//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - Gwi Cool

Pages: 1 2 3 4 5 [6] 7 8 9 10 11 12
76
Diskusi Umum / Re: yg disebut SUHU itu seperti apa
« on: 24 November 2017, 09:47:55 AM »
Saya mau bercerita sedikit tentang "SUHU"

sebelumnya kami bertanya2 tentang kehidupan, usaha, dan sbgnya kepada suhu. jadi dia disebut suhu karena bisa kemasukan dewa. di rumahnya itu byk sekali patung dewa dan dewi, pengunjung jg byk, dan dia semacam membuka praktek setiap hari, juga ada jam khusus untuk bertanya kepada suhu itu dan dikenakan biaya yg tidak sedikit. tetapi suhu itu selalu melihat dari segi kekayaan seseorang, dan dia suka membanggakan dirinya kaya raya, suka membandingkan org. memang kami bertanya ttg usaha kami, dan suhu jg memberikan panduan2 ttg posisi toko harus menghadap mana, dan dengan segala syarat2 nya kami ikuti. singkatnya begitu.

tetapi belakangan ini kami jarang datang dan sudah bbrp bulan tidak datang sama sekali, dikarenakan perjalanan yg cukup jauh. dan suatu ketika itu kami bertemu dengan suhu juga pengikut2 nya yg setia bbrp keluarga yg masih sering datang kepada suhu tsb. kami seperti dilecehkan didepan org2 dengan perkataan "nah ini yg tidak pernah dtg2 lg, liat tuh pengikut saya semuanya pada kaya2 skr, ada yg sudah punya mobil 2, usaha nya berkembang pesat, dan malah "si anu" mau beli rumah lg" kami mendengar kata2 itu seperti di injak2 depan org byk. kami hanya diam saja depan suhu dan pengikut2nya.. tetapi didalam hati sangat jengkel, kami sampai merasa sangat malu saat itu berada disana

yg saya ingin tanyakan apakah itu yg disebut SUHU?
apakah SUHU suka menjelek2kan org?
apakah SUHU suka membanding2kan kekayaan org?
apakah SUHU suka membeberkan kekayaan nya?


saya hanya berbagi isi hati saya dan juga ingin diberi pengertian ttg SUHU yg sebenarnya.. thanks before
Suhu itu pendeta china. Pendeta Taoisme atau pendeta Konghucu. Kalau Buddhis kan bhikkhu, Hindu = brahmana; dll.

77
Theravada / Re: Abhidhamma Pernahkah di Sabdakan Oleh Sang Buddha?
« on: 24 November 2017, 09:32:08 AM »
Apakah benar Abhidhamma pernah disabdakan oleh Sang Buddha (setidaknya diuraikan kembali oleh Sariputta)? Pertanyaan ini muncul mengingat penyusunan Abhidhamma baru muncul pada Konsili ke-3?
Adakah alasan yang kuat dari sudut pandang Theravadin terhadap hal Ini?

Thanks
Kalau ada yang ragu Abhidhamma, terus Tipitaka itu apa? Gak percaya Tipitaka? Abhidhamma Pitaka cukup jelas berhubungan dengan, lebih ke praktek, Abbhidhamma bagian dari Sutta (Dhamma). Abhidhamma di sidang Agung pertama juga sudah ada, oleh Yang Mulia Mahakassapa thera. Dhamma (Sutta) = Yang Mulia Ananda thera; Vinaya = Yang Mulia Upali thera.
Cukup jelas Abhidhamma pertama kali diperkenalkan saat Yang Tercerahkan ke surga.

Pada Konsili I, Ajaran Buddha belum dibuat sistematis karena hanya wujud tertulis saja yang dapat dikatakan sistematis. Di sini hanya dikenal Dhamma-Vinaya. Pada Konsili II juga demikian, ada tambahan (misalnya Bakkula Sutta) karena di konsili I hanya membahas poin-poin utama.

Di konsili ke tigalah, istilah Tipitaka mulai menyebar, dimana Yang Mulia Moggaliputta Tissa thera (seorang Arahat) mempopulerkan Abhidhamma. Banyak yang bilang Abhidhamma dibuat oleh Beliau, bukan dari Sang Buddha. Itu pasti fitnah dari kelompok luar yang mau menyudutkan Buddhisme. Itu pasti orang yang mau mengatakan bukan-dhamma sebagai Dhamma; Dhamma sebagai bukan-dhamma.


