidupan Sang Buddha, dalam Kanon Pali (Pacittiya Pali, Vinaya Pitaka) disebutkan bahwa ada lima jenis makanan yang biasa disajikan sebagai menu sehari-hari dan juga biasa didanakan kepada para bhikkhu, yaitu nasi, bubur beras, terigu rebus, ikan, dan daging. Selain dari lima jenis makanan di atas, disebutkan pula sembilan jenis makanan yang lebih istimewa, yaitu makanan yang dicampur dengan mentega cair, mentega segar, minyak, madu, sirup gula, ikan, daging, susu, dan dadih.

Sembilan jenis makanan tersebut umumnya ditemukan di kalangan keluarga kaya dan mereka juga mendanakannya kepada para bhikkhu. Para bhikkhu diperbolehkan menerima makanan itu bila didanakan oleh para umat awam, namun mereka akan dikatakan melanggar vinaya jika dengan sengaja meminta makanan tersebut kepada umat, tanpa disertai alasan tertentu, yaitu ketika mereka sedang sakit.

Dari hal-hal di atas dapat diketahui bahwa ikan dan daging sudah biasa dikonsumsi sejak masa hidup Sang Buddha. Sang Buddha dan para murid-Nya hanya makan dari hasil pindapatta. Sang Buddha sendiri memakan daging dan memperkenankan para murid-Nya berlaku serupa, dengan catatan bahwa daging tersebut tidak khusus disediakan atau dibunuh untuk Beliau dan para bhikkhu.

Sebagai pendukung, ada beberapa contoh yang membuktikan bahwa daging sudah biasa dikonsumsi sebelumnya dan Kanon Pali menyebutkan bahwa ada beberapa macam daging yang didapati dalam mangkok (patta) Sang Buddha.

Pada suatu ketika, di sebuah hutan, segerombolan perampok membunuh seekor sapi untuk dimakan. Pada saat yang sama, di hutan itu seorang bhikkhuni arahat bernama Uppalavamna sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Ketika melihat bhikkhuni tersebut, kepala gerombolan perampok menganjurkan anak buahnya untuk tidak mengganggu. Dia sendiri menggantungkan sepotong daging sapi di cabang pohon, mempersembahkannya kepada bhikkhuni ini, dan berlalu. Bhikkhuni Uppalavamna kemudian mengambil potongan daging tersebut dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha (Nissaggiyapacittiya Pali, Vinaya Pitaka).

Pada peristiwa lainnya, Sang Buddha dalam perjalanan menuju Kusinara (hari terakhir sebelum Sang Buddha Parinibbana). Cunda, perajin emas dari Pava, mempersembahkan makanan terhadap Sang Buddha, termasuk sukaramaddava di dalamnya. Sukaramaddava berarti daging babi berusia setahun yang dijual. Daging babi semacam ini lunak dan kaya gizi. Meskipun kata sukaramaddava ini ditafsirkan dalam banyak arti, namun arti seperti di atas didukung oleh Y.M. Buddhagosa, penulis kitab Komentar Mahaparinibbana Sutta, Digha Nikaya.

Di dalam bukunya Y.M. Buddhagosa menyebutkan penafsiran pengajar-pengajar lain tentang sukaramaddava. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah semacam susu beras atau puding beras susu; beberapa lagi menyebutkan bahwa itu adalah semacam obat penguat (tonik). Belakangan ini, beberapa pelajar vegetarian menyebutkan bahwa sukaramaddava adalah sejenis jamur.

Jadi kita mendapati adanya daging dalam mangkok Sang Buddha dan murid-Nya, tetapi Sang Buddha menganjurkan untuk menghindari memakan sepuluh jenis daging. Kesepuluh jenis daging tersebut adalah daging manusia, daging gajah, daging kuda, daging anjing, daging ular, daging singa, daging harimau, daging macan tutul, daging beruang, dan daging serigala atau hyena (Mahavagga Pali, Vinaya Pitaka).

Seorang Bhikkhu dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi sepuluh macam daging tersebut karena beberapa alasan yang secara ringkas tercantum di kitab Komentar Vinaya (Samattpasadika) seperti berikut ini. Daging manusia tidak seharusnya dimakan karena berasal dari spesies yang sama. Daging gajah dan kuda tidak seharusnya dimakan karena mereka adalah peliharaan dari seorang raja. Sedangkan daging anjing dan ular dikarenakan mereka termasuk jenis hewan yang menjijikkan, kelompok terakhir adalah singa, harimau, dan sebagainya, tidak seharusnya dimakan karena mereka tergolong binatang berbahaya dan jika dimakan bau daging binatang tersebut bisa membahayakan para bhikkhu yang bermeditasi di hutan.

Meskipun Sang Buddha mengizinkan para pengikut-Nya untuk menkonsumsi daging kecuali kesepuluh jenis di atas, Beliau memberlakukan tiga persyaratan, yaitu seorang bhikkhu tidak diperbolehkan menerima daging apabila:

1. Melihat secara langsung pada saat binatang tersebut dibunuh.
2. Mendengar secara langsung suara binatang tersebut pada saat dibunuh.
3. Mengetahui bahwa binatang tersebut dibunuh khusus untuk dirinya.

Karena Sang Buddha dan para murid-Nya bersikap non-vegetarian, tidak sedikit tokoh keagamaan lainnya yang mencela Sang Buddha. Sebagai contoh, suatu ketika kepala suku Vajji yang bernama Siha mengundang Sang Buddha dan murid-Nya untuk makan siang. Siha mempersembahkan nasi dan lauk, termasuk daging yang dibelinya di pasar. Sekelompok pertapa Jain mendengar bahwa Siha mempersembahkan nasi campur daging kepada Sang Buddha. Mereka mencela Sang Buddha maupun Siha, mereka memfitnah: "Siha, sang kepala suku, telah membunuh binatang besar untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada Sang Buddha, dan sekalipun Sang Buddha mengetahuinya, Ia tetap saja memakan daging tersebut (Siha-senaoati Sutta, Anguttara Nikaya).

Berdasarkan Jainisme, memakan daging adalah hal yang salah. Mereka berpandangan bahwa seseorang yang memakan daging akan mewarisi setengah karma buruk yang dibuat oleh si pembunuh hewan itu. Si pembunuh membunuh hewan karena si pemakan memakan daging. Sebelum menjadi pengikut Sang Buddha, Siha adalah pengikut Mahavira, pendiri Jainisme.

Suatu ketika, seorang tabib bernama Jivaka mengunjungi Sang Buddha dan memberitahukan tentang berita yang didengarnya. "Yang mulia, ada yang mengatakan bahwa beberapa bintang telah dibunuh untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada Pertapa Gotama. Pertapa Gotama menerimanya sekalipun mengetahui bahwa binatang itu khusus dibunuh untuk-Nya. Yang Mulia, mohon dijelaskan apakah yang mereka katakan itu benar atau tidak."

Sang Bhuddha menolak kebenaran berita tersebut dan menjelaskan, ''O Jivaka, barang siapa yang terlibat dalam pemotongan hewan untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada-Ku dan para murid-Ku, orang itu akan melakukan banyak kejahatan karena lima hal:

dengan tujuan berdana, orang itu memerintahkan agar seekor binatang dibawa untuk dibunuh; binatang itu mengalami kesakitan dan derita ketika ditarik dengan paksa; perintah untuk membunuh binatang itu; binatang itu mengalami kesakitan dan derita ketika dibunuh; ia menyulitkan Aku dan murid-murid-Ku dengan mempersembahkan makanan yang tidak sesuai untuk kami." (Jivaka Sutta, Majjima Nikaya)

Sang Buddha mengizinkan untuk mengkonsumsi daging asalkan bebas dari ketiga syarat di atas, karena memakan daging bukanlah perbuatan buruk, seperti halnya perbuatan membunuh makhluk hidup. Karena itu Sang Buddha menolak kepercayaan bahwa orang yang makan daging akan ikut mewarisi perbuatan buruk dari orang yang membunuh hewan.

Bhikkhu Devadatta, sepupu Sang Buddha, yang selalu menentang Sang Buddha, pada suatu ketika datang dan meminta Sang Buddha untuk tidak mengizinkan para bhikkhu mengkonsumsi daging dan ikan sepanjang hidup mereka, dan apabila hal itu dilanggar maka mereka dinyatakan bersalah. Dengan tegas Sang Buddha menolak permintaan Devadatta ini (Culavagga Pali, Vinaya Pitaka).

Sehubungan dengan konsumsi daging, Amagandha Sutta adalah sutta yang sangat penting. Sutta yang termasuk dalam Sutta Nipata, Khudaka Nikaya, ini untuk pertama kalinya dibabarkan oleh Buddha Kassapa dan kemudian dikatakan ulang oleh Buddha Gotama.

Pada suatu ketika, seorang pertapa yang menjalani vegetarian mendatangi Sang Buddha dan menanyakan apakah Sang Buddha memakan amagandha atau tidak. Sang Buddha bertanya kepada pertapa itu, "Apakah amagandha itu?", dan pertapa itu menjawab bahwa amagandha adalah semacam daging. Amagandha secara harfiah berarti bau daging, dalam hal ini berkonotasi sesuatu yang busuk, menjijikkan, dan kotor. Karena itulah pertapa ini memakai istilah amagandha.

