Om,mau tanya pendapat om lg
Di buddhism selalu ditekankan panna dan mempraktikan JALAN TENGAH
Lalu,bagaimana dengan praktek "keras" bhikkhu dhutanga?
*mereka terkenal keras dalam berlatih,menghadapi rasa takut dgn berlatih di tempat2 berbahaya(seperti sarang2 harimau,ditepi jurang,di gua2 yg banyak setannya)
*mereka rela mati demi dhamma(*maksudnya,demi melatih diri mereka rela mengorbankan nyawa)
mereka tidak takut akan malaria,bahkan [kadang] ketika terserang malaria mereka lebih memilh memakai dhamma sebagi obatnya(perenungan),daripada obat konvensional..
Bagaimana menurut om dan teman2 lain??
Jalan tengah adalah yang menghindari kenikmatan dan penyiksaan indera. Walaupun ada beberapa praktek yang sama, misalnya makan benar-benar hanya sekali, atau tidur di tempat terbuka, saya pikir perbedaan yang paling mendasar antara dhutanga/praktek bhikkhu hutan dan petapaan menyiksa diri adalah pandangannya. Petapaan menyiksa diri adalah untuk menghabiskan kamma buruk masa lampau sehingga mencapai kesucian, sementara praktek bhikkhu hutan tidak bertujuan untuk menyiksa diri, apalagi menghabiskan kamma buruk, namun menjalankan disiplin yang lebih keras untuk mendukung kemajuan mereka dalam melepaskan kemelekatan.
Kalau saya tidak salah, 13 sila tambahan bagi bhikkhu hutan adalah menyangkut: memakai jubah dari kain bekas, tidak menyimpan jubah cadangan, tidak menerima undangan makan, tidak mendatangi lagi tempat yang menyajikan makanan enak, hanya makan sekali dan tidak menerima tambahan, tinggal di tempat sepi, tinggal di tempat terbuka, tidak tinggal di bawah pohon, tinggal di kuburan, tinggal di mana pun (dalam perjalanan) selama layak ditinggali, tidak berbaring.
Kalau menurut saya pribadi, praktik demikian yang dilakukan oleh orang sehat, tidak membahayakan kesehatan, juga jika dengan kebijaksanaan (tidak tidur di sebelah harimau yang baru melahirkan) juga tidak merusak tubuh. Secara garis besar, mereka menghindari kenyamanan, namun tidak pada sampai merusak tubuh, dan yang terpenting, didasari dengan pandangan benar,
yaitu bukan beranggapan dengan melakukan petapaan itu, orang jadi lebih suci, namun karena melihat petapaan itu lebih mendukung bagi dirinya untuk menuju lenyapnya kemelekatan.
Apakah di buddhism ada istilah "rela mati demi latihan dhamma"?
Thank sebelumnya
Sering terdengar kutipan dari dhammapada: "
kesehatan adalah berkah terbesar, kepuasan adalah kekayaan terbesar, teman terpercaya adalah yang terbaik di antar semua hubungan, Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi." Dalam Magandiya Sutta (Majjhima Nikaya 75), Buddha menjelaskan bagaimana ungkapan itu lambat laun disalahartikan sebagai kesehatan fisik. Kesehatan yang dimaksud adalah kesehatan bathin, yaitu tercapainya magga-phala yang menuju pada berakhirnya kelahiran kembali. Apalah artinya kesehatan tubuh yang fana dibanding dengan berakhirnya penderitaan? Setiap kelahiran selalu ada kebahagiaan, kesedihan, dan kematian; namun tidak di setiap kelahiran ada kesempatan menjalankan Buddha-dhamma.
Namun demikian, juga perlu diperhatikan agar jangan sampai terjerumus pada sikap ekstrem yang masih terjebak pada pandangan salah, mengabaikan kesehatan demi petapaan keras.Hasilnya kesehatan bathin tidak dapat, kesehatan fisik juga hancur. Ini keputusan yang tidak bijaksana. Seseorang harus mengenal dirinya sendiri, mengetahui kekuatan dan potensi, serta kelemahan dan keterbatasannya sendiri, baru kemudian bisa menentukan dengan benar apa yang bermanfaat bagi dirinya. Begitu menurut saya.