JALAN BUDDHA YANG DINAMIS
“ Ikatan dari dalam, ikatan dari luar, umat manusia terjerat dalam ikatan. Aku bertanya, Gotama, siapakah yang melepaskan ikatan ini ?”
“ Ketika orang bijaksana mantap dalam moral kebajikan (sila), mengembangkan kosentrasi (citta – samadhi) dan kebijaksanaan (panna), maka sebagai seorang bhikkhu yang rajin dan bijaksana, ia membebaskan diri dari ikatan ini “.
Pertanyaan ini diajukan kepada Buddha oleh dewa tertentu, dan pernyataan berikutnya merupakan jawaban dari Buddha. Jawaban yang singkat tetapi penuh arti ini mengandung keseluruhan ajaran mengenai Jalan Mulia Berunsur Delapan, bagian akhir dari Empat Kebenaran Mulia yang dinyatakan oleh Buddha dalam khotbah-Nya yang pertama.
Jelas dari jawaban Buddha bahwa syarat utama agar terbebas dari ikatan adalah tiga jenis latihan ( sikkha ) , moral kebajikan ( sila ) , konsentrasi ( citta / samadhi ) dan kebijaksanaan ( panna ) .
Ikatan ( jata ) , dalam konteks ini berarti jaringan nafsu keinginan atau ketamakan. Sebab timbulnya ikatan ini berkenaan dengan diri seseorang dan lainnya, dan berkenaan dengan landasan internal dan eksternal, yang disebut ikatan dari dalam dan ikatan dari luar. Buddha telah menunjukkan dengan jelas bahwa ikatan ini merupakan belenggu utama yang secara terus menerus menyebabkan makhluk hidup terikat pada lingkaran kelahiran dan kematian yang berulang – ulang.
“ Para Bhikkhu, aku tidak melihat adanya belenggu lain yang menyebabkan makhluk hidup untuk waktu yang sangat lama mengembara dan pontang panting menjalani rangkaian kehidupan, seperti belenggu nafsu keinginan ( tanha samyojana ). Sesungguhnya, Bhikkhu, karena terikat pada belenggu nafsu keinginan ini, makhluk hidup menggembara dan pontang panting menjalani rangkaian kehidupan. “2
Dalam pemikiran Buddhis, nafsu keinginan itu terdiri atas tiga hal, yaitu keinginan akan kesenangan indra ( kama – tanha ), keinginan untuk melanjutkan kehidupan atau mempertahankan kelangsungan diri sendiri ( bhava – tanha ) dan keinginan untuk melenyapkan diri sendiri (vibhava – tanha).
Nafsu keinginan tersebut merupakan keinginan yang membutakan makhluk hidup ini, dan menjadi sebab kebencian dan segala penderitaan lainnya. Bukanlah, senjata nuklir namun keserakahan, kebencian dan kebodohan batin ( lobha, dosa, moha ) yang terutama menghancurkan manusia. Bom dan senjata diciptakan oleh nafsu manusia untuk menaklukkan dan menguasai, kebenciannya yang mengarah pada pembunuhan, kebodohan batinnya berkeinginan untuk menaklukkan dan menghancurkan. Keinginan kuat akan ketenaran, kekuatan dan kekuasaan telah menyebabkan penderitaan yang tak terhingga bagi umat manusia. Jika manusia tidak berusaha mengawasi keinginan yang selalu siap untuk menguasai pikirannya, maka ia akan menjadi budak dari keinginannya. Oleh sebab itulah ia tidak lagi lebih mulia dari binatang karena sama – sama makan, tidur dan melampiaskan nafsu birahi mereka. Namun, binatang tidak dapat berkembang secara spiritual, sementara manusia dapat. Manusia memiliki sifat – sifat laten yang dapat digunakan untuk mencapai kesejahteraan baginya sendiri maupun orang lain. Akan tetapi jika ia tidak mengawasi pikirannya sendiri, mengembangkan pikiran – pikiran yang baik dan menyingkirkan pikiran – pikiran yang buruk, kehidupannya tidak memiliki kemudi dan inspirasi.