Selanjutnya Sang Buddha menjelaskan bahwa sesungguhnya daging bukanlah amagandha, tetapi segala jenis kekotoran batin dan semua bentuk perbuatan jahatlah yang semestinya disebut amagandha. Sang Buddha berkata:

Membunuh, menganiaya, memotong, mencuri, berdusta, menipu, kepura-puraan, berzinah, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging. Jika seorang tidak terkendali hawa nafsunya, serakah, melakukan tindakan yang tidak baik, berpandangan salah, tidak jujur, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging. Jika seseorang berlaku kasar dan kejam, suka memfitnah, pengkhianat, tanpa belas kasih, sombong, kikir, dan tidak pernah berdana, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging. Kemarahan, kesombongan, keras kepala, bermusuhan, munafik, dengki, tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, berhubungan dengan hal-hal yang tidak baik, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging. Jika seseorang bermoral buruk, menolak membayar hutang, pengumpat, penuh tipu daya, penuh dengan kepura-puraan, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.

Menurut ajaran Buddha, pemurnian dari kekotoran batin (kilesa) adalah hal yang sangat penting untuk mencapai Nibbana. Kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membersihkan pikiran, kemurnian pikiran hanya dapat dicapai melalui pengembangan kebajikan dalam diri masing-masing, yaitu melalui pengembangan moralitas (sila), konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan (panna). Kita tidak akan menjadi ternoda atau menjadi suci dengan makan daging atau sayuran.

Telah disebutkan di atas bahwa Sang Buddha tidak pernah menganjurkan para pengikut-Nya untuk menjadi vegetarian atau non-vegetarian, namun Beliau menyarankan mereka untuk bersikap terkendali dalam hal makan (bhojana mattannuta). Apa pun yang Anda konsumsi, baik daging maupun sayuran, Anda harus mengendalikan diri terhadap rasa dari makanan itu untuk mencegah timbulnya kemelekatan pada makanan tersebut (rasatanha).

Kemelekatan terhadap rasa dapat dikikis dengan jalan mengembangkan ketidakmelekatan terhadap makanan atau melalui perenungan tujuan makan (paccavekkhana).

Seorang bhikkhu seharusnya mengkonsumsi makanan bukan dengan tujuan kenikmatan, bukan untuk mendapatkan kekuatan khusus, bukan untuk mengembangkan bagian tubuh agar tampak menarik, dan bukan untuk mempercantik diri. Tetapi hendaknya sekedar demi kelangsungan hidup, memelihara kesehatan, dan memungkinkan mereka tetap bisa menjalankan kehidupan suci (Apannaka Sutta, Anguttara Nikaya).

Di dalam Puttamamsupama Sutta, Sang Buddha menjelaskan bagaimana seharusnya seorang bhikkhu merenungkan makanan mereka dengan mengibaratkan kabalikara sebagai daging anak sendiri. Semua jenis makanan, daging atau sayuran, disebut sebagai kabalikara.

Sang Buddha memberi perumpamaan, "Ada sepasang suami istri dengan satu-satunya anak bayi mereka sedang menempuh perjalanan jauh. Di tengah perjalanan mareka kehabisan bekal makanan dan tidak mampu meneruskan perjalanan tanpa makanan. Di tengah cekaman bayangan kematian karena kelaparan, gagasan buruk muncul dalam pikiran mereka. Akhirnya mereka sepakat untuk membunuh bayinya dan memakan dagingnya. Selanjutnya mereka meneruskan perjalanan dengan penuh kesedihan karena telah membunuh anak satu-satunya."

Setelah memberikan perumpamaan tersebut, Sang Buddha menjelaskan artinya melalui tanya-jawab, "O Bhikkhu, bagaimana pendapatmu? Apakah suami istri itu memakan daging bayi sendiri untuk tujuan kenikmatan (davaya), untuk mendapatkan kekuatan khusus (madaya), untuk mengembangkan bagian tubuh agar tampak menarik (mandanaya), atau untuk mempercantik diri (vibhusanaya)?" Para bhikkhu menjawab, "Tidak Yang Mulia. Mereka tidak akan memakan daging anaknya karena tujuan-tujuan itu." Sang Buddha bertanya lagi, "Apakah mereka makan hanya dengan tujuan agar dapat meneruskan perjalanan mereka?" "Benar, O Yang Mulia".

Menurut sutta di atas, hendaknya seseorang merenungkan makanannya seolah seperti daging anak sendiri. Dengan melakukan perenungan semacam ini seseorang bisa mengurangi kehausan atau kemelekatan terhadap rasa dari makanan.

Selanjutnya, mari kita bahas mengenai makanan ditinjau dari sudut pandang Empat Kesunyataan Mulia. Menurut ajaran Buddha, makanan termasuk materi, yang berkaitan dengan agregat materi (rupa khanda). Agregat materi adalah suatu jenis penderitaan. Karena itulah makanan juga subjek dari penderitaan. Ini salah satu hal yang harus dimengerti secara benar (parinneyya). Makanan bukanlah suatu hal yang harus dihancurkan (na pahatabba). Nafsu terhadap rasa yang ditimbulkan oleh makanan itu adalah sebab dari penderitaan (dukkhasamudaya). Sebab inilah yang harus dihancurkan (phatabba). Hilangnya nafsu terhadap rasa dari makanan adalah berakhirnya penderitaan (dukkhanirodha). Inilah yang harus dicapai (sacchikatabba). Merenungkan makanan secara benar agar bebas dari kemelekatan terhadap makanan adalah jalan menuju berakhirnya penderitaan (dukkha nirodha gamini patipada). Inilah yang seharusnya dikembangkan dalam diri masing-masing (bhavetabba).

Menurut ajaran Buddha, berakhirnya penderitaan adalah hal yang paling penting. Hal ini hanya bisa tercapai dengan jalan melenyapkan hawa nafsu atau kehausan (tanha). Oleh karenanya, Anda harus berupaya untuk mencabut akar dari kehausan, kemelekatan terhadap rasa yang ditimbulkan oleh apa pun yang kita makan untuk mencapai akhir dari penderitaan. Nibbana adalah tujuan akhirnya. Anda bebas menjadi vegetarian ataupun non-vegetarian. Tetapi hal penting yang harus Anda upayakan adalah melatih diri untuk menghilangkan kemelekatan terhadap rasa dari makanan yang Anda makan sehari-hari.

Yangon, Januari 2003
--------------------------------------
Sumber:
Buddhism & Vegetarianism, Ven. Sayadaw U. Nandamala
Penyadur: Yulianti, B.Dh. (Diploma),
Penyunting: Handaka Vijjananda (Founding Chairman of Ehipassiko Foundation, Yangon).

71
Buddhisme untuk Pemula / Miskonsepsi mengenai agama Buddha
« on: 15 April 2010, 01:31:49 PM »
Berikut ada sebuah artikel yang memuat beberapa miskonsepsi mengenai agama Buddha. Agak panjang sih, tapi menarik sekali untuk disimak :

Banyak konsep-konsep keliru yang tersebar di sekitar kita dan bahkan ada yang telah menjadi pendapat umum, sehingga kita seringkali secara tidak sadar menerima dan menelannya begitu saja sebagai suatu kebenaran. Akibatnya kita pun jadi tidak menyadari kekeliruan pandangan kita terhadap suatu peristiwa atau obyek.

Menyadari hal itu, tidak mengherankan kalau di kalangan masyarakat Indonesia--termasuk di kalangan mereka yang mengaku beragama Buddha--juga beredar anggapan-anggapan keliru terhadap agama Buddha. Memang tidak mudah menjadi orang yang selalu bisa mengikuti anjuran Sang Buddha untuk "ehipassiko" (dan dan lihatlah) maupun untuk berpedoman "jangan mudah percaya" sebagaimana yang dibabarkan Sang Buddha dalam Kalama Sutta.

Namun lepas dari kelemahan manusia yang mudah menerima begitu saja segala informasi tanpa disaring terlebih dahulu, anggapan keliru sesungguhnya sering bermula--dan juga mendapatkan penegasan--dari praktek-praktek non Buddhis yang dilakukan umat Buddha. Dalam hal ini semestinya umat Buddha mawas diri dan berusaha menjaga agar citra umat Buddha tidak menjadi jelek di mata umum. Sedangkan untuk meluruskan anggapan-anggapan keliru yang sudah beredar, memang diperlukan usaha-usaha ekstra untuk memberikan penerangan yang jelas kepada masyarakat teruatama di kalangan umat Buddha sendiri.

Beberapa anggapan keliru itu adalah:

1. agama Buddha mengajarkan untuk hidup pasif dan berpandangan pesimis.

2. agama Buddha mengajarkan untuk melarikan diri dari kenyataan hidup

3. agama Buddha hanya cocok untuk orang-orang tua

4. agama Buddha adalah agama nenek moyang yang sudah ketinggalan jaman

5. agama Buddha mengajarkan untuk menyembah berhala

6. agama Buddha penuh dengan ketakhayulan dan mengajarkan untuk bakar-bakar kertas

7. agama Buddha menganjurkan umat Buddha untuk menjadi Bhikkhu

8. agama Buddha menganjurkan umat Buddha untuk vegetarian

9. agama Buddha membuat negara menjadi tidak maju

10. agama Buddha tidak melakukan pelayanan sosial

11. agama Buddha tidak memiliki konsepsi mengenai Tuhan Yang Maha Esa

Berikut ini akan dibahas satu persatu mengenai sebab dari anggapan keliru di atas serta jawaban dan penjelasan yang harus diberikan untuk meluruskannya. Adanya anggapan-anggapan keliru terhadap agama Buddha yang menyebabkan seseorang masih memiliki keraguan terhadap Buddhadharma. Agar keyakinannya dapat tumbuh secara benar, anggapan keliru tersebut harus dihapuskan terlebih dahulu.