Di konsili ke empat, kitab suci Buddhis ditulis dan dinamakan "Kanon (kitab suci) Pali", yang dikepalai oleh Yang Mulia Rakkhita thera (seorang Arahat. Di sinilah Ajaran Buddha telah dibuat sistematis, terdiri dari 3 kitab besar: Vinaya Pitaka; Sutta Pitaka; dan Abhidhamma Pitaka.

Kalau ragu dengan Abhidhamma, mengapa mempercayai "Tipitaka"? Bukankah Tipitaka = 3 keranjang? Trus yang ke tiga apa? Jawabannya Abhidhamma Pitaka

78
Theravada / Re: Penghidupan benar
« on: 24 November 2017, 08:59:27 AM »
... Dan pertanyaan saya lebih lanjut adalah apakah dalam uposata 3 sila tambahan yang berlaku adalah sebagai pedoman penghidupan benar?
Kayaknya dari awal, Tuan Alucard mau nanya tentang "Perbuatan Benar" deh. Perbuatan benar biasana sepaket (lebih dekat) sama Kehendak Benar dan Ucapan Benar. Jalani saja semuanya, tiap hari rutin meditasi. Umat Buddhis kan disarankan semadi rutin tiap hari, minimal 10-15 menit.

Yo wes ra, kalo gak mau dipisah dua, tinggal gabung aje jadi atu. 8)
Pandangan benar = percaya kebajikan, percaya ada orang suci (Arahat), mengetahui apa yang mungkin dan tidak mungkin, blabla hingga Empat Kesunyatan Mulia.
... Konsentrasi benar = jhana 1-8 (lokiya), Lenyapnya Persepsi dan Perasaan (lokuttara).

Ya, Bramajala Sutta = 62 padangan, di sinilah pandangan "Atta" bersembunyi. Ini aje belum cukup untuk memunculkan Pandangan Benar (Lokuttara).

79
Theravada / Re: Penghidupan benar
« on: 23 November 2017, 03:01:28 PM »
Bila di pahami lebih baik,....
Penghidupan benar adalah kehidupan kita sehari hari dalam melakukan aktifitas. Yang menjadi tiga pilar pendukungnya adalah pandangan benar, daya upaya benar, dan perhatian benar. Dalam ketiga pilar ini maka penghidupan benar dapat di jalani dengan benar.
Apakah pandangan benar itu?
Pandangan benar adalah pandangan yang mengetahui 4 kebenaran mulia.
Apakah daya upaya benar itu?
Daya upaya benar adalah membangkitkan kehendak, mengerahkan daya upaya, menggerakkan usaha, mengerahkan pikirannya dan berusaha untuk mencegah munculnya kondisi pikiran tidak bermanfaat yang belum muncul.
Apakah perhatian benar?
Perhatian benar adalah perhatian terhadap jasmani, perasaan persepsi, pikiran dan kesadaran indria

Maka bila ini adalah dasar dari perbuatan benar maka gaya hidup yang seperti apa yang cocok untuk kita lakukan dalam jaman sekarang? Tolong beri tanggap dan alasan nya.
Diluar dari kehidupaan samana karena saya mau membahas dalam kehidupan sehari hari untuk umat awam.
Terima kasih semoga saya mendapat respon yang menarik.
Tuan Alucard, kalau yang berhubungan dengan umat awam, yang diberikan Tuan Seniya sudah jelas.
Yang saya tebalin (di atas), itu "Jalan Lokuttara".

Jalan Mulia Berunsur Delapan ada dua jenis
1. Jenis Lokiya (duniawi)
2. Jenis Lokuttara (4 Jalan, 4 Buah, dan Nibbana)

Segala sesuatu berakar dari "Pandangan Benar" baik yang lokiya maupun yang lokuttara.

Pandangan benar lokiya = mempercayai kebaikan (manfaat kebaikan)
Pandangan benar lokuttara = melenyapkan 62 pandangan

Penghidupan Benar yang lokuttara berhubungan dengan "berkeinginan sedikit". Setidaknya ia harus lulus Penghidupan benar lokiya (yang diberikan Tuan seniya). Seperti S2 meneruskan bidang S3, kira-kira dengan sempurnanya penghidupan benar lokiya maka penghidupan benar lokuttara nantinya akan terjadi dengan latihan bertahap. (Jika mau memasuki "Jalan Mulia Berunsur Delapan Lokuttara", minimal harus lulus Pandangan Benar Lokuttara = 3 belenggu).

