//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pengertian Nibbana  (Read 64922 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline halilintar

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 30
  • Reputasi: -4
  • seribu
Re: Pengertian Nibbana
« Reply #15 on: 04 January 2015, 03:00:38 AM »
Sebelumnya terima kasih atas tanggapan saudara halilintar.
Namun alangkah baiknya kalau komentar2 tdk melenceng dari topik atau OOT.
Saya membuka thread ini dlm subforum Theravada, membawa sutra hati ke dlm topik ini berarti sudah tdk pada tempatnya.
Di samping itu juga thread ini bertema pengertian atau membicarakan teori, bukan aspek pelaksanaan atau praktek. Sementara tanggapan saudara halilintar mayoritas berisi tentang pertimbangan pelaksanaan atau praktek.

Sejauh ini belum ada yg bisa menjelaskan secara teknis (detail) bagaimana asta ariya marga membawa ke pencapaian nibbana.
Sekiranya saudara halilintar bisa menanyakan tentang hal ini kepada suhu nya, saya tertarik utk mendengar jawaban dari beliau.

 _/\_


Terima kasih juga.

Cattari ariya saccani yg menjadi dasar Pengertian nirodha.
Bahkan sakka devaraja sulit u melihat dukkha ariyasacca.
Jika dukkha tidak "terlihat", maka sebab dukkha akan diabaikannya.
Padamnya dukkha bukan menjadi pilihan. Jika sudah demikian jalan tengah
Berunsur delapan menjadi jalan biasa biasa saja. Tidak menarik. Tidak berhubungan dengan nirwana atau pemadaman.

bagaimana jika sebelum sampai pada pengertian nirwana dan jalannya, diskusi
Dimulai dari awalnya, dukkha ariyasacca.


 

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Pengertian Nibbana
« Reply #16 on: 04 January 2015, 01:52:58 PM »
Sebelumnya terima kasih atas tanggapan saudara halilintar.
Namun alangkah baiknya kalau komentar2 tdk melenceng dari topik atau OOT.
Saya membuka thread ini dlm subforum Theravada, membawa sutra hati ke dlm topik ini berarti sudah tdk pada tempatnya.
Di samping itu juga thread ini bertema pengertian atau membicarakan teori, bukan aspek pelaksanaan atau praktek. Sementara tanggapan saudara halilintar mayoritas berisi tentang pertimbangan pelaksanaan atau praktek.

Sejauh ini belum ada yg bisa menjelaskan secara teknis (detail) bagaimana asta ariya marga membawa ke pencapaian nibbana.
Sekiranya saudara halilintar bisa menanyakan tentang hal ini kepada suhu nya, saya tertarik utk mendengar jawaban dari beliau.

 _/\_

Penjelasan bagaimana praktek JMB8 membawa menuju Nibbana dari penjelasan Kumarapanha Sutta sbb:

Quote
8. Apakah yang delapan itu? Jalan Mulia Berunsur Delapan

Jalan Mulia Berunsur Delapan merupakan jalan praktek utama dalam ajaran Buddha untuk mencapai akhir dukkha. Seperti yang telah dibahas pada bagian 4 bahwa Jalan Mulia Berunsur Delapan terdiri atas 8 faktor/unsur yang dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok pelatihan. Sekarang kita akan membahas satu per satu kedelapan faktor tsb.

I. Pandangan Benar (Samma ditthi)

Ketika memperoleh keyakinan pada Sang Buddha sebagai guru junjungan tertinggi menuju pembebasan, seorang praktisi Buddhis harus pertama-tama memahami konsep dan pengetahuan yang benar dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan, kesedihan, usia tua, penyakit, kematian, munculnya keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin. Inilah pandangan benar muncul pada tahap awal menapaki sang jalan.

Pandangan benar merupakan cara pandang terhadap segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu mengetahui hakekat sesungguhnya dari semua fenomena fisik dan mental dalam kehidupan kita. Dengan pandangan benar, seseorang memahami 3 jenis realitas kehidupan yang sejati, yaitu:

1. Terdapat hukum sebab akibat moral (hukum karma) yg berlaku di dunia ini: perbuatan baik berakibat pada kebaikan dan kebahagiaan serta perbuatan buruk berakibat pada keburukan dan ketidakbahagiaan.

2. Tiga karakteristik kehidupan (tilakkhana): semua yg muncul dari perpaduan unsur-unsur dan sebab akibat yang saling bergantungan adalah tidak kekal (anicca) dan oleh sebab itu, tidak menyenangkan atau tidak memuaskan (dukkha); segala sesuatu adalah bukan aku (anatta), diriku, dan milikku.

3. Empat Kebenaran Mulia: kebenaran tentang dukkha, sebab dukkha, lenyapnya dukkha, dan jalan menuju lenyapnya dukkha (lihat bagian 4)

II. Pikiran Benar (Samma samkappa)

Pandangan benar mengubah motif dan tujuan seorang praktisi, yang membelokkannya dari pikiran yang penuh nafsu, permusuhan/kebencian, dan kekerasan/kekejaman menjadi pelepasan nafsu, kelembutan/kehendak baik, dan belas kasih. Inilah kehendak/pikiran benar (samma samkappa). Di sini seseorang berusaha melepaskan keinginan duniawi untuk mendedikasikan diri pada kemajuan spiritual serta mengembangkan cinta kasih dan belas kasih terhadap semua makhluk.

III. Ucapan Benar (Samma vaca), IV. Perbuatan Benar (Samma kammanta), dan V. Mata Pencaharian Benar (Samma ajiva)

Dituntun oleh pikiran benar, seorang praktisi menjalankan ketiga faktor etis dari sang jalan yang dimasukkan dalam kelompok moralitas (sila), yaitu ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar.

Ucapan benar adalah ucapan yg bebas dari dusta, fitnah, kata-kata kasar dan menyakitkan, kata-kata kosong dan tidak bermanfaat.

Perbuatan benar adalah perbuatan jasmani yang bebas dari pembunuhan, pencurian, dan perbuatan seksual yang salah. Bagi mereka yang hidup berumah tangga, perbuatan seksual yang salah meliputi perbuatan seksual yang dilakukan bukan dengan pasangan resmi, hubungan seksual dengan orang-orang yang dilarang secara hukum dan adat, hubungan sesama jenis, dan hubungan seksual dengan makhluk bukan manusia.

