//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - chingik

Pages: 1 2 3 4 5 6 7 [8] 9 10 11 12 13 14 15 ... 61
106
 [at] bro Riky,
Statement-statement anda sangat meresahkan umat Mahayana. Saya cukup terperangah bahwa ini bisa dilontarkan oleh seseorang yang dirinya merasa mewakili pandangan Theravada. Bahkan sebutan Sakyamuni yang sangat kita junjungi (yang bahkan sering dibacakan oleh umat Theravada sendiri dalam Ratana Sutta) juga tidak luput dari celaannya.     
Sebaiknya anda bercermin pada diri sendiri.

 

107
Dear all,

Dalam Mahayana memang ada Sutra2 yang sifatnya memberi manfaat secara duniawi.  Kekuatan yang bersifat metafisik itu ada bukan tidak ada. 
Dharma diajarkan dengan memberi manfaat kepada siapa pun yang merasa cocok, sehingga ada yang bersifat lokiya, ada yang bersifat lokuttara, ada yg bersifat Neyartha ada yg bersifat Nitharta, ada yang bersifat  paramartha, ada yang bersifat samvrti.  Semua ditujukan tergantung pada makhluk yang berbeda-beda karakternya.
Dan satu hal lagi, kaidah penafsiran sutra mahayana tidaklah sekedar dilihat secara tersurat, apalagi secara sepotong-sepotong. Sutra-sutra itu seperti sebuah jaringan yang saling terkait satu sama lain, sehingga tidak selalu dilihat secara satu sisi saja.  Dalam konteks Mahayana , sutra seperti sebuah jejaring (net).
 
Saya tidak ingin mendebatkan isi sutra ini. Tapi mohon diingat
Sekotor apapun pandangan saudara2 terhadap sebuah sutra, adalah tidak baik bersikap  menyindir (dgn cara yg sangat halus ) atau mentertawakannya.   
 oleh karena itu mohon kendalikan batin masing2. karena akan merugikan diri sendiri , dan tidak membawa pada kemajuan. Kita sama2 merasa diri sebagai siswa Buddha, maka minimal mari berusaha bersikap seperti yang dipuji oleh para ariya.
 
 _/\_
 


108
Theravada / Re: Sejarah Organisasi Buddhist dan Sangha di Indonesia
« on: 11 March 2010, 07:35:10 PM »
 [at] Riky,
Hah?? sejarah harus ditulis secara subjektif? ga salah nih??? :o

109
Theravada / Re: Sejarah Organisasi Buddhist dan Sangha di Indonesia
« on: 10 March 2010, 12:11:12 PM »
OOT sedikit.
Jika peristiwa sejarah masa kini saja bisa kabur dan terbelah, bagaimana dengan sejarah keseluruhan perkembangan buddhis di dunia ini yg sudah 2500 tahun lamanya?
Seperti yg pernah saya kutipkan dalam sebuah tulisan:

Betapa tidak, bahkan dalam situasi di mana tokoh yang berkaitan dalam kronologi suatu kejadian – yang masih hidup- masih dapat menimbulkan persoalan dalam cara menggambarkan suatu peristiwa secara objektif. Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa sesungguhnya lakon-lakon sebuah peristiwa yang berjalan secara detik per detik tidak akan dapat di tayang ulang secara sempurna oleh satu sosok manusia yang berdiri dari paradigma dan cara berpikir yang berbeda dengan individu-individu lainnya. Sejarah, hanyalah bagian satu sisi dari sebuah kronologi peristiwa.   

 _/\_
 

110
Chan atau Zen / Re: Zen Indonesia
« on: 09 March 2010, 05:02:54 PM »
Penerus silsilah Zen yang cukup terkenal bukan hanya Master ShengYen.
Ada juga Murid dari master XuYun yaitu:
Menerima garis silsilah LingJi- Master BenHuan (skrg telah berusia 103 th) menetap di Vihara HongFa –wilayah Shenzhen-China. Beliau juga mentransmisi aliran Zen- LingJi kepada seorang Tulku ke 17 Buddhis Tibetan bernama Dongbao Zongba
Kemudian Alm. Master XuanHua , menerima garis silsilah WeiYang. Beliau mendirikan Dharma Realm Buddhist Association di Amerika. Websitenya: http://www.drba.org/