80
bhikkhu itu petapa. Petapa itu kadang hanya mengajar tentang pertapaan kepada kelompok yang mau jadi petapa, kadang (beberapa yang lainnya) juga mengajari perumah tangga (umat awamnya). Kalau bhikkhu, dua-duanya, bertapa dan mengajarkan ajarannya. "Bhikkhu" itu condong sebagai sebutan untuk petapa Buddhis.

Pendeta, ulama, dan lainnya: merupakan pembuka agama yang tidak melakukan pertapaan, disebut "brahmana" dalam bahasa Sanskrit; "Pandita" dalam bahasa Pali.

81
Relik itu berupa tulang belulang, bagian yang padat. Istilah mungkin "Kerangka dari bhikkhu suci". hanya jasad Anagami atau Arahat yang bisa disebut relik, itu pun harus bhikkhu, bukan umat awam. Kalau manusia tidak menemukan relik demikian (tidak tahu ada Anagami/Arahat yang akan meninggal), di sini para deva akan bawa ke alamnya, mungkin Sakka, raja para deva akan menyimpannya. Di sini kasihan banget para deva tidak bisa derma kepada bhikkhu, oleh karena itu, bersyukurlah yang terlahir menjadi manusia, yang mau jasa, silakan layani para bhikkhu dengan derma/penghormatan/mendengar Dhamma, para deva saja banyak yang iri karena sulit berderma kepada para bhikkhu. Seperti kisah Sakka, raja para deva yang memberikan derma makanan kepada Yang Mulia Mahakassapa thera, Yang Mulia Mahakassapa thera menegur Sakka, raja para deva karena para bhikkhu berbelas kasih kepada manusia yang hidupnya sulit (dibandingkan kehidupan di surgawi). Makhluk surgawi hidup sepenuhnya dari jasa (kebajikan), oleh karena itu, para makhluk surgawi bisa dibilang hidupnya begitu santai, nyaman.

Dikatakan relik demikian bisa memunculkan "Miracle" melalui salah satu dari 3 cara:
1. Kemampuan seorang Arahat,
2. Brahma tertentu (mungkin brahma Arahat atau dari Alam Kediaman Murni),
3. Kebajikan dari upasaka/upasika yang menjaga sila dengan baik (siswa ariya).

Miracle apa yang muncul? Saya kurang tahu, mungkin mirip Saccakiriya 'Pernyataan Benar'. Kalau Saccakiriya yang biasa kan, dari diri sendiri, mungkin ini dari relik itu.

82
Theravada / Perumpamaan anak kuda liar
« on: 22 November 2017, 06:54:49 PM »
Ini kisah yang menarik (yang ada) di sutta, mengenai Anak Kuda Liar. Perumpamaan ini Sang Buddha berikan kepada (mengenai) bhikkhu dan guru dari seorang bhikkhu. Di sini sama intinya namun antara orangtua/guru dan anak/murid.

Delapan jenis anak/murid yang serupa dengan anak kuda liar dan delapan cacat (kekurangan/kelemahan) padanya:

1. (a) Ketika orangtua/guru memarahi anak/muridnya atas suatu kesalahan, ia berdalih dengan alasan tidak ingat, dengan mengatakan: “Aku tidak ingat (telah melakukan kesalahan demikian).” (b) Ini serupa dengan anak kuda liar ketika disuruh “Maju!” dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia mundur dan memutar kereta ke sekeliling di belakangnya, yaitu mendorong kuk ke atas dengan bahunya, ia mundur, memutar kereta ke sekeliling dengan sisi belakangnya. (Saya mungkin pernah, kayaknya tidak deh.)

2. (a) Ketika orangtua/guru memarahi anak/muridnya atas suatu kesalahan, ia balik memarahi si pengecam: “Hak apa yang engkau, orang bego (dungu) yang tidak kompeten, miliki untuk berbicara? Apakah engkau benar-benar berpikir bahwa engkau boleh mengatakan sesuatu?” (b) Ini serupa dengan anak kuda liar ketika disuruh: “Maju!” dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melompat mundur karenanya merusak palang dan mematahkan tongkat tiga, yaitu menendang dengan kedua kaki belakangnya, menghantam palang kereta, dan merusak palang. Ia mematahkan tongkat tiga, ketiga tongkat di depan kereta. (Ini anak durhaka, saya tidak pernah, ini keterlaluan bangetz.)