Mata pencaharian benar adalah penghidupan yang bebas dari cara yang salah, yaitu yang melibatkan pembunuhan, pencurian, dan ucapan yang salah. Bagi umat awam, dalam hal perdagangan terdapat 5 jenis mata pencaharian yang tidak seharusnya dijalankan: berdagang senjata, manusia (perdagangan wanita, anak di bawah umur, dan prostitusi), hewan untuk dibunuh, minuman keras (termasuk obat-obatan terlarang), dan racun. Bagi mereka yang meninggalkan kehidupan berumah tangga, mata pencaharian yang salah adalah semua cara mendapatkan empat kebutuhan pokok (tempat tinggal, pakaian, makanan, obat-obatan) yang tidak sesuai dengan aturan kehidupan monastik (Vinaya).

Moralitas merupakan landasan utama dalam menapaki jalan menuju kebahagiaan sejati. Dengan moralitas saja, seseorg dapat terlahir di alam bahagia (surga) setelah kematiannya. Moralitas mengatur perbuatan jasmani dan ucapan dari hal-hal yang tidak bermanfaat (akusala), yang diperlukan untuk pengembangan batin yang lebih tinggi. Dengan demikian, adalah sangat penting untuk menjaga moralitas bahkan bagi mereka yang tidak bermaksud untuk mencari kedamaian spiritual.

VI. Upaya Benar (Samma vayama)

Berdiri di atas landasan moralitas, seorang praktisi melatih pikirannya untuk mencegah munculnya hal-hal yang tidak baik dan tidak bermanfaat yang belum muncul, meninggalkan dan melenyapkan hal-hal yang tidak baik dan tidak bermanfaat yang telah muncul, memunculkan hal-hal yang baik dan bermanfaat yang belum muncul, serta mempertahankan hal-hal yang baik dan bermanfaat yang telah muncul. Inilah awal pelatihan konsentrasi (samadhi) yang disebut upaya benar.

VII. Perhatian Benar (Samma sati)

Kemudian sang praktisi berlatih agar selalu sadar dan perhatian pada semua fenomena yang terjadi pada jasmani dan pikirannya. Ini dilakukan dengan mengembangkan empat landasan perhatian (satipatthana), yaitu perhatian terhadap jasmani, perasaan, pikiran, dan fenomena. Dalam praktek ini seseorang merenungkan keempat faktor ini sebagai tidak kekal, tidak menyenangkan, dan tidak memuaskan.

Dari keempat landasan perhatian ini, perhatian terhadap jasmani adalah yang umum dilakukan para meditator. Ada beberapa metode perhatian terhadap tubuh ini, tetapi yang populer saat ini adalah perhatian terhadap pernapasan (anapanasati) atau meditasi pernapasan. Melalui meditasi ini juga semua 4 landasan perhatian dapat dikembangkan seperti yang dibahas pada bagian 7 sebelumnya.

VIII. Konsentrasi Benar (Samma samadhi)

Dengan mengembangkan perhatian benar, maka tercapai pemusatan pikiran yang penuh terhadap objek yang diperhatikan. Inilah konsentrasi benar. Pada tahap ini, dengan meninggalkan/melepaskan nafsu indera, keinginan jahat/kebencian, kemalasan, kegelisahan, dan keraguan, seorang meditator memasuki tingkat pemusatan pikiran (jhana) pertama di mana faktor-faktor mental yang menyertainya adalah pikiran yang mengarah pada objek (vitakka), pikiran yang mengevaluasi objek (vicara), kegiuran/kenikmatan (piti), kegembiraan (sukha), dan keterpusatan pikiran (ekaggata).

Setelah meninggalkan pikiran yang mengarah pada objek dan pikiran yang mengevalusi objek, ia memasuki jhana kedua di mana hanya terdapat kegiuran, kegembiraan, dan keterpusatan pikiran. Meninggalkan kegiuran, ia memasuki jhana ketiga yang dibentuk oleh faktor mental yang tersisa, yaitu kegembiraan dan keterpusatan pikiran. Ketika kegembiraan ditinggalkan dan digantikan dengan keseimbangan batin (upekkha), maka hanya terdpt keseimbangan batin dan keterpusatan pikiran, yang membawa sang meditator memasuki jhana keempat.

Pencapaian jhana melalui praktek konsentrasi hanya melemahkan kekotoran batin sesaat saja. Ketika seseorg tidak berada dalam kondisi jhana, kekotoran batin dapat timbul kembali. Oleh sebab itu, diperlukan pandangan terang (vipassana) untuk menghancurkan kekotoran batin sepenuhnya dan mencapai Penerangan Sempurna.

Sekarang sang praktisi harus menggunakan pikiran yang terkonsentrasi untuk menjelajahi sifat pengalaman/fenomena fisik dan mental. Ia merenungkan/menganalisa bahwa apa yang disebut makhluk itu tak lain hanyalah perpaduan jasmani dan batin yang selalu berubah. Dengan demikian, ia memahami bahwa tidak ada aku, diri, atau jiwa selain dari perpaduan jasmani dan batin ini. Tidak ada sesuatu di dunia ini yg tidak dikondisikan oleh sebab yang berasal dari ketidaktahuan (avijja), keinginan (tanha), kemelekatan (upadana), perbuatan (kamma/karma), dan makanan.

Kemudian ia memahami sebagaimana adanya bahwa semua yang berkondisi adalah tidak kekal (anicca) dan tidak memuaskan (dukkha) serta semua fenomena adalah bukan aku, diriku, atau milikku (anatta). Inilah pandangan benar pada tataran yang lebih tinggi yang disebut pandangan terang.