Agama Buddha mengajarkan untuk hidup pasif dan berpandangan pesimis

Anggapan keliru ini muncul karena Sang Buddha menyatakan bahwa hidup ini adalah dukkha. sesungguhnya pengertian dukkha di sini adalah "tidak memuaskan". Agama Buddha tidak menyangkal bahwa hidup manusia ini diliputi senang dan susah yang silih berganti. Namun karena selain senang ada pula susah dan keduanya itu tidak kekal, maka hidup menjadi sesuatu keadaan yang tidak memuaskan. Dengan demikian dalam hal ini tentunya pandangan yang diajarkan agama Buddha bukanlah pandangan yang pesimistis, tetapi justru pandangan yang sanat realistis.

Sang Buddha menyatakan bahwa hidup ini dukkha maksudnya agar kita menyadari bahwa kehidupan kita yang sekarang masih belum sempurna dan setelah kita memahaminya tentu kita akan berusaha merealisasikan keadaan yang sempurna atau kebahagiaan sejati. Seperti halnya orang yang sakit, baru setelah mengetahui dirinya sakit ia akan berobat ke dokter untuk mengetahui sebab sakitnya dan apa obatnya. Setelah mengetahui obatnya ia akan memakannya supaya bisa sembuh dan sehat kembali.

Sang Buddha tidak hanya menyatakan bahwa hidup ini dukkha, tetapi juga menjelaskan sebab dari dukkha, keadaan lenyapnya dukkha, dan jalan untuk melenyapkan dukkha. Dengan demikian jelas bahwa agama Buddha tidak mengajarkan untuk hidup pasif. Umat Buddha justru manusia-manusia aktif yang berusaha melaksanakan jalan tengah yang diajarkan Sang Buddha untuk dapat mencapai kesempurnaan, atau paling tidak bisa mencapai keadaan yang lebih baik daripada sebelumnya dan bukannya semakin merosot.

Agama buddha mengajarkan untuk melarikan diri dari kenyataan hidup

Para Bhikkhu sering dikatakan telah meninggalkan keduniawian, sehingga dianggap agama Buddha mengajarkan untuk melarikan diri dari kenyataan hidup. Sesungguhnya hal ini tidak benar. Benar bahwa para bhikkhu meninggalkan rumah, tetapi mereka tetap berada di dunia ini. Bahkan para Buddha, Bodhisatva, dan Arahat aktif menyebarkan kebenaran demi kesejahteraan dunia, tetapi akan lebih tepat jika dipahami sebagai "mengatasi keduniawian".

Sesungguhnya justru para bhikkhulah yang dalam latihan dan perenungannya benar-benar menghadapi kenyataaan hidup dan senantiasa berusaha mengatasi keserakahan, kebencian, dan kedunguan. Sedangkan umat awam banyak yang tidak berusaha menghadapi dan mengatasi masalah-masalah kehidupan secara tuntas, mereka lebih sering melarikan diri dari kenyataan hidup.

Agama Buddha hanya cocok untuk orang-orang tua

Anggapan keliru bahwa agama Buddha hanya cocok untuk orang-orang yang sudah tua dan tidak lagi punya kesibukan dapat timbul karena orang melihat praktek sebagian umat Buddha awam yang dalam melakukan kebaktian pagi dan sore menggunakan waktu yang cukup lama. Menganggap kebaktian dalam agama Buddha itu menyita waktu lama adalah keliru. Sebetulnya para perumahtangga yang memiliki banyak tugas dan pekerjaan dalam melakukan kebaktian secara singkat saja, tidak harus sepanjang seperti yang dilakukan seperti para Bhikkhu.

Agama Buddha sesungguhnya lebih cocok untuk orang-orang muda, karena sangat banyak keuntungannya jika seseorang sudah dapat mempraktekkan ajaran agama Buddha sejak masih muda.

Agama Buddha adalah agama nenek moyang yang sudah ketinggalan jaman

Anggapan seperti ini terjadi di tempat-tempat di mana umat Buddha menganut agama Buddha secara turun-temurun, namun hanya tinggal tradisinya saja. Tradisi itu pun dilaksanakan dengan tanpa pengertian benar. Tempat ibadah yang terkesan kuno juga telah ikut memunculkan anggapan bahwa agama Buddha sudah ketinggalan jaman.

Sesungguhnya kalau kita mau mengkaji ajaran agama Buddha, maka tidak akan pernah timbul pendapat bahwa agama Buddha itu sudah ketinggalan jaman. Agama Buddha memang agama warisan nenek moyang, namun agama Buddha merupakan agama yang tidak akan pernah ketinggalan jaman karena agama Buddha itu mengajarkan Kesunyataan, kebenaran mutlak yang tidak tergantung pada waktu, tempat, dan keadaan. Bahkan pada jaman sekarang agama Buddha semakin menarik perhatian dunia Barat dan semakin mudah diterima oleh kaum intelektual karena merupakan agama yang tetap selaras dengan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern.

Agama Buddha mengajarkan untuk menyembah berhala

Anggapan bahwa agama Buddha mengajarkan untuk menyembah berhala disebabkan karena kalau dilihat sepintas lalu memang ada kemiripan antara umat Buddha yang bersujud di muka Buddharupang dengan para penyembah berhala. Namun sesungguhnya umat Buddha yang telah memahami Buddhadhamma hanya akan menjadikan Buddharupang sebagai sarana untuk mrnghormati sifat-sifat luhur Sang Buddha, sehingga akan dapat meneladani Sang Buddha. Sama seperti seorang warganegara ketika memberikan penghormatan bendera nasionalnya, yang dihormati bukanlah secarik kain, tetapi lambang kebesaran bangsa dan negara yang terkandung pada bendera tersebut.

Agama Buddha penuh dengan ketakhayulan dan menganjurkan bakar-bakar kertas

Anggapan ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, orang tidak mengerti makna sesungguhnya dari upacara-upacara dalam agama Buddha. Kedua, orang menganggap praktek-praktek non Buddhis sebagai bagian dari ajaran Sang Buddha.

Lilin, dupa, dan bunga yang kita persembahkan di altar semata-mata wujud penghormatan kita kepada Sang Buddha, sekaligus tanda bahwa kita ingat akan Dhamma yang beliau ajarkan. Lilin melambangkan cahaya Dhamma, dupa melambangkan keharuman Dhamma, dan bunga melambangkan keindahan Dhamma.

Kebaktian agama Buddha juga jauh dari ketakhayulan. Tujuan kebaktian dalam agama Buddha hanyalah untuk memusatkan perhatian dan memperkuat keyakinan kita kepada Buddha, Dhamma, Sangha. Agama Buddha justru menyatakan bahwa adanya pandangan "melalui upacara, kesucian dan pembebasan mutlak akan dapat diperoleh" merupakan salah satu belenggu yang harus dipatahkan.

Mengenai bakar-bakar uang kertas, rumah-rumahan kertas, dan sebagainya,semua itu adalah warisan tradisi orang Tionghoa dari jaman dahulu dan bukan milik agama Buddha. Demikian pula mengambil ciamsi, menanyakan peruntungan, meramalkan nasib, semua itu tidak dibenarkan dalam agama Buddha. Sesungguhnya umat Buddha telah memiliki pegangan yang mantap yaitu Hukum Karma.

Agama Buddha menganjurkan umat Buddha untuk menjadi Bhikkhu

Anggapan keliru bahwa kalau semua orang belajar agama Buddha maka nanti semua orang akan jadi Bhikkhu sehingga umat manusia akan musnah, merupakan anggapan yang terlalu berlebihan. Anggapan keliru tersebut timbul lebih karena kecemasan orang-orang tua yang melihat ada banyak pemuda yang meninggalkan rumah untuk menjadi bhikkhu, dan karena keterikatan mereka terhadap anak sangat kuat maka mereka tidak ingin anaknya menjadi bhikkhu. Sebagian dari mereka malah melarang anaknya pergi ke Vihara atau bahkan ada yang lebih suka jika anaknya tidak menganut agama Buddha.

Sesungguhnya menjalanin kehidupan dalam kebhikkhuan tidaklah mudah, oleh karena itu, orang yang memilih hidup menjadi bhikkhu jumlahnya tidak bisa banyak. Dan menurut agama Buddha sendiri, orang yang ingin mempelajari agama Buddha tidak harus menjadi Bhikkhu. Daripada menjadi bhikkhu namun tidak dapat menjalankan Dhamma dan Vinaya dengan baik, lebih baik menjadi umat awam yang baik saja. Menjadi bhikkhu atau tidak adalah pilihan yang dibenarkan agama Buddha. Namun dengan menjadi bhikkhu seseorang memang akan dapat sepenuhnya hidup untuk Buddhadhamma.

Agama Buddha menganjurkan umat Buddha untuk vegetarian

Anggapan keliru ini timbul karena agama Buddha yang berkembang di cina sangat mengutamakan hidup vegetarian, sehingga timbul anggapan agama Buddha mengharuskan umatnya untuk vegetarian. Padahal umat Buddha di banyak negara di luar Cina tidak vegetarian. Agama Buddha tidak mengharuskan umatnya vegetarian. Namun demikian, vegetarian merupakan latihan yang baik untuk dijalankan. Vegetarian akan dapat mengembangkan dan memelihara rasa welas asih kita sehingga kita tidak tega menyakiti makhluk hidup lain.