Pada dasarnya para penerima transmisi silsilah Zen sekarang tidak murni mengajarkan Zen saja. Organisasi yang mereka dirikan rata-rata telah mengkombinasikan semua tradisi Mahayana. Mereka mengajarkan praktik Nianfo, menjalani Sila berdasarkan tradisi Vinaya, dan mengakomodasikan semua falsafah seperti Huayen, Faxiang, dsb.
Singkatnya, mereka telah menyerap intisari berbagai tradisi ajaran Buddha sebagai satu kesatuan.

111
Mahayana / Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
« on: 06 March 2010, 06:10:24 PM »
 [at] bro Ricky,
Baiklah jika telah memahami, bahwa ketika dalam memahami sebuah tradisi, maka teruslah mengkaji pengertian yg berdasarkan kaidah dan falsafah yang dicanangkan tradisi tersebut.
Misalnya ketika anda melihat seseorang menulis teks demikian "kucing bisa terbang", maka anda tidak perlu merasa itu tidak benar dan menyimpulkan sendiri. Karena yang namanya berusaha mememahami sebuah skriptur yang bukan dari tradisi kita, maka metodologi pembelajarannya adalah mempertanyakan bagaimana dalam menjelaskan kalimat tersebut menurut konteks sang penulis, bukan menyatakan bahwa ah itu tidak relevan, tidak masuk akal.  :)
Intinya, bagaimana kita memahami dari konteks hermeneutika, dan bagaimana karakteristik hermeneutika yg dibangun oleh tradisi mahayana, tentu berbeda lagi dgn theravada.
Teori interpretasi juga bermacam2, bisa dari aspek historis, metafisik, spiritual.
Jadi yang anda tanyakan tentang "kejanggalan" ikrar Amitabha dari aspek mana? Apakah anda men set up dulu bahwa teori yg berangkat dari Theravada sudah benar dan final, sehingga timbul pertanyaan bahwa teori yg muncul dlm ikrat Amitabha ini jadi janggal. Cara demikian ya tentu saja akan kembali pada sikap judgement yang tanpa perlu judgement dalam diri anda sendiri.
Memang benar kita sama2 sepakat bahwa ajaran Buddha adalah sama, tetapi tentu juga sepakat bahwa pada masa tertentu terjadi perbedaan interpretasi dan kehilangan jejak keakuratan historis.
 
Ok, silakan lanjutkan, mungkin yg dipost bro Seniya cukup memberikan satu pemahaman baru.



 _/\_

112
Mahayana / Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
« on: 06 March 2010, 05:38:51 PM »
 [at] bro Seniya,
Sebagai informasi tambahan, jejak mahayana sesungguhnya telah memperlihatkan wujudnya dalam berbagai teks Buddhisme awal. Salah satu yang cukup menarik perhatian adalah Ekottaragama Sutra yang notabene merupakan teks Non-mahayana yang secara eksplisit menyebutkan bahwa ada sebuah Tanah Buddha di luar lokadhatu sini, Buddha yang hidup satu masa dengan Buddha Sakyamuni. Dalam teks Mahayana , ini sangatlah lumrah, namun menjadi menarik saat teks itu muncul di Ekottargama Sutra.
Tersebutlah bahwa Maha Maudgalyayana dengan kekuatan iddhi muncul di sebuah Tanah Buddha yg berjarak 7x jumlah tanah buddha sebanyak jumlah pasir sungai gangga, di sana terdapat seorang Buddha bernama QiGuang Rulai  atau Guangming Wang Rulai (Svarnaraja Buddha?).