Ketika praktik sang jalan matang sepenuhnya, seluruh 8 faktor menyatu dan menggabungkan kekuatan, memulai penembusan Dhamma yang dengannya sang praktisi secara langsung melihat Empat Kebenaran Mulia dan mencapai tingkat kesucian batin yang pertama dengan melenyapkan pandangan salah tentang aku/diri, keragu-raguan terhadap Sang Guru (Buddha), ajarannya (Dhamma) dan perkumpulan para siswa mulia yang telah mengikuti ajaran-Nya dan mencapai pencerahan batin yang sama (Sangha), serta pandangan salah bahwa dengan ritual atau upacara dapat membawa pada kebahagiaan. Pada tahap ini ia memasuki arus kesucian menuju kebahagiaan sejati dan disebut Sotapanna (pemasuk arus). Dalam tujuh kehidupan berikutnya, ia tidak akan jatuh dari jalan menuju Nibbana dan pasti akan mencapai tujuan akhir tersebut.

Selanjutnya dengan melemahkan nafsu indera dan keinginan jahat, ia menjadi seorang Sakadagami (ia yang kembali sekali), di mana ia hanya akan terlahir kembali di alam manusia sekali lagi untuk kemudian mencapai Nibbana. Melenyapkan sepenuhnya nafsu indera dan keinginan jahat, ia menjadi seorang Anagami (ia yang tak akan kembali), di mana ia tidak akan terlahir kembali di alam manusia maupun surga, melainkan alam kediaman murni (suddhavasa) utk mencapai Nibbana di sana.

Akhirnya, dengan melenyapkan kemelekatan pada alam bentuk, kemelekatan pada alam tak berbentuk, kesombongan, kemalasan, dan ketidaktahuan, ia mencapai tingkat kesucian tertinggi, Arahant, yang setara dengan seorang Buddha di mana sebab kelahiran kembali telah diputuskan dan Nibbana telah tercapai dalam kehidupan ini juga. Seorang Arahant memiliki 8 kualitas dari sang jalan, lengkap dengan pengetahuan dan kebebasan sejati (akan dibahas pada bagian 10), tetapi bagi seorg Arahant tidak ada lagi yang harus dikembangkan karena tujuan pengembangan sang jalan telah tercapai.

Demikianlah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini dapat membawa seseorg pada tujuan akhir, kebahagiaan spiritual tertinggi, bahkan dalam kehidupan ini juga.

"Di antara semua jalan, Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah yang terbaik. Di antara semua kebenaran, Empat Kebenaran Mulia adalah yang terbaik. Di antara semua keadaan, keadaan tanpa nafsu (Nibbana) adalah yang terbaik. Di antara semua makhluk, orang yang telah melihat adalah yang terbaik.

Inilah satu-satunya jalan, tiada jalan lain yang dapat membawa pada kemurnian pandangan. Ikutilah jalan ini, yang dapat mengalahkan mara (godaan).

Dengan mengikuti jalan ini, engkau dapat mengakhiri penderitaan. Dan jalan ini pula yang Ku-tunjukkan setelah Aku mengetahui bagaimana cara mencabut duri-duri (kekotoran batin)." (Dhammapada syair 273-275)

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Pengertian Nibbana
« Reply #17 on: 04 January 2015, 02:03:29 PM »
Atau dalam sutta-sutta awal, praktek JMB8 dilakukan secara menyeluruh dan bertahap yang sering disebut pelatihan bertahap yang membawa seseorang pada pencapaian tujuan akhir (Nibbana), misalnya dalam DN 2 Samannaphala Sutta:

Quote
Berkeyakinan kepada Sang Tiratana dan menjalankan kehidupan suci

40. ‘Baginda, seorang Tathāgata telah muncul di dunia ini, seorang Arahant, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang Sempurna, telah sempurna menempuh Sang Jalan, Pengenal seluruh alam, penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Tercerahkan dan Terberkahi. Beliau, setelah mencapainya dengan pengetahuan-Nya sendiri, menyatakan kepada dunia bersama para dewa, māra[27], dan Brahma, para raja[28] dan manusia. Beliau membabarkan Dhamma, yang indah di awal, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna dan kata, dan menunjukkan kehidupan suci yang murni dan sempurna.’

41. ‘Dhamma ini didengar oleh seorang perumah tangga atau putra perumah tangga, atau seorang yang terlahir dalam suatu keluarga atau lainnya. Setelah mendengar Dhamma ini, [63] ia mendapatkan keyakinan dalam Sang Tathāgata. Setelah mendapatkan keyakinan, ia merenungkan: “Kehidupan rumah tangga adalah tertutup dan kotor, kehidupan tanpa rumah adalah bebas bagaikan udara. Tidaklah mudah, menjalani kehidupan rumah tangga, untuk hidup suci yang sempurna, murni dan mengkilap bagaikan kulit kerang. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning dan pergi dari kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah!” dan setelah beberapa waktu, ia meninggalkan hartanya, kecil atau besar, meninggalkan sanak saudaranya, kecil atau besar, mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning dan pergi menjalani kehidupan tanpa rumah.’

Menjaga moralitas

42. ‘Dan setelah pergi, ia berdiam terkendali oleh pengendalian aturan-aturan, berperilaku benar, melihat bahaya dalam kesalahan yang paling kecil, melaksanakan komitmen yang telah ia ambil sehubungan dengan jasmani, ucapan, dan pikiran, bersungguh-sungguh dalam kehidupan murni dan terampil, sempurna dalam moralitas, dengan pintu-pintu indria terjaga, terampil dalam kesadaran dan merasa puas.’

43-62. ‘Dan bagaimanakah, Baginda, apakah seorang bhikkhu sempurna dalam moralitas? Tidak melakukan pembunuhan, ia berdiam menjauhi pembunuhan, tanpa tongkat atau pedang, cermat, berbelas kasihan, tergerak demi kesejahteraan semua makhluk hidup. Demikianlah ia sempurna dalam moralitas. Menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, … menghindari ketidaksucian, … (dan seterusnya untuk seluruh tiga bagian moralitas seperti pada DN 1, paragraf 1.8-27). Seorang bhikkhu menghindari keterampilan dan penghidupan salah demikian. Demikianlah ia sempurna dalam moralitas.’ [64-69].

63. ‘Dan kemudian, Baginda, bhikkhu itu, yang sempurna dalam moralitas, melihat tidak ada bahaya dari sisi mana pun juga, karena ia terkendali oleh moralitas. Bagaikan seorang Raja Khattiya yang dilantik dengan sah, setelah menaklukkan [70] musuhnya, dengan kenyataan tersebut melihat tidak ada bahaya dari sisi mana pun, demikian pula bhikkhu tersebut, karena moralitasnya, melihat tidak ada bahaya di mana pun juga. Ia mengalami dalam dirinya kebahagiaan tanpa cacat yang muncul dari memelihara moralitas Ariya ini. Dengan cara ini, Baginda, ia sempurna dalam moralitas.’