Agama Buddha membuat negara menjadi tidak maju

Adanya anggapan ini adalah didasarkan kenyataan-kenyataan yang ada sebagai bukti. Namun ternyata anggapan tersebut diatas keliru, karena adanay kenyataan-kenyataan lain sebagai bukti yang sebaliknya, yaitu agama Buddha jsutru telah berhasil membuat suatu negara menjadi maju. Di Indonesia sendiri, kejayaan masa lalu terjadi pada zaman Kesatuan Sriwijaya dan Keprabuan Majapahit ketika agama Buddha menjadi agama yang dianut. Masa jaya India adalah pada saat Raja Asoka memerintah dan mengembangkan agam Buddha. Jepang menjadi kuat setelah Restorasi Meiji. Demikian pula di Cina, kejayaan dinasti Tang dan dinasti Sung tidak lepas dari pengaruh agama Buddha.

Agama Buddha tidak melakukan pelayanan sosial

Anggapan ini dapat timbul karena dua hal. Pertama karena organisasi-organisasi umat Buddha memang kurang aktif bergerak dalam pelayanan sosial. Kedua, karena pelayanan sosial yang dilakukan umat Buddha cenderung tanpa publisitas sehingga tidak begitu diketahui oleh masyarakat luas.

Sesungguhnya agama Buddha sendiri mengajarkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang banyak. Umat Buddha diajarkan untuk menumbuhkan maitrikaruna dan boddhicitta. Dalam kenyataannya di masa lalu, di India, vihara-vihara juga menyediakan sarana-sarana pendidikan masyarakat. Sistem sekolah modern dimulai oleh agama Buddha, demikian pula pada masa itu bidang pengobatan berkembang baik di lingkungan agama Buddha.

Pada masa kini, sebagai contoh, di Taiwan kegiatan pelayanan sosial dalam bidang kesehatan yang hasilnya sangat mengagumkan telah dilakukan oleh Bhikshuni Cheng Yen melalui Yayasan Tzu Chi-nya.

Agama Buddha tidak memiliki konsepsi mengenai Tuhan Yang Maha Esa

Anggapan ini muncul karena banyak buku karya para cendikiawan Buddhis yang menekankan bahwa Sang Buddha menolak konsepsi personal God (Mahabrahma) sebagai pencipta dunia. Selain itu juga karena agama Buddha lebih memusatkan perhatian pada usaha manusia untuk "merasakan" kehadiran Tuhan Yang Maha Esa (Dharmakaya) daripada membicarakannya.

Sesungguhnya agama Buddha memiliki konsepsi mengenai Tuhan Yang Maha Esa. Untuk lebih jelasnya silakan baca mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Agama Buddha.

Ketuhanan Yang Maha Esa

"Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu yang tidak dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak tercipta, Yang mutlak. Duhai para bhikkhu, apabila tidak ada yang tidak dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak diciptakan, yang mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemnunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada yang tidak dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak tercipta, yang mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan. pemunculan dari sebab yang lalu."

Ungkapan di atas adalah pernyataan Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII:3. Yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa pali adalah "Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam" yang artinya "suatu yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, dan yang mutlak".

Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak. yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara meditasi.

Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini sebab masih banyak umat Buddha yang mencampuradukkan konsep Ketuhanan Agama Buddha dengan konsep Ketuhanan agama lain.

Bila kita mempelajari agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tipitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep agama lain antara lain adalah konsep tentang alam semesta, kejadian bumi dan manusia, kehidupan manusia di alam semesta, kiamat dan keselamatan atau kebebasan.


72
Buddhisme untuk Pemula / Fanatisme vs Saddha
« on: 15 April 2010, 01:27:03 PM »
Ini adalah salah satu topik yang dalam aplikasinya masih sangat rancu. Kerancuan itu dapat terjadi karena batas diantara keduanya sangat tipis, namun bila yang satu menuju ke sebuah kebaikan maka yang lainnya akan memberikan sebuah kerugian besar. Tulisan ini didasarkan pada sabda-sabda Sang Buddha sebagaimana tercantum di dalam kitab suci Tripitaka namun dengan bahasa yang sederhana sesuai kapasitas pemahaman pribadi saya.

Keyakinan yang dinamakan Saddha, adalah iman atau kepercayaan yang berdasarkan kebijaksanaan. Keyakinan dalam ajaran Sang Buddha bukan berdasarkan atas rasa percaya semata atau bahkan rasa takut, tapi keyakinan yang didasarkan atas sebuah penyelidikan (ehipassiko). Kegembiraan tidak akan pernah dirasakan oleh mereka yang hanya memiliki keyakinan yang didasari atas rasa takut atau karena kepercayaan yang membuta. Karena sesungguhnya kegembiraan itu hanya dapat dirasakan oleh mereka yang memiliki pengertian benar dan kebijaksanaan.

Seperti yang diungkapkan oleh Sang Buddha bahwa seseorang yang bermoral dan berwatak baik akan belajar bahwa demikianlah seharusnya cara hidup seorang siswa yang mematahkan kecenderungan buruk, mencapai kesempurnaan lewat jalan kebijaksanaan dan pemusatan pikiran bersih dari dorongan yang keliru .Setelah ia sendiri memahami dan menyadari akan tujuan yang lebih luhur dari hidup ini, lalu berpikir untuk melaksanakannya sendiri (Puggala-Pannatti, III, 1). Sariputra (salah seorang siswa utama Sang Buddha) juga mengungkapkan bahwa keyakinan yang baik itu harus diuji dengan mengendalikan indra. Dengan keyakinan ini, semangat, kesadaran, konsentrasi, dan kebijaksanaan berkembang terus menerus. �Sebelumnya aku hanya mendengar hal-hal ini, sekarang aku hidup dengan mengalaminya sendiri. Kini dengan pengetahuan yang dalam aku menembusnya dan membuktikan secara jelas� (Samyutta Nikaya . V, 226).

Setelah melihat uraian di atas, kita sudah mengetahui bahwa Saddha adalah sebuah keyakinan yang didasarkan atas sebuah penyelidikan dengan pengertian yang benar serta penuh kebijaksanaan. Iman semacam itu dikategorikan sebagai iman yang rasional (akaravati-saddha). Sebuah iman yang dewasa tentu saja akan berbeda dengan iman yang kekanak-kanakan atau membuta. Iman yang kekanak-kanakan atau membuta inilah yang dikenal sebagai Fanatisme. Sang Buddha juga pernah menyampaikan bahwa seseorang yang kuat dalam keyakinan tetapi lemah dalam kebijaksanaan akan memiliki keyakinan yang fanatik dan tanpa dasar.

Sedangkan seseorang yang kuat dalam kebijaksanaan tetapi lemah dalam keyakinan akan mengetahui bahwa ia bersalah jika berbuat kejahatan, tetapi sulit untuk menyembuhkannya bagaikan seseorang yang penyakitnya disebabkan oleh si obat sendiri. Bila keduanya seimbang, seseorang akan memiliki keyakinan hanya bila ada dasarnya (Visuddhimagga. 129).

Dalam Brahmajala-sutta tercatat bagaimana Sang Buddha mengajarkan siswanya agar bersikap kritis terhadap penganutan agama Buddha sendiri: �Para Bhikkhu, jika ada orang berbicara menentang aku, atau menentang Dharma atau menentang Sangha, janganlah karena hal itu engkau menjadi marah, benci, atau menaruh dendam. Jika engkau merasa tersinggung dan sakit hati, hal itu akan menghalangi perjalanananmu sendiri mencapai kemenangan. Jika engkau merasa jengkel dan marah ketika orang lain mengucapkan kata-kata yang menentang kita, bagaimana engkau dapat menilai sejauh mana ucapannya itu benar atau salah?� Jika ada orang yang mengucapkan kata-kata yang merendahkan Aku, atau Dharma atau Sangha, engkau harus menjelaskan apa yang keliru dan menunjukkan kesalahannya dengan menyatakan berdasarkan hal ini atau itu, tidak benar, itu bukan begitu, hal demikian tidak diketemukan di antara kami dan bukan pada kami.

Sebaliknya pula, Bhikkhu, jika orang lain memuji Aku, memuji Dharma, memuji Sangha, janganlah karena hal tersebut engkau merasa senang atau bangga atau tinggi hati. Jika engkau bersikap demikian maka hal itu itu pun akan menghalangi perjalanananmu sendiri mencapai kemenangan. Jika orang lain memuji Aku, atau Dharma atau Sangha, maka engkau harus membuktikan kebenaran dari apa yang diucapkan dengan menyatakan berdasar hal ini atau itu, ini benar, itu memang begitu, hal demikian terdapat di antara kami, ada pada kami� (Digha-Nikaya. I, 3).

Setelah membaca semua sabda-sabda Sang Buddha di atas, apa yang sekarang muncul di dalam benak anda sekalian? Bagi saya pribadi, ajaran Sang Buddha lebih menitik-beratkan pada pengembangan religiusitas mental dan batin kita ketimbang sebuah keberAGAMAan. Sebagaimana dikatakan oleh Bodhidharma, bahwa Buddha tak dapat ditemukan dalam kitab suci. Ia mengajarkan untuk melihat ke dalam hati kita sendiri dengan kesadaran dan kesucian yang sempurna, karena di situlah kita akan bertemu dengan Buddha. Mungkin banyak diantara anda yang sering melihat orang-orang di sekeliling anda yang kuat menganut agamanya secara lahiriah, tapi tidak seiring dengan perkembangan religiusitas mental dan batinnya. Orang bisa saja sangat taat beribadah, namun di dalam rumahnya ia menyiksa istrinya dan di luar rumahnya ia seorang lintah darat.

Boleh jadi orang gigih menganut agama dengan motivasi tertentu seperti dagang, karier atau tuntutan calon mertua. Orang yang militan dalam kegiatan organisasi agama, namun mengobarkan kebencian dan permusuhan, tidak peduli dengan kesulitan orang lain, tidak jujur, tidak adil, tentunya tidak religius. Sebaliknya ada orang yang tidak begitu cermat menaati aturan agama (bukan mengenai nilai moral yang universal) atau bahkan ia juga tidak mengenal agama sama sekali, namun ia cinta pada kebenaran, lurus, tidak munafik, tidak egois, tidak serakah dan suka menolong, maka ia bisa disebut religius.