 


113
Mahayana / Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
« on: 04 March 2010, 07:06:51 PM »
 [at] bro Riky
Metode penafsiran dalam mahayana berbeda dengan theravada. Lebih-lebih lagi mengambil perspektif Theravada dalam menafsirkan Mahayana adalah sangat kontraproduktif.
Tidak pernah ada guru besar agama Buddha yang membangun pemikiran Buddhis dengan mencampur adukkan dua tradisi yang berbeda, apalagi menafsirkannya. Ketika pemikiran seperti ini muncul, semua tetap dapat dipatahkan karena jelas-jelas kerangka pemikiran Theravada dan Mahayana sudah berbeda.
Jika seseorang ingin memahami Mahayana, maka harus dibangun dari asas pemikiran dan falsafah mahayana. Demikian juga dalam Theravada. 
Kecuali membuat studi banding, itu tentu berbeda lagi. Tetapi patut diingat juga, bahwa dalam studi banding pun, tidak pernah ada metodologi yg mempertanyakan suatu tradisi dengan cara dilihat dari perspektif tradisi lain. Yang ada hanya membuat kajian tradisi a dan b lalu menarik kesimpulan tanpa memberi judgement tradisi mana yang benar dan salah.

Jadi, bila ingin memahami tradisi Mahayana, maka silakan membangunnya dari kerangka falsafah Mahayana, maka apa yang terlihat tidak masuk akal, menjadi masuk akal, apa yang terlalu muluk menjadi wajar saja. Begitu juga dalam kerangka berpikir Theravada , bila saya membangun dari arus pemikiran mahayana, maka bagi saya Theravada pada sisi tertentu menjadi tidak masuk akal. Tetapi metode berpikir demikian bagi saya hanyalah menghabiskan waktu dan sia-sia. Yang terpenting adalah bagaimana kita belajar memahami suatu tradisi tanpa mencari titik kelemahannya hanya karena kita melekat pada kebenaran sepihak,  kebenaran yang masih bertautan dengan logika panca khanda, tidak kokoh.

Maka dari itu adalah percuma menguasai kitab suci, bila tidak dipraktikkan. Ini menjadi tugu peringatan buat saya juga. Melihat kebenaran dari membaca segelintir teori tidak serta merta menandakan bahwa kita telah mencapai kebenaran itu lalu menilai tradisi lain sebagai jalan yang salah.

Kembali pada Ikrar Amitabha, itu diyakini sebagai ucapan langsung dari Buddha Sakyamuni. Terlepas dari itu masuk akal atau tidak, tentu apa yang diucapkan buddha, bagi siswa Mahayana merasa patut menaruh keyakinan pada ucapan Hyang Buddha.  Karena secara asas, dia tidak bertentangan dengan falsafah yg dibangun dalam mahayana. Kecuali berbicara tentang anjuran perbuatan jahat yg tidak masuk akal, ini tentu wajar harus ditolak, walaupun dikatakan ucapan Buddha. Terus, ajaran tentang Buddha Amitabha tidaklah membuat praktisi Mahayana menjadi apatis. Anda bisa lihat sendiri sejarah pemikiran Mahayana di Tiongkok yang melahirkan banyak guru2 besar. Mereka sangat taat menjalani Sila, Samadhi dan Prajna. Lebih-lebih konsep pemikiran Zen dan Sukhavati yang pada sejarah perkembangannya akhirnya dapat saling terjembatani. Padahal keduanya secara sepintas  (sepintas lho ya) terlihat sangat berbeda. Semua ini perlu dikaji secara komprehensif, bukan menilainya dari aspek yang sepotong-sepotong.
Demikian, bila ada penjelasan yg tidak dipahami, mohon dimaklumi. Terima kasih.

114
Mahayana / Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
« on: 03 March 2010, 07:11:08 PM »
Contohnya Tanah Buddha Sakyamuni di sini skarang ini disebut Tanah Buddha SAHA, yang kondisinya tidak murni. Namun ada juga Tanah Buddha Sakyamuni yang murni yang merupakan hasil adhitana dan buah dari pengumpulan paramitanya.   Yang sanggup melihat Tanah Buddha murni atau tidak tergantung pada kondisi karma makhluk masing2.

