//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Asavatthaniya Dhamma: Noda Kehidupan Sosial  (Read 4315 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline dhammasiri

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 465
  • Reputasi: 44
  • Gender: Male
Asavatthaniya Dhamma: Noda Kehidupan Sosial
« on: 06 April 2010, 09:26:49 AM »
Baru-baru ini ada semacam pertikaian di DC. Jujur saya merasa prihatin atas kejadian ini. Semua pertikaian muncul karena ketidakdewasaan kita dalam menghadapi masalah. Kita masih mudah terpancing, kita masih mudah terbawa arus sehingga kemarahan pun tidak terelakkan. Karena itu, saya ingin memposting sebuah artikel yang pernah saya berikan ke salah seorang teman untuk diterbitkan. Akan tetapi, tidak ada kabar apakah artikel itu diterbitkan di majalah atau tidak. Apa pun status artikel ini, saya merasa yakin, artikel ini akan bermanfaat bagi banyak orang. Hanya saja, artikel ini saya tulis untuk menyoroti pertikaian dalam sekte Theravada. Namun demikian, artikle ini juga berlaku untuk umat Buddha secara umum. Berikut ini adalah artikelnya.

Āsavaṭṭhānīyā  Dhammā: Noda Kehidupan Sosial
Oleh: S. Dhammasiri

Di masa-masa awal, berdirinya sangha, Sang Buddha tidak menerapkan peraturan bagi para bhikkhu. Tradisi mengatakan, Sang Buddha mulai menetapkan peraturan setelah sangha berusia duapuluh tahun. Sebelum itu, tiga syair, yang cukup familiar di kalangan umat Buddha, cukup untuk mengendalikan kehidupan para bhikkhu.[1]  Selain itu, menurut Sang Buddha, menunggu waktu yang tepat.

Setalah Sangha berdiri sekian lama, tiga syair tersebut dirasa tidak lagi mampu mengendalikan kehidupan para bhikkhu. Kehidupan para bhikkhu semakin kompleks. Mau tidak mau, peraturan kehidupan monastik harus diterapkan. Faktor yang membuat Sang Buddha menetap peraturan kehidupan monastik adalah āsavaṭṭhānīyā dhammā.

Baiklah saya harus menjelaskan istilah āsavaṭṭhanīyā dhammā terlebih dahulu agar urain ini akan lebih mudah dipahami karena saya yakin tidak semua orang mengerti Bahasa Pali, dan terlebih lagi, belum tentu pembaca yang budiman pernah mendengar istilah āsavaṭṭhanīyā dhammā. Prase āsavaṭṭhanīyā merupakan kombinasi dari kata “āsava,” “ṭhana” dan suffiks “iya”. Kata “āsava” (prefiks ā + √sru), menurut Pali-English Dictionary memiliki beberapa arti. Di anrantanya adalah: 1). Minuman keras, sari bunga atau kayu yang memabukkan; 2). Bebas dari kemarahan, 3). Dalam psikologi merupakan kata tekhnis yang untuk mengacu kondisi batin yang membuat pikiran menjadi kecanduan.[2]  Kata “ṭhana” dapat berarti “tempat,” “lokasi,” “berdiri.”[3]  Istilah Dhamma juga memiliki beberapa arti. Y.M. Buddhaghosa dalam Aṭṭhasālinī mengatakan bahwa kata Dhamma (√dhṛ: menyokong, mendukung) memiliki empat arti: 1). Pariyatti (teori), 2). Hetu (kondisi, sebab), 3. guṇa (kualitas moral atau tindakan), 4). Nissatta-nijivatā (phenomena sebagai lawan dari substansial, noumenal, roh).[4]  Dhamma sebagai hetu, dijelaskan lebih jauh: pengetahuan analisis dalam dhamma berarti pengetahuan yang benar tentang kondisi atau sebab.[5]  Dari analisis di atas kita dapat menyimpulkan bahwa āsavaṭṭhanīyā dhammā dapat diterjemahkan sebagai “kondisi atau sebab yang memicu munculnya kotoran, noda” atau bisa juga diterjemahkan sebagai “kondisi atau sebab yang memicu kita menjadi mabuk, kecanduan.”