Jadi sekarang pilihan berada di tangan anda. Karena sesungguhnya Sang Buddha sudah membabarkan secara lengkap dan sempurna mengenai perbedaan antara Saddha & Fanatisme. Artikel ini sendiri bersumber dari tulisan Bapak Khrisnanda Wijaya-Mukti dalam bukunya yang sangat indah dan berjudul �Wacana Buddha-Dharma�. Buku tersebut dan juga nasehat mama saya, telah sangat banyak membantu saya keluar dari kesalahan pandangan saya sebagai seorang siswa Sang Buddha. Saya sendiri mengenal Buddha-Dharma pada tahun 1997 (kemudian menerima Tisarana & Pancasila pada tahun yang sama). Namun bukan kedamaian yang saya temukan akan tetapi �debat kusir� yang tak perlu serta berkepanjangan dengan famili dan para sahabat yang kebetulan non-Buddhis.

Puncaknya adalah tahun 2003, saat saya mendapat kesempatan menjadi seorang Dharmaduta, karena pada saat itu saya justru lebih banyak melakukan ADharma (dengan cara melakukan musavada tentang keyakinan-keyakinan selain Buddhis kepada para umat). Nasihat mama saya pun hanya masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan. Tahun 2004 saya mendapatkan buku yang sangat berharga itu, yang juga kemudian menyadarkan saya akan kebenaran nasehat mama saya selama ini. Seperti Angulimala, saya akhirnya membuang �pedang� saya dan menggantinya dengan sebuah teratai kebenaran. Keindahan lain yang saya rasakan adalah saat saya bisa mengenalkan Buddha-Dharma kepada rekan-rekan non-Buddhis, karena kini saya datang kepada mereka dengan kedamaian.

Teman-teman sekalian, jadikan Buddha-Dharma sebagai pembebasmu dan bukan sebagai belenggumu, karena sesungguhnya Sang Buddha pun juga sudah menguraikan bahwasanya kebanggaan (beragama Buddha) juga adalah salah satu penghalang kita dalam mencapai kemenangan (Nibbana). Selamat berbuat kebajikan dan semoga semua mahkluk selalu hidup berbahagia, Saddhu.

thx to: Singthung

73
Buddhisme untuk Pemula / Janganlah Percaya dengan Ketakhayulan
« on: 15 April 2010, 01:22:57 PM »
Janganlah Percaya dengan Ketakhayulan


Assaddho akataññū ca, sandhiccedho ca yo naro
Hatāvakāso vantāso, sa ve uttamaporiso

Orang yang telah terbebas dari ketahayulan, yang telah mengerti keadaan tak tercipta (Nibbāna), yang telah memutuskan semua ikatan (tumimbal lahir), yang telah mengakhiri kesempatan (baik dan jahat), yang telah menyingkirkan semua nafsu keinginan; maka sesungguhnya ia adalah orang yang paling mulia.

(Dhammapada 97)


Pada zaman dahulu hingga sekarang orangtua kita cenderung mempercayai adanya ketakhayulan. Menurut cerita-cerita kuno, bagi siapa saja yang tidak mempercayai adanya tanda-tanda buruk, maka ia akan celaka. Orangtua kita dahulu mengatakan bahwa tanda-tanda buruk ini harus dipercayai, karena ini sudah turun-temurun dan tidak boleh dilanggar.

Berikut ini adalah contoh tanda-tanda buruk yang dipercayai oleh sebagian masyarakat hingga sekarang. Misalnya, ketika berada di rumah, tiba-tiba pada siang hari kita dikejutkan oleh suara burung gagak, burung ini terus berkicau di luar rumah, maka ini merupakan pertanda buruk bahwa di sekitar rumah kita nantinya bakal ada yang meninggal dunia. Contoh lain, apabila kita ingin pergi ke rumah duka, kadang-kadang kita dilarang dengan alasan apabila kita pergi maka akan mengalami kesialan. Untuk menangkal hal ini, biasanya orangtua mengajarkan anak-anaknya membawa jahe, cabe merah, paku yang kemudian diikat dan dimasukkan ke dalam kantong kain. Setelah pulang dari rumah duka kantong tersebut dibuang di jalanan. Semua ketakhayulan ini seharusnya sudah kita tinggalkan, karena hal semacam ini tidak bisa diterima dengan akal sehat serta tidak sesuai dengan ajaran kebenaran. Anehnya, orang-orang zaman sekarang yang sudah berpendidikan tinggi dan serba modern masih saja mempercayai adanya ketakhayulan ini, bahkan ia mengajarkan anak-anaknya untuk mempercayai dengan tujuan agar anak-anaknya dapat terbebas dari kesialan. Padahal tanda-tanda buruk ini belum tentu benar, apabila dibuktikan kebenarannya.

Misalnya, apabila ada suara burung gagak di pekarangan rumah kita; apakah benar akan ada orang yang meninggal dunia? Seandainya saja benar, mungkin saja hal ini disebabkan karena di sekitar lingkungan kita ada orang yang terkena penyakit keras yang sulit untuk sembuh ataupun orang yang sudah sewajarnya harus meninggal dunia karena usianya sudah tua. Jadi, meninggalnya seseorang bukan disebabkan oleh suara burung gagak. Bagi mereka yang suka mempercayai adanya ketakhayulan ini bukannya mendatangkan kedamaian, kebahagiaan, tetapi akan mendatangkan keterikatan, belenggu, dan penderitaan baginya. Oleh karena itu, janganlah mudah percaya terhadap hal-hal yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.

Pada zaman Sang Buddha, kejadian ini juga sering terjadi. Salah satunya dikisahkan bahwa di Rajagaha tinggallah seorang brahmana yang memiliki kepercayaan takhayul dan memiliki pandangan salah serta tidak memiliki kepercayaan terhadap Sang Tiratana. Brahmana ini sangat kaya dan memiliki kekayaan yang berlimpah. Pada suatu hari, ada seekor tikus betina yang menggigit pakaian brahmana tersebut di bagian dadanya. Setelah mandi, ia diberitahu bahwa pakaiannya digigit tikus. Kemudian ia menyuruh anaknya untuk membuang baju tersebut dengan menggunakan kayu, karena akan membawa kesialan jika pakaian itu disentuh. Ketika mau dibuang, anak brahmana tersebut bertemu dengan Sang Buddha. Setelah dibuang, Sang Buddha memungutnya dan hal ini diadukan kepada orangtuanya. Lalu brahmana tersebut mendatangi Sang Buddha dengan membawa pakaian yang lebih bagus untuk ditukar dengan pakaian yang telah dibuang itu dengan tujuan agar Sang Buddha terbebas dari bahaya.

Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepada brahmana itu bahwa secara jelas saya telah mengumumkan kepada dunia bahwa saya puas terhadap kain-kain bekas yang terdapat di pinggir jalan atau pemandian, sampah atau di tempat pembuangan mayat. Sedangkan engkau memegang kepercayaan ketakhayulan. Kemudian Sang Buddha menceritakan kisah kelahiran yang lampau.

Pada suatu masa, pada saat pemerintahan seorang raja yang adil dari Magadha. Pada saat itu, Sang Buddha terlahir sebagai seorang brahmana. Ketika dewasa ia menjadi petapa. Melihat petapa itu, Sang Raja mengundang ke istana untuk diberikan jamuan makanan dan meminta sang petapa untuk menetap di halaman kerajaan milik raja.

Pada suatu hari, ada seorang brahmana sebagai seorang peramal pakaian dan ia memiliki sepasang pakaian yang digigit tikus persis sama kejadiannya. Pada saat dibuang, Bodhisatta mengambilnya. Ketika diberitahu oleh sang brahmana muda kepada ayahnya, ayahnya mengatakan akan terjadi kematian pada petapa raja. Kemudian brahmana itu menyuruh untuk membuangnya namun sang petapa menjawab; bagi saya, kain bekas yang dibuang adalah cukup baik, karena saya tidak percaya ketakhayulan yang tidak dibenarkan oleh para Buddha, oleh karena itu orang bijaksana sepatutnya tidak mempercayai hal-hal semacam itu. Mendengar kata-kata dari Bodhisatta, ia menyadari kesalahannya dan menyatakan diri berlindung kepada Sang Bodhisatta. Setelah menceritakan kisah itu, Sang Buddha menerangkan; siapapun yang meninggalkan ramalan-ramalan, mimpi-mimpi, pertanda buruk, orang tersebut akan bebas dari ketakhayulan dan akan memperoleh kemenangan atas moral yang rendah dan terbebas dari kemelekatan sampai akhir waktu.

Kita sebagai umat Buddha hendaknya berpedoman kepada ajaran Sang Buddha seperti yang dijelaskan dalam Kalama Sutta. Dengan cinta kasih dan kebijaksanaan, Sang Buddha menerangkan dengan seksama hal mana yang memberikan manfaat dan hal mana yang merugikan, singkatnya Sang Buddha bersabda dalama Kalama Sutta sebagai berikut:

- Janganlah percaya begitu saja pada sesuatu yang telah engkau dengar;

- Janganlah percaya begitu saja pada suatu tradisi, karena telah berlangsung untuk banyak generasi;

- Janganlah percaya begitu saja sesuatu yang sedang dibicarakan dan didesas-desuskan oleh banyak orang;

- Janganlah percaya pada sesuatu hanya karena tertulis dalam kitab-kitab agama;

- Janganlah percaya pada sesuatu yang dikatakan sesuai logika atau kesimpulan belaka;

- Janganlah percaya pada sesuatu yang dikatakan telah direnungkan dengan seksama;

- Janganlah percaya pada sesuatu yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu;

- Janganlah percaya pada sesuatu yang diucap oleh gurumu atau orang-orang yang lebih tua karena demi menghormatinya.