Saya tertarik dengan Tanah Buddha Sakyamuni ini, bisakah menjelaskan lebih jauh tentang Tanah Buddha Sakyamuni yg murni? karena selama ini yg sering kita dengar hanyalah Sukhavati yg merupakan domain dari Amitabha _/\_

Mengenai Tanah Murni Hyang Buddha Sakyamuni, dapat ditemukan dalam Vimalakirti Nirdesa Sutra- Bagian Tanah Buddha, saat Sariputra berpikir "Jika dikatakan pikiran bodhisatva murni, maka tanah buddhanya menjadi murni, saat Hyang Bhagava sebagai bodhisatva apakah pikiranNya tidak murni sehingga mencapai Kebuddhaan di dunia yang tidak murni seperti ini? Hyang Buddha mengetahui pikiran Sariputra, lalu berkata, "Bagaimana pendapat mu, apakah Bulan dan matahari itu tidak bersih/jelas hingga orang buta tidak dapat melihatnya? Sariputra menjawab, "Tidak, itu kesalahan orang buta, bukan pada bulan mataharinya. "Karena kesalahan para makhluk hidup lah yang tidak dapat melihat kemurnian tanah Buddha Sang Tathagata, ini bukan kesalahan Tathagata. Oh Sariputra, Tanah Buddha Ku adalah murni sedangkan engkau tidak dapat melihatnya.

....kemudian Buddha Sakyamuni menggunakan kekuatan iddhi dengan jari kakinya menekan ke tanah lalu muncul pemandangan Tanah Buddha Sakyamuni yang murni dan cemerlang  dihiasi berbagai permata disaksikan oleh Sariputra dan para peserta pesamuan.

Selain itu, Hyang Buddha juga mengungkapkan tanah murninya di Maha Parinirvana Sutra dan Saddharmapundarika Sutra.

 

 

115
Mahayana / Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
« on: 03 March 2010, 04:58:29 PM »
Quote
1) Apabila aku telah menjadi Buddha,andaikata,jika masih terdapat
Alam kesedihan seperti Neraka,setan kelaparan,hewan-hewan dan sebagainya di
negeriku,maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!.
isinya yang nggak logis atau salah terjemahan?

-Apabila aku telah menjadi Buddha :berarti belum menjadi Buddha
-jika masih terdapat Alam kesedihan seperti Neraka,setan kelaparan,hewan-hewan dan sebagainya di
negeriku,maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!
:berarti jika disana masih ada alam sengsara maka aku tak akan menjadi Buddha. alam sengsaranya hilang kemana?
- Apabila aku telah menjadi Buddha, jika...........dsbnya, maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha: Aneh ? jika telah menjadi Buddha kok bisa tidak mencapai samyaksambuddha?

Apa salah terjemahan?

Dalam konsep Mahayana, ada 2 jenis Tanah Buddha:
1. Tanah Buddha Murni ---> tanpa alam buruk
2. Tanah Buddha tidak murni ----> memiliki alam buruk

Setiap Buddha memiliki Tanah Buddha yang murni dan tidak murni. Yang Murni merupakan manifestasi dari hasil adhitana dan pengumpulan paramitanya. Bila makhluk yang memiliki keselasaran dan jodoh karma yang tepat akan dapat terlahir di Tanah Murni Buddha. Sedangkan yang belum selaras akan berada di alam yang kondisinya tidak murni.

Contohnya Tanah Buddha Sakyamuni di sini skarang ini disebut Tanah Buddha SAHA, yang kondisinya tidak murni. Namun ada juga Tanah Buddha Sakyamuni yang murni yang merupakan hasil adhitana dan buah dari pengumpulan paramitanya.   Yang sanggup melihat Tanah Buddha murni atau tidak tergantung pada kondisi karma makhluk masing2.

