Ikutan yah....
Secara umum saya sependapat dengan posting2 sebelumnya, Samanera Nyana Bhadra dan Hikoza. Jadi mungkin tidak ada yang baru, hanya berusaha menambahkan sedikit sudut pandang lain.
Pertama-tama, mungkin kita perlu tahu juga definisi "guru" itu sendiri. Di bawah ini saya kutip dari webside Alexander Berzin (setahuku beliau adalah mantan penerjemah HH Dalai Lama)
(
http://www.berzinarchives.com/web/en/archives/e-books/published_books/spiritual_teacher/pt1/spiritual_teacher_02.html)
The most well-known Sanskrit term for a spiritual teacher is guru. Although in several Western countries, the word guru negatively connotes the head of a cult, the term l
iterally means
someone weighty or
heavy. This does not mean that gurus are necessarily fat, although many are in fact overweight. Nor does it mean that gurus provide oppressively serious company. Most Buddhist teachers, especially Tibetan ones, have great senses of humor. His Holiness the Fourteenth Dalai Lama, for example, laughs and jokes whenever something strikes him funny, even when teaching the most profound subjects. The connotation, instead, as the founder of the Sakya Tsar tradition, Tsarchen, explained in A Commentary on [Ashvaghosha's] "Fifty Stanzas [on the Guru]", is that gurus are
weighty with qualifications.
Gu is short for
guna,
good qualities, and
ru stands for
ruchi,
a collection.
...
The Tibetans translated guru as lama (bla-ma).
La means
unsurpassable or
sublime, while
ma means
mother. Lamas resemble
mothers in that they have
given birth internally to
what is sublime. In other words, lamas are people who are
extraordinarily advanced in spiritual development. Moreover,
lamas help others to give birth to their own achievements of similar states. The word lama, however, connotes far more.
Terlepas dari berbagai makna yang terkandung di dalamnya, secara sederhana kita bisa katakan bahwa guru adalah seseorang yang berat, yaitu berat dengan kualitas-kualitas baik/unggul/mulia.
Tentu saja zaman sekarang ada berbagai jenis guru dengan berbagai jenis kualitas pula. Jd, untuk mengingatkan dan agar tidak terlalu melebar kita perlu tahu bahwa yang kita acu di sini adalah
guru spiritual, maka ia harus memenuhi kriteria2 tertentu yang sesuai pula. (Mohon dicatat: ini bukan berarti meremehkan guru jenis lain ya, tolong baca postingan Hikoza juga)
Hanya sekedar mengingatkan saja karena semua sudah ada dalam postingan samanera sebelumnya (Silakan baca postingan Samanera Nyana Bhadra sebelumnya tentang kualitas seorang guru, seorang murid dan bagaimana hubungan guru dan murid terjalin), kita perlu tahu bahwa seorang guru spiritual pun ada kriteria yang berbeda apakah berdasarkan vinaya, mahayana, tantra ataupun sutra. Berdasarkan tradisi Lamrim yang merupakan tradisi mahayana, dikatakan seorang guru harus memiliki minimal 5 dari 10 kualitas. Atau paling minimal lagi, berdasarkan tradisi lisan Lamrim, seorang guru paling minimal-minimalnya harus memiliki 4 kualitas (lebih mementingkan kehidupan berikut, lebih mementingkan orang lain daripada dirinya, punya pengetahuan yang baik/akurat ttg bahan yang diajarkan, menerima ajaran tersebut dari gurunya dalam silsilah tak terputus yang juga termasuk tidak merusak hubungan dengan gurunya)
Kita tentu saja juga perlu tahu bagaimana hubungan guru dan murid terjalin, agar konsekuensi guru murid terjalin. Sebenarnya cukup mudah untuk menjalin murid seorang calon guru. Klo kita dengan motivasi untuk menjadi murid dari calon guru kita, datang mendengar ajarannya 4baris saja maka hubungan itu terjalin. Oleh karena itulah, sangat2 disarankan untuk tidak buru2 mengambil seorang sebagai guru (kita bisa menganggapnya brother/sister in dharma, senior in dharma atau sejenisnya), karena ada konsekuensinya. Kita sebelum mengangkat seseorang sebagai guru, kita masih punya banyak kebebasan (misal mengkritiknya, mengajaknya berdebat, dsj), dan kita
TIDAK WAJIB mengangkatnya menjadi guru kita, namun sekali hubgn guru murid terjalin kebebasan itu hilang, kita tidak bisa bertingkah laku sembarangan lagi. Hilang di sini juga harus dipahami bahwa hal itu hanya akan merugikan diri kita sendiri.
Sekarang secara umum kita tahu bahwa semua hal2 tidak menyenangkan yang kita alami, berasal dari perbuatan2 negatif kita. Dan perbuatan negatif itu tentu saja dimulai dengan pikiran2 negatif. Jadi, pikiran2 negatif kitalah sumber semua masalah kita. Nah, bila pikiran negatif terhadap makhluk biasa saja dapat membuat kita menderita bahkan terjatuh ke alam rendah maka kira2 apa jadinya berpikiran negatif terhadap seseorang yang punya kualitas luar biasa, yang memperhatikan kebahagiaan kita bukan hanya kehidupan ini, tapi berkehidupan2 yang akan datang dan bahkan menginginkan kita bebas dari samsara?
Dengan logika sederhana, klo kita melakukan sesuatu yang berlawanan dengan tujuan kita, tentunya hasilnya adalah sesuatu yang berlawanan juga dengan tujuan kita juga. Demikian pula, bila kita melakukan sesuatu yang berlawanan dengan tujuan guru kita (artinya kita menjalin hubungan guru murid dengannya) yang menginginkan kebahagiaan kita (sekali lagi bukan hanya kebahagiaan dalam kehidupan sekarang, tapi jg kehidupan2 yg akan datang bahkan kebahagiaan kebebasan dari samsara), berarti kita melakukan sesuatu yang berlawanan pula dengan tujuan tersebut, dengan kata lain akan mendapatkan hasil yang berlawanan juga, yaitu penderitaan (sebagai lawan dari kebahagiaan).
Sederhananya: kita ingin bahagia, tetapi kita melakukan hal2 yang melawan kebahagiaan kita, yaitu hal2 yang menjauhkan kita dari kebahagiaan kita.
Semoga bermanfaat
Terima kasih