Empat Kebenaran
Apa yang diajarkan oleh Buddha mencakup Empat Kebenaran Mulia, yaitu tentang dukha, penderitaan, konflik atau ketidakpuasan dalam kehidupan ; tentang timbulnya ; tentang lenyapnya ; dan jalan keluar dari keadaan yang tidak memuaskan ini. Seseorang yang berpikir secara medalam akan dapat menafsirkan kebenaran ini menyangkut seorang manusia dan tujuannya, pembebasan akhir ; yang merupakan intisari keseluruhan Empat Kebenaran Mulia.
Bagi mereka yang memandang dunia sadar dengan ketajaman yang netral satu hal akan menjadi sangat jelas ; bahwa hanya ada satu masalah di dunia ini, yaitu penderitaan, dukkha . Semua masalah lain baik yang diketahui maupun tidak termasuk di dalamnya, yang mencakup seluruh alam semesta. Seperti yang dikatakan oleh Buddha : “ Dunia dibentuk di atas penderitaan, didirikan di atas penderitaan “. ( dukkhe loko patitthito ).3 Jika sesuatu menjadi persoalan, pasti ada hubungannya dengan penderitaan, ketidakpuasan dan pertentangan ; pertentangan antara keinginan dan kenyataan dalam kehidupan. Tentu saja semua usaha keras yang kita lakukan adalah untuk memecahkan persoalan, melenyapkan ketidakpuasan, mengendalikan pertentangan. Usaha ini sendiri merupakan penderitaan, suatu keadaan pikiran yang tidak menyenangkan.
Masalah yang satu ini memiliki berbagai macam aspek ; ada aspek ekonomi, social, politik, psikologi dan bahkan masalah keagamaan. Bukankah semua berasal dari satu masalah itu, dukkha, ketidakpuasan ? Jika tidak ada ketidakpuasan, mengapa kita perlu berusaha untuk memecahkan persoalan – persoalan kita ? Bukankah dengan memecahkan persoalan secara tidak langsung kita mengurangi ketidakpuasan ? Semua persoalan menimbulkan ketidakpuasan, maka kita berusaha keras untuk mengakhirinya, tetapi keduanya saling berhubungan. Penyebabnya sering kali bukan berasal dari luar, melainkan dalam persoalan itu sendiri ; hal yang subjektif asalnya. Kita sering kali berpikir bahwa kita telah memecahkan persoalan memenuhi kepuasan yang diinginkan benar, tetapi persoalan ini sering kali muncul kembali dalam bentuk lain dan dalam bentuk yang berbeda. Kita terus menerus dihadapkan pada persoalan baru dan kita mengupayakan usaha – usaha baru untuk memecahkannya, sehingga persoalan dan pemecahan persoalan terus berlanjut tanpa henti. Demikianlah sifat penderitaan, ciri khusus yang universal dari kehidupan. Penderitaan timbul dan lenyap hanya untuk timbul kembali dalam bentuk lain. Semua bentuk penderitaan kalau bukan jasmaniah pastilah rohaniah, dan sebagian orang sanggup memikul penderitaan yang satu lebih dari yang lain.
Pengakuan atas fakta dalam alam semesta ini, penderitaan, bukanlah merupakan penyangkalan total terhadap kesenangan atau kebahagiaan. Buddha, Guru yang telah mengatasi penderitaan, tidak pernah memungkiri kebahagiaan dalam bentuk kehidupan ketika Beliau berbicara mengenai keuniversalan penderitaan. Dalam Angutara Nikaya ( I, 80 ) , salah satu dari kumpulan asli kitab suci berbahasa Pali, terdapat suatu daftar panjang mengenai kebahagiaan yang dinikmati oleh manusia.