3. (a) Ketika orangtua/guru memarahi anak/muridnya atas suatu kesalahan, ia membalikkan kesalahan itu pada orangtua/guru, dengan mengatakan: “Engkau telah melakukan kesalahan itu. Perbaikilah itu terlebih dulu.” (b) Ini serupa dengan anak kuda liar ketika disuruh: “Maju!” dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melonggarkan pahanya dari tiang kereta dan menabrak tiang kereta, yaitu setelah menurunkan kepalanya, ia menjatuhkan kuk ke tanah dan memukul tiang kereta dengan pahanya dan mematahkan tiang kereta dengan kedua kaki depannya. (Saya pernah, sekali saja, sekali-kali.)

4. (a) Ketika orangtua/guru memarahi anak/muridnya atas suatu kesalahan, ia menjawab dengan cara mengelak, mengalihkan pembicaraan pada topik yang tidak berhubungan, dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. (b) Ini serupa dengan anak kuda liar ketika seekor anak kuda liar disuruh: “Maju!” dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia mengambil jalan yang salah dan menarik kereta itu keluar dari jalurnya. (Saya mungkin pernah, tetapi tidak sampai berlebihan.)

5. (a) Ketika orangtua/guru memarahi anak/muridnya atas suatu kesalahan, ia berbicara sambil melambai-lambaikan tangannya (ia tidak menghargai si pembicara, dengan tangan bergerak sana sini) di tengah-tengah keluarga/guru/yang lainnya. (b) Ini serupa dengan anak kuda liar ketika seekor anak kuda liar disuruh: “Maju!” dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melompat dengan bagian depan tubuhnya dan mengais udara dengan kaki-kaki (kuda hanya memiliki kaki/4 kaki) depannya. (Tidak pernah.)

6. (a) Ketika orangtua/guru memarahi anak/muridnya atas suatu kesalahan, ia tidak mematuhi disiplin/peraturan yang ada atau pengecamnya, melainkan pergi ke manapun yang ia suka sambil masih membawa pelanggarannya. (b) Ini serupa dengan anak kuda liar ketika seekor anak kuda liar disuruh: “Maju!” dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia tidak mematuhi pelatihnya atau tongkat kendali (cambuk), melainkan menghancurkan kekang mulutnya dengan giginya dan pergi ke manapun yang ia suka. (Tidak pernah.)

7. (a) Ketika orangtua/guru memarahi anak/muridnya atas suatu kesalahan, ia tidak mengatakan, “Aku melakukan kesalahan,” ia juga tidak mengatakan, “Aku tidak melakukan kesalahan,” melainkan ia menjengkelkan keluarga/guru/yang lainnya dengan berdiam diri. (b) Ini serupa dengan anak kuda liar ketika seekor anak kuda liar disuruh: “Maju!” dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia tidak berjalan maju atau berbalik, melainkan berdiri diam bagaikan sebuah tiang. (Pernah, takut dimarahi, so pura-pura bego.)

8. Ketika orangtua/guru mengecam anak/muridnya atas suatu kesalahan, ia mengatakan: “Mengapa engkau begitu cerewet tentang aku? Sekarang aku akan menolak disiplin/peraturan yang ada atau minggat/berhenti sekolah.” Kemudian ia menolak disiplin/peraturan yang ada, atau minggat/berhenti sekolah, dan mengatakan: “Sekarang kalian boleh puas!” (a) Ini serupa dengan anak kuda liar ketika seekor anak kuda liar disuruh: “Maju!” dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melipat kaki depan dan kaki belakangnya, dan duduk di sana di atas keempat kakinya. (Tidak pernah.)

Anak yang berbakti kepada orangtua, jumlahnya (biasanya) sedikit. Guru-sekolah (Kimia) saya (penulis) pernah mengatakan: “Murid yang tidak punya sedikit pun rasa hormat kepada gurunya, pasti tidak punya rasa hormat kepada orangtua sendiri.” Apa yang dikatakan guru saya itu benar adanya, anak yang bandal dan tidak punya sopan santun, pastinya di rumah juga demikian. Anak yang kurang ajar kepada guru, pastinya di rumah juga kurang ajar kepada orangtua sendiri.