Menurut Sang Buddha ada empat faktor yang membuat munculnya āsavaṭṭhanīyā dhammā. Empat hal itu adalah rattaññumahatta, vepullamahatta, lābhaggamahatta, bāhusaccamahatta.[6]

  • Rattaññumahattā
    Rattaññumahatta merupakan prase kombinasi dari ratti (malam), ñu (mengetahui, melewati), mahattā (besar). Secara harfiah, rataññumahatta berarti “telah melewati banyak malam” atau “mengetahui banyak malam. Yang dimaksud dalam prase rataññumahattā adalah senioritas.
  • Vepullamahattā
    Vepulla dapat diterjemahkan sebagai “kemajuan” “perkembangan” atau “kesuksesan.” Dengan demikian, prase ini dapat diterjemahkan sebagai “kesuksesan”.
  • Lābhaggamahatta
    Prase lābhaggamahatta merupakan kombinasi dari “lābha” “agga” dan “mahattā.” Kata lābha dapat diartikan sebagai “keuntungan” “pendapatan” “pencapaian”. Agga memiliki arti Lābhagga dapat diartikan sebagai “utama” “tertinggi”. Karena itu, kita dapat memahaminya sebagai “popularitas”.
  • Bāhusaccamahatta
    Prase ini merupakan kombinasi dari “bāhu”, yang dapat diartikan sebagai “banyak”, “pundak” atau “tangan”, “sacca” berarti “pengetahuan” “ilmu” “kesunyataan”. Bāhusaccamahatta, dengan demikian, dapat dimengerti sebagai “berintelektual”.

Tentu bukan tanpa alasan bagi Sang Buddha memformulasikan empat hal tersebut di atas sebagi alasan munculnya noda, kotoran atau kecanduan. Karena senioritas, banyak orang menjadi mabuk akan harga diri, kecandduan pujian dan selalu ingin dihormati oleh para yuniornya. Contoh nyata adalah Bhante Channa. Pada mulanya ia adalah kusir Pangeran Siddhattha. Ke mana pun, Sang Pangeran pergi, ia akan selalu menemani. Setelah menjadi bhikkhu, ia merasa bahwa dirinya lebih senior dibandingkan yang lain karena dia telah lebih dekat dengan Sang Buddha sejak masih menjadi Bodhisatta. Ia tidak mau menghormati bhikkhu-bhikkhu senior, prilaku dan ucapannya kasar. Hanya brahmadaṇḍa-lah yang mampu menundukkannya.[7] 

Sebenarnya vepullamahattā lebih cenderung mengacu pada kesuksesan untuk mempertahan diri dan memiliki banyak pengikut, dan tidak mengacu pada kesuksesan dalam pencapaian materi. Karena selalu mampu eksis di tengah-tengah pasang-surutnya gelombang kehidupan dan pengikut selalu bertambah, muncullah ego, kesombongan, keangkuhan dan perasaan “Aku lebih hebat daripada yang lain.” Di samping itu, banyaknya pengikut dari berbagai strata, latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya yang berbeda, juga akan memicu munculnya berbagai permasalahan yang sangat kompleks. 

Saat seseorang telah mencapai tingkat senioritas tertentu dan mendapatkan banyak pengikut, dengan sendirinya popularitas akan datang meskipun tanpa diundang. Dalam sāsana, popularitas akan menuntun umat untuk memberikan dukungan material yang berlimpah. Ketidakhati-hatian dalam menerima dukungan material akan membuat para bhikkhu hanya menjadi pewaris materi (amisadāyāda) dan bukan pewaris dhamma (dhammadāyāda).

Ada sebuah cerita lucu terjadi di zaman Sang Buddha. Y.M. Poṭhila adalah seorang bhikkhu senior yang sangat pandai. Ia memiliki murid yang cukup banyak dan semuanya telah menyelesaikan tugas mereka sebagai bhikkhu dengan merealisasi tingkat kesucian tertinggi: Arahant. Namun, dia sendiri masih belum mencapai kesucian apa-apa. Suatu ketika, ia bersama murid-muridnya mengunjungi Sang Buddha. Di hadapan Sang Buddha, ia sangat berharap agar Sang Buddha memujinya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Sang Buddha menjulukinya Tuccha-Poṭhila.[8]  Merasa malu, ia pergi ke tempat yang jauh dan menjadi murid seorang sāmaṇera yang masih berusia tujuh tahun. Cerita ini mengingatkan kita bahwa intelektualitas dapat menjadi belenggu dan bumerang dalam kehidupan ini bila digunakan secara salah. Intelektualitas dapat membuat kita menjadi lupa daratan, edan akan harga diri.

Setelah faktor-faktor semacam ini muncul, mau tidak mau Sang Buddha harus menetapkan kode etik kehidupan monastik. Tujuannya adalah agar stabilitas kehidupan monastik dapat dipertahankan dan tidak menjadi rancu. Berdasarkan tradisi Theravāda, āsavaṭṭhanīyā dhammā tersebut telah membuat Sang Buddha menurunkan 227 peraturan bagi para bhikkhu dan 311 bagi para bhikkhunī.