Melalui panca – indranya, manusia tertarik pada objek – objek indrawi, senang terhadap objek – objek itu dan mendapat kesenangan darinya. Ini merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal, karena hal ini dapat dialami. Objek – objek yang menyenangkan maupun kenikmatan tidaklah abadi. Semuanya mengalami perubahan. Makhluk hidup dan dunia empiris keduanya tidak pernah berhenti berubah. Mereka lahir ke dunia lalu meninggal dunia. Semuanya termasuk dalam pusaran ; tak ada yang dapat melarikan diri dari kepastian ini, perubahan tanpa henti ; dan karena sifat yang tidak kekal ini, tidak ada hal yang sesungguhnya menyenangkan. Ada kebahagiaan, tetapi itu hanya sementara ; yang akan lenyap bagai kepingan salju dan menimbulkan ketidakpuasan. Tidak ada ketenangan yang sesungguhnya di alam semesta ini ; namun lebih banyak kelelahan untuk mendapatkan ketenangan. Ketenangan yang sementara mungkin masih dapat diperoleh, tetapi tidak ketenangan yang mutlak. Ada kebahagiaan, namun itu merupakan suatu khayalan yang berlalu. Mata yang melihat, melihatnya berlalu bersama dengan timbulnya hal itu. Yang diinginkan tidak ada lagi ketika tangan yang diulurkan akan meraihnya, atau ada di sana dan teraih, namun kemudian lenyap.
Pemecahan terhadap persoalan dukkha, pertentangan, ketidakpuasan dalam kehidupan ini adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan yang dikemukakan oleh para Buddha atau Dia yang telah mencapai Penerangan Sempurna di segala zaman. Jalan ini, yang merupakan pengamalan dari ajaran agama Buddha, terbagi dalam tiga kelompok, moral kebajikan, konsentrasi dan kebijaksanaan.
Kedelapan unsur dari jalan itu, adalah :
Kelompok kebijaksanaan (panna)
1. Pengertian benar ( samma – ditthi )
2. Pikiran Benar ( samma – sankappa ) ( panna )
Kelompok moral kebajikan ( sila )
3. Ucapan Benar ( samma – vaca )
4. Perbuatan Benar ( samma – kammanta )
5. Mata Pencaharian Benar ( samma – ajiva )
Kelompok konsentrasi (samadhi)
6. Daya Upaya Benar ( samma – vayama )
7. Perhatian Benar ( samma – sati )
8. Konsentrasi Benar ( samma – samadhi ) ( samadhi )
Buddha, penemu jalan ini, jalan yang hanya dimiliki oleh agama Buddha, yang membedakannya dari setiap ajaran agama dan filsafat lain, menamakannya Jalan Tengah, karena jalan ini menghindari dua jalan ekstrem ; pemuasan diri dan penyiksaan diri.4 Harus selalu diingat bahwa istilah “ jalan “ itu hanya cara berbahasa. Walau secara konvensional kita mengatakan menempuh satu jalan, dalam arti pokoknya delapan langkah itu menandakan delapan unsur batin, yang kesemuanya saling bergantung dan saling berhubungan, dan pada titik tertinggi bekerja secara bersamaan ; jalan itu tidak diikuti dan dipratikkan satu persatu secara berurutan. Bahkan pada tingkat yang lebih rendah, setiap unsur seharusnya mengandung sebagian tingkatan dari Pengertian Benar ; karena itu adalah kunci utama dari ajaran agama Buddha. Pengertian Benar merupakan yang pertama dan mengepalai unsur – unsur dari jalan itu.
Tiga Jenis Latihan
Jalan mengenai moral kebajikan, konsentrasi ( meditasi ) dan kebijaksanaan berhubungan dengan ajaran mengenai tiga jenis latihan ( tividha – sikkha ). Ketiganya ini bersama – sama mendukung satu sama lain. Moral kebajikan atau perbuatan baik memperkuat meditasi, dan meditasi pada gilirannya mengembangkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan membantu menyingkirkan pandangan salah mengenai segala sesuatu dan melihat kehidupan sebagaimana yang sebenarnya, yaitu melihat kehidupan dan segala sesuatu dalam kehidupan timbul dan lenyap.