“Yang kepadanya anak berbakti,
Kepada orangtua dan guru atau wali,
Jumlahnya adalah sedikit sekali,
Dibandingkan mereka yang tidak menghormati,
Bagaikan membandingkan satu bumi,
Dengan sedikit tanah yang diambil dari 2 kuku jari,
Seperti itu jugalah (jumlah) yang menuju alam surgawi,
Banyaknya jatuh ke sana sini.

“Seseorang harusnya dengan rendah hati,
Menghormati yang seharusnya dan tidaknya diketahui,
Bahwa orangtua layak dan adalah lahan jasa sendiri,
Begitu juga dengan para guru biasa dan yang ahli (guru agama),
Kepada mereka, harus dihormati tinggi-tinggi,
Dimana imbalannya adalah cahaya-jasmani.”

Tambahan
Baik sekali anak itu kalau sudah dewasa, harus mengingat jasa orangtuanya, puncaknya berkat orangtualah Anda bisa hidup sekarang ini, dan dapat melakukan kebajikan atau bertemu orang yang dicintai. Apa pun yang pernah terjadi, biarlah orangtua itu dimaafkan (jika Anda pernah tersakiti). Orangtua mungkin lalai atau mungkin karena pekerjaan atau hal lainnya, mereka jadi kesal terhadap Anda, taklah pantas orangtua dijadikan objek dendam karena Sang Buddha mengatakan bahwa: kedua orangtua adalah lahan jasa masing-masing setelah Sangha, lahan jasa yang paling subur. (Mustahil anak yang tidak berbakti kepada orangtua/durhaka dapat terlahir di alam yang baik atau bahkan alam Surga, sebaliknya adalah mungkin, anak yang berbakti kepada orangtua, dapat terlahir di alam yang baik bahkan di alam Surga.)

Dahulu, ada seorang anak (sudah dewasa pastinya), ia merawat ibunya yang tua renta, ia tidak memikirkan keluarganya (tidak menikah) kemudian ibunya mencari pendampingnya dan karena ia menghormati ibunya, ia pun menikahi perempuan itu secara sah agar ibunya gembira. Perempuan itu pun ingin mengusir ibu mertuanya. Ia berkata kepada suaminya: “Siapa yang dapat mengurus ibumu itu?” Namun, anak yang berbakti itu (sang suami), tetap menghormati ibunya, ia berkata: “Ibuku sudah tua, siapa lagi yang dapat merawatnya, selain saya, kamu (istrinya) masih muda, kamu masih bisa merawat diri sendiri.”–Singkatnya, istrinya jadi istri yang patuh seumur hidup. Suaminya tidak mengusir ibunya. (Kisahnya ada di Jataka.)

Demikian pula, beberapa istri mungkin ingin mengusir mertuanya, tetapi seorang anak yang dilahirkan dari darah daging ibunya sendiri, seharusnya tetap berbakti kepada ibunya (orangtuanya) sendiri, tidak durhaka, dalam berbagai cara apa pun, bahkan dibandingkan istri tercinta. Ia harus tetap menghormati orangtuanya sendiri disamping ia mencintai istrinya. (Beberapa suami yang bego mungkin terjebak dengan kecantikan istrinya lalu menelantarkan orangtuanya.) Seorang istri harusnya menghormati suaminya dan mertua adalah yang paling tinggi karena yang melahirkan sang suami. Seorang suami pun seharusnya menghormati (menghargai) istrinya dan orangtua dari istrinya karena menghormati orang yang lebih tua adalah berkah panjang umur, dll.

“Istri yang baik menghormati suaminya,
Dan menghargai kepemimpinan sang kepala keluarga,
Juga, istri yang baik akan menjaga wibawa,
Dirinya sendiri dan sang suami tercinta,
Karena suami itu bagaikan raja (yang dipertuan),
Begitu pula dengan perlakuan kepada mertua,
Karena sang suami hadir dari (dua) orangtua.
Yang derajatnya bagaikan dewa (para dewa akan marah jika orangtua tidak dihormati).”