Pengendalian indria

64. ‘Dan bagaimanakah, Baginda, apakah ia menjaga pintu-pintu indria? Di sini seorang bhikkhu, ketika melihat objek terlihat dengan mata, tidak menggenggam gambaran utama atau karakteristik sekundernya. Karena keserakahan dan penderitaan, kondisi-kondisi buruk yang tidak terampil, akan menguasainya jika ia berdiam dengan indria-mata tidak terjaga, maka ia berlatih untuk menjaganya, ia melindungi indria-mata, mengembangkan pengendalian pada indria-mata. Ketika mendengar suara dengan telinga, … ketika mencium bau dengan hidung, … ketika mengecap rasa dengan lidah, … ketika menyentuh objek sentuhan dengan badan, … ketika memikirkan suatu bentuk-pikiran dengan pikiran, ia tidak menggenggam gambaran mayor atau karakteristik sekundernya … ia mengembangkan pengendalian pada indria-pikiran. Ia mengalami dalam dirinya kebahagiaan tanpa cacat yang muncul dari memelihara moralitas Ariya ini. Dengan cara ini, Baginda, ia sempurna dalam moralitas.’

Perhatian dan kesadaran jernih

65. ‘Dan bagaimanakah, Baginda, apakah seorang bhikkhu sempurna dalam perhatian dan kesadaran jernih? Di sini, seorang bhikkhu bertindak dengan kesadaran jernih dalam berjalan maju dan mundur, dalam memandang ke depan dan ke belakangnya, dalam membungkuk dan menegakkan badan, dalam mengenakan jubah luar dan jubah dalamnya dan membawa mangkuknya, dalam memakan, meminum, mengunyah dan menelan, dalam menjawab panggilan alam, dalam berjalan, berdiri, duduk, berbaring, bangun dari tidur, dalam berbicara dan dalam berdiam diri, ia bertindak dengan kesadaran jernih. Dengan cara ini, [71] seorang bhikkhu sempurna dalam perhatian dan kesadaran murni.’

Merasa puas

66. ‘Dan bagaimanakah seorang bhikkhu puas? Di sini, seorang bhikkhu puas dengan satu jubah untuk melindungi tubuhnya, dengan makanan untuk memuaskan perutnya, dan setelah menerima secukupnya, ia melanjutkan perjalanannya. Bagaikan seekor burung dengan sayapnya terbang ke sana kemari, tanpa dibebani apa pun kecuali sayapnya, demikianlah ia puas … dengan cara ini, Baginda, seorang bhikkhu puas.’

Bermeditasi

67. ‘Kemudian ia, dilengkapi dengan moralitas Ariya-nya, dengan pengendalian Ariya atas indria-indrianya, dengan kepuasan Ariya-nya, mencari tempat yang sepi, di bawah pohon di hutan, di dalam gua-gua di gunung atau jurang, di tanah pekuburan, di hutan belantara, atau di ruang terbuka di atas tumpukan jerami. Kemudian, sehabis makan setelah ia kembali dari menerima dana makanan, ia duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan berkonsentrasi menjaga perhatiannya kokoh di depannya.’’[29]

Melenyapkan kelima rintangan

68. ‘Meninggalkan keinginan duniawi, ia berdiam dengan pikiran bebas dari keinginan duniawi, dan pikirannya dimurnikan dari keinginan duniawi. Meninggalkan ketidaksenangan dan kebencian … dan dengan belas kasihan demi kesejahteraan semua makhluk hidup, pikirannya dimurnikan dari ketidaksenangan dan kebencian. Meninggalkan kelambanan-dan-ketumpulan, … merasakan cahaya,[30] penuh perhatian dan sadar jernih, pikirannya dimurnikan dari kelambanan-dan-ketumpulan. Meninggalkan kekhawatiran-dan-kebingungan … dan dengan ketenangan pikiran, di dalam batinnya dimurnikan dari kekhawatiran-dan-kebingungan. Meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam dengan keragu-raguan ditinggalkan, tanpa keraguan akan hal-hal yang baik, pikirannya bebas dari keraguan.’
[...]
74. ‘Selama, Baginda, seorang bhikkhu tidak merasakan lenyapnya lima rintangan dalam dirinya,[31] ia merasa seolah-olah berhutang, sakit, terbelenggu, menjadi budak, melakukan perjalanan melalui gurun pasir. Tetapi ketika ia merasakan lenyapnya lima rintangan dalam dirinya, seolah-olah ia bebas dari hutang, dari penyakit, dari belenggu, dari pembudakan, dari bahaya gurun pasir.’

Jhana pertama

75. ‘Dan ketika ia mengetahui bahwa lima rintangan ini telah meninggalkannya, kebahagiaan muncul dalam dirinya, dari kebahagiaan muncul kegembiraan, dari kegembiraan dalam batinnya, jasmaninya menjadi tenang, dengan jasmani yang tenang, ia merasakan kenikmatan, dan dengan kenikmatan, pikirannya terkonsentrasi. Dengan keberpisahan demikian dari kenikmatan-indria, berpisah dari kondisi-kondisi buruk, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yaitu awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, yang muncul dari keberpisahan, dipenuhi dengan kegirangan dan kegembiraan. Dan dengan kegirangan dan kegembiraan yang muncul dari keberpisahan, ia meliputi, basah seluruhnya, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dalam tubuhnya yang tidak tersentuh oleh kegirangan dan kegembiraan yang muncul dari keberpisahan itu.’ [74]

76. ‘Bagaikan seorang petugas pemandian yang terampil atau pembantunya, mengadon bubuk-sabun yang telah dibasahi dengan air, membentuknya dalam sebuah piringan logam, menjadi bongkahan lunak, sehingga bola bubuk-sabun itu menjadi satu bongkahan berminyak, terekat oleh minyak sehingga tidak ada yang berserakan – demikian pula bhikkhu ini meliputi, basah seluruhnya, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dalam tubuhnya yang tidak tersentuh. Ini, Baginda, adalah buah dari kehidupan tanpa rumah, nyata di sini dan saat ini, yang lebih mulia dan sempurna daripada yang sebelumnya.’’[32]

Jhana kedua

77. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, dengan melenyapkan awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, dengan memperoleh ketenangan di dalam dan keterpusatan pikiran, memasuki dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang tanpa awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, muncul dari konsentrasi, dipenuhi dengan kegirangan dan kegembiraan. Dan dengan kegirangan dan kegembiraan ini, yang muncul dari konsentrasi, ia meliputi seluruh tubuhnya sehingga tidak ada bagian yang tidak tersentuh.’

