Hari ke 2 Semarang - Mojokerto:
Esok pagi setelah breakfast di hotel yang kurang enak , jam 7:00 kita berangkat menuju Bandungan untuk menjemput teman satu lagi yang sedang reuni dengan teman sekolahnya. Dari jalan Pandanaran, karena mau mencoba jalan tol Semarang – Ungaran yang baru, balik ke arah barat , untung masih pagi fly over yang kemarin macet, masih lancar, dan bisa masuk tol melalui pintu tol Manyaran. Dari tol Jatingaleh sampai keluar tol Ungarang, kondisi jalan seperti Cipularang, dengan beberapa bagian memiliki pemandangan yang cantik, lebih hijau dari area km 85 sd km 115 di Cipularang.
Belok kanan menuju Bandungan yang jalannya berkelok kelok dan menanjak, sempit pula. Akhirnya sekitar jam 8, resort hotel yang dituju ditemukan setelah tanya sana sini. Problem ke 2 muncul, untuk memanggil teman saya, yang sedang ada di aula tempat reuni, tidak bisa pakai hp, yang kita bawa, tidak ada sinyal disitu. Setelah tunggu menunggu setengah jam, teman yang satu lagi keluar, sambil ngomel, “tadi katanya sudah dekat, lama amat”, yaah.
Akhir kata, kita bertiga berangkat menuju Jawa Timur, tadinya mau lewat Ambarawa – Banyubiru – Salatiga, tetapi berdasar info teman , jalan disitu rusak dan akan lebih lama. Akhirnya terpaksa balik ke jalur Semarang – Bawen dengan harapan di area kebun kopi Banaran masih sepi, biasanya hari minggu menjadi daerah tujuan wisata penduduk Semarang dan sekitarnya.
Macet sedikit di Banaran, tapi bisa tiba di Salatiga pukul 10:00. Runding punya runding, saya pingin kuliner
Soto garasi Esto yang katanya salah satu soto terenak di Jawa Tengah , kata teman saya yang wong Salatiga. Setelah tanya pak parkir, di depan hotel Grand Wahid, ternyata lokasi sasaran terletak di jalan kecil Langensuko di belakang hotel Grand Wahid. Mobil di parkir di depan hotel, kita bertiga berjalan kaki ke TKP (Tempat Kenikmatan Perut).
Pesan 3 soto nasi lengkap dengan kerupuk karak (beras) yang dihancur leburkan dan dicampur dalam satu mangkok soto ayam ukuran sedang. Ini jenis soto ayam pakai sedikit santan yang beda dengan soto ayam gaya Semarang, Kudus, Ambengan Surabaya, Lamongan, Banjarmasin , ataupun Soto Ayam Sadang Purwakarta. ; yang jelas enak deh. Minumnya rame rame pesan es jeruk. Dan tambah kopi lagi untuk si pecandu. Saat bayar, saya yang bingung, Rp 39.000,- termasuk tambahan 1 perkedel goreng, 1 telor masak kecap, 3 karak. Karena kuatir si mbok yang sudah sepuh salah hitung, saya minta dihitung ulang, eh masih tetap rp 39.000,- Pantesan orang yang tinggal di Salatiga, umur nya panjang panjang, lha makanan se- enak dan sehat seperti itu harganya murah meriah.
Saat jalan balik ke mobil, teman saya yang saya jemput di Bandungan (dia setelah pulang dari Amrik, sekarang tinggal di Bali), bilang, “thank you, saya bisa makan makanan kesukaan saya sejak kecil, dulu kalau liburan main ke Salatiga, selalu makan disitu.”
Saya kaget , lalu saya bilang, “kenapa cuma pesan 1 mangkok, hayo balik lagi,” dia bilang sambil ketawa lebar, “sudah puas, cukup , ojo kemaruk sejak tadi pagi makan terlalu banyak.”.
Perjalanan dilanjutkan dengan tekad tidak melalui Solo yang sering macet apalagi hari minggu hari libur, penduduk setempat banyak yang raun raun atau pusing pusing (istilah Medan) di jalan raya naik sepeda motor dengan kukuh untuk tidak meninggalkan budaya asli Solo, ‘alon alon asal kelakon’.
Kita memakai jalur alternatif, dari Salatiga lewat jalur ke menuju Boyolali, sampai di Tingkir belok kekiri menuju Karang gede, dan lanjut ke Gemolong, di Gemolong cari SPBU utk isi bensin dan pipis lagi. terus bablas ke Sragen. Jalan alternatif ini pernah saya lewati 3 tahun yang lalu, tapi sekarang sudah diperlebar dan mulus, tidak pake lobang sehingga perjalanan lancar . Jika lewat Boyolali, Solo dan Sragen, pasti 1,5 jam lebih lebih lama, selain macet, juga bisa 3 sampai 4 jam lebih lama, krn saya pasti ajak teman untuk kulineran seperti cari srabi Notosuman yang terkenal sampai ke mancanegara.
Dari Sragen , melalui jalur bypass sehingga tidak perlu melewati 6 trafic light yang merahnya lama banget di jalan utama kota Sragen kita bablas ke kota Ngawi, kira kira 3 km menjelang kota Ngawi, mampir ke restoran yang namanya sama dengan srabi yang terkenal di Solo, kali ini untuk isi tangkinya penumpang.
Restoran yang megah ini, hanya kita bertiga yang makan di siang itu, padahal jam 12:30. Rame rame pesan Nasi Pecel pakai tambah tahu dan tempe goreng, karena menu yang lain tidak menarik. Selain pesan minum es jeruk, kopi pun jadi sasaran berikutnya. Setelah 40 menit menunggu barulah muncul Nasi Pecel, yang mugkin sayurnya harus beli dulu dipasar. Pecelnya sedang saja lagi pula pelit bumbu. Kali ini agak mahal Rp 103.000,- saya anggap mahal karena tidak sepadan dengan kualitas.
Jam 2 siang perjalanan dilanjut, minggu siang itu entah kenapa, jalanan sepi sedikit sekali kendaraan yang lalu lalang, setelah lewat Caruban, Nganjuk, Kertosono, Jombang tibalah kita di Mojokerto, melewati bypass Mojokerto, lanjut terus ke Mojosari, telpon telponan dengan teman satu lagi yang dari Bali, dia ternyata menunggu di Resto Lilo Chicken. Cari punya cari akhirnya ketemu pada jam 17:00. Mengingat tempat menginap di Trawas tidak menyediakan makan malam, kita rame rame makan dulu di Lilo Chicken, nasi gorengnya lumayan enak, seperti biasa yang sudah kecanduan ilmu hisap, melatih lagi ilmunya sampai puas sambil ngopi, kali ini 2 cangkir dia habiskan.
Sambil menunggu nasi goreng yang dalam proses produksi, kita belanja beberapa kebutuhan di Alfamart di ruko sebelah.
Jam 6 sore , perjalanan dilanjut menuju Trawas, dan tiba ditujuan setelah jam 7 malam dan kondisi sudah gelap. Setelah bertemu dengan sang penguasa disitu, dan mendapatkan tempat untuk menginap masing masing, kita putuskan untuk istirahat, Karena badan sangat panas, mandi di air dingin yang betul betul dingin terasa begitu menyegarkan dan menjadi pengantar tidur yang baik.
End hari ke 2