83
Humor / Re: Sadhu, sadhu, sadhu = kesendat
« on: 22 November 2017, 06:50:31 PM »
Untuk sementara user di-banned tidak bisa posting sebab membuat thread sama berulang-ulang di board yang tidak sesuai.
Sekarang cukup jelas bagiku, dulu saya mengerti namun belum sempurna bahwa: (1) orang jahat tidak mungkin mengenal orang baik sebagai baik dan tidak mengenal orang jahat sebagai jahat, sebaliknya (2) adalah mungkin, orang baik mengenali orang jahat sebagai jahat dan orang baik sebagai baik.
Lakukanlah sesukamu, Tuan, guruku memintaku berbelaskasih dengan acuan (bukan isi) AN VII–73 (9). Saya tidak akan lagi menanggapimu, Tuan, lakukan apa yang Tuan anggap benar (sesuka hati).

“Orang bijak bagaikan gunung,
Ocehan, cacian hingga fitnah kosong,
Tak dapat menjatuhkan si bijak yang matang,
Ia kokoh dan hidup dengan tenang,
Bahkan jika ketenaran atau pujian datang,
Ia tidak menikmatinya karena akan diserang,
Oleh hal itu sendiri hingga menjadi sombong,
Tidak, ia hadir hanya berbagi kebaikan kepada banyak orang.”

84
Humor / Re: Sadhu, sadhu, sadhu = kesendat
« on: 21 November 2017, 05:02:32 PM »
OK, kalau sama seperti sebelumnya, berarti saya gabung saja.
rencana jahatmu gagal, tetapi dipaksakan.

85
Semoga suatu saat Yayasan-Dhammacitta bisa membentuk sekolah y. SMA/SMK Dhammacitta Indonesia atau apa gitu namanya yang cocok (atau mungkin sudah ada y? Kurang tahu)._/\_

86
Humor / Re: Sadhu, sadhu, sadhu = kesendat
« on: 21 November 2017, 04:45:01 PM »
Sama seperti jawaban saya sebelumnya.
Tambahan: yang jelas bukan humor.

87
Keluarga & Teman / Re: share tips menjawab kalo diajakin ke agama lain
« on: 21 November 2017, 09:15:22 AM »
semuanya pasti pernah diajakin ke tempat ibadah agama lain atau malahan diajakin pindah agama.
ntah itu dari teman, sodara, family...

ayo semua share cerita sama tipsnya untuk menjawab ajakan mereka  ;D
Sadhu, sadhu. Jika ada yang meminta untuk pindah agama, "skak mati" dengan ini: "Hanya Ajaran Buddha yang mengajarkan Empat Kesunyatan Mulia, tidak ada siapa pun di alam semesta ini, baik deva atau manusia yang dapat mengajarkan Empat Kesunyatan Mulia, selain Sang Buddha, Yang Tercerahkan Sempurna. Jika saya pindah 'aliran', masih memungkinkan, jika pindah ajaran lain maka saya telah kehilangan ajaran yang paling langka. Seperti halnya lukisan Monalisa yang terkenal, hanya ada satu, demikianlah Empat Kesunyatan Mulia hanya ada di dalam Ajaran Buddha, cukup langka." (slow saja ngomongnya, santai.)

Jika dia tanya hal yang lainnya, ulangi lagi atau perindah.
Gak usah debat, ini sudah skak mati.

Tu orang pasti menghilang dari hadapanmu. Hehe. _/\_

88
Buddhisme untuk Pemula / Ajaran Buddha dan agama Buddha
« on: 21 November 2017, 08:56:40 AM »
"Agama" berasal dari bahasa Sanskrit, sedangkan "Ajaran" berasal dari bahasa Indonesia (bukan serapan), yang sama-sama berarti "kepercayaan/keyakinan".
Oleh karena itu, tidak ada bedanya dikatakan Agama Buddha atau Ajaran Buddha.

Ajaran Buddha tidak memiliki budaya! Ini harusnya digarisbawahi.
Namun, perlu dicatat! Bahwa tidak berbudaya, artinya adalah "ajaran itulah budayanya", misalnya Ajaran Buddha, budayanya adalah "Patimokkha (disiplin dalam Sangha)" atau yang biasa dikenal sebagai Vinaya. Berlaku juga untuk "vinaya" umat awamnya, yaitu 5 sila dan puasa (uposatha).