Tanah Buddha Amitabha juga demikian. Yang murni itu tanpa alam2 buruk, seperti dalam Vimalakirti nirdesa Sutra menyebutkan bahwa fondasi dari tanah murni yg dikembangkan bodhisatva terletak pada elemen2 kebajikan. Pikiran lurus adalah tanah murni bodhisatva, karena makhluk yg memliki pikiran lurus akan terlahir di tanah murni itu. Di sini merefleksikan bahwa tanah murni yg dikembangkan oleh setiap bodhisatva adalah elemen2 batin yg bajik. Setelah dikembangkan hingga mencapai Samyaksambuddha, maka tanah murni itu termanifestasikan tanpa ada kondisi alam yg buruk. Bukan karena alam buruknya hilang. Karena pada dasarnya kemurnian batinnya telah memanifestasikan semua dimensi kemurnian, sehingga tidak ada dimensi keburukan (alam buruk). Jadi yang diadhitanakan oleh Bhiksu Dharmakara itu adalah logis dan akhirnya terwujud menjadi Sukhavati.  Ingat, perwujudan tanah murni demikian itu bersifat transenden, yang mana dalam hal ini merupakan jenis tanah murni dalam arti seperti yang dimiliki Buddha Sakyamuni dalam kondisi kemurniannya, bukan jenis yang tidak murni seperti Tanah Buddha  SAHA.  Dengan kata lain, Buddha Amitabha dalam perwujudan Nirmanakaya juga ada sisi alam yg tidak murni , yang bukan Sukhavati, di mana terdapat siswa2 utama, nama ayahnya, ibunya, dll. Ini disebutkan dalam salah satu sutra, saya lupa, nanti ada kesempatan akan dipost.

Mungkin ini terdengar tidak logis dari sisi Theravada, tapi saya tidak ingin lagi mendebatkan dua sudut pandang yg berbeda ini, karena masing2 berpegang pada logika masing2. Semua dikembalikan pada kecocokan masing2 saja. SEmoga dapat dipahami. :)

116
Mahayana / Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
« on: 03 March 2010, 12:10:18 PM »
Benar seperti yang dikatakan bro Seniya. Tidaklah benar seorang praktisi Mahayana yang berkeyakinan pd metode praktik Sukhavati ini hanya terpaku pada keyakinan lalu tinggal santai2, atau Sukhavati vyuha Sutra itu adalah sutra pembodohan.  Mengkaji Sutra Mahayana tentu tidak bisa dilihat dari satu sisi, secara sepotong-potong.
Secara konsep, Sukhavati memang tidak terdapat dalam tradisi lain (Theravada) , tetapi utk garis besarnya masing2 memiliki prinsip yang sama seperti berkeyakinan pada Triratna, menjalani tiga aspek pelatihan Sila, Samadhi, Prajna, berpegang pd prinsip Tilakhana, mempraktikkan 8 jalan kebenaran, dll.
 Sedangkan perbedaan2 seperti konsep Tanah Buddha, Bodhisatva, Kearahatan, yang tidak sama itu tentu kembali pada kecocokan masing2. 

Berbalik pada masalah keyakinan , misalnya dalam Theravada pun terdapat kisah Matthakundali yang hanya berkeyakinan pada Buddha tanpa melakukan kebajikan dapat terlahir di alam Surga. Jika mencernanya secara harafiah, maka mungkin saja dapat "menggiring" orang utk bersantai2 tanpa mau berbuat kebajikan, yang penting yakin dgn Sang Buddha. Tapi tentu tidak benar pemahaman demikian, bukan? 
Begitu juga saat mempraktikkan metode ajaran Sukhavati dalam tradisi Mahayana. Di dalamnya sebenarnya terdapat aspek2 penting lainnya utk dilatih agar pikiran selaras dengan Dharma, yang mengarah ke pengikisan keserakahan, kebencian dan kegelapan batin.

117
Mahayana / Re: Nanya sutra tentang 48 Ikrar Buddha Amitabha
« on: 28 February 2010, 08:48:07 AM »
Benar, ini merupakan sutra mahayana.

118
Mahayana / Re: Mana yang tertinggi?
« on: 20 February 2010, 05:57:07 PM »
Atman dikatakan dalam ajaran Hindu sebagai roh abadi yang berasal dari Brahman.
Sedangkan ajaran Buddha mengatakan semua makhluk merupakan perpaduan dari sebab dan kondisi. Bukan berasal dari Brahman.
Jadi saat seseorang merealisasi Kebuddhaan, dan walaupun suatu saat beremanasi lagi, konteks emanasi itu pun tetap bergantung pada sebab dan kondisi, jadi tentu tidak dapat dikatakan bahwa itu sama dengan atman.
Jadi sebenarnya Mahayana pun tidak pernah menerjemahkan emanasinya seorang Buddha sebagai hal yg identik dengan sifat Atman. Jika ada pemahaman demikian, maka itu tentu tidak sesuai dengan pemikiran Mahayana. Begini, jika seorang praktisi berpegang pd konsep adanya Atman, maka dia akan mencari jalan kekekalan (bagaikan menggosok piring dgn harapan dapat menjadi cermin). Seseorang yg mencari kekekalan berarti terjebak dalam ekstrim dualisme. Pencerahan itu bebas dari pemikiran dualisme.
 _/\_
tapi proses-nya menjelaskan "ada nya atman" itu lah masalahnya...