78. ‘Bagaikan sebuah danau yang bersumber dari sebuah mata air, tidak ada air yang mengalir dari timur, barat, utara, atau selatan, dimana dewa-hujan mengirimkan hujan dari waktu ke waktu, air mengalir dari dasarnya, bercampur dengan air dingin, akan meliputi, mengisi dan meliputi air dingin tersebut, sehingga tidak ada bagian yang tidak tersentuh – demikian pula dengan kegembiraan dan kebahagiaan ini, yang muncul dari konsentrasi, ia meliputi seluruh tubuhnya sehingga tidak ada bagian yang tidak tersentuh. [75] Ini, Baginda, adalah buah yang lebih mulia dan sempurna dari yang sebelumnya.’

Jhana ketiga

79. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, dengan meluruhnya kegembiraan, tetap tidak terganggu, penuh perhatian dan berkesadaran jernih, dan mengalami dalam dirinya, kegembiraan yang oleh Para Mulia dikatakan: “Berbahagialah ia yang berdiam dalam keseimbangan dan perhatian murni,” dan ia memasuki dan berdiam dalam jhāna ke tiga. Dan dengan kegembiraan ini, yang hampa dari kegirangan, ia meliputi seluruh tubuhnya sehingga tidak ada bagian yang tidak tersentuh.’

80. ‘Bagaikan jika, dalam sebuah kolam yang terdapat bunga teratai biru, merah, atau putih[33] yang bunga-bunganya, muncul dari dalam air, tumbuh dari dalam air, tidak keluar dari air, mendapatkan nutrisi dari kedalaman air, bunga-bunga teratai biru, merah, atau putih itu akan diliputi … dengan air dingin – demikian pula dengan kebahagiaan yang hampa dari kegembiraan, bhikkhu tersebut meliputi seluruh tubuhnya sehingga tidak ada bagian yang tidak tersentuh. Ini adalah buah kehidupan tanpa rumah, lebih mulia dan sempurna dari yang sebelumnya.’

Jhana keempat

81. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, setelah meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan lenyapnya kegembiraan dan kesedihan sebelumnya, memasuki dan berdiam dalam jhāna ke empat yang melampaui kenikmatan dan kesakitan, dan dimurnikan oleh keseimbangan dan perhatian murni. Dan ia duduk meliputi seluruh tubuhnya dengan kemurnian batin dan kebersihan [76] sehingga tidak ada bagian yang tidak tersentuh.’

82. ‘Bagaikan seorang yang duduk dibungkus dari kepala hingga kakinya dengan kain putih, sehingga tidak ada bagian yang tidak tersentuh oleh kain putih itu – demikian pula tubuhnya diliputi … Ini adalah buah dari kehidupan tanpa rumah, lebih mulia dan sempurna daripada yang sebelumnya.’

Pandangan terang

83. ‘Dan demikianlah, dengan pikiran terkonsentrasi, dimurnikan dan dibersihkan, tidak ternoda, bebas dari kekotoran,[34] lentur, mudah dibentuk, kokoh, dan setelah mendapatkan kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkan dan mencondongkan pikirannya ke arah mengetahui dan melihat, dan ia mengetahui: “Jasmaniku ini adalah materi, tersusun dari empat unsur utama, lahir dari ibu dan ayah, mendapatkan makanan berupa nasi dan bubur, tidak kekal, dapat mengalami luka dan usang, rusak dan hancur, dan ini adalah kesadaranku yang melekat padanya dan bergantung padanya.”’[35]
[...]

Pelenyapan kekotoran batin

97. ‘Dan ia dengan pikiran terkonsentrasi, murni dan bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lentur, mudah dibentuk, kokoh, dan setelah mendapatkan kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkan pikirannya kepada pengetahuan hancurnya kekotoran.[44] Ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah penderitaan”, [84] ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah asal-mula penderitaan”, ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah lenyapnya penderitaan”, ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan”. Dan ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah kekotoran”, “Ini adalah asal-mula kekotoran”, “Ini adalah lenyapnya kekotoran”, “Ini adalah jalan menuju lenyapnya kekotoran.” Dan melalui pengetahuannya dan penglihatannya, pikirannya bebas dari kekotoran kenikmatan-indria, dari kekotoran penjelmaan, dari kekotoran kebodohan, dan pengetahuan muncul dalam dirinya: “Ini adalah pembebasan!”, dan ia mengetahui: “Kelahiran telah berakhir, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi yang lebih jauh di sini.”’’[45]

98. ‘Bagaikan, Baginda, di tengah-tengah pegunungan terdapat sebuah kolam, jernih bagaikan cermin yang mengkilap, di mana seseorang dengan pandangan mata yang baik berdiri di tepi dapat melihat kerang-kerang, kerikil-kerikil dan kawanan ikan yang bergerak atau diam. Dan ia berpikir: “Kolam ini jernih, … ada kerang …,” demikian pula, dengan pikiran terkonsentrasi, … ia mengetahui: “Kelahiran telah berakhir, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi yang lebih jauh daripada ini.” [85] Ini, Baginda, adalah buah kehidupan tanpa rumah, yang nyata di sini dan saat ini, yang lebih mulia dan sempurna daripada buah-buah sebelumnya. Dan, Baginda, tidak ada buah kehidupan tanpa rumah, yang nyata di sini dan saat ini, yang lebih mulia dan sempurna daripada yang ini.’[46]
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline halilintar

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 30
  • Reputasi: -4
  • seribu
Re: Pengertian Nibbana
« Reply #18 on: 04 January 2015, 06:27:19 PM »
At krdus

Apa yg disampaikan buddha Gotama benar adanya. Memang spt yg disampaikan kumarapanha dan samanaphala sudah menjelaskan secara teknis dan detail. Begitu hubungan antara jalan dan nirwana.

