//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Mengumpulkan Kebajikan dan Pahala  (Read 2719 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline hengki

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 741
  • Reputasi: 49
Mengumpulkan Kebajikan dan Pahala
« on: 03 May 2008, 02:57:20 AM »
Jika orang telah mengumpulkan cukup kebajikan dan pahala untuk mendapatkan keturunan seratus generasi, maka ia akan memiliki garis keturunan yang berlangsung selama seratus generasi. Orang yang telah mengumpulkan cukup kebajikan dan pahala untuk mendapatkan sepuluh generasi akan memiliki keturunan sebanyak sepuluh generasi. Bagi mereka yang tidak memiliki keturunan, itu disebabkan mereka belum mengumpulkan cukup banyak pahala maupun kebajikan.

Ini berbicara tentang memiliki atau tidak memiliki keturunan. Jika telah mengumpulkan pahala atau kebajikan untuk seratus generasi, maka kita akan memiliki keturunan sebanyak seratus generasi. Guru Besar Yin Guang sering memuji Konfusius, yang mengembangkan “Kebajikan Seratus Generasi.” Konfusius terus menerus memikirkan bagaimana membawa manfaat bagi Negara dan rakyat banyak, tanpa sedikitpun mengejar kepentingan diri sendiri. Ia mendedikasikan seluruh hidupnya untuk pendidikan dan meneruskan cita-cita dan aspirasinya kepada murid-muridnya. Ia merupakan pendidik terbesar di dalam sejarah Tiongkok.

Saat ini telah ada lebih dari tujuh puluh generasi keturunan Konfusius dan keturunannya saat ini, Tuan Kong De Cheng, masih dihormati oleh orang-orang di seluruh dunia. Tidak hanya orang-orang di Tiongkok, masyarakat lain terutama orang2 Amerika sangat hormat dan menghargainya, menyambutnya dengan hangat ketika tahu ia adalah keturunan Konfusius. Menjadi sangat jelas bahwa dengan menanam benih atau sebab-sebab yang baik, kita menuai panen atau hasil yang baik.

Dalam Empat Ajaran Liao Fan, kita membaca bahwa jika mengumpulkan cukup kebajikan dan pahala untuk sepuluh generasi kita akan memiliki keturunan hingga sepuluh generasi untuk menikmati nasib baik itu. Dalam sejarah Tiongkok, para kaisar akan berusaha membangun dinasti yang mampu memerintah selama banyak generasi, seperti Dinasti Qing, yang bertahan selama sepuluh generasi. Akan tetapi, jika leluhur mereka tidak mengumpulkan cukup kebajikan ataupun pahala maka hal itu tidaklah mungkin. Hari ini, orang tidak percaya akan hal ini. Mereka pikir yang mereka butuhkan cuma kemampuan, taktik politik yang bagus, dan pengetahuan. Tapi mereka salah. Kebajikan yang dikumpulkan oleh leluhur kita ditambah dengan kebajikan kita sendiri dari perbuatan dalam kehidupan sebelumnya membawa hasil berupa orang dengan kebajikan yang sama yang dilahirkan dalam keluarga kita. Sehingga, kelanjutannya menjadi terjamin.

Sebagai contoh, sampai berapa banyak generasi sebuah bisnis keluarga akan bertahan? Di Taiwan, ada rantai toko obat bernama “Aula Welas Asih Universal” yang berasal dari Beijing. Oleh pengumpulan kebajikan dan pahala, bisnis ini telah berlangsung selama seratus tahun dan telah diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Leluhur-leluhur yang penuh welas asih, mengawali toko itu dengan tujuan mulia membuka toko agar mereka dapat menyelamatkan nyawa orang lain. Mereka tidak terlalu perduli pada laba, mereka cuma ingin mendapatkan cukup laba agar dapat hidup dengan sederhana. Jadi tujuan mereka bukanlah untuk mendapatkan laba atau untuk menikmati hidup yang mudah dan nyaman, tapi untuk membawa manfaat bagi masyarakat dan menolong orang yang menderita. Dengan tujuan seperti ini, mereka mampu membangun bisnis yang bertahan selama seratus tahun. Jika keturunan mereka tidak menyimpang dari tujuan asal tersebut, rantai toko ini akan mampu terus berlanjut selamanya. Tidak akan seperti yang lain, yang kurang memiliki jasa baik dan pahala, mereka menyaksikan bisnis mereka bangkrut hanya setelah berlangsung beberapa tahun.