sayang sekali ujung-ujung nya kalau di lanjutkan pasti adalah "seorang Buddha tidak terpikirkan oleh manusia"

yah...memang begitulah , tidak semua hal dapat dijelaskan secara verbal. Bukankah nibbana juga demikian? 
memang ada sesuatu yg diluar batasan logika awam  , apalagi dengan pemikiran yg masih terbawa arus pancakhanda. Yang dilihat selalu bersifat dualitas.  Maka utk itulah mengapa dibutuhkan pelatihan sila, samadhi dan panna.

119
Mahayana / Re: Mana yang tertinggi?
« on: 20 February 2010, 05:47:28 PM »
Atman dikatakan dalam ajaran Hindu sebagai roh abadi yang berasal dari Brahman.
Sedangkan ajaran Buddha mengatakan semua makhluk merupakan perpaduan dari sebab dan kondisi. Bukan berasal dari Brahman.
Jadi saat seseorang merealisasi Kebuddhaan, dan walaupun suatu saat beremanasi lagi, konteks emanasi itu pun tetap bergantung pada sebab dan kondisi, jadi tentu tidak dapat dikatakan bahwa itu sama dengan atman.
Jadi sebenarnya Mahayana pun tidak pernah menerjemahkan emanasinya seorang Buddha sebagai hal yg identik dengan sifat Atman. Jika ada pemahaman demikian, maka itu tentu tidak sesuai dengan pemikiran Mahayana. Begini, jika seorang praktisi berpegang pd konsep adanya Atman, maka dia akan mencari jalan kekekalan (bagaikan menggosok piring dgn harapan dapat menjadi cermin). Seseorang yg mencari kekekalan berarti terjebak dalam ekstrim dualisme. Pencerahan itu bebas dari pemikiran dualisme.
 _/\_

120
hm..
dari situs-situ candi nya memang terlihat karakteristik Tantra, misalnya Borobudur dibangun dalam pola bentuk Mandala.
Kemudian terdapat rupang-rupang bodhisatva yg merupakan ciri khas mahayana.

Tapi tidak berarti Theravada pada saat itu tidak ada di Indonesia. Karena scr geografis, Theravada lebih banyak tersebar melalui jalur willayah selatan (Myanmar, Srilanka, Thailand, Kamboja) , yang tentu tidak luput termasuk Indonesia.
Statement bro Chingik menarik.. dari sana, saya jadi penasaran, apakah bangunan bersejarah seperti candi / stupa yang ada di Kamboja (yang banyak penganut Buddhisme aliran Theravada) memiliki ciri khas Theravada ? Mungkin bisa diambil contohnya, Angkor Wat.

Soalnya setahu saya, waktu mengikuti seminarnya Bhante Dhammasubho tahun 2009 dikatakan bahwa Angkor Wat dibuat oleh "arsitek" yang juga sealiran dengan yang membuat Candi Borobudur. Dikatakan pula Candi Borobudur memiliki arsitektur "pahatan" 3D, sedangkan Angkor Wat hanya 2D.

Mungkin bisa sekedar sharing bagi yang sudah pernah mempelajari mengenai Angkor Wat

Kalau Angkor Wat itu berciri khas Hindu dan Buddha.  Karena di dalamnya juga terdapat rupang2 dewa hindu kan?
Konon juga dikatakan sebagai candi Hindu yang beralih ke Buddha. Atau sebaliknya , kurang tahu deh. :)

 

Pages: 1 2 3 4 5 6 7 [8] 9 10 11 12 13 14 15 ... 61
anything