Sekarang mari kita aplikasikan teori āsavaṭṭhanīyā dhammā ini dalam konteks kehidupan masyarakat umat Buddha di abad modern ini. Masihkah āsavaṭṭhanīyā dhammā ini relevan? Adakah unsur-unsur āsavaṭṭhanīyā dhammā dalam masyarakat umat Buddha sekarang ini?

Salah satu kualitas Dhamma, ajaran Sang Buddha adalah akālika. Ini berarti Dhamma, ajaran Sang Buddha, mampu bertahan di semua lini kehidupan. Tidak akan lapuk termakan waktu, dan dapat diterapkan di mana pun dan kapan pun. Āsavaṭṭhanīyā dhammā memang sebuah teori kuno tentang faktor-faktor yang dapat membuat sangha menjadi ternoda, namun demikian, faktor-faktor itu juga selalu dapat ditemukan di setiap sisi kehidupan masyarakat di sepanjang zaman.

Sebagaimana dapat kita lihat, tidak perlu di sekte lain cukup di kalangan Theravāda sendiri, banyak individu maupun organisasi menjadi gila posisi, mabuk kedudukan dan kecanduan harga diri. Sebagai akibatnya, mereka membentuk kelompok-kelompok tersendiri yang pada dasarnya hanya merugikan umat Buddha Theravāda sendiri. Mereka yang senior membanggakan kesenioritasannya, yang berpengikut banyak menyombongkan kesuskesannya, yang bermateri mengangungkan materinya dan yang berintelektual mendewakan intelektualitasnya. Perpecahan pun tak terelakkan, dan muncullah kerajaan-kerajaan dengan senioritas, kesuksesan, popularitas dan intelektualitas sebagai rajanya.

Secara pribadi, saya tentu merasa prihatin atas kondisi ini karena paling banter hanya menimbulkan permusuhan dan munculnya vihara-vihara baru. Munculnya vihara-vihara baru di bawah kepemimpinan senioritas, kesuksesan, popularitas dan intelektualitas, mungkin masih dapat dimaklumi. Namun, permusuhan dan kebencian sama sekali tidak dapat ditoleransi karena bertentangan dengan nilai-nilai etik yang diajarkan oleh Sang Buddha. Sang Buddha mengajarkan agar kita selalu mengembangkan kualitas ahiṃsa dan mettā.     

Saat kita hidup dalam perpecahan, tidak ada bedanya seperti gelas yang hancur berkeping-keping. Paling banter serpihan gelas itu hanya dapat digunakan untuk menghaluskan kayu sebagai pengganti amplas. Pada saat bersatu, kita ini ibarat gelas yang utuh, dapat digunakan alat untuk minum, takaran, atau menaruh sesuatu. Sesungguhnya kita dapat menggunakan semua elemen yang ada untuk saling bahu membahu. Yang senior sudah selayaknya mampu memberikan suri teladan. Yang sukses agar bersedia menunjukkan jalan, yang bermateri memberikan dukungan materi dan yang berintelektual memberikan sumbangsihnya di bidang intelektualitas.

Perpecahan di kalangan umat Buddha di zaman sekarang ini sangat berbeda dengan perpecahan yang terjadi di zaman kuno. Secara global, perpecahan di zaman kuno dapat dikatakan telah menghasilkan sekte Mahāyāna dan Theravāda. Perpecahan ini diawali pada konsili kedua atau tepatnya seratus tahun setelah Sang Buddha parinibbāna. Perpecahan tersebut telah menghasilkan sarjana-sarjana Buddhis yang luar biasa ditopang dengan penemuan-penemuan teori baru berlandaskan pada ajaran murni Sang Buddha. Nagarjuna muncul dengan teori Sunyata, Vasubandhu mengemukanan teori alāyavijñāna. Dignaga datang dengan teori filsafatnya: Buddhist Logic. Theravāda mencul dengan inovasinya bhavaṅga dan hadayavatthu. Selain teori-teori yang begitu mengagumkan, beberapa literatur Buddhist baik dalam bahasa Sanskrit, Prakrit maupun Pali muncul dengan berbagai inovasi baru. Mahavastu, Apadana, Kathavatthu bahkan banyak yang berpendapat seluruh bagian Abhidhamma Pitaka adalah inovasi baru dari kalangan Theravāda. Mau mengakui atau tidak, perpecahan yang tejadi di zaman dulu telah membawa hawa positif bagi perkembangan dunia intelektual agama Buddha. Tetapi, apakah yang terjadi saat ini? Adakah dampak positif yang kita dapatkan dari perpecahan tersebut? Jangankan melihat sarjana yang muncul dengan inovasi barunya, melihat sarjana yang mempelajari Agama Buddha dengan kesungguhan saja sangat sulit.