Yang lainnya adalah tata krama, misalnya cara penghormatan, dll. (tata krama disesuaikan berdasarkan wilayah/negara). Misalnya orang Indonesia, umatnya pasti memakai budaya Indonesia, salah satunya dengan merangkapkan tangan atau salaman (tata krama), atau dengan berbudaya batik, dll. Sementara di Jepang misalnya, mereka memakai yukata (kimono biasanya buat pernikahan), dengan tata krama, biasanya suka tunduk-tunduk (membungkukan badan) daripada salaman, dll. Demikian juga dengan wilayah/negara lainnya.

Jika kelompok manapun (budaya manapun) ingin memasuki Ajaran Buddha maka ia tidak dapat memasukkan budayanya di dalam "ajaran". Ia meneruskan budayanya tanpa mencampurkan ke dalam ajaran.

Tidak ada peraturan dalam Ajaran Buddha, Sang Buddha tidak pernah melarang apa pun karena manusia menyukai kebebasan dan Sang Bhagava "mendisiplinkan" pengikutnya bukan melalui peraturan karena apa? Karena, seseorang yang disiplin "pasti taat peraturan", sementara orang yang taat peraturan "belum tentu disiplin". Sang Buddha tidak melarang apa pun, bukan berarti Beliau menyetujui perbuatan jahat. Beliau mengungkapkan bahwa perbuatan buruk akan berakibat buruk; perbuatan baik akan berakibat baik. Oleh karena itu, hindari perbuatan jahat, yang tidak bermanfaat. Perbanyak perbuatan baik, yang bermanfaat. Ini adalah demi kesejahteraan masing-masing. Demikianlah Sang Buddha mendisiplinkan pengikut-Nya.

Ajaran Buddha tiada "budaya", dalam arti bahwa budaya dari manapun (seseorang) bisa berkeyakinan pada Sang Buddha Gotama, dan tentunya meneruskan budaya mereka secara turun-temurun "tanpa" mencampuradukkan ke dalam Ajaran Buddha. Seperti halnya urusan keluarga, tidak dibeberkan di luar namun menyimpannya dalam keluarga. Apakah keluarga itu munafik? Ini cukup kasar dan salah karena urusan keluarga adalah urusan pribadi. Demikian pula, budaya tidak dimasukkan ke dalam Ajaran Buddha karena orang-orang akan berpikir bahwa: "Ajaran Buddha hanya untuk suku tertentu, atau untuk budaya tertentu, kita harus memasuki budaya lain dan meninggalkan budaya kita." Oleh karena itu, budaya adalah budaya masing-masing, Ajaran Buddha adalah khsusus Ajaran Buddha, dengan begitu, tidak ada celah dan kritikan dengan mengatakan Ajaran Buddha khusus budaya tertentu namun kenyataannya siapa pun dapat berkeyakinan pada Buddha, disamping meneruskan budaya masing-masing. Bahkan dapat meningkatkan martabat budaya mereka, dengan Ajaran Buddha sebagai pegangan.

Misalnya ada orang chinese yang tujuh turunan memakai budaya chinese maka ia tetap dapat meneruskan budayanya disamping berkeyakinan dalam Ajaran Buddha.

Atau misalnya seorang nasrani (kayak novelis Dee Lestari), katakanlah  7 turunan telah mewarisi tradisi natal maka ketika memasuki Ajaran Buddha, ia seharusnya tidak meninggalkan tradisi tersebut, sebagai umat awam karena itu budaya yang baik, tidak ada pelanggaran HAM atau hal buruk.

Budaya yang baik adalah pantas dilestarikan dan dihormati.

Tambahan:
Bahkan jika sebelumnya ia non-buddhis dan sekarang menjadi Buddhisme, jika ia menginginkan untuk membaca kitab suci lamanya atau ke tempat ibadah lamanya atau ke temapt suci lama, jika menginginkan, boleh-boleh saja melakukannya. Yang terpenting adalah, seorang Buddhisme menyatakan 3 perlindungan, kepada (1) Buddha Gotama, (2) Dhamma, dan (3) Sangha. Setelahnya mengambil lima sila, yaitu menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perbuatan asusila yang salah, menghindari berbohong, menghindari zat yang memabokkan atau yang melengahkan kesadaran. Maka ia telah disebut umat awam Buddhis (laki-laki = upasaka; perempuan = upasika).

Bagaimana? Harmoniskan, Ajaran Buddha?

Sekian dan terimakasih.