Akan tetapi setelah dianalisa, bahwa sesuatu itu sesuai dengan akal sehat, berfaedah, bermanfaat untuk kebaikan, tidak tercela dan dibenarkan oleh para bijaksana, dan memberi berkah bagi kita dan banyak orang, terimalah sesuatu itu dan jalankan (Kalama Sutta, Aṅguttara Nikāya I, 187-192). Dengan berpedoman kepada ajaran Sang Buddha, kita tidak akan tertipu atau terbelenggu dengan segala sesuatu yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, sehingga kita akan terbebas dari ketahayulan atau kesialan dan akan memperoleh kemenangan atas moral yang rendah dan terbebas dari kemelekatan.

74
Buddhisme untuk Pemula / Doa, Bisakah Terkabul?
« on: 10 April 2010, 12:00:01 PM »
Doa, Bisakah Terkabul?

Oleh: Yan Saccakiriyaputta
Hidup ini tidak memuaskan. Ada saja yang kita rasa masih kurang kita miliki; harta, rezeki, berkah, sandang-pangan, pekerjaan, kesehatan, keamanan, keturunan, keselamatan, kebahagiaan, dll. Sesungguhnya semua itu bisa kita dapatkan dengan melakukan suatu usaha, dengan membuat sebabnya, karena manusia memang memiliki potensi untuk itu. Manusia bukanlah makhluk lemah dan ringkih, sehingga untuk memenuhi segala kebutuhannya harus mengharapkan belas kasihan makhluk lain.

Menurut agama Buddha, manusia bukanlah wayang golek, yang segala sesuatunya diatur dan digerakkan oleh Pak Dalang/Sutradara. Tak ada makhluk lain yang ikut mengatur persoalan nasib seseorang. Namun karena terbelenggu oleh ketidaktahuan, manusia tidak dapat melihat dan merealisasikan potensi yang ada pada dirinya. Mereka lebih suka memohon dan meminta kepada para dewa, sebagai jalan pintas untuk memenuhi segala keinginannya, tanpa mau bersusah payah. Apalagi bila dalam memohon itu dipersembahkan sajian yang mewah dan mahal, maka dianggap akan lebih mempercepat terkabulnya permintaan mereka. Tindakan memohon dan meminta kemurahari hati para Dewa atau Maha Dewa untuk sesuatu inilah yang umum disebut Berdoa.

Umat Buddha memuja Sang Buddha, sama sekali tidak dengan harapan untuk memperoleh hadiah-hadiah duniawi maupun spiritual, seperti: rezeki, harta, pekerjaan, jodoh, keturunan, keselamatan, berkah, diampuni dosanya, sorga, atau pamrih apapun. Bukan juga karena perasaan takut akan hukuman. Kita menghormat dan sujud kepada Sang Buddha karena Beliaulah yang menemukan dan membabarkan Jalan Kebebasan. Karena itu, tidaklah berkelebihan bila Puja Bakti, sembahyang, dalam agama Buddha adalah betul- betul murni dan tulus.

Dengan mempersembahkan bunga dan dupa di hadapan Buddha Rupang, kita bermaksud membuat diri kita merasa berhadapan langsung dengan Sang Buddha. Dengan cara demikian kita memperoleh inspirasi dari sifat pribadi Sang Buddha yang mulia, dan menghirup kasih sayang Beliau yang tak terbatas, serta merenungi dan mencoba untuk mengikuti contoh mulia Beliau. Pohon Bodhi juga merupakan lambang pencapaian penerangan sempuma. Obyek-obyek penghormatan luar ini tidak mutlak perlu, dan ini hanya berguna untuk memusatkan pikiran seseorang kala bermeditasi.

Seseorang yang sudah maju tidak memerlukan obyek-obyek luar tersebut Karena dengan mudah ia dapat memusatkan perhatiannya dan menggambarkan Sang Buddha dalam batinnya. Demi kebaikan kita sendiri dan karena rasa terima kasih, maka kita melakukan penghormatan luar seperti itu. Tapi yang diharapkan oleh Sang Buddha dari para pengikutnya bukanlah penghormatan seperti itu. Sang Buddha bersabda; bahwa cara penghormatan yang paling tepat adalah melaksanakan ajaran-Nya dengan baik.

Dalam agama Buddha tidak ada doa-doa permohonan, minta-minta keselamatan, berkah, rezeki, pengampunan, dan lain-lain; baik kepada Dewa, Brahma, Sang Buddha sendiri, ataupun Tuhan. Beliau tak pernah manjanjikan hadiah kepada mereka yang berdoa kepada-Nya. Sang Buddha tidak hanya menyatakan betapa sia-sianya doa-doa permohonan, tapi juga Beliau mencela perbudakan mental seperti itu.

Mengapa Sang Buddha tidak mengajarkan umatnya berdoa atau memohon atau meminta-minta kepada Tuhan, karena Tuhan -Yang Maha Esa- dalam agama Buddha bukanlah suatu pribadi atau makhluk hidup yang menjadi tempat menggantungkan hidup, berdoa, atau memohon. Tuhan dipandang sebagai Tujuan Akhir bagi semua makhluk. Dengan demikian, doa permohonan tidak tepat ditujukan kepada Tuhan dalam pengertian agama Buddha. Sang Buddha telah berhasil menempatkan Tuhan pada proporsi yang sebenamya, yaitu sebagai Dhamma Yang Tertinggi, Yang Tak Bersyarat. Demikian juga halnya dengan Sang Buddha, karena telah menyadari dan menyelami hakikat Tuhan yang sebenamya, maka Beliau tidak seharusnya dipaksa untuk mengurusi hat-hal duniawi. Umpamanya, dengan menjadikannya sebagai cukong yang senang berdagang kesejahteraan atau kebahagiaan; ataupun sebagai hakim yang dapat disuap dengan doa-doa, puji-pujian, maupun persembahan kurban. Sebagai Guru yang menganjurkan Ehipassiko, maka mengapa Sang Buddha tidak mengajarkan doa permohonan/minta-minta, dapat dikaji dari manfaat atau kegunaan doa yang demikian itu. Untuk mengkaji manfaatnya, kita dapat membuat suatu analogi yang sederhana.

Ada tiga orang petani, menanam jagung dengan faktor-faktor penunjang tanah, air, cuaca, perawatan, dl1- yang sama. Tapi:
- Si A, berdoa siang malam, agar biji jagung yang ditanam tumbuh menjadi pohon mangga.
- Si B, berdoa agar biji jagung itu tumbuh menjadi pohon jagung.
- Si C, tidak berdoa, karena yakin "segala sesuatu itu akan tumbuh dan berbuah sesuai dengan benih yang ditanam".


Adakah yang mampu mengabulkan doa/permohonan si A? Rasanya penjelasan lewat analogi tersebut sudah sangat gamblang. Doa hanya terkabul bila pas dan sesuai dengan benih / karma / perbuatan kita; yang sebetulnya tanpa didoakan/dimohonkan/diminta juga pasti akan terkabul. Untuk membuat keinginan kita terkabul, sebab yang tepat mesti kita miliki atau ciptakan. Berdoa, itu boleh dan bisa saja, seperti kita boleh/bisa menebar pupuk, menyiram dengan air, tapi jika tidak menebar benih, maka tak ada yang tumbuh. Doa permohonan menjadi sia-sia bila kita tidak memiliki simpanan karma baik, tidak memiliki penyebab terkabulnya doa permohonan kita.

Sang Buddha saat menjelaskan bagaimana hukum sebab-akibat bekerja dalam pikiran kita, menyatakan bahwa membunuh akan menyebabkan antara lain, berusia pendek. Menghindari pembunuhan, akan menyebabkan usia panjang dan bebas dari penyakit Bila kita gagal mengikuti nasihat yang paling mendasar ini, tetapi tetap berdoa agar berumur panjang dan memiliki kesehatan yang balk, kita telah salah tafsir. Sebaliknya bila di masa lalu seseorang telah menghindari pembunuhan, menyelamatkan nyawa seseorang atau makhluk lain, maka harapannya mungkin bisa terpenuhi. Dengan cara yang sama, Sang Buddha mengatakan bahwa kemurahan hati merupakan awal dari kekayaan. Jika kita murah hati pada kehidupan yang lalu, dan sekarang berharap agar kekayaan kita bertambah, maka keuangan kita bisa berkembang. Sebaliknya bila kita kikir saat ini, kita sedang menciptakan sebab dari kemiskinan kita di masa mendatang!

Bila ada yang merasa doanya terkabul, maka terkabulnya doa itu sesungguhnya karena ia memiliki sebabnya. Ia mempunyai tabungan karma baik di kehidupannya yang dulu, atau karena usahanya pada kehidupannya sekarang ini. Untuk itu beberapa agama cenderung merangkaikan kata doa menjadi "Berdoa dan bekerja". Kita tentu menyetujui bahwa yang menjadi penentu terpenuhinya keinginan kita adalah kata "bekerja". Sebab, bekerja tanpa berdoa, keinginan kita masih bisa tercapai. Tapi kalau berdoa saja tanpa bekerja, hasilnya tidak pasti. Apakah semua ini berarti bahwa doa permohonan adalah satu hal yang sama sekali tidak berguna? Walaupun jelas doa itu sendiri tak bisa mengabulkan keinginan kita, tentu tak bisa dikatakan 'mutlak sia-sia'. Karena bagaimanapun juga, berdoa jauh lebih baik daripada melamun dengan pikiran kosong, apalagi berbohong, mencuri, mabuk-mabukan, atau perbuatan buruk lainnya. Alih-alih mengajarkan doa-doa permohonan yang sia-sia, Sang Buddha mengajarkan Meditasi.