“ Para Bhikkhu, konsentrasi ( meditasi ) yang didukung oleh moral kebajikan menghasilkan banyak buah, menghasilkan banyak keuntungan. Kebijaksanaan yang didukung oleh konsentrasi menghasilkan banyak buah, menghasilkan banyak keuntungan. Pikiran yang didukung oleh kebijaksanaan ( pengertian benar ) sepenuhnya dan seluruhnya terbebas dari mabuk keinginan hawa nafsu, dilahirkan kembali, pandangan salah dan kegelapan batin “. ( kama, bhava, ditthi, avijja )5
Sekarang mari kita bicarakan moral kebajikan ( sila ), yang pertama dari ketiga latihan. Peraturan moral yang diajarkan dalam agama Buddha begitu luas dan beraneka ragam. Namun fungsi dari kesusilaan Buddhis hanyalah satu, tidak banyak ; pengendali dari perbuatan yang dilakukan manusia melalui ucapan dan tindakannya, dengan kata lain, menyucikan perkataan dan perbuatan. Semua moral yang dinyatakan dalam agama Buddha terarah pada tujuan ini – tingkah laku yang berbudi luhur. Namun, moral kebajikan dengan sendirinya, bukanlah tujuan, tetapi merupakan sebuah sarana menuju samadhi, konsentrasi atau meditasi. Samadhi pada gilirannya merupakan sarana menuju panna, kebijaksanaan sejati, yang menuntun kita pada pembebasan pikiran ( ceto – vimutti ), tujuan akhir dari ajaran. Bila dilaksanakan secara bersamaan, moral kebajikan, konsentrasi dan kebijaksanaan akan menghasilkan perkembangan yang harmonis antara emosi dan akal budi seseorang. Untuk mencapai tujuan inilah Bhagawa mengarahkan para siswa – Nya.
Ucapan Benar
Tiga unsur dari Jalan Mulia Berunsur Delapan membentuk peraturan tingkah laku ( sila ) bagi umat Buddha, yang terdiri atas ucapan benar, perbuatan benar dan mata pencaharian benar. Ucapan benar (samma-vaca) adalah (a) menghindari dusta dan selalu berbicara jujur; (b) menghindari kebohongan yang menimbulkan perselisihan, pertentangan, dan sebaliknya berbicara hal yang menghasilkan kerukunan dan kedamaian; © menghindari caci maki dan ucapan kasar, dan sebaliknya berbicara dengan kata-kata yang halus dan sopan; dan (d) menghindari omong kosong, membual atau bergunjing dan sebaliknya berbicara hal yang berarti dan terpuji.
Berbicara adalah hal yang menakjubkan, hanya dengan sepatah kata dapat mengubah keseluruhan dari pandangan seseorang ke arah kebaikan dan kejahatan. Kita sungguh beruntung dengan kelebihan yang tidak dimiliki hewan ini. Namun hanya sedikit dari kita yang menggunakannya demi kesejahteraan kita sendiri maupun orang lain. Banyak kesulitan dan salah pengertian yang dapat dihindari bila orang-orang mau lebih bijaksana dan ramah tamah dalam berbicara, dan lebih cermat serta tulus dalam hal yang mereka tulis.
Berbicara adalah pemberian yang besar nilainya karena melalui kata- kata kita dapat berbagi pemikiran dan ide-ide kita dengan orang lain. Akan tetapi jika lidah yang tak bertulang ini menjadi sukar dikendalikan, dapat terjadi malapetaka. Bukankah lidah bertanggung jawab atas banyaknya percekcokan dan kesulitan yang timbul dalam pertengkaran antar-keluarga,dan dalam peperangan antar-negara? Jilca manusia dapat menjinakkan lidah dunia akan meniadi tempat yang jauh lebih baik untuk dihuni ?
Dalam berbicara seharusnya tidak dikuasai oleh pikiran-pikiran yang jahat seperti ketamakan, kemarahan, kecemburuan, kesombongan atau egoisme. Banyak pembicaraan sesungguhnya menghambat ketenangan dan pemikiran benar, dan selip lidah membawa kita pada semua jenis pemibcaraan yang salah. Buddha mengatakan: 'Para Biku, terdapat lima kerugian dan bahaya dalam ucapan yang salah: pembicara yang selip lidah mengeluarkan kata-kata dusta, fitnah, berbicara kasar dan omong kosong, dan setelah meninggal dunia nanti akan dilahirkan kembali di alam kehidupan yang menyedihkan”.6
(i) moral kebajikan pertama dalam ucapan benar adalah menghindari bicara dusta, dan berbicara jujur. Orang yang jujur sifatnya tulus, lurus dan dapat dipercaya. la tidak menyimpang dari kebenaran untuk mendapatkan kemasyuran atau untuk menyenangkan orang lain.
