KELANJUTAN CERITA
SEKOLAH MINGGU BUDDHIS: HOUSE OF MORAL AND INTELECTUAL
Komentar Samanera Dhammasiri mungkin tidak sepenuhnya benar, karena beliaulah yang sesungguhnya calon THE REAL DOCTOR dalam studi agama Buddha. Beliau telah berada di Sri Lanka telah lebih dari 6 tahun, tentu saja beliau sudah “masak” dalam belajar dan praktik. Bahkan saya adalah murid beliau dan banyak belajar dari beliau.
Memang saya bertanya dalam forum ini tentunya punya maksud dan tujuan. Maksud dan tujuan saya adalah untuk mendapatkan masukan yang seluas-luasnya dari teman-teman semua berdasarkan praktik teman-teman menjadi pembimbing sekolah minggu. Karena saya sudah lebih dari dua tahun tidak terjun langsung ke dalam sekolah minggu dan juga tidak mengerti perkembangan kurikulum pendidikan terakhir di Indonesia. Namun, mimpi saya untuk menciptakan sebuah kurikulum yang berbasis pengembangan moral dan intellectual untuk sekolah minggu masih tetap terbersit di hati saya.
Saya di atas telah mengungkapkan bahwa perlunya penyeimbangan nilai moral dan intellectual dengan contoh tersebut di atas. Lalu ada masukan dari teman-teman seperti:
a. Peduli lingkungan
b. Tingkatkan kebijaksanaan sejak dini
c. Dan cerita ttg penggunaan buku sekolah minggu dari Ehipasiko yang dinilai telah sejalan dengan KTSP.
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas semua masukannya. Dan di dalam forum ini kan sifatnya sharing, maka saya akan sharing beberapa ide saya dan mungkin teman-teman bisa koreksi jika salah dan teman-teman bisa tambahi jika kurang. Sekarang saya akan mempunyai beberapa pandangan baru bahwa:
1. Apa yang di ajarkan di sekolah minggu harus diimbangi dengan contoh nyata.
Pemberian contoh ini berdasarkan pada kenyataan ilmu pengetahuan terbaru. Maksudnya, jika contohnya tidak relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan terbaru, sekolah minggu Buddhist akan jadi tidak up to date lagi.
Dengan memadukan beberapa masukan teman-teman di atas, antara penanaman kebijaksanaan sejak dini dan peduli lingkungan, hal ini dapat dilakukan dengan penanaman kesadaran kepada anak bahwa pemisahan sampah organic dan anorganic perlu dilakukan. Pengurangan penggunaan plastic juga perlu dilakukan untuk mengurangi polusi tanah. Penanaman kesadaran ini dilakukan dengan dengan contoh nyata sebagai sebrikut:
“anak kita ajak memendam dua macam sampah yang berbeda, sampah plastik dan sampah daun. Dua minggu atau sebulan kemudian, anak-anak diajak untuk membuka sampah yang kita pendam tersebut. Hasilnya anak-anak akan mengerti bahwa sampah plastic tidak bisa busuk seperti daun. Dengan demikian, kita harus berhati-hati dalam menggunakan dan membuang sampah plastic dan membuangnya secara terpisah dari sampah organik. Selanjutnya, penggunaan plastic untuk membungkus hal-hal yang tidak begitu penting perlu dihindari. Sebagai contohnya, kita dapat membeli satu tas kain untuk belanja ke pasar, sehingga akan mengurangi penggunaan tas plastic.
Untuk tambah meyakinkan anak-anak tentang hal-hal tersebut di atas, perlu dijelaskan mengapa plastic tidak dapat busuk, apa senyawa kimia yang ada didalamnya, dll. Tentu saja penjelasannya menyesuaikan dengan tingkat pendidikan anak. Bagi anak usia SD, penjelasannya cukup sampai pada pentingnya sikap berhati-hati dalam menggunakan plastic dan memisahkan sampah organic dan anorganik. Namun bagi, anak-anak sekolah minggu usia SLTP ke atas, dapat diberi penjelasan apa senyawa kimia yang terkandung di dalam plastic dan kenapa tidak mudah busuk.
Hal ini tidak berhenti di sini saja, tetapi disekolah minggu juga perlu disediakan dua tong sampah agar anak dapat mempraktikkan secara langsung pemisahan sampah organic dan anorganik. Dengan demikian, sikap sadar lingkungan akan dilakukan anak berdasarkan pada pengertian bukan hanya sekedar ikut-ikutan.
Hal ini saya pikir dapat dipraktikkan oleh sekolah minggu yang ada didesa maupun dikota. Kalau sekolah minggu yang ada dikota bisa melakukannya dengan memendam sampah dalam suatu ember, jika media tanah tidak tersedia dilokasi vihara.
PEMBERIAN CONTOH NYATA YANG LAIN
Belum lagi berbicara mengenai contoh kecil lainnya seperti penjelasan sila ketiga dari Pañcasīla Buddhis, menghindari perbuatan asusila, bagi anak-anak. Ini akan sangat sulit untuk memberikan contoh pelaksanaan sila ketiga kepada anak-anak usia Tk atau SD. Alangkah baiknya menjelaskan penerapan sila ketiga dari Pañcasīla Buddhis sebagai perlunya selalu bersikap sopan santun dalam berpakaian.