Beberapa hanya memiliki kebajikan dan pahala untuk bertahan selama dua atau tiga generasi. Orang Tiongkok memiliki ungkapan, “Ada tiga hal yang membuat seorang anak tidak berbakti, tidak memiliki keturunan adalah yang paling berat.” Ini berarti kurang memiliki kebajikan dan pahala sampai ke titik tidak bisa memiliki anak. Di zaman dahulu kala, orang sangat perduli soal yang satu ini, tapi hari ini keadaan telah berubah. Banyak pasangan muda yang sengaja tidak menginginkan anak karena takut direpotkan. Di samping itu, masyarakat sekarang juga berbeda dengan masyarakat dulu karena sekarang kita memiliki jaminan kesejahteraan sosial.

Di banyak Negara, siapa yang menjaga orang-orang lanjut usia? Negara. Karena tidak perlu mengandalkan anak2 untuk merawat mereka saat tua, banyak pasangan memutuskan tidak membutuhkan anak. Mereka bisa pensiun pada usia enam puluh lima dan mengambil jaminan kesejahteraan sosial setiap bulan dari pemerintah. Program ini bahkan lebih berbakti daripada anak kandung sendiri. Ini dimungkinkan karena system jaminan kesejahteraan sosial saat ini jauh lebih baik dibandingkan zaman dahulu kala. Dulu, orang lanjut usia hanya bisa tergantung pada dukungan anak-anak mereka. Sementara kecenderungan saat ini adalah mengandalkan bantuan pemerintah untuk merawat orang lanjut usia. Akan tetapi, Hukum Sebab Akibat tidak akan berubah.
Berbuat Baik dan Melatih Diri sebaiknya dilakukan sedari muda. Jangan menunggu sudah bungkuk, pikun, mata rabun, jalan pakai tongkat baru mau Berbuat Baik dan Melatih Diri

Offline hengki

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 741
  • Reputasi: 49
Re: Mengumpulkan Kebajikan dan Pahala
« Reply #1 on: 03 May 2008, 11:52:59 PM »
“Seperti halnya orang menyimpan gandum untuk tahun2 sulit, orang membesarkan anak untuk menghadapi umur tua” sudah menjadi pendapat umum. Tuan Yu dalam ulasannya memeriksa ajaran yang melampaui dunia ini. Ia bilang, “Orang-orang Suci yang melampaui dunia, memandang pembinaan diri unuk mengakhiri nafsu keinginan dan jeratan cinta, membuang kegelapan batin untuk mendapatkan kebijaksanaan, dan melampaui orang-orang biasa untuk menjadi Orang Suci, sebagai kebajikan dan pahala tertinggi. Sayangnya, tingkat pencapaian ini tidak dipahami oleh orang biasa.” Gagasan membesarkan anak untuk menghadapi umur tua masih ada hingga hari ini.

Biasanya, tatkala anak muda tergerak hatinya untuk menjadi Bhiksu atau Bhiksuni, orang tua, keluarga, dan teman-teman mereka berusaha sebisa mungkin menghentikan niat itu. Mereka tidak mengerti karena masih berpikiran seperti orang zaman dahulu kala, bahwa tidak memiliki garis keturunan adalah persoalan terbesar. Agama Buddha melihat ke dalam tiga zaman, dulu, saat ini, dan mendatang. Agama Buddha melihat dan memahami kebenaran hidup dan alam semesta.

Orang biasa hanya melihat secuil bagian dari alam semesta, bukan keseluruhannya. Dari seluruh alam semesta, mereka cuma melihat realisme manusia. Dalam alam manusia, mereka hanya memandang ke kehidupan yang sekarang, bukan yang lalu ataupun yang akan datang; oleh karenanya, mereka tidak mampu melihat sesempurna Para Buddha dan Bodhisattva. Ketika ada anggota keluarga yang menjadi Bhiksu atau Bhiksuni, itu adalah berkah paling membahagiakan, upaya yang paling luar biasa.

Akan tetapi, kita harus berlatih dengan tekun dalam meninggalkan kehidupan duniawi karena jika tidak berhasil mendapatkan Pencapaian, meskipun keluarga kita tidak akan terganggu, kita sendiri akan jatuh ke dalam Tiga Alam Buruk. Dalam Agama Buddha sering disebutkan, “Sebutir beras dari seorang dermawan sama beratnya dengan Gunung Semeru. Tidak mampu melampaui lingkaran kelahiran dan kematian dalam kehidupan ini, menyebabkan kita mengenakan kulit dan tanduk hewan untuk melunasi hutang itu.” Ini jelas sekali sangat serius.