Suhu pernah menceritakan satu orang istimewa dari tradisi kendaraan besar. dikenal sebagai sesepuh pandangan terang.
saat muda, belum menjadi bhiksu , ia mengerjakan tugas sederhana diwihara. Kebersihan, mengisi bak air, mencari kayu bakar.
ia belajar agama buddha secara sederhana, sedikit sutra, hanya pokok utama saja. Paling banter pancasila, meditasi, sutra hati.
Suatu waktu guru besar diwihara mengadakan lomba menulis sajak dipapan wihara.

Hanya satu orang yg berani menulis
Ia adalah murid paling senior.

"Panca skandha adalah cermin
 Ia berkilau bersinar karena digosok bersih setiap waktu"

anak muda pencari kayu bakar melihat tulisan ini
Ia pun menulis
" sang jalan marga dan buahnya nirwana
  Adalah bagian dari kehidupan itu sendiri.
  Bukan fenomena diluar kehidupan
  Mereka menemukan panca skandha
  Adalah tidak ada , padam, nirodha

Menurut suhu
Inilah bedanya astra ariya marga dan nirodha arinya sacca.
jauh sekali , bagai bumi dan langit paling tinggi.

beliau selalu menjadi sesepuh pandangan terang itu sebagai teladan.



 









 

Offline halilintar

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 30
  • Reputasi: -4
  • seribu
Re: Pengertian Nibbana
« Reply #19 on: 04 January 2015, 07:13:06 PM »
At pak detektif sinichikudo

Hendaknya bisa melihat siapa yg menjadi lawan diskusi. Mengeluarkan jurus kumarapanha dan samanapala sutta " tidak mempan. " menjelaskan hubungan jalan tengah dan buah nirwana.
Jalan tengah dan nirwana akan terlihat berhubungan jika mampu melihat dan menunjukkan perbedaan diantara keduanya.

Mengutip sutta hendaknya diisi komentar penulis, karena apa yg tersirat bisa berarti berbeda sesuai kemampuan samadi pembacanya.ini kebijaksanaan.
memang kumarapanha untuk orang yg menjalankan sila sama era. Jika berani isilah komentar pribadi.
sbg lebih fokus u teman diskusi yg lain.dari sana diskusi akan berkembang sesuai Topiknya.

ini saran saja agar yg diskusi tidak mengomentari sutta serampangan.






Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Pengertian Nibbana
« Reply #20 on: 04 January 2015, 07:35:19 PM »
At pak detektif sinichikudo

Hendaknya bisa melihat siapa yg menjadi lawan diskusi. Mengeluarkan jurus kumarapanha dan samanapala sutta " tidak mempan. " menjelaskan hubungan jalan tengah dan buah nirwana.
Jalan tengah dan nirwana akan terlihat berhubungan jika mampu melihat dan menunjukkan perbedaan diantara keduanya.

Ini tidak konsisten dengan tulisan anda sebelumnya:


Apa yg disampaikan buddha Gotama benar adanya. Memang spt yg disampaikan kumarapanha dan samanaphala sudah menjelaskan secara teknis dan detail. Begitu hubungan antara jalan dan nirwana. 


Quote
Mengutip sutta hendaknya diisi komentar penulis, karena apa yg tersirat bisa berarti berbeda sesuai kemampuan samadi pembacanya.ini kebijaksanaan.
memang kumarapanha untuk orang yg menjalankan sila sama era. Jika berani isilah komentar pribadi.
sbg lebih fokus u teman diskusi yg lain.dari sana diskusi akan berkembang sesuai Topiknya.

ini saran saja agar yg diskusi tidak mengomentari sutta serampangan.

Coba baca baik2 isi penjelasan Kumarapanha Sutta pada link yg diberikan, itu semuanya "komentar" yg saya buat untuk menjelaskan sutta tsb.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline kardus

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 24
  • Reputasi: -1
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Pengertian Nibbana
« Reply #21 on: 05 January 2015, 02:11:02 AM »
mendingan om kardus nanyain di forum-forum buddhist di luar aja.
di sana mereka lebih serius , tidak asal omong dan tidak akan ada spammer macam si halilintar nih

contoh buddhist forum luar negeri :
1. http://www.dhammawheel.com/
2. http://www.vipassanaforum.net/forum/index.php?action=forum
3. http://www.freesangha.com/forums/index.php
Saya sudah pernah mengamati forum2 barat dan tdk menemukan seorangpun yg bisa menjelaskan. Sepertinya bagi mereka hal itu masih menjadi misteri.
Karena itulah saya coba di forum buddhis indonesia. Sebab saya sempat terpikir dahulu kala indonesia terkenal dgn kerajaan2 buddhis yg sempat berjaya cukup lama, masa tdk ada satupun orang buddhis di indonesia yg bisa menjawab. Apakah ajaran sang Buddha sudah hampir benar2 hilang sampai2 tdk ada yg mengerti dan bisa menjawab yg satu ini.

Sekiranya anda menemukan posting ataupun thread yg menurut anda berhasil menjawab, bisa dicopy link nya ke sini supaya saya dan yg lain juga bisa melihat.

 _/\_

Offline kardus

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 24
  • Reputasi: -1
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Pengertian Nibbana
« Reply #22 on: 05 January 2015, 02:13:14 AM »
" sang jalan marga dan buahnya nirwana
  Adalah bagian dari kehidupan itu sendiri.
  Bukan fenomena diluar kehidupan
  Mereka menemukan panca skandha
  Adalah tidak ada , padam, nirodha

Menurut suhu
Inilah bedanya astra ariya marga dan nirodha arinya sacca.
jauh sekali , bagai bumi dan langit paling tinggi.
At halilintar

Ya jelas saja, jalan dan tujuan tentu dua hal yg berbeda.
Tolong tdk usah mengulang point yg sudah jelas dgn sendirinya, sementara pertanyaan tetap belum terjawab.
Tapi lumayan dari anda sudah ada sedikit kemajuan bahwa nirwana = nirodha = padamnya pancaskandha.
Namun masih belum terjawab bagaimana secara teknis asta ariya marga membawa kepada padamnya pancaskandha.

