ini kesalahpahaman yg fatal. setahu saya, pak hudoyo tidak pernah dan tidak akan pernah mengatakan itu...
sungguh sayang sebenarnya yg namanya disebut2 tidak ada di sini untuk menjelaskan langsung.
Bro Morpheus yang baik, pak Hudoyo mengatakan bahwa pikiran/batin dilekati aku, padahal tak ada aku yang melekati, yang ada adalah cetasika yang menyertai setiap bentuk citta. Tak pernah dikatakan dalam Sutta atau Abhidhamma bahwa "aku melekati setiap bentuk pikiran" seperti yang diklaim pak Hudoyo.
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=16591.msg266383#msg266383 Saya kutipkan postingan tersebut (saya hanya mengutip yang ini karena mudah dicari)
Orang yg tidak memahami dualitas pikiran, ia akan macet dalam dualitas itu, terus-menerus berjuang mengikis lobha, dosa, moha yg kasar, tanpa menyadari lobha, dosa & moha yg halus dan sangat halus, yg bersumber pada pikiran & akunya, dan oleh karena itu tidak akan pernah bebas.Perhatikan yang saya italic, jelas disini pak Hudoyo mengatakan bahwa sumber dari lobha, dosa dan moha adalah dari si "aku" Dimanakah pernah ditemukan pernyataan ini di Tipitaka? Ini adalah ajaran Jiddu Krishnamurti.
Sang Buddha mengajarkan bahwa lobha, dosa, moha dan avijja yang menyebabkan timbulnya persepsi "aku" (sakkaya ditthi).
Jadi perbedaannya menurut Sang Buddha dan Jiddu Krishnamurti/Hudoyo Hupudio:
Sang Buddha:lobha, dosa, moha dan avijja menjadi sebab. Persepsi aku sebagai akibat.
Jiddu Krishnamurti dan Hudoyo Hupudio: Aku sebagai sebab. Lobha, dosa dan moha sebagai akibat.dari membaca tulisan2nya, menurut pemahaman saya sebenarnya terminologi "aku" yg dipakai sangatlah sederhana dan gampang dimengerti, selama kita mencoba memahami dengan polos dan melupakan terminologi doktrin buddhism theravada.
.
Dalam board ini memang dibahas pemikiran Theravada bro, tentu saja saya menggunakan Tipitaka sebagai rujukan.
singkatnya, berkali2 Buddha menjelaskan orang awam berpikir "ini aku, ini milikku, ini diriku" sedangkan arahat tidak lagi berpikir "ini aku, ini milikku, ini diriku" dan itu yg dimaksudkan sebagai padam atau berhenti. bukan pancakhanda yg padam
maksudnya Arahat tidak mempersepsikan "ini aku, ini milikku, ini diriku" terhadap segala sesuatu yang muncul dalam batinnya, karena sakkaya ditthi dan berbagai kemelekatan yang terhalus sekalipun telah lenyap.
saya pikir tidak perlu meditasi vipassana ataupun meditasi yg lain, secara intelek pun keakuan ini bisa dipikir2 dan terlihat dengan jelas dikehidupan nyata. seperti contoh yg dipakai bhante pannavaro, kalo jam tangan mahal kepunyaanku pecah, rasanya menderita sekali, sedangkan kalo jam tangan mahal yg sama kepunyaan toko pecah, rasanya biasa aja. penderitaan bukan ada pada pecahnya jam tangan, melainkan kepada pecahnya aku yg sudah terasosiasi dengan jam tangan mahal tadi sebagai jam tangan-ku...
kalau menurut saya tak ada aku disana hanya kemelekatan/lobha yang muncul terhadap jam tangannya tersebut, dan kemelekatan/lobha juga anicca. Contohnya bila jam itu sudah terlalu tua, terlalu jelek atau harganya telah turun tak ada harganya sama sekali, bila pecah ia tentu biasa saja. Jadi sekali lagi pandangan bahwa "segala sesuatu berasal dari aku" adalah pandangan salah sakkaya ditthi.
menurut Sang Buddha: dengan kondisi-kondisi (sankhara) sebagai sebab, maka sebab-sebab itu juga bersifat tidak kekal. Karena tidak kekal maka menimbulkan penderitaan.kata2 langsung dari bhante pannavaro: "Kalau keakuan tidak lahir, penderitaan tidak mengikuti. Pada saat aku lahir, penderitaan mulai", sejalan dengan kata2 Buddha seorang arahat tidak lagi berpikir "ini aku, ini milikku, ini diriku". bagi saya, apa yg dipaparkan pak hudoyo, bhante pannavaro dan Buddha semuanya sejalan dan sangat telak dalam konteks dukkha dan lenyapnya dukkha.
Sang Buddha mengatakan "kalau "kemelekatan" tidak lahir maka penderitaan tidak mengikuti, pada saat kemelekatan lahir,penderitaan mulai" Apakah teman-teman ada yang bisa membantu menunjukkan dimana Sang Buddha mengatakan "Kalau
keakuan tidak lahir, penderitaan tidak mengikuti. Pada saat
aku lahir, penderitaan mulai"? Setahu saya Sang Buddha mengatakan dimana ada kondisi (sankhara) maka penderitaan mengikuti. Karena seorang Arahat yang tak memiliki "keakuan" masih mengalami penderitaan jasmani.