Meditasi bukanlah berdiam diri melamun atau mengosongkan pikiran. Meditasi adalah perjuangan pikiran, latihan pengendalian pikiran; mengesampingkan segala pikiran dan nafsu keinginan yang rendah dan egois, mengendapkan kekotoran batin sehingga pikiran menjadi tenang. Makin maju tingkat meditasi kita, makin tenang, jemih, dan terang pikiran kita. Dengan pikiran yang jernih, tentu kita menjadi lebih waspada, bijaksana, dan lebih bisa membedakan antara yang semu dengan yang sejati. Pada tahap lebih lanjut, ini akan mengubah cara berpikir kita, mengubah pandangan dan tabiat kita menjadi lebih baik. Cara berpikir dan tabiat yang baik tentu membuat tindakan kita pun menjadi baik. Otomatis kelak kita akan memetik kebahagiaan, walaupun kita tidak berdoa, memohon, atau meminta. Meditasi merupakan cara sembahyang yang paling mudah dan bersih, karena tidak mewajibkan seseorang untuk mengucapkan apa-apa yang tidak ia mengerti. Tidak memperbesar keinginan atau keegoisan dengan permohonan atau permintaan untuk kepentingan/keuntungan diri sendiri.

Apakah berarti Dewa tidak bisa menolong manusia?

Jangankan Dewa, manusia pun bisa menolong, tetapi bantuan atau pertolongan itu tidak terlepas dari karma kita sendiri, baik pada kehidupan yang lampau maupun yang sekarang. Dewa yang kita mohoni, hanya mampu menyediakan situasi agar karma baik kita bisa tumbuh dan masak.

Bagaimana Dewa bisa menolong? Apabila moral dan batin kita bersih, otomatis para Dewa suka berada di dekat kita. Tanpa diminta pun, mereka akan berusaha membantu kita. Memberi firasat, menghalangi makhluk jahat atau 'black-magic' yang ingin mengganggu. Tapi kalau memang karma buruk kita yang lampau telah masak dan situasi serta kondisinya mendukung, maka siapa pun tak sanggup menolong lagi.

Dalam arti sejati:

"Diri sendiri sesungguhnya pelindung bagi diri sendiri. Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah seseorang dapat melatih dirinya dengan baik, maka ia akan memperoleh suatu perlindungan yang sukar diperoleh". Walau tak ada larangan untuk meminta pertolongan kepada para Dewa, umat Buddha tidak seharusnya menggantungkan hidupnya kepada para Dewa. Kemandirian seharusnya menjadi sikap yang utama. Sebab manusia mempunyai potensi tinggi untuk memenuhi kebutuhannya. Hanya karena ketidaktahuannya atau kebodohannya yang sangat dalam itulah, maka manusia gagal untuk menyadari kemampuan tersebut.

Perlu diketahui bahwa pertolongan yang dapat diberikan oleh para Dewa maupun makhluk lain hanyalah terbatas pada pertolongan yang bersifat duniawi, tidak kekal, bisa musnah, bisa hilang; sehingga akhimya bisa menimbulkan penyesalan dan kedukaan. Sedangkan kesucian, kebahagiaan sejati, dan kesempurnaan, hanya dapat dicapai melalui usaha dan perjuangan sendiri. Sekarang mungkin timbul pertanyaan, "Kalau memang agama Buddha tidak mengenal ajaran tentang doa, permohonan, atau minta-minta, lalu apa yang dilakukan atau diucapkan oleh umat Buddha saat sembahyang?"

Sang Buddha mengajarkan agar kita memperbaiki yang ada di dalam diri kita sendiri, mengikis Lobha, Dosa, dan Moha. Makin bersih batin kita, makin mampu kita menahan diri dari perbuatan salah; yang berarti makin sedikit buah-buah pahit yang bakal kita terima. Yang diucapkan waktu sembahyang adalah PARITTA atau SUTTA. Dengan mengucapkan paritta atau sutta, pikiran dan ucapan diarahkan untuk berpikir dan berucap yang balk. Itu berarti membuat karma baik lewat pikiran dan ucapan. Makna atau tujuan kita mengucapkan paritta adalah sebagai pengulangan terhadap Ajaran Sang Buddha, agar kita selalu ingat terhadap Dhamma Sang Buddha, selalu ingat kepada sila (kemoralan), kepada sifat-sifat luhur Buddha, Dhamma, dan Sangha. Dan pada akhimya ini memberi kita semangat, penguat tekad, pembangkit usaha untuk melaksanakan Dhamma, serta sebagai pengantar yang menenangkan untuk memulai meditasi.

Umat Buddha menyatakan berlindung kepada Tiratana – Buddha, Dhamma, dan Sangha. Hal ini jangan diartikan sebagai perlindungan yang pasif, karena "berlindung" di sini merupakan pernyataan tekad, janji kepada diri sendiri untuk mempelajari, mempraktikkan Buddha Dhamma sampai akhimya mencapai Tujuan. Jadi terlindung tidaknya, tergantung dari praktik Dhamma kita sendiri; sama sekali tidak terkandung pengertian agar Tiratana menyelamatkan kita, tanpa kita perlu mempraktikkan Dhamma itu sendiri.

Ada juga Paritta yang mirip doa, berisi harapan, memang. Tetapi jelas itu tidak bisa disebut doa, memohon, atau meminta, karena sebetulnya itu adalah PATTIDANA atau Pelimpahan Jasa. Terkabul atau tidaknya harapan itu tergantung pada karma masing-masing. Bukan tergantung pada belas kasihan suatu makhluk. Ada juga yang bermakna ADITTHANA, tekad, untuk mewujudkan harapan itu dengan jalan melaksanakan Dhamma.

Bila kita tak bisa membaca paritta, karena sebagai pemula, maka kita bisa mengucapkan: "Semoga semua makhluk berbahagia". Kalimat itu diulang-ulang terus. Bila hal itu sering kita lakukan dan hayati, maka batin kita akan diliputi oleh rasa cinta kasih (metta). Bila kita hendak melakukan perbuatan/karma buruk yang merugikan makhluk lain, kita cepat menyadari. "Baru saja saya mendoakan agar semua makhluk berbahagia, mengapa sekarang saya ingin menyakiti orang/makhluk lain?" Karma buruk batal kita laksanakan, buah buruk pun tak bakal kita rasakan. "Sembahyang, Puja Bakti, dalam agama Buddha bukan untuk memaksakan keinginan kita, atau mengubah apa yang ada di luar diri kita, tapi untuk mengubah apa yang ada di dalam diri kita, mengikis kekotoran batin; Lobha, Dosa, dan Moha".

Persembahan, boleh atau dilarang?

Masalahnya bukan boleh atau dilarang, tetapi bermanfaat tidaknya tindakan itu. Sang Buddha tidak pemah melarang umat awam; Sang Buddha hanya memberitahukan akibat, pahala, dan konsekuensi dari suatu tindakan. Kita sujud dan melakukan persembahan, bukanlah karena Sang Buddha memerlukan, meminta, merasa berhak, apalagi mengharuskan. Seseorang yang telah menyucikan pikirannya dan menikmati kebahagiaan yang datang dari kebijaksanaan dan Kebahagiaan Sejati, sama sekali tidak memerlukan apa-apa dari luar dirinya untuk dapat menjadi bahagia. Dan... Sang Buddha sebetulnya tidak memerlukan atau pun memperoleh apa-apa dari persembahan kita!

Apakah ini berarti persembahan kita sia-sia?


Yang mendapatkan manfaat dari persembahan kita sesungguhnya adalah diri kita sendiri. Kita yang belum meraih kesucian, tentu memiliki kemelekatan dan kekikiran. Selalu merasa kurang dan haus. Ini membuat pikiran. kita tidak tenang, mendorong kita untuk menghalalkan segala cara untuk mernperoleh yang kita inginkan. Untuk mengikis kemelekatan dan kekikiran itu, salah satu caranya adalah melaksanakan persembahan atau berdana. Memberi tanpa merasa kehilangan. Hal ini memberikan potensi positif dan mengembangkan pikiran kita, yang selanjutnya memperbaiki tindakan kita.

Bagaimana dengan persembahan hewan kurban?

Mempersembahkan hewan kurban juga baik dan bermanfaat. Tapi, disamping kebaikannya itu, karena ia juga telah sengaja menimbulkan suatu pembunuhan -- yang termasuk karma buruk--, berarti persembahan hewan kurban manfaatnya menjadi berkurang, susut Apalagi bila setelah sembahyang, hewan kurban itu dimakan sendiri --tidak didanakan kepada orang lain--, maka manfaatnya menjadi semakin kecil.

Sang Buddha sebagai Guru para Dewa dan manusia, tidak terlalu mengagung-agungkan kehidupan para Dewa, tapi juga tidak terlalu merendahkan kehidupan binatang. Sang Buddha hanya menempatkan pada proporsi yang sebenarnya saja. Memberikan komentar tentang persembahan kurban, Sang Buddha menyatakan: "Barang siapa mencari kebahagiaan bagi dirinya sendiri dengan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, tidak akan memperoleh kebahagiaan setelah kematian ".

Bagaimana dengan "doa kaul"?