2. Sekolah Minggu sebagai sarana peneguhan jati diri.
Peneguhan jati diri sebagai insan manusia yang baik dengan memperteguh nilai-nilai Buddhis dalam menyikapi hal-hal berhubungan dengan trend kehidupan anak dan remaja, seperti shoping, nonton, main Play Station, penggunaan FB dan segala yang berhubungan dengan internet)
Ada banyak hal yang berkaitan dengan hal ini yang akan melawan trend anak-anak dan remaja masa kini. Kebanyakan anak-anak dan remaja suka dengan kebiasaan shoping, nonton, makan-makan diluar pada waktu-waktu tertentu bahkan sekedar WINDOW SHOPING (tidak beli apa-apa, tetapi Cuma jalan-jalan kelaur masuk toko dan tidak membeli apa-apa untuk sekedar cuci mata).
Hal ini dikaitkan dengan perlunya pengefisienan waktu, pembedaan antara apa yang kita inginkan (WANT) dan apa yang kita butuhkan (NEED). Kadang-kadang kebiasaaan di atas dilakukan hanya karena ingin gaul dan ingin terlihat keren dan tikda ada kaitannya sama sekali dengan NEED.
Berdasarkan hal di atas, di sekolah minggu perlu diberi pengarahan tentang pentingnya pengurangan akan hal-hal ini, dan alangkah baiknya jika dihindari dan dilakukan hanya berdasarkan kebutuhan saja.
Main play station bisa dikembangkan dengan permainan yang bernuansa Buddhis. Memang sejauh ini belum ada game elektronik bernuansa Buddhis. Mungkin inilah tantangan teman-teman yang jago di IT untuk menciptalkan software elektronik game yang bernuansa Buddhist.
Penggunaan Face Book bagi remaja sudah merupakan kewajaran. Bahkan sudah merupakan kewajaran pula jika anak SMP menggunakan FB. Namun kewajaran kan tidak selamanya menjamin kebenaran dan mendatangkan manfaat. Penjelasan perlu diberikan kepada generasi muda Buddhis bahwa penggunaan FB harus dibarengi dengan berbagai sikap hati-hati dalam penggunaannya. Untuk mendukung hal ini, situs internet sehat perlu diperkenalkan. Salah satus situsnya adalah
http://ictwatch.com/internetsehat/. Sehingga anak-anak Buddhis akan menguasai teknologi tetapi tidak terkuasi oleh teknologi.
3. Sekolah Minggu sebagai sarana peningkatan ketrampilan anak dan remaja
Yang dimaksudkan adalah, dalam membagi kegiatan sekolah minggu divihara harus memperhatikan dua aspek yaitu aspek religious dan aspek peningkatan ketrampilan.
A. Aspek religius
Hal ini bisa di dapat dari kegiatan berupa: puja bhakti, meditasi, baca paritta atau Dhammapada, menyanyi lagu Buddhis, permainan Buddhis dan dana paramita. Pengaturan yang tepat terhadap kegiatan-kegiatan ini juga mempengaruhi pada keinginan dan mood anakn untuk sekolah minggu. Kuncinya jangan dibuat monoton kegiatan sekolah minggunya.
B. Peningkatan ketrampilan.
Hal ini tentu saja harus disesuaikan dengan kondisi daerah, kondisi lingkungan dan kemampuan anak. Hal ini tidak harus bersifat yang muluk-muluk, tetapi dimulai dari hal-hal yang kecil. Misalnya ketrampilan melipat baju, melipat selimut bagi anak-anak usia SD. Selain itu ketrampilan ,mencuci alat-alat makannya sendiri juga bisa diajarkan untuk anak-anak usia SD. Tentu hal ini tidak perlu bagi anak-anak di kota yang umumnya mempunyai pembantu. Tetapi bagi anak-anak dari kelurga kelas menengah ke bawah, mungkin ketrampilan seperti ini perlu. Dan hal ini akan mendatangkan suatu apresiasi tersendiri dari orang tua jika anak-anaknya dapat melakukan sesuatu di rumah sebagai hasil mengikuti sekolah minggu.
Bagi anak-anak usia SMP ketrampilannya bisa dengan membuat berbagai karya sesuai keinginan mereka dengan alat yang dapat terjangkau. Pembuatan gelang dan berbagai aksesoris dari bahan mote adalah salah satu contoh kecil yang dapat dilakukan remaja Buddhis.
Mimpi bahwa sekolah minggu Buddhis sebagai House of Moral and Intelectual adalah bingkai kerja. Sedangkan rincian mengenai tujuan khusus dan kegiatan seperti yang saya sebutkan di atas dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing vihara dan daerah. Hal ini karena adanya perbedaan kondisi dari masing-masing sekolah minggu, ada daerah yang anak sekolah minggunya berjumlah banyak dan berjumlah sedikit, ada sekolah minggu di desa dan kota yang tentunya masing-masing membutuhkan kebijaksaan dari para pengajarnya untuk menciptakan kegiatan-kegiatan yang sesuai. Namun, apapun dan dimanapun mereka, niat untuk membuat semuanya menjadi anak-anak Buddhis yang baik tetap perlu diusahakan.
BEBERAPA HAL YANG DIBUTUHKAN DALAM MENDUKUNG IDE DI ATAS:
1. Guru sekolah Minggu yang aktif dan mau terus belajar.
2. Pro aktif dari pengurus vihara
3. Dukungan dari orang tua
4. Keinginan belajar dari anak-anak Buddhis
Saya hanyalah berbicara. Praktik di lapangan tak semudah berbicara.
Salam salut saya kepada semua pengajar sekolah minggu Buddhis.
Salam Metta
Wong Cilik