“Seperti halnya orang menyimpan gandum untuk tahun2 sulit, orang membesarkan anak untuk menghadapi umur tua” sudah menjadi pendapat umum. Tuan Yu dalam ulasannya memeriksa ajaran yang melampaui dunia ini. Ia bilang, “Orang-orang Suci yang melampaui dunia, memandang pembinaan diri unuk mengakhiri nafsu keinginan dan jeratan cinta, membuang kegelapan batin untuk mendapatkan kebijaksanaan, dan melampaui orang-orang biasa untuk menjadi Orang Suci, sebagai kebajikan dan pahala tertinggi. Sayangnya, tingkat pencapaian ini tidak dipahami oleh orang biasa.” Gagasan membesarkan anak untuk menghadapi umur tua masih ada hingga hari ini.
Biasanya, tatkala anak muda tergerak hatinya untuk menjadi Bhiksu atau Bhiksuni, orang tua, keluarga, dan teman-teman mereka berusaha sebisa mungkin menghentikan niat itu. Mereka tidak mengerti karena masih berpikiran seperti orang zaman dahulu kala, bahwa tidak memiliki garis keturunan adalah persoalan terbesar. Agama Buddha melihat ke dalam tiga zaman, dulu, saat ini, dan mendatang. Agama Buddha melihat dan memahami kebenaran hidup dan alam semesta.
Orang biasa hanya melihat secuil bagian dari alam semesta, bukan keseluruhannya. Dari seluruh alam semesta, mereka cuma melihat realisme manusia. Dalam alam manusia, mereka hanya memandang ke kehidupan yang sekarang, bukan yang lalu ataupun yang akan datang; oleh karenanya, mereka tidak mampu melihat sesempurna Para Buddha dan Bodhisattva. Ketika ada anggota keluarga yang menjadi Bhiksu atau Bhiksuni, itu adalah berkah paling membahagiakan, upaya yang paling luar biasa.
Akan tetapi, kita harus berlatih dengan tekun dalam meninggalkan kehidupan duniawi karena jika tidak berhasil mendapatkan Pencapaian, meskipun keluarga kita tidak akan terganggu, kita sendiri akan jatuh ke dalam Tiga Alam Buruk. Dalam Agama Buddha sering disebutkan, “Sebutir beras dari seorang dermawan sama beratnya dengan Gunung Semeru. Tidak mampu melampaui lingkaran kelahiran dan kematian dalam kehidupan ini, menyebabkan kita mengenakan kulit dan tanduk hewan untuk melunasi hutang itu.” Ini jelas sekali sangat serius.
Sebagai praktisi Tanah Suci, kita harus mencapai tingkat pencapaian tertentu dan melampaui Enam Alam untuk dilahirkan di Tanah Suci Barat. Praktisi Theravada perlu paling tidak mencapai tingkatan “Memasuki Arus”. Ini dicapai dengan menanggalkan berbagai pandangan salah. Tingkatan itu merupakan tingkat pertama dari Empat Tingkat Kesucian dalam Agama Buddha Theravada. Dengan meraih buah dari Tingkatan ‘Tidak Kembali Lagi’, kita dianggap sebagai Pertapa Suci. Pada Tingkat Pencapaian ini, kita akan terus dilahirkan di Alam Surga atau manusia dan dipastikan untuk mencapai Tingkatan Arahat meskipun bisa dibutuhkan waktu yang lama untuk mencapai Tingkatan itu. Namun, dengan tidak jatuh ke dalam Tiga Alam Buruk, kita dianggap telah meraih Pencapaian.
Menurut kriteria ini, standar minimum dalam pencapaian di dalam Agama Buddha Mahayana adalah melepaskan diri dari keterikatan, menyingkirkan delapan puluh delapan jenis pandangan salah dan bentuk2 pikiran yang menyimpang. Jika tidak mampu melepaskan diri dari delapan puluh delapan pandangan dan anggapan keliru, kita boleh dianggap tidak mencapai apa-apa. Dengan mencapai Tingkatan ini, dalam ajaran Mahayana, kita mencapai Tingkatan Keyakinan Awal. Dalam ajaran Theravada, kita mencapai hasil awal (pertama) sebagai “Pemenang Arus” yang dicapai dengan cara menghancurkan berbagai pandangan salah; yang pertama dari Empat Tingkat Kesucian.
Tidak berhasil mencapai Tingkat ini akan membawa kita tetap dilahirkan kembali di dalam Enam Alam, masih harus membayar hutang. Bagi Bhiksu dan Bhiksuni ini berarti kita harus membayar kembali setiap persembahan dari sepuluh arah yang dinikmati selama menjadi Bhiksu ataupun Bhiksuni. Persembahan tidak diberikan tanpa pengharapan ataupun pamrih. Kita harus membayarnya kembali.
Jika mampu mencapai Tingkatan ‘Memasuki Arus’ atau mampu menyingkirkan delapan puluh delapan pandangan salah dan bentuk-bentuk pikiran yang menyimpang, masing2 bagi praktisi Theravada dan Mahayana, maka mereka yang memberikan persembahan akan menerima manfaat dan nasib baik. Sehingga tidak perlu lagi kita membayar mereka kembali, karena mereka telah memanen dari ladang pahala. Jika ini digunakan sebagai standar, maka hal ini tidak akan dapat dicapai oleh Bhiksu dan Bhiksuni generasi sekarang. Siapa yang mampu mencapai standar ini!
Akan tetapi, masih ada satu jalan lain, berusaha dilahirkan kembali di Tanah Suci Barat. Jika tidak, pencapaian tidak dimungkinkan. Jika tidak mampu mencapai Tanah Suci, berarti kita tidak mencapai apa-apa. Berupaya dilahirkan di Tanah Suci sebetulnya jauh lebih sederhana daripada menyingkirkan delapan puluh delapan macam pikiran atau pandangan tidak benar. Untuk dilahirkan di Tanah Suci, tidaklah perlu menyingkirkan pandangan dan pendapat keliru ini, karena kita dapat membawa serta sisa karma kita ke Tanah Suci. Sejauh kita memiliki keyakinan, tekad, dan perbuatan benar yang tidak tergoyahkan selalu sadar terhadap Buddha Amitabha, maka setiap orang akan berhasil mendapatkan pencapaian. Kita melihat ini dengan jelas sekali di dalam Sutra Kehidupan Tak Terbatas dan Amitabha Sutra. Jadi, ketika tergerak untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi Bhiksu atau Bhiksuni, kita harus meraih Pencapaian.