At saudara moderator Shinichi

Quote from: Shinichi
VIII. Konsentrasi Benar (Samma samadhi)

Dengan mengembangkan perhatian benar, maka tercapai pemusatan pikiran yang penuh terhadap objek yang diperhatikan. Inilah konsentrasi benar.
Adakah di dalam 4 sutta utama dikatakan pengertian konsentrasi benar seperti itu? Kalau ada tolong berikan link ke sutta ybs.
Pengertian seperti itu kan datang dari kitab komentar, berdasarkan penafsiran dr arti "ekaggata" yg diartikan sbg keterpusatan pikiran.

Quote from: Shinichi
… seorang meditator memasuki tingkat pemusatan pikiran (jhana) pertama di mana …
Dimanakah di dlm sutta2 utama dikatakan jhana = tingkat pemusatan pikiran? Kalau ada tolong juga berikan link nya.
Lagi2 ini hanya tafsiran saja, tanpa adanya landasan yg jelas dlm sutta2 utama.

Quote from: Shinichi
"Di antara semua jalan, Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah yang terbaik. Di antara semua kebenaran, Empat Kebenaran Mulia adalah yang terbaik. Di antara semua keadaan, keadaan tanpa nafsu (Nibbana) adalah yang terbaik. Di antara semua makhluk, orang yang telah melihat adalah yang terbaik.
Di dlm sutta ada dikatakan: siapa melihat paticcasamuppada dia melihat nibbana, siapa melihat nibbana dia melihat paticcasamuppada.
Bagi yg hanya tahu retorika2 saja, atau yg meneruskan kutipan tanpa menelaah lebih dulu basis/landasan kutipan tsb, kemungkinan besar tdk mengerti maksud dari perkataan sang Buddha tentang paticcasamuppada tsb.
Saya yakin yg bisa melihat paticcasamuppada juga pasti bisa menjawab pertanyaan utama thread ini.

 _/\_

Offline halilintar

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 30
  • Reputasi: -4
  • seribu
Re: Pengertian Nibbana
« Reply #23 on: 05 January 2015, 05:51:24 AM »
Ini tidak konsisten dengan tulisan anda sebelumnya:

Coba baca baik2 isi penjelasan Kumarapanha Sutta pada link yg diberikan, itu semuanya "komentar" yg saya buat untuk menjelaskan sutta tsb.

At pak detektif sinicikudo

Jelas konsisten
Yang pertama kan disebutkan yang membuat sutta adalah buddha Gotama.

Tulisan Berikutnya

Anda mengutip apa yg disampaikan budha tanpa anda komentar penulis,shg
Disebutkan tidak "akan mempan".
Mengapa.

Karena diskusi berkembang spt berdiskusi dengan buku. Ini khan bukan resensi buku.

Ar krdus

Apa yg diyakini paticcasamupada sebagai pemahaman pokok dari nirwana adalah benar.
namun ada faktor lain yg mendukung sang jalan dan buahnya masak.
faktor itu adalah semangat. Guru selalu menegaskan apapun yg dikerjakan, semangat, berenergi
Adalah yg paling penting. Mereka yg mampu melihat nirwana (marga)dan menghancurkannya (phala)
akan menemukan 7faktor yg tersisa. Beliau selalu mengajarkan yg terpenting dari 7 faktor adalah semangat
U melanjutkan kehidupan ini.


Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Pengertian Nibbana
« Reply #24 on: 05 January 2015, 03:24:22 PM »
Apakah pengertian Nibbana?
Yang saya maksud/harapkan adalah pengertian yg lebih detil selain dari pandangan umum tentang nibbana:
- terbebas dari dukkha
- lenyapnya lobha dosa moha
Dan bagaimanakah anda menjelaskan kaitannya dengan Jalan Suci Beruas 8 (8 Jalan Utama) ?

metta,
 _/\_

Pertanyaannya TS ada 2.


Quote
1. Apakah pengertian Nibbana?
Yang saya maksud/harapkan adalah pengertian yg lebih detil selain dari pandangan umum tentang nibbana:
- terbebas dari dukkha
- lenyapnya lobha dosa moha

Sebelum dijawab, ada pertanyaan yang perlu dijawab: Dapatkah mendeskripsikan rasa buah manggis secara detail kepada saya?


Quote
2. Dan bagaimanakah anda menjelaskan kaitannya dengan Jalan Suci Beruas 8 (8 Jalan Utama) ?
Ibarat sebuah jalan di hutan rimba yang gelap yang ujungnya ada cahaya. Seseorang harus berjalan  di jalan itu untuk menuju cahaya tersebut. Nibbana diibaratkan cahaya dan jalan di hutan diibaratkan Jalan Suci Beruas 8.
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline halilintar

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 30
  • Reputasi: -4
  • seribu
Re: Pengertian Nibbana
« Reply #25 on: 05 January 2015, 05:59:50 PM »
Pertanyaannya TS ada 2.


Sebelum dijawab, ada pertanyaan yang perlu dijawab: Dapatkah mendeskripsikan rasa buah manggis secara detail kepada saya?

Sy sj yg menjawabnya. Jawabannya tentu tidak. Karena indria perasa tidak bisa merinci detail campuran rasa asam manis pahit dari buah tsb. Tapi nirwana beda.  detailnya terletak pada kesederhanaan pemadaman nirodha. Ciri khasnya nirodha. Ciri khas marga adalah samvara tg dikenal sbg pengendalian indria. Dari cirinya ada beberapa variasi sesuai 6 sifat nama rupa.apapun variasinya marga dan nirwana ini mudah dikenali dari sifat pokoknya yaitu pemadaman dan pengendalian.

Quote
Ibarat sebuah jalan di hutan rimba yang gelap yang ujungnya ada cahaya. Seseorang harus berjalan  di jalan itu untuk menuju cahaya tersebut. Nibbana diibaratkan cahaya dan jalan di hutan diibaratkan Jalan Suci Beruas 8.