Kita memisahkan diri dari kelompok yang ada dan membentuk kelompok baru karena berpandangan bahwa kita memegang teguh ajaran Sang Buddha. Yang tetap pada kelompok lama juga tidak mau dikatakan telah melenceng dari ajaran Sang Buddha. Sudah saatnya kita merenungkan dengan seksama akan apa yang kita dapatkan dari perpecahan dan permusuhan di antara sekte Theravāda. Mengapa kita tidak berpikir untuk mentransformasi noda kehidupan sosial menjadi sumber untuk memperdayakan diri? Mengapa kita tidak mengubah āsavaṭṭhanīyā dhammā menjadi berkah utama? Kita harus selalu ingat bahwa memiliki banyak ilmu dan pengetahuan, menggunakan kekayaan dengan benar, menyokong generasi yang lebih muda maupun yang tua adalah bekah utama. Sang Buddha menasehatkan: “Tasmātiha, bhikkhave, evaṃ sikkhitabbaṃ—attharasassa dhammarasassa vimuttirasassa lābhino bhavissāmāti,”[9]   dan Ki Hajar Dewantara merumuskan “Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.”

Saat transformasi terjadi, empat hal tersebut di atas tidak lagi menjadi sumber munculnya noda kehidupan sosial di antara umat Buddha Theravāda, melainkan menjadi berkah yang mengarahkan kita pada kemajuan, kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan.       

Endnotes:
  • Khantī paramaṃ tapo titikkhā,  nibbānaṃ paramaṃ vadanti buddhā;
     na hi pabbajito parūpaghātī,  na samaṇo‚ hoti paraṃ viheµhayanto.
    Sabbapāpassa akaraṇaṃ, kusalassa upasampadā;
    sacittapariyodapanaṃ, etaṃ buddhānasāsanaṃ.
    Anūpavādo anūpaghāto, pātimokkhe ca saṃvaro;
    mattaññutā ca bhattasmiṃ, pantañca sayanāsanaṃ;
    adhicitte ca āyogo, etaṃ buddhānasāsanan’ti.
  • T.W. Rhys Davids, Pali-English Dictionary, Asian Educational Service, India, 1997, hal.114
  • Idem,  hal.289
  • Aṭṭhasālinī, p.38: Dhammasaddo  panāyaṃ pariyattihetuguṇanissattanijjīvatādīsu dissati
  • Idem:  hetumhi ñāṇaṃ dhammapaṭisambhidā
  • Vinaya Pitaka, III, 9
  • brahmadaṇḍa berarti hukuman yang sangat berat. Tak ada bhikkhu atau samanera yang boleh bicara atau melayani bhikkhu yang sedang mendapatkan brahmadaṇḍa.
  • Tuccha berarti “kosong” “takberguana” “bodoh”.
  • Anguttara Nikāya I, 35.
Kedamaian dunia tidak akan tercapai bila batin kita tidak damai

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Asavatthaniya Dhamma: Noda Kehidupan Sosial
« Reply #1 on: 06 April 2010, 01:09:47 PM »
Anumodana,samanera Dhammasiri. Numpang copas boleh gak?
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline dhammasiri

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 465
  • Reputasi: 44
  • Gender: Male
Re: Asavatthaniya Dhamma: Noda Kehidupan Sosial
« Reply #2 on: 06 April 2010, 01:52:01 PM »
Anumodana,samanera Dhammasiri. Numpang copas boleh gak?
Boleh saja. Tidak perlu bayar kok.
Kedamaian dunia tidak akan tercapai bila batin kita tidak damai

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Asavatthaniya Dhamma: Noda Kehidupan Sosial
« Reply #3 on: 06 April 2010, 02:11:33 PM »
Anumodana _/\_
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline williamhalim

  • Sebelumnya: willibordus
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.869
  • Reputasi: 134
  • Gender: Male
Re: Asavatthaniya Dhamma: Noda Kehidupan Sosial
« Reply #4 on: 06 April 2010, 02:53:45 PM »
Anumodana Samanera, artikel ini sangat bagus sekali...