Sebagai praktisi Tanah Suci, kita harus mencapai tingkat pencapaian tertentu dan melampaui Enam Alam untuk dilahirkan di Tanah Suci Barat. Praktisi Theravada perlu paling tidak mencapai tingkatan “Memasuki Arus”. Ini dicapai dengan menanggalkan berbagai pandangan salah. Tingkatan itu merupakan tingkat pertama dari Empat Tingkat Kesucian dalam Agama Buddha Theravada. Dengan meraih buah dari Tingkatan ‘Tidak Kembali Lagi’, kita dianggap sebagai Pertapa Suci. Pada Tingkat Pencapaian ini, kita akan terus dilahirkan di Alam Surga atau manusia dan dipastikan untuk mencapai Tingkatan Arahat meskipun bisa dibutuhkan waktu yang lama untuk mencapai Tingkatan itu. Namun, dengan tidak jatuh ke dalam Tiga Alam Buruk, kita dianggap telah meraih Pencapaian.

Menurut kriteria ini, standar minimum dalam pencapaian di dalam Agama Buddha Mahayana adalah melepaskan diri dari keterikatan, menyingkirkan delapan puluh delapan jenis pandangan salah dan bentuk2 pikiran yang menyimpang. Jika tidak mampu melepaskan diri dari delapan puluh delapan pandangan dan anggapan keliru, kita boleh dianggap tidak mencapai apa-apa. Dengan mencapai Tingkatan ini, dalam ajaran Mahayana, kita mencapai Tingkatan Keyakinan Awal. Dalam ajaran Theravada, kita mencapai hasil awal (pertama) sebagai “Pemenang Arus” yang dicapai dengan cara menghancurkan berbagai pandangan salah; yang pertama dari Empat Tingkat Kesucian.

Tidak berhasil mencapai Tingkat ini akan membawa kita tetap dilahirkan kembali di dalam Enam Alam, masih harus membayar hutang. Bagi Bhiksu dan Bhiksuni ini berarti kita harus membayar kembali setiap persembahan dari sepuluh arah yang dinikmati selama menjadi Bhiksu ataupun Bhiksuni. Persembahan tidak diberikan tanpa pengharapan ataupun pamrih. Kita harus membayarnya kembali.

Jika mampu mencapai Tingkatan ‘Memasuki Arus’ atau mampu menyingkirkan delapan puluh delapan pandangan salah dan bentuk-bentuk pikiran yang menyimpang, masing2 bagi praktisi Theravada dan Mahayana, maka mereka yang memberikan persembahan akan menerima manfaat dan nasib baik. Sehingga tidak perlu lagi kita membayar mereka kembali, karena mereka telah memanen dari ladang pahala. Jika ini digunakan sebagai standar, maka hal ini tidak akan dapat dicapai oleh Bhiksu dan Bhiksuni generasi sekarang. Siapa yang mampu mencapai standar ini!

Akan tetapi, masih ada satu jalan lain, berusaha dilahirkan kembali di Tanah Suci Barat. Jika tidak, pencapaian tidak dimungkinkan. Jika tidak mampu mencapai Tanah Suci, berarti kita tidak mencapai apa-apa. Berupaya dilahirkan di Tanah Suci sebetulnya jauh lebih sederhana daripada menyingkirkan delapan puluh delapan macam pikiran atau pandangan tidak benar. Untuk dilahirkan di Tanah Suci, tidaklah perlu menyingkirkan pandangan dan pendapat keliru ini, karena kita dapat membawa serta sisa karma kita ke Tanah Suci. Sejauh kita memiliki keyakinan, tekad, dan perbuatan benar yang tidak tergoyahkan selalu sadar terhadap Buddha Amitabha, maka setiap orang akan berhasil mendapatkan pencapaian. Kita melihat ini dengan jelas sekali di dalam Sutra Kehidupan Tak Terbatas dan Amitabha Sutra. Jadi, ketika tergerak untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi Bhiksu atau Bhiksuni, kita harus meraih Pencapaian.
Berbuat Baik dan Melatih Diri sebaiknya dilakukan sedari muda. Jangan menunggu sudah bungkuk, pikun, mata rabun, jalan pakai tongkat baru mau Berbuat Baik dan Melatih Diri