89
Pengalaman Pribadi / Re: Dukkha “Bukan” Penderitaan
« on: 21 November 2017, 08:41:00 AM »
Dukkha tidak diterjemahkan jadi hanya "penderitaan", itu bisa saja

Orang mengatakan, "tak memuaskan", "stress"

Tapi kalau diterjemahkan "pengalaman", itu juga gak benar. Memang sudah bagus penderitaan.

Penderitaan biasa, Penderitaan karena perubahan, Penderitaan yang bersifat potensi.

Kalau pake kata pengalaman malah lebih rancu. Memangnya Arahat gak punya pengalaman setelah pencerahan?
terimakasih atas diskusinya yang hangat.
Pengalaman benar-benar kata yang bermakna tinggi. Pengalaman berasal dari "Peng-alam-an". Banyak orang ketika dikatakan pengalaman pada umumnya akan mengacu ke yang knvensional. Sang Buddha menerima hal-hal duniawi, tetapi Sang Buddha selalu menggunakan kata yang mutlak.
Seperti halnya Nibbana (kebahagiaan sejati). Sang Buddha selalu menggambarkan "bahagia" dalam konvensi duniawi sebagai "sukha (sukacita)". Karena kenyataannya, hanya Nibbana-lah yang berarti kebahagiaan mutlak. Sedangkan secara konvensional, kerap kali, apa-apa bahagia.

Arahat adalah asekha = melampaui pengalaman (suka-duka).

Silakan teliti "kasus ke tiga" yang saya tulis sebelumnya.
Apa pun yang identik dengan "penderitaan" maka jika ada ajaran yang mengajarkan inti ajaran sebagai penderitaan maka artinya "ajaran nihilisme". Saya bahas itu di kasus ke tiga (di atas).

90
Humor / Sadhu, sadhu, sadhu = kesendat
« on: 20 November 2017, 04:44:05 PM »
 :))

Judulnya mungkin lucu, tetapi si tukang marah/tukang debat, pasti jengkel. Ayo ngaku, kalau ....

Seperti halnya ketika seseorang yang bersemadi dengan nafas masuk dan nafas keluar sebagai objek, jika ia menahan nafasnya maka ia akan seperti tersendat, harusnya mengikuti nafas. Demikianlah jika "sadhu" diucapkan tiga kali = seperti kesendat. Seperti halnya kue (makanan) tersendat di tenggorokan, seperti itulah jika "sadhu" diucapkan tiga kali.

Sadhu, sadhu, sadhu, tersendatlah ia.
Tidak ada "kata" yang diulang tiga kali walaupun terpisah. Karena, itu dinilai cukup berlebihan.

kupu-kupu; tidak ada kupu-kupu-kupu. Karena, berlebihan jika 3 kali apalagi lebih.
Lari-lari; tidak ada lari-lari-lari.
Makan, makan; tidak ada makan, makan, makan.
Minum, minum; tidak ada minum, minum, minum.

Demikian pula, kata "sadhu", cukup diulang dua kali (maksimal). Jika lebih dari itu maka akan seperti judul = kesendat.

"Sadhu, sadhu." Artinya: "Bagus, bagus." "Nice, nice."

Sang Buddha biasanya hanya menggunakan 2 kali. Demikianlah.

Pertanyaan: Lalu bagaimana dengan pujian kepada Sang Buddha, yang diucapkan 3 kali?
"Terpujilah Sang Bhagava, Sang Arahat, Yang Tercerahkan Sempurna,
Terpujilah Sang Bhagava, Sang Arahat, Yang Tercerahkan Sempurna,
Terpujilah Sang Bhagava, Sang Arahat, Yang Tercerahkan Sempurna."

Ini sudah kalimat, lagipula ini "pujaan". "Sadhu" adalah pujian (menyanjung), bukan pujaan.

Lalu bagaimana dengan Upin Ipin?
Hahaha, itu orang Malaysia, menurut saya juga kurang tepat (dalam bahasa Malaysia) makanya diucapkan cepat-cepat. Kenyataanya itu sebenarnya berlebihan, secara bahasa yang benar. Itu cuman kartun anak-anak. Anggap saja benar, tetapi tetap saja kesendat, kecuali diucapkan cepat-cepat.

Terimakasih.

Note: bukan humor.

Pages: 1 2 3 4 5 [6] 7 8 9 10 11 12
anything