Tidak hanya tertuju pada para Bhikkhu, pada umat awam pun -menurut saya- ke 4 hal tsb menjadi sumber petaka dan penghalang kemajuan batin dalam belajar Dhamma...

"Senioritas, Kesuksesan, Populer dan Intelektual" .. ke 4 hal ini mungkin bisa dikategorikan 'hambatan lanjutan' kita dalam proses belajar Dhamma, terkategori 'manna' dalam tingkatan halus...

_/\_


« Last Edit: 06 April 2010, 02:55:50 PM by williamhalim »
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Asavatthaniya Dhamma: Noda Kehidupan Sosial
« Reply #5 on: 06 April 2010, 03:07:37 PM »
:)
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Asavatthaniya Dhamma: Noda Kehidupan Sosial
« Reply #6 on: 06 May 2010, 01:16:02 AM »
Baru-baru ini ada semacam pertikaian di DC. Jujur saya merasa prihatin atas kejadian ini. Semua pertikaian muncul karena ketidakdewasaan kita dalam menghadapi masalah. Kita masih mudah terpancing, kita masih mudah terbawa arus sehingga kemarahan pun tidak terelakkan. Karena itu, saya ingin memposting sebuah artikel yang pernah saya berikan ke salah seorang teman untuk diterbitkan. Akan tetapi, tidak ada kabar apakah artikel itu diterbitkan di majalah atau tidak. Apa pun status artikel ini, saya merasa yakin, artikel ini akan bermanfaat bagi banyak orang. Hanya saja, artikel ini saya tulis untuk menyoroti pertikaian dalam sekte Theravada. Namun demikian, artikle ini juga berlaku untuk umat Buddha secara umum. Berikut ini adalah artikelnya.

Maaf, Samanera... Artikel ini sudah diterima di Redaksi Majalah pada tanggal 8 April 2010. Tetapi karena saat itu ada permasalahan di segi pendistribusian artikel, akhirnya artikel ini tertunda dikirim ke bagian editor. Dan saya baru menerima artikel ini malam ini. Artikel ini sudah saya edit dan saya teruskan ke tahap selanjutnya. Dalam waktu dekat akan segera masuk jadwal lay-out, dan rencananya akan terbit di Edisi ke 58 bertepatan dengan detik-detik Perayaan Hari Waisak.

Berhubung artikel ini merupakan artikel eksklusif di Majalah Dhammacakka, maka sebaiknya artikel ini "boleh" dipublikasikan setelah Majalah Dhammacakka Edisi 58 terbit. Hal ini didasari atas pertimbangan asas kebaikan (courtesy) dan tentang nilai eksklusifitas.

Namun karena artikel ini sudah terlanjur dipublikasi, dan banyak orang yang mendapat manfaatnya, maka saya selaku personil dari Tim Majalah memberikan pengecualian untuk hal ini. Sebab kami semua bukanlah robot yang hanya bisa memberikan tanggapan "boleh" atau "tidak boleh"; namun kami semua adalah manusia yang bisa memberikan "pengecualian". Komentar saya ini belum mewakili pernyataan seluruh tim redaksi. Namun saya pikir teman-teman dari MD juga bisa memakluminya.

Terimakasih atas kontribusi dan perhatiannya. :)

Offline dhammasiri

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 465
  • Reputasi: 44
  • Gender: Male
Re: Asavatthaniya Dhamma: Noda Kehidupan Sosial
« Reply #7 on: 06 May 2010, 09:29:25 AM »
 [at]  Upasaka: Artikel ini saya publikasikan di sini karena saat itu DC sedang dilanda bencana. Harapan saya, bisa meredam bencana yang sedang berlangsung. Setelah saya publikasikan di sini, Mami Ie Tjen minta artikle karena dia bilang masih kekurangan artikle. Ya, saya kasih artikle ini dengan harapan mereka yang tidak dapat mengakses versi online bisa mendapatkan lewat versi cetak.
Kedamaian dunia tidak akan tercapai bila batin kita tidak damai

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Asavatthaniya Dhamma: Noda Kehidupan Sosial
« Reply #8 on: 06 May 2010, 09:32:46 AM »
[at]  Upasaka: Artikel ini saya publikasikan di sini karena saat itu DC sedang dilanda bencana. Harapan saya, bisa meredam bencana yang sedang berlangsung. Setelah saya publikasikan di sini, Mami Ie Tjen minta artikle karena dia bilang masih kekurangan artikle. Ya, saya kasih artikle ini dengan harapan mereka yang tidak dapat mengakses versi online bisa mendapatkan lewat versi cetak.

Ya, saya mengerti. _/\_

 

anything