Salah
Menurut guru mereka yg berjalan di jalan tengah mengendalikan diri sedemikian rupa sbg batinnya bersih berkilau
Seperti cermin, namun tidak ada kebijaksanaan karena masih terlihat disana loba, dosha, dan moha.
Ketika ketiga akar ini padam,  maka batin yg berkilau itu padam , yg mengamati dan diamati saat vaipasanya turut padam, timbulah kebijaksanaan yg dikenal sbg "mata dharma"
Melihat dunia dan isinya dengan kebijaksanaan.

silahkan yg lain menulis.

Offline halilintar

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 30
  • Reputasi: -4
  • seribu
Re: Pengertian Nibbana
« Reply #26 on: 05 January 2015, 06:15:34 PM »
Quote
Bagi yg hanya tahu retorika2 saja, atau yg meneruskan kutipan tanpa menelaah lebih dulu basis/landasan kutipan tsb, kemungkinan besar tdk mengerti maksud dari perkataan sang Buddha tentang paticcasamuppada tsb.
Saya yakin yg bisa melihat paticcasamuppada juga pasti bisa menjawab pertanyaan utama thread ini.

 _/\_

At krdus

Guru pernah menyampaikan ringkasan uraian tentang terbakarnya enam indra manusia biasa bukan marga dan phala.
nama rupa manusia yg spt itu seperti sebuah rumah dengan enam jendela yg terbakar mengeluarkan api serakah, benci, bodoh.
Padamnya nama rupa dalam proses vaipasanya, menyebabkan padamnya api di enam indra.
Marga disini adalah proses penghentian dengan pengendalian.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Pengertian Nibbana
« Reply #27 on: 05 January 2015, 07:06:32 PM »

At saudara moderator Shinichi
Adakah di dalam 4 sutta utama dikatakan pengertian konsentrasi benar seperti itu? Kalau ada tolong berikan link ke sutta ybs.
Pengertian seperti itu kan datang dari kitab komentar, berdasarkan penafsiran dr arti "ekaggata" yg diartikan sbg keterpusatan pikiran.

Benar, itu dari kitab komentar. Sutta-sutta juga menjelaskan konsentrasi sebagai ekaggata, misalnya dalam MN 44 Culavedalla Sutta:

“Yang Mulia, apakah konsentrasi? Apakah landasan konsentrasi? Apakah perlengkapan konsentrasi? Apakah pengembangan konsentrasi?”
“Keterpusatan pikiran, teman Visākha, adalah konsentrasi; Empat Landasan Perhatian adalah landasan konsentrasi; Empat Usaha Benar adalah perlengkapan konsentrasi; pengulangan, pengembangan, dan pelatihan atas kondisi-kondisi yang sama ini adalah pengembangan konsentrasi di sana.”


Quote
Dimanakah di dlm sutta2 utama dikatakan jhana = tingkat pemusatan pikiran? Kalau ada tolong juga berikan link nya.
Lagi2 ini hanya tafsiran saja, tanpa adanya landasan yg jelas dlm sutta2 utama.

Untuk jhana, yang saya artikan sebagai "tingkat pemusatan pikiran", benar adalah penafsiran pribadi semata, karena dalam teks-teks Buddhis biasanya dikatakan jhana adalah tingkat pemusatan pikiran (penyerapan/absorpsi) yang mendalam dengan faktor-faktor jhana yang menyertainya. Dalam sutta-sutta tidak ditemukan definisi eksak apakah jhana itu ("jhana adalah bla bla bla... dst"), namun kita menemukan rumusan jhana dengan faktor-faktor jhana-nya seperti dalam pelatihan bertahap di atas:

Dengan keberpisahan demikian dari kenikmatan-indria, berpisah dari kondisi-kondisi buruk, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yaitu awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, yang muncul dari keberpisahan, dipenuhi dengan kegirangan dan kegembiraan... dst

Quote
Di dlm sutta ada dikatakan: siapa melihat paticcasamuppada dia melihat nibbana, siapa melihat nibbana dia melihat paticcasamuppada.
Bagi yg hanya tahu retorika2 saja, atau yg meneruskan kutipan tanpa menelaah lebih dulu basis/landasan kutipan tsb, kemungkinan besar tdk mengerti maksud dari perkataan sang Buddha tentang paticcasamuppada tsb.
Saya yakin yg bisa melihat paticcasamuppada juga pasti bisa menjawab pertanyaan utama thread ini.

 _/\_

Baiklah, berarti jawaban saya yang belum melihat paticcasamuppada memang tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan anda....
« Last Edit: 05 January 2015, 07:10:02 PM by Shinichi »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Pengertian Nibbana
« Reply #28 on: 05 January 2015, 07:18:17 PM »
At pak detektif sinicikudo

Jelas konsisten
Yang pertama kan disebutkan yang membuat sutta adalah buddha Gotama.

Tulisan Berikutnya

Anda mengutip apa yg disampaikan budha tanpa anda komentar penulis,shg
Disebutkan tidak "akan mempan".

Ah, itu kan menurut anda saja, belum tentu tidak mempan bagi yang lain ;D

Quote
Mengapa.

Karena diskusi berkembang spt berdiskusi dengan buku. Ini khan bukan resensi buku.


Masing-masing orang memiliki cara berdiskusinya sendiri-sendiri, yang penting tidak membuat kekacauan/keributan. Jika anda tidak menyukai cara diskusi saya yang menggunakan referensi dan mengutip sutta-sutta, itu hak anda, tetapi anda tidak bisa memaksa orang mengikuti cara diskusi anda....

 :backtotopic:
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline halilintar

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 30
  • Reputasi: -4
  • seribu
Re: Pengertian Nibbana
« Reply #29 on: 05 January 2015, 10:41:50 PM »
Quote
Coba baca baik2 isi penjelasan Kumarapanha Sutta pada link yg diberikan, itu semuanya "komentar" yg saya buat untuk menjelaskan sutta tsb.

At sinicikudo

masih dalam pengertian marga dan nirwana.
Jika memang benar penjelasan kumarapanha adalah "komentar" yang anda buat
Bisakah sy bertanya.
mengapa catur ariya saccani disebutkan
Dukha, sebab dukha, padamnya dukha, jalan memadamkan dukha.
Dengan urutan spt "anda" sebutkan diatas.


 

anything