Ada yang saya mau tanyakan pada kainyn, dari dulu kita tidak pernah sepakat nih, bagaimana tentang pimpinan / pendiri / guru ajaran (agama) yang ternyata ajarannya juga perilakunya tidak sesuai dan tidak menuju pengikisan LDM.
Seorang guru yang
ideal adalah yang perbuatan dan tingkah lakunya sempurna, mengetahui fenomena dan dapat mengajarkannya pada orang lain. Menurut teorinya, manusia demikian hanyalah Samma Sambuddha seorang.
Seandainya, sekarang ini muncul seorang Samma Sambuddha, kita melihat sepak-terjangnya dan hasil ajarannya yang nyata, tetapi kita berpaling mencari guru yang tidak sempurna perbuatan dan tingkah lakunya, serta tidak sempurna mengajarkan dhamma, maka saya bilang perbuatan seperti itu sangat sangat mubazir. (Istilah Maha Kacayana: seperti orang yang mencari kayu di hutan, bertemu kayu jati, tetapi bukan mengambil inti batangnya, malah mengambil rantingnya.)
Nah, setahu saya, sekarang ini saya tidak melihat adanya Samma Sambuddha (kecuali beberapa yang gadungan), yang sempurna pengetahuan dan tingkah lakunya. Maka yang dapat kita peroleh hanyalah guru-guru yang bukan guru "sejati" (=sudah tidak ada rotan, hanya akar saja).
Di antara guru-guru yang ada sekarang ini, -namanya juga orang biasa- pasti ada saja "noda" dalam ajaran dan perbuatannya. Tetapi bukan karena hal demikian, lalu kita tolak mentah-mentah semua ajaran dari guru itu.
Saya kasih contohnya, seorang bhikkhu ataupun romo bisa saja masih diliputi kebencian dan hawa nafsu. Kemudian misalkan ada umat non-Buddhis yang telah mencapai jhana, dan oleh karena itu, dalam hal sila, ia lebih tinggi daripada bhikkhu atau romo tersebut. Apakah karena hal itu, otomatis romo/bhikkhu itu tidak pantas jadi guru orang tersebut? Apakah juga dengan sendirinya romo atau bhikkhu itu berarti tidak bisa mengajarkan/mengenalkan Buddha-dhamma? Tidak juga, bukan?
Kalau saya pribadi, saya percaya dengan adanya mahluk sempurna yang disebut Samma Sambuddha, tetapi saya tidak/belum beruntung menemukannya dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, semua orang yang berpotensi membagikan sesuatu pada saya, saya hormati juga sebagai guru, terlepas dari segala macam kekurangannya.
Bagi orang yang mau mencari guru, saya sarankan terimalah kekurangannya, tetapi jangan ditiru. Kembali lagi, kita harus mengembangkan kebijaksanaan dalam diri, bukan bergantung pada orang lain. Dengan begitu, kita bisa lihat "bagus sebagai bagus; jelek sebagai jelek". Juga jangan mengkultuskan seorang guru. Bahkan dalam Sutta pun, Buddha tidak pernah menyuruh para murid mengkultuskan dirinya.