(ii) Fitnah atau gunjingan adalah kejahatan lain yang dapat dilakukan oleh lidah. Dalam bahasa Pali diartikan secara harfiah"memutuskan persahabatan”. Menfitnah orang lain adalah sangat kejam karena fitnah menghasilkan pernyataan yang tidak benar yang dimaksudkan untuk merusak nama baik seseorang. Penfitnah sering kali melakukan dua kejahatan secara bersamaan. Ia mengatakan apa yang tidak benar karena laporannya yang keliru, dan kemudian ia menfitnah.
Dalam puisi berbahasa Sanskerta, pemfitnah dapat disamakan dengan nyamuk, kecil namun membahayakan. Ia dating mendengung, hinggap padamu, menghisap darah dan mungkin menularkan malaria kepadamu. Mrilah kita hindari gunjingan dan fitnah yang menghancurkan persahabatan. Daripada membuat masalah marilah kita berbicara dengan kata-kata yang menghasilkan perdamaian dan kerukunan 7daripada menyebarkan benih perselisihan marilah kita bawa perdamaian dan persahabatn kepada mereka yang hidup dalam permusuhan dan kebencian. “ Bersatulah, jangan berkelahi” (samagga hotha mavivadatha) seru Buddha. “Perdamaian memang patut dihargai” (samavayo eva sadhu) ditulis diatas batu oleh Asoka, raja India . Karena kita tergantung satu sama lain, kita harus belajar untuk hidup bersama dalam perdamaian, persahabatan dan kerukunan.
(iii) Moral kebajikan lainnya adalah menghindari kata-kata kasar dan berbicara lembut serta sopan. Apa yang kita katakan dapat membawa keberhasilan atau kegagalan, nama baik atau nama buruk, pujian atau celaan, kegembiraan atau kesedihan.
Kata-kata yang lembut dapat meluluhkan hati yang paling perasa, sementara kata yang kasar dapat menyebabkan penderitaan yang tak terhingga. Oleh sebab itu kita harus berpikir dua kali sebelum berbicara buruk tentang siapa saja, karena hal ini akan merusak reputasi dan nama baik.
Kata-kata yang diucapkan seseorang sering kali menandakan sifatnya. Kata-kata kasar, sikap yang tidak menyenangkan., senyum yang sinis, dapat mengubah orang yang pada dasarnya baik menjadi orang yang jahat, seorang sahabat menjadi seorang musuh. Kata-kata yang menyenangkan, sopan dan menarik hati, merupakan modal yang tak ternilai dalam masyarakat, namun sering kali ternoda oleh kata-kata kasar. “ Berbahasa hati, bahasa yang datang dari sanubari, selalu sederhana, menarik dan penuh kekuatan."
(iv) Moral kebajikan yang keempat dan yang terakhir berkenaan dengan ucapan benar adalah menghindari ucapan yang tidak berguna atau bergunjing yang tidak menghasilkan keuntungan bagi siapa pun, dan dimana pun juga. Orang-orang sangat gemar omong kosong, dengan kejamnya memperolok-olok orang lain. Surat kabar dengan kolom gosipnya juga sama buruknya. Pria dan wanita mengisi waktunya sesuka hati dalam pembicaraan yang tiada habis-habisnya, menyenangkan diri mereka sendiri dengan mengorbankan orang lain. Seperti yang dikatakan oleh J.L. Hollard: “Gosip selalu merupakan pengakuan pribadi, baik kedengkian atau kedunguan. Hal itu merupakan perbuatan rendah, tidak berguna dan sering kali merupakan bisnis kotor yang menyebabkan sesama manusia saling bermusuhan selamanya."
Buddha sangat mencela omong kosong, skandal dan desas-desus, karena semuanya itu mengganggu ketenangan dan konsentrasi. "Daripada seribu kaliamt yang tida berarti, lebih baik sepatah kata yang bermanfaat, yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya."8
Dalam bahasa Pali orang bijaksana kadang disebut "muni” yang seseorang yang tetap diam. Ya, "diam adalah emas". Jadi jangan berbicara kecuali kau yakin bahwa kau dapat meningkat dalam ketenangan.
bersambung...