"Tuhan/Dewa, berilah kami rezeki/makanan/anak. Kalau doa kami dikabulkan, kami akan mempersembahkan ayam panggang 10 ekor". Secara sadar atau tidak, doa itu bermakna; "Tuhan/Dewa, berilah kami rezeki/makanan/anak, kalau Tuhan/Dewa berikan, nanti saya beri ayam panggang. Tapi kalau Tuhan/Dewa tidak beri, saya juga tidak jadi memberi ayam panggang". Bila Tuhan/Dewa yang kita sembah mampu memberi kita apapun yang kita minta, apakah kita tidak salah kaprah dengan menjanjikan sesuatu kepadanya? Ibarat kita menjanjikan uang sepuluh ribu rupiah kepada Om Liem, bila Om Liem mau mengabulkan permintaan kita...

Bagaimana "kaul" secara Buddhis?

Berdana, berbuat baik dulu, baru lalu mengharap, "Semoga dengan kebaikan yang saya lakukan ini, saya bisa mendapatkan kebahagiaan/ rezeki/ makanan/anak". Jadi, tanam dulu benih jagung kita, baru kita bisa berharap memanen jagung. Kalau kita menanam -mendanakan- sebutir jagung, kelak kita akan mendapatkan hasil, pahalanya berbutir-butir. Kalau kita berharap panen dulu baru kelak menanam, berarti kita perlu banyak belajar dari pak tani.

Semoga tulisan ini bisa memperbaiki cara kita bersembahyang. Semoga semua makhluk berbahagia.

75
Meditasi / Pencapaian Meditatif
« on: 10 April 2010, 11:44:38 AM »
1 Obhasa (Sinar yang gemerlap)
- Sinar seperti kunang-kunang, obor, lampu, dll
- Seluruh kamar terang sehinga badan sendiri dapat dilihat
- Sinar yang menembus tembok-tembok kamar, seperti tidak ada tembok
- Sinar yang memungkinkan untuk melihat bermacam-macam tempat yang timbul
- Sinar terang, seperti melalui pintu yang terbuka, kadang-kadang orang mengangkat tangannya untuk menutupnya, atau membuka matanya untuk melihatnya, atau mengangkat tangannya untuk mengamatinya
- Sinar terang yang memungkinkan orang dapat melihat bunga-bunga dengan bermacam-macam warna yang timbul dekat dihadapanya
- Sinar yang memungkinkan orang dapat melihat laut yang jauhnya berkilo-kilo meter
- Cahaya terang yang seolah-olah keluar dari badan dan hati si meditator
- Bayangan gajah, binatang dll seperti hayalan

2 Piti (kegiuran) yang nyaman, terdiri atas 5 macam yaitu;

Khudaka Piti
- Melihat warna putih
- Merasa dinggin, rambut berdiri sampai kebelakang kepala berat dan pusing
- Air mata keluar, dan merasa ketakutan

Khanika Piti;
- Melihat sinar berkelebat di mata
- Melihat kembang api berhamburan dari percikan batu
- Gugup dan terkejutan
- Kaku seluruh badan
- Merasa seperti banyak semut merayap di badan
- Gemetar atau mengigil
- Melihat bermacam-macam warna merah
- Rambut sering berdiri sampai ke belakang, tapi tidak lama
- Terasa gatal seperti ada semut atau kutu merayap di muka kita atau dibadan

Okkantika Piti;
- Badan goyang, bergerak, berayun, dan gemetar
- Muka, tangan, kaki tegang dan meregang
- Gayang dan bergerak naik turun seperti tempat duduk kita akan terbalik
- Merasa seperti mabuk laut, dan sewaktu-waktu dapat muntah
- Merasa seperti ombak menyentuh pantai
- Merasa seperti di ombang-ambing ombak
- Merasa bergetar seperti sebuah tongkat yang dipegang ddi dalam arus air
- Melihat warna kuning muda
- Badan bergoyang ke muka dan belakang

Ubbonga Piti;
- Badan terasa semangkin besar dan naik
- Buang air mencret dan disentri
- Merasa di dorong oleh seseorang
- Merasa kepala di putar ke kiri dank e kanan oleh seseorang
- Badan ber goyang-goyang seperti ditiup angin badan bungkuk ke muka hinga bias mencapai lantai
- Badan terasa melompat
- Lengan dan kaki dapat terangkat sendiri
- Badan dapat membonkok kemuka dan kesamping
- Melihat warna kelabu seperti mutiara

Phara Piti
- Rasa dingin meliputi seluruh badan
- Ketenangan pikiran timbul sewaktu-waktu
- Merasa gatal seluruh badan
- Merasa mengantuk dan segan membuka mata
- Tidak ada keinginan untuk mengerakan badan
- Perasaan ringan mengalir dari kaki ke kepala, dan sebaliknya
- Badan merasa dingin serasa sehabis mandi, atau tersentuh dengan es
- Melihat warna biru atau hijau seperti daun pisang yang kelabu atau seperti jambrut
- Merasa gatal seperti ada kutu yang merayap di muka

3 Passadi (ketenangan bathin)
- Tenang dan aman seperti telah mencapai penerangan sejati(phala-samapatti)
- Tidak ada gegelisahan dan penyelewengan pikiran
- Pengenalan dan penyadaran berlangsung dengan mudah
- Merasa sejuk dan enak, tidak gelisah
- Merasa puas dengan pengenalan dan penyadaran
- Merasa terserap seperti akan tertidur
- Merasa ringan gesit dan lincah
- Konsentrasi berlangsung dengan baik, tidak lalai
- Pikiran sangat terang
- Bagi orang yang bengis, kejam, kasar, tidak punya kasih sayang, akam terasa bahwa dhamma itu sangat dalam dan mulia, dan di hari depan ia ingin berhenti berbuat kejahatan, hanya berbuat kebaikan saja
- Orang yang tergolong bajingan dan pemabuk dapat menyadari dirinya dan ingin bertobat, membuang kebiasaan yang jelek, dan ingin menjadi orang yang baik.

4 Sukkha ( kebahagiaan)
- Merasa gembira
- Merasa senang, terhibur, nikmat, dan tidak ingin berhenti tetapi mau meneruskan latihan sampai waktu yang lama.
- Ingin berbicara dan memceritakan kepada orang lain tentang hasil-hasil meditasi yang telah didapatinya
- Bangga dan gembira yang berlebih-lebihan
- Di antaranya ada yang sampai berkata, bahwa sejak lahir ia belum pernah merasakan kebahagiaan seperti yang dialaminya itu.
- Banyak memikirkan kebajikan gurunya
- Merasa diri sudah siap untuk memberikan pertolongan

5 Saddha (keyakinan)
- Keyakinan terlalu tebal
- Mengharapkan setiap orang ikut berlatih
- Ingin mendorong-dorong mereka yang sudah punya niat berlatih
- Ingin membayar jasa atas kebajikan dari tempat-tempat meditasi
- Ingin supaya latihanya lebih baik, lebih berhasil lebih cepat.
- Ingin melakukan perbuatan-perbuatan yang bajik, dan memberikan dana-dana, memdirikan dan memperbaiki bangunan bangunan tempat suci
- Merasa hormat kepada orang-orang yang menganjur-anjurkan atau mempropagandakan latihan meditasi
- Ingin memberikan persembahan pada gurunya
- Ingin memjadi bhikkhu/bhikkuni atau tabib
- Ingin berdiam lama dalam latihan dan tidak ingin memnghentikan latihanya
- Ingin pergi dan berdiam di suatu tempat yang sepi dan tenang
- Bertekad untuk melakukan latihan dengan tekun dan sunguh-sunguh


6 Paggaha (usaha)
- Lebih rajin dari yang semestinya
- Berniat melakukan latihan yang sunguh-sunguh terus menerus sampai mati
- Hanya terlalu bersemangat, sehingga perhatian dan kesadaran menjadi lemah, lalu menyebabkan lemahnya Samadhi (konsentrasi)

7 Upatthana (ingatan yang terang)
- Penyelewengan dari kesadaran, karena tidak memperhatikan saat yang sekarang ini, tetapi pikiranya cenderung pada soal-soal yang telah laud an yang akan datang
- Hanya teringat pada hal-hal dan kejadian-kejadian yang telah lalu
- Seolah-olah orang dapat melihat kehidupanya yang telah lalu

8 Nana (Pengetahuan)
- Soal belajar menjadi tercampur dengan praktek latihan, salah mengerti, dan mengangap diri benar, merasa gagah dan bergaya dan melawan pada gurunya
- Member komentar pada bermacam-macam objek, seperti pada naik turun perut, umpama naik-turun berhenti, dan lain-lainya.
- Memikirkan bermacam-macam hal yang telah diketahui atau telah dipelajari
- Proses yang terjadi pada saat sekarang ini tidak terpegang atau tidak disadari, hanya berpikir belaka, sehingga membentuk “pengetahuan pikiran” atau Citta-nana

9 Upekkha 9keseimbangan)
- Pikiran tidak bergerak, tidak merasa senang atau tidak tidak-senang, seperti terlupa atau terlelap, dan naik turunya perut menjadi tidak terang, dan kadang-kadang tidak merasakan
- Tidak sadar atau seperti tidak berpikir apa-apa
- Naik turunya perut kadang-kadang terasa, kadang-kadang tidak berasa
- Pikiran tidak tergangu dan tidak aman
- Lambat sekali terhadap hal-hal kesejahteraan
- Tidak terpengaruh kalau berhubungan dengan objek-objek yang baik atau buruk, pengenalan tidak terlalu dihiraukan, dan kesadaran yang tertuju pada objek-objek di luar (yang terjadi berikutnya) menjadi lebih luas

Pages: 1 2 3 4 [5] 6 7 8
anything